Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dalam Perjanjian Kredit Yang Objeknya Jaminan Perorangan (Studi Pada PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan)

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

YOGI AGUSSALAM 100200136

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG OBJEKNYA JAMINAN PERORANGAN (Studi Pada PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu

Kesawaan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

YOGI AGUSSALAM 100200136

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Perdata

NIP. 196603031985081001

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Puspa Melati Hasibuan,SH.,M.Hum

NIP. 196801281994032001 NIP. 195412101986011001

M.Siddik SH M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK * Yogi Agussalam ** Puspa Melati Hasibuan

***M.Siddik SH M.Hum

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank).

Permasalahan Bagaimanakah Pelaksanaan perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan pada Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan. Bagaimanakah Kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan. Bagaimanakah Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan.

Metode pendekatan secara yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan suatu permasalahan dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan.

Pelaksanaan perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan pada Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan kondisi actual lebih menguatkan perkembangannya dengan adanya Surat-Surat Keputusan Dewan Direksi Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) serta ditingkatkannya Biro Perbankan Syariah di Bank Indonesia menjadi Direktorat Perbankan Syariah. Kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan, kewajiban pihak kedua membayar angguran dan kewajiban pihak pertama memberikajn pinjaman kepada pihak kedua setelah selesaikan mengadakan perjanjian kontrak. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan. penyelesainnya pertama pihak bank berhubungan langsung dengan bendahara perusahaan dan pimpinan perusahaan, kedua diselesaikan secara musyawarah. Sampai saat ini penyelesaian wanprestasi belum pernah ada yang diselesaikan di pengadilan.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Perjanjian Kredit * Mahasiswa Fakultas Hukum

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah

Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dalam Perjanjian Kredit Yang Objeknya Jaminan Perorangan (Studi Pada PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan)

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MHum selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, MHum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan.

6. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak M.Siddik SH M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis papa Drs. Irwansyah dan mama Dra.Erifah yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

10.Buat teman-teman stambuk 010, yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukung dan motivasinya sehingga terselesaikan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.


(6)

Medan, Januari 2015 Penulis,

YOGI AGUSSALAM 100200136


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Keaslian Penulisan ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT ... 16

A. Perjanjian pada Umum ... 16

1. Pengertian Perjanjian ... 16

2. Syarat sah perjanjian ... 14

3. Berakhirnya perjanjian ... 15

B. Perjanjian Kredit ... 16

1. Pengertian Perjanjian Kredi ... 16

2. Jenis-jenis Kredit ... 26


(8)

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN PERORANGAN ... 34

A. Pengertian Jaminan ... 34

B. Jenis-jenis Jaminan ... 36

C. Prinsip-prinsip Hukum Jaminan ... 40

D. Pengertian Hak Jaminan ... 43

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT YANG OBJEKNYA JAMINAN PERORANGAN (STUDI PADA PT. BANK MANDIRI SYARIAH, KANTOR CABANG PEMBANTU KESAWAAN) ... 50

1. Pelaksanaan perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan pada Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan ... 50

2. Kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan ... 60

3. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK * Yogi Agussalam ** Puspa Melati Hasibuan

***M.Siddik SH M.Hum

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank).

Permasalahan Bagaimanakah Pelaksanaan perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan pada Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan. Bagaimanakah Kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan. Bagaimanakah Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan.

Metode pendekatan secara yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan suatu permasalahan dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan.

Pelaksanaan perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan pada Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan kondisi actual lebih menguatkan perkembangannya dengan adanya Surat-Surat Keputusan Dewan Direksi Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) serta ditingkatkannya Biro Perbankan Syariah di Bank Indonesia menjadi Direktorat Perbankan Syariah. Kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan, kewajiban pihak kedua membayar angguran dan kewajiban pihak pertama memberikajn pinjaman kepada pihak kedua setelah selesaikan mengadakan perjanjian kontrak. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan. penyelesainnya pertama pihak bank berhubungan langsung dengan bendahara perusahaan dan pimpinan perusahaan, kedua diselesaikan secara musyawarah. Sampai saat ini penyelesaian wanprestasi belum pernah ada yang diselesaikan di pengadilan.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Perjanjian Kredit * Mahasiswa Fakultas Hukum

