Aktivitas Inhibitor Tripsin dari Protein Ekspresi Intraselular dan Ekstraselular Gen TcPIN yang Ditransformasikan pada Eschericia coli

ABSTRAK
MUHAMAD LUTFILAH. Aktivitas Inhibitor Tripsin dari Protein Ekspresi Intraselular
dan Ekstraselular Gen TcPIN yang Ditransformasikan pada Eschericia coli. Dibimbing
oleh TUN TEDJA IRAWADI dan TETTY CHAIDAMSARI.
PIN merupakan gen pertahanan alamiah tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan kakao transgenik. Gen TcPIN telah diisolasi dari kulit buah kakao pada
klon Ary dan Bal, serta dari biji kakao. Studi bioinformatika menunjukkan bahwa gen ini
mengekspresikan protein 21 kDa yang memiliki homologi tinggi dengan inhibitor tripsin.
Aktivitas protein ini diuji secara in vitro. Protein hasil ekspresi intraselular gen TcPIN
dari kulit buah kakao menunjukkan aktivitasnya sebagai inhibitor tripsin. Namun, protein
hasil ekspresi gen TcPIN dari biji kakao tidak menunjukkan aktivitas serupa.

ABSTRACT
MUHAMAD LUTFILAH. Tripsin Inhibitor Activity of Protein Expressed Intracellularly and
Extracellularly from TcPIN Gene Transformed in Eschericia coli. Supervised by TUN TEDJA
IRAWADI and TETTY CHAIDAMSARI.
PIN is natural defense gene in plant which is potential to be utilized for development of
transgenic cacao. TcPIN gene had been isolated from cacao’s peel (pod wall) of Ary and Bal
clones, and from seed of cacao (beans). Bioinformatics study showed that this gene expressed 21
kDa protein, having high homology with tripsin inhibitor. The activity of this protein was tested in
vitro. Protein expressed intracellularly from TcPIN gene of the peel showed activities as tripsin

inhibitor. In contrary, protein expressed by TcPIN gene from the seed did not show such activity.

1

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan produsen kakao
terbesar ketiga di dunia dengan produksi
rerata per tahun mencapai 456,000 ton, setelah
negara Pantai Gading (1,276,000 ton) dan
Ghana (586,000 ton). Luas lahan tanaman
kakao Indonesia lebih kurang 992.448 Ha
dengan produktivitas rata-rata 900 kg per ha
(Depperin 2007). Saat ini, Indonesia
mengekspor 40% kakao ke Malaysia, 30% ke
Amerika Serikat, 15% ke Singapura, dan 15%
ke Eropa. Produksi kakao Indonesia tahun
2008 dibandingkan dengan tahun 2007
menurun 4% dari 500,000 ton menjadi
480,000 ton. Harga rata-rata kakao selama
tahun 2008 sebesar US$2,500 per ton dan

pada tahun 2009 diperkirakan meningkat
menjadi US$2,900 per ton (Husaini 2009).
Karena itu, kakao merupakan salah satu
komoditas ekspor nonmigas yang potensial
dan produksinya perlu ditingkatkan.
Agribisnis kakao Indonesia masih
menghadapi berbagai masalah kompleks,
antara lain mutu produksi yang masih rendah,
serta masih belum optimalnya pengembangan
produk hilir kakao. Produktivitasnya juga
masih rendah, salah satu penyebabnya ialah
serangan hama penggerek buah kakao (PBK).
Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus
peluang
bagi
para
investor
untuk
mengembangkan usaha dan meraih nilai
tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao

(Goenadi et al. 2007).
Cara-cara yang telah diterapkan untuk
mengatasi masalah hama PBK
ini di
antaranya pengendalian hama PBK secara
nasional dan pemilihan varietas tanaman
kakao yang tahan hama PBK. Cara lain yang
juga potensial ialah pengembangan kakao
transgenik dengan memanfaatkan gen
pertahanan alami pada tanaman yang disebut
gen protease inhibitor (PIN). PIN merupakan
gen yang dapat menghasilkan senyawa protein
antinutrisi yang dapat menghambat kerja
enzim proteolitik (protease) di dalam perut
serangga (Ryan 1990). Apabila termakan oleh
hama PBK, protein tersebut akan berinteraksi
dengan protease di dalam usus hama tersebut,
terikat, dan terkunci pada tapak aktifnya
(Terra et al. 1996; Walker et al. 1998)
akibatnya, hama PBK kekurangan nutrisi

karena terinhibisinya kerja enzim protease
yang menghasilkan asam amino, sehingga
pertumbuhan dan perkembangan pada hama
PBK menjadi terhambat
dan dapat
menyebabkan kematian.

Isda et al. 2008 telah mengisolasi gen PIN
dari kulit buah 2 klon kakao, yang tahan (Ary)
dan yang tidak tahan (Bal), serta dari biji
kakao. Gen ini selanjutnya disebut TcPIN.
Gen-gen ini diklon pada Eschericia coli.
Secara
bioinformatika,
gen
tersebut
menyandikan protein 21 kDa dengan
homologi yang cocok dengan inhibitor tripsin.
Pada penelitian ini aktivitas inhibisi tripsin
dari protein ekspresi ketiga gen itu diujikan

secara in vitro. Selain itu, bobot molekul
protein juga dicirikan dengan elektroforesis
gel poliakrilamida-natrium dodesil sulfat
(SDS-PAGE). Semua pekerjaan dalam
penelitian ini dikerjakan di Labolatorium
Biomolekuler, Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Bogor, antara bulan Maret dan
Juni 2009.

TINJAUAN PUSTAKA
Kakao (Theobroma cacao L.)
Tanaman kakao berasal dari Amerika
Selatan. Buah kakao bila dibelah akan tampak
seperti Gambar 1 dan bagiannya dapat
dicirikan, yaitu OPW (outer pod wall) bagian
kulit terluar dari kakao, IPW (inner pod wall),
kulit lapisan kedua yang berada di dalam
buah, Pu (pulp) daging buah kakao, B (beans)
biji kakao, dan PL (placenta) bagian tengah
dari kakao.

OPW
IPW
B
Pu

PL

Gambar 1 Bagian buah kakao (Chaidamsari
2005).
Pada saat ini kecenderungan perluasan
areal kakao terus berlanjut, walaupun tidak
setajam periode 1985 1995 yang laju
reratanya di atas 20% per tahun sedangkan
pada periode 1995 2002 sebesar 7.5% per
tahun. Kondisi areal yang ada dan masalah
serangan hama PBK yang cenderung terus
meluas dapat menjadikan produksi kakao
nasional menurun dalam satu dasawarsa
mendatang. Hal ini disebabkan oleh
peningkatan produksi dengan perluasan areal


1

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan produsen kakao
terbesar ketiga di dunia dengan produksi
rerata per tahun mencapai 456,000 ton, setelah
negara Pantai Gading (1,276,000 ton) dan
Ghana (586,000 ton). Luas lahan tanaman
kakao Indonesia lebih kurang 992.448 Ha
dengan produktivitas rata-rata 900 kg per ha
(Depperin 2007). Saat ini, Indonesia
mengekspor 40% kakao ke Malaysia, 30% ke
Amerika Serikat, 15% ke Singapura, dan 15%
ke Eropa. Produksi kakao Indonesia tahun
2008 dibandingkan dengan tahun 2007
menurun 4% dari 500,000 ton menjadi
480,000 ton. Harga rata-rata kakao selama
tahun 2008 sebesar US$2,500 per ton dan
pada tahun 2009 diperkirakan meningkat

menjadi US$2,900 per ton (Husaini 2009).
Karena itu, kakao merupakan salah satu
komoditas ekspor nonmigas yang potensial
dan produksinya perlu ditingkatkan.
Agribisnis kakao Indonesia masih
menghadapi berbagai masalah kompleks,
antara lain mutu produksi yang masih rendah,
serta masih belum optimalnya pengembangan
produk hilir kakao. Produktivitasnya juga
masih rendah, salah satu penyebabnya ialah
serangan hama penggerek buah kakao (PBK).
Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus
peluang
bagi
para
investor
untuk
mengembangkan usaha dan meraih nilai
tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao
(Goenadi et al. 2007).

