Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam

(1)

ABSTRACT

MUHAMMAD MUTTAQIN. Effectivity of immersion thyroxine and recombinant growth hormone on growth and early development of striped catfish larvae. Supervised by AGUS OMAN SUDRAJAT and ALIMUDDIN.

Catfish hatchery requires technology and engineering to maximize the development and growth of catfish. In this research the hormone thyroxine (T4), and recombinant growth hormone (G) and mix of thyroxine and growth hormones (GT) were administered by immersion to enhance the development and growth of catfish larvae. Research was using completely randomized design, with 4 treatments and 5 replications; A, control; B, thyroxine hormone (T4) 0.1 mg / L, and C, T4 and G (GT) (0.1 mg / L and 10 mg / L) D, G 10 mg / L. Immersion was performed for 1 hour. The results showed that the rate of yolk absorption at 16 hours post immersion was higher (P<0.05) in treatment B (96.98%) compared with treatments A (18.54%), C (20.59%), and D (32.90%). Larval growth of treatments B (24.85 mm) and C (24.00 mm) was higher (P <0.05) compared with treatments A (21.71 mm) and D (23.18 mm). Survival rate among treatments were similar (P>0.05). The size of liver cell and cytoplasm of treated larvae were larger than the control. Behavior of fish in the treatments B and C showed more active than the treatments A and D. Thus, combination of thyroxine and recombinant growth hormone treatment (C) has an efficiency of yolk utilization, and higher in early larval striped catfish development and growth.

Keywords: striped catfish, T4, G, yolk absorption, growth, survival, liver histology.


(2)

ABSTRAK

MUHAMMAD MUTTAQIN. Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam. Dibimbing oleh AGUS OMAN SUDRAJAT dan ALIMUDDIN.

Pembenihan ikan patin membutuhkan teknologi dan rekayasa untuk memaksimumkan perkembangan, dan pertumbuhan ikan patin. Pada penelitian ini dilakukan pemberian hormon tiroksin (T4), dan hormon pertumbuhan rekombinan (G) serta hormon gabungan antara hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan (GT) melalui perendaman untuk memacu perkembangan dan pertumbuhan larva ikan patin. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan; A, kontrol; B, hormon tiroksin (T4) 0,1 mg/L; C, T4 dan G (GT) (0,1 mg/L dan 10 mg/L); D, G 10 mg/L. Perendaman dilakukan selama 1 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju penyerapan kuning telur pada jam ke-16 setelah perendaman lebih cepat (P<0,05) pada perlakuan B (96,98%) dibandingkan dengan perlakuan A (18,54%), C (20,59%), dan D (32,90%). Pertumbuhan larva yang diberi perlakuan B (24,85 mm) dan C (24,00 mm) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A (21,71 mm) dan D (23,18 mm). Tingkat kelangsungan hidup antar perlakuan tidak berbeda (P>0,05). Ukuran sel dan sitoplasma hati ikan perlakuan relatif lebih besar dibandingkan kontrol. Tingkah laku ikan pada perlakuan B dan C lebih aktif dibandingkan perlakuan A dan D. Dengan demikian kombinasi hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan rekombinan secara bersama (C) memiliki efisiensi pemanfaatan kuning telur, perkembangan dan pertumbuhan lebih tinggi pada larva ikan patin.

Kata kunci: Ikan patin, T4, GH, penyerapan kuning telur, pertumbuhan, kelangsungan hidup, histologi hati.


(3)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2008 mencatat bahwa dalam tiga tahun terakhir produksi perikanan budidaya Indonesia meningkat secara signifikan sebesar 10,85% per tahun. KKP juga akan memacu produksi perikanan budidaya tahun 2014 sebesar 16,89 juta ton atau meningkat 353% dibandingkan dengan produksi 2009 sebesar 4,78 juta ton. Selain itu, KKP menetapkan sembilan komoditas perikanan untuk dijadikan produk perikanan budidaya. Ikan patin Siam (Pangasianodon hypopthalmus) merupakan salah satu ikan air tawar yang menjadi target KKP. Ikan ini sangat digemari masyarakat karena memiliki cita rasa yang khas, kandungan protein tinggi, dan dapat dikonsumsi segar serta bahan olahan. Nilai ekonomis ikan patin sangat tinggi, ditunjukkan oleh harga induk matang gonad mencapai Rp.250.000,- per ekor, harga telur Rp.5-7,- per butir, harga benih ¾ inci Rp.60,- per ekor, dan harga benih ukuran 1 (satu) inci Rp.80,- per ekor (BBPBAT Sukabumi 2012).

Pada tahun 2012, produksi ikan patin Siam ditargetkan mencapai 110.400 ton, sedangkan untuk kebutuhan larva diperkirakan mencapai 410.000.000 ekor. Untuk memenuhi permintaan ikan patin Siam yang kian meningkat, maka usaha pembenihan ikan patin Siam membutuhkan teknologi, dan rekayasa sehingga perkembangan dan pertumbuhan ikan patin menjadi maksimum. Perbaikan pertumbuhan benih ikan dapat dilakukan menggunakan hormon, seperti prolaktin, tiroid, dan hormon pertumbuhan (growth hormone/GH). Hormon tiroid juga mempengaruhi perkembangan, dan metamorfosis ikan. Salah satu jenis hormon tiroid yang memainkan peranan penting dalam metabolisme dan metamorfosis ikan adalah hormon tiroksin (T4). Tiroksin merupakan hormon yang terionisasi di luar sel folikel tiroid atau pada bagian luar membran apikal. Pada folikel, tiroksin berikatan dengan prohormon tiroglobulin. Djojosoebagio (1996) menyatakan bahwa hormon tiroid yang mengandung unsur yodium diikat, dan disimpan dalam folikel.


(4)

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas hormon tiroksin adalah dosis dan cara pemberian hormon, lama pencahayaan, kualitas makanan, waktu pemberian makanan, stres, spesies, dan ukuran ikan (Weatherlay dan Gill 1986). Menurut Djojosoebagio (1996) hormon tiroksin dapat merangsang laju oksidasi dalam sel terhadap bahan makanan, meningkatkan laju konsumsi oksigen, meningkatkan pertumbuhan, dan mempercepat proses metamorfosis. Norfirdaus (1997) menyatakan bahwa pembentukan bintik mata, gelembung renang, dan pigmentasi lebih cepat terjadi pada larva ikan betutu yang diberi hormon tiroksin konsentrasi 0,1 mg/L. Pada salinitas 1 mg/L dengan dosis T4 0,1 mg/L dapat merangsang peningkatan panjang, dan berat ikan mas dibanding kontrol, selain itu juga SR ikan mas umur 8 hari pada dosis 0,01 ppm mencapai 85% (Lam 1985). Berdasarkan fungsinya tersebut, hormon T4 diharapkan dapat mempercepat metabolisme, dan metamorfosis larva ikan sehingga dapat melewati masa kritisnya. Namun demikian dengan mempercepat metabolisme dan metamorfosis dimungkinkan terjadinya kekerdilan ikan karena energi yang digunakan terfokus pada metamorfosis ikan. Norfirdaus (1997) melaporkan bahwa perendaman hormon tiroksin terjadi gejala abnormal seperti kerusakan jaringan, tulang punggung yang bengkok dan larva tumbuh lambat (kerdil). Sehubungan hal tersebut, maka dibutuhkan hormon yang lain untuk memacu pertumbuhan ikan sehingga ikan dapat terdiferensiasi dan tumbuh cepat tanpa adanya masalah samping. Salah satu hormon yang dapat digunakan dalam memacu pertumbuhan ikan adalah GH. GH merupakan merupakan salah satu hormon hidrofilik polipeptida yang tersusun atas asam amino.

Perendaman hormon pertumbuhan bekerja secara osmoregulasi yaitu rekombinan GH diduga masuk melalui insang, dan disebarkan melalui pembuluh darah (Gambar 1). Hormon yang masuk pada ikan kemudian dialirkan oleh peredaran darah, dan akan diserap oleh organ target, seperti hati, paru-paru, ginjal, dan organ lainnya (Affandi 2002).


(5)

Gambar 1. Mekanisme kerja perendaman hormon pertumbuhan.

GH mengatur pertumbuhan tubuh, reproduksi, sistem imun, dan mengatur tekanan osmosis pada ikan teleostei, serta mengatur metabolisme di antaranya aktivitas lipolitik, dan anabolisme vertebrata. Kandungan GH dalam tubuh ikan berkisar antara 0,2-111,2 ng/mL plasma darah (Bjornsson et al. 1988, Takahashi et al. 1991; Fabridge et al. 1992; Nordgarden et al. 2005).

Penggunaan GH dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu melalui oral, perendaman, dan penyuntikan. Metode oral dan perendaman merupakan metode yang relatif lebih mudah untuk diaplikasikan dalam budidaya. Alimuddin et al. (2010) telah berhasil membuat protein hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) ikan gurame, ikan mas, dan ikan kerapu kertang. Pemberian rGH yang berbeda pada ikan nila melalui teknik penyuntikan meningkatkan bobot 20,94% (rGH ikan kerapu kertang), 18,09% (rGH ikan mas), dan 16,99% (rGH ikan gurame) (Lesmana 2010). Acosta et al. (2007) melaporkan perendaman hormon pertumbuhan dapat meningkatkan bobot ikan nila sebesar 171%.

Perendaman hormon pertumbuhan terhadap ikan gurame juga dapat meningkatkan bobot ikan gurame sebesar 75% (Putra 2011). Handoyo (2012, belum dipublikasikan) melaporkan bahwa perendaman benih ikan sidat dalam larutan Ephinepelus Lanceolatus GH (ElGH) 12 mg/L meningkatkan pertumbuhan sebesar 30%, dan kelangsungan hidup benih ikan sidat diatas 90%,


(6)

sedangkan Aminah (2012, belum dipublikasikan) melaporkan bobot ikan sebesar 28%. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan rentang dosis yang cukup luas, yaitu antara 3–12 mg/L, sehingga pada penelitian ini dipilih dosis hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang 10 mg/L. Melihat peran hormon tiroksin dan rGH, serta hasil penelitian sebelumnya, diharapkan hormon ini juga berperan dalam perkembangan awal dan pertumbuhan larva ikan patin.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas perendaman hormon tiroksin (T4) dan rekombinan growth hormone (G) terhadap perkembangan awal, dan pertumbuhan larva ikan patin Siam.


(7)

II. BAHAN DAN METODE

2. 1 Rancangan penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan patin (Lampiran 1), yaitu:

a. Kontrol : media tidak diberi larutan hormon

b. Perlakuan T : perendaman larva ikan patin dengan hormon tiroksin 0,1 mg/L c. Perlakuan GT : perendaman larva ikan patin dengan hormon tiroksin 0,1 mg/L

dan hormon rGH 10 mg/L

d. Perlakuan G : perendaman larva ikan patin dengan hormon rGH 10 mg/L

2.2 Persiapan wadah

Akuarium berukuran 20x20x25 cm sebanyak 21 unit dimasukkan ke dalam akuarium berukuran 150x70x25 cm yang diberi thermostat sebanyak 2 buah, kemudian akuarium yang berukuran besar ditutupi dengan plastik hitam di bagian luarnya. Hal ini dilakukan agar suhu setiap akuarium sama dan stabil.

