Pertanggungjawaban Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan (Studi Kasus di BPOM Medan)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo, 2006.

Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. Sinar Grafika. 2010

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2008.

Achmad Ali, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta : Cetakan Kedua, Toko Gunung Agung Tbk, 2002.

Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta : Yarsif Watampone, 1998.

Arsyad, Lincolin, Ekonomi Pembangunan Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, 2004.

Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi Yogyakarta: BPFE, 1993.

Basah, Sjachran. Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi. Makalah ada Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan. Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. 1995.

Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2001.

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (POM) Kota Medan

C. Tantri D. Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Jakarta : Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1995.

Dumairy, perekonomian Indonesia, Yograkarta: Erlangga, 1997.

Dragan Milovanovic, A Primer in the Sociology of Law Second Edition, Harrow and Heston Publishers, New York, 2001

Henry S, Siswosoediro, Buku Pintar Perizinan dan Dokumen, Jakarta : Visimedia, 2008.

Innosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana,2004


(2)

John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen terhadap Produk Pangan Kadaluarsa, Jakarta : Pelangi Cendikia, 2007.

Munir Fuadi, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku II, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994.

Muhammad Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994.

Mubyarto, Pengantar Ekonomi Petani (Jakarta: LP3ES,2001.

N.M, Spelt, J.B.J.M. Ten Berge, Philipus.M.Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, 1993

Nurmandjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan Konsmen, Bandung Mandar Maju,2000.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Jakarta : Liberty, 1996.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991.

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2010.

Shidarta, Bernard Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung :Mandar Maju, 2000

Soerjono Soekanto, Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni, 1996

Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Bandung : Alumni1997.

Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta : Gramedia Widiarsarana Indonesia, 2006

Sukirno Sadono, Ekonomi Pembangunan Medan: Borta Gorat, 1999.


(3)

Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung :Universitas Lampung, 2007.

Utrecht,E. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Cetakan Kedelapan. Jakarta:Ichtiar 1997

Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, mutu dan gizi pangan

C. Internet

http://restysetia.blogspot.com/2012/04/pengertian-produsen-dan-fungsi-produksi.html, diakses tanggal 30 Mei 2013

http://www.tunardy.com/?s=pengertian%20produsen\http://organisasi.org diakses tanggal 30 Mei 2013

http://adimanpangaribuan.blogspot.com/2012/06/pengertian-konsumen.html, diakses tanggal 30 Mei 2013

http://dkk.medan.go.id/read/jenis-jenis-pangan-yang-bisa-di-daftarkan-untuk-memperoleh-sertifikat-p-irt, diakses tanggal 1 Juni 2013.

www.wikipedia.org/wiki/Badan Pengawas Obat dan Makanan diakses tanggal 30 Mei 2013

Nur Khalimatus Sa’diyah SH, alumni FH Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, peserta Program Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, diakses tanggal 1 Juni 2013


(4)

BAB III

KETENTUAN IZIN DINAS KESEHATAN DAN INDUSTRI RUMAH TANGGA

A. Izin Dinas Kesehatan 1. Pengertian Izin

Agak sulit memberikan definisi izin. Hal ini dikemukakan oleh Sjachran Basah.27 Pedapat yang dikatakan Sjachran agaknya sama dengan yang berlaku di negeri Belanda, seperti dikemukakan Van Der Pot sangat sukar membuat definisi untuk menyatakan pengertian izin itu.28 Hal ini disebabkan oleh antara pakar tidak dapat persesuaian paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap objek yang didefinisikannya. Sukar memberikan definisi, bahkan ditemukan definisi yang beragam.29

Izin adalah persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari larangan umum tersebut. Izin dalam istilah asing (Belanda) disebut Verguming. Bentuk Izin itu harus tertulis. HO (Hinder Ordonansi): Hinder = Gangguan, Ordonansi = peraturan, HO yaitu sebuah izin yang diberikan oleh masyarakat sekitar untuk usaha yang ada disitu. Sedangkan menurut Van Der Port, izin merupakan

27

Basah, Sjachran. Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi. Makalah ada Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan. (Surabaya : Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1995) hal 1-2

28

Utrecht,E. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Cetakan Kedelapan. (Jakarta:Ichtiar 1997) hal 187

29


(5)

keputusan yang memperkenankan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat peraturan.30

Utrecht memberikan pengertian izin (Vergunning) sebagai berikut: bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenanka nnya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi Negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).31 Adapun pengertian perizinan Menurut Adrian Sutedi adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.32 Perizinan dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan.

Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya pengawasan.

Hal pokok pada izin, bahwa sesuatu tindakan dilarang kecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan

30

N.M, Spelt, J.B.J.M. Ten Berge, Philipus.M.Hadjon, (Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, 1993), hal 186

31

OP. Cit. Utrecht,E. hal 187 32

Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal. 27


(6)

dilakukan dengan cara-cara tertentu. Penolakan izin terjadi bila kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi.

Jadi kesimpulan dari pengertian izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha.

2. Pengertian Izin Dinas Kesehatan

Izin jaminan usaha makanan atau minuman rumahan yang dijual memenuhi standar keamanan makanan atau izin edar produk pangan olahan yang diproduksi oleh UKM untuk dipasarkan secara lokal. Izin P-IRT tersebut hanya diberikan kepada produk pangan olahan dengan tingkat resiko yang rendah. Mengacu pada peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan dan Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK. 00.05.5.1640. Di dalam SPP-IRT produsen akan mendapat 2 (dua) sertifikat yaitu Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan (PKP) dan Sertifikat Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT).

Sedangkan pada kasus hanya mengambil hasil produk orang lain kemudian dikemas kemudian diperjualbelikan, diperbolehkan dengan catatan, produk yang anda pasarkan itu sudah memiliki izin dan SPP-IRT Produsen yang jelas dari dinas. S-PIRT dikeluarkan oleh dinas dimana produksi itu dijalankan.


(7)

3. Jenis-Jenis Izin Dinas Kesehatan

Produk makanan/minuman yang beredar di masyarakat saat ini semakin banyak dan beragam karena semakin berkembangnya teknologi dan perubahan pola hidup masyarakat. Untuk melindungi masyarakat dari produk pangan yang membahayakan kesehatan, maka salah satu kebijakan pemerintah adalah dengan menerapkan Perizinan Produksi dan Izin Edar bagi produk makanan. Karena dengan menerapkan kebijakan tersebut maka pemerintah dapat melakukan pengawasan serta pembinaan agar produsen makanan/minuman memproduksi pangan sesuai dengan Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB/CPMB).

Macam Izin Edar produk makanan adalah sebagai berikut :33

1. Izin yang dikeluarkan oleh Badan POM yaitu POM MD (untuk produksi pangan dalam negeri) dan POM ML (untuk produksi pangan luar negeri / import).

2. Izin yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yaitu SPP-IRT (Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga/P-SPP-IRT)

Jenis Pangan Yang Diizinkan Memperoleh Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT)

1. Hasil Olahan Daging Kering 2. Hasil Olahan Ikan Kering 3. Hasil Olahan Unggas Kering 4. Sayur Asin dan Sayur Kering antara 5. Hasil Olahan Kelapa

6. Tepung dan Hasil Olahannya 7. Minyak dan Lemak

8. Selai, Jeli, dan Sejenisnya 9. Gula, Kembang Gula Dan Madu

33

http://dkk.medan.go.id/read/jenis-jenis-pangan-yang-bisa-di-daftarkan-untuk-memperoleh-sertifikat-p-irt, diakses tanggal 1 Juni 2013.