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam mengemukakan prinsip pedoman dan serangkaian aturan bagi semua aspek kehidupan manusia, termasuk aspek ekonomi. Upaya untuk menjelaskan prinsip dan aturan ekonomi dan finansial Islam dalam terminology analitis modern baru berlangsung dua dekade terakhir ini. Walaupun demikian, terlepas dari publikasi yang cukup banyak, masih terjadi kebingungan dalam mendefinisikan secara tepat berbagai ilmu sosial yang ditambah dengan istilah “Islam”, seperti “Ilmu ekonomi Islam” atau “Keuangan Islam.” Salah satu alasan utama kebingungan ini adalah kecenderungan melihat berbagai aspek dalam sistem seperti itu secara sendiri-sendiri, tanpa melihatnya dalam sebuah kesatuan utuh.1

Lahirnya bank pada mulanya hasil dari perkembangan cara penyimpanan harta benda. Para saudagar merasa khawatir membawa perhiasan dan harta benda lain sebagainya berpindah dari satu tempat ketempat lain, sedang mata pencuri mengikutinya.2

Bank memberi jaminan atas penyimpanan dan penyimpan pun dapat pula mempergunakan uang penyimpananya dengan mempergunakan cek, surat wesel Bank merupakan tempat yang dipercayai dan terpelihara dengan kekuatan tenaga karena rapinya penjagaan bank itu, kepercayaan umum pun tertarik olehnya. Sejak itu, berkembanglah bank dengan cara-caranya.

1

Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam (Teori dan Praktek), Jakarta: Prenada Media Group, hal 1

2


(11)

dan sebagainya. Bank yang pertama berdiri di Venesia dan Genua di Italia, kira para abad ke-4. Kota-kota tersebut dikenal dengan Kota-kota dagang. Manusia dagang menuju ke kota-kota ini untuk tukar menukar barang-barang dagangnya. Dari kedua kota ini berpindahlah sistem bank ke Eropa Barat.3

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.

Pada jantung sistem ekonomi Islam terdapat peraturan abadi yang tak lekang oleh waktu yang ditentukan oleh syariah, yang mempengaruhi perilaku dan output ekonomi ekonomi. Pada lingkaran luar sistem tersebut, terdapat peraturan yang mempengaruhi perilaku ekonomi, tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi. Aturan yang disebut belakangan tesebut adalah hasil dari keputusan yang diambil oleh otoritas yang sah dalam masyarakat Islam sebagai upaya menjalankan kebijakan, seperti intervensi dalam bidang ekonomi. Semua kebijakan dan tindakan diambil dalam upaya mengejar tujuan tertentu, yang harus sesuai syariah. Sistem ekonomi Islam yang diadopsi ke dalam berbagai tempat mungkin akan bervariasi karena peraturan dan institusi ekonomi “sekunder” ini, namun peraturan dan institusi intinya akan selalu sama.

3

Fuad Mohd. Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, (Bandung: Alma’arif, 1983), hal 110-111


(12)

Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan, memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Sedangkan fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun profit margin serta bagi hasil.


(13)

Ketentuan perundangan yang dipergunakan untuk keberadaan dan pengelolaan perbankan mulai disahkan sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya diubah lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menjadikan eksistensi perbankan syariah dengan paying hukumnya sudah terpenuhi. Demikian juga ketentuan yang mengatur masalah penyelesaian sengketa perbankan syariah sebelum diberlakukan Undang-Undang Perbankan Syariah, landasan hukum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah secara yuridis ada di dalam lingkungan Peradilan Agama sesuai dengan klausul yang ada dalam Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan selanjutnya Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tetapi prakteknya seringkali penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan dalam lingkungan peradilan yang lain.

Salah satu perjanjian kredit yang di jalankan sekarang oleh PT Bank Mandiri Syariah Kantor Cabang Pembantu adalah adalah perjanjian kredit dengan Jaminan perorangan, dimana hal tersebut merupakan kebijakan yang diambil dalam rangka untuk menyesuaikan dengan perkembangan dunia usaha dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, dimana debitur untuk menjamin


(14)

barang jaminannya untuk mendapatkan sejumlah uang yang dipinjam kepada kreditur. Sehingga barang Jaminan tersebut masih bisa digunakan oleh debitur guna mendukung usahanya.

Pengaturan bank berdasarkan prinsip bagi hasil ini dilandasi oleh pemikiran bahwa perbankan nasional sebagai suatu sistem, perlu mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat dan bahwa perbankan dengan prinsip bagi hasil merupakan perbankan alternative yang berlandaskan pada nilai-nilai kemaslahatan yang sesuai dengan keyakinan mayoritas masyarakat, serta bahwa secara factual perbankan dengan prinsip bagi hasil dalam berbagaim hal memiliki karakteristik yang berbeda dengan perbankan konvensional yang berdasarkan bunga.4

Berdasarkan latar belakang di atas merasa tertarik memilih judul Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Dalam Perjanjian Kredit Yang Objeknya

Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain. Selain semua sistem yang terdapat dalan bank syariah, perlu juga adanya perlindungan hukum bagi nasabah bank syariah yang terikat dalam perjanjian kredit.

