didasarkan pada sumber yang dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. Metode yang
digunakan adalah hasil modifikasi dari sumber metode acuan berupa penggantian
atau
penambahan parameter
yang dikarenakan permasalahan ketersediaan data,
serta pembagian kriteria yang disesuaikan dengan keadaan lokal wilayah kajian.
Metode hasil modifikasi dapat dilihat pada Lampiran 4.
3.4.1. Pembangunan Basis Data
Dalam tahapan
ini dilakukan
persiapan berupa pengolahan awal terhadap masing-masing
data setiap
parameter elevasi, slope, tutupan lahan, drainase, dan
curah hujan agar siap digunakan pada langkah selanjutnya yaitu analisis data.
3.4.1.1. Pengolahan Data DEM
Data DEM - SRTM didistribusikan dengan resolusi 3 arc second atau sekitar 90
meter untuk daerah di luar Amerika Serikat. Penggunaan
data ini
adalah untuk
menghasilkan peta
ketinggian dan
kelerengan slope. Agar dapat dilakukan analisis spasial bersama dengan data lain
diperlukan kesamaan resolusi spasial, oleh karena itu dilakukan proses resampling data
menjadi resolusi 250m atau 0.002252
o
. Nilai kelerengan slope diturunkan
dari nilai ketinggian pada data DEM-SRTM dengan pilihan satuan persen kenaikan
percent-rise. Satuan persen slope dapat diartikan sebagai seberapa besar perubahan
nilai
ketinggian dalam
satuan jarak
horizontal tertentu. dimana m = slope atau gradien,
= perubahan ketinggian,
= perubahan jarak..
3.4.1.2. Pengolahan Data TRMM Data TMPA 3B42 V6 memuat
parameter intensitas hujan rata-rata setiap periode 3 jam pengukuran 0z, 3z, 6z, 9z,
12z, 15z, 18z, dan 21z. Nilai intensitas hujan pada 0z berarti intensitas hujan rata-
rata mulai pengukuran pada pukul 22.30 hingga
01.30. Data
intensitas hujan
mmjam dikalikan dengan lama periode pengamatan dalam satu data yaitu 3 jam
menghasilkan nilai curah hujan mm selama 3 jam. Nilai curah hujan harian adalah hasil
penjumlahan dari delapan data curah hujan 3 jam dalam satu hari 0z
– 21z mulai pukul 22.30 hari sebelumnya hingga pukul 22.29
hari tersebut. Data kemudian diakumulasi selama 15 hari dengan menjumlah lima belas
data curah hujan harian dengan tujuan untuk menghasilkan peta kerawanan banjir 15-
harian yang kemudian akan dibandingkan dengan data banjir aktual yang digunakan
yaitu data banjir 15-harian. Proses diatas dilakukan di dalam software ENVI 4.5.
Resolusi spasial yang dimiliki oleh citra satelit TRMM yaitu 0,25
o
~ 27 Km, sehingga proses penyesuaian resolusi spasial
dengan data-data lain perlu dilakukan. Untuk itu diterapkan proses gridding dalam
ERMapper 7.1 dengan tipe grid Minimum Curvature untuk memperhalus resolusi
ukuran pixel menjadi 250 m atau 0,002252
o
.
3.4.1.3. Pengolahan Data Tutupan Lahan LANDSAT
Data tutupan lahan diturunkan dari hasil klasifikasi citra satelit LANDSAT
tahun 2003 menggunakan kanal band 1, 2, 3, 4, 5 dan 7 yang dilakukan oleh LAPAN.
Data yang diperoleh memiliki 13 kelas tutupan lahan yang teridentifikasi untuk
wilayah
Kabupaten Indramayu.
Untuk pembagian kriteria serta pemberian skor
pada tahapan pengolahan selanjutnya, kelas- kelas tutupan lahan tersebut di generalisasi
menggunakan fungsi dissolve pada ArcGIS 9.3 ke dalam lima kelas utama yaitu 1
Hutan, 2 Semak Belukar, 3 Ladang Tegalan Kebun, 4 Sawah Tambak Air,
dan 5 Pemukiman. 3.4.1.4. Pengolahan Data Drainase
Drainase tanah
diturunkan dari
informasi tekstur tanah pada peta satuan lahan. Empat kelas tekstur tanah dalam peta
tersebut pasir, lempung berpasir, lempung berliat, dan liat mewakili kecepatan
drainase sangat cepat, cepat, lambat dan sangat lambat. Peta yang diperoleh adalah
dalam bentuk cetakan sehingga proses pengolahan meliputi digitasi peta agar dapat
diolah
dalam software,
penambahan informasi informasi drainase, kemudian
proses konversi peta menjadi bentuk raster. 3.4.2. Analisis Data
3.4.2.1. Reklasifikasi dan Skoring
Setiap data yang telah melalui tahapan pengolahan awal kemudian dibagi
kedalam kelas-kelas yang masing-masing mempunyai nilai skor yang menunjukkan
skala kerentanan faktor tersebut terhadap kejadian banjir. Skor rendah menandakan
kecilnya kemungkinan terjadinya banjir di wilayah tersebut, dan semakin tinggi nilai
skor berarti peluang terjadinya banjir semakin besar.