Cara-cara yang telah diterapkan untuk
mengatasi masalah hama PBK
ini di
antaranya pengendalian hama PBK secara
nasional dan pemilihan varietas tanaman
kakao yang tahan hama PBK. Cara lain yang
juga potensial ialah pengembangan kakao
transgenik dengan memanfaatkan gen
pertahanan alami pada tanaman yang disebut
gen protease inhibitor (PIN). PIN merupakan
gen yang dapat menghasilkan senyawa protein
antinutrisi yang dapat menghambat kerja
enzim proteolitik (protease) di dalam perut
serangga (Ryan 1990). Apabila termakan oleh
hama PBK, protein tersebut akan berinteraksi
dengan protease di dalam usus hama tersebut,
terikat, dan terkunci pada tapak aktifnya
(Terra et al. 1996; Walker et al. 1998)
akibatnya, hama PBK kekurangan nutrisi
karena terinhibisinya kerja enzim protease

yang menghasilkan asam amino, sehingga
pertumbuhan dan perkembangan pada hama
PBK menjadi terhambat
dan dapat
menyebabkan kematian.

Isda et al. 2008 telah mengisolasi gen PIN
dari kulit buah 2 klon kakao, yang tahan (Ary)
dan yang tidak tahan (Bal), serta dari biji
kakao. Gen ini selanjutnya disebut TcPIN.
Gen-gen ini diklon pada Eschericia coli.
Secara
bioinformatika,
gen
tersebut
menyandikan protein 21 kDa dengan
homologi yang cocok dengan inhibitor tripsin.
Pada penelitian ini aktivitas inhibisi tripsin
dari protein ekspresi ketiga gen itu diujikan
secara in vitro. Selain itu, bobot molekul

protein juga dicirikan dengan elektroforesis
gel poliakrilamida-natrium dodesil sulfat
(SDS-PAGE). Semua pekerjaan dalam
penelitian ini dikerjakan di Labolatorium
Biomolekuler, Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Bogor, antara bulan Maret dan
Juni 2009.

TINJAUAN PUSTAKA
Kakao (Theobroma cacao L.)
Tanaman kakao berasal dari Amerika
Selatan. Buah kakao bila dibelah akan tampak
seperti Gambar 1 dan bagiannya dapat
dicirikan, yaitu OPW (outer pod wall) bagian
kulit terluar dari kakao, IPW (inner pod wall),
kulit lapisan kedua yang berada di dalam
buah, Pu (pulp) daging buah kakao, B (beans)
biji kakao, dan PL (placenta) bagian tengah
dari kakao.
OPW
IPW
B
Pu

PL

Gambar 1 Bagian buah kakao (Chaidamsari
2005).
Pada saat ini kecenderungan perluasan
areal kakao terus berlanjut, walaupun tidak
setajam periode 1985 1995 yang laju
reratanya di atas 20% per tahun sedangkan
pada periode 1995 2002 sebesar 7.5% per
tahun. Kondisi areal yang ada dan masalah
serangan hama PBK yang cenderung terus
meluas dapat menjadikan produksi kakao
nasional menurun dalam satu dasawarsa
mendatang. Hal ini disebabkan oleh
peningkatan produksi dengan perluasan areal

2

saat ini tidak dapat mengimbangi penurunan
produksi tanaman kakao yang tua, serta
serangan hama PBK sudah menjadi ancaman
bagi produksi kakao nasional (Goenadi et al.
2007).
Penggerek Buah Kakao
Penggerek
buah
kakao
(PBK),
Conophomorpha cramerella Snellen, dari
famili Gracillariidae merupakan salah satu
hama kakao yang memakan plasenta yang
merupakan saluran makanan menuju ke biji
sehingga mengakibatkan penurunan hasil dan
mutu biji. PBK dapat menyerang buah dengan
panjang buah 3 cm, tetapi umumnya lebih
menyukai yang berukuran sekitar 8 cm.
Ulatnya merusak dengan cara menggerek
buah serta memakan kulit buah, daging buah,
dan plasenta. Buah yang terserang akan lebih
awal menjadi berwarna kuning dan jika
digoyang tidak berbunyi. Biasanya buah ini
lebih berat daripada yang sehat. Biji-bijinya
saling melekat, berwarna kehitaman, dan
ukuran biji yang lebuh kecil (Goenadi et al.
2007)
Gen PIN dari Buah kakao
Gen PIN diketahui memiliki peranan yang
penting dalam sistem pertahanan tanaman pada
predator dan patogen (Lawrence & Koundal
2002). Pada kakao, gen ini menyandikan
protein berukuran 21 kDa dan memiliki
homologi yang cocok dengan inhibitor tripsin.
Telah dilaporkan oleh Tai et al (1991) bahwa
protein
tersebut
diakumulasi
selama
perkembangan biji dan tidak didegradasi
selama perkecambahan benih pada kakao.
Keberhasilan penggunaan gen PIN dalam
tanaman transgenik telah dilaporkan antara
lain pada padi (Xu et al. 1996), ubi jalar
(Newell et al. 1995), dan tembakau (Johnson
et al. 1989). Inhibitor protease pada kakao
merupakan golongan inhibitor protease serin
(inhibitor tripsin dan kemotripsin) dan telah
menunjukkan keefektifannya menghambat
perkembangan
larva
beberapa
jenis
Lepidoptera.
Protease dan Inhibitor Protease
Setiap metabolisme pada kehidupan sel
bergantung pada proteolisis.
Protease
merupakan suatu kelompok enzim yang dapat
memutuskan ikatan peptida, terlibat dalam
berbagai proses penting pada pengatur
katabolisme protein, dan mendegradasi
selektif protein yang rusak. Berdasarkan

beberapa penelitian terakhir dari proteolisis,
diketahui bahwa protease bukan hanya
penting dalam penyediaan metabolit primer
untuk pertumbuhan dan perkembangan sel.
Protease juga merupakan sarana untuk
berbagai proses kunci seperti pemutusan
spesifik ikatan peptida pada protein yang
belum sempurna atau penghancuran sinyalsinyal target dari praprotein setelah
translokasinya pada bagian-bagian sel yang
cocok. Karena itu, enzim proteolitik yang
sebelumnya disebut ‘katalis penghancur’
terutama dalam menghidrolisis asupan
protein, sekarang dianggap sebagai pusat
pengendali
dari
unsur-unsur
dalam
perkembangan banyak kehidupan organisme
(Wolf 1992).
Protease dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme katalitiknya. Empat kelas
mekanisme yang diusulkan oleh The
Nomenclature Committee of the International
Union of Biochemistry and Molecular Biology
(NC-IUBMB) adalah protease serin, protease
kristein,
protease
aspartat,
dan
metaloprotease. Klasifikasi ini lebih lanjut
telah diperluas pembagiannya berdasarkan
hubungan evolusioner dari proteasenya
(Rawling & Barrett 1993). Data tentang
klasifikasi protease ini tersedia di basis data
Swissport. Protease juga dapat terinhibisi oleh
adanya suatu inhibitor. Berdasarkan kelompok
mekanisme dari protease maka proses
inhibisinya pun bersifat selektif dan mengikuti
mekanisme dari kerja enzimnya.
Menurut Ryan (1990), klasifikasi inhibitor
protease pada jaringan tanaman dibagi
menjadi 10 kelompok: inhibitor Kunitz
(tripsin kedelai), Bowman-Birk, tripsin
jewawut, kentang I, kentang II, ketela, ragi
1−2/jagung bifungsional, karboksipeptidase A
dan B, protease kristein (kristatin), dan
protease aspartil.
Protein yang berperan sebagai inhibitor
protease alami adalah protein kecil yang
banyak terdapat di alam termasuk di dalam
tubuh mahluk hidup (Fritz 2000). Inhibitor
protease umumnya merupakan inhibitor
kompetitif (inhibitor yang berikatan dengan
tapak aktif enzim), dan berinteraksi dengan
enzim sesuai dengan kelas mekanismenya.
Sebagai contoh, inhibitor protease serin akan
berikatan dengan protease serin, dan contoh
protease serin adalah tripsin, kemotripsin,
elastase,
subtilisin,
trombin,
dan
asetilkolinesterase (Ryan 1981; Foard et al.
1983).