4

Ahmad Fuad, Pengaturan Perbankan Syariah dalam Sistem Peraturan

Perundang-Undang Nasional, dalam Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2005, (Jakarta: Badan


(15)

Jaminan Perorangan (Studi Pada PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan)

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang akan menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini, antara lain:

4. Bagaimanakah Pelaksanaan perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan pada Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan?

5. Bagaimanakah Kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan?

6. Bagaimanakah Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan pada Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan

2. Untuk mengetahui kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan

3. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan


(16)

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum jaminan perorangan yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah

2. Manfaat praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun lembaga perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah perlindungan hukum bagi nasabah dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dipergunakan untuk mengkaji dokumen-dokumen perjanjian yang berbentuk baku dengan menggunakan tolak ukur asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, maupun asas itikad baik dan kepatutan yang dapat disimpulkan dari pasal–pasal mengenai perjanjian yang terkait, serta peraturan–peraturan yang mengatur tentang Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Dalam Perjanjian Kredit Yang


(17)

Objeknya Jaminan Perorangan (Studi Pada PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan).

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan secara yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan suatu permasalahan dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan.5

Berdasarkan pada tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, nantinya akan bersifat deskriptif analitis yang artinya bahwa hasil penelitian ini berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti.

2. Spesifikasi Penelitian

6

5

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hal. 45 6

Ibid

3. Sumber Data

Data Sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek yang diteliti, antara lain; buku-buku literatur, laporan penelitian, tulisan para ahli, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Dalam penelitian ini yang merupakan penelitian yuridis normatif, sebagai bahan dasar penelitiannya, penulis menggunakan data sekunder, yakni bahan-bahan yang diperoleh dari bahan pustaka lazimnya. Data sekunder yang digunakan sebagai bahan dasar penelitian ini terdiri atas:


(18)

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan atau berbagai perangkat hukum, seperti : Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Selain itu, hasil wawancara yang didapatkan melalui studi lapangan PT. Bank Mandiri Syariah Kantor Cabang Pembantu Kesawaan Medan menjadi bahan hukum primer yang membantu dalam mengkaji masalah dalam penelitian ini.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, karya ilmiah, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian, dan bahan lainnya yang dapat dan berfungsi untuk memberikan penjelasan lebih lanjut atas bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier memberikan petunjuk/penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lainnya.7

7


(19)

4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer dan sekunder adalah dengan cara studi kepustakaan dan wawancara kepada pihak PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan

5. Analisis data

Metode yang digunakan adalah metode analisa deskriptif dengan teknik induksi, hal ini dilakukan terhadap data yang sifatnya data sekunder yang diperoleh melalui kajian kepustakaan. Teknik induksi digunakan untuk menganalisis data primer maupun data sekunder yang berbentuk dokumen perjanjian. Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan yang selanjutnya diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik editing yaitu memeriksa data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah dapat dipertanggungjawabkan.

F. Keaslian Penulisan

Sepanjang penelusuran di perpustakaan Fakultas hukum USU skripsi dengan judul Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Dalam Perjanjian Kredit Yang Objeknya Jaminan Perorangan (Studi pada PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan), belum pernah diteliti dalam bentuk skripsi dari Departemen Hukum Perdata di Fakultas Hukum USU. Dengan demikian penulisan skripsi ini tidaklah sama dengan penulisan skripsi yang pernah ada, karena skripsi ini dibuat sendiri dengan menggunakan berbagai litelatur, sehingga penulisan skripsi ini masih asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.


(20)

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah : BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

Bab ini berisikan Perjanjian pada umumnya yang terdiri dari Pengertian Perjanjian, Syarat sahnya perjanjian, Berakhirnya perjanjian, dan Perjanjian Kredit, Pengertian Perjanjian Kredit, Jenis-jenis Kredit, Tujuan dan Fungsi Kredit

BAB III TINJAUAN TENTANG JAMINAN PERORANGAN

Bab ini berisikan Pengertian Jaminan Perorangan, Jenis-jenis Jaminan, Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan dan Fungsi Jaminan Dalam Pemberian Kredit

BAB IV PERJANJIAN KREDIT YANG OBJEKNYA JAMINAN PERORANGAN (STUDI PADA PT. BANK MANDIRI SYARIAH, KANTOR CABANG PEMBANTU KESAWAAN)

Pada bab ini akan membahas tentang Pelaksanaan perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan pada Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan serta Perlindungan


(21)

hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan isi. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar. Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih berhasil guna berdaya guna.


