Tata Cara Pengangkatan Arbiter

Dahulu seorang wanita berdasarkan isi Pasal 617 ayat 2 Rv dilarang untuk menjadi seorang arbiter atau wasit, tetapi kini wanita tidak dilarang untuk menjadi seorang arbiter, asalkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur precedence tersebut dapat menimbulkan putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa berupa di masa yang akan datang hal itu mengurangi kepastian hukum dan bertentangan dengan asas similia similibus, yaitu perkara serupa diputuskan sama. d. Masalah putusan arbitrase asing Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di Negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus dieksekusi, dimana perlu dipastikan hukum yang akan diberlakukan dalam proses eksekusi tersebut. Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan.

D. Tata Cara Pengangkatan Arbiter

Pada perinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal mempunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang arbiter bias seorang ahli hukum, bisa juga seorang yang ahli bidang tertentu. 30 Dahulu seorang wanita berdasarkan isi Pasal 617 ayat 2 Rv dilarang untuk menjadi 30 Munir Fuady, op.cit, hal. 67. Universitas Sumatera Utara seorang arbiter atau wasit, tetapi kini wanita tidak dilarang untuk menjadi seorang arbiter, asalkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur persyaratan arbiter. Orang yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat : a. cakap melakukan tindakan hukum b. berumur paling rendah 35 tahun c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan drajat ke dua dengan salah satu pihak bersengketa. d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase. e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. Seorang hakim, jaksa, bisa seorang saja yang merupakan arbiter tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbiter yang akan bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Sistem arbiter ini dapat rumusan pengertian arbiter yang disebutkan dalam pasal 1 angka 7 UU No. 30 tahun 1999. Dalam pasal itu dikatakan, arbiter adalah “seorang atau lebih : yang dipipih para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau lembaga arbiter, untuk memberikan putusan mengenai sengketa terntu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Dari rumusan ini terdapat dietahui pula bahwa pengangkatan arbiter dilakukan oleh para pihak atau meminta bantuan pengadilan negeri atau lembaga arbitrase untuk menunjuk arbiternya jika para pihak tidak dapat mencapai kata sepakat mengenai pemilihan arbiternya. Universitas Sumatera Utara Sweet dan Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review mengemukakan dalam menentukan berapa orangkah yang sebaiknya menjadi arbiter dalam satu kasus, apakah tiga orang ataukah cukup satu orang, beberapa faktor di bawah ini patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut 31 a. jumlah yang dipersengketakan. : b. Kompeksitas klaim. c. Nasionalitas dari para pihak d. Kebiasaan dagang yang relevan atau bisnis atau profesi yang terlibat dalam sengketa. e. Ketersediaan arbiter yang layak. f. Tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan Selanjutnya beberapa cara pengangkatan arbiter yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999, adalah :

1. Penunjukan oleh para pihak

Cara pertama, pengangkatan arbiter melakukan berdasarkan penunjuk para pihak, baik itu melalui akta de compromittendo maupun melalui akta compromise. Dalam perjanjian arbitrasenya, selain memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengangkatan arbiter, para pihak juga dapat menyepakati penunjukan arbiter beserta dengan sistemnya yang akan bertugas untuk menyelesaikan sengaketa para pihak dari perbedaan pendapat mengenai penunjukan arbiter maupun mengenai jumlah arbiter. Dengan cara lain, proses pengangkatan arbiter dan pembentukan 31 Ibid, hal 68 Universitas Sumatera Utara majelis arbiter akan lebih mulus, sehingga fungsi dan kewenangan pemeriksaan dan penyelesaian persengketaa, mungkin akan lebih cepat diselesaikan. 32 Kelemahan cara ini bahwa para pihak sudah tidak kooperatif lagi, karena sengketa sudah terjadi, sehingga kesepakatan kehendak dalam memilih arbiter sudah sulit dicapai. Seandainya para pihak belum menentukan cara penunjukan arbiter, sebelum maupun sesudah sengketa terjadi, para pihak masih diberikan kesempatan untuk memilih arbiter secara langsung. Cara seperti ini, disimpulkan dari bunyi Pasal 13 ayat 1 UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan : dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter, ketua pengadilan negeri untuk menunjuk arbiternya. 33 Kewenangan hakim atau ketua pengadilan negeri untuk menunjuk arbiter atau membentuk majelis arbiter tersebut berdasarkan permohonan para pihak atau salah