(8)

10.Kopi, Teh, Coklat Kering atau Campurannya 11.Bumbu

12.Rempah-Rempah

13.Minuman Ringan, Minuman Serbuk 14.Hasil Olahan Buah

15.Hasil Olahan Biji-Bijian dan Umbi 16.Lain - Lain Es

4. Syarat-Syarat Izin Dinas Kesehatan

Usaha makanan dan minuman rumahan (produksi industri kecil rumah tangga / home industri) agar lebih mudah berkembang pastinya produk anda akan membutuhkan pengakuan, baik itu dari konsumen maupun dari suatu lembaga yang berwenang. Salah satu bentuk pengakuan yang menunjukan kualitas produk adalah adanya izin resmi dari Dinas Kesehatan sebagai lembaga yang berwenang. Karena usaha ini dimulai dari rumah maka yang perlu dilakukan adalah mendaftarkan PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga) ke departemen kesehatan di masing masing wilayah (kabupaten atau propinsi).

Untuk melakukan pendaftaran dan pengurusan nomor Dinas Kesehatan untuk makanan kecil, Anda bisa langsung datang ke Dinas Kesehatan dengan membawa persyaratan seperti berikut :34

1. Surat Keterangan Domisili Usaha dari kecamatan, atau SIUP 2. Fotokopi KTP

3. Pas foto 3×4 sebanyak 2 lembar

4. Surat Keterangan Domisili Usaha dari kantor Camat 5. Surat keterangan Puskesmas atau Dokter

6. Denah lokasi dan denah bangunan

7. Uang (Biaya mungkin akan berbeda di tiap daerah)

Selanjutnya, anda akan diminta mengisi formulir pendaftaran, lalu pihak DinKes akan mengadakan survei secara langsung ke lokasi produksi yang

34


(9)

didaftarkan. Setelah survei berjalan dengan lancar maka surat P-IRT akan dikeluarkan dalam kurun waktu dua minggu.

Dinas Kesehatan biasanya melakukan penyuluhan secara kolektif pada setiap home industri, apabila peserta telah terkumpul sekitar 20 sampai orang, Anda akan diberikan bekal ilmu dan penyuluhan yang lengkap cara produksi makanan yang aman dan benar. Termasuk di dalamnya pemakaian bahan pengawet, sanitasi dan bahan tambahan dalam produk makanan olahan.

Pihak Dinas Kesehatan akan mengeluarkan 2 (dua) sertifikat yaitu Sertifikat Penyuluhan dan Sertifikat P-IRT. Setelah semuanya selesai, sebaiknya anda menambahkan sertifikasi pengakuan label halal terhadap produk anda di kantor MUI terdekat di wilayah anda.

Syarat Permohonan Izin :

1. Mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan 2. Mengisi formulir permohonan izin PIRT 3. Foto copy KTP, 1 lembar

4. Pas foto 3 x 4, 3 lembar

5. Menyertakan rancangan label Makanan

Prosedur Perizinan Mengajukan permohonan untuk mendapatkan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga kepada Kepala Dinas Kesehatan.


(10)

2. Menunggu waktu pelaksanaan penyuluhan keamanan pangan yang dilaksanakan setiap 3 bulan sekali. ini dilakukan secara berkelompok, paling tidak ada minimal 20 orang

3. Pemohon diwajibkan mengikuti penyuluhan keamanan pangan dan diperiksa sarana produksinya

4. Mengikuti Acara Penyuluhan Keamanan Pangan 5. Pemeriksaan sarana

6. Pemohon membayar retribusi. Sertifikat Pangan Industri Rumah Tangga diserahkan

Pengecualian untuk permohonan tidak dapat dipenuhi apabila pangan yang diproduksi berupa:

1. Susu dan hasil olahannya

2. Daging, ikan, unggas dan hasil olahannya yang memerlukan proses dan atau penyimpanan beku

3. Pangan kaleng 4. Pangan bayi

5. Minuman beralkohol

6. Air minum dalam kemasan (AMDK)

7. Pangan lain yang wajib memenuhi persyaratan SNI 8. Pangan lain yang ditetapkan oleh Badan POM


(11)

B. Industri Rumah Tangga

1. Pengertian Industri Rumah Tangga

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kerajinan, usaha produk barang dan ataupun perusahaan. Jadi, Home Industri adalah rumah usaha produk barang atau bisa juga disebut perusahaan kecil. Dikatakan sebagai perusahaan kecil karena jenis kegiatan ekonomi ini dipusatkan di rumah. Pengertian usaha kecil secara jelas tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil Menengah, yang menyebutkan bahwa usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak Rp200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1.000.000.000. Kriteria lainnya dalam UU No. 20 Tahun 2008 adalah: milik WNI, berdiri sendiri, berafiliasi langsung atau tidak langsung dengan usaha menengah atau besar dan berbentuk badan usaha perorangan, baik berbadan hukum maupun tidak. Jika terdaftar pada Dinas Perdagangan Kabupaten/kota permohonan izin ke pemerintah untuk menjalankan usaha, Home Industri termasuk dalam kategori peraturan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Putih, yaitu perusahaan kecil yang dengan kekayaan kurang dari 200 juta. Home Industri juga dapat berarti Industri Rumah Tangga, karena termasuk dalam kategori usaha kecil yang dikelola keluarga.

Kriteria-kriteria suatu usaha dikatakan Industri Rumah Tangga yaitu : 1. Kegiatan Industri dilakukan di rumah tangga


(12)

3. Peralatan pengolahan yang digunakan mulai dari manual hingga alat semi otomatis.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu, gizi dan pangan Pasal 1 angka 16 dijelaskan mengenai Industri Rumah Tangga dijelaskan :

“Industri Rumah Tangga pangan adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis.

Industri Rumah Tangga pada umumnya memusatkan kegiatan di sebuah rumah keluarga tertentu dan biasanya para karyawan berdomisili di tempat yang tak jauh dari rumah produksi tersebut, karena secara geografis dan psikologis hubungan mereka sangat dekat (pemilik usaha dan karyawan), memungkinkan untuk menjalin komunikasi sangat mudah. Dari kemudahan dalam berkomunikasi ini diharapkan dapat memicu etos kerja yang tinggi, karena masing-masing merasa bahwa kegiatan ekonomi ini adalah milik keluarga, kerabat dan juga warga sekitar.

Ada beberapa bentuk dan jenis Industri rumah tangga yang dikenal oleh masyarakat, seperti :

a. Industri rumah tangga bidang kosmetik (alat-alat kecantikan), b. Industri rumah tangga bidang kebutuhan sehari-hari.

c. Industri rumah tangga bidang obat-obatan ringan. d. Industri rumah tangga bidang makanan

e. Industri rumah tangga bidang minuman.

Bentuk pemasaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha Industri rumah tangga adalah dengan cara menitipkan barang hasil produksinya pada warung atau toko-toko terdekat yang terdapat di sekitar tempat usaha mereka.


(13)

Produk pangan Industri rumah tangga adalah makanan yang sangat rentan atas kerusakan, karena makanan yang tidak tahan lama sehingga pada saat memproduksi selain memperhitungkan kuantitasnya, juga harus memperhitungkan kualitas secara teliti. Arti kualitas dalam hal ini lebih diutamakan pada kemampuan makanan bertahan dalam batasan waktu yang relatif lama dan mutu dari makanan tersebut.

Dalam Pasal 1 angka 13 undang-undang no. 7 tahun 1996 tentang Pangan diatur mengenai kualitas dan mutu dari suatu produk pangan yaitu :

“Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman.”

