Konservasi Lahan Pertanian Dan Dampaknya Trhadap Pelaku Konversi (Studi Kasus Di Desa Tegalwaru Dan bojong Rangkas Kecamatan Ciampea)

(1)

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN DAMPAKNYA

TERHADAP PELAKU KONVERSI

(Studi Kasus di Desa Tegalwaru dan Bojong Rangkas Kecamatan Ciampea)

DIAN A. RAHIM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN DAMPAKNYA

TERHADAP PELAKU KONVERSI

(Studi Kasus di Desa Tegalwaru dan Bojongrangkas Kecamatan Ciampea)

Oleh :

DIAN A. RAHIM

NRP. 99399

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan struktur perekonomian Indonesia sejak tahun 1970-an merupakan fenomena yang semakin jelas mewarnai era Pembangunan Jangka Panjang II. Perubahan struktur ini ditandai dengan berubahnya orientasi pembangunan, yakni dari dominasi sektor pertanian menuju ke sektor industri dan jasa. Terjadinya perubahan struktural ini secara otomatis memberi tekanan pada permintaan lahan di luar sektor pertanian, khususnya lahan- lahan yang berdekatan dengan kawasan perkotaan. Sehingga dengan adanya perubahan struktural ekonomi ini akan memperbesar alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian. Khususnya karena lahan- lahan sawah yang beririgasi sejak pengembangannya dilengkapi infrastruktur jalan- jalan inspeksi yang kemudian menjadi jalan desa dan berkembang ada yang menjadi jalan kabupaten bahkan ditingkatkan menjadi jalan- jalan propinsi dan interregional seperti sepanjang jalur Pantura. Peningkatan kualitas jalan-jalan disekitar wilayah persawahan meningkatkan rente (Rent = surplus keuntungan) dari lahan (land rent) berupa locational rent yang jauh melebihi Ricardian rent (menurut kesuburannya), sehingga dengan mudah akan mengalami konversi lahan.

Konversi lahan sawah yang semakin cepat dan meluas merupakan salah satu dampak tekanan terhadap lahan sawah bagi kebutuhan pertanian padi. Sebagai ilustrasi, konversi lahan sawah ke penggunaan lainnya di Pulau Jawa pada dekade


(4)

menurut Baswir et al. (1999) berkisar antara 20,000 – 30,000 ha per tahun. Sementara menurut hasil Sensus Pertanian 1993 luas lahan sawah di Jawa yang telah dikonversi selama sepuluh tahun terakhir mencapai 0.5 juta hektar atau 50,000 hektar per tahun.

Konversi lahan menimbulkan dua konsekwensi yaitu langsung dan tidak langsung. Secara langsung, konversi lahan menjadikan hilangnya lahan pertanian yang baik, berdampak kepada hilangnya kesempatan kerja di sektor pertanian, hilangnya infrastruktur irigasi, hancurnya bentangan sumberdaya alam dan terjadi kelebihan eksploitasi air bawah tanah. Sedangkan konsekuensi tidak langsung, adalah meliputi migrasi penduduk dari daerah perkotaan ke daerah pinggiran kota. Dan sebaliknya bagi mereka yang kehilangan pekerjaan akibat konversi lahan memungkinkan untuk melakukan arus urbanisasi dan yang kehilangan lahannya untuk memasuki sektor informal di pedesaan .

Proses konversi tersebut menjadi masalah nasional yang bersifat strategis berdasarkan tiga alasan berikut :

1. Sawah merupakan salah satu rekayasa teknologi sumber daya lahan dengan investasi besar, misalnya untuk membangun irigasi, pembangunan waduk, pengembangan struktur sosial, terutama dalam bentuk pembangunan kelembagaan kerjasama yang menjadi soko guru sistem produksi beras di Indonesia.

2. Lambatnya proses pembangunan di wilayah pedesaan mengakibatkan kecenderungan migrasi ke kota secara besar-besaran. Seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan perkotaan yang tidak seimbang,


(5)

kawasan perkotaan dan sekitarnya mengalami tekanan penduduk yang semakin berat. Artinya perlu penciptaan lapangan kerja baru serta kebutuhan pemukiman yang semakin besar. Dua kebutuhan mendasar tersebut memerlukan tanah atau lahan untuk kegiatan industri, sarana prasarana serta perumahan atau pemukiman.

3. Konflik pemanfaatan sumberdaya lahan (khususnya sawah dalam konteks ini) di Indonesia, membutuhkan suatu strategi pemecahan secara integratif antarsektor. Kebutuhan lahan untuk sektor non pertanian khususnya yang berada di sekitar perkotaan, yang paling sering dikonversi adalah sumber daya lahan yang berkualitas tinggi (dalam artian ekonomi).

Pendekatan makro atau spatial dan pendekatan mikro atau teori lokasi akan digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan makro mengasumsikan bahwa perencana pembangunan wilayah sebagai wakil pengambil keputusan menyangkut lokasi lahan, misalnya melalui perencanaan. Pendekatan mikro mengasumsikan bahwa keputusan dilakukan oleh perusahaan atau konsumen. Penentu alokasi lahan termasuk lahan sawah adalah menyangkut proses tarik menarik kepentingan efisiensi produsen (maksimasi keuntungan), efisiensi konsumen (maksimasi kepuasan) dan efisiensi pelayanan (maksimasi kesejahteraan masyarakat). Penelitian ini diharapkan menambah wawasan baru tentang dinamika konversi lahan sawah ke non pertanian, serta produktivitasnya terhadap pengguna lahan pada tiap sektor (pertanian, industri dan perumahan).


(6)

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara yang pertumbuhan penduduknya termasuk tinggi. Pada dekade 1970-1980 tingkat pertumbuhan penduduknya 2,3 % per tahun atau sekitar empat juta penduduk per tahun, sedang tahun 1980 hingga 1990 sekitar 1.98 % per tahun. Jumlah penduduk yang besar dengan struktur dominasi orang muda, jika disertai tingkat pertumbuhan yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan angkatan kerja baru yang tinggi pula. Berdasarkan hasil sensus penduduk 1990 diperkirakan pertumbuhan angkatan kerja baru tahun 1990-1994 sekitar 2.5 juta per tahun. Disamping itu masih banyak pencari kerja dari tahun-tahun sebelumnya yang belum memperoleh pekerjaan. Hal ini merupakan masalah besar terhadap upaya penciptaan kesempatan kerja baru.

Karena peluang untuk menciptakan kesempatan kerja di sektor pertanian semakin terbatas, perlu dilakukan suatu upaya perubahan struktural. Perubahan struktural berarti pergeseran dalam wujud pangsa relatif sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) maupun pangsa penyerapan tenaga kerja ke sektor non-pertanian seperti industri, perdagangan dan jasa. Perubahan tersebut akan meningkatkan aktivitas ekonomi baru di sektor non-pertanian sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran tata guna lahan dari sektor pertanian ke penggunaan lain. Perubahan struktural tersebut pada umumnya berasal dari peningkatan pembangunan terutama di kawasan perkotaan. Akibatnya terjadi tekanan yang lebih besar terhadap lahan pertanian yang berada di kawasan perkotaan dibandingkan dengan yang ada di pedesaan.


(7)

Di pulau Jawa pertumbuhan ekonomi dimulai dari kawasan kota yang hinterland-nya adalah wilayah pertanian melalui proses aglomerasi. Aglomerasi sebagai kekuatan penghimpun berbagai aktivitas ekonomi dan industri mampu memanfaatkan ekonomi eksternal. Karena produktivitas dan produksi sektor pertanian sudah tidak bisa berkembang, bahkan sudah terlihat menurun, maka sektor pertanian terutama di kawasan dekat perkotaan semakin terdesak. Keputusan untuk mengkonversi lahan sawah tersebut secara teoritis merupakan hasil keputusan individu/petani yang bersangkutan, sehingga dengan adanya berbagai kelemahan yang dimiliki si individu (baik struktural hingga teknis) proses konversi lahan cenderung menimbulkan banyak dinamika perubahan.

Konversi lahan sendiri pada akhirnya sering menimbulkan kerusakan lingkungan. Daerah-daerah serapan air banyak dijadikan lokasi pemukiman ataupun daerah industri atau mall, sehingga berakibat pada terjadinya banjir. Sebagai contoh dapat dilihat kawasan konservasi yang berfungsi untuk menyerap dan menangkap air, seperti jalur puncak di daaerah selatan Jakarta, yang jelas- jelas memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Ataupun daerah-daerah pertanian yang dikonversikan banyak mengakibatkan hilangnya produktivitas lahan tersebut, sehingga mengakibatkan manfaat lahan tersebut tidak optimal.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, penelitian ini mempunyai tujuan : 1. Mengkaji faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan. 2. Mengetahui dampak dan alokasi penggunaan lahan konversi


(8)

3. Mengkaji sistem kelembagaan yang mengatur mekanisme perubahan pemiliki lahan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan arahan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah kabupaten Bogor untuk menyusun kebijakan dan menyempurnakan program pengentasan kemiskinan di daerah tersebut dalam rangka menyusun kebijakan dan menyempurnakan program pengentasan kemiskinan. Selanjutnya memberikan informasi data yang bersifat komprehensif dan holistic. Suatu hal yang bermanfaat bagi para planner dalam membantu memahami interdependensi antarpertumbuhan ekonomi dengan keberhasilan program pengentasan kemiskinan. Dengan bantuan data dasar yang telah terorganisir dengan baik penyusunan strategi pembangunan regional di berbagai bidang dan masalah yang lainnya dapat dilakukan dengan tingkat akurasi dan realibilitas yang lebih baik.


(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (1988), pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah satu dari Trilogi Pembangunan yang harus dipenuhi sebagai landasan pembangunan tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang-bidang lain seperti politik, sosial dan kebudayaan. Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang mantap, maka pertumbuhan di bidang yang lain akan sulit untuk dicapai dengan baik; karena tanpa adanya kondisi ekonomi yang memadai, bangsa Indonesia akan selalu berorientasi pada tujuan jangka pendek dan ruang lingkup yang sempit pula (myopic).

Konsep pertumbuhan dan pembangunan ekonomi telah mengalami perubahan makna sejalan dengan waktu dan kegagalannya dalam menterjemahkan konsepnya di beberapa negara yang sedang berkembang. Sejalan dengan itu Anwar (1999) menegaskan bahwa pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan yang memberikan kemaslahatan kepada orang banyak. Untuk itu maka konsep tersebut mempunyai dua defenisi berdasarkan fase waktu, yaitu paradigma lama dan paradigma baru.

2.2 Pardigma Lama


(10)

(1999) menyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dibuat definisi pembangunan sebagai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan nasional. Suparmoko (1995) mendefinisikan pertumbuhan dengan produksi nasional secara fisik atau dalam istilah umum adalah peningkatan Produk Nasional Bruto dan lebih lagi yaitu Produk Nasional Bruto.

Sementara itu Winoto (1999) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses pembebasan dari kemiskinan dan kuatnya kepentingan diri terhadapnya. Lebih lanjut, menurutnya pembangunan berarti proses peningkatan kepercayaan diri dan kemampuan diri untuk membuat keputusan-keputusan masa depan. Todaro (1999) mempunyai defenisi yang berbeda tentang pembangunan, yaitu kapasitas dari suatu perekonomian nasional, yang kondisi awalnya lebih kurang statis dalam jangka waktu yang cukup lama untuk berupaya menghasilkan dan mempertahankan kenaikan tahunan Gross National Product.

Todaro (Rostow dalam Todaro, 1999) menerangkan bahwa Rostow membagi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahap yaitu :


(11)

• masa prasyarat untuk lepas landas ke arah pertumbuhan yang berkesinambungan

• masa kematangan

• dan masa konsumsi massa yang tinggi.

