Psychological Well-Being Korban Perkosaan Yang Membesarkan Anak Hasil Perkosaan

(1)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING KORBAN PERKOSAAN YANG MEMBESARKAN ANAK HASIL PERKOSAAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

oleh

CHRISTY RUTH TITIARI NAINGGOLAN

071301093

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Psychological Well-Being

Korban Perkosaan yang Membesarkan Anak Hasil Perkosaan

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 04 November 2011

CHRISTY RUTH TITIARI NAINGGOLAN


(3)

Psychological Well-Being

Korban Perkosaan yang Membesarkan Anak Hasil Perkosaan Christy Ruth Titiari Nainggolan dan Rodiatul Hasanah Siregar

ABSTRAK

Perkosaan merupakan bentuk kejahatan dengan tingkat kekejaman yang sangat tinggi karena merendahkan harkat manusia dan menggoreskan dampak traumatis bagi korban sepanjang hidupnya (Kusumah, 1995). Dampak traumatis yang dirasakan korban mencakup fisik, psikologis, dan sosial. Kehamilan menjadi salah satu dampak rumit perkosaan (Hernawati, 2010). Bagi korban perkosaan yang memutuskan untuk melahirkan dan membesarkan anak hasil perkosaan tersebut untuk menjalani kehidupannya tidak mudah. Proses yang dilalui mereka dalam menjalani hidup setiap hari melibatkan seluruh keadaan psikologisnya. Untuk melewati proses tersebut, psychological well-being sangat berperan penting. Ryff (1989) mengatakan bahwa psychological well-being memiliki enam dimensi yakni penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk melihat gambaran psychcological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan tersebut. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah dua orang. Teknik pengambilan responden dilakukan dengan teknik

purposive sampling. Lokasi penelitian dilakukan di kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden memiliki

psychological well-beng yang tinggi. Mereka sudah mampu menerima status

dirinya sebagai korban perkosaan dan ibu dari anak hasil perkosaan tersebut. Hubungan kedua responden dengan lingkungan sosial tetap terjalin dengan baik. Mereka sudah mampu untuk menentukan nasibnya sendiri. Mereka mampu mengontrol dan menciptakan lingkungannya sesuai dengan kebutuhannya. Mereka sudah memiliki tujuan hidup yang jelas dan langkah-langkah untuk mencapai tujuan hidup tersebut. Mereka juga mampu mengembangkan dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Hasil tambahan penelitian ini antara lain religiusitas menjadi faktor terkuat kedua responden memiliki psychological

well-being yang tinggi dan kehadiran anak menjadi sumber kebahagiaan di hidup

mereka.

Kata kunci : psychological well-being, korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan


(4)

Psychological Well-Being

Rape Victims Who Raise The Children Of Rape

Christy Ruth Titiari Nainggolan and Rodiatul Hasanah Siregar

Abstract

Rape is a crime with a very high degree of cruelty because of degrading human dignity and inscribe traumatic for the victims throughout their life (Kusumah, 1995). Traumatic impact of perceived victims include physical, psychological, and social. Pregnancy to be a complicated impact of raping (Hernawati, 2010). The life is hard to the rape victims who decides to give birth and raise the children of rape. The psychological involved as they through their every lifetime’s process. Psychological well-being is the very important role to pass that process. Ryff (1989) says that the psychological well-being has six dimentions namely self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth.

With the qualitative methods, this study aim to see depiction of well-being psychological of rape victims who are raising the child of a rape. Number of respondents in this study is two. Retrieval of respondents by purposive sampling technique. Location of the research is in Medan.

The results showed that both respondents had high psychological well-being. They've been able to accept her status as a victim of rape and the mother of the child of a rape. Relations between the two respondents to the social environment remains well maintained. They've been able to determine their own destiny. They are able to control and create the environment in accordance with their needs. They have a clear life goals and ways to set those life goals. They are also able to develop themself to become a better person. Additional results of this study shows that religiosity became the second strongest factor of the respondents to have a high psychological well-being and the children’s presence to be a source of happiness in their lives.

Keywords : psychological well-being, rape victims who raise the children of rape


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan kepada Tuhan Yesus karena kasih dan penyertaanNya sehingga peneliti dimampukan untuk menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Psychological Well-Being Korban Perkosaan yang Membesarkan Anak Hasil Perkosaan” guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Peneliti juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta papi (T.Nainggolan), mami (D.Naibaho), adik-adik (Margareth, Daniel, Dian, dan Angel), dan seluruh keluarga besar peneliti yang senantiasa memberikan doa, dukungan, dan semangat selama penyusunan penelitian ini.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan pihak lain maka peneliti tidak mampu menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian ini. Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing peneliti dari awal penelitian hingga selesai. Terima kasih sebesar-besarnya atas bimbingan, saran, arahan, dan waktu yang diluangkan.


(6)

3. Kak Juliana Irmayanti, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing peneliti dari awal masuk kuliah hingga selesai. Terima kasih atas bimbingan, saran, arahan, dan waktu yang diluangkan. 4. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara. Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan.

5. Sahabat-sahabat terbaikku di kampus Psikologi, anak-anak Jabiron Community (Muthia Sheila Ayu, Margareth Simanjuntak, Imelvi Putri, M.Ali Syahril, dan Ahmad Junaedi Pulungan). Terima kasih buat kebersamaan dan semangatnya selama peneliti menyusun skripsi hingga selesai. Sukses buat kita semua dan impian kita membangun biro Psikologi berdiri tahun 2014. 6. Teman-teman satu dosen PA Kak Juli (Nela, Ali, Erni, Benny, Veroika,

Aurora, Tyas, Noni dan Sheila). Terima kasih untuk kebersamaan selama empat tahun dari semester awal sampai sekarang. Semoga kebersamaan kita terus terjalin.

7. Teman-teman masa kecilku (Tutur Aritonang, Petrus Sirait, Reni Maria, Lando Panjaitan, Maira Antika, Rafika Aruan, Siti Amsyah, Lintong Sitanggang, Afrida Hutahean) dan sahabat-sahabat BFF (Patrecia Simatupang, Ridho Sitanggang, dan Yuyun Galingging), terima kasih buat kebersamaan dan semangatnya selama peneliti menyusun skripsi hingga selesai. Semoga persahabatan kita tetap terjalin selamanya.

8. Teman-teman seperjuangan Psikologi angkatan 2007 (terkhusus Adeline, Deby Isabela, Feny Kurniawan, Indah, dan Nuzulia), seluruh senior (terkhusus kak Putri Aulia 06, kak Dinda 05, kak Citra 05, kak Yuni 05, kak Fida 04, dan


(7)

kak Priska 06), dan seluruh junior angkatan 2008, 2009, dan 2010. Terima kasih buat kebersamaan, dukungan, bantuan, dan saran kepada peneliti.

9. Anak-anak XII IPA 2 SMA Cahaya angkatan 2004, walaupun kita sudah terpisah-pisah tapi tetap hati kita terus bersatu. Terima kasih buat semangat dan dukungannya sobat-sobat. Sukses buat kita semua.

10. Para responden penelitian (kak Indah dan kak Mawar) yang telah bersedia diwawancarai. Tanpa kalian penelitian ini tidak akan berjalan.

11. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian penelitian ini yang tidak bisa disebutkan oleh peneliti satu per satu. Terima kasih buat segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan.