ELEVASI
Wilayah dengan nilai elevasi tinggi pegunungan bukit memiliki peluang
kejadian banjir
yang lebih
kecil dibandingkan dengan daerah yang lebih
rendah dikarenakan air yang jatuh ke permukaan cenderung akan dengan segera
mengalir ke daerah lebih rendah di sekitarnya.
Sedangkan daerah
rendah merupakan tempat terakumulasinya debit air
limpasan aliran sungai. Dalam Tabel 1 ditunjukkan bahwa daerah bernilai elevasi
tinggi memiliki nilai skor kerawanan rendah, sementara daerah berketinggian rendah
memiliki skor tinggi. Tabel 1. Kriteria dan skor elevasi
Kelas
Kriteria Skor
1 200 m
1 2
100 – 200 m
2 3
50 – 100 m
3 4
10 – 50 m
4 5
10 m 5
KELERENGAN
Skor kelas lereng ditentukan dimana semakin tinggi kemiringan lahan atau
semakin curamnya suatu daerah akan menyebabkan semakin sedikitnya waktu
bagi air hujan untuk terinfiltrasi sehingga akan mudah lolos dalam bentuk limpasan
permukaan. Sementara semakin rendah nilai kelerengan
atau semakin
datarnya permukaan akan menyebabkan air memiliki
banyak waktu untuk proses infiltrasi sehingga kapasitas lapang lebih cepat
terpenuhi, dengan demikian kemungkinan terjadi genangan semakin besar. Maka
semakin datar semakin kecil nilai kemiringan lahan maka skor semakin
bertambah seperti dapat lihat pada Tabel 2 dibawah.
Tabel 2. Kriteria dan skor kelerengan Kelas
Kriteria Skor
1 8
1 2
6 – 8
2 3
4 – 6
3 4
2 – 4
4 5
– 2 5
TUTUPAN LAHAN
Masing-masing jenis tutupan lahan land-cover mempunyai koefisien limpasan
yang berbeda-beda. Koefisien limpasan menunjukkan seberapa besar porsi dari
curah hujan yang akan mengalir sebagai limpasan permukaan. Semakin banyaknya
vegetasi akan meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan juga
menahan laju limpasan. Berbeda halnya lahan sawah yang memiliki kandungan air
pada kapasitas lapang yang tinggi sehingga kemampuan menyerap air menjadi rendah.
Terlebih lagi permukaan daerah terbangun yang banyak ditutupi oleh objek kedap air
seperti bangunan dan jalan
sehingga permukaan
semakin tidak
permeabel mengakibatkan tingginya limpasan yang
mendukung terjadinya banjir. Tabel 3 menunjukkan skoring kriteria tutupan lahan.
Tabel 3. Kriteria dan skor tutupan lahan Kelas
Kriteria Skor
1 Hutan
1 2
SemakBelukar 2
3 LadangTegalanKebun
3 4
SawahTambakAir 4
5 Pemukiman
5
DRAINASE
Parameter sifat fisik tanah yang digunakan untuk menentukan kecepatan
drainase adalah kelas tekstur tanah. Nilai kapasitas infiltrasi dapat diduga berdasarkan
kelas-kelas tekstur
untuk menentukan
kecepatan drainase. Dari peta satuan lahan diperoleh empat kelas tekstur tanah yaitu
pasir, lempung berpasir, lempung berliat dan liat. Tanah dengan kondisi tekstur yang
didominasi oleh pasir memiliki pori besar sehingga
air mudah
meresap dan
menyebabkan drainase
menjadi cepat.
Sedangkan semakin tinggi kandungan liat maka ukuran pori akan semakin kecil
sehingga air akan tertahan di dalam ruang pori mikro, mengakibatkan drainase yang
buruk lambat. Dengan demikian drainase cepat memiliki skor rendah, sementara
drainase lambat memiliki skor tinggi seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria dan skor drainase Kelas
Kriteria Skor
1 Sangat cepat
1 2
Cepat 2
3 Lambat
3 4
Sangat Lambat 4
CURAH HUJAN
Beragam keadaan topografi wailayah hanya akan menentukan respon terhadap
masukan air yang diterima suatu wilayah. Sedangkan curah hujan adalah masukan
utama yang menyebabkan terjadinya banjir. Semakin tingginya curah hujan akan
menyebabkan kemampuan suatu wilayah untuk menyerap dan melalukan air lebih
cepat terlampaui dan mengakibatkan banjir. Oleh karena itu skor semakin tinggi seiring
bertambah besarnya curah hujan yang diterima. Pada Tabel 5 disajikan pembagian
kriteria curah hujan 15 harian. Tabel 5. Kriteria dan skor curah hujan
Kelas
Kriteria Skor
1 50 mm
1 2
50 – 100 mm
2 3
100 – 150 mm
3 4
150 – 200 mm
4 5
200 mm 5
3.4.2.2. Overlay dan Pembobotan