Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2
kan dengan kewenangannya telah terbiasa me- naikkan pagu kredit dalam pelayanan ekstra
dengan imbalan presentase tertentu dari jumlah kredit yang dikucurkan akibat dari ulah tak ter-
puji ini, penerima kredit tidak mampu me- mutar uang untuk usaha untuk mendapat
keuntungan. Bagaimana mungkin kredit yang diterima telah dipotong duluan oleh pajak
bank, sebagai uang sogok ini akan mempengaruhi perekonomian nasional, yang
selanjutnya terjadi kredit macet.
Ekonomi Indonesia mulai ambruk ber- samaan dengan resesi dunia yang ditandai
dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing khususnya dolar AS
dan Yen Jepang. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, pernah menembus angka Rp 19.000
sembilan belas ribu rupiahan, angka terendah sepanjang sejarah RI. Untuk menyelamatkan
perbankan nasional diperlukan suntikan dana dari Bank Indonesia kebijakan ini disebut
BLBI Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, sebagai uang talangan atau pinjaman. Maksud
pemerintah dan otoritas moneter adalah untuk menyelamatkan perbankan nasional. Konon
kerugian negara dari kasus BLBI berjumlah Rp 150 triliun. Kebijakan BLBI ini menyeret
berkas Gubernur Bank Indonesia, oleh pengadilan dijatuhi hukuman penjara selama 3
tahun. Bantuan likuiditasi dari Bank Indonesia ini ternyata lebih banyak disalahguna-
kandikorupsi, daripada menyehatkan perbankan. Sebagian besar Bank penerima
BLBI ditutup operasionalnya, aset disita oleh pemerintah yang kemudian aset-aset tersebut
dikelola BPPN, namun BPPN hanya mampu mengembalikan uang negara sekitar Rp 160
triliun, dari Rp 600 triliun untuk menalangi perbankan nasional.
b. Korupsi di lembaga legislatif
Jika pada orba santer diberitakan korupsi yang dilakukan oleh
eksekutifbirokrat, maka pada era reformasi tindak korupsi meluas ke legislatif. Penjarahan
uang rakyat melalui penggelembungan dana operasional DPRD yang melampaui batas yang
ditentukan PP 110 Tahun 2000. Mahasiswa Universitas Sriwijaya menggugat pembagian
dana operasional DPRD kepada 75 anggota Dewan sebesar 7,5 miliar rupiah dari jumlah
yang dianggarkan sebesar 12,7 miliar rupiah. Berdasar PP tersebut anggaran operasional
DPRD sebesar 1 dari APBD, atau hanya sekitar 2,1 miliar rupiah. Sama halnya dengan
Jawa Tengah, di mana menurut suatu penelitian korupsi terbesar terjadi di Legislatif
sebanyak 43 kasus jika dibanding 39 kasus di eksekutif dan sisanya mafia peradilan di
lembaga Yudikatif Komite Penyelidikan dan Pemberantasan KKN 2004.
Sebanyak 54 anggota DPRD Sumatera Barat diindikasikan melakukan tindakan
korupsi APBD 2004, yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka, karena
didugakan melakukan korupsi 4,6 miliar rupiah. Dugaan korupsi dialamatkan kepada
seorang bekas ketua DPRD Banten yang sekarang menjadi anggota DPR, berstatus
tersangka dan telah ditahan karena diduga pada saat menjabat ketua DPRD Banten telah
melakukan tindakan korupsi sebesar 14 miliar rupiah.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Depdagri terhadap 8 provinsi
tahun anggaran 2001, sebagai sampel terpilih dalam penyelenggaraan otonomi daerah, tidak
ada satu pun propinsi yang memenuhi ketentuan PP No. 110 Tahun 2000. selanjutnya
hasil evaluasi tersebut menyebutkan bahwa belanja daerah masing-masing rata-rata per
tahun per anggota DPRD yang tertinggi ditempati DKI Jakarta sekitar 1 miliar dan
yang terendah Bengkulu sekitar 132 juta. Padahal angka yang diperkenankan oleh PP
No. 110 tahun 2000 sebesar 1 dari total APBD untuk belanja DPRD DKI per anggota
dalam 1 tahun hanya sekitar 354 juta. Sekitar 11 ribu anggota dewan di seluruh Indonesia
sebagian besar melakukan tindak korupsi.
c. Korupsi di tingkat eksekutif
Tindak korupsi di tingkat eksekutif lebih lama terjadi dibandingkan di tingkat
legislatif. Pada orde baru korupsi terjadi pada proyek-proyek yang berasal dari pemerintah.