Seluruh isi penelitian ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab peneliti. Peneliti menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak guna penyempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, 04 November 2011

Peneliti


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Rumusan Masalah ... 10

I.C. Tujuan Penelitian ... 10

I.D. Manfaat Penelitian ... 10

I.D.1. Manfaat Teoritis ... 10

I.D.2. Manfaat Praktis ... 11


(9)

BAB II LANDASAN TEORI

II.A. Psychological Well-Being ... 13

II.A.1. Definisi Psychological Well-Being ... 13

II.A.2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being ... 14

II.A.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being ... 18

II.B. Perkosaan ... 20

II.B.1. Pengertian Perkosaan ... 20

II.B.2. Jenis-Jenis Perkosaan ... 21

II.B.3. Pengertian dan Jenis-Jenis Korban Perkosaan ... 22

II.B.3.i. Pengertian Korban Perkosaan ... 22

II.B.3.ii. Jenis-Jenis Korban Perkosaan ... 23

II.B.4. Dampak-Dampak Perkosaan... 24

II.C. Psychological Well-Being Korban Perkosaan yang Membesarkan Anak Hasil Perkosaan ... 27


(10)

BAB III METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif ... 30

III.B. Responden Penelitian ... 31

III.B.1. Karakteristik Responden Penelitian ... 31

III.B.2. Jumlah Responden Penelitian ... 32

III.B.3. Teknik Pengambilan Responden ... 32

III.B.4. Lokasi Penelitian ... 32

III.C.Metode Pengumpulan Data ... 33

III.D.Alat Bantu Pengumpulan Data ... 33

III.E. Kredibilitas Penelitian ... 35

III.F. Prosedur Penelitian ... 36

III.F.1. Tahap Persiapan Penelitian ... 36

III.F.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 39

III.F.3. Tahap Pencatatan Data ... 41

III.F.4. Prosedur Analisa Data ... 41


(11)

IV.A.1. Observasi Umum Responden I ... 45

IV.A.1.i. Observasi Lingkungan Rumah Responden I .. 46

IV.A.1.ii. Observasi Selama Wawancara ... 48

IV.A.2. Riwayat Responden I ... 56

IV.A.3. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being ... 62

IV.A.3.i. Penerimaan Diri ... 62

IV.A.3.ii. Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 66

IV.A.3.iii. Otonomi ... 73

IV.A.3.iv. Penguasaan Lingkungan ... 78

IV.A.3.v. Tujuan Hidup ... 83

IV.A.1.vi. Pertumbuhan Pribadi ... 86

IV.A.4. Interpretasi Intra Responden I ... 89

IV.B. Responden II...98

IV.A.1. Observasi Umum Responden II ... 98

IV.A.1.i.Observasi Lingkungan Rumah Responden II . 98 IV.A.1.ii. Observasi Selama Wawancara ... 101


(12)

IV.A.3. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being ... 114

IV.A.3.i. Penerimaan Diri ... 114

IV.A.3.ii. Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 118

IV.A.3.iii. Otonomi ... 122

IV.A.3.iv. Penguasaan Lingkungan ... 125

IV.A.3.v. Tujuan Hidup ... 129

IV.A.1.vi. Pertumbuhan Pribadi ... 134

IV.A.4. Interpretasi Intra Responden I ... 136

IV.C. Pembahasan ... 146

IV.D. Hasil Tambahan ... 152

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.A. Kesimpulan ... 159

V.B. Saran ... 161

V.B.1. Saran Praktis ... 161

V.B.2. Saran Penelitian Lanjutan ... 161

DAFTAR PUSTAKA ... 162


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 40

Tabel 2 Deskripsi Data Responden I ... 45

Tabel 3 Analisa Psychological Well-Being Responden I ... 95

Tabel 4 Deskripsi Data Responden II ... 98

Tabel 5 Analisa Pychological Well-Being Responden II ... 143


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 Informed Consent Responden I

Lampiran 3 Informed Consent Responden II


(15)

Psychological Well-Being

Korban Perkosaan yang Membesarkan Anak Hasil Perkosaan Christy Ruth Titiari Nainggolan dan Rodiatul Hasanah Siregar

ABSTRAK

Perkosaan merupakan bentuk kejahatan dengan tingkat kekejaman yang sangat tinggi karena merendahkan harkat manusia dan menggoreskan dampak traumatis bagi korban sepanjang hidupnya (Kusumah, 1995). Dampak traumatis yang dirasakan korban mencakup fisik, psikologis, dan sosial. Kehamilan menjadi salah satu dampak rumit perkosaan (Hernawati, 2010). Bagi korban perkosaan yang memutuskan untuk melahirkan dan membesarkan anak hasil perkosaan tersebut untuk menjalani kehidupannya tidak mudah. Proses yang dilalui mereka dalam menjalani hidup setiap hari melibatkan seluruh keadaan psikologisnya. Untuk melewati proses tersebut, psychological well-being sangat berperan penting. Ryff (1989) mengatakan bahwa psychological well-being memiliki enam dimensi yakni penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk melihat gambaran psychcological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan tersebut. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah dua orang. Teknik pengambilan responden dilakukan dengan teknik

purposive sampling. Lokasi penelitian dilakukan di kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden memiliki

psychological well-beng yang tinggi. Mereka sudah mampu menerima status

dirinya sebagai korban perkosaan dan ibu dari anak hasil perkosaan tersebut. Hubungan kedua responden dengan lingkungan sosial tetap terjalin dengan baik. Mereka sudah mampu untuk menentukan nasibnya sendiri. Mereka mampu mengontrol dan menciptakan lingkungannya sesuai dengan kebutuhannya. Mereka sudah memiliki tujuan hidup yang jelas dan langkah-langkah untuk mencapai tujuan hidup tersebut. Mereka juga mampu mengembangkan dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Hasil tambahan penelitian ini antara lain religiusitas menjadi faktor terkuat kedua responden memiliki psychological

well-being yang tinggi dan kehadiran anak menjadi sumber kebahagiaan di hidup

mereka.

Kata kunci : psychological well-being, korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan


(16)

Psychological Well-Being

Rape Victims Who Raise The Children Of Rape

Christy Ruth Titiari Nainggolan and Rodiatul Hasanah Siregar

Abstract

Rape is a crime with a very high degree of cruelty because of degrading human dignity and inscribe traumatic for the victims throughout their life (Kusumah, 1995). Traumatic impact of perceived victims include physical, psychological, and social. Pregnancy to be a complicated impact of raping (Hernawati, 2010). The life is hard to the rape victims who decides to give birth and raise the children of rape. The psychological involved as they through their every lifetime’s process. Psychological well-being is the very important role to pass that process. Ryff (1989) says that the psychological well-being has six dimentions namely self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth.

With the qualitative methods, this study aim to see depiction of well-being psychological of rape victims who are raising the child of a rape. Number of respondents in this study is two. Retrieval of respondents by purposive sampling technique. Location of the research is in Medan.

The results showed that both respondents had high psychological well-being. They've been able to accept her status as a victim of rape and the mother of the child of a rape. Relations between the two respondents to the social environment remains well maintained. They've been able to determine their own destiny. They are able to control and create the environment in accordance with their needs. They have a clear life goals and ways to set those life goals. They are also able to develop themself to become a better person. Additional results of this study shows that religiosity became the second strongest factor of the respondents to have a high psychological well-being and the children’s presence to be a source of happiness in their lives.

Keywords : psychological well-being, rape victims who raise the children of rape


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG MASALAH

“..Pada suatu malam, beberapa tahun yang lalu, saya mengalami sesuatu yang membuat hidup saya berantakan, semua harapan saya musnah, dan semua cita-cita saya juga tidak lagi bisa saya dapatkan. Saya diperkosa oleh seorang pemuda asing yang menawarkan minuman kepadaku, saya pikir dia baik namun semuanya terbalik! Saat saya sadar akan keberadaan saya, saya sudah ada di sebuah kamar disebuah hotel. Dan pakaian saya yang semula licin, sudah jadi berantakan. Terus saya lihat isi tas saya sudah keluar, dan saya lihat dompet saya sudah ada di meja. Ada beberapa lembar uang ribuan yang ditinggal sama pemuda ini. Dengan tubuh yang merasa sakit sekali, aku berjalan tertatih-tatih meninggalkan hotel tersebut. Saat saya mengetahui keadaan saya positif hamil, itu saya baner-benar nggak terima dengan keadaan saya. Kenapa semua harus terjadi? Kenapa semua harus saya alami? Saya diam selama satu bulan dan tidak mau melakukan segala sesuatu. Saya hanya bisa merenung dan menangis. Kadang kalau saya sudah terlalu sedih, ibu saya kadang sering mendapatkan saya seperti orang gila, tersenyum dan tertawa sendirian. Kalau mengingat masa itu, bingung sendiri. Mungkinkah itu saya? Masa' saya seperti itu? Rasanya nggak mau terima apa yang ada di dalam tubuhku. Gak mau nerima!Jijik,benci! Saya merasa ini bukan apa yang kukehendaki! Kenapa ini harus terjadi dalam kehidupan saya?..”

