Analisis Kerawanan Banjir Tahun 2007 Menggunakan Data Satelit TRMM (Studi Kasus : Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

(1)

NIZAR N. R. N. Analysis of 2007 Flood Vulnerability Using TRMM Satellite Data (Case Study: Indramayu Regency, West Java). Supervised by MUH. TAUFIK and DEDE DIRGAHAYU.

Natural disaster management involves the identification of areas that are vulnerable to it. Flood is at the top list of natural disasters that has the highest frequency of occurence in Indonesia. Indramayu, as one of the major rice producing region in West Java, suffers flood disaster each year. This research was intended to address this problem by providing periodical information regarding flood vulnerable areas in Indramayu as the basis for decision making in managing flood disaster. Remote sensing and other data were used to obtain spatial information of flood factors. GIS analysis was performed to generate vulnerability scale value by combining all data. Five parameters that are considered to be causative to the flood disaster were taken as input and categorized into static factors including elevation, slope, land-cover, and drainage rate, while rainfall were used as the dinamic factor. DEM SRTM data were used as an input on elevation and slope derivation, Landsat image to generate land-cover map, and soil unit map to extract drainage rate information. Rainfall was calculated from TMPA 3B42-V6 data derived from TRMM satellite. The period observed was during Februari and Desember 2007 which was recorded as one of the biggest flood incident in Indonesia. The comparison between the resulting flood vulnerability map and the actual flood location showed that most flood occured at region with High Vulnerablility value. This region were found at the northern part of Indramayu which is a coastal area with low elevation and very flat surface, the dominance of rice field as land-cover, and very slow drainage rate. Rainfall input from satellite can show spatial variation of flood vulnerable areas within a fast period therefore usefull for flood prevention and monitoring, and also flood early warning system.


(2)

NIZAR N. R. N. Analisis Kerawanan Banjir Tahun 2007 Menggunakan Data Satelit TRMM (Studi Kasus : Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). Dibimbing oleh MUH. TAUFIK dan DEDE DIRGAHAYU

Salah satu tahapan dalam manajemen bencana alam yaitu menentukan daerah yang berpotensi mengalami bencana tersebut. Banjir menempati posisi yang tinggi dalam urutan frekwensi kejadian bencana alam di Indonesia. Indramayu sebagai salah satu daerah penghasil padi terbesar di Jawa Barat selalu mengalami bencana banjir setiap tahunnya. Dilatarbelakangi permasalahan tersebut, penelitian ini ditujukan untuk menyediakan informasi wilayah rawan banjir di Indramayu secara berkala sebagai dasar bagi langkah-langkah manajemen bencana banjir. Data inderaja dan data lainnya digunakan untuk memperoleh gambaran spasial faktor-faktor banjir. Analisis SIG dilakukan untuk menghasilkan nilai kerawanan dengan mengkombinasikan data-data yang digunakan. Lima parameter yang dianggap menyebabkan banjir digunakan sebagai input dan dikategorikan menjadi faktor statis yaitu elevasi, slope, tutupan lahan dan laju drainase, sementara curah hujan digunakan sebagai faktor dinamis. Data DEM SRTM digunakan sebagai masukan data elevasi dan penurunan nilai slope, citra Landsat untuk menghasilkan peta tutupan lahan, dan peta satuan lahan untuk memperoleh informasi laju drainase. Curah hujan diturunkan melalui perhitungan data TMPA 3B42-V6 yang diperoleh dari satelit TRMM. Periode yang diamati yaitu bulan Februari dan Desember tahun 2007 yang mana tercatat sebagai salah satu kejadian banjir terbesar di Indonesia. Perbandingan hasil peta kerawanan banjir terhadap data banjir aktual menunjukkan bahwa kejadian banjir cenderung terjadi di wilayah dengan kelas Rawan. Wilayah tersebut tersebar di bagian Utara Indramayu yang merupakan daerah pesisir dengan nilai elevasi yang rendah dan kondisi permukaan yang datar, kondisi penutupan lahan dominan berupa sawah dan laju drainase yang sangat lambat. Masukan data curah hujan satelit dapat menunjukkan variasi spasial dari wilayah rawan banjir dalam tempo yang cukup cepat sehingga bermanfaat untuk pengaturan pencegahan dan pemantauan banjir, juga sistem peringatan dini banjir.

KATA KUNCI : banjir, bencana alam, TRMM, SIG, penginderaan jauh


(3)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Kabupaten Indramayu adalah satu dari banyak daerah di Indonesia yang sering mengalami bencana banjir. Bencana banjir tahun 2007 adalah salah satu kejadian banjir terbesar yang melanda daerah Jakarta dan sekitarnya termasuk Indramayu. Sektor agrikultur sebagai sektor yang paling merasakan dampak dari bencana alam merupakan sektor yang dominan di wilayah Indramayu, yang mana sebagian besar wilayahnya berupa sawah. Tanaman padi yang terendam oleh banjir akan mengalami penurunan persentase pertumbuhan seiring lama rendaman atau bahkan bisa mati (Triwidiyati 2009). Hal ini akan memaksa petani kepada dua pilihan yaitu melakukan panen dini atau gagal panen, dimana panen dini akan mengurangi hasil gabah dan jika padi dibiarkan terendam akan membusuk dan memaksa petani untuk melakukan penanaman ulang yang akan membutuhkan modal tambahan. Indramayu selama ini memasok 23% dari kebutuhan beras di Jawa Barat, oleh karena itu selain merugikan bagi para petani banjir juga akan berdampak pada kestabilan pasokan beras untuk daerah lain terutama Jawa Barat yang selama ini memanfaatkan produksi padi Indramayu.

Ketersediaan informasi mengenai wilayah yang rentan / rawan terhadap banjir yang dapat diakses oleh pembuat kebijakan maupun petani berperan penting dalam membantu mereka dalam menentukan langkah yang tepat terkait dengan masalah banjir. Salah satu bentuk informasi tersebut adalah berupa peta kerawanan banjir. Sivakumar et al. (2005) menyatakan banjir merupakan fungsi dari iklim (variabilitas pola hujan, kejadian badai), hidrologi (bentuk dasar sungai, instensitas drainase dan debit aliran sungai) dan karakteristik tanah (kapasitas penyerapan air). Dengan masukan data-data tersebut dapat dilakukan pendugaan kerawanan banjir berdasarkan kontribusi masing-masing parameter terhadap terjadinya banjir di daerah kajian.

Penginderaan jauh (remote sensing) selama beberapa dekade terakhir telah dimanfaatkan sebagai metode dalam perolehan berbagai jenis data spasial dengan cakupan aplikasi yang luas, salah satunya yaitu dalam manajemen bencana alam. Penginderaan jauh juga berperan sebagai sebuah teknologi yang dapat menyediakan input data bagi pengukuran, pemetaan,

pemantauan, dan pemodelan dalam konteks Sistem Informasi Geografis (Star dan Estes 1990). Dengan mengintegrasikan input data parameter-parameter banjir yang diperoleh melalui penginderaan jauh dan data lainnya serta melakukan analisis data menggunakan SIG diharapkan dapat diperoleh hasil dugaan kerawanan bencana banjir di wilayah Indramayu yang dapat digunakan sebagai basis bagi pembuatan keputusan.

1.2. Tujuan

i. Melakukan analisis kerawanan banjir di wilayah Kabupaten Indramayu menggunakan metode Sistem Informasi Geografis.

ii. Menghasilkan peta kerawanan bencana banjir multi-temporal

Kabupaten Indramayu dengan masukan dinamis berupa data CH 15-harian TRMM.

iii. Membandingkan peta kerawanan banjir dengan lokasi banjir aktual bulan Februari dan Desember 2007. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Banjir

Indonesia memiliki iklim monsoon dengan dua macam musim (hujan dan kemarau) yang bergilir antara nilai puncak tinggi dan puncak rendah. Kebanyakan pulau-pulau di Indonesia bertulang punggung berupa gunung-gunung diikuti tanah datar sejauh 100 kilometer menuju arah pantai. Ukuran pulau-pulau di Indonesia tidak memungkinkan terbentuknya sungai-sungai besar. Bentuk topografi dan kondisi iklim demikian memungkinkan mudah berkembangnya banjir dengan arus yang besar pada musim hujan, namun mudah pula untuk mereda. Menurut Soehoed (2006) kejadian banjir seperti ini disebut dengan banjir bandang yang sering menimbulkan genangan di daerah pantai yang landai.

Kondisi banjir dapat diberi batasan sebagai laju aliran yang relatif tinggi yang menyebabkan suaru aliran sungai melebihi tepinya (Lee R. 1988). Sedangkan dalam persepsi umum banjir terjadi ketika daratan yang biasanya kering mengalami penggenangan sementara oleh air. Beberapa sumber banjir yaitu sungai, danau dan pasang air laut (rob). Pada banjir sungai, yang berperan utama sebagai penyebab adalah tingginya intensitas curah hujan pada daerah tangkapan (catchment) yang mengakibatkan naiknya debit sungai


(4)

melebihi kapasitas. Luapan air sungai ini akan segera menggenangi daerah-daerah rendah yang berada di sekitar sungai (floodplain).

Selain curah hujan, keadaan fisiografis daerah tangkapan terutama ketinggian, kemiringan dan jenis tutupan vegetasi akan menentukan kerawanan wilayah tersebut untuk mengalami penggenangan (inundation) (Rodda J 1974). Daerah dengan nilai elevasi tinggi mempunyai kecenderungan yang kecil untuk mengalami banjir karena air akan segera mengalir ke daerah yang lebih rendah dibawahnya. Sedangkan kemiringan lahan berpengaruh ketika menangkap masukan air, air yang datang pada lahan dengan kemiringan curam hanya memiliki sedikit waktu untuk proses infiltrasi ke dalam tanah sehingga sebagian besar air akan lolos dalam bentuk limpasan dibanding permukaan lahan yang datar atau landai. Jenis penutupan lahan dengan vegetasi rapat memiliki kemampuan menahan air dengan menyerap air ke dalam tanah dan menghambat proses limpasan, sedangkan permukaan daerah urban kebal terhadap air dengan drainase yang jarang didesain untuk mampu menampung banjir. Selain itu permeabilitas tanah yang menunjukkan kemampuan tanah untuk melalukan air dalam bentuk infiltrasi juga memiliki pengaruh dimana tanah dengan kecepatan permeabilitas lambat akan mendukung terjadinya penggenangan.