3

Struktur Protein
Protein (akar kata protos dari bahasa
Yunani yang berarti "yang paling utama")
adalah senyawa organik kompleks berbobot
molekul tinggi yang merupakan polimer dari
asam amino. Struktur protein (Gambar 2)
dapat dilihat sebagai suatu hirarki. Struktur
primer protein merupakan urutan asam-asam
amino penyusun protein yang dihubungkan
melalui ikatan peptida (amida). Sementara,
struktur sekunder protein adalah struktur 3
dimensi lokal dari berbagai rangkaian asam
amino pada protein yang distabilkan oleh
ikatan hidrogen. Gabungan dari aneka ragam
struktur sekunder akan menghasilkan struktur
3 dimensi yang dinamakan struktur tersier.
Srtuktur inilah yang memungkinkan beberapa
molekul seperti enzim untuk berinteraksi
secara efisien dan spesifik menghasilkan
aktivitas katalitik terhadap substratnya. Ketika
struktur tersier tersebut rusak, protein akan
kehilangan aktivitas fisiologisnya, proses ini
dinamakan denaturasi (Steavens 2007).
Kumpulan beberapa struktur tersier protein
menghasilkan struktur kuaterner, yang dapat
pula melibatkan molekul protein lain atau
gugus-gugus nonprotein.

Struktur
primer

Struktur
sekunder

Struktur
tersier

Struktur
kuaterner

Gambar 2 Ilustrasi struktur protein (Berg et
al. 2000)
Analisis Protein
Metode analisis protein antara lain metode
Lowry, Bradford, FeCl3, dan Biuret. Pemilihan
metode merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan, karena pengukuran konsentrasi
secara akurat menjadi sangat penting
peranannya, mengingat hasil penetapan ini
digunakan dalam perhitungan lainnya, seperti
penentuan aktivitas enzim. Metode Bradford
adalah metode analisis kadar protein total
yang didasarkan pada pengikatan secara
langsung zat warna biru brilian Coomassie
G250 (CBBG) oleh protein yang mengandung
residu asam amino dengan rantai samping
aromatik (tirosina, triptopan, dan fenilalanin)

atau bersifat basa (arginin, histidin, dan
leusin). Reagen CBBG bebas berwarna
merah-kecokelatan (λmaks 465 nm), sedangkan
dalam suasana asam, reagen CBBG akan
berada dalam bentuk anion yang akan
mengikat protein membentuk warna biru
(λmaks 595 nm). Jumlah CBBG yang terikat
pada protein proporsional dengan muatan
positif yang ditemukan pada protein
(Sudarmanto 2007).
Elektroforesis SDS-PAGE
SDS-PAGE adalah teknik yang lazim
dilakukan pada elektroforesis protein. Teknik
ini memberikan perkiraan massa dari suatu
molekul polipeptida, dan memberikan hasil
analisis dengan resolusi tinggi dari campuran
kompeks protein. Namun teknik ini bersifat
destruktif, karena membutuhkan protein
terdenaturasi untuk efektivitas pemisahan.
Untuk memisahkan protein ke dalam rantairantai polipeptida tunggal, surfaktan SDS
diperlukan
dalam
kombinasi
dengan
pereduksi. Protein akan mengikat 1.4 g SDS/g
protein, molekul-molekul surfaktan tersebut
menempel pada molekul protein. Kompleks
protein-SDS secara efektif menudungi muatan
awal protein, gugus-gugus sulfat pada
detergen menjadikannya secara keseluruhan
kompleks protein-SDS ini bermuatan negatif.
Elektroforesis dengan penambahan SDS
efektif memberikan muatan protein yang
seragam dan pemisahan didasarkan pada
massa molekul relatif dari rantai-rantai
polipeptida (Richards et al. 1998).
Medium yang digunakan pada teknik
SDS-PAGE ini adalah poliakrilamida yang
memiliki kekuatan tarik yang baik,
konduktivitas listrik yang rendah, penyerapan
sinar ultraviolet (UV) yang rendah, dan
ukuran pori yang mudah diatur. Sebagai
pereduksi dapat digunakan 2-merkaptoetanol
untuk memutus ikatan-ikatan sulfida, dan
untuk memunculkan pita-pita hasil pemisahan
dapat digunakan pewarnaan biru Coomassie
R250 (CBBR) atau AgNO3.

BAHAN DAN LINGKUP KERJA
Bahan dan alat
Bahan-bahan yang digunakan antara lain
kulit dan biji kakao segar dari daerah Jember,
gen TcPIN yang telah diklon pada E. coli,
Tripsin (No cat T-7409, Sigma), bufer trisHCl,
kasein,
etilenadiaminatetraasetat

3

Struktur Protein
Protein (akar kata protos dari bahasa
Yunani yang berarti "yang paling utama")
adalah senyawa organik kompleks berbobot
molekul tinggi yang merupakan polimer dari
asam amino. Struktur protein (Gambar 2)
dapat dilihat sebagai suatu hirarki. Struktur
primer protein merupakan urutan asam-asam
amino penyusun protein yang dihubungkan
melalui ikatan peptida (amida). Sementara,
struktur sekunder protein adalah struktur 3
dimensi lokal dari berbagai rangkaian asam
amino pada protein yang distabilkan oleh
ikatan hidrogen. Gabungan dari aneka ragam
struktur sekunder akan menghasilkan struktur
3 dimensi yang dinamakan struktur tersier.
Srtuktur inilah yang memungkinkan beberapa
molekul seperti enzim untuk berinteraksi
secara efisien dan spesifik menghasilkan
aktivitas katalitik terhadap substratnya. Ketika
struktur tersier tersebut rusak, protein akan
kehilangan aktivitas fisiologisnya, proses ini
dinamakan denaturasi (Steavens 2007).
Kumpulan beberapa struktur tersier protein
menghasilkan struktur kuaterner, yang dapat
pula melibatkan molekul protein lain atau
gugus-gugus nonprotein.