(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

A. Perjanjian pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata digunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 ayat (1) KUHPerdata disebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari Pasal 1313 ayat (1) KUH Perdata, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa tersebut timbul suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang dinamakan perikatan.

Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi, bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga


(23)

mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.8

Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”9

Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.10 Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari “undang-undang”. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang saja (Pasal 1352 KUHPerdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu perbuatan yang berlawanan dengan Hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).

8

Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan

Penjelasan, Bandung: Alumi. 2005, hal. 89.

9

Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 27

10


(24)

2. Syarat sahnya Perjanjian

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat sahnya perjanjian adalah : a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Kesepakatan merupakan kesesuaian kehendak mereka yang mengikatkan diri. Kata sepakat muncul dari kemauan bebas dari para pihak yang dinyatakan dalam isi perjanjian. Pernyataan tersebut dapat dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tulisan.

Kata sepakat yang diberikan karena penipuan, paksaan atau kekerasan maka dapat diadakan pembatalan oleh pengadilan atas tuntutan dari orang-orang yang berkepentingan

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Sesuai Pasal 1329 KUH Perdata, “Setiap orang adalah cakap membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Seseorang dikatakan cakap hukum apabila laki-laki atau wanita yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah menikah.

Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian, yaitu :

1) Orang-orang yang belum dewasa

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan c. Mengenai suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu menyangkut obyek umum perjanjian atau mengenai bendanya. Obyek perjanjian harus jelas, syarat ini diperlukan untuk menentukan hak dan kewajiban para pihak jika terjadi perselisihan.


(25)

d. Suatu sebab yang halal

Sebab yang halal berkaitan dengan isi perjanjian, apakah isi perjanjian dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan seperti yang tercantum dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyek atau pihak dalam perjanjian yang disebut syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah mengenai obyek perjanjian yang disebut syarat obyektif. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau memberikan sepakatnya dalam keadaan tidak bebas. Jadi perjanjian yang dibuat tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang meminta pembatalan. Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal, sehingga tidak ada dasar hukum untuk saling menuntut di depan hakim.

3. Berakhirnya Perjanjian

Suatu perjanjian akan berakhir bilamana tujuan perjanjian itu telah dicapai, dimana masing-masing pihak telah saling menunaikan prestasi yang diperlukan sebagaimna yang mereka kehendaki bersama-sama dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, suatu perjanjian dapat juga berakhir karena hal-hal sebagai berikut ;


(26)

1. Lama waktu perjanjian yang ditentukan para pihak telah terlewati.

2. Batas maksimal berlakunya suatu perjanjian ditentukan oleh undang-undang.

3. Ditentukan di dalam perjanjian oleh para pihak atau oleh undang-undang, bahwa dengan terjadinya suatu peristiwa tertentu, maka perjanjian akan berakhir.

4. Dengan pernyataan penghentian oleh salah satu pihak (opzegging). Misalnya perjanjian sewa-menyewa yang waktunya tidak ditentukan di dalam perjanjian. Pernyataan penghentian ini harus dengan memperhatikan tenggang waktu pengakhiran menurut kebiasaankebiasaan setempat.

5. Karena putusan hakim.

6. Adanya kesepakatan para pihak.

B. Perjanjian Kredit

1. Pengertian Perjanjian Kredit

Kata kredit berasal dari bahasa Romawi, yakni credere yang artinya percaya,11 bila dihubumgkan dengan bank, bahwa terkandung pengertian bahwa bank selaku kreditor percaya meminjamkan uang kepada nasabah atau debitur, karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan.12

1

Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank.(Bandung: Alumni, 1978), hal. 19. Lihat juga Sidharta P. Soejardi, Segi-segi Hukum Perkereditan di Indonesia, Kertas Kerja dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perkreditan,(BPHN dan Bina Cipta, 1987, hal.


(27)

kredit, yang mempunyai arti kepercayaan. Seorang yang memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan. Dengan demikian dasar dari kredit adalah kepercayaan.13

Beberapa pakar juga mengemukakan mengenai pendapatnya mengenai definisi kredit, yakni H.M.A Savelberg menyatakan bahwa kredit merupakan dasar setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.

Dilihat dari sudut ekonomi, kredit diartikan sebagai penundaan pembayaran, karena pembelian atas penerimaan uang dan atau suatu barang tidak dilakukan bersamaan pada saat menerimanya, melainkan pengambilanya dilakukan pada masa tertentu yang akan datang.