Setiap orang yang akan memproduksi pangan untuk diperdagangkan perlu memperhatikan ketentuan mengenai mutu dan gizi pangan yang ditetapkan. Pangan tertentu yang diperdagangkan dapat diwajibkan untuk terlebih dahulu diperiksa di laboratorium sebelum diedarkan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan gizi dalam suatu produk pangan olahan tertentu, Pemerintah berwenang untuk menetapkan persyaratan tentang komposisi pangan tersebut.

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun1996 tentang Pangan mengatur tentang mutu dan gizi pangan yakni dijelaskan :

“Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat memberlakukan dan mewajibkan pemenuhan standar mutu pangan yang ditetapkan.”

Yang dimaksud dengan "pangan tertentu yang diperdagangkan" pada ayat ini adalah produk pangan yang atas pertimbangan manfaat, nilai gizi, dan aspek


(14)

perdagangan harus memenuhi standar mutu tertentu. Penetapan standar mutu pangan oleh Pemerintah, sebagaimana dimaksud pada ayat tersebut diatas, merupakan upaya standarisasi mutu pangan yang akandiedarkan, dan terutama berguna sebagai suatu tolak ukur yang objektif bagi setiap pangan yang akan diedarkan. Hal ini tidak berarti bahwa standar mutu yang ditetapkan oleh kalangan yang berkepentingan di bidang pangan tidak diakui keberadaannya, misalnya, yang ditetapkan oleh asosiasi dibidang pangan, terutama apabila standar mutu tersebut lebih tinggi daripada standar mutu yang ditetapkan Pemerintah. Di sisi lain, Pemerintah perlu diberikan kewenangan untuk mewajibkan pemenuhan standar mutu yang ditetapkan bagi produksi pangan tertentu yang diperdagangkan, terutama dalam rangka mewujudkan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab.

2. Jenis Makanan dan Minuman Rumah Tangga

Dalam memproduksi makanan, minuman dan obat-obatan, yang paling penting adalah memiliki IzinDinas Kesehatan, karena berdasarkan Keputusan dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Peraturan Daerah setempat, untuk seluruh produksi makanan dan minuman yang diedarkan secara luas harus memiliki Izin produksi. Walaupun itu bentuknya adalah industri rumahan (Industri rumah tangga). Untuk melindungi masyarakat dari produk pangan olahan yang membahayakan kesehatan konsumen, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keamanan pangan.


(15)

Pihak Badan POM memang tidak main-main mengenai Izin produksi makanan dan minuman, karena hal ini bertujuan untuk mengendalikan peredaran makanan, minuman atau obat-obatan yang dapat membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari masyarakat. Semua produk makanan dan minuman yang akan dijual di wilayah Indonesia, baik produksi lokal maupun impor, harus didaftarkan dan mendapatkan nomor pendaftaran dari Badan POM, sebelum boleh diedarkan ke pasar. Bagi Badan POM, nomor pendaftaran ini berguna untuk mengawasi produk-produk yang beredar di pasar, sehingga apabila terjadi suatu kasus akan mudah ditelusuri siapa produsennya35.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, Gizi dan Pangan Pasal 47 ayat (2) bagi industri rumahan yang tidak memiliki Izin maka akan dikenakan sanksi berupa :

1. Penutupan industri

2. Penarikan semua barang hasil industri yang beredar di pasaran 3. Pelarangan Izin beredar

4. Bahkan dalam beberapa Perda, ada sanksi yang paling berat, yaitu sanksi pidana berupa kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda yang

besarnya variatif.

Dasar hukum dalam pemberian Izin terhadap Industri Rumah Tangga adalah perda kabupaten/kota setempat, Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor : HK. 00.05.5.5.1640 Tgl 30 April 2003 Tentang Pedoman Tata Cara Penyelengggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor : HK. 00.05.5.5.1641 Tgl 30 April 2003 Tentang Pedoman Pemeriksaan Sarana

35

www.wikipedia.org/wiki/Badan Pengawas Obat dan Makanan diakses tanggal 30 Mei 2013


(16)

Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor : HK. 00.05.5.5.1639 Tgl 30 April 2003 Tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang baik untuk Industri Rumah Tangga.

Adapun untuk mengurus Izin produksi makanan, minuman, dan/atau obat-obatan harus memenuhi syarat administratif, yaitu :

1. Surat Permohonan Izin produksi makanan atau minuman kepada Dinas Kesehatan

2. Data Produk makanan atau minuman yang diproduksi

3. Sampel hasil produksi makanan atau minuman yang diproduksi

4. Label yang akan dipakai pada produk makanan minuman yang diproduksi (label atau merek yang kemudian akan dikoreksi dan dicocokkan dengan produk dan proses produksi. Jika ada ketidakcocokan akan disesuaikan oleh petugas dari Dinas Kesehatan).

5. Peta Lokasi produksi.

6. Salinan KTP pemilik/penanggung jawab perusahaan. 7. Pas foto berwarna pemilik atau penanggung jawab 3X4 cm

8. Untuk produk minuman, disertai dengan hasil pemeriksaan laboratorium air baku.

Dalam memperoleh permohonan Izin produksi makanan atau minuman serta obat tradisional tidak semua diterima dan dikabulkan oleh Dinas Kesehatan. Ada beberapa produk makanan dan minuman, yang akan beredar di pasaran harus mendapatkan Izin dari Dinas Kesehatan dan Badan POM, yaitu :


(17)

1. Susu dan hasil olahannya

2. Unggas dan hasil olahannya yang memerlukan proses dari/atau penyimpanan beku

3. Pangan kalengan 4. Makanan bayi 5. Minuman beralkohol 6. Air minum dalam kemasan

7. Pangan lainnya yang wajib memenuhi persyaratan SNI (Standar Nasional Indonesia) dan pangan lain yang ditetapkan badan POM.

Berdasarkan peraturan badan Pengawas obat dan Makanan no.HK.00.05.5.1640 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga maka mekanisme dari pengurusan Izin produksi makanan dan minuman Industri Rumah Tangga yaitu :

1. Pemohon mengajukan surat permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan dengan dilengkapi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Mempelajari surat permohonan untuk disesuaikan dengan persyaratan yang telah ditentukan

3. Pemohon diwajibkan mengikuti penyuluhan keamanan pangan secara kolektif

4. Pemeriksaan setempat sarana produksinya

5. Memberikan pertimbangan terhadap permohonan Izin yang diajukan. 6. Menyusun konsep Izin dan meneruskan kepada yang berhak

menandatangani berdasarkan ketentuan yang berlaku 7. Menandatangani konsep Izin

8. Menyampaikan surat keputusan izin kepada pemohon setelah membayar retribusi


(18)

9. Setelah permohonan diajukan, kemudian Dinas kesehatan akan melakukan penyuluhan produksi pangan yang sesuai standar kepada pengelola. Selama penyuluhan dan pelatihan ini, pihak Dinas Kesehatan juga akan meninjau ke lokasi produksi.