Namun Rostow menekankan tahapan ini tidak melulu deskriptif, artinya negara maju telah melalui masa prasyarat untuk lepas landas kearah pertumbuhan yang berkesinambungan, sementara negara terbelakang sedang berada pada masa masyarakat tradisional.

2.3 Paradigma Baru

Pergeseran paradigma pembangunan diartikan sebagai perubahan-perubahan fundamental dalam cara pandang dan praksis pembangunan akibat adanya perubahan, baik internal maupun eksternal serta perubahan bobot relatif yang akan diberikan masyarakat terhadap keyakinannya untuk berbagai aspek pembangunan. Seers ( Seers dalam Winoto 1999) meyakini bahwa pada akhir tahun 70-an telah terjadi pergeseran paradigma dari cara pandang pembangunan yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi yang bersandarkan investasi dan tekhnologi luar dengan korbanan ketergantungan ke arah pembangunan pada suatu kondisi yang menyandarkan diri pada self reliance.

Paradigma baru pembangunan ini lebih diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang lebih baik, pertumbuhan (eficiency) dan keberlanjutan


(12)

pembangunan ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The Second fundamental of Walfare Economics), dimana dalil ini menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi selebihnya dapat diserahkan melalui mekanisme pasar. Dengan demikian penterjemahan dari dalil tersebut pada paradigma baru pembangunan adalah dengan dikembangkan hal-hal berikut :

1. Pembangunan lebih berorientasi pada pembangunan spatial pada tingkat wilayah dan lokal dengan mengutamakan sektor pertanian sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas masyarakat lokal. 2. Pada dasarnya Indonesia merupakan negara agraris dimana kegiatan pertanian

merupakan sektor ekonomi basis dalam masyarakat, maka dengan menekankan kepada pembangunan sektor pertanian dan perdesaan, berarti mengarahkan pembangunan kepada kepentingan masyarakat kebanyakan Indonesia. Terutama dalam rangka mengurangi pengangguran dan setengah pengangguran, pengentasan kemiskinan sehingga kebijakan ini dari segi pemerataan dalam pembangunan dapat tercapai.

3. Diberlakukannya otonomi daerah (desentralisasi). Dari konsep ekonomi, efisiensi Pareto dalam alokasi sumberdaya dapat dilakukan dengan memadukan kebijakan pemerintah pada suatu batas tertentu seperti target pemerataan melalui transfer, perpajakan dan subsidi; sedangkan proses selanjutnya diserahkan pada mekanisme pasar


(13)

4. Dengan menurunnya skala ekonomi di kawasan perkotaan ( yang umumnya berlokasi di daratan) menyebabkan paradigma pembangunan sebagian dapat bergeser dari orientasi pada daratan kepada orientasi kearah maritim sehingga tidak terjadi pengurasan yang berlebihan pada sumberdaya daratan.

2.4 Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt

Von Thunen mengemukakan teori dapat dijadikan model tata guna lahan sederhana, didasarkan pada satu titik permintaan dalam suatu lingkungan ekonomi pedesaan yang mempunyai struktur pasar sempurna baik pasar output maupun input. Selain itu diasumsikan bahwa seluruh wilayah dapat dijangkau tetapi terisolasi (tertutup), sehingga tidak ada eksport dan import. Berdasarkan asumsi tersebut, maka lokasi lahan akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran konsentrik dengan kota sebagai pusatnya sekaligus tempat pemukiman, kemudian diikuti oleh areal sawah, tegalan, kebun dan terakhir adalah hutan. Bentuk lingkaran tidak harus simetris, tetapi tergantung kepada akses jalan atau sungai.

Menurut Pakpahan dan Anwar (1989), teori ini merupakan model statis yang menghasilkan keseimbangan berdasarkan tiga parameter, antara lain harga jual, biaya produksi dan biaya angkutan. Sehingga kalau digunakan sebagai pedoman membuat keputusan lokasi lahan, memiliki beberapa kelemahan, salah satunya kelemahan adanya asumsi pasar sempurna, baik untuk input ataupun output karena adanya spatial monopoli. Model Von Thunen ini merupakan model awal yang penting sebagai peletak dasar untuk membuat model tata guna lahan yang lebih baik.


(14)

Untuk analisis serupa Von Thunen yang menggunakan di kawasan perkotaan, dilakukan oleh Burges. Burges menganalogikan pusat pasar dengan pusat kota

(Central Business District atau CBD). CBD merupakan tempat yang lebih banyak

digunakan untuk gedung pertokoan, bank dan perhotelan. Berbeda dengan Von Thunen yang menggambarkan pola kawasan untuk berbagai komoditi, bagi Burges pola tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi. Asumsi yang dipakai tetap sama. Semakin jauh dari kawasan CBD, nilai rent kawasan tersebut akan semakin kecil. Tetapi Burges menekankan pada faktor jarak komutasi ke tempat kerja dan tempat belanja merupakan faktor utama dalam tata guna lahan di perkotaan. Jadi Burges memusatkan pada tempat orang bermukim terhadap tempat bekerja dan belanja. Dalam area Burges, pusat area merupakan kawasan CBD, dikelilingi kawasan industri, kemudian kawasan perumahan kelas rendah. Lingkaran selanjutnya perumahan menengah kelas atas, terakhir kawasan pinggiran.

Homer Hoyt mengemukakan gagasan pengganti konsentrasi kawasan berdasarkan kedudukan relatif tempat kerja dan belanja terhadap tempat pemukiman. Pendekatan sektor menggambarkan jaringan transportasi yang dianggap homogen oleh Burges, diaplikasikan sesuai dengan keadaan jalan seperti kondisi jalan di Amerika Serikat pada waktu itu. Hasil analisis Hoyt adalah sistem jaringan transportasi seperti keadaan sebenarnya. Hoyt menyimpulkaan bahwa jaringan transportasi tersebut mampu memberikan jangkauan yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih murah terhadap kawasan lahan tertentu. Jika digambarkan dalam bentuk lingkaran kawasan, hampir sama dengan bentuk Burges, hanya bedanya model Hoyt lebih menekankan pada peran jaringan transportasi terhadap suatu lahan. Faktor


(15)

jaringan transportasi yang baik akan membuat kawasan perumahan kelas atas bersambung dengan kawasan CBD. Sedang lahan yang aksesnya kurang baik, akan dihuni oleh kelompok bawah yang letaknya diluar lingkaran kawasan grosir dan industri.

Kedua teori terakhir ini belum mampu menjelaskan hubungan fungsional antara ekonomi perkotaan disatu pihak dengan ekonomi pedesaan di pihak lain. Disamping itu teori-teori diatas belum mampu menjelaskan faktor-faktor yang biasa disebut faktor non ekonomi seperti zoning.

2.5 Teori Alfred Weber

Teori Weber biasa disebut teori biaya terkecil. Dalam teori tersebut Weber mengasumsikan bahwa; pertama, daerah yang menjadi objek penelitian adalah daerah yang terisolasi. Konsumennya terpusat pada lokasi- lokasi tertentu dan semua unit perusahaan dapat memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna.

Kedua, sumber daya alam tersedia secara tidak terbatas. Ketiga, barang-barang lain seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadik tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat. Keempat, tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi.

Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri yaitu : biaya transportasi, biaya tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi. Biaya trasportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan berat barang, sehingga titik lokasi yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan


(16)

segi tata guna lahan, model Weber berguna untuk merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah, pasar nasional dan pasar dunia. Dalam model ini fungsi tujuan biasanya meminimkan ongkos transportasi sebagai fungsi jarak dan berat barang yang harus diangkut (input dan output).

2.6 Land Rent Lokasi dan Sektor Ekonomi

Barlowe (1978) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi. Sehingga sektor-sektor tersebut berada dikawasan strategis. Sebaliknya, sektor-sektor-sektor-sektor yang kurang mempunyai nilai komersil, nilai land rent-nya semakin kecil. Land rent disini diartikan sebagai locational rent. Kalau digambarkan secara grafis, sektor-sektor yang strategis fungsinya lebih curam. Sebaliknya sektor yang kurang strategis fungsinya lebih mendatar.

Gambar di bawah menjelaskan hubungan antara land rent dengan lokasi kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, sektor A paling komersial maka kurvanya lebih curam, sehingga land-nya rent lebih tinggi, yaitu OE. Dalam gambar, lokasi OP* paling cocok untuk sektor A, sedang daerah lokasi P*P bisa saling bersubsitusi dengan sektor B yang relatif kurang komersial dibandingkan sektor A. Diluar OP tidak cocok untuk sektor A. Sebagai contoh sektor perbankan jelas tidak layak ditempatkan di kawasan yang sepi tetapi lebih cocok di kawasan komersial. Di lain pihak di daerah OP* bagi sektor selain sektor A, jelas kurang optimal penggunaannya ditinjau dari segi lokasi


(17)

Land Rent E F A

G B

C H

D

Pusat(O) P* P jarak dari pusat

Gambar 1. Hubungan Antara Land Rent, Jarak dari Pusat Pada Berbagai Sektor Ekonomi

Sumber : Anwar, 1993 .

2.7 Land Rent dan Pasar Lahan

Lahan, termasuk didalamnya lahan sawah dalam kegiatan produksi merupakan salah satu faktor tetap. Untuk dapat melihat nilai land rent dalam teori sumber daya disebut rente. Menurut Barlowe (1978), nilai rente sumber daya lahan dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sewa kontrak (contract rent), sewa lahan (land

rent) dan nilai rente ekonomi dari lahan (economic rent). Economic rent

didefenisikan sebagai surplus ekonomi, yang merupakan kelebihan nilai produksi total atas biaya total (Suparmoko, 1989). Sementara menurut Nasution (1990), land rent merupakan pendapatan bersih yang diperoleh suatu pelaku ekonomi melalui kegiatan yang dilakukan pada suatu unit ruang dengan tekhnologi dan efisiensi


(18)

management tertentu dan dalam suatu kurun waktu tertentu secara formal (biasanya satu tahun). Suparmoko (1989) menganalogikan land rent sama dengan economic rent .

Menurut Anwar (1990), suatu bidang lahan sekurang-kurangnya mempunyai empat bid ang rent yaitu : pertama Ricardian rent yakni menyangkut fungsi kualitas kesuburan dan kelangkaan lahan. Kedua locational rent yakni menyangkut fungsi eksesibilitas lahan. Ketiga ecological rent yakni menyangkut fungsi ekologi lahan

dan keempat sosiological rent yakni menyangkut fungsi sosial dari lahan. Namun

pada umumnya land rent yang merupakan cermin dari mekanisme pasar hanya mencakup Ricardian rent dan Locational rent. Sedang ecological dan sosiological rent tidak sepenuhnya terjangkau mekanisme pasar. Dengan demikian ditinjau dari sudut pandang masyarakat, secara hakiki mekanisme pasar gagal dalam mengalokasikan lahan secara optimal.

Secara teoritis alokasi pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan melalui beberapa mekanisme, yaitu :

1. penataan ruang oleh pemerintah melalui undang-undang 2. melalui mekanisme pasar

3. kombinasi antara pengaturan pemerintah dan mekanisme pasar

Menurut Nasution (1999) ketiga jenis tersebut mempunyai kekuatan dan kelemahan. Mekanisme pertama memerlukan pangkalan data yang menyeluruh, akurat serta sistem manajemen yang efisien dan hirarki pengambilan keputusan yang tidak ambigous. Kekuatan sistem ini adalah pencapaian tujuan penataan tanah yang dilakukan secara terkendali, umumnya membutuhkan biaya yang relatif besar.


