Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Sengketa Kepailitan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

Harahap, M.Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni, 1986.

Hartini, Rahayu. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group Indonesia, 2009.

Nainggolan, Bernard. Perlindungan Hukum Seimbang Debitor-Kreditor Dan

Pihak Berkepentingan Dalam Kepailitan. Bandung: Alumni.

Raharjo, Handri. Wanprestasi Dalam Perjanjian. Bandung: Alumni, 2009.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 2005.

Subekti, R. Hukum Perdjandjian. Jakarta: Pembimbing Masa, 1970. Sunarmi. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sofmedia.

B. Skripsi

Belinda. Peranan Pengadilan Niaga Dalam Menyelesaikan Sengketa Kepailitan. Universitas Sumatera Utara: Program Sarjana Fakultas Hukum, 2003.

D. Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek).

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(2)

BAB III

PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN

A. Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Kepailitan.

Meskipun tidak ada disebutkan secara eksplisit mengenai penyelesaian sengketa kepailitan namun dapat dijelaskan bahwa dasar penyelesaian sengketa tersebut tertulis pada pasal 3 ayat 1 UUK dan PKPU. Dan peraturan mengenai kepailitan masuk juga di dalam hukum dagang meskipun tidak diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Peraturan kepailitan diatur di dalam peraturan tersendiri yaitu dalam Faillisement Verordening Staatsblaad 1905 Nomor 217 jo. 1906-348 yang mengandung 279 pasal yang terdiri dari 2 bab yaitu:43

1. Bab I, tentang Kepailitan (Van Faillisement) Pasal 1 sampai dengan Pasal 211.

2. Bab II, tentang Penundaan Pembayaran (Surseance van Betaling) Pasal 212 sampai dengan Pasal 279.

Baru pada tanggal 22 April tahun 1998, peraturan kepailitan tersebut kemudian disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998. Dan pada tanggal 9 September 1998, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut akhirnya ditingkatkan menjadi undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.

43


(3)

Di dalam Undang-Undang Kepailitan yang baru ini terdiri dari 289 pasal yang terbagi dalam 3 bab, antara lain:44

1. Bab I, tentang Kepailitan mulai dari Pasal 1-211.

2. Bab II, tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Pasal 212-279.

3. Bab III tentang Pengadilan Niaga, Pasal 280-289.

Bila dibandingkan dengan peraturan kepailitan yang lama ini, maka pada peraturan kepailitan yang baru ada tambahan 1 Bab yaitu Bab Ketiga yang berisi 10 Pasal yang mengatur tentang Pengadilan Niaga, merupakan Pengadilan yang berwenang dalam mengadili sengketa kepailitan yang telah terjadi yang berada di dalam lingkungan peradilan umum.

Dalam perjalanan waktunya, Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 ini pun dirasa masih belum mampu mengakomodasi semua kepentingan pihak-pihak dalam penyelesaian sengketa kepailitan. Oleh karena itu, perlu dibenahi dan disempurnakan baik dari segi aspek formal maupun materiilnya. Maka pada tanggal 18 November 2004 disahkan dan diundangkanlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Dikatakan bahwa dalam peraturan perundangan yang lama yakni dalam

Faillisement Verordening, kemudian di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 maupun Undang-Undang Kepailitan

44


(4)

Nomor 4 Tahun 1998 tidak diatur secara eksplisit atau khusus tentang asas-asas yang berlaku dalam kepailitan.

Namun pada Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 di dalam penjelasannya disebutkan bahwa keberadaan undang-undang ini mendasarkan pada sejumlah asas-asas dalam kepailitan yakni: asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan, dan asas integrasi.45

B. Pihak-Pihak Yang Terlibat Di Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan

Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ini selanjutnya dijadikan sebagai dasar hukum dalam penyelesaian sengketa kepailitan yang terjadi. Dan sampai saat ini, Undang-Undang ini masih terus digunakan tanpa adanya dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang tersebut.

Di dalam penyelesaian sengketa kepailitan, terdapat pihak-pihak yang terlibat di dalam penyelesaian sengketa kepailitan tersebut yang meliputi: debitur, kreditur, hakim pengawas dan kurator.

Debitur dan kreditur adalah pihak utama yang terlibat di dalam penyelesaian sengketa kepailitan tersebut dimana sengketa kepailitan tersebut terjadi di antara mereka yang disebabkan oleh salah satu pihak atau dari kedua belah pihak tersebut.

Hakim pengawas merupakan pihak yang berhak untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan mengenai sengketa kepailitan yang terjadi,

45


(5)

mendengar saksi-saksi ataupun untuk memerintahkan diadakannya penyelidikan oleh ahli-ahli. Saksi-saksi tersebut harus dipanggil atas nama hakim pengawas.46

Hakim Pengawas adalah hakim dari Pengadilan Niaga yang bertugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit serta mengetuai rapat para berpiutang. Hakim Pengawas menetapkan sekurang-kurangnya dua surat kabar harian dan menentukan hari, tanggal, waktu dan tempat rapat kreditur pertama, yang harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 15 hari sejak tanggal putusan permohonan pernyataan pailit ditetapkan.47

Tugas pokok dari seorang hakim pengawas adalah:48

1. Mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator.

2. Bertindak selaku ketua dalam rapat para berpiutang.

Selain dari hakim pengawas yang terlibat di dalam penyelesaian sengketa kepailitan, kurator juga berperan di dalam penyelesaian sengketa kepailitan tersebut. Kurator adalah perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit dan telah terdaftar pada Departemen Kehakiman.

Kurator bertugas melaksanakan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali.49

46

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, op.cit., hlm. 73.

47

Parwoto Wignjosumarto, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Tata Nusa), hlm. 7.

48


(6)

Kurator yang diangkat oleh Pengadilan harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor dan juga kreditor, dan tidak juga sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 perkara.

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 6, “utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”.50

Kurator diangkat oleh pengadilan bersamaan dengan putusan permohonan pernyataan pailit. Dalam hal debitor atau kreditor yang memohonkan kepailitan Istilah kurator oleh Undang-Undang hasil revisi mencakup baik bagi Balai Harta Peninggalan (BHP) maupun kurator independen selain Balai Harta Peninggalan. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dapat menjadi kurator adalah perseorangan atau persekutuan perdata yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus atau membereskan harta pailit. Misalnya: gabungan akuntan atau advokat, advokat dan pengacara yang mempunyai keahlian khusus untuk mengurus dan membereskan harta pailit, dapat menjadi kurator asalkan mereka terdaftar di Departemen Kehakiman.

49

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 16, Ayat 1.

50

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 1, Angka 6.


(7)

tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan dapat bertindak selaku kurator. Dan setiap tiga bulan sekali, kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan dari harta pailit dan pelaksanaan tugasnya.

C. Proses Penyelesaian Sengketa Kepailitan.

Proses permohonan pernyataan pailit dalam pasal 3 UUK dan PKPU sama dengan proses penyelesaian sengketa kepailitan. Yang mana isi dari pasal 3 ayat 1tersebut menyatakan putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Proses penyelesaian sengketa kepailitan tersebut terdapat Pada pasal 6 dan Pasal 8 UUK dan PKPU. Proses yang terdapat dalam Pasal 6 tersebut yaitu :51

1. Permohonan ditujukan ke Ketua Pengadilan Niaga. 2. Panitera mendaftarkan permohonan.

3. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan.

4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan .

5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit di daftarkan,pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.

51

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 6.


(8)

6. Pemeriksaan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan di daftarkan

7. Bila alasan cukup Pengadilan dapat menunda paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan di daftarkan

Sedangkan proses yang terdapat dalam pasal 8, yaitu :52

1. Pengadilan wajib memanggil debitur dan dapat memanggil kreditur.

2. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat paling lambat 7 hari sebelum siding pertama diselenggarakan.