Jika semua persyaratan yang telah ditentukan telah dipenuhi dan kondisi di lapangan tempat produksi Industri Rumah Tangga yang akan mengajukan permohonan sudah memenuhi syarat maka Izin tersebut akan diberikan. Dengan adanya izin produksi yang telah dimiliki maka pelaku usaha Industri Rumah Tangga akan memperoleh keuntungan yang bisa menunjang perkembangan usahanya karena bisa dengan tenang mengedarkan dan memproses produksi produk pangan yang dihasilkan secara luas dengan resmi, selain itu keuntungan tambahan dari pengurusan Izin ini, Jika pada saat dilakukan survei oleh petugas dari Dinas Kesehatan ternyata dilihat bahwa industri tersebut memerlukan beberapa alat untuk menunjang pekerjaan ataupun untuk efisiensi, maka pihak kesehatan dengan dana dari pemerintah daerah, kadang kala akan menyumbangkan alat penunjang industri yang dibutuhkan oleh pelaku usaha Industri Rumah Tangga tanpa memungut biaya. Misalnya plastik kemasan, alat press kemasan, label/logo industri, alat vacum untuk penggorengan makanan dan peralatan lain yang dibutuhkan. Selain itu, dengan pencantuman kode IRT, makanan dan minuman akan lebih mudah dipasarkan dan lebih disukai konsumen sehingga akan meningkatkan daya jual produk pangan dari hasil industri rumahan.


(19)

3. Izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

Badan pengawas obat dan makanan (BPOM) mengeluarkan izin atau sertifikasi layak tidaknya obat dan makanan yang beredar di masyarakat umum untuk dikonsumsi.36 Bagi pengusaha di bidang obat-obatan dan makanan, izin ini bermanfaat untuk memperlihatkan kepada konsumen bahwa produk yang mereka hasilkan adalah produk yang tidak berbahaya bagi tubuh dan lingkungan, serta memiliki kandungan sesuai dengan yang dipaparkan oleh perusahaan.

Persyaratan administrasi

a. Nama dan alamat perusahaan

b. Nama-nama produk yang didaftarkan c. Foto kopi KTP

d. Spesifikasi yang akan diedarkan, seperti surat-surat perdagangan, komposisi dan mutu produk.

Prosedur :

a. Mengambil dan mengisi formulir yang disediakan oleh BPOM pada masing-masing kota atau provinsi

b. Menyerahkannya kembali setelah mengisinya dan dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ada.

c. Melengkapi berbagai persyaratan yang belum diselesaikan

d. Menunggu beberapa hari kemudian, apakah permohonan itu diterima atau tidak

36

Henry S, Siswosoediro, Buku Pintar Perizinan dan Dokumen, (Jakarta : Visimedia, 2008), hal 58


(20)

BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN YANG TIDAK MEMILIKI IZIN DINAS KESEHATAN

A. Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi Dalam Perlindungan Konsumen Pelaku usaha (produsen) dalam proses produksinya melalui beberapa tahap. Antara lain, tahap penyelidikan, perencanaan, pengelolaan, pengemasan dan pengepakan. Pada masing-masing tahap tersebut, produsenlah yang mengetahui persis apa yang telah dilakukan. Jika kemudian produk yang dipasarkan itu menyebabkan kerugian bagi konsumen, maka produsen tidak boleh mengelak dari tanggung jawabnya. Ketentuan ini terdapat perkecualian, misalnya terjadi sabotase dari pihak ketiga atau kesalahan terjadi pada konsumen itu sendiri.

Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur ketentuan mengenai hak dan kewajiban produsen. Yakni hak untuk menerima pembayaran, hak untuk mendapat perlindungan hukum, hak untuk melakukan pembelaan diri, hak rehabilitasi nama baik, dan hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak itu dapat dipakai produsen apabila kewajiban-kewajiban pelaku usaha sudah dilaksanakan dengan baik. Jika belum maka pelaku usaha tidak layak menerima hak tersebut tetapi justru harus berhadapan dengan hukum untuk mempertanggung jawabkan kewajiban-kewajiban sebagai pelaku usaha. Kewajiban pelaku usaha itu diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 1999.

Tanggung jawab pelaku usaha timbul karena adanya hubungan antara produsen dengan konsumen. Pelaku usaha dapat dikenakan pertanggung jawaban


(21)

apabila barang-barang yang dibeli oleh konsumen terdapat menderita kerugian, produknya cacat dan berbahaya, dan bahaya terjadi tetapi tidak diketahui sebelumnya.

Tanggung jawab produk oleh banyak ahli dimasukkan dalam sistematika hukum yang berbeda. Ada yang mengatakan tanggung jawab produk sebagai bagian dalam hukum perikatan, hukum perbuatan melawan hukum (trot law), hukum kecelakaan (ongevallenrecht, casuality law), dan ada yang menyebutkannya sebagai bagian dari hukum konsumen. Pandangan yang lebih maju mengatakan tanggung jawab produk ini sebagai bagian hukum tersendiri (product liability law).

Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya pelanggaran jaminan (breach of warranty), kelalaian (negligence, dan tanggung jawab mutlak (strict liability)37

Keefektivan hukum bila dikaitkan dengan badan-badan penegak hukumnya, maka menurut G.G Howard dan R.S Summers ada faktor yang mempengaruhinya :

a. Undang-undangnya harus diterapkan dengan baik. Kaidah-kaidah yang bekerja mematuhi tingkah laku itu harus ditulis dengan jelas dan dapat dipahami dengan penuh kepastian;

b. Mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus menunaikan tugasnya dengan baik dan harus menafsirkan peraturan tersebut secara

37 Nur Khalimatus Sa’diyah SH, alumni FH Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, peserta Program Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, diakses tanggal 1 Juni 2013


(22)

seragam dan sedapat mungkin senafas dengan bunyi penafsiran yang mungkin dicoba dilakukan oleh warga masyarakat yang terkena;

c. Aparat penegak hukum harus bekerja tanpa jenuh untuk menyidik dan menuntut pelanggar-pelanggar.

Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen pada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung ide-ide atau konsep-konsep yang boleh digolongkan abstrak, yang idealnya meliputi ide tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch. Oleh karena itu, persoalan konsumen untuk memperoleh perlindungan sebagai bagian dari suatu sistem hukum akan berkaitan dengan upaya mewujudkan ide-ide tersebut, bahkan seringkali negara harus ikut campur tangan karena adanya kekuatan pengaruh yang menuntut hal demikian agar bekerjanya hukum dapat efektif, khususnya dalam hal ini adalah mengenai penyelenggaraan struktur hukum yang berupa lembaga-lembaga penegak hukum sebagai sarana bagi pihak yang dirugikan untuk memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan sistem hukum dalam upaya perlindungan konsumen dapat berjalan dengan baik.

Keterlibatan negara atau pemerintah saja belum dapat menjamin terpenuhinya atau berjalannya suatu sistem hukum karena dalam suatu sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman meliputi tiga hal yaitu substansi hukum, struktur hukum dan kultural hukum, a legal system is actual operation is complex organism in which sructure, substance and culturale interaction. Dalam kaitannya fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering) agar hukum


(23)

(termasuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999) bisa menentukan corak hidup masyarakat (yang dalam hal ini corak hidup masyarakat selaku konsumen maupun pelaku usaha) bukanlah hal yang mudah, sebab banyak faktor yang mempengaruhinya, di samping bahwa dalam setiap individu akan tergantung pada pilihan-pilihan individu secara rasional untuk taat atau tidak taat kepada ketentuan hukum yang berlaku (Undang-undang No 8 Tahun 1999). The law, for Pound should act so to assure the maximum amount of fulfillment of interests in a society.38 Individu akan selalu memilih aktifitas yang menguntungkan baginya dan menghindari yang paling merugikan baginya di dalam area of choice menuntut tingkat rasional (yang paling baik). Perilaku rasional ini paling tidak berorientasi pada perilaku kebiasaan, nilai-nilai etik dan kebutuhan-kebutuhan individu.