14

Mr. J.A.Levy merumuskan dari arti hukum dari kredit, yakni menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah uang pinjaman itu dibelakang hari.

15

Adapun Muchdarsyah Sinungan memberikan pengertian kredit, yakni suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada waktu tertentu disertai dengan suatu kontra pretasi berupa bunga.16

Mgs. Edy Putra, Kredit Perbankan Suatu Tujuan Yuridis Yogyakarta: Liberty, 1986, hal. 1.

14

Mariam Darus Badrulzaman. Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 24.

15

Mgs. Edy Putra Tje’Aman. Op.cit. hal 13. 16


(28)

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian kredit yang diberikan oleh Savelberg dan Muchdarsyah menunjukan pada pengertian kredit pada umumnya, yang dapt dilihat pada kata setiap setiap perkatan atau prestasi itu terdapat terjadi atas uang, barang atau kedua-duanya. Adapun pengertian kredit yang diberikan oleh Levy sudah menunjukan pada perjanjian pinjam uang.

Secara yuridis formal, ketentuan Pasal 1 angka 11 undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan telah ditegaskan pengertian kredit, yakni penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamaan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Adpun persetujuan atau kesepakantan pinjam-meminjam antara bank atau pihak lain (debitur) dengan syarat-syarat kewajiban tertentuyang harus dipenuhi disebut perjanjian kredit. Pada prakteknya, didalam perjanjian kredit, penerima kredit. Penguna kredit juga terkait pada program pemerintah didalam pembangunan.17

Pengertian jaminan menurut Mariam Darus Badrulzaman adalh suatu tanggungan yang diberikan seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibanyadalam suatu perkatan.18

17

Edy Putra Tje’Aman, Op.cit., hal 2-3. 18

Mariam Darus Badrulzaman, “Permasalahan Hukum Hak Jaminan” dalam Hukum

Bisnis, Volume 11, 2000, hal. 12.

Adapun Suyatno, ahli hukum perbankan mendefinsikan jamianan adalah penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu


(29)

hutang.19 Di sisi lain, Hartono Hadisaputro berpendapat bahwa jaminan adalah suatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa kreditor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.20

Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut dikemukakan bahwa berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesangupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atu mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan itulah yang diartikan sebagai Jaminan Kredit. Selanjutnya, Pasal 8 Undang-Undang Perbankan tersebut menyatakan bahwa untuk memperoleh keyakinan, sebalum memberikan kredit, Bank harus melakukan penilaian analisis terhadap watak, kemampuan, modal, angunan, dan prospek usaha dari debitur. Dari Pasal 8 tersebut dapat disimpulkan bahwa angunan itu hanya merupoakan salah satu unsur dari jaminan kredit. Bahkan di jelaskan pula bahwa bila berdasarkan unsur-unsur

Di dalam praktik perbankan masalah jaminan ini sangat penting artinya, terutama yang berhubung debgan kredit yang dilepas pada nasabahnya. Dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dinyatakan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan sertak kesanggupan Nasabah Debutir untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

19

Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan,(Jakarta: Gramedia, 1998), hal. 70. 20

Hartono Hadi sucipto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan


(30)

yang lain Bank telah memperolehkan keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan uangnya, angunan yang diserahkan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang antara Bank sebagai kreditor dengan nasabah sebagai debitur. Dalam perjanjian ini bank sebagai pemberi kredit percaya terhadp nasabah dalam jangka waktu yang disepakatinya akan dikembalikan (dibayar) lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan penerimaan kembali prestasi menurut Mgs. Edy Putra Tje’Aman,21

a. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam pakai habis.

merupakan suatu hal yang abstrak yang sukar diraba, karena masa antara pemberian dan peneriamaan prestasi tersebut dapat berjalan dalam beberapa bulan, tetapi dapat juga berjalan beberapa tahun.

Memeang dapat terjadi demikaian, karenadalam praktik banyak terjadi nasabah tidak menepati waktu yang diperjanjikan dalam pengembalian pinjamanya dengan berbagai alasan. Oleh karena itu, dalam rumusan pengertian kredit ditegaskan mengenai kewajiban nasabah untuk melunasi utangnnya sesuai dengan jangka waktunya disertai dengan kewajibannya yang alin yaitu berupa bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.

Hakikat dari perjanjian kredit jika dihubungkan dengan KUHPerdata, maka secara yuridis, perjanjian kredit dapat dilihat dari 2 (dua) segi pandang sebagai berikut :

b. Perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus.