3. Pemanggilan dianggap sah dan diterima oleh debitur jika dilakukan oleh juru sita.

4. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan bila terdapat fakta

5. Putusan Pengadilan paling lambat 60 hari setelah permohonan pernyataan pailit didaftarkan

6. Putusan pengadilan wajib memuat pasal tertentu dari perundang – undangan yang bersangkutan dann pertimbangan hukum serta pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.

Hukum acara yang berlaku di dalam proses penyelesaian sengketa kepailitan adalah hukum acara perdata. Maka terhadap pengadilan niaga yang merupakan pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa kepailitan, berlaku hukum acara perdata kecuali ditentukan lain dengan undang-undang ini.

52

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 8


(9)

Menurut Undang-Undang Kepailitan, pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara penyelesaian sengketa kepailitan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor. Yang dimaksud pengadilan menurut Undang-Undang Kepailitan ini adalah pengadilan niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkupan peradilan umum.

Pembentukan pengadilan niaga ini dilakukan secara bertahap berdasarkan keputusan presiden dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan, dan untuk pertama kali pengadilan niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemudian menyusul kota-kota lain seperti: Surabaya, Medan, dan lain-lain.

Selain memeriksa dan memutus penyelesaian sengketa kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, pengadilan niaga juga berwenang pula untuk memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Misalnya: perkara-perkara di bidang HaKi seperti: hak cipta, merek, paten, desain industri, dan rahasia dagang.53

53

Rahayu Hartini, op.cit., hlm. 102.

Selain melalui pengadilan niaga, proses penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui cara arbitrase. Arbitrase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.


(10)

Selain arbitrase yang merupakan bentuk dari penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan, teknik atau prosedur teknis lain yang sudah berjalan adalah: negosiasi, konsiliasi, dan juga mediasi. Namun arbitrase adalah bentuk dari penyelesaian sengketa kepailitan yang paling banyak digunakan oleh komunitas bisnis dan hukum.

Maka dapat disimpulkan bahwa proses penyelesaian sengketa kepailitan dilalui dengan cara pengajuan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan, kemudian Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan pada saat diajukan, dan kepada pemohon pernyataan pailit diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang mempunyai wewenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran, lalu Panitera akan menyampaikan permohonan pernyataan pailit itu kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan, dan dalam jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan akan memperlajari permohonan dan menetapkan hari sidang, kemudian sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit akan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

D. Upaya Hukum Yang Dilakukan Terkait Penyelesaian Sengketa Kepailitan.

Upaya hukum merupakan langkah atau usaha yang diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keputusan yang adil. Upaya hukum


(11)

yang dikenal dalam hal penyelesaian sengketa kepailitan yakni: kasasi dan peninjauan kembali.

Upaya hukum kasasi merupakan pengajuan permohonan hukum tingkat akhir apabila pemohon tidak puas atau keberatan atas putusan pada tingkat pertama. Tidak ada tingkat banding atau tingkat dua. Dan apabila putusan itu telah berkekuatan tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali.

Dalam Pasal 11 Undang-udang Kepailitan disebutkan, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung, yaitu : 54

a. Upaya hukum terhadap putusan pailit dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.

b. Permohonan Kasasi diajukan paling lambat 8 hari setelah putusan pailit diucapkan.

c. Sidang permohonan Kasasi paling lambat 20 hari setelah tangal permohonan Kasasi diterima.

d. Putusan Kasasi dapat diajukan Peninjauan Kembali.

Pada umumnya dalam perkara perdata atau pidana maupun tatausaha negara dan militer, hanya yang telah melalui putusan tingkat kedua dapat memohon pemeriksaan tingkat kasasi. Pada Mahkamah Agung dibentuk sebuah Majelis yang khusus untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi ruang lingkup Pengadilan Niaga. Mahkamah Agung dalam perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan pemeriksaan tingkat terakhir.

54

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 11


(12)

Mahkamah Agung akan bertindak baik judex factie maupun judex iuri. Sehingga setelah putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi tidak ada upaya hukum biasa yang dapat ditempuh55

Dan upaya hukum lainnya yang dapat dilakukan untuk penyelesaian sengketa kepailitan adalah peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung terhadap putusan atas permohonan kepailitan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang Yang dapat dilakukan terhadap penyelesaian sengketa kepailitan adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan demikian terhadap keputusan pengadilan di tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding, tetapi langsung dapat dilakukan upaya kasasi.

Permohonan kasasi yang dilakukan kepada Mahkamah Agung diajukan paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit.

Kemudian Panitera Pengadilan akan mendaftarkan permohonan kasasi tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan yang diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh Panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan upaya hukum pada prinsipnya adalah sama dengan pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit, yaitu: debitor, kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), dan Menteri Keuangan.

55

Kurniawan. Pemberesan Harta Pailit pada Perusahaan Perorangan pada PT. SIERAD PRODUCE Tbk


(13)

tetap. Peninjauan kembali atau biasa disebut Request Civiel adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan hakim akan menjadi lain.

Syarat-syarat peninjauan kembali

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk peninjauan kembali diantaranya sebagai berikut:56

1. Diajukan oleh pihak yang berperkara.

2. Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

3. Membuat surat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.

4. Membayar panjar biaya peninjauan kembali.

5. Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

Terdapat juga beberapa alasan mengapa diajukannya peninjauan kembali, antara lain :57

1. Adanya putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu.

56

DPW Badan Advokasi Hukum Nasdem Jabar. Jenis-jenis upaya hukum

Diakses tanggal 16 april2012

57

DPW Badan Advokasi Hukum Nasdem Jabar. Jenis-jenis upaya hukum

Diakses tanggal 16 april2012


(14)

2. Apabila perkara sudah diputus, tetapi masih ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.

3. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.

4. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu yang sama, atau dasarnya sama, diputuskan oleh pengadilan yang sama tingkatnya, tetapi bertentangan dalam putusannya satu sama lain.

5. Apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. (pasal 67 UU No. 14/1985).

E. Keberadaan Klausul Arbitrase dalam Menyelesaikan Sengketa Kepailitan.

Seperti yang telah di bahas sebelumnya, bahwa proses penyelesaian sengketa kepailitan sama dengan proses permohonan pernyataan pailit dalam pasal 3 UUK dan PKPU. Pada pasal 303 tertulis bahwa “ pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat kalusula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) undang – undang ini.” 58

Dalam pasal 1 ayat 1 Undang – Undang nomor 30 tahun 1999, menyatakan bahwa “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdatadi

58

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 303.


(15)

luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”59

Aturan-aturan main yang berhubungan dengan pranata penyelesaian sengketa alternatif termasuk ke dalam pranata arbitrase yang diatur di dalam hukum positif negara Republik Indonesia. Dapat kita ketahui bahwa sebenarnya pengaturan pranata alternatif penyelesaian sengketa belumlah sepenuhnya seragam. Dalam arti bahwa dalam banyak hal, beberapa ketentuan hukum positif yang mengatur pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang tidak

Dalam menyelesaikan sengketa kepalitan, tidak selamanya harus melalui jalur pengadilan (litigasi). Terdapat alternatif lain dalam menyelesaikan sengketa kepailitan tersebut, yaitu melalui penyelesaian sengketa alternatif atau Alternatif

Dispute Resolution (ADR).

Penyelesaian sengketa alternatif atau Alternatif Dispute Resolution (ADR) merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa. Sebagai konsekuensinya, maka alternatif penyelesaian sengketa bersifat sukarela dan karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya dan bersengketa.

Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi, dari yang paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks. Demikian juga dengan faktor-faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan kerja juga berbeda-beda.

59

Republik Indonesia, Undang-Undang no 30 tahun 1999, tentang “arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa”,pasal 1 ayat 1.


(16)

sinkron atau sejalan dengan ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Ada dua macam penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal, yakni penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan dan penyelesaian sengketa alternatif di dalam pengadilan. Pada penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan, teknik atau prosedur teknis yang sudah berjalan adalah: negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Arbitrase adalah yang paling banyak dipakai oleh komunitas bisnis dan hukum.