(dikutip dari Saya Lahirkan Anak Hasil Perkosaan, 17 Januari 2005) Sepenggal kisah hidup Kartini, seorang korban perkosaan orang yang tidak dikenal dan membuahkan kehamilan adalah satu dari sekian banyak kasus perkosaan yang terjadi di tanah air. Istilah perkosaan sendiri berasal dari bahasa Latin yakni raptus yang mendefenisikan tindakan seorang laki-laki dalam merusak kepemilikan seorang perempuan (Smith, 2004). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, istilah perkosaan diartikan sebagai tindakan pemaksaan hubungan kelamin atau persetubuhan seorang pria terhadap seorang wanita (Poerwadarminta, 1984).


(18)

Kasus perkosaan sendiri mendapat banyak sorotan dari media massa (baik cetak maupun elektronik) dan beritanya selalu menjadi topik utama yang menarik untuk dibaca masyarakat. Berdasarkan data Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Sumatera Utara, dari 256 kasus yang terjadi sepanjang tahun 2009 kasus perkosaan mendominasi kasus kekerasan yang terjadi di Sumatera Utara. Dari rekapitulasi data PKPA tersebut dinyatakan bahwa tindakan perkosaan di Sumatera Utara mencapai 43 kasus (17%) (dikutip dari Waspada Online, 5 Februari 2010).

Hernawati selaku Ketua Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Anak LSM Kabupaten Bangka mengatakan tidak seorang pun pernah membayangkan akan menjadi korban perkosaan, namun kenyataannya perkosaan dapat menimpa siapa saja dimana sebagian besar korban adalah kaum perempuan, tidak mengenal status sosial, usia, dan ras (dikutip dari Bangkapos, 4 Feburari 2010). Perkosaan dilakukan oleh orang yang sangat dikenal korban, misalnya kekasih, saudara, guru bahkan pemuka agama sedangkan pada kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang yang baru dikenal atau sama sekali tidak dikenal korban. Perkosaan juga sering dilakukan oleh ayah (kandung/tiri) terhadap anak perempuannya yang dikenal dengan istilah incest (Smith, 2004).

Seperti yang dialami Marina (20), wanita asal Bogor yang diperkosa oleh ayah kandungnya selama 5 tahun, ia mengatakan :

“..Aku ga nyangka bapak kandungku sendiri yang tega merenggut kegadisanku..bapak selalu memperkosaku di rumah setiap kali ibu pergi entah kemana bahkan ketika ibu tidur” (dikutip dari forum vivanews, 29 September 2009)


(19)

Perkosaan memberikan dampak traumatis bagi korbannya. Dampak traumatis perkosaan yang dialami korban dirasakan sesaat terjadinya perkosaan bahkan sampai sepanjang sisa hidupnya (Ehrlich, 2001). Dampak traumatis yang dialami korban perkosaan mencakup fisik, psikologis, dan sosial. Dampak fisik mencakup kehilangan keperawanan, terkena penyakit menular seksual, terkena HIV-AIDS bahkan kehamilan yang tidak dikehendaki. Dampak psikologis mencakup trauma, depresi, sleep disorder, merasa terhina, marah, malu, menyalahkan diri, alcohol abuse bahkan sampai melakukan tindakan bunuh diri. Dampak sosial mencakup menarik diri dari lingkungan, dikucilkan oleh lingkungan, sulit membina hubungan dengan pria, dan menghindari setiap pria (dalam Supardi & Sadarjoen, 2006).

Ketiga dampak perkosaan tersebut dirasakan oleh seorang wanita berinisial M (40), korban perkosaan di tempat parkir Marriot Hotel & Spa di Stamford tahun 2006, ia mengungkapkan :

"..Setelah penyerangan itu, kelamin saya sakit kali. Saya menjadi mayat hidup. Saya tidak bisa makan, saya tidak bisa tidur, saya tidak bisa berpikir, saya tidak bisa mengendari mobil, saya tidak bisa berkata-kata. Saya mengurung diri di dalam rumah. Menghabiskan banyak waktu di kamar mandi, untuk membersihkan diri, lalu menangis sepuasnya..” (dikutip dari WaspadaOnline, Agustus 2009)

Dampak traumatis perkosaan lainnya juga dirasakan oleh Reese (27), warga negara Jerman yang merasa hidupnya hancur setelah dijebak dan diperkosa oleh sahabatnya sendiri, ia mengatakan :

“..Karena depresi yang berat, aku mencoba untuk bunuh diri. Aku mulai makan yang banyak, berat badanku naik sampai 50 pounds. Aku juga mulai merokok, padahal aku tidak pernah merokok sebelumnya. Aku merokok sampai 3 bungkus perhari. Aku sadar bahwa aku benar-benar


(20)

mencoba untuk membunuh hal-hal yang paling menyakitkanku, dan itu adalah diriku sendiri..” (dikutip dari Maaf Bagi Masa Silam, Januari 2005) Penelitian yang dilakukan oleh Katie M.Edwards dkk (2009) juga berkaitan dengan dampak sexual assault termasuk tindak perkosaan. Penelitian dilakukan pada 1056 mahasiswi yang pernah mengalami sexual assault pada masa anak-anak atau dewasa, diperoleh hasil bahwa sebagian besar korban cenderung memiliki reaksi emosi negatif (marah, terkejut, menangis), self-blame yang tinggi, dan putus asa terhadap masa depan ketika dihadapkan pada hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa perkosaan yang dialaminya.

Anderson (2007) juga melakukan penelitian mengenai pandangan korban perkosaan di mata masyarakat, 119 mahasiswa (62 wanita dan 57 pria) dari

University of East London terlibat dalam eksperimen penelitian ini diminta untuk

mendeskripsikan korban perkosaan, diperoleh hasil bahwa wanita sebagai korban perkosaan lebih distigma negatif dibanding bila pria yang menjadi korban perkosaan, hal ini dipengaruhi besar oleh mitos-mitos mengenai perkosaan.

Hasil penelitian Edward dan Anderson didukung dengan pernyataan Susan (23), korban perkosaan dari orang yang tak dikenal di Batam, ia mengatakan :

“..Aku benci jika mengingat semua itu, lebih baik mati aja! Bodohnya aku sampai mau saja mengikuti kata pria kurang ajar itu!Bodoh, bodoh! Udahlah ga ada lagi harapanku hidup di dunia, hancur semua hancur! Mana ada pria yang mau menerima aku yang jelas-jelas ga perawan lagi. Malu! Aku ga berani keluar kamar, malu dengan bapak mamak, apalagi tetanggaku! Mereka anggap bahwa aku wanita kotor, hina! Aku benci dengan mereka semua..” (dikutip dari harian BatamPos, September 2007). Berbagai pernyataan di atas berkaitan dengan psychological well-being.

Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas


(21)

wanita korban perkosaan memiliki psychological well-being yang rendah (2,95%) dibanding wanita normal (bukan korban perkosaan) (3,41%). Hasil yang diperoleh bahwa wanita korban perkosaan cenderung memiliki tingkat personal distress tinggi, cenderung melakukan alcohol abuse, menjadi orang yang sangat sensitif terhadap evalusi, serta tidak mampu membuat keputusan terhadap kehidupannya.