Sumber air yang digunakan berasal dari tandon penampungan air yang berada di Departemen Budidaya Perairan. Air yang digunakan sebelumnya ditampung di tandon dan diendapkan selama 1 hari, serta diberi aerasi kuat, dan thermostat. Akuarium diisi air sebanyak 6 liter atau dengan tinggi air 15 cm. Agar suhu air di dalam akuarium tetap stabil, maka pada akuarium besar dipasangi thermostat dengan daya 50 Watt sebanyak 2 unit dengan kisaran suhu 30-31 oC. Setiap akuarium kecil diberi aerasi yang berasal dari aerator 2 titik sebanyak 2 unit (Lampiran 2).

2.3 Penyediaan larva ikan patin

Telur ikan patin Siam diperoleh dari petani ikan patin di Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, yang diperoleh dari pemijahan secara kawin suntik. Telur yang berhasil dibuahi selanjutnya dibawa ke kampus, kemudian disimpan dalam akuarium penetasan telur. Larva ikan yang baru menetas atau berumur 0 hari lalu diberi perlakuan perendaman hormon.


(8)

2.4 Penyediaan hormon tiroksin

Thyrax (levothyroxine sodium) dengan dosis 0,1 mg per tablet diambil sebanyak 5 tablet, lalu dilarutkan dalam 5 L air sehingga diperoleh dosis 0,1 mg/L. Selanjutnya hormon dimasukkan ke dalam wadah 200 mL untuk perlakuan (Lampiran 3).

2.5 Penyediaan rGH

Produksi protein rGH dilakukan menggunakan bakteri Escherichia coli BL 21. Klon bakteri E. coli yang mengandung pCold-l/ElGH dikultur awal dalam 4 mL media 2xYT cair yang mengandung ampisilin, dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu 37oC selama 18 jam. Setelah itu dilakukan subkultur dengan mengambil sebanyak 1% dari kultur awal, dan dimasukkan ke dalam 100 mL media 2xYT cair baru dan diinkubasi lagi pada suhu 15 oC selama 30 menit, ditambahkan IPTG 1 mM sebanyak 1 mL, dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu 15 oC selama 24 jam. Bakteri hasil kultur dikumpulkan dengan sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit.

Lisis dinding sel bakteri dilakukan secara kimiawi menggunakan lisozim. Pelet bakteri hasil sentrifugasi dicuci menggunakan 1 mL bufer TE per 200 mg bakteri dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit dan kemudian supernatan dalam tabung mikro dibuang. Pelet bakteri sebanyak 200 mg dalam tabung mikro ditambahkan sebanyak 500 µL larutan lisozim (10 mg dalam 1 mL bufer TE), diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, lalu disentrifiugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit, supernatan dibuang dan pelet yang terbentuk merupakan protein rGH dalam bentuk badan inklusi (inclusion body). Pelet rGH dicuci dengan PBS sebanyak 1 kali, dan disimpan pada suhu -80 0C hingga akan digunakan.

2.6 Penebaran dan pemeliharaan larva

a. Perendaman hormon tiroksin

Larva yang baru menetas diambil sebanyak 240 ekor, lalu direndam dalam larutan hormon tiroksin berkadar 0,1 mg/L dalam wadah yang diisi 200 mL air


(9)

dengan saringan teh. Dosis tiroksin diambil berdasarkan penelitian Roger (1997). Lama perendaman adalah 1 jam. Setelah perendaman, larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva yang berukuran 20x20x25 cm3. Larva ini dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

b. Perendaman hormon rGH

Larva sebanyak 240 ekor yang baru menetas dimasukkan ke dalam media yang mengandung protein rGH dengan dosis 10 mg/L dan 0,01% BSA (bovine serum albumin) selama 1 jam. Pada saat perendaman tidak dilakukan kejutan salinitas. Hal ini karena ukuran larva yang masih kecil serta belum defenitif sehingga diduga larva ikan akan mati. Selanjutnya larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva. Larva dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

c. Perendaman hormon tiroksin dan rGH

Larva ikan patin Siam yang baru menetas dimasukkan ke dalam media yang mengandung protein rGH dengan dosis 10 mg/L dan 0,01% BSA, serta ditambahkan hormon T4 dengan dosis 0,1 mg/L. Larva direndam selama 1 jam. Setelah itu, larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva, dan dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

2.7 Pemberian pakan

Pemberian pakan berupa naupli Artemia dilakukan pada larva ikan patin umur 48 jam setelah menetas atau menjelang kuning telur habis. Pemberian pakan dilakukan setiap 2-3 jam. Setelah larva berumur 4 hari pakan yang diberikan dicampur dengan cacing sutera Limnodrilus sp. yang sebelumnya dilakukan pencacahan, dan diberikan secara at satiation, setiap 3-4 jam. Pada umur 4 hari larva ikan diberi cacing sutera saja.

2.8 Pengamatan perkembangan larva

Perkembangan larva yang diamati berupa volume, dan laju penyerapan kuning telur. Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil lima ekor larva dari tiap-tiap perlakuan dan diamati pada jam ke- 0, 4, 8, 12, dan seterusnya sampai


(10)

kuning telur habis dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer. Hasil pengukuran dikonversi dalam satuan milimeter dengan cara mengalibarasi mikroskop tersebut menggunakan mikrometer objektif. Hasil konversi ini kemudian menghitung volume, dan laju penyerapan kuning telur. Perhitungan volume, dan laju penyerapan kuning telur menggunakan rumus Blaxter dan Hempel dalam Nacario (1983), yaitu:

a. Volume kuning telur larva (V):

V= (π/6)LH2 dengan V : volume kuning telur (mm3)

L : diameter kuning telur memanjang (mm), dan H : diameter kuning telur memendek (mm)

b. Laju penyerapan kuning telur (LPK)

LPK = (ln V0 - lnVt)/t x 100

dengan LPK : laju penyerapan kuning telur (%/jam)

V0 : volume kuning telur awal periode sampling (mm3) Vt : volume kuning telur akhir periode sampling (mm3), dan t : periode sampling (jam)

2.9 Pertumbuhan larva

Pertumbuhan diketahui dengan mengukur panjang total larva ikan. Panjang total adalah jarak antara ujung terminal mulut hingga ujung sirip ekor. Panjang total dihitung dengan cara mengambil lima ekor ikan setiap perlakuan yang selanjutnya diukur panjang total di atas kertas melimeter blok.

2.10 Kelangsungan hidup larva

Kelangsungan hidup larva dihitung dengan menggunakan rumus Effendi (1979), yaitu


(11)

SR = Nt / N0 x 100 %

SR : Kelangsungan hidup (%)

Nt : Jumlah larva yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) N0 : Jumlah larva yang ditebar (ekor)

2.11 Histologi hati

Proses pembuatan preparat histologi diawali dengan fiksasi menggunakan larutan Bouin‟s. Setelah itu hati direndam dalam larutan fiksasi, lalu dilalanjutkan dengan dehidrasi yaitu proses pengeluaran air dari dalam jaringan dengan menggunakan etanol, clearing yaitu proses pembersihan etanol dari dalam jaringan dan digantikan dengan xylol. Proses selanjutnya yaitu embedding, yaitu proses penyusupan parafin ke dalam jaringan. Setelah itu hati ikan dimasukkan ke dalam cetakan kertas, dan diisi dengan parafin (blocking).

Setelah blok parafin beku, maka dilakukan pemotongan blok dengan mikrotom dengan ketebalan potongan 5-10 µ m secara membujur, kemudian jaringan yang telah dipotong ditempatkan di permukaan air 40 oC di dalam water bath, selajutnya ditempatkan pada kaca objek dan biarkan mengering. Tahap terakhir adalah pewarnaan menggunakan pewarna hematatoxylin eosin serta meneteskan entelen atau canada balsam lalu ditutup dengan gelas penutup.

2.12 Tingkah laku ikan

Tingkah laku ikan pada saat pemeliharaan meliputi pergerakan ikan, nafsu makan, dan warna kulit ikan. Pergerakan ikan dilihat dari aktif tidaknya ikan perlakuan pada saat di dalam air yang dibandingkan dengan ikan kontrol. Nafsu makan ikan didapatkan dengan cara pengamatan lama waktu pakan habis pada sesaat setelah diberi pakan yang dibandingkan setiap perlakuan. Warna ikan merupakan salah satu indikator stres pada ikan. Pada penelitian ini pengamatan warna dilakukan dengan melihat warna kulit ikan yaitu jika ikan bewarna cerah, maka ikan dikategorikan tidak stres.


(12)

2.12 Analisis statistik

Data yang telah diperoleh kemudian ditabulasi, dan dianalisis menggunakan program MS. Excel 2007 dan SPSS 17.0. Analisis Ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95%, digunakan untuk menentukan apakah perlakuan berpengaruh nyata terhadap volume kuning telur, laju penyerapan kuning telur, laju pertumbuhan, dan kelangsungan hidup. Apabila berpengaruh nyata, untuk melihat perbedaan antar perlakuan akan diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat tingkah laku ikan dan analisis biaya yang disajikan dalam bentuk tabel.


(13)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Perkembangan larva ikan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan penurunan volume kuning telur larva (Gambar 2, dan Lampiran 5), dan peningkatan laju penyerapan kuning telur setiap jamnya (Gambar 3, dan Lampiran 6). Pada jam ke-4 volume kuning telur tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan (p>0,05), sedangkan pada jam ke-0, jam ke-8, jam ke-12, jam ke-16, dan jam ke-20 volume kuning telur berbeda nyata antar perlakuan (p<0,05).

Gambar 2. Volume kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan selama pemeliharaan.

Pada jam ke-0 perlakuan GT berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05), sedangkan perlakuan G dan perlakuan T tidak berbeda nyata (p>0,05). Pada jam ke-8 dan jam ke-12 perlakuan T, dan perlakuan GT tidak berbeda nyata (p>0,05), tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan K dan perlakuan G (p<0,05), sedangkan pada jam ke-16 dan jam ke-20 perlakuan T berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05), tetapi pada perlakuan GT dan G tidak berbeda nyata satu sama lain (p>0,05). Begitu juga pada perlakuan G dan perlakuan K tidak berbeda nyata satu sama lainnya (p>0,05).

Waktu (jam ke-)

Volu m e k u n in g te lu r (m m 3 ) Ket :

K : Kontrol

T : Perendaman hormon tiroksin GT : Perendaman hormon tiroksin + GH G : Perendaman hormon pertumbuhan (GH)


(14)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 4 8 12 16 20

K T GT G

Gambar 3. Laju penyerapan kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan selama pemeliharaan.

Seperti ditunjukkan pada Gambar 2 dan Lampiran 7, bahwa perlakuan perendaman hormon tiroksin memiliki laju penyerapan kuning telur lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Laju penyerapan kuning telur tidak dipengaruhi oleh perlakuan hormon berbeda pada jam ke-4, jam ke-12, dan jam ke-20, sedangkan pada jam ke-8 dan jam ke-16 dipengaruhi oleh perlakuan hormon tirokain (p<0,05).