Struktur
primer

Struktur
sekunder

Struktur
tersier

Struktur
kuaterner

Gambar 2 Ilustrasi struktur protein (Berg et
al. 2000)
Analisis Protein
Metode analisis protein antara lain metode
Lowry, Bradford, FeCl3, dan Biuret. Pemilihan
metode merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan, karena pengukuran konsentrasi
secara akurat menjadi sangat penting
peranannya, mengingat hasil penetapan ini
digunakan dalam perhitungan lainnya, seperti
penentuan aktivitas enzim. Metode Bradford
adalah metode analisis kadar protein total
yang didasarkan pada pengikatan secara
langsung zat warna biru brilian Coomassie
G250 (CBBG) oleh protein yang mengandung
residu asam amino dengan rantai samping
aromatik (tirosina, triptopan, dan fenilalanin)

atau bersifat basa (arginin, histidin, dan
leusin). Reagen CBBG bebas berwarna
merah-kecokelatan (λmaks 465 nm), sedangkan
dalam suasana asam, reagen CBBG akan
berada dalam bentuk anion yang akan
mengikat protein membentuk warna biru
(λmaks 595 nm). Jumlah CBBG yang terikat
pada protein proporsional dengan muatan
positif yang ditemukan pada protein
(Sudarmanto 2007).
Elektroforesis SDS-PAGE
SDS-PAGE adalah teknik yang lazim
dilakukan pada elektroforesis protein. Teknik
ini memberikan perkiraan massa dari suatu
molekul polipeptida, dan memberikan hasil
analisis dengan resolusi tinggi dari campuran
kompeks protein. Namun teknik ini bersifat
destruktif, karena membutuhkan protein
terdenaturasi untuk efektivitas pemisahan.
Untuk memisahkan protein ke dalam rantairantai polipeptida tunggal, surfaktan SDS
diperlukan
dalam
kombinasi
dengan
pereduksi. Protein akan mengikat 1.4 g SDS/g
protein, molekul-molekul surfaktan tersebut
menempel pada molekul protein. Kompleks
protein-SDS secara efektif menudungi muatan
awal protein, gugus-gugus sulfat pada
detergen menjadikannya secara keseluruhan
kompleks protein-SDS ini bermuatan negatif.
Elektroforesis dengan penambahan SDS
efektif memberikan muatan protein yang
seragam dan pemisahan didasarkan pada
massa molekul relatif dari rantai-rantai
polipeptida (Richards et al. 1998).
Medium yang digunakan pada teknik
SDS-PAGE ini adalah poliakrilamida yang
memiliki kekuatan tarik yang baik,
konduktivitas listrik yang rendah, penyerapan
sinar ultraviolet (UV) yang rendah, dan
ukuran pori yang mudah diatur. Sebagai
pereduksi dapat digunakan 2-merkaptoetanol
untuk memutus ikatan-ikatan sulfida, dan
untuk memunculkan pita-pita hasil pemisahan
dapat digunakan pewarnaan biru Coomassie
R250 (CBBR) atau AgNO3.

BAHAN DAN LINGKUP KERJA
Bahan dan alat
Bahan-bahan yang digunakan antara lain
kulit dan biji kakao segar dari daerah Jember,
gen TcPIN yang telah diklon pada E. coli,
Tripsin (No cat T-7409, Sigma), bufer trisHCl,
kasein,
etilenadiaminatetraasetat

4

(EDTA), 2-merkaptoetanol, standar tirosina,
asam trikloroasetat (TCA), pereaksi FolinCiocalteu, fenol, KH2PO4, K2HPO4, N2 cair,
standar albumin serum sapi (BSA) (Sigma),
pereaksi CBBG (sigma), CBBR (sigma), asam
ortofosfat 85% (Sigma), akrilamida, SDS
10%, amonium persulfat (APS) 10%, dan
N’,N’,N’,N’-tertrametiletilenadiamina
(TEMED).
Alat-alat
yang
digunakan
adalah
spektrofotometer UV-VIS, tabung eppendorf,
pipet mikro, penangas air, lemari pendingin,
peralatan elektroforesis SDS-PAGE, sentrifus,
dan alat-alat kaca.
Lingkup Kerja
Penelitian ini terdiri atas 4 tahap. Tahap
pertama ialah ekstraksi protein pada kulit dan
biji kakao serta protein intraselular dan
ekstraselular hasil E. coli yang telah diklon
gen TcPIN baik dari kulit buah kakao (Ary
dan Bal) maupun dari biji buah kakao (Biji).
Tahap kedua ialah penentuan kadar protein
hasil ekstraksi dengan metode Bradford.
Tahap ketiga ialah identifikasi bobot molekul
protein dengan elektroforesis SDS-PAGE dan
tahap keempat ialah uji aktivitas inhibisi
protease protein oleh hasil ekstraksi secara in
vitro dengan metode spektrofotometri.
Tahapan ini tergambar pada diagram alir
penelitian (Lampiran 1) dan prosedur
pembuatan pereaksi yang digunakan terdapat
pada Lampiran 2.
Ekstraksi Protein
Protein diekstraksi menggunakan salah
satu metode yang dikemukakan oleh Pirovani
et al. (2008), dengan sejumlah modifikasi.
Contoh dalam bentuk kulit dan biji buah
kakao ditambahkan N2 cair dan digerus
dengan mortar. Sekitar 2 g hasil gerusan
dimasukkan ke dalam tabung sentrifus yang
berisi 20 ml aseton dingin dan dikocok kuat.
Campuran disentrifugasi dengan laju 10,000 g
dengan suhu 4 °C selama 15 menit. Endapan
yang dihasilkan diberi 10 ml aseton yang
mengandung TCA 10%, dikocok kuat lalu
disentrifugasi pada kondisi yang sama seperti
di atas. Hal ini dilakukan 3 kali. Selanjutnya
endapan dicuci dengan TCA 10% dalam
pelarut air kemudian aseton 80% masingmasing satu kali. Endapan yang dihasilkan
disuspensikan dengan larutan SDS-dense
sebanyak 10 ml dan didiamkan selama 15
menit. Setelah itu, diberi 20 ml larutan fenol,
dikocok, dan diinkubasi selama 30 menit pada
suhu -20 oC sebelum disentrifugasi dengan

laju 10,000 g dengan suhu 4 oC selama 10
menit. Fase atas diambil dan diberi 40 ml
aseton kemudian dinkubasi pada suhu -20 oC
selama 18 jam. Endapan yang terbentuk
kemudian diambil dengan cara disentrifugasi
dengan laju 10,000 g pada suhu 4 oC selama 5
menit, lalu endapan yang diperoleh dilarutkan
dengan bufer fosfat pH 6.5 sebanyak 2.5 ml.
Contoh berupa kultur E. coli yang
membawa gen TcPIN disentifugasi dengan
laju 10,000 g dengan suhu 4 oC selama 15
menit, untuk memisahkan medium kultur
sebagai supernatan dan bakteri E. coli hasil
biakan sebagai pelet. Supernatan yang
diperoleh diambil sebagai protein ekspresi
ekstraselular dan dilakukan prakonsentrasi
dengan mengendapkan protein dengan aseton
(supernatan-aseton 1:4), dan dilarutkan
kembali dengan bufer fosfat pH 6.5.
Sementara itu, pelet yang terpisah ditimbang,
digerus dengan mortar dengan penambahan
sedikit N2 cair sampai halus, lalu ditetesi
dengan bufer fosfat pH 6.5 (dingin) 0.05 M
dengan nisbah 1 ml untuk 2 g pelet. Suspensi
yang didapat disentrifugasi dengan kecepatan
10,000 g dengan suhu 4 oC selama 15 menit.
Supernatan yang diperoleh diambil sebagai
protein hasil ekspresi intraselular.
Analisis Protein
Analisis protein dilakukan dengan
menggunakan metode Bradford (1976)
dengan beberapa modifikasi. Ekstrak protein
dianalisis dengan cara memasukkan sejumlah
tertentu larutan contoh dan akuades hingga
mencapai volume 100 l ke dalam tabung
Eppendorf, lalu ditambahkan ke dalamnya
100 mL NaOH 0.1 M dan 3 ml pereaksi
Bradford. Campuran digoyang dan didiamkan
selama 30 menit, lalu diukur serapannya
dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang maksimum ( maks sekitar 595 nm.
Sebagai pembanding, digunakan model
kalibrasi hubungan antara konsentrasi dan
serapan dari sejumlah deret standar. Standar
yang digunakan ialah 100 l BSA dengan
beberapa konsentrasi berbeda yang dianalisis
dengan cara yang sama. Sementara blangko
ialah 100 l akuades yang dianalisis dengan
cara yang sama.
Identifikasi Elektroforesis SDS-PAGE
Ekstraksi protein dari kultur sel serta
dari kulit dan biji buah kakao diidentifikasi
dengan elektroforesis SDS-PAGE (Laemmli
1970) untuk mengetahui bobot molekulnya.
Gel pemisah dibuat dengan konsentrasi 12%