Korupsi dilakukan dari pimpinan proyek sampai petugas lapangan. Dari bendahara
sampai pembeli bahan-bahan ATK. Korupsi telah menjadi budaya khususnya bagi para
pelaksana proyek. Ada proyek berarti di situ paling banyak tindak korupsi. Korupsi yang
dilakukan oleh pejabat teras bank, dengan cara kolusi mempermudah pencairan dana sering
terjadi. Peristiwa paling akhir menimpa dua orang pejabat bank BNI yang telah dijatuhi
hukuman karena terlibat pembobolan dana sebesar 1,7 triliun. Seorang gubernur telah
diadili karena diduga melakukan tindak korupsi pembeliah halikopter sebesar Rp 12
18
Parwadi, Manajemen Pemberantasan Korupsi
miliar. Kepala Bagian Keuangan Kabupaten Blitar ditangkap dan diadili karena diduga
telah menggelapkan APBD sebesar 36 miliar. Berita mutakhir dari sebuah stasiun televisi
nasional, seorang Kepala Dinas Kehutanan di- tangkap, karena diduga terlibat illegal logging.
Contoh-contoh tindak korupsi yang dilakukan oleh birokrat hanya merupakan bagian kecil
dari sebuah gunung es korupsi yang terjadi di Indonesia.
Data menarik dan mencengangkan ditemukan oleh Kornelis Kewa Ama dan Dedi
Muhtadi dalam Dharmawan 2004, tentang kekayaan alam yang diselundupkan oleh
oknum tak bertanggung jawab yang bekerja sama dengan oknum luar negeri berupa pasir
laut, menyebabkan kerugian negara sebesar 8 miliar dolar AS, bahan bakar minyak 5,6
miliar dolar AS, kayu mencapai 3-4 miliar dolar AS, kekayaan laut sebesar 4 miliar dolar
AS, satwa langka dan lain-lain mencapai ratusan triliun rupiah. Konon kabarnya dana
atau kekayaan Indonesia yang dikorup oleh orang Indonesia dan dana itu diparkir di
Singapura berjumlah sekitar 75 triliun. Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa Indonesia
adalah surga bagi koruptor sesuatu yang tidak berlebihan.
Faisal Tamrin dalam Dharmawan 2004, menyatakan bahwa tindak korupsi lebih
banyak dilakukan oleh PNS birokrat, dalam bentuk suap, pemerasan halus, manipulasi,
money politics, dan kolusi bisnis. Mengapa bi- rokrat melakukan korupsi, karena gaji sebagai
biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sangat kecil gaji PNS golongan I adalah sekitar Rp
600 ribu dan golongan IV-E sekitar Rp1,8 juta, per bulan. Menurut sebuah survai kebutuhan
rumah tangga tahun 2003, menyatakan bahwa seorang pekerja, dengan satu isteri dengan dua
anak yang masih menjadi tanggungannya membutuhkan biaya sekitar Rp 4 juta sampai
Rp 9 juta. Survai yang dilakukan Dewan Pengupahan setiap tahun untuk menentukan
upah minimun pekerja, sangat tidak realistis jika dibandingkan dengan kebutuhan dan
pengeluaran riel rumah tangga. PNS yang ber- jumlah sekitar 3,9 juta Badan Kepegawaian
Negara 2003, sebagian besar 2,9 juta ber- pendidikan SD-SLTA dengan golongan I dan
II, data ini mengindikasikan bahwa gaji yang mereka terima tidak mencukupi kebutuhan
hidup. Selebihnya golongan III dan IV, gaji yang mereka terima jauh dari mencukupi
karena sifat dan kualitas kebutuhan semakin naik.
Tindak korupsi di kalangan birokrat biasanya dilakukan secara bersama-sama, yang
melibatkan banyak pejabat baik sebagai pelaku langsung maupun sebagai penikmat, dan para
pejabat tersebut masih ada kaitan hubungan kedinasan. Sesuatu yang janggal jika terjadi
tindak korupsi hanya dilakukan oleh seorang saja. Karena suatu pekerjaan, merupakan rang-
kaian dari suatu sistem sehingga subsistem yang satu pasti berhubungan dengan yang lain.
Namun dalam kenyataan, jika sudah sampai proses peradilan dan penindakan berupa
tindakan hukum, hanya pelaku korupsi langsung yang mendapat hukuman, sedang-
kan para penikmat lepas dari jeratan hukum.
Korupsi di kalangan birokrat khususnya yang berkaitan dengan APBN
sudah berlangsung sejak awal ditetapkannya GBHN yang kemudian ditindaklanjuti
pelaksanaannya melalui Repelita dari pemerintah. Setiap tahun departemen dan
lembaga nondepartemen LPND mengajukan rencana anggaran pembangunan dan rutin
untuk dibahas di BAPPENAS bersama dengan departemen keuangan Ditjen anggaran.