3.1.2 Pertumbuhan ikan

Hasil pengukuran panjang total larva ikan patin yang dipelihara selama 12 hari untuk masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 3 dan Lampiran 7. Panjang larva yang diberi perlakuan perendaman hormon tiroksin, lebih panjang dibandingkan perlakuan lainnya. Panjang total larva ikan patin pada hari ke-0 dan 3 pada semua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan pada hari ke-6, ke-9, dan ke-12 semua perlakuan panjang total ikan patin berbeda nyata (p<0,05). Pada hari ke-6 dan ke-12 perlakuan kontrol berbeda nyata dengan perlakuan T yaitu 23,09% dan 14,41%, GT yaitu 20,0% dan 10,55%, dan perlakuan G yaitu 15,08% dan 6,77% (p<0,05), tetapi pada hari ke-9 perlakuan G dan GT tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tiroksin (p>0,05). Pada hari ke-12

Waktu (jam ke-)

L aj p en ye rap an k u n in g t el u r (% /j am ) Ket :

K : Kontrol

T : Perendaman hormon tiroksin GT : Perendaman hormon tiroksin + GH G : Perendaman hormon pertumbuhan (GH)


(15)

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

0 3 6 9 12

Kontrol

Tiroksin

GT

G perlakuan kontrol dan G tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan perlakuan tiroksin dan GT berbeda nyata (p<0,05), tetapi perlakuan G dan GT berbeda nyata (p<0,05) dan perlakuan GT dan tiroksin berbeda nyata (p<0,05).

Gambar 4. Rerata panjang total (mm) larva ikan patin pada setiap perlakuan pada saat pengamatan.

Gambar 5. Panjang total (mm) ikan patin Siam pada setiap perlakuan saat panen umur 12 hari.

Waktu (hari ke-)

P

an

jan

g

t

ot

a

l

(m

m

)

KONTROL TIROKSIN T + G G

Ket :

K : Kontrol

T : Perendaman hormon tiroksin GT : Perendaman hormon tiroksin + GH G : Perendaman hormon pertumbuhan (GH)


(16)

3.1.3 Tingkat kelangsungan hidup

Hasil pengamatan terhadap kelangsungan hidup larva ikan patin Siam yang dipelihara selama 12 hari memiliki rerata sebesar 79% (Gambar 6 dan Lampiran 8). Tingkat kelangsungan hidup tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0,05).

Gambar 6. Rerata tingkat kelangsungan hidup (%) larva ikan patin yang tidak direndam (K), dan direndam hormon tiroksin (T), hormon

pertumbuhan rekombinan (G), dan tiroksin dan hormon pertumbuhan rekombinan (G).

3.1.4 Histologi hati

Hasil histologi hati larva ikan patin pada hari ke-15 disajikan pada Gambar 7. Histologi hati diambil pada umur hari ke-15 pemeliharaan serta diamati dengan mikroskop Olympus BH2-RFCA perbesaran 400x, diambil menggunakan kamera digital Sony W210 dengan 2,4x zoom. Pada perlakuan hormon tiroksin ukuran jaringan sel dan sitoplasma masih kecil, pada perlakuan hormon tiroksin ukuran jaringan sel dan sitoplasma telah sangat besar (Gambar 7b), pada perlakuan hormon gabungan ukuran jaringan sel dan sitoplasma besar (Gambar 7c), dan pada perlakuan GH ukuran jaringan sel dan sitoplasma berukuran besar

Perlakuan

a a a


(17)

(Gambar 7d), sedangkan perlakuan kontrol ukuran jaringan sel dan sitoplasma berukuran kecil (Gambar 7a).

Gambar 7. Histologi hati ikan kontrol yang tidak direndam hormon (a), direndam dengan tiroksin (b), GT (c), dan hormon pertumbuhan rekombinan (d). Tanda panah pada gambar menunjukkan ukuran jaringan sel ( ) dan sitoplasma ( ).

3.2 Pembahasan

3.2.1 Perkembangan ikan

Volume kuning telur berbeda nyata pada beberapa perlakuan (Gambar 2). Pada dasarnya, perlakuan perendaman hormon tiroksin dapat menurunkan volume kuning telur dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan hormon tiroksin dapat memacu perkembangan proses pembentukan organ pada larva ikan sehingga volume kuning telur lebih banyak terserap. Hal ini didukung oleh Lam dan Reddy (1992) bahwa pemberian tiroksin dapat mempercepat proses diferensiasi, dan pertumbuhan pada ikan mas koki, serta memacu pembentukan jari-jari sirip dorsal dan anal.

Volume telur larva ikan patin yang diberi perlakuan hormon tiroksin dan hormon rGH dapat menurun dengan cepat, akan tetapi pada perlakuan

a b

c d

20 µm 20 µm


(18)

perendaman menggunakan rGH volume kuning telur tidak cepat menurun dan belum bekerja . Hal ini juga didukung oleh volume pada perlakuan hormon rGH yang tidak terlalu cepat menurun. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hormon ini tidak bekerja antara lain, hormon ElrGH yang diberikan ke larva ikan patin tidak kompatibel, dosis yang diberikan tidak optimum, serta waktu perendaman yang tidak optimum. Selain itu pada penelitian ini juga tidak dilakukan kejutan salinitas seperti pada penelitian ikan gurame, ikan betok maupun ikan sidat sehingga diduga hormon rGH tidak dapat masuk ketubuh ikan secara maksimum.

Laju penyerapan kuning telur tertinggi yaitu 96,98% didapatkan pada perlakuan perendaman hormon tiroksin. Pada jam ke-16 hampir semua larva yang diamati kuning telurnya telah terserap, dan pada jam ke-20 semua larva yang diamati telah habis kuning telurnya. Dengan demikian, hormon tiroksin 0,1 mg/L yang diberikan pada larva ikan patin bekerja dengan optimum. Norfirdaus (1997) menyatakan bahwa pembentukan bintik mata, gelembung renang, dan pigmentasi lebih cepat terjadi pada larva ikan betutu yang diberi hormon tiroksin konsentrasi 0,1 ppm. Perlakuan gabungan antara hormon tiroksin dan rGH tidak begitu meningkatkan laju penyerapan kuning telur tetapi pertumbuhan pada perlakuan ini sangat cepat sehingga pemanfaatan kuning telurnya lebih efisien dibandingkan perlakuan tiroksin. Hal ini diduga karena volume kuning telur pada perlakuan tersebut tidak cepat habis sehingga laju penyerapan kuning juga tidak cepat.

3.2.2 Pertumbuhan ikan

Pertumbuhan panjang total larva ikan patin yang tertinggi didapatkan pada perlakuan perendaman hormon tiroksin dengan peningkatan panjang total sebesar 14,41% dibandingkan kontrol (Gambar 5 dan Lampiran 9). Pertumbuhan panjang total pada hari ke-0 pengamatan tidak terjadi beda nyata antar perlakuan. Pada hari ke-3 terlihat bahwa pada perlakuan perendaman hormon tiroksin lebih cepat tumbuh dibandingkan perendaman hormon lain. Hal ini diduga karena laju penyerapan kuning telur ikan dapat terserap dengan cepat, sehingga dapat membentuk organ ikan yang mengakibatkan pertumbuhan menjadi lebih cepat. Etherge (1993) dalam Daneyanti (2001) melaporkan bahwa, pemberian hormon


(19)

tiroksin dapat meningkatkan metabolime tubuh. Dengan peningkatan metabolisme tubuh, dapat menyebabkan larva ikan patin yang direndam dengan hormon tiroksin memiliki tingkat pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya.

Perlakuan perendaman gabungan hormon tiroksin dan rGH memiliki pertumbuhan panjang total sebesar 24 mm pada saat hari ke-12. Pertumbuhan hormon gabungan ini diduga hanya hormon tiroksin yang bekerja, sedangkan hormon rGH belum bekerja secara optimum. Hal ini didukung dengan tidak telalu maksimum hasil perlakuan dengan hormon rGH. Meskipun perlakuan hormon gabungan bukan pertumbuhan terbaik tetapi hormon gabungan lebih efesien dibandingkan hormon tiroksin. Hal ini dikarenakan pada jam ke-16 kuning telur perlakuan tiroksin telah terserap 96,97%/jam dengan panjang total pada hari ke-3 sebasar 7,88±0,56 mm sedangkan pada perlakuan hormon gabungan kuning telur yang terserap hanya 20,596%/jam dengan panjang total pada hari ke-3 sebesar 7,72±0,61 mm. Dengan demikian bahwa hormon gabungan dapat meningkatkan panjang total dengan tidak mempercepat laju penyerapan kuning telur.

Tingkah laku ikan pada saat pemeliharaan meliputi pergerakan ikan, nafsu makan, dan warna kulit ikan. Pada tingkah laku ikan, ikan yang paling aktif dalam berenang adalah perlakuan hormon tiroksin sedangkan pergerakan ikan kontrol pasif (lebih banyak diam). Hal ini diduga karena pada perlakuan hormon tiroksin laju metabolismenya tinggi, sehingga ikan bergerak aktif mencari makan. Djojosoebagio (1996) menyatakan bahwa hormon tiroksin dapat merangsang laju oksidasi dalam sel terhadap bahan makanan, meningkatkan laju konsumsi oksigen, meningkatkan pertumbuhan, dan mempercepat proses metamorfosis. Nafsu makan ikan perlakuan hormon tiroksin dan gabungan sangat tinggi dibandingkan perlakuan kontrol dan perlakuan hormon pertumbuhan. Hal ini terlihat pada saat ikan diberi pakan, pakan yang diberikan pada perlakuan ini lebih cepat habis. Cepatnya pakan yang habis pada saat diberikan akibat pergerakan ikan yang aktif sehingga dibutuhkan energi yang lebih banyak. Warna ikan yang diberi perlakuan hormon tiroksin dan gabungan lebih bening dibandingkan perlakuan lainnya. Beningnya warna ikan pada perlakuan hormon tiroksin dan hormon gabungan menandakan ikan sehat.


(20)

3.2.3 Tingkat kelangsungan hidup

Rerata tingkat kelangsungan hidup larva ikan patin pada penelitian ini sebesar 79%. Perlakuan dengan perendaman hormon tiroksin memiliki tingkat kelangsungan hidup paling tinggi. Hal ini dikarenakan, adanya penyerapan kuning telur yang optimum, sehingga dapat menyebabkan perkembangan pada organ tubuh ikan berjalan dengan baik. Selain itu, diperkuat dengan pertumbuhan larva ikan patin yang cepat. Hasil penelitian Lam (1980) pada ikan mujair menggunakan hormon tiroksin dengan kadar 0,1 ppm diperoleh tingkat kelangsungan hidup lebih baik dibandingkan kontrol.

Perlakuan perendaman hormon gabungan hormon tiroksin dan hormon rGH memiliki tingkat kelangsungan hidup paling rendah. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup dimungkinkan karena larva ikan stres akibat perendaman hormon secara bersamaan.

3.2.4 Histologi hati

Hati merupakan organ yang memiliki peran penting dalam mahluk hidup. Berdasarkan hasil histologi hati larva ikan didapat pada perlakuan kontrol, perlakuan hormon tiroksin dan rGH, serta perlakuan hormon rGH didapat ukuran jaringan sel hati dan ukuran sitoplasma masih kecil. Ukuran jaringan sel dan sitoplasma masih kecil dikarenakan pertumbuhan pada larva ikan tidak cepat. Perlakuan tiroksin memiliki ukuran jaringan sel hati dan ukuran sitoplasma sangat besar (Gambar 7b). Besarnya ukuran sel dan sitoplasma ini diakibatkan oleh hormon tiroksin yang harus dikonversi menjadi triiodotironin atau beberapa bentuk lainnya. Djojosoebagio (1996) menyatakan bahwa proses konversi ini berlangsung di hati dan ginjal dengan bantuan enzim T4-5‟-deiodinase yang dihasilkan oleh mikrosoma.