Di dalam tata hukum di Indonesia, keberadaan dan perkembangan arbitrase sebagai hukum positif memiliki sejarah tersendiri yang menunjukkan betapa jauh ketertinggalan arbitrase kita apabila dibandingkan dengan perkembangan arbitrase diluar negeri. Padahal sebenarnya kodifikasi atau kelembagaan arbitrase ini sudah sangat tua, yaitu dengan dicantumkannya di dalam salah satu bagian dari Reglement op de Rechtsvordering (Rv) dengan Staatsblaad 1847 No. 52 jo. S. 1849 No. 60.

Berikutnya kesempatan memanfaatkan arbitrase ini diperluas dengan Pasal

377 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) S. 194-44 dan Pasal 705

Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg) S. 1927-227. Kedua ketentuan ini

menegaskan bahwa:

1. Golongan Indonesia pribumi dan golongan Timur Asing dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, dan


(17)

2. Karena itu golongan tersebut wajib mengikuti ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan Buku III Bab Pertama Rv Pasal 615 sampai dengan Pasal 651.

Dengan demikian, ketentuan arbitrase diberlakukan untuk semua golongan penduduk. Akan tetapi sampai awal kemerdekaan Indonesia, belum nampak implementasi arbitrase baik secara ad hoc maupun berbentuk lembaga.

Menurut Subekti, arbitrase merupakan penyelesaian suatu perselisihan atau perkara oleh seseorang atau beberapa orang wasit arbiter yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan. Sedangkan menurut William H.Gill, arbitrase adalah penyelesaian suatu persengketaan atau perbedaan antara tidak kurang dari dua orang untuk diselesaikan setelah mendengar pendapat kedua pihak secara hukum oleh orang lain selain pengadilan atau yang yurisdiksi yang berwenang..

Di dalam Black’s Law Dictionary, arbitration is “the reference of dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter. Instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the

delay, the expense, and vexation of ordinary litigation”.

Penyelesaian persengketaan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh pihak yang bersengketa yang telah menyetujui untuk mematuhi keputusan arbitrator yang telah dikeluarkan sebelumnya setelah adanya dengar pendapat dari kedua pihak setelah mendapatkan kesempatan untuk didengarkan. Suatu pengaturan untuk mengambil dan mematuhi keputusan orang-orang yang terpilih mengenai hal-hal yang dipersengketakan. Tidak dengan membawanya ke pengadilan dan


(18)

dimaksudkan untuk menghindari formalitas penundaan dan biaya litigasi yang lazim).

Institusi arbitrase ini sebenarnya bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa diluar pengadilan. Masih ada beberapa alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan meskipun tidak sepopuler lembaga arbitrase, misalnya: negosiasi, mediasi, konsiliasi, pencari fakta, peradilan mini, pengadilan kasus kecil, dan peradilan adat.

Beberapa hal positif dari penggunaan Undang-Undang Arbitrase ini antara lain adalah: proses yang menjunjung tinggi kerahasiaan para pihak dengan pemeriksaan sidang yang tertutup untuk umum dan larangan publikasi putusan arbitrase, pemeriksaan dilakukan oleh arbiter atau majelis arbiter pilihan para pihak, putusan yang bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya banding maupun kasasi, jangka waktu yang singkat yaitu 180 hari pemeriksaan sudah harus selesai dan diputus sehingga memenuhi acara yang singkat, cepat, relatif lebih murah.60

60

Ibid., hlm 15.

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase ini apabila ada sengketa perdata dagang yang dalam perjanjiannya memuat klausul arbitrase harus diselesaikan oleh lembaga arbitrase, dan pengadilan negeri wajib menolak dan menyatakan tidak berwenang untuk mengadilinya apabila perkara tersebut diajukan. Karena menjadi wewenang lembaga arbitrase untuk menyelesaikannya sesuai dengan kesepakatan para pihak dalam perjanjian tersebut.


(19)

Pada prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausul arbitrase saja yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc ataupun lembaga arbitrase seperti BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sementara itu sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Di dalam Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan sengketa yang ada klausul arbitrase bukanlah pengadilan negeri, melainkan lembaga arbitrase seperti BANI atau arbiter yang ditunjuk oleh para pihak atau lembaga Badan Arbitrase Internasional untuk sengketa Internasional.

Sengketa kepailitan yang bisa diselesaikan melalui arbitrase adalah jika telah diperjanjikan terlebih dahulu secara tegas bahwa sengketa yang akan mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase, dan pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap serta mengikat para pihak. Dikarenakan putusan arbitrase merupakan putusan final, maka tidak dapat diajukan banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali.


(20)

Memang ada upaya perlawanan ke pengadilan negeri, tetapi perlawanan tersebut hanya dapat dilakukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, itupun sangat terbatas yaitu:61

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah diputuskan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

2. Setelah putusan diambil, ditemukan semacam novum, yakni dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan.

3. Putusan arbitrase diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Ketika seseorang atau suatu badan usaha melakukan suatu hubungan dengan mitra usahanya diawali dengan membuat perjanjian atau kontrak yang mengatur mengenai semua hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk diatur juga mengenai cara penyelesaiannya bila timbul masalah atau sengketa di kemudian hari berkaitan dengan isi perjanjiannya apakah akan diselesaikan melalui pengadilan (litigasi) ataukah dengan mengangkat atau menunjuk pihak ketiga sebagai juru damai atau wasit (arbitraselnon litigasi). Dalam hal ini sebaiknya para pihak memilih salah satu bukan keduanya. Karena menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase apabila dalam perjanjiannya sudah mencantumkan adanya janji atau klausul arbitrase

(arbitration clausula), maka Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan

lagi untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan wajib untuk menolak. Dengan kata lain sengketa tersebut harus diselesaikan dengan arbitrase atau diluar

61


(21)

lembaga peradilan sesuai dengan kesepakatan para pihak. Tetapi yang perlu diperhatikan apabila sengketa dagang tersebut pada pokoknya tentang “Kepailitan”, maka untuk penyelesaiannya adalah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga secara khusus yang merupakan bagian dari Peradilan Umum.

Arbitrase biasa dilakukan oleh para pengusaha nasional maupun Internasional sebagai suatu cara perdamaian memecahkan ketidaksepahaman pihak-pihak di bidang komersial atau dagang. Bidang komersial tersebut meliputi: transaksi untuk ekspor-impor makanan, perjanjian distribusi, perbankan, asuransi, konsesi, perusahaan joint venture, pengangkutan penumpang pesawat udara, laut, kereta api, maupun jalan raya. Bahkan perkembangan selanjutnya ternyata tata cara penyelesaian dengan cara damai seperti arbitrase banyak dimanfaatkan juga di bidang-bidang sengketa tentang: franchising, penerbangan, telekomunikasi Internasional, dan penggunaan ruang angkasa komersial.

Menurut Abdul Rasyid, arbitrase biasa dipilih para pengusaha untuk penyelesaian sengketa komersialnya karena ternyata memiliki beberapa kelebihan antara lain:62

1. Para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya sendiri. Untuk ini tentunya akan dipilih mereka yang dipercayai memiliki integritas, kejujuran, keahlian, dan profesionalisme di bidangnya masing-masing. 2. Pelaksanaan majelis arbitrase konfidensial dan oleh karena itu dapat

menjamin rahasia dan publisitas yang tidak dikehendaki.

62


(22)

3. Putusan arbitrase sesuai dengan kehendak dan niat para pihak, merupakan putusan yang final dan mengikat para pihak terhadap sengketanya.

4. Karena putusan final dan mengikat, tata caranya bisa cepat, tidak mahal, serta jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengadilan.

5. Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan, dan oleh karena itu terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan damai (amicable), memberi kesempatan luas untuk meneruskan hubungan komersial para pihak di kemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketa.