5

dengan cara mencampur 3.35 ml akuades, 2.5
ml tris-HCl 1.5 M pH 8.8, 0.1 ml SDS 10%, 4
ml akrilamida, 0.1 ml APS 10%, dan 0.015 ml
TEMED ke dalam Erlenmeyer, lalu
dimasukkan ke dalam cetakan sampai batas
tertentu (sesuai dengan tinggi sisir).
Isopropanol ditempatkan secara perlahan ke
atas gel tersebut untuk meratakannya, lalu
dibiarkan membeku, dan sisa isopropanol
dibersihkan dari permukaan gel dengan kertas
saring. Larutan stacking gel 4.5% dituang ke
atas permukaan gel tersebut, kemudian sisir
dipasang dan dibiarkan membeku. Sisir lalu
dibuka secara perlahan dan gel siap
digunakan.
Setelah peralatan elektroforesis disiapkan,
larutan bufer loading ditempatkan pada alat.
Setelah itu, sampel dimasukan ke dalam
sumur pada gel SDS-PAGE, dipanaskan
selama 4 menit, lalu diberi arus listrik hingga
pewarna mencapai ujung gel (tegangan yang
dipakai 110 150 V). Setelah elektroforesis
selesai, dilanjutkan dengan pewarnaan.
Perwarnaan dapat dilakukan dengan 2
cara, yaitu dengan biru Coomassie atau
dengan AgNO3. Pewarnaan dengan biru
Coomassie dilakukan dengan merendam gel
dengan larutan pewarna CBBR selama 90
menit, kemudian dilakukan dekolorisasi
(pemucatan warna sehingga muncul pita-pita
hasil pemisahan) dengan merendam gel dalam
air mendidih selama 10 menit. Sementara itu,
pewarnaan dengan AgNO3 dilakukan dengan
cara merendam gel dalam larutan fiksatif
selama 1 jam, lalu dicuci selama 30 menit
sebanyak 2 kali dalam campuran metanol-air
1:1. Setelah itu gel direndam dalam larutan
pewarna AgNO3 selama 15 menit dan
direndam dengan akuades sebanyak 5 kali.
Pita-pita pada gel dimunculkan warnanya
dengan cara merendam gel tersebut pada
larutan revelasi selama 3 5 menit.
Aktivitas Inhibitor Tripsin
Aktivitas inhibitor tripsin ditentukan
secara tidak langsung dari aktivitas tripsinnya.
Aktivitas tripsin diukur dengan metode yang
dikemukakan oleh Walter (1984) yaitu
memasukkan berturut-turut 150 l bufer trisHCl pH 7.8, 50 l larutan contoh, dan 350 l
substrat kasein 2%, dan setelah itu divorteks.
Campuran diinkubasi selama 0 dan 15 menit
pada suhu 37 oC. Reaksi dihentikan dengan
menambahkan 1 ml TCA 0.3 M, lalu
divorteks kembali, dan didiamkan selama 10
menit pada suhu ruang. Setelah itu, campuran
disentrifugasi dengan laju 10,000 g pada suhu

4 oC selama 10 menit. Supernatan yang
dihasilkan dipipet sebanyak 0.4 ml ke dalam
tabung Eppendorf yang bersih lalu
ditambahkan ke dalamnya 0.85 ml NaOH 0.5
M dan 0.25 ml pereaksi Folin-Ciocalteu.
Larutan lalu didiamkan selama 15 menit dan
diukur serapannya pada 728 nm. Sebagai
pembanding digunakan model kalibrasi dari
sederet standar. Standar yang digunakan ialah
tirosina yang dianalisis dengan cara yang
sama
Aktivitas inhibitor tripsin dari masingmasing ekstrak protein diukur dengan cara
mencampur 25 l ekstrak protein dan 25 l
larutan stok tripsin 1 mg/ml ke dalam tabung
Eppendorf, untuk selanjutnya diuji aktivitas
tripsinnya. Aktivitas inhibisi diperoleh dengan
membandingkan nilai yang didapat dengan
aktivitas tripsin tanpa penambahan ekstrak
protein.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Protein
Sel dipecahkan dengan penggerusan
menggunakan mortar. N2 cair ditambahkan
selama penggerusan sel agar tetap stabil.
Bufer ektraksi yang digunakan memiliki pH
6.5, dan pada pH ini diharapkan protein target
yang berada di bagian dalam sel dapat
terekstraksi dengan baik.
Pada ekstraksi protein ekstraselular
dilakukan
prakonsentrasi
menggunakan
aseton. Hal ini dikarenakan nisbah antara
protein ekstraselular dan medium yang
digunakan sangat kecil. Protein ini pun masih
bercampur dengan sisa nutrien dalam
medium. Hasil pengendapan dengan cara ini
tidak seluruhnya dapat larut kembali ketika
ditambahkan bufer fosfat pH 6.5. Sisa
endapan yang tidak larut kemudian disaring
sehingga diperoleh protein terlarut yang
digunakan untuk pengujian selanjutnya.
Ekstraksi protein dari kulit buah kakao
sangat sulit karena kandungan pektinnya yang
membentuk gel saat dilarutkan dengan air.
Pada saat pencucian dengan TCA 10% berair,
terbentuk gel yang pekat. Molekul protein
diduga terperangkap dalam matriks gel ini,
sehingga ekstraksi menjadi tidak efektif. Pada
metode yang dilakukan oleh Pirovani et al.
(2008) menggunakan sonikator untuk
memecah
gel
yang
terbentuk,
dan
menjadikannya larut dalam air. Di sisi lain,
ekstraksi protein pada biji tidak membentuk
gel. Protein hasil ekstraksi dari kulit dan biji

5

dengan cara mencampur 3.35 ml akuades, 2.5
ml tris-HCl 1.5 M pH 8.8, 0.1 ml SDS 10%, 4
ml akrilamida, 0.1 ml APS 10%, dan 0.015 ml
TEMED ke dalam Erlenmeyer, lalu
dimasukkan ke dalam cetakan sampai batas
tertentu (sesuai dengan tinggi sisir).
Isopropanol ditempatkan secara perlahan ke
atas gel tersebut untuk meratakannya, lalu
dibiarkan membeku, dan sisa isopropanol
dibersihkan dari permukaan gel dengan kertas
saring. Larutan stacking gel 4.5% dituang ke
atas permukaan gel tersebut, kemudian sisir
dipasang dan dibiarkan membeku. Sisir lalu
dibuka secara perlahan dan gel siap
digunakan.
Setelah peralatan elektroforesis disiapkan,
larutan bufer loading ditempatkan pada alat.
Setelah itu, sampel dimasukan ke dalam
sumur pada gel SDS-PAGE, dipanaskan
selama 4 menit, lalu diberi arus listrik hingga
pewarna mencapai ujung gel (tegangan yang
dipakai 110 150 V). Setelah elektroforesis
selesai, dilanjutkan dengan pewarnaan.
Perwarnaan dapat dilakukan dengan 2
cara, yaitu dengan biru Coomassie atau
dengan AgNO3. Pewarnaan dengan biru
Coomassie dilakukan dengan merendam gel
dengan larutan pewarna CBBR selama 90
menit, kemudian dilakukan dekolorisasi
(pemucatan warna sehingga muncul pita-pita
hasil pemisahan) dengan merendam gel dalam
air mendidih selama 10 menit. Sementara itu,
pewarnaan dengan AgNO3 dilakukan dengan
cara merendam gel dalam larutan fiksatif
selama 1 jam, lalu dicuci selama 30 menit
sebanyak 2 kali dalam campuran metanol-air
1:1. Setelah itu gel direndam dalam larutan
pewarna AgNO3 selama 15 menit dan
direndam dengan akuades sebanyak 5 kali.
Pita-pita pada gel dimunculkan warnanya
dengan cara merendam gel tersebut pada
larutan revelasi selama 3 5 menit.
Aktivitas Inhibitor Tripsin
Aktivitas inhibitor tripsin ditentukan
secara tidak langsung dari aktivitas tripsinnya.
Aktivitas tripsin diukur dengan metode yang
dikemukakan oleh Walter (1984) yaitu
memasukkan berturut-turut 150 l bufer trisHCl pH 7.8, 50 l larutan contoh, dan 350 l
substrat kasein 2%, dan setelah itu divorteks.
Campuran diinkubasi selama 0 dan 15 menit
pada suhu 37 oC. Reaksi dihentikan dengan
menambahkan 1 ml TCA 0.3 M, lalu
divorteks kembali, dan didiamkan selama 10
menit pada suhu ruang. Setelah itu, campuran
disentrifugasi dengan laju 10,000 g pada suhu