Agar hukum dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat konsumen dan pelaku usaha maka dapat dipakai pula pendekatan dengan mengambil teori Robert Seidman, yaitu bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat itu melibatkan tiga komponen dasar yakni pembuat hukum/ Undang-undang, birokrat pelaksana dan pemegang peran.

Bekerjanya hukum dapat dikatakan baik dan efektif bila melibatkan tiga komponen dasar yaitu pembuat hukum, birokrat pelaksana dan pemegang peran. Setiap anggota masyarakat (para konsumen dan pelaku usaha) sebagaimana pemegang peran, perilakunya ditentukan oleh pola peranan yang diharapkan

38

Dragan Milovanovic, A Primer in the Sociology of Law Second Edition, (New York :Harrow and Heston Publishers, 2001), hal 89.


(24)

darinya, namun bekerjanya harapan itu ditentukan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut adalah39:

a. Sanksi yang terdapat dalam peraturan;

b. Aktivitas dari lembaga atau badan pelaksana hukum;

c. Seluruh kekuatan sosial, politik dan yang lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran.

Perilaku konsumen dan pelaku usaha tentu saja juga tidak lepas dari tingkat pengetahuan, sikapnya terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, sehingga kemudian menimbulkan niat untuk berperilaku. Fishbein dan Ajzen mengenalkan model hubungan antara pengetahuan, sikap, niat dan perilaku. Menurut Hobbs dan Freud, bahwa pada dasarnya perilaku individu manusia adalah egoistis dan karenanya cenderung memuaskan kepentingannya sendiri. Akibat dari sifat manusia yang cenderung ingin memuaskan kepentingannya sendiri itu, maka sering menimbulkan benturan-benturan dengan pihak lain yang apabila hal ini dibiarkan terus berlangsung akan menciptakan penyimpangan sosial (deviasi sosial). Dalam hal ini peranan hukum sebagai upaya pembentukan perilaku sosial dalam diri seseorang untuk mampu berbagi kepentingan dengan orang lain diperlukan.

Ketaatan yang rendah terhadap hukum juga dimungkinkan karena warga masyarakat konsumen kurang memahami norma-norma tersebut, sehingga mereka sama sekali tidak mengetahui akan manfaaatnya untuk mematuhi akidah tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gastra Van Loon, bahwa efektifnya suatu

39

Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni1997), hal 36.


(25)

perundang-undangan secara sederhana berarti tujuannya tercapai. Hal ini sangat tergantung berbagai faktor, antara lain tingkat pengetahuan tersebut dan pelembagaan dari Undang-undang pada bagian-bagian masyarakat sesuai dengan ruang lingkup undang-undang tadi.

Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan hukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan/keputusan, rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis ini biasanya dilakukan di Pengadilan.

Pada hakekatnya perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak-hak terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya.

Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan Pemerintah.


(26)

Tanggungjawab yang dimiliki oleh suatu pihak dalam interaksinya dengan pihak lain seharusnya dipenuhi manakala akibat dari kesalahan dari perbuatannya menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Tanggungjawab ini harus dipenuhi tidak saja atas kesalahan perbuatan dari orang yang menjadi tanggungannya atau kerugian yang ditimbulkan akibat dari barang yang berada di bawah pengawasannya, hal ini dapat dicermati dari ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dalam ketentuan pidana masalah perlindungan konsumen juga memperoleh perhatian sebagaimana diatur dalam Pasal 204 dan 205 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan ini terutama berkaitan dengan hak konsumen untuk memperoleh informasi secara benar.

Dari uraian tersebut maka dimensi perlindungan hukum bagi konsumen dapat meliputi berbagai aspek dan dapat dilakukan dengan berbagai instrumen, yaitu instrumen hukum perdata, instrumen hukum pidana dan juga instrumen hukum administrasi.

B. Tanggung Jawab Perdata Produsen Industri Rumah Tangga

Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang bagi pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada produsen dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha. Etika bisnis merupakan salah satu pedoman bagi setiap pelaku usaha. Prinsip business is business , tidak dapat


(27)

diterapkan, tetapi harus dengan pemahaman atas prinsip bisnis untuk pembangunan. Jadi, sejauh mungkin, pelaku usaha harus bekerja keras untuk menjadikan usahanya memberi kontribusi pada peningkatan pembangunan nasional secara keseluruhan.

Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatannya (Pasal 7 angka 1) berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggungjawab untuk menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang pembangunan nasional. Jelas ini adalah tanggung jawab publik yang diemban oleh seorang pelaku usaha. Banyak ketentuan di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini yang bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku sedemikian rupa dalam rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional, khususnnya di bidang usaha. Atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha maka kepadanya dikenakan sanksi sebagai akibat hukum dari pelanggaran tersebut. Pemberian sanksi sebagai akibat hukum pelanggaran ini penting, mengingat bahwa menciptakan iklim berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Untuk ini sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula manakala telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama.

Izin produksi terhadap suatu produk pangan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum produk pangan tersebut beredar di masyarakat yang dijelaskan dalam Keputusan Kepala BPOM No. HK. 00.05.5.1640 tahun 2003 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikat Produksi Pangan Industri


(28)

Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, Gizi dan Pangan Pasal 43 ayat (2). Walaupun aturan tentang izin produksi produk pangan Industri Rumah Tangga mensyaratkan agar sebelum diedarkan setiap produk pangan harus didaftarkan guna mendapatkan izin produksi, pada kenyataannya masih banyak dijumpai beredarnya produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga yang beredar tanpa izin produksi.

Sanksi ini dapat berupa sanksi perdata, pidana maupun administratif. Bagi pelaku usaha, selain dibebani kewajiban sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya ternyata juga dikenakan larangan-larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 17 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur larangan bagi pelaku usaha yang sifatnya umum dan secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.

b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, tidak akurat, dan yang menyesatkan konsumen.

Masuk dalam kualifikasi larangan kedua ini adalah pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha dalam hal izin. Di samping adanya hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha, ada tanggung jawab produk (Product Liability) yang harus dipikul oleh pelaku usaha sebagai bagian dari kewajiban yang mengikat kegiatannya dalam berusaha. Sehingga diharapkan adanya


(29)

kewajiban dari pelaku usaha untuk selalu bersikap hati-hati dalam memproduksi barang/jasa yang dihasilkannya.

Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam UUPK, diatur khusus dalam BAB VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28.

Pasal 19

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 20

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 21

(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.

(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

Pasal 22

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.


(30)

Pasal 23

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila: a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut; b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 25

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut : a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :


(31)

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi :

a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,

c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti, bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.

Berbicara mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari prinsip-prinsip sebuah tanggung jawab, karena prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam perlindungan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan, yaitu :

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta


(32)

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.40

Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367 prinsip ini dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUH Perdata lazim dikenal sebagai Pasal tentang perbuatan melanggar hukum, yang mempunyai empat unsur pokok, yaitu: 1. Adanya perbuatan

2. Adanya unsur kesalahan 3. Adanya kerugian yang diderita

4. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “ hukum “ tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163 HIR atau 283 Rbg dan Pasal 1865 KUH Perdata. Disitu dikatakan, barang siapa yang mengakui mempunyai hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et altarem partem atau asas kedudukan yang sama antara pihak yang berperkara.

40

Innosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta : Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana2004), hal 48.


(33)

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumption of libility), yaitu prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat. Pembuktian semacam ini lebih dikenal dengan sistem pembuktian terbalik.

UUPK rupanya mengadopsi system pembuktian ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, 23 dan 28. Dasar pemikiran dari teori pembuktian terbalik ini adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan.