(19)

Sebaliknya mekanisme pasar alokasi ruang (lahan) biaya formalnya relatif kecil, tetapi jika ditinjau dari titik pandang masyarakat, mekanisme pasar cenderung mengakibatkan missalokasi sumber daya lahan. Misalokasi ini terjadi karena struktur pasar sumber daya lahan tidak sempurna. Mekanisme ini juga tidak mampu mencakup penilaian eksternalitas. Oleh sebab itu mekanisme ketiga seringkali lebih

feasible untuk diterapkan.

Kegagalan mekanisme pasar khususnya pasar lahan sangat merugikan pem-bangunan yang dilaksanakan di Indonesia. Terutama jika ditinjau dari perspektif jangka panjang. Hal ini dikarenakan opportunitas penggunaan lahan relatif sangat besar. Lahan, khususnya lahan sawah tipologi penggunaanya sangat strategis bagi Indonesia.

2.8 Kota sebagai Pusat Pertumbuhan dan Konversi Lahan

Kota timbul dan berkembang, melalui proses yang oleh Hoteling disebut proses aglomerasi. Mengumpulnya usaha-usaha sejenis menimbulkan penghematan-penghematan interen dan eksteren yang menyebabkan terjadinya keuntungan akibat pertukaran, tersedianya berbagai pasar termasuk pasar kapital, tenaga kerja dan sebagainya. Pusat-pusat kawasan tersebut merupakan sumber pertumbuhan bahkan merupakan prasyarat bagi suatu transisi perekonomian di kawasan pedesaan (rural)

yang umumnya didominasi sektor pertanian kepada suatu perekonomian yang maju, dimana terdapat produktivitas yang tinggi dan berbagai aktivitas yang luas.


(20)

penghubung (transmitter) masuknya pemikiran-pemikiran maupun tindakan yang berasal dari luar. Kemudian sistem transportasi yang dibangun untuk menghubungkan kawasan kota dengan hinterland merupakan faktor pendorong berkembangnya kedua kawasan. Melalui proses waktu, semakin berkembangnya kota induk akan mengembangkan kawasan penyangga menjadi kota-kota kecil. Lewat suatu proses aglomerasi ganda, maka antara kota induk dan kota kecil tersebut akan saling bisa menyatu. Hal ini menurut Anwar (1994) terjadi karena faktor transportasi dan “ketidakmampuan” kota induk memenuhi tuntutan kebutuhan warganya, terutama dalam menyediakan lahan untuk pemukimam tempat tinggal dan tempat bekerja. Sehingga kawasan penyangga menjadi sangat penting, baik oleh kemungkinan tersedianya lahan, lingkungan yang bersih dan lahan-lahan di kota induk menjadi langka, sulit didapat serta mahal harganya.

Terjadinya aglomerasi ganda serta bergabungnya dua kota yang didorong oleh perbaikan sistem transportasi mendorong terjadinya perubahan tata guna lahan terutama perubahan tersebut menyangkut pengalihan lahan- lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian di pinggiran wialayah urban atau di dekat akses transportasi. Proses terbentuknya kota inti secara berganda tersebut bisa terjadi untuk kota besar seperti JABOTABEK, hingga kota-kota kecil dengan kawasan penyangga di sekitarnya. Proses tersebut sangat penting pengaruhnya terhadap pola perubahan tata guna lahan, termasuk perubahan lahan sawah menjadi non-pertanian. Proses terbentuknya kota inti digambarkan dalam gambar berikut :


(21)

Rent

Jarak Keterangan :

1 = kawasan komersial/finansial 4 = kawasan pertanian 2 = kawasan industri = jalan kereta

3 = kawasan perumahan = jalan raya

Gambar 2. Pembentukan Kota Inti Secara Berganda

Proses aglomerasi kota mendorong terjadinya suatu proses yang oleh Gunar Myrdal (Jinghan, 1988) disebut spread effect dan backwash effect. Spread effect

menunjuk pada dampak momentum pembangunan yang merugikan secara sen-trifugal dari pusat pengembangan ekonomi ke wilayah-wilayah lainnya. Dorongan tersebut berbentuk pertambahan permintaan dari daerah yang kaya terhadap produksi barang dan jasa seperti hasil pertanian, industri rumah tangga dan sebagainya dari kawasan hinterland tersebut. Sebaliknya melalui proses backwash effect, justru


(22)

terjadi proses penyedotan berbagai faktor input seperti tenaga kerja potensial, faktor kapital bahkan sumber daya potensial lain.

Kaum klasik percaya bahwa proses aglomerasi melalui mekanisme pasar akan meratakan pembangunan antar wilayah. Myrdal berkeyakinan bahwa kawasan maju akan mengalami proses eksternal diseconomics, karena terjadi misorganisasi, lalu lintas macet, lingkungan yang semakin rusak bahkan kejahatan semakin subur akibat tekanan penduduk yang semakin tinggi. Akibatnya pemukim-pemukim golongan mapan keatas maupun perusahaan membutuhkan kawasan baru yang akan menjadi kawasan pertumbuhan baru nantinya.

Seluruh rangkaian proses ini memungkinkan terjadinya realokasi lahan ter-masuk lahan sawah khususnya di sekitar kawasan pertumbuhan. Karena lahan se-perti lahan sawah mempunyai land rent per satuan luasnya lebih rendah, kemudian dialokasikan kesektor lain yang land rent-nya tinggi. Tekanan yang lebih luas khususnya akan terjadi didaerah pertanian yang dekat kawasan pertumbuhan.

Selain akan terjadi ketidakseimbangan antara wilayah kota dengan desa, yang lebih mendasar justru di dalam kawasan pertumbuhanpun akan terjadi kemampetan aliran manfaat dalam sektor-sektor strategis dari pemilik faktor produksi. Pemilik faktor kapital, tekhnologi dan management akan memperoleh rent yang lebih tinggi dibandingkan pemilik faktor produksi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja kasar yang jumlahnya merupakan mayoritas. Semakin rendah mutu tenaga kerja, jika persediannya besar, maka mekanisme pasar bebas akan membenarkan mereka untuk memperoleh upah yang rendah bahkan dibawah tingkat minimal (karena upah merupakan cerminan produktivitas).


(23)

Kondisi tersebut akan ber implikasi pada kesenjangan yang semakin melebar. Tetapi pada jangka pendek, kesenjangan ini akan merangsang pertumbuhan eko-nomi yang semakin besar dan realokasi lahan yang besar juga. Hal ini dimungkinkan karena proses diatas akan melahirkan tiga kelompok masyarakat yaitu :

1. Masyarakat kelompok elit, kaya dan makmur. Mereka mengkonsumsi barang dan jasa yang berlebih dan berkualitas, tinggal di pemukiman nyaman dan jauh dari kebisingan. Mereka juga membutuhkan perluasan usaha sebagai akibat dari akumulasi kapital.

2. Masyarakat kelompok menengah umumnya yang membutuhkan kawasan pemukiman yang memadai dan cukup berkualitas di kawasan baru (perumahan hingga real estate). Konsumsi barang dan jasa mereka, akibat

Demand Effect, semakin besar seiring dengan pertumbuhan ekonomi

kawasannya.

3. Masyarakat kelompok yang hanya mampu mengkonsumsi pada tingkat marginal dan berada di kawasan kumuh atau tersingkir jauh dari pusat pertumbuhan sesuai dengan kemampuan ongkos sewa, ongkos transport dan daya beli mereka.

Secara sederhana hubungan antara kota sebagai pusat pertumbuhan dengan konversi lahan digambarkan sebagai berikut :


(24)

Gambar 3. Hubungan Perkembangan Kota dan Konversi Lahan

2.9 Aspek Ekonomi Sumber Daya Lahan

Sumberdaya lahan mempunyai peran yang semakin penting dalam kehidupan manusia karena pertumbuhan penduduk yang tinggi akan terus memberi tekanan-tekanan kepada permintaannya. Sementara dari sisi persediaan (supply) sumber daya lahan bersifat tetap. Dengan berkembangnya ekonomi dan pertambahan populasi penduduk serta meluasnya kegiatan ekonomi di luar pertanian, maka penggunaan

Eksternal ekonomi Internal ekonomi

Decreasing Cost of Return Aliran manfaat tersumbat Kelas bawah mayoritas Kelas menengah Kelas elit Dis-ekonomi ekstrem (kota

kumuh)

1. Tenaga kerja produktif 2. Barang & jasa primer semakin turun nilai-nya 3. Barang & jasa kota yang semakin naik nilai tukarnya Spread effect Backwash effect Kesenjangan desa terhadap kota semakin besar

1. perluasan usaha baru 2. sarana sosial ekonomi 3. perumahan & real estate

1. Membutuhkan lahan baru

2. Timbul kota baru

Konversi lahan sawah

Kawasan perdesaan dan wilayah pinggiran elit dan menengah berintegrasi ke kota. Kelas bawah semakin menyingkir ke pinggiran atau migrasi ke kawasan kumuh

A L I H U S A H A Over Migrasi


(25)

lahan- lahan semakin bersaing, misalnya untuk penggunaan industri, pemukiman, perdagangan, infrastruktur dan lain-lain (Anwar, 1994).

Secara ekonomi manajemen pemanfaatan ruang memperhatikan kapasitas penggunaan ruang, khususnya bila ditinjau dari penggunaan lahan dan lingkungan bagi suatu tujuan tertentu yang terdefinisikan. Dan tujuan manajemen sumber daya lahan dan lingkungan adalah untuk mencapai “highest and best use” yaitu prinsip penggunaan alokasi sumber daya lahan yang terbaik dan yang memberikan nilai yang tertinggi (Winoto, 1998). Tujuan yang dimaksud ini harus senantiasa diletakkan dalam perspektif tujuan rumah tangga, tujuan masyarakat dan tujuan wilayah atau nasional. Kapasitas penggunaan lahan mencerminkan kemampuan re-latif sumber daya lahan untuk menghasilkan kepuasan. Secara ekonomi konsep ini diartikan sebagai land rent atau surplus ekonomi yang dapat dihasilkan oleh penggunaan lahan berdasarkan struktur biaya yang dikembangkan. Konsep ini memperhitungkan semua faktor yang mempengaruhi kemampuan lahan, seperti aksebilitas dan kualitas sumber daya lahan dan lingkungan. Penggunaan lahan ter-tinggi dan terbaik (highest and

best use ) diukur dari kemampuan lahan dalam memberikan kepuasan tertinggi bagi

pengelolanya baik dari perspektif rumah tangga, masyarakat maupun wilayah nasional. Ada tiga pengertian “highest and best use” sumber daya lahan yait u secara fisik, ekonomi dan sosial. Secara fisik konsep ini hanya memperhatikan jenis penggunaan yang memberikan kuantitas produksi tertinggi. Secara sosial, konsep ini mengarahkan penggunaan (alokasi) sumber daya lahan dan lingkungan yang memberikan nilai sosial yang tinggi.


(26)

Perubahan penggunaan lahan merupakan bagian dari proses urbanisasi. Hal ini dikarenakan dalam memenuhi kebutuhan manusia akan pangan, sandang, papan, aminity dan kebutuhan dasar lainnya memerlukan lahan baik sebagai faktor produksi maupun sebagai ruang yang mewadahi aktivitasnya (Nasution dan Saefulhakim, 1995). Davis dalam Rustiadi (1996) beberapa issue pokok tentang penggunaan lahan. Salah satu masalahnya adalah persaingan penggunaan lahan untuk aktivitas perkotaan dan pertanian di pinggiran kota dan pedesaan. Persaingan ini terjadi akibat urbanisasi dan industri yang begitu pesat, sehingga lahan yang baik dengan produktivitas yang tinggi terkonversi ke penggunaan aktivitas urban.