4 oC selama 10 menit. Supernatan yang
dihasilkan dipipet sebanyak 0.4 ml ke dalam
tabung Eppendorf yang bersih lalu
ditambahkan ke dalamnya 0.85 ml NaOH 0.5
M dan 0.25 ml pereaksi Folin-Ciocalteu.
Larutan lalu didiamkan selama 15 menit dan
diukur serapannya pada 728 nm. Sebagai
pembanding digunakan model kalibrasi dari
sederet standar. Standar yang digunakan ialah
tirosina yang dianalisis dengan cara yang
sama
Aktivitas inhibitor tripsin dari masingmasing ekstrak protein diukur dengan cara
mencampur 25 l ekstrak protein dan 25 l
larutan stok tripsin 1 mg/ml ke dalam tabung
Eppendorf, untuk selanjutnya diuji aktivitas
tripsinnya. Aktivitas inhibisi diperoleh dengan
membandingkan nilai yang didapat dengan
aktivitas tripsin tanpa penambahan ekstrak
protein.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Protein
Sel dipecahkan dengan penggerusan
menggunakan mortar. N2 cair ditambahkan
selama penggerusan sel agar tetap stabil.
Bufer ektraksi yang digunakan memiliki pH
6.5, dan pada pH ini diharapkan protein target
yang berada di bagian dalam sel dapat
terekstraksi dengan baik.
Pada ekstraksi protein ekstraselular
dilakukan
prakonsentrasi
menggunakan
aseton. Hal ini dikarenakan nisbah antara
protein ekstraselular dan medium yang
digunakan sangat kecil. Protein ini pun masih
bercampur dengan sisa nutrien dalam
medium. Hasil pengendapan dengan cara ini
tidak seluruhnya dapat larut kembali ketika
ditambahkan bufer fosfat pH 6.5. Sisa
endapan yang tidak larut kemudian disaring
sehingga diperoleh protein terlarut yang
digunakan untuk pengujian selanjutnya.
Ekstraksi protein dari kulit buah kakao
sangat sulit karena kandungan pektinnya yang
membentuk gel saat dilarutkan dengan air.
Pada saat pencucian dengan TCA 10% berair,
terbentuk gel yang pekat. Molekul protein
diduga terperangkap dalam matriks gel ini,
sehingga ekstraksi menjadi tidak efektif. Pada
metode yang dilakukan oleh Pirovani et al.
(2008) menggunakan sonikator untuk
memecah
gel
yang
terbentuk,
dan
menjadikannya larut dalam air. Di sisi lain,
ekstraksi protein pada biji tidak membentuk
gel. Protein hasil ekstraksi dari kulit dan biji

6

kakao ini berupa endapan putih. Namun,
endapan yang terbentuk ini tidak seluruhnya
dapat larut sempurna dalam bufer fosfat pH
6.5. Penyaringan dilakukan untuk menghilangkan protein yang tidak terlarut.

tripsin dengan adanya penambahan ekstrak
protein
dibandingkan
dengan
tanpa
penambahan ekstrak (kontrol) menjadi
identitasnya sebagai inhibitor tripsin.
Homologi pada Bobot Molekul Protein

Kadar Protein Total
Pengukuran kadar protein bertujuan untuk
mengetahui nisbah awal antara volume
sampel dan tripsin yang digunakan dalam
pengujian aktivitas inhibisi tripsin. Namun
data protein ini tidak dapat digunakan untuk
menentukan sifat inhibisi dari protein
inhibitor tripsin itu sendiri. Protein yang diuji
masih merupakan ekstrak kasar dan perlu
dilakukan fraksionasi untuk memisahkan
protein target yang akan diuji dari protein
lainnya.
Pengukuran serapan pada penentuan kadar
protein ini dilakukan pada 592 nm. Hal ini
sesuai dengan nilai serapan tertinggi pada saat
3). Nilainya
pemilihan
maks (Lampiran
berbeda dengan maks yang direkomendasikan
oleh Sudarmanto (2007) dan Mikkelsen
(2004), yaitu berturut-turut 595 dan 590 nm.
Namun, perbedaan ini tidak menimbulkan
penyimpangan yang berarti pada hasil
pengukuran. Pada maksimum, serapan akan
memberikan respons yang optimum sehingga
nisbah antara sinyal analat dan sinyal yang
akibat derau akan semakin tinggi. Perbedaan
maksimum ini dapat terjadi karena perbedaan
kondisi alat dan lingkungan saat pengukuran
dilakukan.
Hasil
pengukuran
dengan
metode
Bradford dapat dilihat pada Lampiran 4.
Berdasarkan hasil pengukuran kadar protein,
aktivitas inhibitor tripsin protein intraselular
dan ekstraselular, diuji pada nisbah volume
ekstrak protein pada volume tripsin sebesar
1:1, dengan konsentrasi tripsin aktual yang
digunakan adalah 1.03 mg/ml. Hal ini agar
pada saat pengukuran aktivitas tripsin, serapan
yang diperoleh berada pada daerah kurva
standar tirosina. Akan tetapi, aktivitas
inhibitor spesifik dari protein 21 kDa yang
terekspresi sulit ditentukan, terlebih untuk
membandingkan sifat inhibisinya. Hal ini
karena menggunakan ekstrak protein kasar
yang belum mengalami fraksionasi. Walaupun
demikian, pengujian aktivitas inhibitor tripsin
dengan nisbah 1:1 antara ekstrak protein dan
tripsin yang digunakan, diharapkan dapat
memberikan pembuktian bahwa gen TcPIN
yang diklon pada E. coli memang
mengekspresikan protein 21 kDa yang aktif
sebagai inhibitor tripsin. Penurunan aktivitas

Uji homologi dengan SDS-PAGE ni
bertujuan memperkirakan jenis dan fungsi
protein yang terekspresi berdasarkan bobot
molekulnya. Namun, bobot molekul yang
homolog tidak sepenuhnya dapat memberi
kepastian akan fungsi molekul protein itu
sendiri. Pengujian yang lebih spesifik
diperlukan untuk menunjukkan fungsi
sesungguhnya dari protein tersebut.
Pencirian bobot molekul pada protein hasil
ekstraksi dari kulit dan biji buah kakao
dengan metode SDS-PAGE diperlihatkan
pada Gambar 3A. Hasilnya, terlihat pita pada
ekstrak protein Biji (3) dengan bobot molekul
yang sedikit lebih tinggi dari penanda standar
21 kDa (M). Pita yang terlihat pun berbayang,
hal ini diduga disebabkan oleh masih adanya
polisakarida yang mengganggu (Pirovani et
al. 2008). Pada ekstrak protein dari kulit buah
sama sekali tidak nampak pita di daerah
sekitar 21 kDa, baik pada klon Ary (1)
maupun Bal (2). Hal ini disebabkan metode
ekstraksi pada penelitian ini tidak dapat
mengekstraksi protein dari matriks contoh
kulit buah dan ekstrak protein dari kulit dan
buah kakao ini tidak dilanjutkan ke tahap
pengujian aktivitas inhibitor tripsin. Hal
serupa diperoleh pula pada pewarnaan dengan
AgNO3 seperti terlihat pada Gambar 3B.
A