2. Penunjukan oleh hakim

Cara lain pengangkatan arbiter adalah dengan meminta bantuan hakim atau ketua pengadilan negeri untuk menunjuk arbiter atau majelis arbitrase, jika para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam penunjukan arbiter. Cara pengangkatan arbiter dengan penunjukan oleh hakim atau katua pengadilan negari ini diatur dalam Pasal 15 ayat 4 UU No. 30 Tahun 1999. Dengan adanya cara ini, maka praktik akan terjadi jalan buntu deadlock dapat dihindari apabila para pihak didalam syarat arbitrase mengatur secara baik dan seksama tentang cara yang harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter. 32 M. Yahya Harahap, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1999, hal. 160. 33 Munir Fuady, op.cit, hal. 73. Universitas Sumatera Utara satu pihak dengan menjelaskan kegagalan para pihak dalam mencapai kesepakatan mengenai pemilihanpenunjukan arbiter. Penjelasan ini dibutuhkan oleh hakim sebagai dasar untuk mengintervensi soal penunjukan arbiter yang merupakan kewenangan para pihak. Pengadilan negeri hanya akan berwenang mengintervensi penunjukan arbiter para pihak terbukti gagal memilihmenunjuk arbiternya.

3. Penunjukan oleh Lembaga Arbitrase

Sering juga ketentuan arbitrase di lembaga arbitrase tertentu menentukan jika para pihak tidak berhasi memilih arbiternya atau jika arbiter ketiga tidak berhasil dipilih, maka ketua atau pejabat lain dari lembaga arbitrase tertentu yang akan memilihnya. Kemungkinan lain jika para pihak dari semua dalam kontrak ataupun jika seteah terjadinya sengketa meminta lembaga arbitrase untuk menyusun suatu atbitrase majelis atau unutk menunujuk arbitrase tunggal. Sweet dan Maxwell selanjutnya mengemukankan, maka dalam memilih arbiternya sebaiknya beberapa hal berikut ini akan menjadi pertimbangan, yaitu 34 1. Sifat dan hakikat dari sengketa. : 2. Ketersediaan dari arbiter. 3. Identitas dari para pihak. 4. Independensi dari arbiter. 5. Syarat pengangkatan dalam kontak arbitrase. 6. Saran-saran yang diberikan oleh para pihak. 34 lbid, hal. 74. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya mengenai hukum acara arbitrase, pada prinsipnya undang-undang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri acara dan proses arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 UU No. 30 Tahun 1999, bahwa para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Pilihan acara dan proses pemeriksaan tersebut harus dinyatakan secara “tegas” dan “tertulis” dalam suatu perjanjian arbitrase, dengan syarat sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Dalam hal arbitrasenya berbentuk arbitrase ad-hoe, jika para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan dan arbiter atau majelis arbiter ad-hoc telah berbentuk, maka semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbtrase ad- hoc tersebut, akan diperiksa dan diputus menurut ketetntuan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Ini berarti sepanjang para pihak tidak menentukan lain, maka acara dan proses arbitrase yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Penyelesaian sengketa dapat pula deselesaikan melalui arbitrase institusional, di samping melalui arbitrase ad-hoc. Sehubungan dengan hal itu, Pasal 34 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional dan internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ini yang dipilih, maka proses penyelesaian sengketa akan dilakukan menurut paraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih oleh para pihak, kecuali oleh para pihak ditetapkan lain. Ini berarti undang-undang memberi kebebasan kepada para pihak lain untuk memilih paraturan dan acara yang akan Universitas Sumatera Utara digunakan dalam penyelesaian sengketa meraka, tanpa harus menggunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih. Dalam hal tertentu, pemeriksaan sengketa melalui arbitrase juga masih menggunakan ketentuan dalam hukum acara perdata yang berlaku, kecuali diatur secara khusus dalam UU No. 30 Tahun 1999 menentukan, pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tata cara berperkara di muka pengadilan perdata. Sumbernya ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan kolonial maupun nasional.

E. Badan Arbitrase Nasional Indonesia