Salah satu tahapan dalam proses analisis kerawanan yaitu identifikasi wilayah yang rawan terhadap bencana dan populasi yang yang mungkin terkena dampak bencana (Pine 2009). Dengan mengetahui tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap banjir maka dapat dicegah dengan tidak menggunakan wilayah tersebut untuk kegiatan produksi agrikultur, pemukiman atau kegiatan manusia lainnya. Oleh karena itu informasi kerawanan banjir dapat sangat bermanfaat jika diterapkan dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan tata guna lahan. Jika wilayah tersebut tetap akan digunakan untuk kegiatan agrikultur, informasi ini dapat digunakan untuk kontrol dan manajemen banjir untuk mendukung kesiapan dalam antisipasi kejadian banjir seperti persiapan pengalihan banjir, atau penanaman varietas yang tahan terhadap rendaman.

2.2. Topografi - DEM - SRTM

Topografi adalah karakteristik suatu permukaan atau disebut relief. Untuk wilayah daratan yang dimaksud adalah bukit, lembah dan dataran yang menyusun daratan tersebut. Dengan demikian yang diperhitungkan adalah ketinggian dari masing-masing lokasi. Pengetahuan mengenai bentuk permukaan bumi diperlukan dalam berbagai aplikasi salah satunya yaitu dalam pemodelan hidrologi dan limpasan permukaan. Topografi memiliki peranan penting dalam distribusi dan fluks aliran air baik dalam sistem natural atau buatan manusia (Bedient dan Huber 2002). Topografi suatu permukaan daratan dalam SIG dapat disajikan dengan data elevasi digital. Terdapat dua parameter medan yang bisa dihasilkan dari data elevasi yaitu slope dan aspek. Slope didefinisikan sebagai laju perubahan ketinggian untuk setiap jarak horizontal, biasa diukur dalam persen atau derajat. Sementara aspek adalah arah sudut horizontal dan vertikal permukaan menghadap.

Data elevasi digital adalah kumpulan hasil pengukuran elevasi untuk lokasi-lokasi yang terdistribusi pada permukaan daratan. Berbagai istilah digunakan dalam maksud yg sama seperti Digital Terrain Data (DTD), Digital Terrain Models (DTM), Digital Elevation Model (DEM) dan Digital Terrain Elevation Data (DTED). Beberapa metode dapat digunakan untuk menghasilkan data DEM seperti yang dilakukan oleh USGS yaitu menggunakan metode fotogrametri stereomodel atau melalui citra penginderaan jauh satelit. Metode dalam mengambil dan menyimpan data elevasi digital dikategorikan menjadi empat : grid, kontur, profil dan TIN (Triangulated Irregular Network). Data DEM biasa disajikan dalam format grid dimana terdapat satu nilai elevasi untuk setiap wilayah berjarak sama atau disebut dengan grid cells (Aronoff 1989).

SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) merupakan misi kerjasama NGA (National Geospatial-Intelligence Agency) dengan NASA (National Aeronautics and Space Administration) dalam pemetaan tiga dimensi permukaan bumi dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh sensor aktif, yaitu menggunakan sistem radar interferometrik yang diterbangkan oleh Space Shuttle Endeavor (STS-99) pada Februari 2000 (Rodriguez et al 2005). Dua sistem radar interferometrik, yaitu X-band dan C-band mengorbit dan memetakan bumi


(5)

selama 11 hari dan merekam data yang kemudian diolah oleh JPL (Jet Propulsion Laboratory) untuk menghasilkan produk data topografi dengan cakupan wilayah diantara 60o lintang utara dan selatan atau sekitar 80% dari permukaan daratan bumi.

Jenis data SRTM yaitu berupa grid, dan jenis grid yang digunakan yaitu ortogonal dimana ukuran sel grid tidak dinyatakan dalam satuan jarak sebenarnya (meter atau kaki) namun dalam “∆ lintang” dan “∆ bujur”, keduanya didefinisikan menggunakan istilah arc-seconds, minutes, dan lainnya. Ukuran satu arc-second pada daerah ekuator memiliki jarak yang hampir sama, semakin menjauh dari ekuator ukuran satu arc-second longitude / bujur semakin menyempit. Pengaturan jarak sample pada set data SRTM utama yaitu 1 arc-second lintang dan bujur (sekitar 30m di ekuator). Dengan persetujuan NGA dan NASA produk ini didistribusikan dengan secara terbatas. Produk kedua dengan pengaturan jarak 3 arc-second dihasilkan dengan merata-ratakan data 1 arc-second dan tersedia untuk di download atau dipesan oleh publik (Becek 2008). Data DEM tersebut berupa data integer 16-bit signed dalam raster biner sederhana. Tidak terdapat header atau trailer yang tercantum dalam citra.

2.3. Curah Hujan - TRMM

Curah hujan sebagai salah satu bentuk presipitasi merupakan komponen utama iklim bumi. Terbentuknya presipitasi melalui kondensasi uap air akan melepaskan panas laten ke atmosfer yang akan menjadi penggerak sirkulasi armosfer bumi. Namun pengaruh curah hujan tidak terbatas hanya pada sistem iklim bumi tapi juga terhadap siklus air dan kehidupan manusia. Curah hujan dapat digunakan sebagai masukan dalam perhitungan menyangkut permasalahan di bidang hidrologi (Linsley et al 1980). Selain itu presipitasi adalah sumber air utama bagi hampir seluruh penduduk dunia, bahkan hanya sedikit perubahan dapat sangat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari manusia. Meteorologi adalah dasar yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian hidrologi. Pengetahuan dasar mengenai meteorologi dan hidrologi memiliki cakupan penerapan yang luas seperti prediksi hujan dan banjir, kontrol sungai dan mengatasi masalah sumberdaya air.

Indonesia memiliki iklim monsoon yaitu iklim dengan dua musim, musim

basah/hujan serta musim kering/kemarau yang saling bergilir sepanjang tahun. Posisi Indonesia terletak di daerah tropis yang merupakan tempat terjadinya konveksi secara besar-besaran. Tingginya kandungan uap air yang didukung dengan faktor-faktor lainnya menyebabkan tingginya rata-rata curah hujan di daerah Indonesia (Handoko 1995).

Informasi intensitas dan durasi curah hujan diperlukan untuk menentukan respon dari daerah aliran sungai terhadap hujan. Secara umum pengukuran curah hujan dan intensitas curah hujan telah dilakukan menggunakan penakar hujan di permukaan. Namun dikarenakan berbagai permasalahan seperti biaya pendirian dan operasional yang tinggi, terbatasnya kemampuan pengamatan untuk daerah pegunungan, dan kemungkinan tidak tercatatnya data maka mulai dikembangkan metode baru pendugaan curah hujan memanfaatkan yang teknologi berbasis satelit / spaceborne (Sene 2010)

Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) diluncurkan pada November 1997 untuk memenuhi kebutuhan akan data hujan global khususnya di daerah tropis. Dalam NASA (2011) disebutkan bahwa TRMM dibekali dengan sensor PR (Precipitation Radar) yang merupakan radar presipitasi antariksa yang pertama dibuat, sensor ini dapat memantau distribusi presipitasi secara tiga dimensi di atas daratan maupun lautan. Sensor yang kedua yaitu TMI (TRMM Microwave Imager) yang dapat menghasilkan data berupa integrated column precipitation content, air cair dalam awan (could liquid water), es dalam awan (cloud ice), intensitas hujan dan tipe hujan. Sensor VIRS (Visible and Infrared Scanner) memiliki fungsi untuk memantau liputan awan, jenis awan dan temperatur puncak awan. Sensor lainnya yaitu LIS (Lightning Imaging Sensor) dan CERES (Cloud and

Earth’s Radiant Energy System).

Data Hujan yang dihasilkan oleh TRMM memiliki tipe dan tingkatan yang beragam yang dimulai dari level 1 hingga level 3. Data level 1 merupakan data mentah (raw) yang telah dikalibrasi dan terkoreksi geometrik. Level 2 merupakan data yang telah berupa gambaran parameter geofisik hujan pada resolusi spasial yang sama akan tetapi masih dalam kondisi asli keadaan hujan saat satelit melewati daerah yang direkam. Data level 3 sudah memiliki nilai-nilai hujan, khususnya kondisi hujan bulanan yang merupakan penggabungan dari data


(6)

level 2. Untuk mendapatkan data hujan dalam bentuk milimeter (mm) sebaiknya menggunakan level 3 dengan resolusi spasial 0,25ox0,25o dan resolusi temporal 3 jam. Pada akhirnya data TRMM akan digabungkan dengan hasil pengukuran satelit-satelit lain untuk menghasilkan produk TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) yang memiliki tingkat keakurasian yang lebih baik (NASDA 2001). 2.4. Tekstur Tanah

Komposisi umum bahan penyusun tanah terdiri dari mineral, bahan organik, kelembaban tanah, dan udara. Terdapat tiga macam klasifikasi ukuran partikel tanah yaitu pasir (sand) > 0,05 mm, lempung (silt) 0,002 – 0,05 mm dan liat (clay) < 0,002 mm. Berbagai komposisi dari ketiga jenis partikel ini akan membentuk kelas tekstur tanah. Tekstur tanah merupakan salah satu kondisi fisiografis yang mempengaruhi limpasan permukaan selain dari kelerengan dan ketinggian (Sharp & Sawden 1984). Tanah dengan kandungan liat tinggi disebut bertekstur halus, sebaliknya jika kandungan pasir tinggi maka disebut bertekstur kasar. Tekstur tanah akan berpengaruh pada porositas, struktur dan permeabilitas tanah. Semakin halus partikel tanah semakin banyak pori yang terbentuk menyebabkan tanah mudah menahan air / impermeabel, sedangkan semakin kasar tekstur tanah maka tanah akan mudah kehilangan air.