Pada perlakuan perendaman hormon gabungan hormon tiroksin dan hormon rGH terjadi kerusakan jaringan berupa cloudy swelling (Gambar 7c.). Cloudy swelling ditandai oleh adanya sel-sel yang membengkak disertai dengan sitoplasma yang bergranula (berbutir-butir) sehingga jaringan tampak keruh. Hal ini sejalan dengan pernyataan Himawan (1990) bahwa sel hati bengkak dengan


(21)

sitoplasma berbutir keruh mungkin disebabkan oleh pengendapan protein yang disebut sebagai degenerasi albumin.

3.2.5 Analisis biaya

Kegiatan budidaya merupakan suatu usaha yang berorientasi profit sehingga biaya produksi harus minimalis dan keuntungan yang maksimum. Pada penelitian ini secara ekonomi lebih menguntungkan karena mampu memproduksi larva ikan patin benih berukuran 1 inci dengan waktu 12 hari, sedangkan ukuran ini biasanya diproduksi selama 20-30 hari dengan kepadatan pemeliharaan yang sama yaitu 40 ekor/liter. Semakin singkat usaha budidaya, maka semakin cepat siklus budidaya sehingga keuntungan semakin besar. Ditingkat petani pada hari ke-12 ukuran larva patin hanya mencapai ukuran ¾ inci dengan harga berkisar Rp.50-60,- per ekor. Melalui penelitian ini harga ikan patin dapat meningkat menjadi Rp. 80,- karena ukuran yang didapatkan 1 inci sehingga apabila diaplikasikan dapat memiliki keuntungan Rp.20-30,- per ekor (Lampiran 16 dan 17).


(22)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Perendaman hormon (hormon tiroksin, kombinasi hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan, dan hormon pertumbuhan) dapat meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan larva ikan patin Siam. Perendaman dengan kombinasi hormon tiroksin 0,1 mg/L dan hormon pertumbuhan rekombinan 10 mg/L secara bersamaan memiliki pertumbuhan yang tinggi (24 mm) yang dicapai selama 12 hari, dengan efisiensi penyerapan laju kuning telur yang tinggi (80%). Kelangsungan hidup larva sama pada semua perlakuan.

4.2 Saran

Perendaman larva patin dengan hormon tiroksin 0,1 mg/l dan hormon pertumbuhan rekombinan 10 mg/l secara bersama disarankan diaplikasikan di petani karena dapat mempercepat perkembangan dan pertumbuhan larva. Serta memiliki laju penyerapan kuning telur yang lebih efisien dalam pertumbuhan ikan ini.


(23)

EFEKTIVITAS PERENDAMAN HORMON TIROKSIN DAN HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN TERHADAP PERKEMBANGAN

AWAL SERTA PERTUMBUHAN LARVA IKAN PATIN SIAM

MUHAMMAD MUTTAQIN

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(24)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

EFEKTIVITAS PERENDAMAN HORMON TIROKSIN DAN HORMON

PERTUMBUHAN REKOMBINAN TERHADAP PERKEMBANGAN

AWAL SERTA PERTUMBUHAN LARVA IKAN PATIN SIAM

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2012

MUHAMMAD MUTTAQIN


(25)

EFEKTIVITAS PERENDAMAN HORMON TIROKSIN DAN HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN TERHADAP PERKEMBANGAN

AWAL SERTA PERTUMBUHAN LARVA IKAN PATIN SIAM

MUHAMMAD MUTTAQIN

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(26)

Judul Skripsi : Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam

Nama Mahasiswa : Muhammad Muttaqin Nomor Pokok : C14080072

Disetujui

Pembimbing I

Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc. NIP. 196408131991031001

Pembimbing II

Dr. Alimuddin. S.Pi., M.Sc. NIP. 197001031995121001

Diketahui

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc NIP. 195912221986011001


(27)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini diberi judul

“Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2012, bertempat di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc selaku dosen Pembimbing I dan Bapak Dr. Alimuddin, S.Pi., M.Sc selaku dosen Pembimbing II serta Ibu Dr. Sri Nuryati, S.Pi., M.Si selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Kedua orang tua (Bapak Romzi dan Ibu Tri Mulyani, S.Pd), „Mak‟ (Hj.

Robiha), dan adikku (Yeni Puspitasari dan Muhammad Muladi) serta paman dan bibik yang telah memberikan dorongan semangat, materi, doa, dan kasih sayang kepada penulis.

3. Pak Wawan yang telah memberikan bantuan penyediaan ikan patin dan artemia.

4. Kunthi Fahmar Sandy, S.KPm yang telah meluangkan waktu, dorongan

semangat, do‟a, dan memberikan kasih sayang kepada penulis.

5. Moch Hib Ibnu Hib yang telah menjadi rekan penulis selama penelitian.

6. Fajar Maulana, Hikma Nadatul Hikma, dan Rima Khasana Putri sebagai teman seperjuangan selama penelitian di lab betok dan lab nila .

7. Teman-temanku: Bayu Dwi Santoso, Muhammad Firdaus, Sofyan Agustiawan, dan teman-teman pondok “SABAR” (Burhanudin Faisal, Asep Bulqini, Dendi Hidayatullah, Nur Aqil, dan Ahmad Fauzan) yang telah membantu penulis

selama melakukan penelitian dan do‟a untuk keberhasilan penulis serta


(28)

8. Teman-teman angkatan „45 BDP (PATMO) atas kekompakan, kebersamaan,

dan do‟anya selama ini.

9. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu.

Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Mei 2012


(29)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 September 1989 di Desa Ulak Kerbau Baru, Kecamatan Tanjung Raja, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Romzi dan Tri Mulyani, S.Pd.

Pada tahun 2002 penulis menamatkan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Ulak Kerbau Baru, Kec Tajung Raja (Ogan Ilir). Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Tanjung Raja (Ogan Ilir) pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas di SMA 1 Tanjung Raja (Ogan Ilir) pada tahun 2008.

Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa program studi Teknologi Menejemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama masa perkuliahan, penulis aktif menjadi anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya (IKAMUSI) pada tahun 2009, anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) C bidang Komunikasi dan Informasi (KOMINFO) pada tahun 2010, ketua Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) yang didanai DIKTI dengan judul „Potensi Tumbuhan Egeria densa sebagai pengganti aerator‟ (2011), anggota Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKM-K) yang didanai DIKTI dengan judul

„Akuakultur Aquaku‟ (2011), ketua Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang

Penelitian (PKM-P) yang didanai DIKTI dengan judul „Efektivitas perendaman hormon tiroksin (T4) terhadap perkembangan, pertumbuhan, dan kelangsungan

hidup larva ikan betok‟ (2012). Penulis juga penerima Beasiswa BBM (2008, 2009) dan beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) (2010, 2011). Untuk meningkatkan pengetahuan di bidang perikanan budidaya, penulis mengikuti Praktik Lapangan Akuakultur pembenihan ikan kerapu macan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Laut, Lampung (2011). Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi berjudul “Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam.


(30)

ABSTRAK

MUHAMMAD MUTTAQIN. Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam. Dibimbing oleh AGUS OMAN SUDRAJAT dan ALIMUDDIN.

Pembenihan ikan patin membutuhkan teknologi dan rekayasa untuk memaksimumkan perkembangan, dan pertumbuhan ikan patin. Pada penelitian ini dilakukan pemberian hormon tiroksin (T4), dan hormon pertumbuhan rekombinan (G) serta hormon gabungan antara hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan (GT) melalui perendaman untuk memacu perkembangan dan pertumbuhan larva ikan patin. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan; A, kontrol; B, hormon tiroksin (T4) 0,1 mg/L; C, T4 dan G (GT) (0,1 mg/L dan 10 mg/L); D, G 10 mg/L. Perendaman dilakukan selama 1 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju penyerapan kuning telur pada jam ke-16 setelah perendaman lebih cepat (P<0,05) pada perlakuan B (96,98%) dibandingkan dengan perlakuan A (18,54%), C (20,59%), dan D (32,90%). Pertumbuhan larva yang diberi perlakuan B (24,85 mm) dan C (24,00 mm) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A (21,71 mm) dan D (23,18 mm). Tingkat kelangsungan hidup antar perlakuan tidak berbeda (P>0,05). Ukuran sel dan sitoplasma hati ikan perlakuan relatif lebih besar dibandingkan kontrol. Tingkah laku ikan pada perlakuan B dan C lebih aktif dibandingkan perlakuan A dan D. Dengan demikian kombinasi hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan rekombinan secara bersama (C) memiliki efisiensi pemanfaatan kuning telur, perkembangan dan pertumbuhan lebih tinggi pada larva ikan patin.

Kata kunci: Ikan patin, T4, GH, penyerapan kuning telur, pertumbuhan, kelangsungan hidup, histologi hati.


(31)

ABSTRACT

MUHAMMAD MUTTAQIN. Effectivity of immersion thyroxine and recombinant growth hormone on growth and early development of striped catfish larvae. Supervised by AGUS OMAN SUDRAJAT and ALIMUDDIN.

Catfish hatchery requires technology and engineering to maximize the development and growth of catfish. In this research the hormone thyroxine (T4), and recombinant growth hormone (G) and mix of thyroxine and growth hormones (GT) were administered by immersion to enhance the development and growth of catfish larvae. Research was using completely randomized design, with 4 treatments and 5 replications; A, control; B, thyroxine hormone (T4) 0.1 mg / L, and C, T4 and G (GT) (0.1 mg / L and 10 mg / L) D, G 10 mg / L. Immersion was performed for 1 hour. The results showed that the rate of yolk absorption at 16 hours post immersion was higher (P<0.05) in treatment B (96.98%) compared with treatments A (18.54%), C (20.59%), and D (32.90%). Larval growth of treatments B (24.85 mm) and C (24.00 mm) was higher (P <0.05) compared with treatments A (21.71 mm) and D (23.18 mm). Survival rate among treatments were similar (P>0.05). The size of liver cell and cytoplasm of treated larvae were larger than the control. Behavior of fish in the treatments B and C showed more active than the treatments A and D. Thus, combination of thyroxine and recombinant growth hormone treatment (C) has an efficiency of yolk utilization, and higher in early larval striped catfish development and growth.

Keywords: striped catfish, T4, G, yolk absorption, growth, survival, liver histology.