Konversi lahan sebagai bagian dari proses suburbanisasai berkaitan dengan terjadinya alih fungsi dan alih penguasaan lahan. Hal ini berarti mengandung konsekuensi menyempitnya lahan yang dimiliki masyarakat setempat, sehingga akan memberi dampak yang besar terhadap tingkat kehidupan masyarakat sekitarnya. Selanjutnya bahwa penggunaan lahan di pinggiran perkotaan seringkali dicirikan dengan yang melibatkan berbagai komunitas/masyarakat dari para pemilik lahan, para pengembang, bahkan juga pemerintah lokal. Berbagai konflik tersebut sering diakhiri dengan pengusiran terhadap penghuni lama (pemilik lahan).

2.10 Kaitan Antara Penggunaan Lahan dengan Ekonomi

Hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan antara penggunaan lahan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, dengan menggunakan Model

simulasi memberikan hasil estimasi parameter yaitu: 1) peningkatan penduduk


(27)

pekarangan dan bangunan sebesar 0,87%, tambak, kolam, tebat dan empang sebesar 5,42% serta lahan terlantar sebesar 7,42%. 2) peningkatan lahan pekarangan dan bangunan sebesar 1% akan menyebabkan terjadinya konversi lahan terlantar sebesar 0,84%. 3) pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan harga tetap di Indonesia sebesar 1% akan menyebabkan peningkatan terhadap lahan sawah sebesar 0,38% serta lahan pekarangan dan bangunan sebesar 0,60% tetapi akan menyebabkan konversi terhadap lahan perkebunan sebesar 0,27%, dan lahan terlantar sebesar 0,64%. Hal ini menunjukkan peranan kontribusi lahan sawah terhadap perekonomian cukup besar, begitu juga dengan lahan terlantar, bahwa apabila ingin adanya peningkatan dalam PDB maka luasan lahan terlantar yang merupakan lahan tidak produktif harus dapat ditekan sehingga menjadi lahan yang lebih produktif. 4) peranan perkebunan swasta besar dan pemerintah terhadap konstribusinya dalam peningkatan pertumbuhan PDB adalah kecil. Hal ini disebabkan karena banyaknya perkebunan swasta yang izinnya telah keluar, namun ternyata ditelantarkan (hingga tahun 2004. 5) peningkatan lahan sawah sebesar 1% menyebabkan terjadinya konversi terhadap padang rumput sebesar 0,89%. Tetapi terhadap tambak, kolam, tebat dan empang mengakibatkan terjadinya peningkatan sebesar 0,96%. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan peningkatan lahan sawah di Indonesia, akan menggunakan lahan padang rumput, yang apabila kita lihat berdasarkan kecenderungan pergeseran lahan sawah ke luar Jawa, maka kondisi ini menunjukkan bagaimana pembukaan lahan sawah di luar Jawa akan membutuhkan biaya yang lebih besar, untuk sistem irigasi.


(28)

2.11 Konversi Lahan Pertanian dan Kaitannya dengan Kinerja Pembangunan Ekonomi

Selama periode 1979-1999 laju pertumbuhan pertanian menunjukkan penurunan yaitu dari 5,60% menjadi 2,73 %, sektor non pertanian menunjukkan terjadinya peningkatan dari 6,25% menjadi 8,37%. Penurunan pertumbuhan sektor pertanian ini, berkaitan dengan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian sebesar 1,55 juta Ha, seiring dengan peningkatan penduduk perkotaan di Indonesia yang cukup signifikan dari 26,2% menjadi 42,1%. Konversi lahan pertanian, merupakan konsekuensi perluasan kota yang membutuhkan lahan untuk pertumbuhan ekonomi kota. Lahan pertanian mengasilkan land rent yang lebih rendah dari penggunaan lahan industri, sehingga penggunaan lahan pertanian akan digeser oleh lahan industri. (berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2004) bahwa nilai land rent untuk penggunaan pertanian 1:500 dan untuk perumahan dan kawasan industri sebesar 1:622, sehingga konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya tidak dapat dicegah.

2.12 Faktor-Faktor Utama Pemicu Konversi Lahan Sawah

Suatu fenomena konversi lahan dapat dijelaskan dengan menggunakan teori land rent. Dengan pendekatan linier diterministik dari teori land rent, gambar dibawah mampu mengilustrasikan secara sederhana tentang fenomena konversi lahan dari penggunaan a menjadi penggunaan b dan a’.


(29)

land rent (Rp/ha/thn) LR a’

LR a

a a’ LR b

b

jarak (km) J b

lokasi J ab J a’ utama J a J a’ b

Gambar 4. Land Rent dan Fenomena Konversi Lahan Sumber : Saefulhakim dan Nasution (1996)

Rumus umum dari land rent untuk suatu penggunaan lahan dapat dinyatakan sebagai berikut :

LRi = Pi (Hi – Bi – ti Ji)

LRi : Land rent dari penggunaan (Rp/ha/tahun)

Pi : Produktivitas komoditas (t/ha/tahun)

Hi : Harga dari komoditas i di pusat pemasaran (Rp/tahun)

Bi : Biaya produksi komoditas i (Rp/tahun)

ti : Biaya untuk transportasi komoditas i ke pusat pasar (Rp/tahun/km)


(30)

Sebagian lahan akan dibudidayakan dengan suatu komoditas tertentu, apabila pembudidayaan komoditas tersebut dapat memberikan land rent yang positif. Dengan menggunakan prinsip bahwa suatu aktivitas budi daya adalah mencari nafkah untuk memenuhi budget kehidupan keluarga (misalnya keluarga tani), maka land rent tersebut akan positif manakala nilainya lebih besar dari nilai minimum fungsi budget tersebut. Apabila tersedia lebih dari satu kemungkinan alternatif komoditas yang dapat dibudidayakan, maka sebidang lahan akan dibududayakan dengan komoditas yang dapat memberikan land rent yang lebih tinggi. Dengan menggunakan prinsip dasar ini, untuk kasus komoditas a dan b seperti gambar diatas, akan terjadi pola penggunaan lahan sebagai berikut :

1. Pada kondisi awal komoditas a akan dibudidayakan sampai dengan radius J ab km dari pusat pasar, sedangkan komoditas b dibudidayakan di luar radius J ab tersebut sampai dengan radius J b.

2. Bila kurva land rent dari komiditas a bergeser ke a’, maka areal budidaya a meluas dari radius J ab menjadi J a’b. Dalam hal ini sejumlah luasan tertentu dari penggunaan lahan b akan dikonversikan ke penggunaan a.

Menurut Saefulhakim dan Nasution (1996) ada beberapa faktor utama pemicu konversi lahan sawah sebagai berikut :

1. Perkembangan Standard Tuntutan Hidup

Petani akan cenderung mengkonversikan sawahnya ke penggunaan lain apabila pembudidayaan sawah tersebut tidak mampu memberikan land rent yang dapat memenuhi perkembangan standard hidup tuntutan hidupnya.


(31)

Petani akan cenderung mengkonversikan sawahnya ke penggunaan lain apabila harga-harga dari komoditas yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah (misalnya padi dan palawija) tetap lebih rendah.

3. Struktur Biaya Produk

Biaya produksi dari aktivitas budi daya lahan sawah yang semakin mahal akan cenderung memperkuat proses pengkonversian lahan sawah ke penggunaan lain. Salah satu factor pendorong meningkatnya biaya produksi ini adalah berkaitan dengan skala usaha. Pengusahaan lahan yang sempit tidak mampu menangkap apa yang dikenal dengan economies of scale. Tanpa adanya introduksi kelembagaan, semakin menyempitnya skala penguasaan lahan, akan berimplikasi pada semakin tidak efisiennya usaha pertanian petani. Pengkonversian lahan-lahan ini ke penggunaan lain yang jauh lebih efisien menjadi susah untuk dielakkan.

4. Tekhnologi

Kemandegan perkembangan tekhnologi intensifikasi terutama pada penggunaan lahan yang permintaannya terus meningkat (seperti perumahan seiring dengan perkembangan penduduk, areal bisnis dan industri seiring dengan laju transformasi struktur perekonomian), akan mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses ekstensifikasi dari penggunaan lahan demikian yan gakan terus mendorong proses konversi lahan sawah.

5. Aksesibilitas

Pengembangan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi meningkatnya aksesibilitas lokasi (menekan satuan biaya transportasi), akan lebih mendorong


(32)

(seperti pemukiman, areal bisnis dan industri). Penggunaan lahan yang mempunyai bidrent curve yang lebih landai (seperti umumnya kegiatan pertanian termasuk wilayah didalamnya akan semakin tersingkir).

6. Risiko dan Ketidakpastian

Land rent dari penggunaan lahan akan melibatkan aspek risiko dan ketidakpastian dari segi produksi, harga maupun keuntungan bisnis. Tingkat resiko dan ketidakpastian yang lebih tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga dan keuntungak sehingga nilai harapan land rent menjadi rendah. Dengan demikian, penggunaan lahan yang mempunyai tingkat resiko dan ketidakpastian yang lebih tinggi cenderung dikonversikan ke penggunaan lahan lain yang tingkat resiko dan ketidakpastian lebih rendah.

7. Tanah Sebagai Asset

Pandangan atas tanah sebagai asset (walaupun tanpa pemanfaatan) lebih memperunyam proses konversi. Dalam hal ini nilai lahan sebagai akibat potensi produksi, kelangkaan dan aksesibilitasnya dipandang sebagai milik pribadi penguasa lahan. Padahal, nilai lahan sebagai turunan dari ketiga factor ini sma sekali tidak melibatkan usaha manusia secara pribadi. Potensi produksi adalah alamiah. Kelangkaan dan aksesibilitas tercipta karena perkembangan ekonomi masyarakat secara keseluruhan dalam pembangunan. Karena system kepemilikan seperti ini dalam hal lahan tidak ada, maka muncullah berbagai fenomena spekulan tanah yang mengkonversikan lahan- lahan pertanian (termasuk lahan beririgasi) ke penggunaan lain yang tidak jelas (dibeli hanya untuk mengejar rent).


(33)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

Proses pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, akan menciptakan faktor pendorong (push factor) maupun faktor penarik (pull factor) yang mampu menimbulkan migrasi. Hal ini dimungkinkan karena tempat dan awal pertumbuhan adalah kawasan perkotaan dengan dukungan hinterland sawah. Perubahan struktural melalui pertumbuhan ekonomi lewat kawasan perkotaan tersebut, diharapkan mampu menjawab tantangan pertumbuhan angkatan kerja baru. Sehingga dalam proses tersebut terjadi proses pembentukan lahan terutama lahan yang berada di kawasan kota. Artinya pada tahap ini terjadi pendesakan lahan- lahan pertanian oleh aktivitas non-pertanain yang semakin tumbuh dan berkembang lewat proses aglomerasi.

Selama sawah merupakan kawasan hinterland bagi kota, maka sawah tersebut masih bisa diharapkan terus kontribusinya, dan kawasan kota tersebut akan terus dipacu perkembangannya. Sebaliknya jika sawah menunjukkan semakin kurang nilai ekonomisnya, maka intesitas pendesakan terhadap sawah tersebut akan semakin cepat. Hal tersebut akan menimbulkan banyak masalah; selain terhadap petani juga yang tidak kalah penting terhadap lingkungan.

Kondisi sektor pertanian di perdesaan yang kurang menguntungkan tersebut terlihat dari indikator meningkatnya jumlah petani gurem (9,53 juta rumah tangga tahun 1983 menjadi 10,94 juta tahun 1993), serta transformasi tenaga kerja di


(34)

dari 34,1 % menjadi 19 % pada tahun yang sama, tetapi sektor tersebut menanggung 50 % dari tenaga kerja yang ada. Sebaliknya sektor industri hanya menampung sekitar 20 % sementara sumbangannya terhadap PDRB terus meningkat. Tidak berkembangnya upah riil di pedesaan dapat dijadikan indikator bahwa kesempatan kerja di pedesaan adalah sangat terbatas. Menurunnya peranan pangan sebagai sumber pendapatan masyarakat juga mengisyaratkan bahwa peranan padi yang selama ini menjadi tumpuan peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan di perdesaan tidak lagi dapat diandalkan.