Dalam hubungannya dengan siklus hidrologi, yaitu ketika presipitasi jatuh pada permukaan tanah, air mungkin akan diserap ke dalam tanah atau akan mengalir sebagai limpasan di atas permukaan. Bagaimana respon air hujan ketika menyentuh permukaan tanah ditentukan oleh sifat horizon permukaan tanah itu sendiri. Laju infiltrasi tergantung pada sifat fisik tanah terutama permeabilitas. Permeabilitas tanah mengatur proses pembasahan tanah dan neraca air, termasuk limpasan permukaan. Semakin tinggi kandungan liat akan menyebabkan semakin rendahnya permeabilitas, sebaliknya semakin tinggi porositas akan meningkatkan permeabilitas. Faktor lainnya yaitu kandungan air tanah, tanah yang telah jenuh oleh air akan menghambat proses infiltrasi. Perbedaan sifat tanah pada setiap lapisannya berakibat pada berbedanya nilai permeabilitas pada setiap kedalaman (Pitty 1979).

Komputasi limpasan langsung memerlukan nilai estimasi karakteristik

infiltrasi pada berbagai jenis tanah pada area drainase. Peta tanah yang menggambarkan sifat-sifat tanah merupakan sumber data utama bagi pendugaan infiltrasi. Satuan pemetaan tanah (soil-mapping unit) adalah satuan terkecil dalam peta tanah yang dapat diberikan informasi sifat-sifat tanah (Bedient & Huber 2002). Beberapa penyesuaian harus dilakukan jika mengestimasi infiltrasi berdasarkan database tanah yang digeneralisasi bagi pemodelan hidrologi. Untuk memperoleh parameter-parameter infiltrasi dari sifat tanah membutuhkan reklasifikasi dari soil mapping unit menjadi parameter yang berarti bagi model hidrologi. 2.5. Tutupan lahan (land-cover)

Menurut Ward dan Elliot (1985) pengaruh jenis penggunaan lahan dan tutupan vegetasi terhadap infiltrasi dikategorikan sebagai kondisi permukaan (soil-surface), berlainan halnya dengan kondisi tekstur tanah yang merupakan kondisi bawah permukaan (sub-surface). Jenis tutupan lahan akan mempengaruhi laju infiltrasi air hujan. Respon curah hujan yang jatuh di permukaan akan ditentukan pertama oleh jenis permukaan baru kemudian oleh kondisi fisik dari lapisan tanah.

Limpasan permukaan merupakan fenomena yang terjadi ketika intensitas hujan melampaui kecepatan air untuk penetrasi ke dalam water table atau disebut dengan kapasitas infiltrasi. Faktor yang mempengaruhi limpasan terbagi dua yaitu klimatologis dan fisiografis (Sharp & Shawden 1984). Faktor klimatologis berupa masukan hujan, curah hujan yang tinggi dalam periode singkat akan menyebabkan segera terlampauinya kapasitas infistrasi sehingga air akan banyak melimpas menuju aliran sungai menyebabkan semakin tingginya debit yang berakibat pada banjir.

Sementara faktor fisiografis meliputi jenis tanah dan kondisi permukaan DAS yang berpengaruh langsung pada kapasitas infiltrasi. Permukaan dengan tutupan vegetasi akan mempengaruhi transpirasi dan intersepsi, sehingga diketahui secara umum bahwa limpasan pada daerah hutan jauh lebih kecil dibanding daerah agrikultur atau terbangun. Dibandingkan dengan daerah lahan terbuka, daerah bervegetasi memiliki kemampuan untuk mengurangi limpasan permukaan. Vegetasi meningkatkan struktur tanah dan megurangi kandungan air tanah sehingga meningkatkan jumlah air yang dapat terinfiltrasi. Pepohonan dan tanaman


(7)

berakar dalam biasanya mengkonsumsi lebih banyak air tanah melalui evepotranspirasi dibanding tanaman berakar dangkal, demikian limpasan di daerah tersebut menjadi lebih sedikit (Ward & Elliot 1995). 2.6. Penginderaan Jauh (Remote

Sensing)

Penginderaan jauh (remote sensing) dapat didefinisikan sebagai ilmu dan seni dalam mendapatkan informasi mengenai berbagai objek atau fenomena tanpa melakukan kontak fisik dengan objek atau fenomena tersebut (Aronoff 1989). Berbagai teknik yang digunakan dalam penginderaan jauh dapat dibagi berdasarkan tipe platform / wahana yang digunakan yaitu satelit, pesawat terbang, balon terbang, dan lainnya. Beberapa metode remote sensing yang biasa digunakan yaitu fotografi udara, pencitraan satelit, radar serta lidar. Metode-metode penginderaan jauh tersebut memanfaatkan sebagian dari spektrum elektromagnetik yang dipancarkan atau direfleksikan oleh sasaran yang berada di permukaan. Spektrum elektromagnetik yang biasa digunakan meliputi spektrum tampak, inframerah dekat, inframerah termal, gelombang mikro dan radio.

Sensor pada berbagai wahana penginderaan jauh terdiri dari detektor berfungsi untuk merekam serta sensitif terhadap spektrum gelombang elektromagnetik tertentu. Terkait dengan sensornya, penginderaan jauh terbagi menjadi dua yaitu satelit aktif dan pasif. Sensor pasif yaitu sensor yang merekam pantulan atau radiasi yang bersumber dari matahari, sementara sensor aktif memiliki kemampuan memancarkan gelombang yang kemudian pantulannya akan direkam kembali oleh sensor. Berdasarkan domain spektrum elektromagnetik yang digunakan, penginderaan jauh dibedakan menjadi : visible dan reflektif, thermal infrared dan microwave (Prahasta 2008). Tipe pertama memanfaatkan pantulan radiasi matahari oleh objek di permukaan, tipe kedua menangkap radiasi yang dipancarkan sendiri oleh objek dengan suhu lebih besar dari 0 K, sementara tipe ketiga terbagi menjadi dua macam yaitu penginderaan jauh microwave aktif dan pasif.

Sensor-sensor yang telah dikembangkan dalam penginderaan jauh memberikan berbagai jenis masukan data yang memungkinkan bagi integrasi dan perpaduan untuk pemanfaatan dalam

berbagai aplikasi seperti dalam manajemen bencana alam. Tahap-tahap dalam manajemen bencana tersebut terbagi menjadi : pendugaan kerawanan, peringatan dini, mitigasi bencana, respon, pendugaan kerugian serta pemulihan. Sinergi aplikasi antara sensor resolusi rendah dengan resolusi tinggi serta data real-time dengan data arsip memungkinkan kombinasi antar resolusi spasial, temporal dan radiometrik yang berbeda untuk menentukan nilai trend dan area-area yang rawan dan menduga nilai kerawanan dan skenario yang mungkin terjadi (Nayak & Zlatanova 2008).

2.7. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem informasi adalah serangkaian operasi berawal dari perencanaan pengambilan data, penyimpanan dan analisis data, hingga pembuatan keputusan berdasarkan informasi yang diperoleh. Sedangkan geografi adalah bidang keilmuan yang mengkaji hubungan-hubungan spasial baik objek maupun fenomena. Berdasar konsep diatas Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem informasi yang didesain untuk bekerja dengan data yang memiliki referensi spasial atau koordinat geografis (Star & Estes 1990). Dalam konteks ini sebuah peta merupakan sejenis sistem informasi yang menyajikan gambaran hubungan-hubungan spasial dari data-data yang tersimpan didalamnya.

Data yang dapat dimasukkan kedalam lingkup SIG terdiri dari dua macam yaitu data spasial dan data atribut (non-spasial). Data spasial menunjukkan lokasi geografis dari fitur-fitur (features), sedangkan atribut memberikan informasi mengenai fitur-fitur tersebut. Fitur adalah istilah yang mengacu pada informasi yang disematkan pada peta. Fitur dapat berupa titik (point), garis (line) atau area. Untuk mencocokkan posisi data spasial agar yang berada pada lokasi tertentu pada permukaan bumi diperlukan proses georeferensi. Serangkaian kemampuan SIG dalam menangani data yang telah memiliki georeferensi yaitu dalam input, manajemen data, analisis dan manipulasi, serta output (Aronoff 1989).

SIG memungkinkan integrasi antar data yang diperoleh dari perpustakaan, laboratorium, dan studi lapang dengan data penginderaan jauh. Penginderaan jauh sendiri merupakan input yang penting bagi SIG karena dapat menyediakan berbagai jenis data masukan bagi SIG dengan resolusi


(8)

spasial dan temporal kian membaik, dengan demikian informasi yang dapat dihasilkan dan cakupan aplikasipun menjadi semakin beragam. Sebagai contoh dalam bidang hidrologi beberapa data yang biasa digunakan sebagai masukan bagi SIG yaitu topografi, tanah, penggunaan lahan, dan presipitasi dapat direpresentasikan secara dijital oleh SIG untuk keperluan aplikasi seperti untuk penentuan daerah aliran sungai, estimasi limpasan, pemodelan hidrolik, dan pemetaan dataran banjir (floodplain) (Bedient & Huber 2002).

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor selama periode April hingga Desember 2011. 3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan

software Microsoft Excel 2010, ERMapper 7.1, ENVI 4.5, dan ArcGis 9.3 untuk pengolahan data-data serta Microsoft Word 2010 dalam penyusunan tulisan.

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi :

 Data elevasi digital Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) v4.1 yang dapat diperoleh melalui salah satu interface download resmi yaitu pada situs http://srtm.csi.cgiar.org. Data DEM SRTM tersebut tersedia untuk di download dalam grid 5o x 5o (seleksi meliputi Lintang 5oS - 10oS dan Bujur 105oE - 1100E) dengan resolusi 3 arc second (sekitar 90m) menggunakan sistem koordinat geografis dan datum WGS84. Data ini tersedia dalam format Arcinfo ASCII dan GeoTiff.