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of nonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict libility).

Prinsip ini sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua


(34)

terminologi di atas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiaannya. Selain itu ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan kedua pada ada tidaknya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggungjawab dan kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam).

Menurut, R.C. Hoeber et.al, biasanya prinsip tanggungjawab mutlak ini diterapkan karena (1) konsumen tidak berada dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu -waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “ menjerat “ pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib


(35)

bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal :

(1) Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk;

(2) Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan produk yang baik;

(3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability).

Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha dan kerugian yang dideritannya. Selebihnya diterapkan strict liability.

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability).

Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung


(36)

jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.

Kembali pada ulasan mengenai product liability. Istilah product liability diterjemahkan secara bervariasi ke dalam bahasa Indonesia seperti “ tanggung gugat produk “ atau juga “ tanggung jawab produk “.

Secara historis product liabity lahir karena ada ketidak seimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen, dimana produsen yang pada awalnya menerapkan strategi product oriented dalam pemasaran produknya, harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented.

Revolusi industri yang melanda Eropa dan kemudian menyebar ke daratan Amerika Serikat menitik beratkan production centered development, dengan basis utamanya adalah industrialisasi. Tujuan pembangunan adalah pencapaian pertumbuhan ekonomi semaksimal mungkin, dengan memperbesar saving, sementara capital output ratio ditekan serendah-rendahnya. Orientasi kegiatan terarah kepada mekanisme pasar, dan optimalisasi penumpukan dan pemanfaatan capital.41

Produsen lalu secara bebas dan leluasa memproduksi barang dan melemparkan hasil produksinya itu ke pasar tanpa perlu mencermati kualitas dan mutu barang. Pihak konsumenlah yang dituntut untuk bersikap waspada dan hati-hati dalam membeli barang-barang tersebut demi keselamatan dirinya. Hal ini sesuai dengan adagium yang berlaku waktu itu : caveat emptor konsumen selaku pembeli haruslah berhati-hati.Perkembangan sejarah dunia kemudian mencatat

41

John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen terhadap Produk Pangan Kadaluarsa, (Jakarta : Pelangi Cendikia, 2007), hal 86.


(37)

tumbuhnya kesadaran dunia akan martabat manusia yang perlu dihormati. Hak-hak asasi manusia diperjuangkan dan diberi tempat yang tinggi dalam peradaban manusia. Tuntutan penghormatan akan hak-hak asasi ini melanda juga dunia industri dan perdagangan, sehingga mengakibatkan bergesernya adagium caveat emptor menjadi caveat venditor produsenlah yang harus cermat dan berhati-hati dalam menghasilkan dan memasarkan barang-barangnya. Adagium caveat venditor mewajibkan pabrik dan produsen sebagai penjual bersikap cermat, agar barang-barang hasil produksinya tidak mendatangkan kerugian bagi kesehatan dan keselamatan konsumen, karena pihak konsumen memiliki hak asasi untuk mendapatkan barang-barang yang tidak mengandung cacat. Dalam suasana perdagangan inilah product liability sebagai instrument hukum perlindungan konsumen lahir.

Product Liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan jika dilihat dari konvensi tentang product Liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas.


(38)

Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehinggamenyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.

Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab terhadap hal-hal yang sudah kita kenal selama ini. Tanggung jawab produk, barang dan jasa meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk (produsen) itu (Strict Liability). Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini, menjadi beban dan tanggung pelaku usaha. Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau membahayakan, bahkan juga pemakai yang turut menjadi korban, merupakan tanggung jawab mutlak pelaku usaha pembuat produk itu sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dia dapat membuktikan keadaan sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat di persalahkan kepadanya.

Pada dasarnya konsepsi tanggung jawab produk ini, secara umum tidak jauh berbeda dengan konsepsi tanggung jawab sebagaiman diatur dalam ketentuan Pasal 1365 (dan 1865) KUHPerdata. Perbedaannya adalah bahwa tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi diperoleh, setelah pihak yang menderita


(39)

kerugian dapat membuktikan bahwa cacatnya produk tersebut serta kerugian yang timbul merupakan akibat kesalahan yang dilakukan oleh produsen.

Perbedaan lainnya adalah ketentuan ini tidak secara tegas mengatur pemberian ganti rugi atau beban pembuktian kepada konsumen, melainkan kepada pihak manapun yang mempunyai hubungan hukum dengan produsen, apakah sebagai konsumen, sesama produsen, penyalur, pedagang atau instansi lain. Pertimbangan-pertimbangan yuridis yang menyebabkan urgenitas penerapan instrumen hukum product liability :

1. Hak para konsumen Indonesia yang bagian terbesar adalah rakyat sederhana perlu ditegakkan sebagai konsekuensi penghormatan hak asasi manusia.

2. Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) yang telah diratifikasi Indonesia, pada prinsipnya menekankan adanya keterkaitan yang saling menguntungkan antara produsen dan konsumen.

3. Tata hukum positif tradisional yang masih berlaku di Indonesia selama ini, tidak memberikan solusi terhadap kasus-kasus pelanggaran hak konsumen. Tata hukum positif nasional hanya menyediakan dua sarana penyelesaian kasus gugatan oleh konsumen yang mengalami kerugian yaitu instrument hukum wanprestasi (Pasal 1243 KUH Perdata) instrumen hukum perbuatan melangaar hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).

4. Tanggung jawab produk ini memang riil dibutuhkan mengingat pada tanggung jawab produk ini tidak mengharuskan adanya hubungan


(40)

kotraktuil antara produsen dan konsumen, disamping juga adanya pembuktian terbalik oleh pelaku usaha.

5. Seturut dengan teori fungsional dari hukum adalah bahwa hukum merupakan instrumen pengatur masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Hukum haruslah menjadi sarana rekayasa sosial yang oleh Roscoeu Pound hukum adalah a tool of social engineering

Selain hal tersebut diatas, ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan prinsip strict liability tersebut yang didasarkan pada prinsip Social Climate Theory, yaitu :

1. Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap kasus yang mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi resikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory. 2. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar (industri) bagi seorang konsumen/korban/penggugat secara individual.

Dalam hukum tentang product liability, pihak korban/konsumen yang akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal : pertama, bahwa produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen, kedua, bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut


(41)

menyebabkan kerugian/kecelakaan, ketiga, adanya kerugian. Namun juga diakui secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya tidak ada modifikasi-modifikasi).

Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah :

a. Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation),

b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian,

c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis,

d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah,

e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scintific an technical knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat,

f. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah


(42)

dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut,

g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence),

h. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur. Dengan diberlakukannya prinsip strict liability diharapkan para produsen dan industriawan di Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhati-hati dalam memproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran sehingga konsumen, baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli produksi Indoensia. Namun demikian, dengan berlakunya prinsip strict liability dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti. Pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang menganut prinsip tanggung mutlak (strict liability) dalam mengantisipasi kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang terlalu menguntungkan pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.


(43)

C. Tanggung Jawab Pidana Produsen Industri Rumah Tangga

Disamping mempunyai aspek keperdataan, hukum perlindungan konsumen juga mempunyai aspek pidana. Karena itu, hukum perlindungan konsumen adalah juga bagian dari hukum pidana. Jelasnya, hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan di atas ada yang bernuansa publik sehingga dapat dipertahankan melalui hukum pidana.