21

Mgs. Edy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis. (Liberty: Yogyakarta, 1989), hal. 10.


(31)

Jika perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus, maka tidak ada perjanjian bernama dalam KUHPerdata yang disebut dengan perjanjian kredit. Karena itu, yang berlaku adalah ketentuan umum dari hukum perjanjian, tentunya ditambah dengan klausul-kalusul yang telah disepakati bersama dalam kontrak yang bersangkutan.

Selanjutnya, penggolongan perjanjian kredit sebagai perjanjian bernama dalam tampilannya sebagai perjanjian pinjam pakai, maka disamping terhadapnya berlaku ketentuan umum tentang perjanjian, berlaku juga ketentuan KUHPerdata tentang perjanjian pinjam pakai habis. Hal ini berbeda dengan perjanjian pinjam pakai biasa, dimana yang harus dikembalikan oleh debiturnya adalah fisik dari benda yang dipinjam, misalnya pinjam mobil, maka yang dikembalikan adalah mobil yang dipakai tersebut. Sementara dalam perjanjian pinjam pakai habis, yang dikembalikan adalah nilai dari benda yang dipinjam pakai tersebut.

“Kata kredit berasal dari bahasa Romawi ”credere” yang berarti percaya.”22

Didalam Pasal 1 angka 1 butir 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan mendefinisikan kredit sebagai berikut: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan Unsur dasar dari kredit adalah adanya kepercayaan. Pihak yang memberi kredit (Kreditor) percaya bahwa penerima kredit (Debitor) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan, baik menyangkut jangka waktunya, maupun prestasinya dan kontraprestasinya.

22

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 233


(32)

persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Adapun pendapat para sarjana mengenai pengertian kredit adalah sebagai berikut:

1. Savelberg dalam Mariam Darus Badrulzaman menyatakan kredit mempunyai dua arti antara lain :23

a. Sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain.

b. Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.

Berdasarkan definisi-definisi kredit di atas, dapat dilihat bahwa pengertian kredit yang diberikan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan menunjukkan kesamaan pendapat dengan pendapat Levy, yakni perjanjian pinjam uang. Bank memberikan pinjaman terhadap debitor dengan memberikan kewajiban pada debitur untuk mengembalikan pinjaman tersebut secara bertahap berikut dengan bunga.

Kreditur percaya meminjamkan uang kepada debitur karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk mengembalikan pinjaman tersebut di kemudian hari. Dengan mengingat pengembalian dari kredit yang telah diberikan tersebut

23

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, (Bandung, 1991), hal. 24-25.


(33)

tentunya bank disini tidak begitu saja mengabulkan setiap permohonan kredit. Karena itu bank hanya memberikan kredit kepada orang yang dianggap layak untuk diberikan. Bank menilai suatu permintaan kredit berpedoman pada faktor-faktor 6 C, yaitu Character, Capacity to create sources of funding, Capital, Collateral, Condition of economy and sector of business ,and Competence to borrow.24

Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus dilandasi keyakinan bank atas kesanggupan dan kemampuan debitor untuk melunasi utangnya. Kredit diartikan sebagai pemberian prestasi (berupa uang atau barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) yang akan terjadi pada waktu tertentu dengan pemberian bunga, dengan demikian pengertian kredit adalah adanya unsur mempunyai sifat atau pertimbangan tolong menolong. Selain itu, dilihat dari pihak kreditor, unsur yang penting dalam kegiatan kredit adalah untuk mengambil keuntungan dari modalnya dengan mengharapkan kontra prestasi, sedangkan bagi debitor adalah adanya bantuan dari kreditor untuk menutupi kebutuhannya berupa prestasi yang diberikan oleh kreditor. Hanya saja, antara prestasi dengan kontra prestasi tersebut ada suatu masa yang memisahkannya sehingga ada tenggang waktu tertentu. Kondisi ini menyebabkan adanya risiko yang berupa ketidak tentuan sehingga oleh karenanya diperlukan suatu jaminan dalam pemberian kredit tersebut. Terdapat adanya beberapa unsur dalam pemberian kredit yang timbul akibat dari Kriteria ini penting bagi bank untuk memberikan kepastian baginya agar kredit tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat.

24

Sutojo, Siswanto, Analisa Kredit Bank Umum: Konsep dan Teknik, (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1995), hal. 44.


(34)

adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari menyebabkan semakin lama kredit diberikan, semakin tinggi pula tingkat risikonya. Hal ini disebabkan karena sejauh-jauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu akan masih selalu terdapat unsur ketidak tentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko.