(23)

BAB IV

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM SENGKETA KEPAILITAN

A. Sejarah Keberadaan Pengadilan Niaga.

Pengadilan Niaga berasal dari dua kata yaitu: Pengadilan, dan Niaga. Pengadilan menurut WJS Poerwodarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti dewan yang mengadili perkara. Karena itu perlu dibedakan dengan Peradilan yang berarti segala sesuatu mengenai perkara Pengadilan. Pengadilan adalah institusi yang bertugas untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara di Pengadilan. Sedangkan Peradilan adalah sifat dan kegiatan yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan. Niaga menurut WJS Poerwodarminto diartikan sebagai dagang. Dengan kata lain Pengadilan Niaga dapat diartikan dengan Pengadilan Dagang. Hal ini sesuai dengan terjemahan Wetboek Van Koophandel oleh Prof. R. Soebekti SH sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.63

Menurut Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, “pengadilan adalah pengadilan niaga di dalam lingkungan peradilan umum”.64

Pembentukan Pengadilan Niaga merupakan langkah diferensiasi atas Peradilan Umum yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

63

Parwoto Wignjosumarto, op.cit., hlm. 209. 64

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 1, Angka 7.


(24)

Dalam ketentuan yang dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 dikatakan bahwa peradilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga tersebut akan khusus bertugas menangani permintaan pernyataan kepailitan.

Ketentuan mengenai pengadilan niaga merupakan suatu ketentuan yang benar-benar merupakan ketentuan baru yang ditambahkan ke dalam Undang-Undang Kepailitan. Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang-Undang-Undang Kepailitan khususnya dalam bagian uraian mengenai pokok-pokok penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan pada sub Ketujuh disebutkan “Penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah secara umum.” Lembaga ini berupa Pengadilan Niaga dengan hakim-hakim yang demikian juga akan bertugas secara khusus.

Keberadaan lembaga ini akan diwujudkan secara bertahap. Begitu pula dengan lingkup tugas dan kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau diperluas dari waktu ke waktu. Semuanya akan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan yang penting lagi tingkat kemampuan serta ketersediaan sumber daya yang akan mendukungnya.

Untuk pertama kali, Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pembentukan Pengadilan Niaga selanjutnya akan dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan. Oleh karena itu sampai dengan terbentuknya Pengadilan Niaga selanjutnya, maka semua perkara yang menjadi


(25)

lingkup kewenangan Pengadilan Niaga diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang ada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah dibentuk pada 22 April 1998 bertepatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kepailitan yang diundangkan. Dan pada 20 Agustus 1998 saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang berlaku secara efektif, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang sesuai dengan Ayat 3 Pasal 281 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Kepailitan yang wilayah hukumnya sementara belum ada atau belum dibentuk Pengadilan Niaga lainnya yang meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia sudah siap beroperasi.65

Dengan dibentuknya lima Pengadilan Niaga, pembagian wilayah yurisdiksi relatif bagi perkara yang diajukan kepada Pengadilan Niaga menjadi sebagai berikut:66

1. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi wilayah provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Barat.

2. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi wilayah provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.

3. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi wilayah provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.

65

Bernard Nainggolan, op.cit., hlm. 79. 66


(26)

4. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi wilayah provinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur.

5. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi wilayah provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pengadilan Niaga adalah pengadilan dalam lingkungan badan Peradilan Umum. Jadi bukanlah lingkungan badan peradilan yang berdiri sendiri. Pengadilan Niaga memeriksa dan memutus permohonan kepailitan dan penundaan pembayaran. Di masa depan Pengadilan Niaga juga akan diberi wewenang memeriksa dan memutus perkara-perkara perniagaan lain yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Penetapan Pengadilan Niaga sebagai yang berwenang memeriksa dan memutus permohonan atau perkara kepailitan semata-mata untuk mengefisienkan proses pemeriksaan permohonan kepailitan dan penundaan pembayaran serta perkara perniagaan tertentu lainnya. Sedangkan mengenai pengorganisasian sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi peradilan umum.

Peradilan Umum mempunyai hukum acara perdata berupa HIR atau Rbg. Hukum acara perdata itu juga berlaku dan diterapkan pada Pengadilan Niaga, kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang Kepailitan. Tata cara pemeriksaan perkara perdata umum (gugatan) pada Peradilan Umum berbeda dengan tata cara pemeriksaan perkara niaga pada Pengadilan Niaga. Perbedaan yang utama adalah upaya pembuktian pada Pengadilan Niaga adalah upaya pembuktian pada


(27)

Pengadilan Niaga adalah secara sederhana dan perkara harus sudah diputus paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran perkara.

HIR dan Rbg yang berlaku sebagai hukum formil pada Peradilan Umum tetap berlaku pada Pengadilan Niaga, kecuali yang diatur dan ditentukan lain dalam Undang-Undang Kepailitan ini. Karena itu Hakim Niaga menggunakan asas hukum: Lex Specialis Derogat Lex Generalis, yaitu Undang-Undang yang khusus mengesampingkan Undang-Undang yang berlaku umum.

Pada Peradilan Umum dikenal upaya hukum banding atas putusan Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947. Pengadilan Niaga tidak mengenal upaya hukum banding, upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Tata cara pengajuan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Niaga juga berbeda dengan perkara perdata umum.

Terhadap putusan Pengadilan Niaga di tingkat pertama yang menyangkut permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk mengajukan permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Niaga ke Pengadilan Tinggi tidak berlaku pada Pengadilan Niaga. Tidak seperti halnya dalam perkara perdata umum, dimana pihak berperkara dapat memajukan upaya hukum banding terhadap putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947.

Disamping itu tata cara dan juga tenggang waktu pengiriman berkas perkara permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung pun terdapat perbedaan


(28)

yaitu selambat-lambatnya 30 hari untuk perkara perdata umum, sedang untuk perkara permohonan pernyataan pailit paling lambat 14 hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan.

Selain itu permohonan peninjauan kembali putusan perkara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada Mahkamah Agung hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:67

1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat atau pada bukti-bukti yang dinyatakan palsu.

2. Apabila ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan. 3. Apabila telah dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut. 4. Apabila sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus.

5. Apabila antara pihak-pihak, suatu soal dan atas dasar yang sama diputuskan bertentangan.

6. Apabila terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan apabila:68

1. Terdapat bukti tertulis baru yang penting, yang apabila diketahui pada tahap persidangan sebelumnya akan menghasilkan putusan yang berbeda. 2. Pengadilan Niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat

dalam penerapan hukum.

Disamping itu terdapat perbedaan mengenai tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yaitu untuk Peradilan Umum adalah 180 hari untuk keenam alasannya, sedang untuk Pengadilan Niaga adalah 180 hari untuk

67

Parwoto Wignjosumarto, op.cit., hlm. 215.

68


(29)

alasan terdapatnya bukti tertulis baru dan 30 hari untuk alasan melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum.

Perbedaan antara Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negeri lainnya adalah alasan dan tata cara pemeriksaan terhadap upaya hukum peninjauan kembali. Pengadilan Niaga dibentuk atas dasar ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1998 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1998 yang kemudian mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang dikenal dengan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Tidak seperti halnya pada Pengadilan Negeri yang mempunyai kedudukan di Kotamadya atau di Ibukota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten, maka kedudukan dari Pengadilan Niaga adalah di Ibukota Negara Republik Indonesia ataupun di Ibukota Provinsi Negara Republik Indonesia.

Pembentukan Pengadilan Niaga diluar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dilakukan secara bertahap dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Salah satu yang mungkin dipertimbangkan sebagai dasar perluasan Pengadilan Niaga adalah pada tempat kedudukan Balai Harta Peninggalan. Selain di Jakarta, Balai Harta Peninggalan ini berkedudukan di Medan, Semarang, Surabaya, dan Ujung Pandang.69

Sebagaimana yang dikatakan oleh Bagir Manan bahwa pembentukan Pengadilan Niaga diluar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, salah satu hal yang

69


(30)

mungkin dipertimbangkan sebagai dasar perluasan Pengadilan Niaga adalah pada tempat kedudukan Balai Harta Peninggalan. Dan melalui Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1999, pemerintah membentuk Pengadilan Niaga pada empat Pengadilan Negeri lainnya yaitu pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Semarang.70

Pengadilan Niaga tersebut bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan pengadilan yang telah ada seperti yang dimaksud dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan PTUN.