Perbuatan produsen yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dalam tingkatan dan kompleksitas tertentu mungkin saja berdimensi kejahatan. Artinya, perbuatan produsen yang merugikan/melanggar hak konsumen yang bertentangan dengan norma-norma hukum pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, karena itu diselesaikan dengan hukum pidana dan memakai instrument pidana.

Penerapan hukum pidana dalam upaya mewujudkan hak-hak konsumen, David Tench menuliskan pengalaman di negaranya sebagai berikut :42

With the great expansion in consumer law we have experience to our great satisfaction mostly-in recent years we are now beginning to wonder whether the criminal law is the right way to control commercial behavior in the market place. Obviously, where questions are involved, the criminal law will be necessary, and consumers will always require some part of consumer law to remain criminal.

Menurut, David Tench di atas, menunjukkan keampuhan hukum pidana dalam menanggulangi perilaku-perilaku curang para pelaku ekonomi, khususnya bidang hukum ekonomi, yang umumnya dimuat dalam bagian akhir dari undangundang tersebut, menunjukkan fungsi hukum sebagai pengendali. Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUH Pidana

42

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2010) hal 59.


(44)

atau diluar KUH Pidana sepenuhnya diselenggarakan oleh alat-alat perlengkapan Negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk itu. UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (LN 1981 No. 76) menetapkan setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Disamping polisi, pegawai negeri sipil tertentu juga diberi wewenang khusus untuk melakukan tindak penyelidikan.

Penerapan KUHPidana dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tindak pidana oleh badan-badan tata usaha negara memang menguntungkan bagi perlindungan konsumen. Oleh karena itu keseluruhan proses perkara menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian, sangat terbantu dalam mengajukan gugatan perdata ganti ruginya. Berdasarkan hukum atau kenyataan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata sangat memberatkan konsumen. Oleh karena itu fungsi perlindungan sebagian kepentingan konsumen penerapannya perlu mengeluarkan tenaga dan biaya untuk pembuktian peristiwa atau perbuatan melanggar hukum pelaku tindak pidana.

Di dalam KUH Pidana tidak disebutkan kata “ konsumen “. Kendati demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa Pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, antara lain :

a. Pasal 204 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan, menerimakan, atau membagi-bagikan barang, sedang diketahuinya bahwa barang itu berbahaya bagi jiwa atau keselamatan orang dan sifatnya yang


(45)

berbahaya itu didiamkannya dihukum pernjara selama-lamanya lima belas tahun.”

b. Pasal 204 ayat (2) dalam Pasal ini menentukan : “Kalau ada orang mati lantaran perbuatan itu si tersalah dihukum penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.”

c. Pasal 205 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa karena salahnya menyebabkanbarang yang berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang, terjual, diterimakan atau dibagi-bagikan , sedang si pembeli atau yang memperolehnya tidak mengetahui akan sifatnya yang berbahaya itu, dihukum penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau kurungan selamalamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).”

d. Pasal 205 ayat (2) dari Pasal ini menyatakan : “Kalau ada orang mati lantaran itu, maka si tersalah dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”

e. Pasal 205 ayat (3) menyatakan : “Barang-barang itu dapat dirampas.” - Pasal 382 bis menyatakan : “Barangsiapa melakukan perbuatan menipu untuk mengelirukan orang banyak atau seseorang yang tertentu dengan maksud akan mendirikan atau membesarkan hasil perdagangannya atau perusahaannya sendiri atau kepunyaan orang lain, dihukum, karena bersaing curang, dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.13.500,- (tiga belas ribu lima ratus rupiah) jika hal itu


(46)

dapat menimbulkan sesuatu kerugian bagi saingannya sendiri atau saingan orang lain.”

f. Pasal 383 menyatakan : “Dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan dihukum penjual yang menipu pembeli yaitu yang sengaja menyerahkan barang lain daripada yang telah ditunjuk oleh pembeli dan tentang keadaan, sifat atau banyaknya barang yang diserahkan itu dengan memakai alat dan tipu muslihat.”

g. Pasal 386 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan atau minuman atau obat, sedang diketahuinya bahwa barang itu dipalsukan dan kepalsuan itu disembunyikan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.”

h. Pasal 386 ayat (2) dari Pasal ini menyebutkan : “Barang makanan atau minuman atau obat itu dipandang palsu, kalau harganya atau gunanya menjadi kurang sebab sudah dicampuri dengan zat-zat lain.”

i. Pasal 387 ayat (1) menyatakan : “Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum seorang pemborong atau ahli bangunan dari suatu pekerjaan atau penjual bahan-bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan-bahan bangunan itu melakukan suatu alat tipu, yang dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan negara pada waktu ada perang.”

j. Pasal 387 ayat (2) dari Pasal ini mengatur dengan hukuman itu juga dihukum : “ Barangsiapa diwajibkan mengawas-ngawasi pekerjaan atau penyerahan bahan-bahan bangunan itu dengan sengaja membiarkan akal tipu tadi.”


(47)

k. Pasal 390 menyatakan : “Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.”

Pasal 204 dan 205 KUHPidana dimaksudkan adalah jika pelaku usaha melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, sedang pelaku usaha itu mengetahui dan menyadari bahwa barang-barang itu berbahaya bagi jiwa atau kesehatan si pemakai barang dimana pihak pelaku usaha (produsen) tidak mengatakan atau menjelaskan tentang sifat bahaya dari barangbarang tersebut, tapi jika pelaku usaha yang akan menjual barang yang berbahaya bagi jiwa dan kesehatan, mengatakan terus terang kepada konsumen tentang sifat berbahaya itu maka tidak dikenakan pasal ini.

Dalam UUPK hal ini tercantum dalam Pasal 18. Barang-barang yang termasuk dalam Pasal 204 dan 205 KUHPidana tersebut misalnya makanan, minuman, alat-alat tulis, bedak, cat rambut, cat bibir dan sebagainya. Sedangkan dalam Pasal 382 bis dan 383, 387, 390 KUHPidana dalam Pasal 382 bis, yaitu adanya persaingan yang curang dimana pelaku usaha melakukan suatu perbuatan menipu konsumen baik konsumen itu terdiri dari publik atau seorang yang tertentu. Perbuatan itu dilakukan untuk menarik suatu keuntungan di dalam perdagangan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha lainnya.

Pasal 383 adanya perbuatan penjual menipu pembeli misalnya saja kualitas/mutu suatu barang dimana penjual barangnya yang sudah lama/tua


(48)

kepada pembeli dan mengatakannya pada pembeli bahwa barang tersebut adalah barang baru.

Pasal 386 adanya perbuatan yang dilakukan oleh penjual dengan menjual barang palsu dan kepalsuan tersebut disembunyikan oleh pihak penjual. Misalnya penjual memalsukan barang makanan atau minuman dengan cara membuat barang lain yang hampir serupa, atau menyampurinya dengan bahan-bahan lain sehingga harga, kekuatan, guna atau kemanjurannya dapat berkurang.

Pasal 387 adanya perbuatan penipuan yang dilakukan pihak pemborong atau ahli bangunan yang dapat membahayakan jiwa orang lain, misalnya suatu gedung yang baru dibangun, roboh karena tidak kuatnya pondasi dari bangunan, hal ini bisa terjadi karena bahan-bahan yang digunakan tidak memadai hal tersebut terjadi karena adanya perbuatan penipuan dari seorang pemborong atau ahli bangunan, sehingga merugikan masyarakat.

Pasal 390 adanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu menyiarkan kabar bohong yaitu dengan cara mempromosikan atau mengiklankan harga atau tarif suatu barang/jasa, tanggung atau jaminan, hak ganti rugi atau suatu barang dan jasa, adanya penawaran potongan harga atau hadiah menarik. Sanksi pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 61, 62 dan 63.