Hubungan hukum antara nasabah dengan bank terjadi setelah kedua belah pihak menandatangani perjanjian untuk memanfaatkan produk jasa yang ditawarkan bank. Dalam setiap produk bank selalu terdapat ketentuan-ketentuan yang ditawarkan oleh bank. Dengan adanya persetujuan dari nasabah terhadap formulir perjanjian yang dibuat oleh bank, berarti nasabah telah menyetujui isi serta maksud perjanjian dan dengan demikian berlaku facta sun servanda yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata.25

1. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Ketentuan mengenai perjanjian kredit pada Undang-undang Perbankan diatur dalam Pasal 8 yang berisi sebagai berikut :

25

T ri Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), hal. 18


(35)

2. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Walaupun tidak secara terang menyebutkan mengenai perjanjian kredit namun pada Ayat (2) dikatakan “sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”. Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain : 26

a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;

b. Bank harus memiliki keyakian atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitor; c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit

atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;

d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;

e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitor dan/atau pihak-pihak terafiliasi;

f. Penyelesaian sengketa

26

Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah , (Jakarta : Suka Buku, 2010), hal. 23


(36)

2. Jenis-jenis Kredit

Jenis kredit tidak bisa dipisahkan dari kebijakan perkreditan yang digariskan sesuai dengan pembangunan. Pada mulanya, kredit berdasarkan kepercayaan murni, yaitu berbentuk kredit perorangan, karena kedua belah pihak saling mengenal. Dengan berkembangnya waktu, akhirnya berkembang pula unsur-unsur lain yang menjadi landasan kredit, sehingga selanjutnya berkembang pula jenis kredit yang ada.

Jenis kredit dapat dibedakan menurut berbagai kriteria, yaitu dari criteria lembaga pemberi-penerima kredit, jangka waktu, serta penggunaan kredit, kelengkapan dokumen perdagangan, atau dari berbagai kriteria lainnya.

1. Segi lembaga pemberi-penerima kredit yang menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, jenis kredit terdiri dari:

a. Kredit perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha, dan untuk konsumsi. Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada dunia usaha ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa.

b. Kredit likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya. Pelaksanaan kredit ini merupakan operasi Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugas yang diembannya, yaitu untuk memajukan urusan perkreditan, sekaligus bertindak mengadakan pengawasan terhadap urusan perkreditan


(37)

tersebut. Dengan demikian Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk menentukan batas-batas kuantitatif di bidang perkreditan bagi bank yang ada.

c. Kredit langsung, kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah atau semi pemerintah. Misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program pengadaan pangan, atau pemberian kredit langsung kepada Pertamina, atau pihak ketiga lainnya.

2. Segi penggunaan kredit, jenis-jenis kredit terdiri dari:

a. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Pemerintah atau swasta yang diberikan kepada perorangan untuk membiayai konsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari.

b. Kredit Produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi. Kredit Investasi, adalah kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan produksi, gedung dan mesin-mesin, juga untuk membiayai rehabilitasi, dan ekspansi. Adapun jangka waktunya 5 (lima) tahun atau lebih. Di Indonesia, jenis kredit ini mulai diperkenalkan pada pertengahan tahun 1969, bersamaan dengan dimulainya Repelita 1 sebagai penunjang program industrialisasi yang mulai dilancarkan pemerintah. Kredit eksploitasi, adalah kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja berupa persediaan bahan baku, persediaan produk akhin, barang dalam proses produksi serta piutang, sedangkan jangka waktunya


(38)

berlaku pendek. Di Indonesia, jenis kredit ini sudah ada sejak tahun 1950an.

c. Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif.

3. Segi adanya dokumen, dikenal kredit yang sangat terikat dengan dokumen-dokumen berharga yang memiliki substitusi nilai jumlah uang, dan dokumen-dokumen tersebut merupakan jaminan pokok pemberian kredit. Kredit ini banyak digunakan oleh orang yang mengadakan transaksi dagang yang berlainan tempat. Jenis kredit ini terdiri dari:

a. Kredit ekspor, adalah semua bentuk kredit sebagai sumber pembiayaan bagi usaha ekspor. Jadi bisa dalam bentuk kredit langsung maupun tidak langsung seperti pembiayaan kredit modal kerja jangka pendek, maupun kredit investasi untuk jenis industri yang berorientasi ekspor.

b. Kredit impor, adalah semua bentuk kredit sebagai sumber pembiayaan bagi usaha ekspor, baik dalam bentuk kredit langsung maupun tidak langsung dan jangka panjang atau jangka pendek.