(32)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 4

II. BAHAN DAN METODE ... 5 2.1 Rancangan penelitian ... 5 2.2 Persiapan wadah... ... 5 2.3 Penyediaan larva ikan patin... ... 5 2.4 Penyediaan hormon tiroksin ... 6 2.5 Penyediaan rGH... ... 6 2.6 Penebaran dan pemeliharaan larva... ... 6 a. Perendaman hormon tiroksin... ... 6 b. Perendaman hormon rGH... ... 7 c. Perendaman hormon tiroksin dan rGH ... 7 2.7 Pemberian pakan ... 7 2.8 Pengamatan perkembangan larva ... 7 2.9 Pertumbuhan larva ... 8 2.10 Kelangsungan hidup larva ... 8 2.11 Histologi hati ... 9 2.12 Tingkah laku ikan ... 9 2.12 Analisis statistik ... ... 10

III. HASIL DAN PEMBAHASAN... 11 3.1 Hasil ... ... .. 10

3.1.1 Perkembangan larva ikan... 12 3.1.2 Pertumbuhan ikan... 12 3.1.3 Tingkat kelangsungan hidup ... ... 14 3.1.4 Histologi hati ... .. 14 3.2 Pembahasan ... ... .. 15 3.2.1. Perkembangan larva... 15


(33)

3.2.2 Pertumbuhan ikan... 16 3.2.3 Tingkat kelangsungan hidup ... 18 3.2.4 Histologi hati ... 18 3.2.5 Analisis biaya ... 19

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 20 4.1 Kesimpulan... ... .. 20 4.2 Saran ... ... ... 20

DAFTAR PUTAKA ... ... 21


(34)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Mekanisme kerja perendaman hormon pertumbuhan ... 3 2. Volume kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan selama

pemeliharaan. ... 11 3. Laju penyerapan kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan

selama pemeliharaan... ... 12 4. Rerata panjang total (mm) larva ikan patin pada setiap perlakuan

selama pemeliharaan ... . 13 5. Panjang total (mm) ikan patin pada setiap perlakuan saat panen umur

12 hari ... . 13 6. Rerata tingkat kelangsungan hidup (%) larva ikan patin yang tidak

direndam (K), dan direndam hormon tiroksin (T), hormon

pertumbuhan rekombinan (G), dan tiroksin dan hormon pertumbuhan

rekombinan (G) ... . 14 7. Histologi hati ikan kontrol yang tidak direndam hormon (a), direndam

dengan tiroksin (b), GT (c), dan hormon pertumbuhan rekombinan (d). Tanda panah pada gambar menunjukkan ukuran jaringan sel dan

sitoplasma (d) ... 15


(35)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Rancangan perlakuan... ... 25 2. Persiapan wadah ... 25 3. Penyediaan hormon tiroksin ... 25 4. Perlakuan perendaman hormon... ... 26 5. Laju penyerapan kuning telur ... 28 6. Volume kuning telur... ... 29 7. Pertumbuhan panjang total... ... 29 8. Tingkat kelangsungan hidup... ... 30 9. Pertumbuhan panjang total panen... ... 31 10. Wadah perlakuan... ... 31 11. Wadah penetasan Artemia... ... 31 12. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Tukey laju penyerapan

kuning telur... ... 32 13. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Tukey volume

kuning telur... ... 35 14. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Tukey panjang total... 39 15. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Tukey tingkat

kelangsungan hidup... 42 16. Analisis biaya produksi larva ikan patin menggunakan hormon

tiroksin ... 43 17. Analisis biaya produksi larva ikan patin tanpa hormon ... 43


(36)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2008 mencatat bahwa dalam tiga tahun terakhir produksi perikanan budidaya Indonesia meningkat secara signifikan sebesar 10,85% per tahun. KKP juga akan memacu produksi perikanan budidaya tahun 2014 sebesar 16,89 juta ton atau meningkat 353% dibandingkan dengan produksi 2009 sebesar 4,78 juta ton. Selain itu, KKP menetapkan sembilan komoditas perikanan untuk dijadikan produk perikanan budidaya. Ikan patin Siam (Pangasianodon hypopthalmus) merupakan salah satu ikan air tawar yang menjadi target KKP. Ikan ini sangat digemari masyarakat karena memiliki cita rasa yang khas, kandungan protein tinggi, dan dapat dikonsumsi segar serta bahan olahan. Nilai ekonomis ikan patin sangat tinggi, ditunjukkan oleh harga induk matang gonad mencapai Rp.250.000,- per ekor, harga telur Rp.5-7,- per butir, harga benih ¾ inci Rp.60,- per ekor, dan harga benih ukuran 1 (satu) inci Rp.80,- per ekor (BBPBAT Sukabumi 2012).

Pada tahun 2012, produksi ikan patin Siam ditargetkan mencapai 110.400 ton, sedangkan untuk kebutuhan larva diperkirakan mencapai 410.000.000 ekor. Untuk memenuhi permintaan ikan patin Siam yang kian meningkat, maka usaha pembenihan ikan patin Siam membutuhkan teknologi, dan rekayasa sehingga perkembangan dan pertumbuhan ikan patin menjadi maksimum. Perbaikan pertumbuhan benih ikan dapat dilakukan menggunakan hormon, seperti prolaktin, tiroid, dan hormon pertumbuhan (growth hormone/GH). Hormon tiroid juga mempengaruhi perkembangan, dan metamorfosis ikan. Salah satu jenis hormon tiroid yang memainkan peranan penting dalam metabolisme dan metamorfosis ikan adalah hormon tiroksin (T4). Tiroksin merupakan hormon yang terionisasi di luar sel folikel tiroid atau pada bagian luar membran apikal. Pada folikel, tiroksin berikatan dengan prohormon tiroglobulin. Djojosoebagio (1996) menyatakan bahwa hormon tiroid yang mengandung unsur yodium diikat, dan disimpan dalam folikel.


(37)

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas hormon tiroksin adalah dosis dan cara pemberian hormon, lama pencahayaan, kualitas makanan, waktu pemberian makanan, stres, spesies, dan ukuran ikan (Weatherlay dan Gill 1986). Menurut Djojosoebagio (1996) hormon tiroksin dapat merangsang laju oksidasi dalam sel terhadap bahan makanan, meningkatkan laju konsumsi oksigen, meningkatkan pertumbuhan, dan mempercepat proses metamorfosis. Norfirdaus (1997) menyatakan bahwa pembentukan bintik mata, gelembung renang, dan pigmentasi lebih cepat terjadi pada larva ikan betutu yang diberi hormon tiroksin konsentrasi 0,1 mg/L. Pada salinitas 1 mg/L dengan dosis T4 0,1 mg/L dapat merangsang peningkatan panjang, dan berat ikan mas dibanding kontrol, selain itu juga SR ikan mas umur 8 hari pada dosis 0,01 ppm mencapai 85% (Lam 1985). Berdasarkan fungsinya tersebut, hormon T4 diharapkan dapat mempercepat metabolisme, dan metamorfosis larva ikan sehingga dapat melewati masa kritisnya. Namun demikian dengan mempercepat metabolisme dan metamorfosis dimungkinkan terjadinya kekerdilan ikan karena energi yang digunakan terfokus pada metamorfosis ikan. Norfirdaus (1997) melaporkan bahwa perendaman hormon tiroksin terjadi gejala abnormal seperti kerusakan jaringan, tulang punggung yang bengkok dan larva tumbuh lambat (kerdil). Sehubungan hal tersebut, maka dibutuhkan hormon yang lain untuk memacu pertumbuhan ikan sehingga ikan dapat terdiferensiasi dan tumbuh cepat tanpa adanya masalah samping. Salah satu hormon yang dapat digunakan dalam memacu pertumbuhan ikan adalah GH. GH merupakan merupakan salah satu hormon hidrofilik polipeptida yang tersusun atas asam amino.

Perendaman hormon pertumbuhan bekerja secara osmoregulasi yaitu rekombinan GH diduga masuk melalui insang, dan disebarkan melalui pembuluh darah (Gambar 1). Hormon yang masuk pada ikan kemudian dialirkan oleh peredaran darah, dan akan diserap oleh organ target, seperti hati, paru-paru, ginjal, dan organ lainnya (Affandi 2002).


(38)

Gambar 1. Mekanisme kerja perendaman hormon pertumbuhan.

GH mengatur pertumbuhan tubuh, reproduksi, sistem imun, dan mengatur tekanan osmosis pada ikan teleostei, serta mengatur metabolisme di antaranya aktivitas lipolitik, dan anabolisme vertebrata. Kandungan GH dalam tubuh ikan berkisar antara 0,2-111,2 ng/mL plasma darah (Bjornsson et al. 1988, Takahashi et al. 1991; Fabridge et al. 1992; Nordgarden et al. 2005).

Penggunaan GH dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu melalui oral, perendaman, dan penyuntikan. Metode oral dan perendaman merupakan metode yang relatif lebih mudah untuk diaplikasikan dalam budidaya. Alimuddin et al. (2010) telah berhasil membuat protein hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) ikan gurame, ikan mas, dan ikan kerapu kertang. Pemberian rGH yang berbeda pada ikan nila melalui teknik penyuntikan meningkatkan bobot 20,94% (rGH ikan kerapu kertang), 18,09% (rGH ikan mas), dan 16,99% (rGH ikan gurame) (Lesmana 2010). Acosta et al. (2007) melaporkan perendaman hormon pertumbuhan dapat meningkatkan bobot ikan nila sebesar 171%.

Perendaman hormon pertumbuhan terhadap ikan gurame juga dapat meningkatkan bobot ikan gurame sebesar 75% (Putra 2011). Handoyo (2012, belum dipublikasikan) melaporkan bahwa perendaman benih ikan sidat dalam larutan Ephinepelus Lanceolatus GH (ElGH) 12 mg/L meningkatkan pertumbuhan sebesar 30%, dan kelangsungan hidup benih ikan sidat diatas 90%,


(39)

sedangkan Aminah (2012, belum dipublikasikan) melaporkan bobot ikan sebesar 28%. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan rentang dosis yang cukup luas, yaitu antara 3–12 mg/L, sehingga pada penelitian ini dipilih dosis hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang 10 mg/L. Melihat peran hormon tiroksin dan rGH, serta hasil penelitian sebelumnya, diharapkan hormon ini juga berperan dalam perkembangan awal dan pertumbuhan larva ikan patin.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas perendaman hormon tiroksin (T4) dan rekombinan growth hormone (G) terhadap perkembangan awal, dan pertumbuhan larva ikan patin Siam.


(40)

II. BAHAN DAN METODE

2. 1 Rancangan penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan patin (Lampiran 1), yaitu:

a. Kontrol : media tidak diberi larutan hormon

b. Perlakuan T : perendaman larva ikan patin dengan hormon tiroksin 0,1 mg/L c. Perlakuan GT : perendaman larva ikan patin dengan hormon tiroksin 0,1 mg/L

dan hormon rGH 10 mg/L

d. Perlakuan G : perendaman larva ikan patin dengan hormon rGH 10 mg/L

2.2 Persiapan wadah

Akuarium berukuran 20x20x25 cm sebanyak 21 unit dimasukkan ke dalam akuarium berukuran 150x70x25 cm yang diberi thermostat sebanyak 2 buah, kemudian akuarium yang berukuran besar ditutupi dengan plastik hitam di bagian luarnya. Hal ini dilakukan agar suhu setiap akuarium sama dan stabil.

Sumber air yang digunakan berasal dari tandon penampungan air yang berada di Departemen Budidaya Perairan. Air yang digunakan sebelumnya ditampung di tandon dan diendapkan selama 1 hari, serta diberi aerasi kuat, dan thermostat. Akuarium diisi air sebanyak 6 liter atau dengan tinggi air 15 cm. Agar suhu air di dalam akuarium tetap stabil, maka pada akuarium besar dipasangi thermostat dengan daya 50 Watt sebanyak 2 unit dengan kisaran suhu 30-31 oC. Setiap akuarium kecil diberi aerasi yang berasal dari aerator 2 titik sebanyak 2 unit (Lampiran 2).