Kondisi tersebut pada akhirnya akan mendorong penduduk perdesaan mulai beralih ke sektor non-pertanian. Maka salah satu alternatifnya adalah mereka melakukan migrasi atau bekerja ke sektor informal, baik di perdesaan ataupun di perkotaan. Karena sektor pertanian kurang memberi insentif, maka suatu hal yang lumrah jika para petani menjual sawah / lahannya atau bahkan mengkonversi lahan tersebut menjadi lahan non-pertanian.

Pertumbuhan ekonomi dan industri yang lamban di perdesaan semakin memperkecil pangsa sektor pertanian termasuk sub sektor pangan, mendorong penduduk perdesaan melakukan migrasi. Hal tersebut akan semakin memperberat tekanan penduduk kawasan perkotaan. Beratnya tekanan penduduk akan menimbulkan proses alokasi lahan terutama di kawasan perkotaan yang semakin padat, melalui kawasan pinggiran kota.

3.1 Faktor Penentu Konversi Lahan Secara Wilayah

Secara teoritis konversi lahan sawah ke penggunaan lahan tidak terlepas dari berbagai faktor ekonomi secara keseluruhan maupun faktor demografis.


(35)

Berdasar-kan atas asumsi persediaan lahan tetap, maka pertumbuhan ekonomi yang tercermin oleh tumbuhnya beberapa sektor ekonomi akan membutuhkan banyak lahan baru. Apabila lahan sawah tersebut berada di dekat pusat pertumbuhan ekonomi, terutama dekat kawasan perkotaan, maka secara langsung atau tidak langsung, lahan pertanian akan dikonversikan ke arah penggunaan lain seperti pemukiman, industri, maupun sarana prasarana. Hal ini disebabkan oleh karena rent per satuan luas lahan yang diperoleh oleh aktivitas baru akan lebih tinggi dari sektor pertanian. Secara logika, hal ini berimplikasi pada terjadinya realokasi lahan yang semakin cepat dan meluas.

Mengingat produktivitas sektor pertanian relatif rendah, dilain pihak nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor lain semakin menurun, maka jumlah pekerja di sektor pertanian cenderung menjadi pengangguran tidak kentara. Akibatnya secara teoritis proporsi tenaga kerja pertanian terhadap total pekerja diduga berkorelasi dengan konversi lahan sawah secara negatif, artinya semakin besar proporsi pekerja pertanian tersebut, justru akan mengurangi proporsi sawah secara keseluruhan.

Di Kabupaten Bogor, sebagai daerah penelitian, kondisi mobilitas barang dan jasanya relatif tinggi. Implikasinya adalah pada orientasi kebijaksanaan swasembada pangan akan bersifat lebih relatif, bukan swasembada pangan absolut. Kebijakan ini lebih mementingkan kepentingan untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini berpengaruh terhadap kebijaksanaan proporsi sawah yang diperlukan oleh suatu wilayah. Secara empirik kebijaksanaan ini diperlukan dalam rangka menghadapi perluasan kota. Implikasi selanjutnya justru tingkat migrasi lewat proses reaklafikasi


(36)

ini, artinya bahwa tidak setiap wilayah yang padat penduduknya berpotensi mempunyai permintaan efektif yang besar terhadap lahan sekitarnya. Jadi hanya kawasan padat di sekitar kota yang berpotensi mempunyai permintaan efektif kuat terhadap lahan. Faktor tersebut diduga mempengaruhi terjadinya konversi lahan secara agregat. Berdasarkan hal ini diduga pula hanya pertumbuhan penduduk perkotaan saja yang mempunyai peranan proses konversi lahan sawah di sekitarnya.

Untuk kasus kabupaten Bogor juga, dikarenakan pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia terpusat di Jakarta, maka Jakarta dengan sendirinya menjadi penarik bagi para pendatang untuk bekerja disana. Sebagai konsekwensinya masyarakat pendatang yang secara ekonomis tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya di Jakarta ataupun penduduk Jakarta sendiri yang tergusur, maka Bogor ( baik kabupaten ataupun kota) menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk dijadikan tempat tinggal. Sebagai akibatnya konversi lahan di Bogor tidak lagi dapat dibendung.

Petani dan Konversi Lahan Sawah

Sektor pertanian cenderung mendasarkan diri pada Ricardian rent, yaitu rent lahan karena kesuburannya; dimana untuk kasus Indonesia, merupakan lahan sawah beririgasi yang umumnya cocok untuk tanaman pangan seperti padi dan palawija. Tetapi permasalahannya menjadi rumit karena ada beberapa masalah mendasar. Sebagaimana yang telah diterangkan dalam tinjauan makro, yaitu semakin banyaknya petani gurem, sektor pertanian sudah tidak bisa diandalkan untuk peningkatan pendapatan. Apalagi ditambah dengan upah di pedesaan yang sudah


(37)

tidak dapat diandalkan lagi, sehingga di tingkat rumah tangga petani, pertanian tidak lagi menjadi sandaran untuk mendapatkan penghasilan. Permasalannya menjadi semakin kompleks, karena lahan sawah berada di daerah pertumbuhan , sehingga nilai rent lahan semakin tinggi karena faktor lokasi. Masuknya nilai locational rent

cenderung mempertinggi nilai rent secara keseluruhan. Secara toritis suatu kawasan yang potensial secara lokasi, walaupun kondisinya subur, dalam pasar bebas akan cenderung memperbesar dorongan relokasi lahan untuk penggunaan kegiatan yang menghasilkan rent tertinggi.

3.3 Dampak Konversi Lahan Sawah

Secara makro masalah konversi lahan sawah adalah suatu dilema dan aplikasinya sering menjadi kontradiktif. Di satu pihak diizinkan untuk melakukan konversi lahan, padahal nilai opportunitas lahan sawah tersebut sangat tinggi. Di lain pihak ada usaha pencetakan sawah baru sebagai usaha penggantian sawah yang telah dikonversi tersebut. Seperti telah diketahui biaya mencetak sawah sangat mahal per hektarnya, apalagi potensi lahan yang tersedia untuk pencetakan tersebut sangat bersifat spekulasi. Akibatnya proses konversi lahan sawah ke non-pertanian jelas mengurangi kemampuan swasembada beras karena berkurangnya kemampuan produksi dan produktivitas pangan khususnya padi. Untuk itu dicoba melihat dampak konversi lahan terhadap produktivitas lahan tersebut.

Proses konversi lahan sawah dari sisi petani diduga banyak melibatkan apa-rat pemerintah, yang sering membuat permasalahan baru (kolusi) dengan calon pembeli.


(38)

management pengelolaan uang hasil lahan. Diduga proses konversi lahan sawah oleh petani banyak mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan petani.

Selain itu konversi lahan sering menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil. Mulai dari rusaknya lingkungan, hilangnya daerah resapan air, hingga ling-kungan yang tidak nyaman. Semua kerusakan ini pada akhirnya merupakan biaya yang harus ditanggung masyarakat sekitar.

3.4 Disparitas Penguasaan Lahan Pertanian

3.4.1 Penurunan Skala Penguasaan Lahan Pertanian

Tahun 1983, persentase usaha tani yang termasuk kelompok penguasaan lahan gurem (kurang dari 0,5 ha) mencapai 40,8% dari total usaha tani. Proporsi ini meningkat menjadi 48,5% dalam waktu 10 tahun kemudian (1993), dan meningkat lagi menjadi 55,11% pada tahun 2003. Peningkatan persentase usaha tani ini diperparah dengan menurunnya angka luasan rata rata usaha tani gurem dari 0,26 ha menjadi 0,17 ha. Luas lahan yang dikuasai rumah tangga pertanian yang ada di Jawa pada tahun 1993 umumnya lebih kecil dari pada di luar Jawa. Sebagian besar rumah tangga pertanian di Jawa menguasahakan lahan pertanian dibawah 0,50 hektar. Sementara untuk luar Jawa penguasaan lahan rata-rata antara 0,50- 1,00 hektar.


(39)

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 Sumu t Sumb ar Riau Jamb

i Sums el Beng kulu Lamp

ung Babe

l DKI

Jaba r

jate ng DIY

Jart im

Bant

en Bali NTB NTT Kalb ar kalt eng Kals el Kal

tim Suku t Sult

engh Suls el Sult engg Goro ntal o malu ku malu t Papu a Tahun 1993 Tahun 2003

Gambar 5 : Perbandingan Pertumbuhan Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan dan Rumah Tangga Petani Gurem Tahun 1993 dan Tahun 2003 (%/10tahun)

Sumber: Hasil Sensus Pertanian 2003.

3.4.2 Ketimpangan Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian

Rata-rata gini ratio kepemilikan lahan pertanian di Indonesia adalah sebesar 0,479%, dan Jawa sebesar 0,460 serta luar Pulau Jawa sebesar 0,469. Gini ratio di pulau Jawa dan Papua adalah lebih rendah, yaitu DKI 0,299, Jawa barat 0,267, Jawa tengah 0,198 DIY 0,295, Jawa timur 0,38, Papua 0,292. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi kepemilikan lahan untuk provinsi yang berada di Pulau Jawa dan Papua adalah merata, dibanding dengan provinsi lainnya di Indonesia kecuali Pulau Bali, yang gini rationya bahkan mencapai 0,89 (distribusi kepemilikan lahan adalah sangat tidak merata). Meskipun distribusi kepemilikan lahan lebih merata untuk provinsi di Pulau Jawa dan Papua, namun rata-rata mempunyai skala kepemilikan lahan yang kecil (70% berada dibawah 0,5%) bahkan mengalami polarisasi.

Skala kepemilikan lahan yang semakin kecil terjadi karena 1) sistim pewarisan, sehingga lahan yang ada harus dibagi-bagi menjadi terfragmentasi, 2) kepemilikan lahan yang kecil secara ekonomis adalah tidak dapat diandalkan sebagai pertahanan hidup bagi petani, sehingga timbul keinginan untuk menjualnya, 3) spekulan lahan yang semakin meningkat, yang berusaha mendapatkan lahan pertanian


(40)

dengan harga yang murah sebagai akibat informasi yang diterima petani tidak sempurna (asymetris information) terutama pada lahan- lahan pertanian yang berada pada kawasan pinggiran kota yang tinggi perkembangannya. Hal ini sependapat dengan Lipton (1977) dalam Anwar dan Rustiadi (2000) bahwa kaum elit di kawasan urban mempertahankan keadaan perdesaan tetap lemah dalam posisi bargaining, yaitu dengan mengorganisasikan dan mengendalikan kekuasaaan politik dan ekonomi.

3.5 Dampak Disparitas Penguasaan Lahan terhadap Pendapatan Petani 3.5.1 Rumah Tangga Petani dan Pendapatan Petani di Indonesia

Tingkat pertumbuhan rumah tangga di Indonesia dari tahun 1993 sampai 2003 rata-rata adalah sebesar 2,46% per tahun, sementara rumah tangga pertanian peningkatannya adalah sebesar 2,10% per tahun. Lebih rendahnya tingkat pertumbuhan rumah tangga petani untuk Jawa (1,81% per tahun) dibanding dengan luar Jawa (2,45% per tahun), mengindikasikan bahwa penduduk di Jawa lebih cepat tingkat transformasinya ke sektor non pertanian dibanding dengan luar Jawa.

Meskipun jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia meningkat, persentase banyaknya rumah tangga pertanian terhadap banyaknya rumah tangga justru menurun dari 50,45% (tahun 1993) menjadi 48,66% (tahun 2003). Data ini sepintas menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama dari sebagian besar penduduk Indonesia.