Dari berbagai dampak buruk yang dialami korban perkosaan, terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki menjadi dampak yang paling rumit (Rifka, 1997). Ketika kehamilan terjadi, wanita korban perkosaan hanya memiliki dua pilihan yaitu menggugurkan atau mempertahankan. Sebagian korban perkosaan akan melakukan aborsi dengan alasan janin tersebut tidak dikehendaki dan berasal dari orang jahat, namun sebagian lainnya berpikir siapa pun ayah dari janin tersebut, bagaimana cara janin tersebut terbentuk, dia adalah ciptaan Tuhan yang suci dan layak untuk dijaga serta dilindungi (Hayati, 2000). Bila korban perkosaan memutuskan untuk tetap melahirkan, tidak mudah untuk menerima kenyataan bahwa bayi yang dilahirkan adalah hasil perkosaan (Alters, 2010).

Pernyataan di atas didukung oleh Lori (25), korban perkosaan oleh kekasihnya sewaktu duduk di bangku perkuliahan, ia mengatakan :

“..terkejut, marah, benci, dan stress menghantuiku, namun apa boleh buat satu kehidupan manusia di rahimku harus ku tanggungjawabi, kehamilanku pun didukung oleh keluargaku, sampai akhirnya aku melahirkan Jason ke dunia, anak laki-laki tampan yang sebenarnya kelahirannya tidak aku hendaki..”(dikutip dari harian Sydney Morning

Herald, 26 November 2008)

Beberapa alasan wanita korban perkosaan untuk tetap mempertahankan janin hasil perkosaan dapat dijelaskan dari sudut pandang agama, medis, dan hukum. Menurut seorang tokoh agama Katolik, Frans Magnis Suseno (dalam


(22)

Kompas, 2004) mengatakan setiap agama melarang keras dilakukan aborsi karena aborsi mematikan sebuah kehidupan baru, anak harus dijaga dan dicintai dengan sepenuh hati sebab anak merupakan pemberian terindah dari Tuhan.

Hal senada diungkapkan oleh Martha (35), warga Italia yang melahirkan Monika, anak hasil perkosaan pria berkulit hitam, ia mengatakan :

“..Awalnya aku berpikir untuk aborsi! Apalagi aku sudah memiliki suami dan jelas aku tidak mau hamil bukan dari benih suamiku. Namun suamiku menguatkan aku untuk tetap mempertahankan janin itu sebab itu adalah anugerah Tuhan yang harus aku lindungi..” (dikutip dari Italian Post, Maret 2002)

Sudut pandang medis dijelaskan oleh seorang seksolog dr.Boyke yang mengatakan bahwa aborsi jika dilakukan akan memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan wanita seperti pendarahan, kanker, kerusakan

cervix, infertility, bahkan kematian (dikutip dari PIK Remaja Al-Hikmah, Agustus

2010). Sudut pandang hukum di tanah air juga melarang keras adanya tindakan aborsi, bahkan pada pasal 346 KUHP mengatakan secara tegas “seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk melakukan itu diancam dengan pidana paling lama empat tahun”.

Pernyataan di atas didukung oleh wanita bernama Dara (22), warga Batam yang merupakan korban perkosaan pria tak dikenal, ia mengatakan :

“..Berat untuk mempertahankan kehamilanku ini, tapi daripada aku aborsi trus ketahuan oleh masyarakat dan polisi lalu aku dipenjara, bagaimana? Nasibku jauh lebih parah, udah aku diperkosa, dipenjara lagi! Sial teruslah hidupku ini..” (dikutip dari BatamPos, Januari 2006)

Pada dasarnya seorang wanita memiliki rasa keibuan yang bersifat alami, jauh dari lubuk hatinya selalu ada kasih dan kekuatan. Keputusan untuk melahirkan anak hasil perkosaan adalah kemenangan atas kejahatan perkosaan.


(23)

Keputusan tersebut akan membawa korban perkosaan untuk selalu mengingat keberanian dan kemurahan hatinya dibandingkan ketakutan dan rasa malu yang ia hadapi sebagai bekas korban perkosaan (Ehrlich, 2001).

Pernyataan di atas didukung oleh Yusti (27), korban perkosaan oleh sekelompok orang tidak dikenal ketika ia sedang melaksanakan tugas kantor ke Pulau Bintan, ia mengatakan :

“..awalnya saya sempat ragu untuk mempertahankan kehamilan tersebut, tapi lama kelamaan saya merasa janin inilah teman saya dalam kesendirian setelah peristiwa itu, apapun ceritanya saya harus mempertahankannya, suka-tidak suka lingkungan terhadap kehadirannya. Hari-hari saya semakin bahagia ketika saya bisa bersamanya terlebih ketika ia saya lahirkan ke dunia ini. Saya kembali mampu menata kehidupan bersama anak saya. Bagi saya, ia adalah kado terindah dari Tuhan” (dikutip dari Kick And, 3 Juli 2009).

Derita kehamilan akibat perkosaan tidak hanya sembilan bulan saja, tetapi dapat berlangsung sepanjang hidup korban perkosaan. Kondisi untuk tetap mempertahankan dan melahirkan anak hasil perkosaan merupakan proses yang panjang dan tidak mudah untuk dijalani sebab korban perkosaan akan mendapat berbagai tekanan dari dalam dan luar dirinya (Abrar, 1998). Secara pribadi, wanita korban perkosaan akan mengalami depresi, cemas, ketakutan yang luar biasa, mudah marah, merasa tidak berdaya, malu, menarik diri, ditambah lagi lingkungan sosial yang menolak kehadiran wanita dan anak hasil perkosaan karena dianggap sebagai aib akan semakin memperburuk kondisi psikologisnya (Alters, 2010).


(24)

Martha (35) yang juga merasakan tekanan dari pihak keluarga dan lingkungannya setelah memutuskan untuk mempertahankan janin hasil perkosaan, mengatakan :

“..saat itu aku banyak mendapat tekanan dari keluarga, teman-teman kerjaku, tetangga-tetangga dan banyak orang. Terlebih lagi setelah melahirkan Monika, yang jelas-jelas beda warna kulit denganku semakin membuat aku terpojok. Mereka menertawakanku dengan bertanya kenapa Monica berkulit hitam? Anak siapa dia? Untungnya, suamiku terus berada di sampingku untuk menguatkan aku sampai sekarang aku sangat mencintai Monika. Bagiku dia sangat berharga dibanding apapun di dunia ini..” (dikutip dari Italian Post, Maret 2002)

Dr. Susan Mahkorn pada tahun 1981 di USA melakukan penelitian pada wanita yang hamil akibat perkosaan. Dari 37 korban perkosaan, 75-85% membiarkan bayi yang dikandung mereka untuk hidup. Korban mengakui bahwa bayi yang mereka kandung tidak berdosa dan harus dilindungi dari ancaman kematian. Pada bulan-bulan pertama kehamilan memang tumbuh rasa benci dan penolakan kehadiran janin tersebut, namun sikap negatif itu perlahan-lahan akan berubah menjadi sikap positif yakni menerima kehamilan.

Mahkorn juga menemukan wanita yang melahirkan anak hasil perkosaan memiliki dua pilihan yakni membesarkan anak hasil perkosaan tersebut atau memberikan kepada orang lain untuk diasuh. Korban yang memilih untuk memberikan anaknya untuk diasuh orang lain disebabkan tidak mau dihantui bayang-bayang peristiwa perkosaan tersebut melalui wujud anaknya ataupun tidak mau mengganggu kehidupan anak mereka. Mereka ingin menata kembali kehidupan tanpa kehadiran anaknya.