2.3 Penyediaan larva ikan patin

Telur ikan patin Siam diperoleh dari petani ikan patin di Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, yang diperoleh dari pemijahan secara kawin suntik. Telur yang berhasil dibuahi selanjutnya dibawa ke kampus, kemudian disimpan dalam akuarium penetasan telur. Larva ikan yang baru menetas atau berumur 0 hari lalu diberi perlakuan perendaman hormon.


(41)

2.4 Penyediaan hormon tiroksin

Thyrax (levothyroxine sodium) dengan dosis 0,1 mg per tablet diambil sebanyak 5 tablet, lalu dilarutkan dalam 5 L air sehingga diperoleh dosis 0,1 mg/L. Selanjutnya hormon dimasukkan ke dalam wadah 200 mL untuk perlakuan (Lampiran 3).

2.5 Penyediaan rGH

Produksi protein rGH dilakukan menggunakan bakteri Escherichia coli BL 21. Klon bakteri E. coli yang mengandung pCold-l/ElGH dikultur awal dalam 4 mL media 2xYT cair yang mengandung ampisilin, dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu 37oC selama 18 jam. Setelah itu dilakukan subkultur dengan mengambil sebanyak 1% dari kultur awal, dan dimasukkan ke dalam 100 mL media 2xYT cair baru dan diinkubasi lagi pada suhu 15 oC selama 30 menit, ditambahkan IPTG 1 mM sebanyak 1 mL, dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu 15 oC selama 24 jam. Bakteri hasil kultur dikumpulkan dengan sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit.

Lisis dinding sel bakteri dilakukan secara kimiawi menggunakan lisozim. Pelet bakteri hasil sentrifugasi dicuci menggunakan 1 mL bufer TE per 200 mg bakteri dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit dan kemudian supernatan dalam tabung mikro dibuang. Pelet bakteri sebanyak 200 mg dalam tabung mikro ditambahkan sebanyak 500 µL larutan lisozim (10 mg dalam 1 mL bufer TE), diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, lalu disentrifiugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit, supernatan dibuang dan pelet yang terbentuk merupakan protein rGH dalam bentuk badan inklusi (inclusion body). Pelet rGH dicuci dengan PBS sebanyak 1 kali, dan disimpan pada suhu -80 0C hingga akan digunakan.

2.6 Penebaran dan pemeliharaan larva

a. Perendaman hormon tiroksin

Larva yang baru menetas diambil sebanyak 240 ekor, lalu direndam dalam larutan hormon tiroksin berkadar 0,1 mg/L dalam wadah yang diisi 200 mL air


(42)

dengan saringan teh. Dosis tiroksin diambil berdasarkan penelitian Roger (1997). Lama perendaman adalah 1 jam. Setelah perendaman, larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva yang berukuran 20x20x25 cm3. Larva ini dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

b. Perendaman hormon rGH

Larva sebanyak 240 ekor yang baru menetas dimasukkan ke dalam media yang mengandung protein rGH dengan dosis 10 mg/L dan 0,01% BSA (bovine serum albumin) selama 1 jam. Pada saat perendaman tidak dilakukan kejutan salinitas. Hal ini karena ukuran larva yang masih kecil serta belum defenitif sehingga diduga larva ikan akan mati. Selanjutnya larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva. Larva dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

c. Perendaman hormon tiroksin dan rGH

Larva ikan patin Siam yang baru menetas dimasukkan ke dalam media yang mengandung protein rGH dengan dosis 10 mg/L dan 0,01% BSA, serta ditambahkan hormon T4 dengan dosis 0,1 mg/L. Larva direndam selama 1 jam. Setelah itu, larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva, dan dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

2.7 Pemberian pakan

Pemberian pakan berupa naupli Artemia dilakukan pada larva ikan patin umur 48 jam setelah menetas atau menjelang kuning telur habis. Pemberian pakan dilakukan setiap 2-3 jam. Setelah larva berumur 4 hari pakan yang diberikan dicampur dengan cacing sutera Limnodrilus sp. yang sebelumnya dilakukan pencacahan, dan diberikan secara at satiation, setiap 3-4 jam. Pada umur 4 hari larva ikan diberi cacing sutera saja.

2.8 Pengamatan perkembangan larva

Perkembangan larva yang diamati berupa volume, dan laju penyerapan kuning telur. Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil lima ekor larva dari tiap-tiap perlakuan dan diamati pada jam ke- 0, 4, 8, 12, dan seterusnya sampai


(43)

kuning telur habis dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer. Hasil pengukuran dikonversi dalam satuan milimeter dengan cara mengalibarasi mikroskop tersebut menggunakan mikrometer objektif. Hasil konversi ini kemudian menghitung volume, dan laju penyerapan kuning telur. Perhitungan volume, dan laju penyerapan kuning telur menggunakan rumus Blaxter dan Hempel dalam Nacario (1983), yaitu:

a. Volume kuning telur larva (V):

V= (π/6)LH2 dengan V : volume kuning telur (mm3)

L : diameter kuning telur memanjang (mm), dan H : diameter kuning telur memendek (mm)

b. Laju penyerapan kuning telur (LPK)

LPK = (ln V0 - lnVt)/t x 100

dengan LPK : laju penyerapan kuning telur (%/jam)

V0 : volume kuning telur awal periode sampling (mm3) Vt : volume kuning telur akhir periode sampling (mm3), dan t : periode sampling (jam)

2.9 Pertumbuhan larva

Pertumbuhan diketahui dengan mengukur panjang total larva ikan. Panjang total adalah jarak antara ujung terminal mulut hingga ujung sirip ekor. Panjang total dihitung dengan cara mengambil lima ekor ikan setiap perlakuan yang selanjutnya diukur panjang total di atas kertas melimeter blok.

2.10 Kelangsungan hidup larva

Kelangsungan hidup larva dihitung dengan menggunakan rumus Effendi (1979), yaitu


(44)

SR = Nt / N0 x 100 %

SR : Kelangsungan hidup (%)

Nt : Jumlah larva yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) N0 : Jumlah larva yang ditebar (ekor)

2.11 Histologi hati

Proses pembuatan preparat histologi diawali dengan fiksasi menggunakan larutan Bouin‟s. Setelah itu hati direndam dalam larutan fiksasi, lalu dilalanjutkan dengan dehidrasi yaitu proses pengeluaran air dari dalam jaringan dengan menggunakan etanol, clearing yaitu proses pembersihan etanol dari dalam jaringan dan digantikan dengan xylol. Proses selanjutnya yaitu embedding, yaitu proses penyusupan parafin ke dalam jaringan. Setelah itu hati ikan dimasukkan ke dalam cetakan kertas, dan diisi dengan parafin (blocking).

Setelah blok parafin beku, maka dilakukan pemotongan blok dengan mikrotom dengan ketebalan potongan 5-10 µ m secara membujur, kemudian jaringan yang telah dipotong ditempatkan di permukaan air 40 oC di dalam water bath, selajutnya ditempatkan pada kaca objek dan biarkan mengering. Tahap terakhir adalah pewarnaan menggunakan pewarna hematatoxylin eosin serta meneteskan entelen atau canada balsam lalu ditutup dengan gelas penutup.

2.12 Tingkah laku ikan

Tingkah laku ikan pada saat pemeliharaan meliputi pergerakan ikan, nafsu makan, dan warna kulit ikan. Pergerakan ikan dilihat dari aktif tidaknya ikan perlakuan pada saat di dalam air yang dibandingkan dengan ikan kontrol. Nafsu makan ikan didapatkan dengan cara pengamatan lama waktu pakan habis pada sesaat setelah diberi pakan yang dibandingkan setiap perlakuan. Warna ikan merupakan salah satu indikator stres pada ikan. Pada penelitian ini pengamatan warna dilakukan dengan melihat warna kulit ikan yaitu jika ikan bewarna cerah, maka ikan dikategorikan tidak stres.


(45)

2.12 Analisis statistik

Data yang telah diperoleh kemudian ditabulasi, dan dianalisis menggunakan program MS. Excel 2007 dan SPSS 17.0. Analisis Ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95%, digunakan untuk menentukan apakah perlakuan berpengaruh nyata terhadap volume kuning telur, laju penyerapan kuning telur, laju pertumbuhan, dan kelangsungan hidup. Apabila berpengaruh nyata, untuk melihat perbedaan antar perlakuan akan diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat tingkah laku ikan dan analisis biaya yang disajikan dalam bentuk tabel.


(46)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Perkembangan larva ikan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan penurunan volume kuning telur larva (Gambar 2, dan Lampiran 5), dan peningkatan laju penyerapan kuning telur setiap jamnya (Gambar 3, dan Lampiran 6). Pada jam ke-4 volume kuning telur tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan (p>0,05), sedangkan pada jam ke-0, jam ke-8, jam ke-12, jam ke-16, dan jam ke-20 volume kuning telur berbeda nyata antar perlakuan (p<0,05).

Gambar 2. Volume kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan selama pemeliharaan.

Pada jam ke-0 perlakuan GT berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05), sedangkan perlakuan G dan perlakuan T tidak berbeda nyata (p>0,05). Pada jam ke-8 dan jam ke-12 perlakuan T, dan perlakuan GT tidak berbeda nyata (p>0,05), tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan K dan perlakuan G (p<0,05), sedangkan pada jam ke-16 dan jam ke-20 perlakuan T berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05), tetapi pada perlakuan GT dan G tidak berbeda nyata satu sama lain (p>0,05). Begitu juga pada perlakuan G dan perlakuan K tidak berbeda nyata satu sama lainnya (p>0,05).

Waktu (jam ke-)

Volu m e k u n in g te lu r (m m 3 ) Ket :

K : Kontrol

T : Perendaman hormon tiroksin GT : Perendaman hormon tiroksin + GH G : Perendaman hormon pertumbuhan (GH)


(47)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 4 8 12 16 20

K T GT G

Gambar 3. Laju penyerapan kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan selama pemeliharaan.

Seperti ditunjukkan pada Gambar 2 dan Lampiran 7, bahwa perlakuan perendaman hormon tiroksin memiliki laju penyerapan kuning telur lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Laju penyerapan kuning telur tidak dipengaruhi oleh perlakuan hormon berbeda pada jam ke-4, jam ke-12, dan jam ke-20, sedangkan pada jam ke-8 dan jam ke-16 dipengaruhi oleh perlakuan hormon tirokain (p<0,05).

3.1.2 Pertumbuhan ikan

Hasil pengukuran panjang total larva ikan patin yang dipelihara selama 12 hari untuk masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 3 dan Lampiran 7. Panjang larva yang diberi perlakuan perendaman hormon tiroksin, lebih panjang dibandingkan perlakuan lainnya. Panjang total larva ikan patin pada hari ke-0 dan 3 pada semua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan pada hari ke-6, ke-9, dan ke-12 semua perlakuan panjang total ikan patin berbeda nyata (p<0,05). Pada hari ke-6 dan ke-12 perlakuan kontrol berbeda nyata dengan perlakuan T yaitu 23,09% dan 14,41%, GT yaitu 20,0% dan 10,55%, dan perlakuan G yaitu 15,08% dan 6,77% (p<0,05), tetapi pada hari ke-9 perlakuan G dan GT tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tiroksin (p>0,05). Pada hari ke-12

Waktu (jam ke-)

L aj p en ye rap an k u n in g t el u r (% /j am ) Ket :

K : Kontrol

T : Perendaman hormon tiroksin GT : Perendaman hormon tiroksin + GH G : Perendaman hormon pertumbuhan (GH)


(48)

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

0 3 6 9 12

Kontrol

Tiroksin

GT

G perlakuan kontrol dan G tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan perlakuan tiroksin dan GT berbeda nyata (p<0,05), tetapi perlakuan G dan GT berbeda nyata (p<0,05) dan perlakuan GT dan tiroksin berbeda nyata (p<0,05).