Penerimaan upah dan gaji serta pendapatan yang diterima rumah tangga petani dibandingkan dengan rumah tangga lainnya menunjukkan bahwa tenaga kerja di


(41)

sektor pertanian merupakan jenis pekerjaan yang tidak mempunyai pilihan lain (merupakan alt ernatif apabila di sektor lain tidak tersedia lapangan kerja). Rumah tangga petani tahun 2003 mencapai 25,58 juta KK (48,67%), jika dihubungkan dengan rata-rata upah dan gaji tenaga kerja pertanian Rp 4,14 juta/tahun dan Rp 5,13 juta/tahun yang merupakan penerima upah yang paling rendah, menunjukkan bahwa hampir setengah dari penduduk Indonesia berpenghasilan rendah. Sedangkan tenaga kerja profesional, teknisi, manager dan militer merupakan penerima upah dan gaji yang paling tinggi yaitu sekitar Rp 14 juta.

3.5.2 Dampak Disparitas terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Ada kaitan yang significant antara pemerataan penguasaan lahan (equity) dengan pertumbuhan ekonomi, artinya apabila terdapat kondisi disparitas penguasaan lahan (inequity) maka akan menghambat pertumbuhan ekonomi (Deininger dan Olinto, 2000) Untuk itu perlu perhatian yang lebih terhadap akses lahan bagi rumah tangga petani. Selama ini ketimpangan hanya dibahas pada sisi pendapatan saja yang implikasinya terhadap distribusi income. Namun yang lebih penting adalah memahami akar permasalahnnya, yaitu pentingnya distribusi akses lahan bagi petani. hasil indeks gini ratio kepemilikan lahan menunjukkan bahwa pada umumnya distribusi aset lahan di Indonesia adalah tidak merata (rata-rata 0,45). Bahkan untuk provinsi Bali indeks gini ratio mencapai 0,9 yang menunjukkan bahwa kondisinya distribusi kepemilikan lahan adalah sangat timpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia khususnya pertanian, sedang mengalami hambatan


(42)

menunjukkan angka yang lebih kecil yang berarti adalah lebih merata, namun kondisinya adalah merata dalam skala kepemilikan yang kecil-kecil (seperti di Jawa Timur rumah tangga yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar pada tahun 2003 mencapai 72,60 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun ada pemerataan aset, namun dengan skala kepemilikan yang kecil maka economies of scale tidak akan tercapai, sehingga hasil usaha tani pada kondisi tersebut adalah merugi.

3.6 Fragmentasi Lahan dan Kepemilikan Lahan

Dalam satu hektar lahan dimiliki oleh beberapa kepala keluarga dan kepemilikan yang terpencar-pencar untuk daerah Jawa lebih tinggi dari daerah lainnya. Semakin terfragmentasinya lahan dan kepemilikan lahan maka dari sisi ekonomi biaya persatuan unit hektarnya akan jadi lebih besar sehingga dalam kegiatan perekonomian akan sulit untuk bersaing. Karena hal ini berlawanan dengan kondisi hukum ekonomi (Economies of scale) yaitu apabila biaya rata-ratanya lebih besar dari biaya marginalnya maka pengembangan aktifitas usaha tani akan lebih menguntungkan, sehingga dalam skala kepemilikan yang terpencar-pencar dan kecil perlu dilakukan kesatuan manajemen pengelolaan untuk menekan pembiayaan


(43)

Tabel 1. Nilai Rataan Berbobot dari Variabel-Variabel Karakteristik Kepemilikan Usaha Pertanian di Beberapa Wilayah

Kabupaten

Skala Kepemilikan /Penguasaan Lahan (ha/KK)

Indeks Fragmentasi Pemilikan Lahan (Persil/KK)

Indeks Fragmentasi Lahan (Persil/ha)

Sumatera Deli Serdang 0.918 1,962 2,136

Simalungun 0,490 1,867 3,810

Musi Banyuasin 1,087 1,227 1,129

Ogan Komering Ulu 0,644 1,529 2,376

Lampung Tengah 0,566 2,100 3,712

Lampung Utara 0,915 2,033 2,222

Jawa Garut 0,210 2,241 10,657

Subang 0,592 1,966 3,318

Lamongan 0,297 2,269 7,645

Nganjuk 0,565 2,367 4,188

Sulawesi Bone 0,937 1,958 2,091

Bulukumba 1,061 4,105 3,869

Sumber: Saefulhakim, 1997 3.7 Aspek Property Right Lahan

Secara umum, keberadaan suatu kepemilikan harus mempunyai pengakuan akan hak milik atau dengan bahasa lain disebut property right. Property right ini dapat bebrbentuk pengukuhan kekuasaan dengan menegaskan hak – hak atas individu melalui dokumentasi legal, dimana hak – hak tersebut dapat dilaksanakan Hak – hak lahan yang didokumentasikan menyatakan bahwa keadaan lahan dimana pemilik dapat mengancam orang lain yang melanggar atau menjadi saingan dalam mengklaim lahan tersebut, maka orang yang mencoba menggunakan lahan tersebut dapat dikenakan ancaman hukuman. Pada keadaan lahan mengalami perbaikan dan peningkatan nilai, property right ini dapat dijadikan tameng bagi pemiliknya jika para spekulator berusaha untuk memiliki lahan tersebut.

Apabila terdapat kekurang jelasan atau tidak adanya hak–hak formal sama sekali, maka hak-hak atas lahan tidak dapat ditransfer. Keadaan tersebut mengakibatkan, pertama-tama dengan tidak adanya hak untuk menjual atau


(44)

mentransfer lahan, maka pemilik lahan tidak dapat mewujudkan nilai atas lahan. Kedua, jika nilai lahan semakin meningkat, pengguna lahan mungkin tidak dapat menahan tekanan para spekulator lahan untuk mengambil lahan yang bersangkutan, tindakan ini juga sering dilakukan oleh petani- petani kaya di pedesaan. Ketiga, lahan yang tidak jelas haknya tidak akan dapat dijual di pasar lahan secara terbuka, yang berarti lahan tidak akan mendapatkan nilai tambah dalam penggunaannya. Keempat, tidak adanya lhak atas lahan berarti bahwa penguasa atas lahan tidak dapat menggunakan lahan tersebut sebagai agunan jika ia mengajukan pinjaman kepada lembaga perkreditan formal. Dengan adanya tekanan penduduk yang bertumbuh terus, maka property right yang lebih tegas dan jelas sampai mencapai pemilikan yang ekslusif dan nantinya akan mengarah kepada pemilikan individual.

Adapun persyaratan dalam memenuhi hak- hak atas lahan adalah :

1. Hak–hak harus dispesifikasikan secara penuh. Hal ini berarti pemiliknya harus dapat dibeda – bedakan secara jelas. Demikian juga pembatasan – pembatasan terhadap hak – hak kepemilikan dan sanksi – sanksi terhadap pelanggaran hak –hak tersebut.

2. Suatu property right harus mengandung arti bahwa kepemilikan harus ekslusif. Ekslusifitas ini menentukan siapa – siapa saja, jika ada, yang boleh menggunakan sumberdaya atau barang yang dimilikinya dan apa persyaratan yang dapat dipergunakan.

3. Pemilik lahan mempunyai hak untuk mentransfer barang miliknya.

4. Property right secara efektif harus dapat dipaksakan, karena tanpa adanya


(45)

.BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian direncanakan di desa Tegalwaru dan Bojongrangkas, kecamatan Ciampea, kabupaten Bogor. Kedua desa ini dipilih karena merupakan desa yang relatif dekat dari pusat kota Bogor dan kampus IPB Darmaga, letaknya persis di tepi jalan raya Ciampea dan kedua desa mempunyai karakteristik yang berbeda dalam pemilihan mata pencaharian. Untuk desa Tegalwaru sebagian besar masyarakatnya adalah petani dan masyarakat Bojong Rangkas sebagai pekerja industri.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian diperkirakan selama 6 (enam) bulan, mulai dari tahap persiapan hingga pelaporan.

4.2 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Penelitian ini semaksimal mungkin akan menggunakan data sekunder baik yang ada di BPS (Pusat dan Daerah Tk. II) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan data primer didapat melalui wawancara semi terstruktur ataupun diskusi dengan pemerintah daerah setempat yang kompeten dalam perencanaan hingga


(46)

pembangunan. Selain itu wawancara juga dilakukan dengan masyarakat sekitar yang berkaitan langsung dengan konversi lahan.

4.3 Penentuan Sampel Responden Penelitian

Sampel penelitian dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok pembeli lahan dan penjual lahan. Penentuan sampel yang menjadi responden dilakukan secara

stratified sampling. Jumlah sampel secara keseluruhan adalah 43 orang dari

kelompok pembeli dan 27 orang dari kelompok penjual.

4.4 Metode Analisis

1. Analisis Kuantifikasi Hayashi I

Analisa kuantifikasi Hayashi I ini digunakan untuk melihat faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi. Metode ini pada dasarnya dirancang untuk memecahkan masalah melalui cara meregresikan x (independent variable) yang keseluruhannya berupa data kategori / kualitatif, sedangkan y (dependent variable) bersifat kuantitatif. Dalam hal ini variabel y adalah luas lahan yang dikonversi, sedang x untuk penjual adalah pendapatan, luas lahan usaha, akses ke jalan utama, ketersediaan air bersih, pendapatan usaha tani, tujuan konversi dan manfaat konversi; sementara x untuk pembeli selain ketujuh variabel diatas ditambah dengan jenis pekerjaan, umur, pendidikan, daerah asal, lokasi, jumlah tanggungan keluarga serta lama konversi.


(47)

2. Analisis Deskriptif

Analisa deskriptif ini digunakan untuk melihat dampak penggunaan lahan yang dikonversi masyarakat serta ada atau tidaknya perubahan pada pelaku konversi.

Analisa ini juga digunakan untuk menggambarkan mekanisme yang terjadi dalam proses pengalihan fungsi lahan mulai dari stakeholder yang terlibat, peran masing-masing stakeholder termasuk peranan calo (perantara) dan kebiasaan masyarakat setempat dalam proses pengalihan fungsi lahan tersebut. Analisa ini ditulis berdasarkan wawancara/pengisian kisioner dengan instansi terkait dan pelaku konversi.

3. Analisis yang Berkaitan dengan Input – Output (I- O)

Pada dasarnya, tabel I-O adalah gambaran lebih rinci dari sistem neraca ekonomi wilayah / nasional. Tabel I-O dapat digunakan untuk :

1. memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pemerintah, investasi dan eksport) terhadap berbagai output sektor produksi, nilai tambah, pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, pajak dan sebagainya.

2. mengetahui komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan import dan kemungkinan subsitusinya.

3. memberi petunjuk tentang sektor – sektor yang peka terhadap pertumbuhan ekonomi.


(48)

Tabel I-O ini dapat dijadikan alat analisis untuk melihat struktur keterkaitan (linkage)

ekonomi antar sektor dalam suatu perekonomian serta efek multiplier suatu sektor terhadap sektor ataupun perekonomian secara keseluruhan. Berikut beberapa istilah tekhnis analisis I-O :

1. Kaitan langsung ke belakang (direct backward linkage) menunjukkan efek langsung dari perubahan output (tingkat produksi) suatu sektor terhadap total tingkat produksi sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor tersebut. 2. Kaitan langsung ke depan (direct forward linkage) menunjukkan efek

langsung dari perubahan output (tingkat produksi) suatu sektor terhadap total tingkat produksi sektor-sektor yang menggunakan output sektor tersebut. 3. Kaitan tidak langsung ke depan (indirect forward linkage) menunjukkan

pengaruh tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap suatu unit output sektor tertentu, pada peningkatan total output seluruh sektor perekonomian.