B

21 kDa

1
2
3
M
1
2
3
M
Keterangan: 1 = Ary, 2 = Bal, 3 = Biji, M = Standar

Gambar 3 Hasil SDS-PAGE ekstrak protein
dari kulit dan biji buah kakao
dengan pewarna biru Coomassie
(A) dan pewarna AgNO3 (B).
Pada pencirian protein ekstraselular dari
kultur E. coli yang diklon gen TcPIN (Gambar

7

4A), tidak terlihat jelas pita pada daerah
sekitar 21 kDa, baik pada kulit kakao Bal (2)
maupun Ary (3). Akan tetapi, Biji (1) terlihat
ekspresinya pada daerah sekitar 21 kDa.
Pewarnaan
yang
digunakan
untuk
memunculkan pita pada bagian ini adalah
pewarna AgNO3 yang memiliki sensitivitas
100 kali lebih tinggi daripada pewarna biru
Coomassie (Merril et al. 1979). Hal ini
dilakukan karena pita-pita yang terbentuk
pada pewarnaan dengan biru Coomassie tidak
dapat dianalisis (data tidak ditampilkan).
Pada pencirian protein intraselular
(Gambar 4B). Pita di daerah sekitar 21 kDa
teramati pada protein intraselular Ary (3) dan
Bal (2). Kedua pita ini terlihat doublet, hal ini
diduga disebabkan kadar 2-merkaptoetanol
pada loading bufer kurang mencukupi atau
telah mengalami kerusakan pada saat
penyimpanan (Bio-rad 2009). Pita yang
sejajar dengan penanda standar 21 kDa (M)
terlihat sedikit berimpitan dengan pita yang
memiliki bobot molekul lebih tinggi. Namun,
protein 21 kDa cukup teridentifikasi dengan
jelas dan dapat menunjukkan bahwa kedua
bakteri E. coli yang diklon gen TcPIN yang
mengekspresikan protein 21 kDa. Pada
protein intraselular Biji (1), bobot molekul
protein yang teramati lebih besar dari 21 kDa,
dan perbedaan bobot molekul ini terlihat
cukup jelas. Berdasarkan hal ini dapat
dikatakan bahwa E. coli yang diklon gen
TcPIN dari biji buah kakao tidak
mengekspresiakan protein yang berukuran 21
kDa.
A

petunjuk adanya aktivitas sebagai inhibitor
tripsin. Penurunan ini disebabkan oleh adanya
interaksi protein dengan tapak aktif dari
tripsin, yang akan menginhibisi aktivitasnya
sebagai enzim protease. Waktu inkubasi yang
dipilih pada percobaan ini ialah 15 menit.
Pada waktu inkubasi ini diharapkan serapan
pada saat pengukuran tetap berada pada
kisaran kurva standar tirosina yang digunakan.
Pada Tabel 1 terlihat penurunan aktivitas
tripsin untuk pengujian dengan penambahan
ekstrak protein intraselular dari E. coli yang
diklon gen TcPIN dari kulit buah kakao baik
pada klon Ary maupun Bal. Penurunan ini
terjadi dari aktivitas tripsin tanpa penambahan
ekstrak protein (kontrol), yaitu sebesar 0.4434
U/mg berturut-turut menjadi 0.4245 U/mg dan
0.4169 U/mg. Penurunan ini berturut-turut
nyata dan sangat nyata berdasarkan uji tstudent two-tails. Adanya penurunan ini
menunjukkan bahwa pita 21 pada hasil SDSPAGE (Gambar 4B) merupakan protein yang
aktif sebagai inhibitor tripsin. Selain itu juga
membuktikan bahwa gen TcPIN dari kulit
buah kakao klon Bal (2) dan Ary (3) yang
ditransformasikan merupakan gen yang
mengekspresikan protein 21 kDa yang aktif
sebagai inhibitor tripsin. Hasil yang
berkebalikan ditunjukkan pada penambahan
ekstrak protein Biji. Aktivitas tripsinnya justru
meningkat dari aktivitas kontrol menjadi
0.5514 U/mg. Data lengkap hasil pengujian
protein intraselular ini terdapat pada Lampiran
5.
Tabel 1 Hasil pengukuran aktivitas tripsin
Aktivitas
Penambahan ekstrak
tripsin rerata
protein
(U/mg)
Intraselular Kontrol
0.4434

B

21 kDa

Ekstraselular
1
2
3
M 1
2
3
M
Keterangan: 1 = Biji, 2 = Ary, 3 = Bal, M = Standar

Gambar 4

Hasil elektroforesis SDS-PAGE
protein ekspresi ekstraselular
(A) dan intraselular (B).

Aktivitas Inhibitor Tripsin
Penurunan aktivitas tripsin dengan
penambahan ekstrak protein merupakan

Ary

0.4245*

Biji

0.5514

Bal

0.4169**

Kontrol

0.1864

Ary

0.2933

Biji

0.2001

Bal

0.2171

Keterangan: penurunan aktivitas tripsin secara statistik
berbeda: (*) nyata, (**) sangat nyata

Pada hasil pengujian protein
ekstraselular ketiganya tidak menunjukkan
penurunan aktivitas tripsin, dan data lengkap
hasil pengujian ini terdapat pada Lampiran 6.
Aktivitas kontrol pada saat pengujian protein

8

ektraselular dan intraselular berbeda, yaitu
berturut-turut 0.4434 dan 0.1864 U/mg. Hal
ini karena waktu pengujian yang berbeda 5
hari dengan pengujian pada ekstrak protein
intraselular. Penurunan dapat terjadi karena
adanya galat pada pengaturan kondisi
percobaan
diantara
pengujian protein
ekstraselular dan intraselular. Kendatipun
demikian, hal ini tidak menjadikan hasil
pengujian inhibitor tripsin ini menjadi bias.
Pengujian
protein ekstraselular maupun
intraselular, masing-masing dibandingkan
dengan kontrol yang dianalisis pada waktu
dan kondisi yang sama. Adanya kemungkinan
terjadinya galat dari perbedaan hasil
pengukuran aktivitas tripsin dengan ataupun
tanpa
perlakuan
diharapkan
dapat
diminimumkan pada kondisi percobaan
seperti ini.
Pada hasil SDS-PAGE (Gambar 4A),
walaupun terlihat pita pada daerah sekitar 21
kDa ditunjukkan ada pada ekstrak protein
ekstraselular gen TcPIN dari biji (1), tetapi uji
in vitro tidak menunjukkan penurunan
aktivitas tripsin. Hal serupa juga diperoleh
pada pengujian aktivitas inhibitor tripsin pada
protein intraselularnya. Hal ini mempertegas
bahwa gen TcPIN yang diisolasi dari biji
kakao ini tidak mengekspresikan protein yang
berperan sebagai inhibitor tripsin. Menurut
Tai et al. (1991) protein 21 kDa yang
ditemukan dalam jumlah yang besar di biji
merupakan
protein
simpanan.
Secara
fisiologis biji berfungsi sebagai jaringan
penyimpan (sink tissue) maka metabolit yang
dikandung di dalamnya adalah cadangan
makanan atau metabolit tersimpan.
Pada protein ektraselular E. coli yang
diklon gen TcPIN dari kulit buah kakao, baik
dari klon Ary ataupun Bal, keduanya
menunjukkan hasil yang bersesuaian, yaitu
antara hasil pencirian dengan SDS-PAGE
tidak menunjukkan adanya pita di daerah
sekitar 21 kDa. Hasil uji in vitro pun tidak
menunjukkan aktivitas inhibitor tripsin.
Berdasarkan hasil ini maka diketahui bahwa
gen TcPIN ini tidak terekspresi secara
ekstraselular.
Berdasarkan hasil penelitian Isda et al.
2008, gen yang menunjukkan fungsi sebagai
gen TcPIN dari kakao akan mengekpresikan
protein 21 kDa yang memiliki homologi
dengan inhibitor tripsin. Pada hasil penelitian
ini terbukti gen TcPIN yang diisolasi dari kulit
buah kakao baik dari klon Ary maupun Bal
menunjukkan aktivitas inhibitor tripsin pada
protein hasil ekspresi intraselular. Sementara

gen TcPIN yang diisolasi dari biji kakao,
ekspresi proteinnya tidak menunjukkan
aktivitas sebagai inhibitor tripsin, baik pada
protein hasil ekspresi secara ekstraselular
maupun intraselular.