 Data Intensitas Hujan TRMM Multi-satellite Precipitation Analysis (TMPA) Version 6 3B42 : three-hourly combined microwave-IR estimates. Dataset ini memuat parameter intensitas hujan (rain rate) dalam satuan mm/jam dengan resolusi temporal 3-jam dan resolusi spasial 0,25o atau sekitar 27 km. Periode data yang di download yaitu bulan Februari dan Desember 2007. Data dapat didownload melalui website resmi

TRMM yaitu

http://trmm.gsfc.nasa.gov/data_dir/data.h tml. Data yang dipakai yaitu data keluaran GES DISC DAAC (Goddard Earth Sciences Data and Information Services Centre - Distributed Active Archive System). Format data yang disediakan yaitu binary (.bin),

Hierarchical Data Files (.hdf) dan netCDF.

 Citra tutupan lahan regional hasil klasifikasi oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menggunakan citra Landsat 7 (ETM+) kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Citra yang digunakan untuk proses klasifikasi adalah citra tahun 2003.

 Peta Satuan Lahan tahun 1990 dengan skala 1:250.000 yang dibuat oleh PUSLITANAK bersumber dari Skripsi oleh Wiujianna A (2005).

 Data kejadian bencana alam banjir dan longsor periode tahun 2007 yang diperoleh dari Departemen Pertanian. 3.3. Wilayah Kajian

Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107°52'-108°36' BT dan 6°15'-6°40' LS. Bentuk tofografinya sebagian besar merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanahnya rata-rata 0 - 2 %. Luas total Kabupaten Indramayu yang tercatat adalah seluas 204.011 ha. Menurut data SIG Bapeda Kabupaten Indramayu, pola penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Indramayu terdiri dari Sawah Irigasi 121.355 Ha (59,50%); Sawah tadah hujan 12.420 ha (06,09%); Perkebunan 42.130 ha (15,75%); Pemukiman 17.980 ha (08,81%); Empang 12.600 ha (06.18%); lainnya 7.526 ha (03,67%). Curah hujan rata-rata tahunan 1.587 mm pertahun dengan jumlah hari hujan 91 hari. Kabupaten Indramayu merupakan daerah hilir dari aliran sungai yang sangat potensial sebagai sumber air bagi kebutuhan petanian, industri maupun bahan baku air bersih. Disaat yang sama hal tersebut menyebabkan wilayah ini sering mengalami banjir.

3.4. Metode Penelitian

Metode penelitian dapat dibagi menjadi tiga tahapan utama yaitu pembangunan basis data, analisis data dan perbandingan hasil akhir dengan data banjir aktual yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Penggunaan parameter banjir, pembagian kriteria, skoring, serta pembobotan


(9)

spasial dan temporal kian membaik, dengan demikian informasi yang dapat dihasilkan dan cakupan aplikasipun menjadi semakin beragam. Sebagai contoh dalam bidang hidrologi beberapa data yang biasa digunakan sebagai masukan bagi SIG yaitu topografi, tanah, penggunaan lahan, dan presipitasi dapat direpresentasikan secara dijital oleh SIG untuk keperluan aplikasi seperti untuk penentuan daerah aliran sungai, estimasi limpasan, pemodelan hidrolik, dan pemetaan dataran banjir (floodplain) (Bedient & Huber 2002).

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor selama periode April hingga Desember 2011. 3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan

software Microsoft Excel 2010, ERMapper 7.1, ENVI 4.5, dan ArcGis 9.3 untuk pengolahan data-data serta Microsoft Word 2010 dalam penyusunan tulisan.

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi :

 Data elevasi digital Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) v4.1 yang dapat diperoleh melalui salah satu interface download resmi yaitu pada situs http://srtm.csi.cgiar.org. Data DEM SRTM tersebut tersedia untuk di download dalam grid 5o x 5o (seleksi meliputi Lintang 5oS - 10oS dan Bujur 105oE - 1100E) dengan resolusi 3 arc second (sekitar 90m) menggunakan sistem koordinat geografis dan datum WGS84. Data ini tersedia dalam format Arcinfo ASCII dan GeoTiff.

 Data Intensitas Hujan TRMM Multi-satellite Precipitation Analysis (TMPA) Version 6 3B42 : three-hourly combined microwave-IR estimates. Dataset ini memuat parameter intensitas hujan (rain rate) dalam satuan mm/jam dengan resolusi temporal 3-jam dan resolusi spasial 0,25o atau sekitar 27 km. Periode data yang di download yaitu bulan Februari dan Desember 2007. Data dapat didownload melalui website resmi

TRMM yaitu

http://trmm.gsfc.nasa.gov/data_dir/data.h tml. Data yang dipakai yaitu data keluaran GES DISC DAAC (Goddard Earth Sciences Data and Information Services Centre - Distributed Active Archive System). Format data yang disediakan yaitu binary (.bin),

Hierarchical Data Files (.hdf) dan netCDF.

 Citra tutupan lahan regional hasil klasifikasi oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menggunakan citra Landsat 7 (ETM+) kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Citra yang digunakan untuk proses klasifikasi adalah citra tahun 2003.

 Peta Satuan Lahan tahun 1990 dengan skala 1:250.000 yang dibuat oleh PUSLITANAK bersumber dari Skripsi oleh Wiujianna A (2005).

 Data kejadian bencana alam banjir dan longsor periode tahun 2007 yang diperoleh dari Departemen Pertanian. 3.3. Wilayah Kajian

Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107°52'-108°36' BT dan 6°15'-6°40' LS. Bentuk tofografinya sebagian besar merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanahnya rata-rata 0 - 2 %. Luas total Kabupaten Indramayu yang tercatat adalah seluas 204.011 ha. Menurut data SIG Bapeda Kabupaten Indramayu, pola penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Indramayu terdiri dari Sawah Irigasi 121.355 Ha (59,50%); Sawah tadah hujan 12.420 ha (06,09%); Perkebunan 42.130 ha (15,75%); Pemukiman 17.980 ha (08,81%); Empang 12.600 ha (06.18%); lainnya 7.526 ha (03,67%). Curah hujan rata-rata tahunan 1.587 mm pertahun dengan jumlah hari hujan 91 hari. Kabupaten Indramayu merupakan daerah hilir dari aliran sungai yang sangat potensial sebagai sumber air bagi kebutuhan petanian, industri maupun bahan baku air bersih. Disaat yang sama hal tersebut menyebabkan wilayah ini sering mengalami banjir.

3.4. Metode Penelitian

Metode penelitian dapat dibagi menjadi tiga tahapan utama yaitu pembangunan basis data, analisis data dan perbandingan hasil akhir dengan data banjir aktual yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Penggunaan parameter banjir, pembagian kriteria, skoring, serta pembobotan


(10)

didasarkan pada sumber yang dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. Metode yang digunakan adalah hasil modifikasi dari sumber metode acuan berupa penggantian atau penambahan parameter yang dikarenakan permasalahan ketersediaan data, serta pembagian kriteria yang disesuaikan dengan keadaan lokal wilayah kajian. Metode hasil modifikasi dapat dilihat pada Lampiran 4.

3.4.1. Pembangunan Basis Data

Dalam tahapan ini dilakukan persiapan berupa pengolahan awal terhadap masing-masing data setiap parameter (elevasi, slope, tutupan lahan, drainase, dan curah hujan) agar siap digunakan pada langkah selanjutnya yaitu analisis data. 3.4.1.1. Pengolahan Data DEM

Data DEM - SRTM didistribusikan dengan resolusi 3 arc second atau sekitar 90 meter untuk daerah di luar Amerika Serikat. Penggunaan data ini adalah untuk menghasilkan peta ketinggian dan kelerengan (slope). Agar dapat dilakukan analisis spasial bersama dengan data lain diperlukan kesamaan resolusi spasial, oleh karena itu dilakukan proses resampling data menjadi resolusi 250m atau 0.002252o.

Nilai kelerengan / slope diturunkan dari nilai ketinggian pada data DEM-SRTM dengan pilihan satuan persen kenaikan (percent-rise). Satuan persen slope dapat diartikan sebagai seberapa besar perubahan nilai ketinggian dalam satuan jarak horizontal tertentu.

dimana m = slope atau gradien, = perubahan ketinggian, = perubahan jarak..

3.4.1.2. Pengolahan Data TRMM

Data TMPA 3B42 V6 memuat parameter intensitas hujan rata-rata setiap periode 3 jam pengukuran (0z, 3z, 6z, 9z, 12z, 15z, 18z, dan 21z). Nilai intensitas hujan pada 0z berarti intensitas hujan rata-rata mulai pengukuran pada pukul 22.30 hingga 01.30. Data intensitas hujan (mm/jam) dikalikan dengan lama periode pengamatan dalam satu data yaitu 3 jam menghasilkan nilai curah hujan (mm) selama 3 jam. Nilai curah hujan harian adalah hasil penjumlahan dari delapan data curah hujan 3 jam dalam satu hari (0z – 21z) mulai pukul 22.30 hari sebelumnya hingga pukul 22.29

hari tersebut. Data kemudian diakumulasi selama 15 hari dengan menjumlah lima belas data curah hujan harian dengan tujuan untuk menghasilkan peta kerawanan banjir 15-harian yang kemudian akan dibandingkan dengan data banjir aktual yang digunakan yaitu data banjir 15-harian. Proses diatas dilakukan di dalam software ENVI 4.5.