(49)

Gambar 6. Kerangka Berfikir 1. Populasi yang

tinggi

2. Aktivitas manusi meningkat

Ruang / Jumlah lahan tetap

1. Kebutuhan akan bahan makanan meningkat 2. kebutuhan infrastruktur meningkat

Permintaan akan lahan meningkat

Terjadi konversi lahan pertanian, untuk memenuhi peningkatan kebutuhan

Berdampak pada struktur sosial ekonomi masyarakat

Analisis :

1. Analisa Kuantifikasi Hayashi I : untuk melihat faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi

2. Analisa Deskriptif : untuk mengetahui alokasi dan dampak penggunaan lahan konversi dan peranan perantara dalam proses jual beli


(50)

BAB V

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Kabupaten Bogor secara geografis sebagian besar wilayahnya berada pada dataran rendah utara Pulau Jawa dan sebagian kecil berada pada dataran tinggi. Luas keseluruhan wilayahnya 334,378 hektar (3,342.78 km 2) dan terletak antara 60 19` - 60 47` Lintang Selatan dan 1060 1` - 1070 103` Bujur Timur. Secara administrasi terdiri dari 30 kecamatan, 424 desa dan 9 kelurahan dengan batas administrasi sebagai berikut :

1. Sebelah utara : DKI Jakarta, Kotamadya Depok 2. Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi dan Cianjur 3. Sebelah Barat : Kabupaten Serang, Lebak dan Tangerang

4. Sebalah Timur : Kabupaten Bekasi dan Karawang 5. di Tengah : Kotamadya Bogor

Sementara dalam konteks Pembangunan Regional Kabotabek, kabupaten Bogor berfungsi sebagai berikut :

1. Daerah penyangga DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia 2. Pusat pengembangan pertanian, khususnya hortikultura dengan

memanfaatkan sumber daya alam letak geografis kabupaten Bogor dan peluang pasar Jakarta


(51)

Berdasarkan hasil regisrtasi tahun 2000, Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk sebanyak 3 juta jiwa; yaitu laki- laki sebesar 1,52 juta jiwa dan perempuan 1,48 juta jiwa.

Kecamatan Ciampea merupakan salah satu dari 30 kecamatan yang ada di kabupaten Bogor. Ciampea sebagai kecamatan memiliki 19 desa dan jumlah penduduk sebesar 166,280 jiwa berdasarkan hasil registrasi tahun 2000. Adapun jumlah penduduk dan luas lahan di kecamatan Ciampea ditampilkan pada tabel berikut

Tabel 2: Jumlah Penduduk dan Luas Lahan di Kecamatan Ciampea Tahun 2000

No Desa Jumlah Penduduk

(jiwa)

Luas Lahan (ha)

1 Tapos I 7,244 570

2 Gunung Malang 10,486 720

3 Tapos II 6,066 142

4 Ciampea Udik 6,609 342

5 Cibitung Tengah 7,952 410

6 Situ Daun 7,491 226

7 Cinangneng 6,665 257

8 Cinangka 9,605 246

9 Cibuntu 6,756 333

10 Cicadas 9,052 283

11 Tegalwaru 9,881 441

12 Bojong Jengkol 8,968 215

13 Cihideung Udik 11,305 324

14 Cihideung Ilir 9,247 265

15 Cibanteng 13,228 182

16 Bojong Rangkas 10,079 130

17 Cibadak 7,882 114

18 Banteng 9,082 162

19 Ciampea 8,682 197


(52)

5.1 Analisa Spasial Kabupaten Bogor 5.1.1 Kemampuan Lahan Pertanian

Kabupaten Bogor mempunyai potensi pengembangan pertanian jika dilihat dari segi kemampuan lahan dengan proporsi sebagai berikut :

1. termasuk kelas I, yaitu lahan – lahan yang mempunyai potensi pengembangan pertanian secara sangat intensif, seluas 10.9 %.

2. termasuk kelas II, yaitu lahan – lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian secara intensif, seluas 19.6%.

3. termasuk kelas III, yaitu lahan – lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian dengan intensitas terbatas, seluas 20.1%.

4. termasuk kelas IV dan V, yaitu lahan – lahan yang tidak layak untuk pengembangan pertanian dan seyogyanya harus dihutankan atau merupakan lahan konservasi, seluas 21.31%.

5.1.2 Permasalahan dalam Pengembangan Wilayah

Daerah yang dijadikan penelitian yaitu desa Tegalwaru dan Bojongrangkas, berada di kabupaten Bogor Barat. Kabupaten Bogor Barat sendiri mempunyai beberapa permasalahan dalam pengembangan wilayah, yaitu :

1. adanya disparitas pembangunan antara kabupaten Bogor Barat dengan daerah lain, seperti infrastruktur, sumber daya lalam dan lain – lain.

2. interaksi antardesa (inter rural linkage) dan desa – kota (rural – urban linkage) relatif rendah.


(53)

4. belum dikembangkan secara optimal

5. potensi sektor / komoditas unggulan belum digali dan dikelola secara optimal 6. akses pemasaran produk unggulan belum optimal

7. aliran investasi di wilayah kabupaten Bogor Barat masih rendah

5.1.3 Potensi Sumberdaya

Untuk wilayah kabupaten Bogor Barat, potensi sumber dayanya cukup banyak, yaitu :

1. pertanian tanaman pangan : seperti padi, ubukayu, jagung, dan kacang tanah.

2. peternakan : seperti kambing, domba, sapi perah, sapi potong, ayam petelur dan ayam pedaging.

3. perikanan : seperti ikan sawah, air tenang, air deras, keramba dan pembenihan.

4. industri : makanan dan minuman. Khusus kecamatan Ciampea terdapat industri besi bekas, aki bekas, makanan, batu kapur dan kerajinan tas.

5.1.4 Rencana Pengembangan

Pemerintah daerah kabupaten Bogor sendiri telah menyadari adanya permasalahan di kabupaten bogor Barat ini. Untuk itu dibuat suatu rencana pengembangan untuk memajukan kabupaten Bogor Barat. Adapun rencana tersebut


(54)

1. Penyusunan rencana tata ruang dan prasaranan wilayah; tercakup didalamnya :

- kajian pembangunan dan pmanfaatan lahan eksisting - analisis kebutuhan dan penyediaan lahan / ruang - analisis kebutuhan dan penyediaan prasarana wilayah - penyusunan rencana tata ruang wilayah

- penyusunan rencana pengembangan prasarana dan jaringan utilitas kawasan

2. Penyusunan rencana pengembangan investasi; tercakup didalamnya : - analisis perkiraan pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan investasi - identifikasi peluang sektor / komoditas unggulan

- identifikasi iklim investasi dan bentuk – bentuk insentif - penyusunan rencana investasi

3. penyusunan rencana pengembangan sumberdaya manusia dan kelembagaan ; tercakup didalamnya :

- kajian kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya manusia - kajian sistem kelembagaan (formal – informal)

- rencana pengembangan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia untuk mendukung sektor – sektor strategis

- menata ulang kebijakan pengembangan kelembagaan untuk pengembangan kawasan.


(55)

5.2 Gambaran Umum Desa Tegalwaru

Desa Tegalwaru merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Ciampea. Desa ini berbatasan dengan desa Bojong Jengkol, Cinangka dan Bojong Rangkas. Adapun jarak desa Tegalwaru ke ibukota kecamatan sejauh 2,5 km, ke ibukota kabupaten/ kotamadya sejauh 25 km. Sedangkan jumlah penduduk di desa ini sebanyak 9,865 jiwa dengan klasifikasi sebagai berikut :

Tabel 3 : Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin di Desa Tegalwaru Tahun 2000

No Golongan Umur Laki - laki Perempuan Jumlah (orang)

1 0 –12 bulan 55 48 103

2 13 bulan – 4 tahun 531 533 1,064

3 5 – 6 tahun 225 235 460

4 7 – 12 tahun 644 647 1,291

5 13 – 15 tahun 261 234 495

6 16 – 18 tahun 236 229 465

7 19 – 25 tahun 361 319 680

8 26 – 35 tahun 431 414 845

9 36 – 45 tahun 581 589 1,170

10 46 – 50 tahun 623 510 1,133

11 51 – 60 tahun 583 574 1,157

12 61 – 75 tahun 431 400 831

13 Lebih dari 76 tahun 106 65 171

Jumlah 5,068 4,797 9,865

Sumber : Profil Desa / Kelurahan Buku I Tahun 2000

Sementara berdasarkan profil desa tahun 2000, penggunaan tanah di desa Tegalwaru paling banyak digunakan sebagai pertanian sawah yaitu 220.027 hektar, untuk bangunan 20.575 hektar, pemukiman umum yaitu 55.380 hektar, perkebunan 15 hektar, hutan 20 hektar dan terakhir sebagai perikanan darat sebesar 2 hektar. Kondisi tanah di desa ini mempunyai tingkat kesuburan yang subur sebesar 220.027 hektar dan tingkat kesuburan yang sedang sebesar 118.816 hektar, dengan begitu


(56)

desa ini tidak mempunyai lahan yang kritis atau tidak subur. Tabel berikut dengan rinci akan memuat penggunaan lahan di desa Tegalwaru.

Tabel 4 : Luas Wilayah Desa Tegalwaru Menurut Penggunaannya Tahun 2000

No Penggunaan Luas (ha) %

1 Pemukiman

a. Pemukiman umum

55,380 55,380

18.71 18.71 2 Bangunan

a. perkantoran b. sekolah c. tempat ibadah d. kuburan e. jalan f. lain –lain

20,575 0.035 0.620 0.320 4.1 9.3 6.2 6.95

3 Pertanian sawah a. sawah irigasi b. sawah tadah hujan

220,027 -

220,027

74.33 74.33

4 Ladang /Tegalan - -

5 Perkebunan 15

6 Padang rumput / stepa / ladang gembalaan - -

7 Hutan 20

8 Tempat rekreasi dan olahraga - -

9 Perikanan darat 2

Total 296,019 99.99 Sumber : Profil Desa / Kelurahan Buku I Tahun 2000

Jika dilihat mata pencaharian penduduk, maka penduduk di desa Tegalwaru paling banyak yang bekerja pada sektor pertanian, yaitu sebesar 1,397 orang. Selain itu jenis pekerjaan penduduk juga cukup beragam seperti pada sektor peternakan, industri, pertambangan dan lain- lain. Struktur mata pencarian penduduk secara rinci dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.


(57)

Tabel 5 : Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Tegalwaru Tahun 2000

No Mata Pencaharian Jumlah

(orang)

% 1 Sub sektor pertanian tanaman pangan

a. pemilik tanah sawah b. pemilik tanah tegal/ ladang c. buruh tani

1,379 801 503 75 69 40 25 4

2 Sub sektor perkebunan / perladangan - 0

3 Sub sektor peternakan a. ternak kambing b. ternak ayam c. ternak kerbau d. ternak domba e. buruh peternak

151 45 3 5 73 25 8 2 0 0 4 1 4 Sub sektor perikanan / pelayaran

a. pemilik kolam b. lain – lain

36 26 10 2 1 1 5 Sub sektor pertambangan galian C

a. usaha pertambangan galian C

b. usaha perdagangan hasil pertambangan galian C

c. buruh pada pertambangan galian C

17 2 5 10 1 0 0 1 6 Sub sektor industri kecil / kerajinan

a. pemilik usaha kerajinan b. usaha industri rumah tangga c. usaha industri kecil

d. buruh pada industri kecil

103 3 5 15 80 5 0 0 1 4

7 Sub sektor industri besar / sedang - 0

8 Sektor jasa / perdagangan

a. jasa pemerintahan / non pemerintahan b. jasa lembaga keuangan

c. jasa perdagangan

d. jasa komunikasi dan angkutan e. jasa hiburan

f. jasa ketrampilan g. jasa lainnya

306 89 - 30 35 4 143 5 15 4 - 2 2 0 7 0 Total 1,992 100 Sumber : Profil Desa / Kelurahan Buku I Tahun 2000


(58)

5.3 Gambaran Umum Desa Bojong Rangkas

Sama seperti desa Tegalwaru, desa Bojong Rangkas ini termasuk salah satu desa yang berada di kecamatan Ciampea. Desa ini berbatasan dengan desa Ciampea Benteng, Cicadas, Cibadak, Tegalwaru dan Bojong Jengkol. Jarak ke ibukota kecamatan dari desa ini berkisar antara 0.5 km sedangkan ke ibukota kabupaten sekitar 28 km. Dibandingkan dengan desa Tegalwaru, desa Bojong Rangkas memiliki jumlah penduduk yang lebih besar yaitu 10.328 jiwa. Tabel berikut akan memuat jumlah penduduk berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin.

