Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

oligopsoni , integrasi vertical, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan tidak sehat. Jika dibandingkan antara hak-hak konsumen sebagaimana dimuat dalam UUPK dengan Resolusi PBB, tampaknya tidak ada perbedaan mendasar. Penyebabnya, antara lain adalah bahwa hak-hak konsumen yang disebut di dalam Resolusi PBB itu adalah rumusan tentang hak-hak konsumen yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga konsumen di dunia, dan telah sejak lama diperjuangkan di negaranya masing-masing. Hal ini menunjukkan pula bahwa hak-hak konsumen bersifat universal. Lawan dari hak adalah kewajiban. Mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 5 UUPK, yakni : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam perdagangan pelaku usaha memiliki hak-hak yang harus diberikan dan dihormati oleh pihak-pihak lain dalam perdagangan tersebut, misalnya konsumen. Hak tersebut diimbangi dengan dibebankannya kewajiban pada pelaku usaha yang harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya antara hak dan Universitas Sumatera Utara kewajiban tersebut adalah seimbang. Adapun hak pelaku usaha sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UUPK adalah : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang danatau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang danatau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7, yakni : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Universitas Sumatera Utara d. Menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, danatau mencoba barang danatau jasa tertentu serta memberi jaminan danatau garansi atas barang yang dibuat danatau yang diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang danatau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian apabila barang danatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang danatau jasa yang berkualitas. Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK Pasal 8 sampai dengan 17 menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada hakikatnya menurut Nurmanjito, larangan-larangan terhadap pelaku usaha tersebut adalah mengupayakan agar barang danatau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, yang menyangkut asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, iklan, dan lain Universitas Sumatera Utara sebagainya. 25 Tujuan pengaturan ini menurut Nurmandjito adalah untuk mengupayakan terciptanya tertib perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat. 26 Hal ini sebagai salah satu bentuk perlindungan konsumen, larangan-larangan tersebut dibuat berupaya untuk memastikan bahwa produk yang diproduksi produsen aman, layak konsumsi bagi konsumen. Dalam ketentuan Pasal 8 UUPK, disebutkan larangan-larangan tentang produksi barang danatau jasa, dan larangan memperdagangkan barang danatau jasa, antara lain : 1 Pelaku usaha dilarang memproduksi danatau memperdagangkan barang danatau jasa yang : a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang danatau jasa tersebut; 25 Nurmandjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia , “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan Konsmen, Bandung Mandar Maju,2000 hal 18. 26 Ibid Universitas Sumatera Utara e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang danatau jasa tersebut; f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang danatau jasa tersebut; g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaanpemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label; h. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, beratisi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasangdibuat; i. Tidak mencantumkan informasi danatau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2 Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Universitas Sumatera Utara 3 Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. 4 Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang danatau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Dalam ketentuan Pasal 10 dan 11 UUPK, berkaitan dengan larangan- larangan representasi yang tertuju pada perilaku pelaku usaha guna memastikan produk yang diperjualbelikan di masyarakat diproduksi dengan jalan sesuai dengan peraturan yang berlakutidak melanggar hukum. Dalam ketentuan Pasal 12 dan 13 ayat 1 UUPK masih berkaitan dengan larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan yang dilakukan melalui sarana penawaran, promosi atau pengiklanan dan larangan untuk mengelabui atau menyesatkan konsumen. Pelaku usaha dalam menawarkan produknya ke pasaran, dilarang untuk mengingkari untuk memberikan hadiah melalui undian berhadiah kemudian melakukan pengumuman di media massa terhadap hasil pengundian agar masyarakat mengetahui hasil dari pengundian berhadiah tersebut, hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 14 UUPK yang menyebutkan : Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk : a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa; c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. Universitas Sumatera Utara Dalam memasarkan produknya, pelaku usaha dilarang untuk melakukan cara-cara penjualan dengan cara tidak benar dapat mengganggu secara fisik maupun psikis konsumen. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 15 UUPK yang bunyinya : Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa dilarang melakukan dengancara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Salah satu cara pemaksaan produk yang dimaksud adalah door to door sale, rayuan dari sales tersebut ke rumah-rumah konsumen disadari baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kondisi psikologis konsumen. Penawaran barang melalui cara ini, dapat mengusik ketenangan konsumen, karena walaupun konsumen telah menyatakan tidak berminat terhadap barang yang ditawarkan, namun sales tetap berusaha merayu agar konsumen membelinya. Universitas Sumatera Utara

BAB III KETENTUAN IZIN DINAS KESEHATAN DAN

INDUSTRI RUMAH TANGGA A. Izin Dinas Kesehatan

1. Pengertian Izin

Agak sulit memberikan definisi izin. Hal ini dikemukakan oleh Sjachran Basah. 27 Pedapat yang dikatakan Sjachran agaknya sama dengan yang berlaku di negeri Belanda, seperti dikemukakan Van Der Pot sangat sukar membuat definisi untuk menyatakan pengertian izin itu. 28 Hal ini disebabkan oleh antara pakar tidak dapat persesuaian paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap objek yang didefinisikannya. Sukar memberikan definisi, bahkan ditemukan definisi yang beragam. 29 Izin adalah persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari larangan umum tersebut. Izin dalam istilah asing Belanda disebut Verguming. Bentuk Izin itu harus tertulis. HO Hinder Ordonansi: Hinder = Gangguan, Ordonansi = peraturan, HO yaitu sebuah izin yang diberikan oleh masyarakat sekitar untuk usaha yang ada disitu. Sedangkan menurut Van Der Port, izin merupakan 27 Basah, Sjachran. Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi . Makalah ada Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan. Surabaya : Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1995 hal 1-2 28 Utrecht,E. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Cetakan Kedelapan . Jakarta:Ichtiar 1997 hal 187 29 Ibid . hal 187 Universitas Sumatera Utara