Dalam mengusulkan anggaran terjadi kecenderungan bahwa kegiatan apa pun, se-
dapat mungkin diproyekkan. Hal ini karena, proyek mempunyai dana besar dan dalam pro-
yek itulah terdapat kesempatan untuk melaku- kan tindak KKN.
Hasil bahasan yang dilakukan oleh pe- merintah, kemudian diajukan ke DPR untuk
disahkan menjadi undang-undang pelaksanaan ke DPR untuk disahkan menjadi undang-
undang pelaksanaan APBN. Dengan mekanisme yang demikian, maka KKN
dimulai dan terkonsentrasi di pusat. Setiap departemen dan lembaga lain berusaha untuk
mendapatkan proyek sebesar-besarnya walaupun dengan menempuh cara KKN.
Proses terbitnya DIP Daftar Isian Kegiatan untuk pembiayaan rutin telah dilumuri KKN.
Selanjutnya praktik KKN akan terjadi setelah Pemimpin Proyek dan Bendaharawan Proyek
sebagai penanggung jawab fisik dan keuangan proyek melaksanakan proyek di lapangan.
Siapa pun yang diangkat menjadi pemimpin dan bendaharawan proyek mempunyai
komitmen tertentu dengan pemimpinnya. Di dalam pelaksanaan proyek, pemimpin proyek
akan berhadapan dengan pihak ketiga, antara lain pemborong pekerjaan fisik dan bahan me-
19
Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2
lalui kegiatan tender. Unit pengawasan intern maupun ekstern tidak ketinggalan ikut me-
ramaikan terjadinya KKN. Menurut Syukri Ilyas 2004,
terjadinya KKN dikalangan penyelenggara negara antara lain disebabkan: 1 untuk
memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga yang wajar karena gaji yang rendah dan tidak
mendapatkan insentif lainnya, 2 nafsu untuk hidup bermewah-mewah di kalangan
kelompok yang berkuasa untuk menutup pe- ngeluarannya yang besar, 3 mengejar jabatan
seperti untuk menjadi presiden atau wakil, gu- bernur atau wakil, dan jabatan lain yang strate-
gis, 4 upaya pengembalian inversati yang dikeluarkan untuk meraih jabatan eksekutif, le-
gislatif, yudikatif, dan BUMN, dan 5 adanya berbagai peluang dari berbagai produk
undang-undang untuk KKN melalui mekanisme kekuasaan.
Menurut penulis apa yang menjadi sebab para birokrat melakukan tindak korupsi
seperti disebutkan di atas, penulis setuju. Ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian dari
para pemimpin birokrat, yaitu tentang karier dan hari depan bagi bawahan. Sementara ini
pegawai merasa ada kekhawatiran terhadap karier dan hari depannya. Hal ini disebabkan
perilaku para pemimpin mereka yang melaksanakan manajemen like and dislike
yang tidak menjamin karier pegawai di masa depan. Pegawai akan selalu menghadapi
kekhawatiran terhadap nasibnya. Sehingga begitu ada kesempatan bertindak korupsi, hal
itu akan dilakukan tanpa pertimbangan masak. Selain itu, lingkungan yang cepat berubah
dengan budaya matrealistis dan faham seku- larisme melanda kehidupan bangsa ini semen-
tara jati diri dilupakan, akan menggoyahkan keimanan seseorang.
Sementara orang dengan sinis mengatakan walaupun gaji birokrat dinaikkan
berapa pun, tidak akan mengendorkan korupsi. Menurut pengalaman, kenaikan gaji birokrat
belum pernah mencukupi standar hidup layak. Jangankan untuk hidup layak, penyesuaian
dengan kenaikan inflasi saja tidak sebanding. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada
saat pemerintah mengumumkan kenaikan gaji pegawai dan jumlah kenaikan itu belum
diterima, seperti dalam lomba saja, harga kebutuhan pokok sudah mendahului naik, se-
mentara kebutuhan lain seperti air, listrik, tele- pon, dan lain-lain mengikuti kenaikan tersebut.
Manajemen Korupsi
Manajemen pemberantasan korupsi adalah penerapan fungsi-fungsi manajemen ke
dalam usaha memberantas korupsi. Menurut G.R. Terry dalam Manulang 2002, fungsi po-
kok manajemen terdiri dari: planning, orga- nizing, actuating, and controling, yang biasa
disingkat POAC. Masing-masing fungsi saling berkaitan, dan membentuk suatu sistem. Di da-
lam praktik penyelenggaraan manajemen dalam suatu unit kerja, kantor, atau organisasi
dalam bentuk apapun sulit untuk memisahkan satu fungsi dengan yang lain. Jika fungsi-
fungsi tersebut diterapkan dalam penyelenggaraan negara, khususnya dalam
kegiatan pemberantasan korupsi, akan dapat dilihat seperti di bawah ini.
a. Perencanaan Planning