Gambar 4. Rerata panjang total (mm) larva ikan patin pada setiap perlakuan pada saat pengamatan.

Gambar 5. Panjang total (mm) ikan patin Siam pada setiap perlakuan saat panen umur 12 hari.

Waktu (hari ke-)

P

an

jan

g

t

ot

a

l

(m

m

)

KONTROL TIROKSIN T + G G

Ket :

K : Kontrol

T : Perendaman hormon tiroksin GT : Perendaman hormon tiroksin + GH G : Perendaman hormon pertumbuhan (GH)


(49)

3.1.3 Tingkat kelangsungan hidup

Hasil pengamatan terhadap kelangsungan hidup larva ikan patin Siam yang dipelihara selama 12 hari memiliki rerata sebesar 79% (Gambar 6 dan Lampiran 8). Tingkat kelangsungan hidup tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0,05).

Gambar 6. Rerata tingkat kelangsungan hidup (%) larva ikan patin yang tidak direndam (K), dan direndam hormon tiroksin (T), hormon

pertumbuhan rekombinan (G), dan tiroksin dan hormon pertumbuhan rekombinan (G).

3.1.4 Histologi hati

Hasil histologi hati larva ikan patin pada hari ke-15 disajikan pada Gambar 7. Histologi hati diambil pada umur hari ke-15 pemeliharaan serta diamati dengan mikroskop Olympus BH2-RFCA perbesaran 400x, diambil menggunakan kamera digital Sony W210 dengan 2,4x zoom. Pada perlakuan hormon tiroksin ukuran jaringan sel dan sitoplasma masih kecil, pada perlakuan hormon tiroksin ukuran jaringan sel dan sitoplasma telah sangat besar (Gambar 7b), pada perlakuan hormon gabungan ukuran jaringan sel dan sitoplasma besar (Gambar 7c), dan pada perlakuan GH ukuran jaringan sel dan sitoplasma berukuran besar

Perlakuan

a a a


(50)

(Gambar 7d), sedangkan perlakuan kontrol ukuran jaringan sel dan sitoplasma berukuran kecil (Gambar 7a).

Gambar 7. Histologi hati ikan kontrol yang tidak direndam hormon (a), direndam dengan tiroksin (b), GT (c), dan hormon pertumbuhan rekombinan (d). Tanda panah pada gambar menunjukkan ukuran jaringan sel ( ) dan sitoplasma ( ).

3.2 Pembahasan

3.2.1 Perkembangan ikan

Volume kuning telur berbeda nyata pada beberapa perlakuan (Gambar 2). Pada dasarnya, perlakuan perendaman hormon tiroksin dapat menurunkan volume kuning telur dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan hormon tiroksin dapat memacu perkembangan proses pembentukan organ pada larva ikan sehingga volume kuning telur lebih banyak terserap. Hal ini didukung oleh Lam dan Reddy (1992) bahwa pemberian tiroksin dapat mempercepat proses diferensiasi, dan pertumbuhan pada ikan mas koki, serta memacu pembentukan jari-jari sirip dorsal dan anal.

Volume telur larva ikan patin yang diberi perlakuan hormon tiroksin dan hormon rGH dapat menurun dengan cepat, akan tetapi pada perlakuan

a b

c d

20 µm 20 µm


(51)

perendaman menggunakan rGH volume kuning telur tidak cepat menurun dan belum bekerja . Hal ini juga didukung oleh volume pada perlakuan hormon rGH yang tidak terlalu cepat menurun. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hormon ini tidak bekerja antara lain, hormon ElrGH yang diberikan ke larva ikan patin tidak kompatibel, dosis yang diberikan tidak optimum, serta waktu perendaman yang tidak optimum. Selain itu pada penelitian ini juga tidak dilakukan kejutan salinitas seperti pada penelitian ikan gurame, ikan betok maupun ikan sidat sehingga diduga hormon rGH tidak dapat masuk ketubuh ikan secara maksimum.

Laju penyerapan kuning telur tertinggi yaitu 96,98% didapatkan pada perlakuan perendaman hormon tiroksin. Pada jam ke-16 hampir semua larva yang diamati kuning telurnya telah terserap, dan pada jam ke-20 semua larva yang diamati telah habis kuning telurnya. Dengan demikian, hormon tiroksin 0,1 mg/L yang diberikan pada larva ikan patin bekerja dengan optimum. Norfirdaus (1997) menyatakan bahwa pembentukan bintik mata, gelembung renang, dan pigmentasi lebih cepat terjadi pada larva ikan betutu yang diberi hormon tiroksin konsentrasi 0,1 ppm. Perlakuan gabungan antara hormon tiroksin dan rGH tidak begitu meningkatkan laju penyerapan kuning telur tetapi pertumbuhan pada perlakuan ini sangat cepat sehingga pemanfaatan kuning telurnya lebih efisien dibandingkan perlakuan tiroksin. Hal ini diduga karena volume kuning telur pada perlakuan tersebut tidak cepat habis sehingga laju penyerapan kuning juga tidak cepat.

3.2.2 Pertumbuhan ikan

Pertumbuhan panjang total larva ikan patin yang tertinggi didapatkan pada perlakuan perendaman hormon tiroksin dengan peningkatan panjang total sebesar 14,41% dibandingkan kontrol (Gambar 5 dan Lampiran 9). Pertumbuhan panjang total pada hari ke-0 pengamatan tidak terjadi beda nyata antar perlakuan. Pada hari ke-3 terlihat bahwa pada perlakuan perendaman hormon tiroksin lebih cepat tumbuh dibandingkan perendaman hormon lain. Hal ini diduga karena laju penyerapan kuning telur ikan dapat terserap dengan cepat, sehingga dapat membentuk organ ikan yang mengakibatkan pertumbuhan menjadi lebih cepat. Etherge (1993) dalam Daneyanti (2001) melaporkan bahwa, pemberian hormon


(52)

tiroksin dapat meningkatkan metabolime tubuh. Dengan peningkatan metabolisme tubuh, dapat menyebabkan larva ikan patin yang direndam dengan hormon tiroksin memiliki tingkat pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya.

Perlakuan perendaman gabungan hormon tiroksin dan rGH memiliki pertumbuhan panjang total sebesar 24 mm pada saat hari ke-12. Pertumbuhan hormon gabungan ini diduga hanya hormon tiroksin yang bekerja, sedangkan hormon rGH belum bekerja secara optimum. Hal ini didukung dengan tidak telalu maksimum hasil perlakuan dengan hormon rGH. Meskipun perlakuan hormon gabungan bukan pertumbuhan terbaik tetapi hormon gabungan lebih efesien dibandingkan hormon tiroksin. Hal ini dikarenakan pada jam ke-16 kuning telur perlakuan tiroksin telah terserap 96,97%/jam dengan panjang total pada hari ke-3 sebasar 7,88±0,56 mm sedangkan pada perlakuan hormon gabungan kuning telur yang terserap hanya 20,596%/jam dengan panjang total pada hari ke-3 sebesar 7,72±0,61 mm. Dengan demikian bahwa hormon gabungan dapat meningkatkan panjang total dengan tidak mempercepat laju penyerapan kuning telur.

Tingkah laku ikan pada saat pemeliharaan meliputi pergerakan ikan, nafsu makan, dan warna kulit ikan. Pada tingkah laku ikan, ikan yang paling aktif dalam berenang adalah perlakuan hormon tiroksin sedangkan pergerakan ikan kontrol pasif (lebih banyak diam). Hal ini diduga karena pada perlakuan hormon tiroksin laju metabolismenya tinggi, sehingga ikan bergerak aktif mencari makan. Djojosoebagio (1996) menyatakan bahwa hormon tiroksin dapat merangsang laju oksidasi dalam sel terhadap bahan makanan, meningkatkan laju konsumsi oksigen, meningkatkan pertumbuhan, dan mempercepat proses metamorfosis. Nafsu makan ikan perlakuan hormon tiroksin dan gabungan sangat tinggi dibandingkan perlakuan kontrol dan perlakuan hormon pertumbuhan. Hal ini terlihat pada saat ikan diberi pakan, pakan yang diberikan pada perlakuan ini lebih cepat habis. Cepatnya pakan yang habis pada saat diberikan akibat pergerakan ikan yang aktif sehingga dibutuhkan energi yang lebih banyak. Warna ikan yang diberi perlakuan hormon tiroksin dan gabungan lebih bening dibandingkan perlakuan lainnya. Beningnya warna ikan pada perlakuan hormon tiroksin dan hormon gabungan menandakan ikan sehat.


(53)

3.2.3 Tingkat kelangsungan hidup

Rerata tingkat kelangsungan hidup larva ikan patin pada penelitian ini sebesar 79%. Perlakuan dengan perendaman hormon tiroksin memiliki tingkat kelangsungan hidup paling tinggi. Hal ini dikarenakan, adanya penyerapan kuning telur yang optimum, sehingga dapat menyebabkan perkembangan pada organ tubuh ikan berjalan dengan baik. Selain itu, diperkuat dengan pertumbuhan larva ikan patin yang cepat. Hasil penelitian Lam (1980) pada ikan mujair menggunakan hormon tiroksin dengan kadar 0,1 ppm diperoleh tingkat kelangsungan hidup lebih baik dibandingkan kontrol.

Perlakuan perendaman hormon gabungan hormon tiroksin dan hormon rGH memiliki tingkat kelangsungan hidup paling rendah. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup dimungkinkan karena larva ikan stres akibat perendaman hormon secara bersamaan.

3.2.4 Histologi hati

Hati merupakan organ yang memiliki peran penting dalam mahluk hidup. Berdasarkan hasil histologi hati larva ikan didapat pada perlakuan kontrol, perlakuan hormon tiroksin dan rGH, serta perlakuan hormon rGH didapat ukuran jaringan sel hati dan ukuran sitoplasma masih kecil. Ukuran jaringan sel dan sitoplasma masih kecil dikarenakan pertumbuhan pada larva ikan tidak cepat. Perlakuan tiroksin memiliki ukuran jaringan sel hati dan ukuran sitoplasma sangat besar (Gambar 7b). Besarnya ukuran sel dan sitoplasma ini diakibatkan oleh hormon tiroksin yang harus dikonversi menjadi triiodotironin atau beberapa bentuk lainnya. Djojosoebagio (1996) menyatakan bahwa proses konversi ini berlangsung di hati dan ginjal dengan bantuan enzim T4-5‟-deiodinase yang dihasilkan oleh mikrosoma.

Pada perlakuan perendaman hormon gabungan hormon tiroksin dan hormon rGH terjadi kerusakan jaringan berupa cloudy swelling (Gambar 7c.). Cloudy swelling ditandai oleh adanya sel-sel yang membengkak disertai dengan sitoplasma yang bergranula (berbutir-butir) sehingga jaringan tampak keruh. Hal ini sejalan dengan pernyataan Himawan (1990) bahwa sel hati bengkak dengan


(54)

sitoplasma berbutir keruh mungkin disebabkan oleh pengendapan protein yang disebut sebagai degenerasi albumin.