Resolusi spasial yang dimiliki oleh citra satelit TRMM yaitu 0,25o ~ 27 Km, sehingga proses penyesuaian resolusi spasial dengan data-data lain perlu dilakukan. Untuk itu diterapkan proses gridding dalam ERMapper 7.1 dengan tipe grid Minimum Curvature untuk memperhalus resolusi ukuran pixel menjadi 250 m atau 0,002252o. 3.4.1.3. Pengolahan Data Tutupan Lahan LANDSAT

Data tutupan lahan diturunkan dari hasil klasifikasi citra satelit LANDSAT tahun 2003 menggunakan kanal (band) 1, 2, 3, 4, 5 dan 7 yang dilakukan oleh LAPAN. Data yang diperoleh memiliki 13 kelas tutupan lahan yang teridentifikasi untuk wilayah Kabupaten Indramayu. Untuk pembagian kriteria serta pemberian skor pada tahapan pengolahan selanjutnya, kelas-kelas tutupan lahan tersebut di generalisasi menggunakan fungsi dissolve pada ArcGIS 9.3 ke dalam lima kelas utama yaitu (1) Hutan, (2) Semak / Belukar, (3) Ladang / Tegalan / Kebun, (4) Sawah / Tambak / Air, dan (5) Pemukiman.

3.4.1.4. Pengolahan Data Drainase

Drainase tanah diturunkan dari informasi tekstur tanah pada peta satuan lahan. Empat kelas tekstur tanah dalam peta tersebut (pasir, lempung berpasir, lempung berliat, dan liat) mewakili kecepatan drainase (sangat cepat, cepat, lambat dan sangat lambat). Peta yang diperoleh adalah dalam bentuk cetakan sehingga proses pengolahan meliputi digitasi peta agar dapat diolah dalam software, penambahan informasi informasi drainase, kemudian proses konversi peta menjadi bentuk raster. 3.4.2. Analisis Data

3.4.2.1. Reklasifikasi dan Skoring

Setiap data yang telah melalui tahapan pengolahan awal kemudian dibagi kedalam kelas-kelas yang masing-masing mempunyai nilai skor yang menunjukkan skala kerentanan faktor tersebut terhadap kejadian banjir. Skor rendah menandakan


(11)

kecilnya kemungkinan terjadinya banjir di wilayah tersebut, dan semakin tinggi nilai skor berarti peluang terjadinya banjir semakin besar.

ELEVASI

Wilayah dengan nilai elevasi tinggi (pegunungan / bukit) memiliki peluang kejadian banjir yang lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang lebih rendah dikarenakan air yang jatuh ke permukaan cenderung akan dengan segera mengalir ke daerah lebih rendah di sekitarnya. Sedangkan daerah rendah merupakan tempat terakumulasinya debit air limpasan / aliran sungai. Dalam Tabel 1 ditunjukkan bahwa daerah bernilai elevasi tinggi memiliki nilai skor kerawanan rendah, sementara daerah berketinggian rendah memiliki skor tinggi.

Tabel 1. Kriteria dan skor elevasi

Kelas Kriteria Skor

1 > 200 m 1

2 100 – 200 m 2

3 50 – 100 m 3

4 10 – 50 m 4

5 < 10 m 5

KELERENGAN

Skor kelas lereng ditentukan dimana semakin tinggi kemiringan lahan atau semakin curamnya suatu daerah akan menyebabkan semakin sedikitnya waktu bagi air hujan untuk terinfiltrasi sehingga akan mudah lolos dalam bentuk limpasan permukaan. Sementara semakin rendah nilai kelerengan atau semakin datarnya permukaan akan menyebabkan air memiliki banyak waktu untuk proses infiltrasi sehingga kapasitas lapang lebih cepat terpenuhi, dengan demikian kemungkinan terjadi genangan semakin besar. Maka semakin datar / semakin kecil nilai kemiringan lahan maka skor semakin bertambah seperti dapat lihat pada Tabel 2 dibawah.

Tabel 2. Kriteria dan skor kelerengan

Kelas Kriteria Skor

1 > 8 % 1

2 6 – 8 % 2

3 4 – 6 % 3

4 2 – 4 % 4

5 0 – 2 % 5

TUTUPAN LAHAN

Masing-masing jenis tutupan lahan (land-cover) mempunyai koefisien limpasan yang berbeda-beda. Koefisien limpasan menunjukkan seberapa besar porsi dari curah hujan yang akan mengalir sebagai limpasan permukaan. Semakin banyaknya vegetasi akan meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan juga menahan laju limpasan. Berbeda halnya lahan sawah yang memiliki kandungan air pada kapasitas lapang yang tinggi sehingga kemampuan menyerap air menjadi rendah. Terlebih lagi permukaan daerah terbangun yang banyak ditutupi oleh objek kedap air seperti bangunan dan jalan sehingga permukaan semakin tidak permeabel mengakibatkan tingginya limpasan yang mendukung terjadinya banjir. Tabel 3 menunjukkan skoring kriteria tutupan lahan. Tabel 3. Kriteria dan skor tutupan lahan

Kelas Kriteria Skor

1 Hutan 1

2 Semak/Belukar 2

3 Ladang/Tegalan/Kebun 3 4 Sawah/Tambak/Air 4

5 Pemukiman 5

DRAINASE

Parameter sifat fisik tanah yang digunakan untuk menentukan kecepatan drainase adalah kelas tekstur tanah. Nilai kapasitas infiltrasi dapat diduga berdasarkan kelas-kelas tekstur untuk menentukan kecepatan drainase. Dari peta satuan lahan diperoleh empat kelas tekstur tanah yaitu pasir, lempung berpasir, lempung berliat dan liat. Tanah dengan kondisi tekstur yang didominasi oleh pasir memiliki pori besar sehingga air mudah meresap dan menyebabkan drainase menjadi cepat. Sedangkan semakin tinggi kandungan liat maka ukuran pori akan semakin kecil sehingga air akan tertahan di dalam ruang pori mikro, mengakibatkan drainase yang buruk / lambat. Dengan demikian drainase cepat memiliki skor rendah, sementara drainase lambat memiliki skor tinggi seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kriteria dan skor drainase

Kelas Kriteria Skor

1 Sangat cepat 1

2 Cepat 2

3 Lambat 3


(12)

CURAH HUJAN

Beragam keadaan topografi wailayah hanya akan menentukan respon terhadap masukan air yang diterima suatu wilayah. Sedangkan curah hujan adalah masukan utama yang menyebabkan terjadinya banjir. Semakin tingginya curah hujan akan menyebabkan kemampuan suatu wilayah untuk menyerap dan melalukan air lebih cepat terlampaui dan mengakibatkan banjir. Oleh karena itu skor semakin tinggi seiring bertambah besarnya curah hujan yang diterima. Pada Tabel 5 disajikan pembagian kriteria curah hujan 15 harian.

Tabel 5. Kriteria dan skor curah hujan

Kelas Kriteria Skor

1 < 50 mm 1

2 50 – 100 mm 2

3 100 – 150 mm 3

4 150 – 200 mm 4

5 > 200 mm 5

3.4.2.2. Overlay dan Pembobotan

Setelah masing-masing kelas pada setiap parameter banjir telah diberi nilai skor, keseluruh peta tersebut lalu ditumpang susunkan (overlay) untuk diterapkan pembobotan dari nilai-nilai skor yang ada. Persen bobot parameter-parameter kerawanan banjir dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Bobot variabel banjir

Faktor Bobot (%)

Elevasi 10

Kelerengan 20

Curah Hujan 30

Penggunaan Lahan 20

Drainase 20

Rumusan perhitungan skor kerawanan banjir hasil pembobotan dari skor-skor keseluruh parameter yaitu sebagai berikut,

dimana X adalah skor kerawanan terhadap terjadinya banjir gabungan seluruh parameter, B adalah bobot parameter ke-i, dan S adalah skor parameter ke-i.

Bobot masing-masing parameter dalam penentuan tingkat kerawanan banjir ditentukan berdasarkan pertimbangan kontribusi parameter tersebut terhadap kejadian banjir. Semakin besar nilai bobot suatu parameter mengindikasikan bahwa

parameter tersebut memiliki pengaruh yang besar pula terhadap banjir, dan begitu pula sebaliknya.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Topografis

Hasil pengolahan data DEM-SRTM menunjukkan kondisi topografis wilayah Kabupaten Indramayu yang berada di wilayah pesisir utara Jawa Barat memiliki nilai ketinggian berkisar antara -18 hingga 291 mdpl seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. DEM - SRTM

Titik-titik pixel berisi nilai negatif atau no-data terekam oleh radar SRTM yang tersebar di seluruh wilayah Indramayu dapat berarti daerah tersebut memang memiliki ketinggian dibawah permukaan laut, kemungkinan lainnya yaitu daerah tersebut berupa badan air (sungai, danau) atau kegagalan perekaman data dikarenakan area perekaman tertutup oleh bayang-bayang. Namun secara umum nilai-nilai negatif tersebut tidak terlalu mempengaruhi proses pengolahan data selanjutnya atau dapat diabaikan.

Rendahnya nilai ketinggian di sebagian besar wilayah Indramayu menunjukkan bahwa wilayahnya merupakan daerah hilir sungai yang merupakan tempat terakumulasinya debit banjir. Hal ini dapat dikatakan memiliki pengaruh erat terhadap seringnya kejadian bencana banjir yang dialami daerah ini.


(13)

Gambar 2. Pembagian kelas ketinggian Gambar 2 menunjukkan hasil reklasifikasi data DEM menghasilkan 5 kelas ketinggian dengan luasan masing-masing kelas seperti yang terlihat pada Tabel 7 dibawah. Sebagian besar wilayah Indramayu termasuk kedalam kelas 5 pada elevasi < 10m, kelas 4 pada rentang 10 – 50m dan kelas 3 yaitu antara 50 – 100m. Lebih dari 50% wilayah Indramayu memiliki ketinggian pada kelas 5 dimana potensi terjadinya genangan sangat tinggi. Dan hampir 100% wilayah memiliki skor cukup rentan hingga sangat rentan banjir. Tabel 7. Luasan kelas ketinggian

Kelas Luas (ha) Luas (%)

1 227 0,1%

2 488 0,2%

3 12.560 6,2%

4 80.081 39,3%

5 110.472 54,2%

TOTAL 203.827 100%

Nilai elevasi yang umumnya rendah dan tidak terdapatnya banyak perubahan ketinggian menyebabkan rendahnya nilai slope di sebagian besar wilayah ini. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa wilayah Indramayu merupakan dataran rendah seperti yang terlihar pada Gambar 3.