Seperti kisah Y dalam bukunya The Missing Piece, yang juga korban perkosaan lelaki tak dikenal ketika ia berumur 17 taun, ia mengungkapkan :


(25)

“..bayi perempuanku langsung diamankan oleh pihak rumah sakit. Aku tak pernah diberikan kesempatan sebentar pun untuk melihat dia atau memeluknya. Tak pernah sehari pun aku tidak memikirkan keadaan bayi perempuanku yang telah kulahirkan ke dunia. Tetapi aku tidak juga pernah berpikir untuk mencarinya. Aku tidak mau merusak kehidupannya..” Bagi korban perkosaan yang memutuskan untuk membesarkan anak hasil perkosaannya sendiri akan tidak mudah untuk menjalani kehidupannya. Proses yang dilalui oleh mereka dalam menjalani kehidupannya akan melibatkan seluruh keadaan psikologisnya. Untuk melewati proses tersebut, psychological well-being sangat berperan penting karena maka seseorang akan merasa puas dalam hidupnya, bisa mengembangkan dan merealisasikan potensi dalam dirinya dengan adanya psychological well-being (Ryff, 1989).

Jika tadi sebelumnya dikatakan wanita korban perkosaan memiliki

psychological well-being yang buruk, maka setelah melahirkan dan membesarkan

anak hasil perkosaan kondisi psychological well-being akan mengalami perubahan. Psychological well-being sendiri adalah dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri individu yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seorang individu menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-being menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological

well-being menjadi lebih tinggi (Ryff, 1989).

Psychological well-being mencakup enam dimensi, yakni penerimaan diri

(self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positif relation with

others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery),


(26)

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan.

I.B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang dia atas makan permasalahan dalam penelitian adalah “Bagaimana gambaran psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan?”.

I.C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan, menggambarkan, dan mendeskripsikan lebih dalam mengenai psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan.

I.D. MANFAAT PENELITIAN I.D.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis :

a. Memberikan informasi dan menemukan paradigma baru di bidang psikologi khususnya Psikologi Klinis, terutama yang berkaitan dengan

psychological well-being pada korban perkosaan yang membesarkan anak

hasil perkosaan.

b. Menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan.


(27)

I.D.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis :

a. Menggambarkan bagi pembaca mengenai psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan.

b. Memberikan kontribusi bagi wanita korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan untuk terus mengembangkan potensi yang dimilikinya, tidak menjadikan stigma perkosaan dan memiliki anak hasil perkosaan sebagai suatu penghalang untuk merealisasikan potensi yang dimiliki di dalam kehidupannya.

c. Menjadi masukan bagi keluarga korban perkosaan dan lingkungan masyarakat untuk mau menerima keberadaan wanita korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat mengembangkan potensi yang ia miliki dan tidak menstigma ataupun merendahkan korban perkosaan dan anak hasil perkosaan yang dibesarkannya.

I.E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.


(28)

Bab II : Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian. Adapun teori yang akan digunakan berkaitan dengan psychological well-being dan perkosaan, diakhiri dengan paradigma penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat pengumpulan data, prosedur penelitian, kredibilitas (validitas penelitian), dan pengolahan data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi deskripsi data, interpretasi data dari hasil wawancara yang dilakukan, dan membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan yang berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan saran yang berisi saran praktis dan saran untuk penelitian lanjutan dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh, keterbatasan, dan kelebihan penelitian.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING II.A.1. Definisi Psychological Well-Being

Teori psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989.

Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas

hidup sehari-hari. Segala aktifitas yang dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup dinamakan

psychological well-being (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995).

Ryff (dalam Allan Car, 2008) mendefinisikan psychological well-being sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan. Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-being individu menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidup yang akan membuat psychological

well-being individu tersebut menjadi tinggi (Ryff & Keyes, 1995).

Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu


(30)

menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989).

Ryff (1989) menyatakan ada enam dimensi yang membentuk

psychological well-being yakni penerimaan diri (self-acceptance), hubungan

positif dengan orang lain (positif relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

II.A.2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being

Ryff dalam buku Human Development (2000) mengemukakan enam dimensi psychological well-being, yakni :

1. Penerimaan diri (self acceptance)

Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan seseorang menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa lalunya. Seseorang yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya.

Sebaliknya, individu yang menilai negatif diri sendiri menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personalnya


(31)

dan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri atau tidak menerima diri apa adanya (Ryff,1995).

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Hubungan positif yang dimaksud adalah kemampuan individu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi.

Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1995).

3. Otonomi (autonomy)

Otonomi digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain.

Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk mmembuat keputusan penting, serta


(32)

mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu (Ryff, 1995).

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Penguasaan lingkungan digambarkan dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi.

Sebaliknya individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya (Ryff,1995).

5. Tujuan hidup (purpose of life)

Tujuan hidup memiliki pengertian individu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Individu yang tinggi dalam


(33)

merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup.

Sebaliknya individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan (Ryff,1995).

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah.

Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi rendah akan merasakan dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik (Ryff,1995).


(34)

II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Faktor-faktor sosiodemografis yang dapat mempengaruhi psychological

well-being pada diri individu (Ryff, 1989), yakni :

1. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia (Ryff, 1989b, 1991; Ryff & Keyes,1995; Ryff & Singer, 1998c). Ryff membagi kelompok usia ke dalam tiga bagian yakni young (25-29 tahun), mildlife (30-64tahun), dan older (> 65 tahun). Pada individu dewasa akhir (older), memiliki skor tinggi pada dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan penerimaan diri sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup memiliki skor rendah. Individu yang berada dalam usia dewasa madya (mildlife) memiliki skor tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, otonomi, dan hubungan positif dengan orang lain sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan penerimaan diri mendapat skor rendah. Individu yang berada dalam usia dewasa awal (young) memiliki skor tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup sementara pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan otonomi memiliki skor rendah (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001).


(35)

2. Gender

Hasil penelitian Ryff (1989) menyatakan bahwa dalam dimensi hubungan dengan orang lain atau interpersonal dan pertumbungan pribadi, wanita memiliki nilai signifikan yang lebih tinggi dibanding pria karena kemampuan wanita dalam berinteraksi dengan lingkungan lebih baik dibanding pria.Keluarga sejak kecil telah menanamkan dalam diri anak laki-laki sebagai sosok yang agresif, kuat, kasar dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, tidak berdaya, serta sensitif terhadap perasaan orang lain dan hal ini akan terbawa sampai anak beranjak dewasa.

Tidak mengherankan bahwa sifat-sifat streotype ini akhirnya terbawa oleh individu sampai beranjak dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-ornang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki psychological well-being yang tinggi dalam dimensi hubungan positif karena ia dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain (Papalia & Feldman, 2008).

3. Status Sosial Ekonomi

Ryff mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri (dalam Ryan & Decci, 2001). Perbedaan status sosial ekonomi dalam

psychological well-being berkaitan erat dengan kesejahteraan fisik maupun mental


(36)

dibanding individu yang memiliki status sosial yang tinggi (Adler, Marmot, McEwen, & Stewart, 1999).

4. Pendidikan

Pendidikan menjadi satu faktor yang dapat mempengaruhi psychological

well-being. Semakin tinggi pendidikan maka individu tersebut akan lebih mudah

mencari solusi atas permasalahan yang dihadapinya dibanding individu berpendidikan rendah. Faktor pendidikan ini juga berkaitan erat dengan dimensi tujan hidup individu (Ryff, Magee, Kling & Wing, 1999).

5. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme atau kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

II.B. PERKOSAAN

II.B.1. Pengertian Perkosaan

Perkosaan berasal dari bahasa Latin yakni raptus yang digunakan untuk mendefenisikan tindakan seorang laki-laki dalam merusak properti atau kepemilikan seseorang (Smith, 2004). Kusumah (dalam Kompas, 1995) menyatakan bahwa perkosaan dinilai sebagai kejahatan dengan derajat kekejaman


(37)

Bahasa Indonesia, istilah perkosaan adalah pemaksaan hubungan kelamin (persetubuhan) seorang pria terhadap seorang wanita (Poerwadarminta, 1984).

Supardi dan Sadarjoen (2006) menjelaskan bahwa perkosaan adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban.

Berdasarkan beberapa definisi mengenai perkosaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual laki-laki kepada perempuan dapat berupa ancaman secara fisik maupun secara psikologis yang memberikan dampak traumatis dalam hidup korban.