3.2.5 Analisis biaya

Kegiatan budidaya merupakan suatu usaha yang berorientasi profit sehingga biaya produksi harus minimalis dan keuntungan yang maksimum. Pada penelitian ini secara ekonomi lebih menguntungkan karena mampu memproduksi larva ikan patin benih berukuran 1 inci dengan waktu 12 hari, sedangkan ukuran ini biasanya diproduksi selama 20-30 hari dengan kepadatan pemeliharaan yang sama yaitu 40 ekor/liter. Semakin singkat usaha budidaya, maka semakin cepat siklus budidaya sehingga keuntungan semakin besar. Ditingkat petani pada hari ke-12 ukuran larva patin hanya mencapai ukuran ¾ inci dengan harga berkisar Rp.50-60,- per ekor. Melalui penelitian ini harga ikan patin dapat meningkat menjadi Rp. 80,- karena ukuran yang didapatkan 1 inci sehingga apabila diaplikasikan dapat memiliki keuntungan Rp.20-30,- per ekor (Lampiran 16 dan 17).


(55)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Perendaman hormon (hormon tiroksin, kombinasi hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan, dan hormon pertumbuhan) dapat meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan larva ikan patin Siam. Perendaman dengan kombinasi hormon tiroksin 0,1 mg/L dan hormon pertumbuhan rekombinan 10 mg/L secara bersamaan memiliki pertumbuhan yang tinggi (24 mm) yang dicapai selama 12 hari, dengan efisiensi penyerapan laju kuning telur yang tinggi (80%). Kelangsungan hidup larva sama pada semua perlakuan.

4.2 Saran

Perendaman larva patin dengan hormon tiroksin 0,1 mg/l dan hormon pertumbuhan rekombinan 10 mg/l secara bersama disarankan diaplikasikan di petani karena dapat mempercepat perkembangan dan pertumbuhan larva. Serta memiliki laju penyerapan kuning telur yang lebih efisien dalam pertumbuhan ikan ini.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Acosta, J.R., Morales, R., Morales, A., Alonso, M., Estrada, M.P. 2007. Pichia pastoris expressing recombinant tilapia growth hormone accelerates the growth of tilapia. Biotechnol Lett 29: 1671-1676.

Affandi, R. 2002. Fisiologi hewan air. Unri press. Riau. Hal; 213.

Alimuddin, Lesmana I, Sudrajat A.O, Carman O, Faizal I. 2010. Production and bioactivity potential of three recombinant growth hormones of farmed fish. Indonesian Aquaculture Journal 5(1): 11-17.

Aminah. 2012. Aplikasi protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang (rElHP) pada ikan sidat stadia eel dengan dosis berbeda melalui metode perendaman (belum dipublikasikan).

BBPBAT Sukabumi. 2012. Harga ikan patin. http://bbat-sukabumi.tripod.com/ikan.html. [11 April 2012].

Bjornsson B.T, Ogasawara T, Hirano T, Bolton J.P, Bern H.A. 1988. Elevated growth hormone levels in stunted Atlantic salmon, Salmo salar. Aquaculture73: 275-281.

Crab R, Avnimelech Y, Defoirdt T, Bossier P, Verstraete W. 2007. Nitrogen removal techniques in aquaculture for a sustainable production. Aquaculture 270: 1–14.

Daneyanti R. 2001. Pengaruh lama perendaman di dalam larutan hormon tiroksin terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan larva kerapu tikus. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 43 hal.

Djojosaebagio S. 1990. Fisiologis kelenjar endokrin. Volume 1. Pusat Antar Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal;137.

Effendie M. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Hal 106. Fabridge K.J, Flett P.A, Leatherland J.F. 1992. Temporal effects of restricted diet

and compensatory increased dietary intake on thyroid function, plasma growth hormone levels and tissue lipid reserves in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Aquaculture, 104, 157-174.

Handoyo. 2012. Aplikasi penggunaan protein rekombinan hormon pertumbuhan pada ikan sidat dengan metode perendaman dan pakan dalam meningkatkan pertumbuhan benih ikan sidat untuk dapat diterapkan dalam skala massal (belum dipublikasikan).


(1)

Jamke20 K T ,00296* ,00098 ,037 ,0002 ,0058 GT ,00268 ,00098 ,063 -,0001 ,0055 GH ,00198 ,00098 ,221 -,0008 ,0048

T K -,00296* ,00098 ,037 -,0058 -,0002

GT -,00028 ,00098 ,992 -,0031 ,0025 GH -,00098 ,00098 ,751 -,0038 ,0018

GT K -,00268 ,00098 ,063 -,0055 ,0001

T ,00028 ,00098 ,992 -,0025 ,0031 GH -,00070 ,00098 ,890 -,0035 ,0021

GH K -,00198 ,00098 ,221 -,0048 ,0008

T ,00098 ,00098 ,751 -,0018 ,0038 GT ,00070 ,00098 ,890 -,0021 ,0035 *, The mean difference is significant at the 0,05 level,


(2)

Lampiran 14. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Turkey panjang total

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig,

Harike0 Between Groups ,000 3 ,000 , ,

Within Groups ,000 16 ,000

Total ,000 19

Harike3 Between Groups 2,555 3 ,852 1,896 ,171

Within Groups 7,190 16 ,449

Total 9,745 19

Harike6 Between Groups 18,217 3 6,072 11,803 ,000

Within Groups 8,232 16 ,514

Total 26,449 19

Harike9 Between Groups 11,599 3 3,866 5,372 ,009

Within Groups 11,516 16 ,720

Total 23,115 19

Harike12 Between Groups 26,738 3 8,913 12,213 ,000

Within Groups 11,677 16 ,730


(3)

Multiple Comparisons Tukey HSD Dependent Variable (I) Perlakuan (J) Perlakuan Mean Difference (I-J) Std, Error Sig,

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Harike3 Kontrol Tiroksin -,90600 ,42396 ,184 -2,1190 ,3070

Tiroksin+GH -,74600 ,42396 ,327 -1,9590 ,4670 GH -,31000 ,42396 ,883 -1,5230 ,9030 Tiroksin Kontrol ,90600 ,42396 ,184 -,3070 2,1190 Tiroksin+GH ,16000 ,42396 ,981 -1,0530 1,3730 GH ,59600 ,42396 ,514 -,6170 1,8090 Tiroksin+GH Kontrol ,74600 ,42396 ,327 -,4670 1,9590 Tiroksin -,16000 ,42396 ,981 -1,3730 1,0530 GH ,43600 ,42396 ,736 -,7770 1,6490 GH Kontrol ,31000 ,42396 ,883 -,9030 1,5230 Tiroksin -,59600 ,42396 ,514 -1,8090 ,6170 Tiroksin+GH -,43600 ,42396 ,736 -1,6490 ,7770 Harike6 Kontrol Tiroksin -2,47600* ,45365 ,000 -3,7739 -1,1781 Tiroksin+GH -2,16600* ,45365 ,001 -3,4639 -,8681 GH -1,62000* ,45365 ,012 -2,9179 -,3221 Tiroksin Kontrol 2,47600* ,45365 ,000 1,1781 3,7739 Tiroksin+GH ,31000 ,45365 ,902 -,9879 1,6079 GH ,85600 ,45365 ,272 -,4419 2,1539 Tiroksin+GH Kontrol 2,16600* ,45365 ,001 ,8681 3,4639 Tiroksin -,31000 ,45365 ,902 -1,6079 ,9879 GH ,54600 ,45365 ,633 -,7519 1,8439 GH Kontrol 1,62000* ,45365 ,012 ,3221 2,9179 Tiroksin -,85600 ,45365 ,272 -2,1539 ,4419 Tiroksin+GH -,54600 ,45365 ,633 -1,8439 ,7519 Harike9 Kontrol Tiroksin -2,15000* ,53656 ,005 -3,6851 -,6149 Tiroksin+GH -1,13000 ,53656 ,193 -2,6651 ,4051 GH -1,00000 ,53656 ,282 -2,5351 ,5351


(4)

Tiroksin Kontrol 2,15000* ,53656 ,005 ,6149 3,6851 Tiroksin+GH 1,02000 ,53656 ,266 -,5151 2,5551 GH 1,15000 ,53656 ,182 -,3851 2,6851 Tiroksin+GH Kontrol 1,13000 ,53656 ,193 -,4051 2,6651 Tiroksin -1,02000 ,53656 ,266 -2,5551 ,5151 GH ,13000 ,53656 ,995 -1,4051 1,6651 GH Kontrol 1,00000 ,53656 ,282 -,5351 2,5351 Tiroksin -1,15000 ,53656 ,182 -2,6851 ,3851 Tiroksin+GH -,13000 ,53656 ,995 -1,6651 1,4051 Harike12 Kontrol Tiroksin -3,13400* ,54029 ,000 -4,6798 -1,5882 Tiroksin+GH -2,29400* ,54029 ,003 -3,8398 -,7482 GH -1,47400 ,54029 ,064 -3,0198 ,0718 Tiroksin Kontrol 3,13400* ,54029 ,000 1,5882 4,6798 Tiroksin+GH ,84000 ,54029 ,430 -,7058 2,3858 GH 1,66000* ,54029 ,033 ,1142 3,2058 Tiroksin+GH Kontrol 2,29400* ,54029 ,003 ,7482 3,8398 Tiroksin -,84000 ,54029 ,430 -2,3858 ,7058 GH ,82000 ,54029 ,450 -,7258 2,3658 GH Kontrol 1,47400 ,54029 ,064 -,0718 3,0198 Tiroksin -1,66000* ,54029 ,033 -3,2058 -,1142 Tiroksin+GH -,82000 ,54029 ,450 -2,3658 ,7258 *, The mean difference is significant at the 0,05 level,


(5)

Lampiran 15, Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Turkey tingkat kelangsungan

hidup

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig,

Between Groups 53,350 3 17,783 ,252 ,859

Within Groups 1127,600 16 70,475

Total 1180,950 19

Multiple Comparisons Tukey HSD (I) Perlakuan (J) Perlakuan Mean Difference

(I-J) Std, Error Sig,

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Kontrol Tiroksin -3,00000 5,30943 ,941 -18,1904 12,1904 Tiroksin+GH 1,40000 5,30943 ,993 -13,7904 16,5904 GH -1,40000 5,30943 ,993 -16,5904 13,7904 Tiroksin Kontrol 3,00000 5,30943 ,941 -12,1904 18,1904 Tiroksin+GH 4,40000 5,30943 ,840 -10,7904 19,5904 GH 1,60000 5,30943 ,990 -13,5904 16,7904 Tiroksin+GH Kontrol -1,40000 5,30943 ,993 -16,5904 13,7904 Tiroksin -4,40000 5,30943 ,840 -19,5904 10,7904 GH -2,80000 5,30943 ,951 -17,9904 12,3904 GH Kontrol 1,40000 5,30943 ,993 -13,7904 16,5904 Tiroksin -1,60000 5,30943 ,990 -16,7904 13,5904 Tiroksin+GH 2,80000 5,30943 ,951 -12,3904 17,9904 Tukey HSDa

Perlakuan N

Subset for alpha = 0,05

1

Tiroksin+GH 5 76,4000

Kontrol 5 77,8000

GH 5 79,2000

Tiroksin 5 80,8000


(6)

Lampiran 16. Analisis biaya produksi larva ikan patin menggunakan hormon

tiroksin