Pembentukan Pengadilan Niaga ini menunjukkan bahwa perkembangan sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari segi struktur organisasi, kedudukan Pengadilan Niaga merupakan bahagian khusus di dalam lingkungan Peradilan Umum.

71

Tujuan utama dibentuknya Pengadilan Niaga ini adalah agar dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian utang-piutang di antara para pihak yaitu debitor dan kreditor secara cepat, adil, terbuka dan efektif, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. Selain itu sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditor asing dalam proses utang-piutang swasta.

70

Ibid., hlm. 80. 71


(31)

C. Tugas Dan Wewenang Pengadilan Niaga.

Salah satu hal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang tidak dijumpai dalam

Faillisements Verordening (Fv) Stb 1905 Nomor 217 jo Stb 1906 No. 348 adalah

tentang Pengadilan Niaga. Pembentukan Pengadilan Niaga ini menunjukkan bahwa perkembangan sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari segi struktur organisasi, kedudukan Pengadilan Niaga merupakan bagian khusus di dalam lingkungan Peradilan Umum.72

72

Ibid., hlm. 227.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang telah memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.

Pengadilan Niaga selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang.

Pengadilan Niaga diberikan kewenangan eksklusif untuk menangani seluruh perkara yang berhubungan dengan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang.


(32)

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka penyelesaian perkara kepailitan diselesaikan oleh pengadilan negeri yang merupakan bagian dari peradilan umum sebagai diatur di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (LN RI Tahun 1970 No. 74, TLN RI 2951) jo. UU No 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (LN RI Tahun 1999 No. 147, TLN RI No. 3879).73

Kewenangan (yuridiksi) relatif Pengadilan Niaga dapat dijabarkan sebagai berikut:

Akan tetapi sejak ditetapkannya dan berlakunya Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka kemudian penyelesaian perkara kepailitan diperiksa dan diputus oleh pengadilan niaga yang berada di lingkungan peradilan umum.

Kemudian pengadilan niaga sampai pada tingkat tertentu yang akan ditentukan kemudian juga diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan.

74

1. Tempat kedudukan hukum debitur.

2. Tempat kedudukan hukum terakhir debitur, dalam hal debitur telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia.

3. Tempat kedudukan hukum Firma, apabila debiturnya adalah pesero suatu Firma.

73

Rahayu Hartini, op.cit., hlm. 5. 74


(33)

4. Tempat kedudukan hukum kantor debitur menjalankan profesi atau usahanya, bila debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di Republik Indonesia. 5. Tempat kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasarnya

dalam hal debiturnya merupakan badan hukum.

Pengadilan Niaga tidak hanya berwenang untuk memeriksa perkara permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) saja. Pengadilan niaga juga dapat menyelesaikan sengketa lain yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sengketa itu ternyata diwujudkan dengan Undang-Undang yaitu Undang-Undang dibindang HAKI tentang Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Paten dan Merek. Lima sengketa itulah yang menjadi kewenangan dari Pengadilan Niaga.

Undang-Undang di bidang HAKI telah secara tegas menentukan bahwa perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di Pengadilan Niaga. Hal ini berarti bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga selain menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, juga berwenang menyelesaikan sengketa di bidang HAKI.

Undang-Undang di bidang HAKI secara tegas menentukan bahwa perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di Pengadilan Niaga. Hal ini berarti bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga selain menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, juga berwenang menyelesaikan sengketa di bidang HAKI.


(34)

Selain menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara-perkara di bidang perniagaan lainnya, Pengadilan Niaga juga berwenang menangani perkara permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase.

C. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Menyelesaikan Sengketa Kepailitan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yang berwenang menyelesaikan masalah kepailitan adalah pengadilan niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk di dalam lingkup peradilan umum dengan menggunakan hukum acara perdata kecuali undang-undang ini menentukan lain.

Dalam Kewenangan Pengadilan Niaga terdapat 2 kompetensi yaitu, Kompetensi Relative dan Kompetensi Absolute. Kompetensi Relative pada Pengadilan Niaga tercantum dalam Pasal 3 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dimana bahwa, “Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal – hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam undang – undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor”.75

75

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 3, Angka 1.

Pada Kompetensi Relatif terdapat juga pengecualian terhadap kompetensi tersebut yang tercantum dalam Pasal 3 Angka 2 – 5 Undang –


(35)

Undang Nomor 37 Tahun 2004. Sedangkan yang dimaksud dengan Kompetensi Absolut adalah kompetensi yang berkaitan dengan masalah mengadili antara berbagai macam pengadilan seperti yang tercantum dalam Pasal 300 Angka 1 Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa, “ Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang – undang.”76

Dalam Pasal 303 ditentukan bahwa “Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Angka 1 undang – undang ini”.77

Pembentukan pengadilan niaga ini merupakan langkah diferensiasi atas peradilan umum yang dapat dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Ketentuan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase.

76

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 300, Angka 1.

77

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 303.


(36)

Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutuskan perkara permohonan pernyataan pailit mempunyai hukum acara tersendiri yaitu:78

1. Pengadilan wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur atau Kejaksaan.

2. Pengadilan dapat memanggil debitur dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi.

3. Pengadilan dilakukan oleh Panitera paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama.

4. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana.

5. Putusan permohonan pernyataan pailit harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.

6. Putusan permohonan pernyataan pailit diucapkan di dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun diajukan upaya hukum.

7. Salinan putusan disampaikan kepada debitur, Hakim Pengawas dan Kurator, paling lambat 2 x 24 jam terhitung tanggal putusan ditetapkan.

Pemeriksaan dan putusan perkara permohonan pernyataan pailit dilakukan paling lambat 30 hari, maka Pengadilan Niaga membuat suatu kebijakan tata cara pendaftaran perkara permohonan pernyataan pailit berupa

78


(37)

Check List (daftar kelengkapan) persayaratan pengajuan perkara permohonan pernyataan pailit.

Apabila pemohon permohonan pernyataan pailit sewaktu mengajukan permohonan pernyataan pailit memenuhi syarat-syarat seperti tersebut dalam Check List, barulah Pengadilan mendaftar perkara pemohon itu. Dengan tata cara ini dimaksudkan agar majelis Hakim pemeriksa atau pemutus perkara tidak kehilangan waktu untuk memeriksa persyaratan permohonan pernyataan pailit.

Dalam beracara di Pengadilan Niaga pertama-tama perlu mengetahui keberadaan dan status dari Pengadilan Niaga. Dimanakah Pengadilan Niaga berada dan apakah kewenangannya. Pengadilan Niaga berada di lingkungan peradilan Umum dan di Indonesia.

Daerah hukum masing-masing Pengadilan Niaga perlu dipahami agar tidak salah alamat sewaktu mengajukan perkara. Begitu pula kewenangan atau yuridiksinya. Hal ini untuk mencegah apakah perkara yang dimajukan termasuk kewenangan Pengadilan Niaga ataukah bukan. Karena itu kewenangan relatif berdasarkan daerah hukum dan kompetensi absolut atas dasar kewenangan mengadili sangat perlu mendapatkan perhatian.

Disamping itu perlu diketahui pula bahwa seorang debitur atau kreditur yang hendak mengajukan permohonan pernyataan pailit harus diwakili oleh penasehat hukum yang memiliki izin praktik, HIR atau Rbg yang berlaku pada peradilan umum tidak mengatur ketentuan ini. Kuasa atau penasehat hukum mutlak diperlukan sewaktu mengajukan permohonan pernyataan pailit,


(38)

permohonan kasasi, permohonan peninjauan kembali dan permohonan-permohonan lainnya).