Tabel 6 : Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin di Desa Bojong Rangkas Tahun 2000

No Golongan Umur Laki - laki Perempuan Jumlah (orang)

1 0 –12 bulan 205 178 383

2 13 bulan – 4 tahun 618 533 1,151

3 5 – 6 tahun 345 336 681

4 7 – 12 tahun 631 616 1,247

5 13 – 15 tahun 421 412 833

6 16 – 18 tahun 272 264 536

7 19 – 25 tahun 576 543 1,119

8 26 – 35 tahun 643 642 1,285

9 36 – 45 tahun 705 663 1,368

10 46 – 50 tahun 387 427 814

11 51 – 60 tahun 135 106 241

12 61 – 75 tahun 272 231 503

13 Lebih dari 76 tahun 88 79 167

Jumlah 5,298 5,030 10,328

Sumber : Profil Desa / Kelurahan Buku I Tahun 2001

Lahan yang tersedia di desa Bojong Rangkas, berdasarkan Profil Desa 2001, paling besar digunakan untuk pemukiman yaitu sebesar 58.10 hektar. Kemudian diikuti dengan pemakaian untuk pertanian sawah 47.52 hektar, perkebunan 4 hektar,


(59)

bangunan 1.33 hektar dan terakhir untuk perikanan darat sebesar 0.50 hektar. Tingkat kesuburan tanah di desa ini adalah subur yaitu sebesar 47.52 hektar. Berikut perincian penggunaan lahan di desa Bojong Rangkas.

Tabel 7: Luas Wilayah Desa Bojong Rangkas Menurut Penggunaannya Tahun 2000

No Penggunaan Luas (ha) %

1 Pemukiman

a. Pemukiman umum b. Pemukiman KPR- BTN

58.10 57.60 0.50 52 52 0 2 Bangunan

a. Perkantoran b. Sekolah c. tempat ibadah d. kuburan e. jalan f. lain –lain

1.33 0.23 0.60 - 0.2 0.3 - 1 0 1 - 0 0 - 3 Pertanian sawah

a. sawah irigasi

b. sawah pengairan setengah tekhnis

47.52 - 47.52 43 - 43

4 Ladang /Tegalan - -

5 Perkebunan 4 4

6 Padang rumput / stepa / ladang gembalaan

- -

7 Hutan - -

8 Tempat rekreasi dan olahraga - -

9 Perikanan darat 0.5 0

Total 111.45 100 Sumber : Profil Desa / Kelurahan Buku I Tahun 2001

Dalam hal mata pencaharian, masyarakat di desa Bojong Rangkas banyak yang melakukan kegiatan industri yaitu sebesar 615 orang. Hal ini dapat dimaklumi karena desa ini merupakan sentra industri kerajinan tas yang pemasarannya dilakukan di seluruh Jabotabek. Sedangkan petani di desa ini relatif kecil yaitu sebesar 195 orang. Untuk sektor jasa dan perdagangan ada 654 orang masyarakat yang


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Bahan Pelatihan Pemodelan Wilayah : Analisis Kuantifikasi Hayashi I. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Anwar, A. 1990. Beberapa Aspek Ekonomi Sumberdaya Lahan. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam. PWD – PPS IPB Bogor

Anwar, A. 1999. Peranan Pembangunan Sektor Pertanian Dan Perdesaan dalam Memulihkan dan Memberi Landasan Kuat Kepada Perekonomian Nasional. Makalah Seminar PSP - LP IPB Bogor

Anwar, A. 1990. Beberapa Konsepsi Alokasi Sumberdaya Alam untuk Penentuan Kebijaksanaan Ke Arah Pembangunan Yang Berkelanjutan. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam. PWD – PPS IPB Bogor

Barlowe, Raleigh. 1978. Land Resource Economics. The Economics of Real Estate. Third Edition. Prentice – Hall, Inc , Engelwood Cliffs, New Jersey USA

Baswir, R., Hudiyanto, R. Andriono, M. Yana Aditya, D.P Sambodo. 1999. Pembangunan Tanpa Perasaan. Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi Sosial Budaya Orde Baru. Pustaka Pelajar, IDEA dan Elsam. Jakarta

BPS Kabupaten Bogor 1999. Kabupaten Bogor Dalam Angka. BPS Bogor

BPS Kabupaten Bogor 1999. Kecamatan Ciampea Dalam Angka 1999 – 2000. BPS Bogor

Dicken P, Lloyd P, E. 1990. Location in Space Theoritical and Practice in Economic Geography. New York USA. Harper Collins Publisher


(2)

100

Harvey, Jack. 1996. Urban Land Economics. Macmillan Press Ltd. Hounsmills Bangistoke, Hampsire RG 216 SX and London

Idawati, R. 1999. Analisis Penentuan Harga Tanah Pemukiman. Tesis S-2. PPS – PWD IPB Bogor

Jhingan, M.L. 1998. Ekonomi Pembangunan Dan Perencanaan. Edisi ke enam belas. Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

_______, 1994. Kompas, 8 Mei 1994, Jakarta Hal 1

Nasoetion, L. I. 2000. Pemberdayaan Peran Badan Pertanahan Nasional Dalam Mengelola Sengketa Agraria. Prosiding Lokakarya Pusat Kajian Agraria Lembaga Penelitian IPB Bogor

Pakpahan, A. dan A. Anwar. 1989. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah. Jurnal Agro Ekonomi vol 8 no 1. 1989. Pusat Penelitian Agro Ekonomi Badan Penelitian Pengembangan Pertanian

Profil Desa / Kelurahan Desa Tegalwaru 2000. Kecamatan Ciampea. Kabupaten Bogor. Prophinsi Jawa Barat Tahun 2000

Profil Desa / Kelurahan Desa Bojongrangkas 2001. Kecamatan Ciampea. Kabupaten Bogor. Prophinsi Jawa Barat Tahun 2001

Suparmoko, M. dan Irawan. 1992. Ekonomika Pembangunan. Edisi 6. BPFE Yogyakarta

Saefulhakim, R.S. dan L.I. Nasoetion. Kebijaksanaan Pengendalian Konversi Sawah Beririgasi Tekhnis. Makalah Pada Prosiding No 12 Penelitian Tanah

Todaro, M.P. 1999. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Edisi Keenam (Terjemahan) PT. Erlangga Jakarta

Wafda, R 2005. Masalah Pertanahan Sebagai Penghambat Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Disertasi S-3. PWD-IPB

Winoto, J. 1998. Bahan Kuliah Perencanaan Ekonomi Regional dan Perdesaan. PWD – IPB Bogor


(3)

(4)

96 BAB VIII

KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan

Pesatnya perkembangan kota Bogor dan tingginya arus urbanisasi ternyata menimbulkan berbagai implikasi diantaranya perkembangan kabupaten Bogor yang cukup pesat. Bagi mereka yang tidak tertampung untuk tinggal di dalam kota Bogor, kabupaten Bogor, seperti Ciampea, menjadi pilihan sebagai tempat tinggal. Maka sejalan dengan tingginya permintaan akan tempat tinggal, maka konversi lahan dan praktek jual beli lahan tidak dapat dielakkan. Hasil analisis yang mengelompokkan peubah yang mempengaruhi pembeli lahan melakukan konversi adalah pendapatan, luas lahan usaha, ketersediaan air, pendapatan dari usaha tani, manfaat konversi, umur, daerah asal dan jumlah tanggungan. Ke delapan peubah diatas mempunyai pengaruh yang sangat nyata bagi terjadinya konversi. Sedangkan hasil analisis yang mengelompokkan peubah yang mempengaruhi penjual lahan dalam melakukan konversi adalah pendapatan, luas lahan usaha, akses ke jalan utama, ketersediaan air, tujuan konversi serta manfaat dari konversi itu sendiri.


(5)

Berdasarkan penelitian dilapangan, mayoritas masyarakat melakukan konversi untuk dijadikan tempat tinggal. Namun ada juga segelintir yang melakukannya untuk dijadikan tempat industri / bengkel. Sedangkan lahan yang dikonversi paling besar adalah lahan pertanian, sedikit lahan kosong dan bekas pabrik kapur.

Peranan perantara atau calo ternyata cukup signifikan dalam proses terjadinya jual-beli lahan. Sejalan dengan itu pihak pembeli dan penjual memberikan “uang jasa” kepada perantara tersebut yang besarnya sekitar 2.5% dari nilai transaksi. Hal ini sebagai imbalan atas jerih payah perantara dalam mempertemukan kedua belah pihak.

Pajak merupakan salah satu sumber terbesar dari pemasukan pemerintah dan sumber penerimaan pajak pendapatan di Negara Indonesia salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bangunan serta dari Bea Perolehan Hak atas Lahan dan bangunan (BPHTB). Penerimaan dari PBB dan BPHTB merupakan pajak pusat, tetapi sebenarnya penerimaan pajak dari sumber ini lebih banyak dinikmati oleh Pemerintah Daerah. Peningkatannya dapat dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pendataan dan penilaian objek dan subjek PBB pada semua jenis objek. Peningkatan NJOP dapat didekati dengan penetapan PBB yang mengacu pada nilai pasar dengan mempertimbangkan faktor improvesment dan future benefit dari objek pajak yang mempunyai nilai tinggi untuk setiap jenis objek. Rasio penetapan PBB peningkatannya dapat dihampiri dengan menaikkan dasar perhitungan penetapan pajak terutang yang layak diefektifkan sesuai dengan potensi fiskal di lapangan pada


(6)

98

Masalah pertanahan di perkotaan dapat muncul akibat perilaku masyarakatnya terhadap lahan. Perilaku yang cenderung menilai fungsi lahan dari sisi ekonomi semata, akan mengakibatkan timbulnya masalah pertanahan, seperti: spekulasi lahan, lahan terlantar, lahan kosong, konversi lahan pertanian, serta penggunaan maupun distribusi kepemilikan yang tidak seimbang.

8.2 Saran

Konversi lahan pertanian sepertinya merupakan hal yang biasa terjadi pada masa sekarang. Hal ini terjadi karena permintaan masyarakat yang semakin tinggi terhadap perumahan / tempat tinggal, disisi lain migrasi masyarakat ke daerah pinggiran juga sudah tidak dapat dibatasi lagi. Untuk itu ada beberapa saran yang diajukan yaitu :

1. Pusat pertumbuhan bukan berada pada satu daerah (ibukota atau kota) saja (karena bisa meningkatkan jumlah penduduk yang datang ke daerah tersebut sehingga akan meningkatkan permintaan akan tempat tinggal dan secara otomatis pengkonversian lahan akan menjadi alternatif utama) namun daerah – daerah kecil seperti ibukota kecamatan juga harus dijadikan pusat pertumbuhan juga.

2. Perlunya intensifikasi lahan pertanian.

3. Koreksi dalam penerapan sistem penetapan pajak, dimana daerah resapan atau pertanian justru mendapat keringanan pajak hingga 0 % dan daerah perumahan dan perkantoran dikenakan pajak yang tinggi, serta dalam pelaksanaannya tidak terdapat penyelewengan.