II.B.2. Jenis-Jenis Perkosaan

Menurut Arif (1987), jenis-jenis perkosaan dibedakan berdasarkan kategori pelaku, yakni :

1. Stranger rape

Jenis perkosaan dimana korban tidak mengetahui siapa pelaku perkosaan, biasanya pelaku adalah orang yang tidak dikenal atau orang asing.

2. Acquaintance rape

Jenis perkosaan dimana korban mengetahui siapa pelaku perkosaan walaupun bukan teman dekat ataupun bagian anggota keluarga.


(38)

3. Date rape

Jenis perkosaan dimana pelaku perkosaan tidak lain adalah individu yang menjalin hubungan kekasih dengan korban.

4. Multiple rape

Jenis perkosaan dimana korban diperkosa lebih dari satu pelaku secara bergilir.

5. Marital rape

Jenis perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga dimana pelaku perkosaan adalah suami dan korbannya adalah istri.

II.B.3. Pengertian dan Jenis-Jenis Korban Perkosaan II.B.3.i. Pengertian Korban Perkosaan

Menurut Arif (1987), korban perkosaan adalah seorang wanita yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan. Dari definisi ini dapat diambil beberapa pengertian sebagai berikut :

1. Korban perkosaan harus seorang wanita tanpa batas umur.

2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan, yang artinya tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.

3. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu.


(39)

II.B.3.ii. Jenis-Jenis Korban Perkosaan

Arif (1995) mengatakan jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai berikut :

1. Korban Murni

Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan terjadi.

2. Korban Ganda

Korban perkosaan selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial, misalnya ; mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain.

3. Korban Semu

Korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku, berlagak diperkosa dengan tujuan mendapat sesuatu atau keuntungan dari pihak pelaku. Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena kehendaknya sendiri. Namun kemungkinan juga ia berbuat demikian karena disuruh atau dipaksa untuk berbuat demikian demi kepentingan yang seseorang yang menyuruhnya. Dalam pengertian tertentu, pelaku menjadi korban tindakan jahat lain.


(40)

II.B.4. Dampak-Dampak Perkosaan

Perkosaan akan memberikan dampak traumatis bagi korbannya. Korban perkosaan akan mengalami penderitaan pada saat perkosaan berlanjut berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan sepanjang sisa hidupnya (Ehrlich, 2001).

Dampak perkosaan dapat dibagi ke dalam tiga jenis yakni dampak fisik, psikologis, dan sosial.

1. Dampak Fisik

Dampak fisik yang dirasakan oleh korban perkosaan antara lain kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, iritasi di sekitar area vagina, korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS), tertular HIV, kehamilan tidak dikehendaki, bahkan kematian. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Cling, 2004).

2. Dampak Psikologis

Sable, dkk (2006) melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil data perempuan korban perkosaan di Amerika, yang diteliti 2-3 jam setelah perkosaan. Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan otot yang hebat. Sementara pada periode post-rape yang dialami adalah 96% kecemasan, 96% rasa lelah secara


(41)

psikologis, 88% kegelisahan tak henti, 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan.

Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD) (dalam Hayati, 2000).

Kadangkala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Pemicu yang berhubungan dengan perkosaan seperti lagu yang didengar pada saat kejadian, bau minuman yang diminum oleh pelaku pada saat kejadian, bau parfum pelaku, ataupun melihat seseorang yang mirip dengan pelaku akan membuat korban merasa cemas dan takut (dalam Warshaw, 1994).


(42)

3. Dampak Sosial

Dampak sosial yang diterima oleh korban perkosaan adalah adanya stigma. Stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan adalah perempuan yang hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam kasus perkosaan yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan. Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat memberi “label” bahwa perempuan korban perkosaan sengaja “menggoda” dan “menantang” laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa (dalam Taslim, 1995).

Hal seperti ini akan membuat korban semakin takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Korban akan merasa bahwa dirinya telah merusak nama baik keluarga, sehingga ia cenderung akan melakukan self-blaming yang justru akan semakin memperburuk keadaannya. Seringkali rasa bersalah ini juga membuat korban enggan untuk menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya karena takut menerima “vonis” dari lingkungan sehingga korban akan menarik diri dari lingkungan karena merasa tidak mampu kembali berinteraksi secara sosial dengan masyarakat secara normal, tidak jarang dikucilkan dan dibuang oleh lingkungannya karena dianggap membawa aib, ditinggalkan teman dekat, merasa dikhianati, sulit jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, menghindari setiap pria, dan lain-lain (dalam Supardi & Sadarjoen, 2006).


(43)

II.B.5. Psychological Well-Being Korban Perkosaan yang Membesarkan Anak Hasil Perkosaan

Hernawati mengatakan siapapun tidak pernah membayangkan dirinya akan menjadi korban dari tindakan kriminal perkosaan (dikutip dari Bangkapos, 4 Feburari 2010). Seseorang yang menjadi korban perkosaan akan merasakan berbagai dampak traumatis di sepanjang kehidupannya. Terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki merupakan dampak fisik yang sifatnya paling rumit dari beberapa dampak traumatis lainnya. Dikatakan rumit karena korban tidak hanya menanggung trauma perkosaan akan tetapi beban hidup korban semakin bertambah dengan kehadiran janin di kandungannya.

Wanita korban perkosaan yang positif hamil memiliki dua pilihan yakni aborsi atau mempertahankan kehamilan. Korban perkosaan yang memutuskan untuk mempertahankan janin yang dikandungnya dipengaruhi oleh faktor agama, hukum, dan medis. Kondisi untuk tetap melahirkan anak hasil perkosaan merupakan proses yang panjang dan tidak mudah untuk dijalani oleh korban perkosaan, mereka akan mendapat banyak tekanan baik dari dalam atau luar dirinya (Abrar, 1998).

Tekanan yang berasal dari diri korban perkosaan adalah proses penerimaan anak hasil perkosaan di dalam kehidupannya. Ada dua pilihan yang dapat dilakukan wanita korban perkosaan setelah melahirkan anak yakni membesarkan anaknya sendirian atau menyerahkan anaknya kepada orang lain. Bila berkomitmen untuk membesarkan anak, wanita korban perkosaan harus mampu menerima anaknya, mencintai dengan tulus dan memberikan kasih sayang tanpa


(44)

memperhatikan latar belakang anak tersebut. Wanita korban perkosaan harus berani menjalani hidup bersama anaknya sekalipun dengan bayangan trauma yang masih membekas dalam dirinya.

Apabila korban perkosaan memutuskan untuk membesarkan anaknya, lingkungan sekitar juga menjadi salah satu tekanan kuat sebab lingkungan menjadi tempat korban perkosaan tumbuh dan hidup selama ini. Lingkungan akan sangat sulit menerima kehadiran korban perkosaan dan anaknya karena dianggap sebagai aib atau pembawa sial. Korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan mau tidak mau harus menelan julukan negatif tersebut setiap hari disamping menjalani kehidupannya. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari, tekanan-tekanan baik dari dalam maupun luar akan dirasakan oleh wanita korban perkosaan. Tidak mudah untuk menjalani hidup dengan berbagai tekanan yang muncul, kunci utama sepenuhnya berada dalam tangan korban perkosaan, apakah menjalani hidup dengan positif atau negatif.

Hal-hal yang terjadi dalam hidup korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan daapat mempengaruhi perasaan-perasaannya mengenai aktivitas hidup sehari-hari yang disebut dengan psychological well-being. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan, dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff dan Keyes, 1995). Ryff (1989) menyebutkan psychological well-being terdiri dari enam dimensi yaitu penerimaan diri, memiliki hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.