Agar permohonan pernyataan pailit diterima untuk diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga, maka pemohon perlu memeperhatikan ketentuan-ketentuan Pengadilan Niaga manakah yang berwenang dan memutus perkara permohonan pernyataan pailit tersebut.

Proses perkara permohonan pernyataan pailit pada Pengadilan Niaga berjalan dengan sederhana dan cepat. Termasuk pula penyampaian salinan putusannya. Dalam jangka waktu paling lambat 2 x 24 jam terhitung sejak tanggal putusan atas permohonan peryataan pailit ditetapkan. Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dengan surat dinas tercatat atau melalui kurir kepada debitur, pemohon pernyataan pailit, kurator dan hakim pengawas.

Pengadilan Niaga dibentuk dalam rangka penyelesaian utang-piutang perusahaan dan terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara adil,cepat,terbuka dan efektif dengan tugas memeriksa dan memutuskan sengketa tertentu dibidang perniagaan termasuk bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.

Apabila terjadi sengketa kepailitan setelah adanya putusan pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga, maka dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Dan terhadap putusan Pengadilan Niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dapat diajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan apabila Pengadilan Niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum.


(39)

Kemudian di dalam Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, pengaturan tentang Pengadilan Niaga tidak diatur secara khusus, akan tetapi menyebar di berbagai Pasal di dalam Undang-Undang Kepailitan tersebut serta penyebutannya cukup dengan kata-kata “Pengadilan” saja.

Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, namun dapat diketahui bahwa setiap permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor dengan ketentuan bahwa:79

1. Dalam hal debitur telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir dari debitur.

2. Dalam hal debitur adalah persero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut.

3. Dalam hal debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah Republik Indonesia, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitur menjalankan profesi atau usahanya. 4. Dalam hal debitur merupakan badan hukum, pengadilan dimana badan

hukum tersebut memiliki kedudukan hukumnya sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya.

Ketentuan mengenai pengadilan yang berwenang sejalan dengan ketentuan pada Pasal 118 HIR yang menyatakan bahwa forum pihak yang

79


(40)

digugatlah yang berhak untuk memeriksa. Ini untuk memberikan keleluasaan bagi pihak tergugat untuk membela diri.80

Hakim Pengadilan Niaga hanya dapat diangkat oleh dan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Undang-Undang Kepailitan menentukan bahwa dalam menjalankan tugasnya selama sidang berlangsung, Hakim Pengadilan Niaga baik yang terbentuk oleh Majelis maupun Hakim Tunggal akan dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti dan Juru Sita.

81

1. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum. 2. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang

masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga. 3. Berwibawa, jujur, dan berkelakuan tidak tercela.

4. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai Hakim pada Pengadilan Niaga.

Undang-Undang Kepailitan memberikan terobosan baru dengan dimungkinkannya pengangkatan seorang hakim Ad-Hoc, yang bukan merupakan hakim karir yang dibesarkan di kalangan Peradilan Umum. Meskipun bukan merupakan Hakim karir, seseorang ahli baru dapat diangkat sebagai Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Niaga jika ia telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Pengangkatan Hakim Ad-Hoc harus dilakukan

80

Ibid., hlm. 17. 81Ibid


(41)

dengan suatu Keputusan Presiden dan bukan berdasarkan suatu Keputusan Mahkamah Agung.

Hakim pada Pengadilan Niaga adalah hakim-hakim yang secara khusus ditugasi untuk memeriksa dan memutus permohonan kepailitan atau perkara komersial tertentu. Pada Pengadilan Niaga diinginkan ada hakim ad hoc yang diangkat oleh Presiden atas usul dari Mahkamah Agung.

Menurut ketentuan pasal 2 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000, untuk dapat diangkat menjadi seorang Hakim Ad Hoc adalah harus memenuhi syarat yaitu:82

1. Mempunyai dedikasi.

2. Mempunyai keahlian khusus. 3. Sehat Jasmani dan rohani.

4. Umur sekurang-kurangnya 45 Tahun.

Pengadilan Niaga yang memeriksa permohonan kepailitan harus memutus paling lambat 30 hari terhitung sejak permohonan didaftarkan. Demikian pula Mahkamah Agung harus memutus paling lambat 30 hari sejak kasasi didaftarkan. Penentuan waktu yang ketat tersebut ini dimaksudkan untuk mencegah penyelesaian kepailitan secara berlarut-larut, sehingga pihak-pihak tertentu akan dirugikan baik secara ekonomis maupun psikologis.83

Sejalan dengan waktu yang cepat dalam proses pemeriksaan kasus kepailitan, untuk cepatnya penyelesaian kepailitan ini Undang-Undang Kepailitan juga menentukan upaya hukum atas putusan pengadilan tingkat pertama adalah

82

Parwoto Wignjosumarto, op.cit., hlm. 127. 83


(42)

kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi tidak ada banding atas putusan penetapan kepailitan. Tata cara ini serupa dengan upaya hukum pada perkara perdata HAKI (hak cipta, paten, dan merek).

Peniadaan upaya hukum banding dimaksudkan agar permohonan atau perkara kepailitan dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat. Terhadap putusan kepailitan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diadakan peninjauan kembali dengan syarat dan tata cara yang sudah ditentukan.

Apabila sengketa kepailitan terjadi kembali setelah adanya penyelesaian sengketa kepailitan di Pengadilan Niaga, maka Pengadilan Niaga mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kepailitan tersebut. Sengketa kepailitan tersebut dapat disidangkan kembali dengan melihat bukti-bukti hukum yang dimiliki oleh kedua belah pihak baik secara lisan maupun tertulis.

Kedua belah pihak dihadirkan kembali di persidangan dengan menunjukkan bukti-bukti hukum yang mereka miliki satu sama lain dan hakim di Pengadilan Niaga harus benar-benar menelaah bukti-bukti hukum yang mereka miliki sehingga dapat menghasilkan putusan yang adil sehingga tidak terjadi sengketa kepailitan kembali di antara kedua belah pihak tersebut.

Apabila di kemudian hari masih terjadi sengketa kepailitan kembali di antara kedua belah pihak tersebut, maka upaya hukum selanjutnya yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut adalah proses kasasi yang akan diselesaikan di Mahkamah Agung.

Dalam menyelesaikan sengketa kepailitan di Pengadilan Niaga, tidak mengenal upaya banding. Berbeda dengan di Pengadilan Negeri yang mengenal


(43)

upaya banding dalam upaya penyelesaian sengketanta. Maka itulah penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan selanjutnya adalah kasasi yang akan disidangkan di Mahkamah Agung. Apabila setelah proses kasasi yang dilakukan di Mahkamah Agung ini masih menimbulkan sengketa di kemudian hari, maka upaya yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa selanjutnya adalah upata peninjauan kembali yang dilakukan di Mahkamah Agung.


(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan terhadap penjelasan dan pemahaman teori maupun hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Adapun kesimpulan tersebut antara lain:

1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang ini. Dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, ‘pailit’ diartikan sebagai debitor (yang berutang) yang berhenti membayar utang-utangnya. Kepailitan ini meliputi seluruh kekayaan yang dimiliki oleh debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Penyebab dari terjadinya sengketa kepailitan adalah: wanprestasi (melanggar isi perjanjian), melakukan perbuatan melawan hukum, melakukan perbuatan melawan hukum secara luas, adanya pihak yang tidak puas sehingga menyebabkan kerugian pada salah satu pihak atau kedua belah pihak tersebut dikarenakan adanya perbuatan yang melanggar perjanjian dengan sengaja. Terjadinya sengketa kepailitan di dunia bisnis atau kegiatan perdagangan ini menimbulkan akibat di antara debitor, kreditor, kurator, hakim pengawas dan harta pailit itu sendiri.