Gambar 3. Penurunan nilai kelerengan Kondisi permukaan yang datar akan menghambat laju aliran limpasan permukaan, sehingga curah hujan yang jatuh pada suatu tempat akan cenderung untuk tertahan di tempat jatuhnya. Dengan demikian pergerakan air akan lebih banyak mengandalkan proses infiltrasi yang akan ditentukan oleh sifat fisik tanah dan dibatasi oleh nilai kapasitas lapang.

Gambar 4. Pembagian kelas kelerengan Reklasifikasi nilai slope pada Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa sebesar 98,24% wilayah Indramayu berada pada kelas 5 (0 – 2 %) yang sangat rawan untuk terjadi penggenangan. Hasil perhitungan luasan kelas kelerengan dapat dilihat pada Tabel 8. Sehingga dapat diartikan bahwa hampir seluruh wilayah Indramayu memiliki potensi yang tinggi untuk mengalami penggenangan.


(14)

Tabel 8. Luasan kelas kelerengan

Kelas Luas (ha) Luas (%)

1 574 0,3%

2 100 0,0%

3 338 0,2%

4 2.574 1,3%

5 200.235 98,2%

TOTAL 203.822 100%

4.2. Penutupan Lahan

Terdapat 13 kelas tutupan lahan yang telah dipisahkan melalui citra Landsat dalam peta tutupan lahan regional yang diperoleh dari LAPAN yaitu badan air, semak/belukar, berawan/tak ada data, hutan mangrove, industri, ladang/tegalan, lahan terbuka, perkebunan, pemukiman kampung, pemukiman kota, rawa, sawah, dan tambak. Untuk memudahkan proses skoring yang akan dilakukan selanjutnya, maka kelas-kelas tutupan lahan ini di generalisasikan menjadi 5 kelas utama yaitu hutan, semak/belukar, ladang/tegalan/kebun, sawah/tambak/air , dan pemukiman, seperti terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Tutupan Lahan LANDSAT 2003 Pola penggunaan lahan di Kabupaten Indramayu mayoritas untuk keperluan kegiatan pertanian, hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan luasan penggunaan lahan pada Tabel 9 dimana 71,07% wilayah Indramayu berupa daerah persawahan. Urutan selanjutnya yang merupakan kelas penggunaan yang dominan yaitu ladang/tegalan/kebun dan pemukiman, sementara hutan dan semak/belukar tidak terlalu memiliki luasan yang cukup signifikan di wilayah Indramayu.

Tabel 9. Luasan kelas tutupan lahan Kelas Luas (ha) Luas

(%)

Hutan 1.455 0,7%

Semak/belukar 540 0,3% Ladang/tegalan 37.680 18,5% Sawah/tambak 144.906 71,1% Pemukiman 19.304 9,5% TOTAL 203.884 100% Penggunaan lahan untuk pertanian seperti sawah memerlukan keadaan lahan yang harus terus-menerus dibasahi bagi padi pada umur tertentu. Hal tersebut mengakibatkan lapisan tanah menjadi jenuh oleh air sehingga kemampuan tanah untuk menyerap air menjadi berkurang. Oleh karena itu sebagian besar wilayah Indramayu terutama di bagian utara dimana penutupan lahan sawah dominan memiliki nilai skor 4 pada skala kerawanan banjir. 4.3. Kondisi Fisik Tanah

Terdapat 4 kelas drainase (Gambar 6) yang diturunkan dari kelas-kelas tekstur yang diperoleh dari Peta Satuan Lahan yaitu pasir, lempung berpasir, lempung berliat dan liat. Dimana kondisi tekstur berpasir mewakili kelas drainase sangat cepat, tekstur lempung berpasir pada kelas drainase cepat, lempung berliat pada kelas drainase lambat, dan tekstur liat sebagai kelas drainase sangat lambat.

Gambar 6. Kelas Drainase Sumber : Wiujianna A (2005)

Luasan masing-masing kelas kecepatan drainase pada Tabel 10 menunjukkan bahwa 64,4% wilayah Indramayu memiliki kecepatan drainase yang lambat dan sangat lambat. Bagian utara wilayah ini berada pada kelas sangat lambat,


(15)

sementara bagian selatan memiliki drainase sangat cepat. Hal ini menyebabkan meningkatnya skor potensi banjir untuk bagian wilayah utara Indramayu.

Tabel 10. Tabel luasan kelas drainase Kelas Luas (ha) LUAS

(%) Sangat cepat 60.478 29,4%

Cepat 12.669 6,2%

Lambat 63.720 31,0%

Sangat lambat 68.650 33,4% TOTAL 205.517 100% 4.4. Curah Hujan

Hasil akumulasi curah hujan 15 harian menggunakan data TRMM 3B42 pada pada periode 1 - 15 Februari menunjukkan curah hujan minimum yang tercatat adalah sebesar 66 mm, sementara nilai maksimum tercatat yaitu 108 mm seperti terlihat pada Lampiran 10. Nilai curah hujan tersebut terbagi kedalam kelas 2 (50 - 100 mm) dan kelas 3 (100 - 150 mm). Sebagian besar wilayah Indramayu berada pada kelas 2.

Seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 12, nilai minimum curah hujan 15 harian pada periode 16 - 28 Februari tercatat sebesar 99 mm dan nilai maksimum sebesar 174 mm. Nilai curah hujan pada periode ini mencapai kelas 4 (150 - 200 mm), meski sebagian besar wilayah ini masih berada pada kelas 3 (100 - 150 mm). Hanya sebagian kecil wilayah yang termasuk kedalam kelas 2.

Pada periode 1 - 15 Desember data curah hujan TRMM mencatat nilai minimum 79 mm dan maksimum 162 mm, menghasilkan 3 kelas kriteria curah hujan dengan skor 2 (50 – 100 mm), 3 (100 - 150 mm) dan 4 (150 - 200 mm). Hanya sebagian kecil wilayah ini termasuk dalam kelas 4. Luasan terbesar tercatat pada kelas 3 disusul oleh kelas 2. Gambar disajikan pada Lampiran 14.

Curah hujan tertinggi tercatat pada periode 16 - 31 Desember dengan nilai minimum 141 mm hingga nilai maksimum 225 mm, seperti disajikan pada Lampiran 16. Tebal hujan pada periode ini mencapai kelas 5 ( > 200 mm) yang tersebar di bagian Timur. Kelas 4 (150 - 200 mm) mencakup sebagian besar wilayah ini, sementara kelas 3 (100 - 150 mm) hanya sebagian kecil saja.

4.5. Kerawanan Banjir

Hasil overlay dan pembobotan pada periode 1 - 15 Februari menghasilkan tiga kelas kerawanan banjir yaitu kelas 2 (Tidak Rawan), 3 (Cukup Rawan) dan kelas 4 (Rawan), seperti disajikan pada Lampiran 11. Luasan kelas Tidak Rawan sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Kelas 3 sebagai kelas Cukup Rawan tersebar di bagian tengah hingga Selatan Indramayu, sementara kelas 4 (Rawan) menutupi bagian Utara.

Periode 16 - 28 Februari juga menghasilkan kelas kerawanan 2, 3, dan 4. Perbedaan terletak pada luas kelas 4 atau kelas Rawan yang lebih besar. Hal ini dikarenakan masukan curah hujan yang diterima lebih besar dibanding 15 hari pertama bulan Februari. Gambar dapat dilihat pada Lampiran 13.

Sementara periode 1 - 15 Desember menghasilkan kelas Tidak Rawan (2), Cukup Rawan (3), Rawan (4) hingga Sangat Rawan (5). Kelas Tidak Rawan dan kelas Sangat Rawan hanya meliputi sebagian kecil dari seluruh wilayah, sementara luasan yang dominan yaitu kelas Cukup rawan dan kelas Rawan seperti dapat dilihat pada Lampiran 15.

Periode 16 - 31 Desember mencatat masukan curah hujan tertinggi dibanding periode lainnya menghasilkan kelas kerawanan pada skala 2, 3, 4, dan 5 seperti pada periode 1 - 15 Desember. Namun terjadi penambahan luasan kelas 5 (Sangat Rawan) yang cukup signifikan meliputi bagian Timur wilayah Indramayu dimana terdapat masukan curah hujan tertinggi. Gambar dapat dilihat pada Lampiran 17.

Pada Tabel 11 dibawah disajikan luas wilayah masing-masing nilai skala kerawanan pada setiap periode pengamatan khusus pada lokasi banjir. Data lokasi banjir yang digunakan yaitu gabungan kecamatan-kecamatan yang tercatat mengalami banjir pada data yang diperoleh dari Departemen Pertanian. Data luasan banjir per kecamatan pada periode pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 5.

Dari seluruh periode pengamatan, daerah yang tercatat mengalami penggenangan pada data banjir aktual berada pada skala kerawanan 3 (Cukup Rawan), 4 (Rawan), dan 5 ( Sangat Rawan). Sebagian besar daerah yang mengalami banjir tersebar pada kelas Rawan yang mencakup 79,9% dari luas lokasi banjir, disusul oleh kelas Cukup Rawan 17,3% dan kelas Sangat Rawan 2,8%.


(16)

Tabel 11. Luas skala kerawanan pada lokasi banjir 2007

Periode Luas Skala Kerawanan (ha)

1 2 3 4 5

1 - 15 Feb - - 32503,5 75084,0 -

16 - 28 Feb - - 9524,8 98062,8 -

1 - 15 Des - - 12066,4 37289,7 -

16 - 31 Des - - 326,6 40265,5 8807,8

TOTAL - - 54421,3 250702,0 8807,8

- - 17,3% 79,9% 2,8%

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Analisis kerawanan banjir yang dilakukan menunjukkan tingkatan kerawanan wilayah Indramayu pada keseluruhan periode pengamatan berada pada skala 2 (Tidak Rawan), 3 (Cukup Rawan), 4 (Rawan) dan 5 (Sangat Rawan). Secara umum wilayah yang terdeteksi pada skala Rawan dan Sangat Rawan tersebar di bagian Utara yang berupa daerah pesisir pantai. Sementara wilayah Tidak Rawan dan Cukup Rawan tersebar di bagian Selatan wilayah Indramayu menuju wilayah pegunungan.