Pasal 61 :

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya Ketentuan ini jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak daja dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan. Hal ini menurut Nurmandjito merupakan upaya yang bertujuan menciptakan


(49)

sistem bagi perlindungan konsumen.43 Melalui ketentuan Pasal ini perusahaan dinyatakan sebagai subjek hukum pidana.

Pasal 62 :

(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap

atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Ketentuan Pasal 62 ini memberlakukan dua aturan hukum sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sementara di luar dari tingkat pelanggaran tersebut berlaku ketentuan pidana tersebut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, terhadap ilustrasi yang dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 61 sebelumnya, persoalan pidananya diselesaikan berdasarkan ketentuan KUHP sepanjang akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh PT sebagai subjek hukum, memenuhi kualifikasi luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian konsumen. Hal lain yang juga dapat diketahui dari ketentuan ini, bahwa sanksi pidana yang dikenal dalam Undang-Undang Perlindungan

43

Nurmandjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting


(50)

Konsumen ada 2 (dua) tingkatan, yaitu sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah), dan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Khusus menyangkut istilah pelanggaran yang dipergunakan dalam rumusan Pasal 62, khususnya Pasal 62 ayat (3) masih perlu ditinjau kembali karena akibat-akibat dari pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) tersebut, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikualifikasi sebagai kejahatan.

Sanksi pidana yang berupa denda sebagaimana dikemukakan diatas, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk dalam jenis hukuman pokok, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 10 yang menentukan bahwa : Hukuman-hukuman ialah :

a. Hukuman-hukuman pokok : 1. Hukuman mati,

2. Hukuman penjara, 3. Hukuman kurungan, 4. Hukuman denda.

b. Hukuman-hukuman tambahan ; 1. Pencabutan beberapa hak tertentu, 2. Perampasan barang tertentu 3. Pengumuman keputusan hakim.


(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN INDUSTRI RUMAH TANGGA TANPA IZIN DINAS KESEHATAN

(STUDI KASUS DI BPOM MEDAN) Viola Bungaran MS *

Hasim Purba ** Rosnidar Sembiring ***

Peran industri rumah tangga akan semakin penting apabila di sektor pertanian terjadi pergeseran dan mekanisme di bidang usaha tani, keadaan ini akan memungkinkan sebagai alternatif yang dapat diambil adalah memasuki industri kecil atau industri rumah tangga. Pilihan tersebut sesuai dengan kenyataan yang ada bahwa industri kecil tidak membutuhkan pendidikan dan keterampilan tinggi serta modal yang dibutuhkan relatif kecil.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hukum perlindungan konsumen?Bagaimana Ketentuan Izin Dinas Kesehatan Tentang Industri Rumah Tangga Dalam Kaitannya Dengan Asas Perlindungan Konsumen?bagaimanakah ketentuan izin dinas kesehatan dan industri rumah tangga? dan pertanggungjawaban produsen yang tidak memiliki izin dinas kesehatan?Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian dan pembahasan yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dikaitkan dengan teori hukum.

Perlindungan konsumen terhadap peredaran produk pangan produksi industri rumah tangga adalah konsumen apabila ada yang mengalami kerugian akibat mengonsumsi produk pangan olahan Industri Rumah Tangga yang tidak memiliki izin hanya terbatas melakukan serangkaian penyelidikan untuk mengetahui penyebab kerugian dan menanggung biaya pemeriksaan sampel produk makanan yang telah dikonsumsi oleh konsumen di laboratorium. Izin produksi terhadap suatu produk pangan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum produk pangan tersebut beredar di masyarakat yang dijelaskan dalam Keputusan Kepala BPOM No. HK. 00.05.5.1640 tahun 2003 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, Gizi dan Pangan Pasal 43 ayat (2). Pertanggungjawaban produsen makanan khususnya Industri Rumah Tangga yang tidak memiliki izin dari Dinas Kesehatan terhadap konsumen atas produknya yang beredar di pasaran, bahwa berdasarkan wawancara penulis bahwa produsen hanya terbatas pada lebih memperhatikan lagi bahan baku yang digunakan dalam mengolah produknya. Apabila terjadi kerugian terhadap konsumen baik itu kerugian materi maupun fisik maka upaya yang biasa ditempuh oleh produsen yaitu selain menarik produknya yang beredar di pasaran maka produsen juga memberikan ganti kerugian sesuai dengan apa yang diinginkan oleh konsumen.


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, dan berkat Rahmat serta Maghfirahnya, pada saat ini masih diberikan-Nya kesempatan yang tidak terhingga untuk dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN INDUSTRI RUMAH TANGGA TANPA IZIN DINAS KESEHATAN (STUDI KASUS DI BPOM MEDAN), sebagai tugas akhir untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum ( S1 ) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Selama penelitian berlangsung, banyak pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH.,M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan,SH.,M.H, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni,SH.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr.H.Hasim Purba,SH.,M.Hum, selaku Ketua Departermen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I, yang telah banyak membantu, memberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi penulis.


(3)

6. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak mmeberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi penulis.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada penulis selama menjadi mahasiswi.

8. Seluruh Dosen/Staf Pengajar dan Pegawai yang memberikan partisipasinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Teristimewa kepada kedua orang tuaku tercinta Ir. Edison Sibuea,dan Dra. Yulinda Nainggolan yang selalu memberikan bantuannya baik secara moril maupun materil, mendukung dalam segala bidang untuk mendorong selesainya kuliah hingga Skripsi ini.

10.Teristimewa juga kepada Adikku Stefano Sibuea yang selalu memberikan motivasi sehingga skripsi ini selesai.

11.Buat sahabat-sahabat yang terdekat yang selalu memberi semangat kepada penulis selama perkuliahan dan penulisan skripsi ini (Yolanda, Egi, Erma, Ely, Pratica dan Satilda)

12.Kepada seluruh pegawai di BPOM Kota Medan, yang telah membantu penulis dalam memberikan data untuk menyelesaikan skripsi ini.

13.Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis memahami berbagai kelemahan dan kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu diharapkan saran dan kritikan yang membangun. Demikianlah sebagai


(4)

kata pengantar yang penulis sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat dan menambah wawasan Ilmu Pengetahuan bagi semua pihak. Mohon maaf segala kekurangan, penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2013 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Keaslian Penulisan ... 6

F. Metode Penelitian ... 6

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 11

A. Pengertian Produsen dan Konsumen ... 11

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen... 13

C. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 22

D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 37

BAB III KETENTUAN IZIN DINAS KESEHATAN DAN INDUSTRI RUMAH TANGGA ... 44

A. Izin Dinas Kesehatan ... 44

1. Pengertian Izin ... 44

2. Pengertian Izin Dinas Kesehatan ... 46


(6)

4. Syarat-Syarat Izin Dinas Kesehatan ... 48

B. Industri Rumah Tangga ... 51

1. Pengertian Industri Rumah Tangga ... 51

2. Jenis Makanan dan Minuman Rumah Tangga ... 54

3. Izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ... 59

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN YANG TIDAK MEMILIKI IZIN DINAS KESEHATAN ... 60

A. Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi Dalam Perlindungan Hukum Konsumen ... 60

B. Tanggung Jawab Perdata Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan ... 66

C. Tanggung Jawab Pidana Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan ... 83

D. Tanggung Jawab Administrasi Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan ... 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 102 DAFTAR PUSTAKA