(45)

2. Di dalam penyelesaian sengketa kepailitan, terdapat pihak-pihak yang terlibat di dalam penyelesaian sengketa kepailitan tersebut yang meliputi: debitor, kreditor, hakim pengawas dan kurator. Hukum acara yang berlaku di dalam proses penyelesaian sengketa kepailitan adalah hukum acara perdata. Maka terhadap pengadilan niaga yang merupakan pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa kepailitan, berlaku hukum acara perdata kecuali ditentukan lain dengan undang-undang ini. Upaya hukum merupakan langkah atau usaha yang diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keputusan yang adil. Ada 3 macam upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal penyelesaian sengketa kepailitan yakni: perlawanan, kasasi, dan peninjauan kembali. Dalam menyelesaikan sengketa kepalitan, tidak selamanya harus melalui jalur pengadilan (litigasi). Terdapat alternative lain dalam menyelesaikan sengketa kepailitan tersebut, yaitu melalui penyelesaian sengketa alternative atau Alternatif Dispute Resolution (ADR).

3. Pengadilan Niaga berasal dari dua kata yaitu: Pengadilan, dan Niaga. Pembentukan Pengadilan Niaga merupakan langkah diferensial atas PeradilanUmum yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Untuk pertama kali, Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Niaga selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara


(46)

BAB II

SENGKETA KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

A. Batasan Sengketa Kepailitan

Dunia perdagangan, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sering sekali terjadi peristiwa yang berkaitan dengan utang piutang dan berakhir dengan peristiwa kepailitan. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang ini.22

Kepailitan itu sendiri dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa pailit. Mohammad Chaidir Ali berpendapat bahwa: “Kepailitan adalah pembeslahan masal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil – adilnya diantara para kreditur dengan dibawah pengawasan pemerintah”

Pasal 1 angka 1 di atas secara tegas menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum, bukan sita individual.

23

22

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 1, Angka 1.

23

Sunarmi,op.cit., hlm. 25-26.

Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut di atas, maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas


(47)

harta kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditor yang pada waktu kreditor dinyatakan pailit mempunyai utang.24

Syarat untuk dapat dipailitkan menurut pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU adalah Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun permohonan satu atau lebih debiturnya. 25

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.26 Di dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga dikatakan bahwa “kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”.27

1. Debitor Sendiri

Pihak yang dapat mengajukan Pailit :

2. Seorang atau lebih kreditornya 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum 4. Bank Indonesia

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) 6. Menteri Keuangan

24

Rahayu Hartini, op.cit., hlm. 72.

25

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 2, ayat 1.

26

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 1, Angka 3.

27Ibid


(48)

Pihak yang dapat dinyatakan Pailit : 1. Orang atau badan pribadi 2. Debitor yang telah menikah 3. Badan-badan hukum. 4. Harta warisan

Menurut undang – undang No. 37 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 telah diberikan definisi pengertian utang, yaitu: ”kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur”28 Sehubungan pengertian utang di dalam Undang-undang kepailitan, Menurut Kartini Muljadi pengertian utang adalah setiap kewajiban debitor kepada setiap kreditornya baik untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu29

Setelah terpenuhnya syarat pailit maka hakim harus memutus pailit sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat di tagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Dan menurut pasal 3 ayat 1 UUK dan PKPU “Putusan atas permohonan pernyataan

28

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 1, ayat 6.

29

Sutan Remy Sjahdeini, HUKUM KEPAILITAN “Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan”, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2010),hlm 89.


(49)

pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.”30

Apabila salah satu pihak tidak puas dengan putusan pailit tersebut dapat mengambil upaya hukum berupa upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali.

Upaya hukum kasasi itu sendiri adalah upaya agar putusan PA dan PTA/PTU/PTN

dibatalkan oleh MA karena telah salah dalam melaksanakan peradilan atau pernyataan

tidak sah oleh MA terhadap putusan hakim, karena putusan itu, menyalahi atau tidak sesuai dengan undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan upaya hukum peninjauan kembali adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah Permohonan pernyataan pailit tersebut di ajukan kepada ketua pengadilan kemudian panitra mendaftarkan permohonan pernyataan pailit tersebut pada tanggal permohonan bersangkutan di ajukan dan kepada pemodon di berikan tanda terima tertulis yang di tandatangani oleh pejabat yang berwenang, panitra wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit jika tidak sesuai dengan ketentuan. Permohonan pernyataan pailit di sampaikan kepada ketua pengadilan paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan di daftarkan dan dalam jangka waktu paling lambat 3 hari pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit di selenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah di daftarkan. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan palilng lambat 25 hari setelah tanggal permohonan di daftarkan.

30

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 3, ayat 1.


(50)

memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan hakim akan menjadi lain.

Setelah putusan pailit di ucapkan dapat saja terjadi dan seringkali para pihak yang ada dalam kepailitan itu bersengketa yang di kenal dengan sengketa kepailitan. Sengketa kepailitan adalah sengketa perdata. Namun dalam UUK dan PKPU batasan tentang sengketa kepailitan itu sendiri tidak di atur secara eksplisit. UUK dan PKPU mengatur mengenai upaya hukum yang dapat di lakukan oleh para pihak terhadap putusan pailit.

Sengketa kepailitan merupakan suatu pertikaian atau permasalahan yang terjadi di antara kedua belah pihak yang menyangkut segala sesuatu tentang pailit. Menurut Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa, “Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal – hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam undang – undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor”.31

Pada Pasal 3 ayat 1 di atas untuk lebih jelasnya yang dimaksud dengan “hal – hal lain” yang berkaitan adalah antara lain actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan,atau perkara dimana debitur, kreditur, kurator atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan kurator terhadap direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya.

31

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 3, Angka 1.


(51)

Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat 1 UUK dan PKPU membedakan pengertian “ putusan atas permohonan pernyataan pailit” dengan “hal – hal lain”. Dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 disebutkan yang di maksud dengan “ hal – hal “ lain adalah antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara di mana Debitur, Kreditur, Kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termaksud gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan menyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahanya. Adapun hukum acara yang berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk “hal-hal lain“ adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaianya

Menurut Munir Fuady dalam bukunya Hukum Pailit 1998 (Dalam teori

dan Praktek), “Actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi

yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya”.32

Tindakan ini diatur dalam Pasal 41 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan “Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan”.33

32

Fuady Munir, Hukum Pailit dalam teori dan praktek, (Bandung: Citra Aditya

Bakti,2005)

33

Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, pasal 41 ,Angka 1


(52)

Pada Pasal 16 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa “Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali”.34

B. Penyebab Terjadinya Sengketa Kepailitan.

Oleh karena itu, kewenangan kurator untuk melakukan actio pauliana dimulai sejak putusan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, tidak perlu menunggu sampai putusan pailit tersebut berkekuatan hukum tetap.

Sengketa kepailitan merujuk kepada penjelasan Pasal 3 ayat 1 batasan kepailitan adalah perkara yang bias terjadi di antara debitur,kreditur,curator sebagai salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit. Apabila terdapat pelanggaran, maka akan timbul sengketa atau masalah di kemudian hari yang berkaitan dengan isi perjanjiannya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penyebab timbulnya sengketa tersebut awalnya dikarenakan adanya masalah yang muncul di antara kedua belah pihak yang terikat di dalam perjanjian maupun keduanya yang sedang melakukan bisnis atau kegiatan perdagangan tersebut.

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan rumusan tentang perjanjian sebagai berikut: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

34


(53)

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.35

1. Wanprestasi.

Perbuatan yang disebutkan di dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata yang dilakukan oleh para pihak baik dalam bentuk ucapan maupun dalam bentuk tindakan secara fisik.

Sengketa kepailitan merupakan sengketa perdata, maka sengketa kepailitan ini melibatkan para pihak dalam pemenuhan hak dan kewajibannya. Sengketa perdata adalah suatu perkara perdata yang terjadi antara para pihak yang bersengketa didalamnya mengandung sengketa yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak. Oleh karena sengketa kepailitan merupakan sengketa perdata maka penyebab sengketa kepailitan adalah adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam kepailitan dimana hak dan kewajibannya timbul dari hubungan hukum. Secara umum sengketa dalam keperdataan dapat terjadi karena :

Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana salah satu pihak yang telah terikat di dalam perjanjian melakukan cidera janji atau melanggar isi perjanjian yang telah disepakati bersama di antara kedua belah pihak tersebut.