Masukan data hujan TRMM sebagai input dinamis menampilkan gambaran variasi spasial kerawanan banjir yang dihasilkan dalam periode 15 harian. Perbandingan dengan data luasan lokasi banjir aktual menunjukkan bahwa banjir paling sering terjadi pada wilayah yang memiliki nilai skala kerawanan 4 (Rawan) dengan luasan mencakup 79,9 % dari total kejadian banjir pada seluruh periode pengamatan.

. 5.2. Saran

 Perlunya data sebaran kejadian banjir / genangan aktual yang akurat untuk digunakan sebagai pembanding untuk mengukur akurasi pendugaan kerawanan.  Validasi data hujan satelit TRMM

dengan data hujan permukaan perlu dilakukan untuk mendapatkan data hujan yang lebih mendekati kenyataan kejadian hujan di lapangan.

 Penyesuaian bobot parameter dan penambahan variabel masih dapat dilakukan untuk menambah akurasi pendugaan kerawanan banjir

DAFTAR PUSTAKA

Abidin MZ, Shofiyati R, Supriatna W. 2006. Inderaja dan SIG Untuk Identifikasi Sawah Rawan Banjir Pada Multi DAS di Jawa Barat Bagian Barat. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian Buku III. BBSDLP. Bogor.

Aronoff S. 1989. Geographic Information Systems: A Management Perspective. WDL Publication. Ottawa.

Becek K. 2008. Investigation of Elevation Bias of the SRTM C- and X-Band Digital Elevation Model. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII Part B1.

Bedient PB & Huber WC. 2002. Hidrology and Floodplain Analysis Third Edition. Prentice Hall. New Jersey. Dharmawan M & Therml S. 2008. Katalog

Methodologi Penyusunan Peta Geo Hazard Dengan GIS. BRR NAD-Nias. Banda Aceh.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Dunia Pustaka Jaya. Jakarta.

Linsley RK, Kohler MA, Paulhus JLH. 1980. Applied Hydrology. Tata McGraw-Hill. New York.

[NASA]. 2011. TRMM Science Data and Information System (TSDIS - 907). Vol 4 : Realease 6.10. NASA-GSFC. Maryland.


(17)

NIZAR NAJMUSAKIB RIZKILAH NADJMUDDIN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(18)

NIZAR N. R. N. Analysis of 2007 Flood Vulnerability Using TRMM Satellite Data (Case Study: Indramayu Regency, West Java). Supervised by MUH. TAUFIK and DEDE DIRGAHAYU.

Natural disaster management involves the identification of areas that are vulnerable to it. Flood is at the top list of natural disasters that has the highest frequency of occurence in Indonesia. Indramayu, as one of the major rice producing region in West Java, suffers flood disaster each year. This research was intended to address this problem by providing periodical information regarding flood vulnerable areas in Indramayu as the basis for decision making in managing flood disaster. Remote sensing and other data were used to obtain spatial information of flood factors. GIS analysis was performed to generate vulnerability scale value by combining all data. Five parameters that are considered to be causative to the flood disaster were taken as input and categorized into static factors including elevation, slope, land-cover, and drainage rate, while rainfall were used as the dinamic factor. DEM SRTM data were used as an input on elevation and slope derivation, Landsat image to generate land-cover map, and soil unit map to extract drainage rate information. Rainfall was calculated from TMPA 3B42-V6 data derived from TRMM satellite. The period observed was during Februari and Desember 2007 which was recorded as one of the biggest flood incident in Indonesia. The comparison between the resulting flood vulnerability map and the actual flood location showed that most flood occured at region with High Vulnerablility value. This region were found at the northern part of Indramayu which is a coastal area with low elevation and very flat surface, the dominance of rice field as land-cover, and very slow drainage rate. Rainfall input from satellite can show spatial variation of flood vulnerable areas within a fast period therefore usefull for flood prevention and monitoring, and also flood early warning system.


(19)

NIZAR N. R. N. Analisis Kerawanan Banjir Tahun 2007 Menggunakan Data Satelit TRMM (Studi Kasus : Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). Dibimbing oleh MUH. TAUFIK dan DEDE DIRGAHAYU

Salah satu tahapan dalam manajemen bencana alam yaitu menentukan daerah yang berpotensi mengalami bencana tersebut. Banjir menempati posisi yang tinggi dalam urutan frekwensi kejadian bencana alam di Indonesia. Indramayu sebagai salah satu daerah penghasil padi terbesar di Jawa Barat selalu mengalami bencana banjir setiap tahunnya. Dilatarbelakangi permasalahan tersebut, penelitian ini ditujukan untuk menyediakan informasi wilayah rawan banjir di Indramayu secara berkala sebagai dasar bagi langkah-langkah manajemen bencana banjir. Data inderaja dan data lainnya digunakan untuk memperoleh gambaran spasial faktor-faktor banjir. Analisis SIG dilakukan untuk menghasilkan nilai kerawanan dengan mengkombinasikan data-data yang digunakan. Lima parameter yang dianggap menyebabkan banjir digunakan sebagai input dan dikategorikan menjadi faktor statis yaitu elevasi, slope, tutupan lahan dan laju drainase, sementara curah hujan digunakan sebagai faktor dinamis. Data DEM SRTM digunakan sebagai masukan data elevasi dan penurunan nilai slope, citra Landsat untuk menghasilkan peta tutupan lahan, dan peta satuan lahan untuk memperoleh informasi laju drainase. Curah hujan diturunkan melalui perhitungan data TMPA 3B42-V6 yang diperoleh dari satelit TRMM. Periode yang diamati yaitu bulan Februari dan Desember tahun 2007 yang mana tercatat sebagai salah satu kejadian banjir terbesar di Indonesia. Perbandingan hasil peta kerawanan banjir terhadap data banjir aktual menunjukkan bahwa kejadian banjir cenderung terjadi di wilayah dengan kelas Rawan. Wilayah tersebut tersebar di bagian Utara Indramayu yang merupakan daerah pesisir dengan nilai elevasi yang rendah dan kondisi permukaan yang datar, kondisi penutupan lahan dominan berupa sawah dan laju drainase yang sangat lambat. Masukan data curah hujan satelit dapat menunjukkan variasi spasial dari wilayah rawan banjir dalam tempo yang cukup cepat sehingga bermanfaat untuk pengaturan pencegahan dan pemantauan banjir, juga sistem peringatan dini banjir.

KATA KUNCI : banjir, bencana alam, TRMM, SIG, penginderaan jauh


(20)

NIZAR NAJMUSAKIB RIZKILAH NADJMUDDIN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(21)

TRMM (Studi Kasus : Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

Nama : Nizar Najmusakib Rizkilah Nadjmuddin

NIM : G24054185

Menyetujui,

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Muh. Taufik, M.Si

Ir. Dede Dirgahayu M.Si

NIP 19810303 200701 1 001

NIP 19650411 199001 1 001

Ketua Departemen,

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.

NIP 19600305 198703 2 002


(22)

terselesaikannya penelitian ini dan terutama atas banyaknya hikmah dan pelajaran berharga yang diperoleh selama proses pengerjaannya. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hidrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor serta di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon. Semoga apa yang telah penulis kerjakan pada penelitian yang berjudul ”Analisis Kerawanan Banjir Tahun 2007 Menggunakan Data Satelit TRMM (Studi Kasus : Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)” ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat untuk para pembaca.

Ucapan terima kasih atas selesainya penelitian ini layaknya penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Ir. Dede Dirgahayu, M.Si sebagai Pembimbing Skripsi dari Instansi LAPAN

Pekayon yang telah memberikan topik penelitian serta metodologi dan juga atas bantuan teknis pengolahan data.

2. Bapak M. Taufik, M.Si sebagai Pembimbing Skripsi yang telah memberi masukan kepada penulis dalam analisis serta penulisan karya ilmiah ini.

3. Staff Dinas Pertanian dan Peternakan Kab.Indramayu dan PPOPT Indramayu atas kesediaan memberi data serta memberikan penjelasan.

4. Mbak Dini Staff PSDAL LAPAN atas penjelasan mengenai teknis pengolahan data TRMM.

5. Yunus Bahar GFM’41 atas kerelaan membantu ketika penulis sedang dalam keadaan terdesak.

6. Raden Tigin Purna Lugina yang telah menemani penulis selama menyelesaikan penelitian.

7. Bambang Ade Wahyudi ITSL’42 yang telah membantu proses layout peta. 8. Ridho M. Dhani THH’42 atas bantuan dalam persiapan seminar hasil.

9. Teman-teman GFM’42 atas kepedulian terhadap selesainya studi penulis di IPB : Tigin, Aan, Ghulam, Epi, Wita, Nancy, Yudi, Ningrum, Gito, Hengky, Heri, Tumpal, Hardie, Dewi, Ari, Zahir, Ivan, Singgih, Lisa, Dani, Dori, Tanjung, Anton, Irvan, Indra, Rifa, Haviez, Cici, Anis, Indah, dan Veza.

10. Senior dan Junior GFM yang konsisten mempertanyakan “kapan seminar?”

11. Orangtua penulis atas kucuran dana dan kesabaran selama hidup penulis dan terutama selama proses penelitian ini..

12. Semua individu dan pihak yang belum disebutkan disini yang telah menyumbang bantuan / dukungan sekecil apapun dengan niat tulus untuk membantu.

Penulis menyadari dan mengakui masih terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu segala saran ataupun kritik dari pembaca sangat diharapkan untuk perbaikan pada penelitian dan penulisan selanjutnya. Demikian semoga bermanfaat dan terima kasih.