(45)

PARADIGMA PENELITIAN

Keterangan :

Mengakibatkan Mempengaruhi

Yang ingin diteliti

Perkosaan

Hamil

MEMBESARKAN SENDIRI

Memberikan Anak kepada Orang Lain

Psychological Well-Being

1. Self-Acceptance

2. Positive Relation with Others

3. Autonomy

4. Environmental Mastery

5. Purpose In Life

6. Personal Growth

Dampak Fisik

Dampak Psikologis

Dampak Sosial

Melahirkan

Ketakutan, Cemas, Stress, Marah,

Self-Blame, Malu

Dikucikan lingkungan, dilabel pembawa “aib”, menarik diri


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pendekatan yang akan dipakai, responden penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian.

III.A. PENDEKATAN KUALITATIF

Menurut Creswell (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari partisipan. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2000).

Penelitian kualitatif memiliki keuntungan yakni menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati. Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada peneliti untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti serta untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran, perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkap dengan pendekatan kuantitatif, sehingga


(47)

dengan menggunakan pendekatan kualitatif, tujuan dari penelitian ini akan tercapai (Poerwandari, 2007).

Alasan peneliti memilih menggunakan metode penelitian kualitatif untuk melihat psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan dikarenakan tema tersebut tidak umum dikaji dalam penelitian psikologi klinis dan bersifat masih baru. Menurut peneliti, metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku yang dapat diamati sehingga data-data tersebut dapat digunakan untuk mengetahui psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari (2007) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dengan elemen dan angka sehingga akan lebih “etis” dan kontekstual bila diteliti dala setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari “what”, dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.

III.B. RESPONDEN PENELITIAN

III.B.1. Karakteristik Responden Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka responden dalam penelitian ini adalah korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan tersebut.


(48)

III.B.2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain penelitian kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah responden yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah responden sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Dalam penelitian ini peneliti merencanakan dua responden yang tujuan utamanya adalah untuk melihat

psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil

perkosaan tersebut, dimana waktu dan sumber daya yang ada terbatas.

III.B.3. Teknik Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Responden dipilih dengan kriteria tertentu yaitu berdasarkan teori tentang subjek yang menjadi responden. Responden dipilih berdasarkan adanya kriteria khusus yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini dilakukan agar sampel bersifat representatif yang artinya dapat mewakili fenomena yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

III.B.4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan dengan mengambil responden yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini penting dalam memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian, mengingat peneliti juga berdomisili di kota Medan. Kemudian lokasi penelitian akan


(49)

ditentukan dengan kesepakatan peneliti dengan responden. Lokasi pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan di rumah responden.

III.C. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk dalam Poerwandari, 2007).

Dalam penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Pada saat proses wawancara juga akan disertai dengan proses observasi terhadap perilaku responden penelitian (Poerwandari, 2007).

III.D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Menurut Poerwandari (2007) dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat Perekam (Tape Recorder)

Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim. Dengan tape recorder, peneliti


(50)

tidak perlu mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi terhadap responden selama wawancara berlangsung. Semuanya ini akan memungkinkan tercapainya keakuratan analisa data penelitian. Alat perekam ini akan digunakan selama wawancara berlangsung atas izin dari responden.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara bersifat semi struktur untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan dalam Bab II sehingga peneliti mempunyai kerangka berpikir tentang hal-hal yang ingin ditanyakan. Dalam pelaksanaannya, pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku sehingga tidak menutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal diluar pedoman wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap (Poerwandari, 2007).

3. Lembar Observasi

Peneliti membuat lembar observasi yang sederhana untuk mencatat apa saja yang diobservasi selama wawancara berlangsung baik responden penelitian atau kondisi lingkungan selama wawancara.


(51)

III.E. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan : 1. Memilih calon responden yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam

hal ini adalah korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan. 2. Membangun rapport dengan responden agar ketika proses wawancara

berlangsung responden dapat lebih terbuka menjawab setiap pertanyaan dan suasana tidak kaku pada saat wawancara.

3. Membuat pedoman wawancara berdasarkan dimensi-dimensi psychological

well-being. Kemudian melakukan standarisasi pedoman wawancara dengan

dosen pembimbing. Professional judgement adalah dosen pembimbing penelitian ini.

4. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.

5. Selama beberapa kali melakukan wawancara, peneliti menanyakan kembali beberapa pertanyaan yang dirasa butuh penjelasan yang lebih dalam lagi pada wawancara berikutnya untuk memastikan keakuratan data responden.

6. Melibatkan dosen pembimbing untuk berdiskusi, memberikan saran dan kritik mulai dari awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.


(52)

III.F. PROSEDUR PENELITIAN III.F. 1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), sebagai berikut :

1. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi, studi literatur, dan teori-teori yang berhubungan dengan psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan.

2. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori dari dimensi-dimensi yang ada untuk menjadi pedoman wawancara.

3. Persiapan untuk mencari responden

Dalam mencari responden penelitian, peneliti dibantu oleh ibu peneliti. Responden pertama bernama Mawar adalah tetangga peneliti yang masih berada satu kompleks dengan peneliti. Peneliti dan Mawar sebelumnya sudah lama saling mengenal, ditambah lagi Mawar dan peneliti beribadah di tempat yang sama. Sedikit banyak peneliti mengetahui tentang seluk beluk Mawar dan keluarganya. Setelah itu, peneliti kemudian mendatangi Mawar untuk menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.


(53)

Indah. Sebelum mendatangi Indah, peneliti terlebih dahulu mencari tahu berbagai informasi tentang Indah dari ibu peneliti. Hal ini disebabkan peneliti kurang dekat dengan Indah, sehingga responden mencari tahu sedikit latar belakang Indah dari ibu peneliti yang lebih mengetahui jelas tentang Indah. Setelah terkumpul, peneliti mendatangi Indah pertama kalinya bersama ibu peneliti untuk menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

4. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan responden. Peneliti melakukan pendekatan berulang-ulang kepada kedua responden. Waktu yang digunakan peneliti untuk membina rapport juga berbeda-beda pada kedua responden. Pada responden pertama, untuk membangun

rapport dibutuhkan waktu yang cukup singkat sebab peneliti sudah memiliki

kedekatan yang jauh dengan responden pertama sedangkan pada responden kedua dibutuhkan waktu yang cukup lama dibanding responden pertama, sebab peneliti dan responden belum terlalu mengenal satu sama lain sekalipun keduanya memiliki ikatan persaudaraan. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melaksanakan wawancara penelitian.

Untuk responden pertama sebelum menjelaskan maksud penelitian, responden beberapa kali bertamu ke rumah Mawar untuk sekedar ramah tamah. Untuk semakin memperdekat hubungan dengan responden, peneliti beberapa kali


(54)

mengajak responden dan anaknya untuk makan di luar, bermain di taman dekat rumah atau membeli jajanan ke kedai bersama anak Mawar. Setelah peneliti merasa responden nyaman dengan dirinya, peneliti datang lagi ke rumah Mawar untuk membangun rapport ulang dengan basa-basi menanyakan kabar Mawar dan keluarga. Setelah itu peneliti dan Mawar sama-sama menentukan jadwal wawancara. Mawar meminta supaya wawancara dilakukan di rumahnya sore hari sekalian Mawar bisa mengurus anaknya dan setelah ia pulang kerja.

Sama halnya dengan Mawar, peneliti juga mendekatkan diri dengan responden kedua yakni Indah dengan sering berkunjung ke rumah. Sekalipun peneliti masih memiliki hubungan saudara dengan Indah, namun karena tidak terlalu kenal satu sama lain maka ibu peneliti beberapa kali ikut mengantarkan peneliti berkunjung ke rumah Indah. Beberapa kali berkunjung ke rumah, peneliti membawa makanan untuk Indah dan anaknya. Basa-basi sering dilakukan antara peneliti dengan Indah untuk mencairkan suasana rapport, sesekali juga di tengah basa-basi peneliti menggendong-gendong anak Indah untuk lebih akrab.