Cidera janji (wanprestasi) adalah suatu pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau tidak dilakukan menurut selayaknya.36

35

R Subekti dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313.


(54)

Cidera janji (wanprestasi) ini biasanya dilakukan oleh pihak debitor yang melanggar atau tidak menepati isi dari perjanjian yang telah disepakati dengan pihak kreditor sebelumnya.

Secara umum bentuk-bentuk cidera janji (wanprestasi) itu meliputi:37 a. Tidak melakukan apa yang harus dilakukannya.

b. Melaksanakan apa yang dijanjikan tapi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.

c. Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat dalam hal pemenuhannya.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Terjadinya cidera janji (wanprestasi) pada akhirnya akan menimbulkan akibat-akibat hukum di kemudian hari yang menimbulkan hak bagi pihak kreditor yang meliputi:38

a. Menuntut pemenuhan perikatan.

b. Menuntut pemutusan perikatan atau pembatalan perikatan. c. Menuntut ganti rugi.

d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi.

e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi. 2. Melakukan Perbuatan Melawan Hukum.

Dalam hal ini melawan hukum yang dimaksud bukanlah hanya melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan tertulis semata, melainkan

36

M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 60. 37

R Subekti, Hukum Perdjandjian, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1970), hlm. 45. 38


(55)

juga atas setiap pelanggaran yang terjadi terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat.

Perbuatan melawan hukum secara luas meliputi:

a. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.

b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.

d. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.

3. Adanya pihak yang tidak puas sehingga menyebabkan kerugian pada salah satu pihak atau kedua belah pihak tersebut dikarenakan adanya perbuatan yang melanggar perjanjian dengan sengaja.

C. Akibat Dari Terjadinya Sengketa Kepailitan.

Dasar terjadinya sengketa kepailitan yang menimbulkan akibat di antara debitur, kreditur, kurator, hakim pengawas dan harta pailit itu sendiri adalah Pasal 3 Ayat 1 UUK dan PKPU. Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit yang ditetapkan oleh Pengadilan Niaga di dalam ruang lingkup Peradilan Umum dikeluarkan, debitur yang dinyatakan pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaan yang dimilikinya yang telah dinyatakan pailit. Dan kreditur mempunyai hak atas harta debitur yang telah dinyatakan pailit tersebut oleh Pengadilan.

Selanjutnya akibat dari terjadinya sengketa kepailitan ini adalah pelaksanaan pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit yang diserahkan


(56)

kepada kurator yang diangkat oleh pihak Pengadilan, dengan diawasi oleh seorang hakim pengawas yang ditunjuk oleh hakim Pengadilan.

Menurut Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, “kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor yang dinyatakan pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini”.39

Hakim pengawas menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 8 adalah “hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang”.40

Pelaksanaan pengurusan harta pailit tersebut oleh kurator bersifat seketika, dan berlaku saat itu pula terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan meskipun terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

Pengangkatan kurator dan hakim pengawas harus ditetapkan di dalam putusan pernyataan pailit dimana penyelesaian sengketa kepailitan itu dilakukan. Putusan pernyataan pailit terhadap sengketa kepailitan yang terjadi telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dan diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor tersebut.

41

Kurator diangkat oleh pengadilan bersaman dengan putusan permohonan pernyataan pailit. Dalam hal debitor atau kreditor yang memohonkan kepailitan

39

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 1, Angka 5.

40

Ibid., Pasal 1 Angka 8. 41


(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas segala rahmat tak terhingga yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Sengketa Kepailitan”.

Setelah sekian lama akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan Pendidikan Program S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari sebagai manusia biasa tidak pernah luput dari kesalahan, kekurangan dan kekhilafan, baik dalam pikiran maupun perbuatan. Berkat bimbingan dari Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam mengasuh serta membimbing penulis sejak masuk bangku kuliah hingga akhir penulisan skripsi ini, maka penulis pun dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dengan ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan rasa hormat dan terima kasih setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(2)

3. Bapak Syafruddin, S.H. M.H. D.F.M. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Winda S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, penulis ucapkan terima kasih.

6. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah sangat membantu penulis dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, penulis sangat berterima kasih.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan didikan dan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Orang Tua saya yang selalu memberikan dukungan, motivasi, serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Abang saya bang Frans dan bang Boy. Kakak saya kak Theresia, kak Irene, kak Silvia dan adik Dewi. Yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.


(3)

10. Rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang merupakan teman akrab penulis yang telah banyak membantu selama ini. Imam Nugroho Damanik, Cinry Sinambela, Ruby Agnesia, Jefry Barus, Dinul Ginting, Samuel Tarigan, Yunita Sinurat, dan Ella Depari. Terima Kasih untuk semangat dan dukungan yang telah kalian berikan selama ini. 11. Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam

penyelesaian penulisan skripsi ini dan berbagai hal lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis memohon maaf kepada Bapak dosen pembimbing, serta dosen penguji apabila ada sikap maupun kata yang tidak berkenan di hati selama penulisan skripsi ini. Penulis sangat berharap agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Medan, April 2014 Penulis,

(Veri Veronika Ginting) NIM : 090200348


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan & Manfaa Penulisan... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian... 15

G. Sitematika Penulisan ………...18

BAB II SENGKETA KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 A. Batasan Sengketa Kepailitan ... 20

B. Penyebab Terjadinya Sengketa Kepailitan... 26

C. Akibat Dari Terjadinya Sengketa Kepailitan ... 29

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN A. Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Kepailitan ... 33

B. Pihak-Pihak Yang Terlibat Di Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan……… 35


(5)

D. Upaya Hukum Yang Dilakukan Terkait Penyelesaian Sengketa

Kepailitan………...…...42 E. Keberadaan Klausul Arbitrase Dalam Menyelesaikan Sengketa

Kepailitan……….45

BAB IV KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM SENGKETA KEPAILITAN

A. Sejarah Keberadaan Pengadilan Niaga ... 54 B. Tugas Dan Wewenang Pengadilan Niaga ... 62 C. Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Menyelesaikan Sengketa

Kepailitan ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76


(6)

ABSTRAK

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM

SENGKETA KEPAILITAN

Veri Veronika1

*Mahasiswa Fakultas Hukum Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

Windha** Ramli Siregar***

Pengadilan Niaga adalah pengadilan yang berada di dalam lingkungan badan Peradilan Umum, jadi bukanlah lingkungan badan peradilan yang berdiri sendiri. Pengadilan Niaga berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Pengadilan Niaga untuk pertama kalinya berada di Jakarta Pusat, kemudian hadir juga di kota Medan, Surabaya, Semarang, dan Ujung Pandang. Permasalahan yang terdapat di dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai sengketa kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mengenai cara penyelesaian sengketa kepailitan, dan tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan sengketa kepailitan

Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis. Penelitian ini merupakan penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas hukum dengan menggunakan suatu metode pendekatan yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Pertama bahwa Sengketa Kepailitan menurut undang – undang nomor 37 tahun 2004 dinyatakan dalam pasal 3 Angka 1. Dalam Pengadilan Niaga ini hukum yang berlaku adalah hukum acara perdata, dan peraturan yang mengatur tentang sengketa kepailitan ini terdapat pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kedua , Ada 3 macam upaya hukum yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa kepailitan, yaitu perlawanan, kasasi, dan peninjauan kembali. Di dalam penyelesaian sengketa kepailitan tersebut, terdapat pihak-pihak yang terlibat antara lain: debitor, kreditor, kurator, dan juga hakim pengawas. Ketiga , Selain menyelesaikan sengketa kepailitan dengan perkara baru, Pengadilan Niaga juga mempunyai wewenang dalam menyelesaikan sengketa kepailitan yang timbul setelah adanya putusan terhadap sengketa kepailitan tersebut.