Bogor, 14 Februari 2012


(23)

1988 dari pasangan Nadjmuddin Madani dan Wulan Widayati. Penulis mengenyam pendidikan mulai TK di As-Sunnah, SD Dasasila kelas 1 - 2, SD Gentra Masekdas kelas 3 – 4, SD BPI kelas 5 – 6, SMPN 11 Bandung 1999-2002, dan SMAN 6 Bandung 2002-2005. Tahun 2005 penulis masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima pada Program Studi Meteorologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi pada tingkat ke-2.

Selama kuliah di IPB penulis turut serta dalam kepanitiaan serta kegiatan baik di dalam maupun di luar Departemen. Penulis menjadi anggota UKM Panahan pada tahun 2006-2007. Penulis juga turut menjadi anggota kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi tahun 2007-2008. Pada tahun 2008 penulis magang di LITBANG Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air (PUSAIR) Bandung, dan juga mengikuti Seminar Nasional Teknik Sumber Daya Air di Cimahi. Selain itu penulis mencoba mengikuti beberapa pelatihan seperti SITEC (Soft-skill Technology) Pelatihan Corel Draw dan Pelatihan “Aeromodelling goes to campus 2007”. Pada tahun 2011 penulis juga mencoba menjadi Asisten Praktikum untuk mata kuliah Meteorologi Satelit.


(24)

[NASDA]. 2001. TRMM Data Users Handbook. Earth Observation Center. Japan.

Nayak S & Zlatanova S. 2008. Remote Sensing and GIS Technologies for Monitoring and Prediction of Disasters. Environtmental Science and Engineering. Page 75-99. Pitty AF. 1979. Geography And Soil

Properties. University Press. Cambridge.

Prahasta E. 2008 Remote Sensing: Praktis Penginderaan Jauh & Pengolahan Citra Dijital Dengan Perangkat Lunak ERMapper. Informatika. Bandung. Rodda J. 1974. Flash Floods Symposium

Crues Brutales. Proceedings the Paris Symposium; 1974; Paris, France. IAHS Publisher. UK.

Rodriguez E, Morris CS, Belz JE. 2005. An Assessment of the SRTM Topographic Products. Technical Report JPL D-31639, Jet Propulsion Laboratory, Pasadena, California, 143 pp.

Sene K. 2010. Hydrometeorology : Forecasting and Applications. Springer. New York.

Sharp JJ & Shawden PG. 1984. Basic Hidrology. Butterworth & Co. United Kingdom.

Sivakumar MVK, Motha RP, Das HP. 2005. Natural Disasters and Extreme Event in Agriculture : Impacts and Mitigation. Springer. Netherlands. Star J & Estes J. 1990. Geographic

Information Systems : An Introduction. Prentice Hall. New Jersey.

Soehoed AR. 2006. Tinjauan Ulang Gagasan Pengelolaan Air Van Blommestein untuk Pulau Jawa – Peranan Waduk-waduk Besar. Djambatan. Jakarta. Triwidiyati. 2009. Pengaruh Waktu dan

Lama Banjir Terhadap Produksi 20 Galur Padi Sawah (Oryza sativa Linn.). [Skripsi] Departemen

Agronomi dan Hortikultura FAPERTA IPB.

Ward AD & Elliot WJ. 1995. Environmental Hydrology. CRC Press. USA. Wiujianna A. 2005. Penentuan Daerah

Rawan Kekeringan Di Indramayu Dengan Penerapan Teknik SiIG (Sistem Informasi Geografis). [Skripsi] Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.


(25)

(26)

Lampiran 1. Diagram alur penelitian

SRTM

TRMM 3B42 LANDSAT

PETA SATUAN LAHAN

DEM KONVERSI

SLOPE CITRA TAHUN 2003

INTENSITAS HUJAN

TEKSTUR TANAH

AKUMULASI 15 HARIAN ELEVASI

SLOPE

CH 15 HARIAN TUTUPAN LAHAN

DRAINASE KLASIFIKASI

REKLASIFIKASI

KELAS ELEVASI KELAS SLOPE KELAS TUTUPAN LAHAN

KELAS HUJAN KELAS DRAINASE

SKORING, OVERLAY & PEMBOBOTAN

PETA KERAWANAN BANJIR

DATA LOKASI BANJIR

OVERLAY PERBANDINGAN KONVERSI CH


(27)

Lampiran 2. Sumber acuan (1) metode bobot dan skor parameter pemicu banjir

Variabel Kriteria Skor Bobot (1 x 2)

(1) (2)

Morfologi Wilayah

Cekung drainase lambat-sangat lambat (C1, C2),

Datar, drainase sangat lamat (L1) 1,0 0,40 0,40 Datar drainase lambat, agak lambat dan sedang

(L2, L3, L4) 0,75 0,30

Datar-agak berombak, drainase agak lambat,

sedang agak cepat (L2-U2, L3-U3, L4-U4) 0,50 0,20 Berombak drainase lambat (U2), berombak

drainase sedang (U3), berombak drainase cepat (U4)

0,25 0,10

Curah Hujan Sangat basah (> 3000) 1,0 0,40 0,40

(mm/tahun) Basah (2501 - 3000) 0,80 0,32

Sedang (2001 - 2500) 0,60 0,24

Kering (1501 - 2000) 0,40 0,16

Sangat kering (< 1500) 0,20 0,08

Permeabilitas Sangat cepat (> 12) 1,0 0,20 0,20

(cm/jam) Cepat (6 - 12) 0,80 0,16

Sedang (0,5 - 6) 0,60 0,12

Agak lambat (0,1 - 0,5) 0,40 0,08

Sangat lambat (< 0,1) 0,20 0,04

Tingkat kerawanan banjir / genangan

Jumlah nilai seluruh parameter Sangat Rawan > 0,82

Rawan 0,62 - 0,82

Kurang Rawan 0,42 - 0,61 Tidak Rawan < 0,42 Sumber : Abidin, dkk (2006)


(28)

Lampiran 3. Sumber acuan (2) bobot dan skor parameter pemicu banjir

Variabel Kriteria Skor

Tataguna Lahan Hutan / Semak 1

Tegalan 2

Perkebunan 3

Persawahan 4

Pemukiman 5

Topografi > 200 m 1

100 - 200 m 2

50 - 100 m 3

10 - 50 m 4

< 10 m 5

CH dasarian < 50 mm 1

50 - 100 mm 2

100 - 200 mm 3

200 - 300 mm 4

> 300 mm 5

Zona banjir umum terkait CH harian setempat saat terjadi banjir

20 - 50 mm 1

50 - 100 mm 2

100 - 200 mm 3

200 - 300 mm 4

> 300 mm 5


(29)

Lampiran 4. Modifikasi metode bobot dan skor parameter pemicu banjir

Variabel Kriteria Skor Bobot

Ketinggian > 200 m 1

10

100 - 200 m 2

50 - 100 m 3

10 - 50 m 4

< 10 m 5

Kelerengan 0 - 2 % 1

20

2 - 4 % 2

4 - 6 % 3

6 - 8 % 4

> 8 % 5

CH 15-harian < 50 mm 1

30

50 - 100 mm 2

100 - 200 mm 3

200 - 300 mm 4

> 300 mm 5

Tataguna Lahan Hutan / Semak 1

20

Tegalan 2

Perkebunan 3

Persawahan 4

Pemukiman 5

Laju Drainase Sangat cepat 1

20

Cepat 2

Lambat 3

Sangat lambat 4

Total skor

terbobot Tingkat kerawanan banjir/genangan 1 Sangat tidak rawan Very low vulnerability 2 Tidak Rawan Light vulnerability 3 Cukup Rawan Moderate vulnerability 4 Rawan High vulnerability 5 Sangat Rawan Severe vulnerability


(30)

Lampiran 5. Luas banjir (ha) di lahan sawah Kab. Indramayu periode Februari dan Desember 2007 Kecamatan 1 - 15 Feb 16 - 28 Feb 1 - 15 Des 16 - 31 Des

Anjatan 268 268

Arahan 396 396

Balongan 1080 1062

Bangodua

Bongas 955 907

Cantigi 543 537 857 857

Cikedung

Gabuswetan 2 2 1300 1300

Gantar

Haurgeulis

Indramayu 516 494 33 33

Jatibarang

Juntinyuat

Kandanghaur 828 940 3540 3540

Karangampel 50 50

Kedokanbunder

Kertasemaya 2573 2573 20 80

Krangkeng

Kroya

Lelea 980 980

Lohbener 707 707 1495 1495

Losarang 501 501 960 2687

Pasekan 543 543

Patrol 80 39

Sindang 1000 1000 3 3

Sliyeg

Sukagumiwang 1935 1935

Sukra 18 9

Terisi

Tukdana

Widasari 80 80

(Sumber : Departemen Pertanian) Keterangan :

Mengalami Banjir


(31)

Lampiran 6. Peta Ketinggian Kab. Indramayu


(32)

Lampiran 8. Peta Tutupan Lahan Tahun 2003 Kab. Indramayu


(33)

Lampiran 10. Peta Distribusi Hujan TRMM Kab. Indramayu 1 - 15 Februari 2007


(34)

Lampiran 12. Peta Distribusi Hujan TRMM Kab. Indramayu 16 - 28 Februari 2007


(35)

Lampiran 14. Peta Distribusi Hujan TRMM Kab. Indramayu 1 - 15 Desember 2007


(36)

Lampiran 16. Peta Distribusi Hujan TRMM Kab Indramayu 16 - 31 Desember 2007


(1)

Lampiran 6. Peta Ketinggian Kab. Indramayu


(2)

Lampiran 8. Peta Tutupan Lahan Tahun 2003 Kab. Indramayu


(3)

Lampiran 10. Peta Distribusi Hujan TRMM Kab. Indramayu 1 - 15 Februari 2007


(4)

Lampiran 12. Peta Distribusi Hujan TRMM Kab. Indramayu 16 - 28 Februari 2007


(5)

Lampiran 14. Peta Distribusi Hujan TRMM Kab. Indramayu 1 - 15 Desember 2007


(6)

Lampiran 16. Peta Distribusi Hujan TRMM Kab Indramayu 16 - 31 Desember 2007