SIMPULAN DAN SARAN
E. coli hasil trasformasi gen TcPIN
yang diisolasi dari kulit buah kakao dari klon
Ary ataupun Bal mengekspresikan secara
intraselular protein yang aktif sebagai
inhibitor tripsin. Di sisi lain, hasil
transformasi gen TcPIN yang diisolasi dari
biji kakao tidak mengekspresikan protein
yang aktif sebagai inhibitor tripsin, baik
secara intraselular, maupun ekstraselular.
Masih diperlukan fraksionasi pada ekstrak
protein terekspresi agar dapat diketahui
karakter penghambatan spesifik dari protein
21 kDa yang diekspresikan oleh gen-gen
tersebut. Hal ini untuk mengetahui apakah
karakter dari protein yang diekspresikan oleh
gen TcPIN tanaman kakao memberikan
pengaruh terhadap serangan hama PBK.

DAFTAR PUSTAKA
Berg JM, Tymaczko JL, Stryer L. 2000.
Biochemistry. Ed ke-5. New York: WH
Freeman.
[Bio-rad.]. 2009. SDS-PAGE molecular
weight
standards,
broad
range.
http://www.bio-rad.com/webroot/web/
pdf/ lsr/ literature/Bulletin_9515.pdf. [17
Nov 2009].
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive
method for quantitation of protein
utilization: The principle of protein-dye
binding. Anal Biochem 72:248-254.
Chaidamsari T. 2005. Biotechnology for
cacao pod borer resistance in cacao,
[disertasi]. Wagenigen: Plant Research
International, Wagenigen University.
[Depperin]. Departemen Perindustrian. 2007.
Gambaran Sekilas Industri Kakao.
Jakarta: Sekertariat Jenderal Departemen
Perindustrian.
Foard DE, Murdock LL, Dunn PE. 1983.
Engineering of crop plants with resistance

8

ektraselular dan intraselular berbeda, yaitu
berturut-turut 0.4434 dan 0.1864 U/mg. Hal
ini karena waktu pengujian yang berbeda 5
hari dengan pengujian pada ekstrak protein
intraselular. Penurunan dapat terjadi karena
adanya galat pada pengaturan kondisi
percobaan
diantara
pengujian protein
ekstraselular dan intraselular. Kendatipun
demikian, hal ini tidak menjadikan hasil
pengujian inhibitor tripsin ini menjadi bias.
Pengujian
protein ekstraselular maupun
intraselular, masing-masing dibandingkan
dengan kontrol yang dianalisis pada waktu
dan kondisi yang sama. Adanya kemungkinan
terjadinya galat dari perbedaan hasil
pengukuran aktivitas tripsin dengan ataupun
tanpa
perlakuan
diharapkan
dapat
diminimumkan pada kondisi percobaan
seperti ini.
Pada hasil SDS-PAGE (Gambar 4A),
walaupun terlihat pita pada daerah sekitar 21
kDa ditunjukkan ada pada ekstrak protein
ekstraselular gen TcPIN dari biji (1), tetapi uji
in vitro tidak menunjukkan penurunan
aktivitas tripsin. Hal serupa juga diperoleh
pada pengujian aktivitas inhibitor tripsin pada
protein intraselularnya. Hal ini mempertegas
bahwa gen TcPIN yang diisolasi dari biji
kakao ini tidak mengekspresikan protein yang
berperan sebagai inhibitor tripsin. Menurut
Tai et al. (1991) protein 21 kDa yang
ditemukan dalam jumlah yang besar di biji
merupakan
protein
simpanan.
Secara
fisiologis biji berfungsi sebagai jaringan
penyimpan (sink tissue) maka metabolit yang
dikandung di dalamnya adalah cadangan
makanan atau metabolit tersimpan.
Pada protein ektraselular E. coli yang
diklon gen TcPIN dari kulit buah kakao, baik
dari klon Ary ataupun Bal, keduanya
menunjukkan hasil yang bersesuaian, yaitu
antara hasil pencirian dengan SDS-PAGE
tidak menunjukkan adanya pita di daerah
sekitar 21 kDa. Hasil uji in vitro pun tidak
menunjukkan aktivitas inhibitor tripsin.
Berdasarkan hasil ini maka diketahui bahwa
gen TcPIN ini tidak terekspresi secara
ekstraselular.
Berdasarkan hasil penelitian Isda et al.
2008, gen yang menunjukkan fungsi sebagai
gen TcPIN dari kakao akan mengekpresikan
protein 21 kDa yang memiliki homologi
dengan inhibitor tripsin. Pada hasil penelitian
ini terbukti gen TcPIN yang diisolasi dari kulit
buah kakao baik dari klon Ary maupun Bal
menunjukkan aktivitas inhibitor tripsin pada
protein hasil ekspresi intraselular. Sementara

gen TcPIN yang diisolasi dari biji kakao,
ekspresi proteinnya tidak menunjukkan
aktivitas sebagai inhibitor tripsin, baik pada
protein hasil ekspresi secara ekstraselular
maupun intraselular.

SIMPULAN DAN SARAN
E. coli hasil trasformasi gen TcPIN
yang diisolasi dari kulit buah kakao dari klon
Ary ataupun Bal mengekspresikan secara
intraselular protein yang aktif sebagai
inhibitor tripsin. Di sisi lain, hasil
transformasi gen TcPIN yang diisolasi dari
biji kakao tidak mengekspresikan protein
yang aktif sebagai inhibitor tripsin, baik
secara intraselular, maupun ekstraselular.
Masih diperlukan fraksionasi pada ekstrak
protein terekspresi agar dapat diketahui
karakter penghambatan spesifik dari protein
21 kDa yang diekspresikan oleh gen-gen
tersebut. Hal ini untuk mengetahui apakah
karakter dari protein yang diekspresikan oleh
gen TcPIN tanaman kakao memberikan
pengaruh terhadap serangan hama PBK.

DAFTAR PUSTAKA
Berg JM, Tymaczko JL, Stryer L. 2000.
Biochemistry. Ed ke-5. New York: WH
Freeman.
[Bio-rad.]. 2009. SDS-PAGE molecular
weight
standards,
broad
range.
http://www.bio-rad.com/webroot/web/
pdf/ lsr/ literature/Bulletin_9515.pdf. [17
Nov 2009].
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive
method for quantitation of protein
utilization: The principle of protein-dye
binding. Anal Biochem 72:248-254.
Chaidamsari T. 2005. Biotechnology for
cacao pod borer resistance in cacao,
[disertasi]. Wagenigen: Plant Research
International, Wagenigen University.
[Depperin]. Departemen Perindustrian. 2007.
Gambaran Sekilas Industri Kakao.
Jakarta: Sekertariat Jenderal Departemen
Perindustrian.
Foard DE, Murdock LL, Dunn PE. 1983.
Engineering of crop plant