Setelah hampir dua bulan pendekatan dan peneliti merasa Indah sudah nyaman dengan dirinya, maka peneliti datang lagi ke rumah Indah. Peneliti dan Indah sama-sama mencari waktu yang tepat untuk melakukan wawancara. Indah meminta supaya wawancara harus dilakukan di rumahnya. Sama dengan Mawar, Indah memiliki alasan wawancara dilakukan di rumah agar sekalian ia bisa mnegurus kebutuhan anaknya.


(55)

III.F.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain :

1. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara

2. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti meminta responden untuk menandatangani ”Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawancara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.


(56)

Tabel 1.

Jadwal Pelaksanaan Wawancara

No. Responden Tanggal Waktu Tempat

1

I

13 April 2011 16.30-19.20 Ruang tamu Responden I 2 20 April 2011 15.30-18.40 Ruang tamu Responden I 3 27 April 2011 17.10-19.30 Kamar Responden I 4 08 Juni 2011 16.30-18.20 Ruang tamu Responden I 5 15 Juli 2011 11.00-12.10 Kamar Responden I 6

II

16 April 2011 17.00-19.45 Ruang tamu Responden II 7 29 April 2011 17.10-20.00 Ruang tamu Responden II 8 06 Mei 2011 17.00-18.20 Ruang tamu Responden II 9 16 Juli 2011 10.15-11.40 Kamar Responden II 10 21 Juli 2011 17.10-18.20 Ruang tamu Responden II 11 05 Agustus 2011 17.20-18.00 Kamar Responden II

3. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim

Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

4. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya, peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah dikoding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat


(57)

wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data responden ke dalam dimensi-dimensi dalam psychological well-being.

5. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai dilakukan, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

III.F. 3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan tape

recorder. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim

untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

III.G. PROSEDUR ANALISA DATA

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu:


(58)

1. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggung jawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2007).

2. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

- Memperoleh data yang baik

- Mendokumentasikan analisis yang dilakukan

- Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.


(59)

3. Analisis Tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan ’pola’ yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena. Peneliti menggunakan analisis tematik berdasarkan enam dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff.

4. Tahapan Interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poerwandari, 2007), yaitu pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (self understanding) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat

(condensed) apa yang oleh responden penelitian sendiri dipahami sebagai makna

dari pernyataan-pernyataannya. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis (critical commonsense understanding) terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri responden penelitiannya. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami


(60)

pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri responden ataupun penalaran umum.

5. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dalam penelitian kualitatif dugaan muncul setelah data-data wawancara dikumpulkan. Dengan mempelajari data, kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya dengan mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari dugaan yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama.


(61)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami bagaimana psychological

well-being pada wanita yang melahirkan anak hasil perkosaan, maka data akan

dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per-responden. Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.

Kutipan dalam setiap bagian analisa akan diberikan kode-kode tertentu karena satu kutipan saja diinterpretasikan beberapa kali dan untuk mempermudah diperolehnya pembahasan yang jelas dan utuh. Contoh kode yang digunakan adalah R.1/W.1/b.88-89/h.2, maksud kode ini adalah kutipan pada responden 1, wawancara 1, baris 88 sampai 89, verbatim halaman 2.

IV.A. RESPONDEN I

Tabel 2. Deskripsi Data Responden I

No. Identitas Responden I

1. Nama (samaran) Mawar

2. Usia 26 tahun

3. Agama Kristen Protestan

4. Pendidikan terakhir SMA

5. Pekerjaan Wirausaha

6. Domisili Medan

7. Urutan keluarga 4 dari 4 bersaudara 8. Kasus perkosaan oleh Ayah kandung 9. Peristiwa perkosaan September 2006 10 Anak hasil perkosaan Perempuan


(62)

IV.A.1. Observasi Umum Responden I

IV.A.1.i. Observasi Lingkungan Rumah Responden I

Pengambilan data pertama sampai ke lima dilakukan di rumah responden. Untuk memberikan pemahaman yang jelas mengenai tempat pengambilan data, peneliti akan menggambarkan bagaimana kondisi lingkungan rumah responden tersebut. Rumah responden berbentuk sebuah rumah besar bertingkat dengan desain minimalis dengan ukuran 12x30 meter. Rumah ini dibatasi dengan pagar berwarna coklat dan cat tembok berwarna krem di luar. Di sebelah kiri terdapat rumah kecil bercat putih yang sudah kusam, sedangkan di sebelah kanan terdapat rumah besar bercat hijau muda dan berdinding keramik tanpa ada pagar.

Ketika peneliti masuk ke rumah responden, tempat yang pertama dijumpai adalah halaman teras. Teras ini berukuran tidak terlalu besar, diisi dengan dua kursi teras berwarna coklat dan satu buah meja. Pintu rumah responden memiliki tinggi sekitar dua meter berwarna coklat dan di atas pintu terdapat papan kecil bertuliskan “Syalom”, seperti kebanyakan rumah umat Kristiani lainnya. Setelah itu, peneliti memasuki ruang tamu responden. Pertama kali masuk ruang tamu, langsung terlihat salib berukuran besar berwarna coklat di dinding ruang tamu. Ruang tamu responden termasuk sederhana hanya terdapat sofa coklat, dan sebuah bingkai foto besar yang didalamnya ada foto keluarga besar responden tanpa foto ayahnya, sebuah salib, dan sebuah tulisan dari kayu bertuliskan “Tuhan Berkati Rumah Ini”.


(1)

(2)

PEDOMAN WAWANCARA

Pedoman wawancara disusun berdasarkan enam dimensi psychological well-being. Adapun pedoman wawancaranya sebagai berikut :

1. Dimensi Penerimaan Diri

- Bagaimana responden memandang dirinya saat ini?

- Apakah responden sudah menerima dirinya sebagai korban perkosaan

dan ibu dari anak hasil perkosaan tersebut?

- Bagaimana langkah-langkah yang dilakukan responden untuk bisa

menerima dirinya sampai saat ini?

2. Dimensi Hubungan Positif dengan Orang Lain

- Bagaimana hubungan responden dengan keluarga?

- Bagaimana hubungan responden dengan lingkungan sekitar?

- Bagaimana hubungan responden dengan pelaku perkosaan?

3. Dimensi Otonomi

- Bagaimana responden memenuhi kebutuhannya sehari-hari?

- Bagaimana responden mengatur aktivitasnya sehari-hari?


(3)

4. Dimensi Penguasaan Lingkungan

- Masalah-masalah apa yang muncul selama responden membesarkan

anaknya? Bagaimana mengatasi masalah tersebut?

- Bagaimana responden mengatur lingkungannya?

- Bagaimana responden memanfaatkan kesempatan yang ada di

lingkungannya?

5. Dimensi Tujuan Hidup

- Adakah perubahan tujuan hidup responden yang dulu dengan yang

sekarang?

- Apa tujuan hidup responden ke depannya?

- Bagaimana responden mencapai tujuan hidupnya? Hal-hal apa yang

dilakukan responden?

6. Dimensi Pertumbuhan Pribadi

- Bagaimana responden mengembangkan dirinya?


(4)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin Oleh Responden

Tema Penelitian : Psychological Well-Being pada Wanita yang Melahirkan

Anak Hasil Perkosaan

Peneliti : Christy Ruth Titiari Nainggolan

NIM : 071301093

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancara sebagai responden dalam penelitian mengenai Psychological Well-Being pada Wanita yang Melahirkan Anak Hasil Perkosaan.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiaannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 11 April 2011


(5)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin Oleh Responden

Tema Penelitian : Psychological Well-Being pada Wanita yang Melahirkan

Anak Hasil Perkosaan

Peneliti : Christy Ruth Titiari Nainggolan

NIM : 071301093

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancara sebagai responden dalam penelitian mengenai Psychological Well-Being pada Wanita yang Melahirkan Anak Hasil Perkosaan.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiaannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 06 Mei 2011


(6)

LEMBAR OBSERVASI

Responden :

Waktu Wawancara :

Tempat Wawancara :

Wawancara :