4. Dari segi besar kecilnya aktivitas perputaran usaha, yaitu melihat dinamika, sektor yang digeluti, aset yang dimiliki dan lain sebagainya, dikenal jenis kredit:

a. Kredit Kecil, yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai pengusaha kecil. Kredit Usaha Kecil ini diberikan kepada pengusaha kecil untuk menambah modal kerja dan atau untuk memenuhi kebutuhan investasi


(39)

b. Kredit Menengah, yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang assetnya lebih besar daripada pengusaha kecil.

c. Kredit Besar

5. Dari Jangka Waktunya, dikenal jenis kredit: 27

a. Kredit Jangka Pendek (short term loan), yaitu kredit yang berjangka maksimum 1 tahun. Bentuknya dapat berupa kredit rekening Koran, kredit penjualan, kredit pembelian dan kredit wesel.

b. Kredit Jangka Menengah (medium term loan), yaitu kredit yang berjangka waktu antara 1 tahun sampai dengan tiga tahun.

c. Kredit Jangka Panjang, yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun. Kredit ini pada umumnya adalah kredit investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi (perluasan), pendirian proyek baru.

6. Segi jaminan, jenis kredit dapat dibedakan menjadi:28

a. Kredit tanpa jaminan atau kredit blangko (unsecured loan). Jenis kredit ini mungkin saja direalisir karena UU Perbankan tidak menentukan secara ketat bahwa kredit harus memiliki jaminan. UU Perbankan hanya menyarankan bahwa dalam memberikan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

b. Kredit dengan jaminan (secured loan), untuk kredit yang diberikan, pihak kreditor mendapat jaminan bahwa debitor dapat melunasi utangnya. Di

27

Sutojo, Siswanto. Analisa Kredit Bank Umum: Konsep dan Teknik, (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1995), hal. 25.

28


(40)

dalam memberikan kredit, bank menanggung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, maka diperlukan jaminan dalam pemberian kredit. Adapun bentuk jaminannya dapat berupa jaminan, maupun jaminan perorangan

3. Tujuan dan Fungsi Kredit

Terdapat beberapa fungsi kredit antara lain sebagai berikut : kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk merangsang bagi kedua belah pihak untuk saling menolong untuk tujuan pencapaian kebutuhan baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan sehari-hari. Pihak yang mendapat kredit harus dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi berupa kemajuan-kemajuan pada usahanya, atau mendapatkan pemenuhan atas kebutuhannya.29

Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis baik bagi debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh kepada tahapan yang lebih baik, maksudnya baik bagi pihak debitur maupun kreditur mendapatkan kemajuan. Kemajuan tersebut dapat menggambarkan apabila mereka memperoleh keuntungan juga mengalami peningkatan kesejahteraan dan masyarakatpun atau Adapun bagi pihak yang memberi kredit, secara material dia harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit, dan secara spiritual mendapatkan kepuasan dengan dapat membantu pihak lain untuk mencapai kemajuan.

29

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti 2000), hal 372


(41)

Negara mengalami suatu penambahan dari penerimaan pajak, juga kemajuan ekonomi yang bersifat mikro maupun makro.

Fungsi kredit perbankan dalam kehidupan perekonomian, dan perdagangan antara lain sebagai berikut:

1. Kredit pada hakikatnya dapat meningkatkan daya guna uang.

a. Para pemilik uang/modal dapat secara langsung meminjamkan uangnya kepada para pengusaha yang memerlukan, untuk meningkatkan produksi atau untuk meningkatkan usahanya.

b. Para pemilik uang/modal dapat menyimpan uangnya pada lembaga-lembaga keuangan. Uang tersebut diberikan sebagai pinjaman kepada perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan usahanya.

2. Kredit dapat meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.

Kredit uang disalurkan melalui rekening giro dapat menciptakan pembayaran baru seperti cek, giro bilyet, dan wesel, sehingga apabila pembayaran-pembayaran dilakukan dengan cek, giro bilyet, dan wesel maka akan dapat meninngkatkan peredaran uang giral. Disamping itu, kredit perbankan yang ditarik secara tunai dapat pula meningkatkan peredaran uang kartal, sehingga arus lalu-lintas uang akan berkembang pula

3. Kredit dapat pula meningkatkan daya guna dan peredaran barang.

Dengan mendapatkan kredit, para pengusaha dapat memproses bahan baku menjadi barang jadi, sehingga daya guna barang tersebut menjadi meningkat. Disamping itu, kredit dapat pula meningkatkan peredaran barang, baik melalui penjualan secara kredit maupun dengan membeli barang-barang dari suatu tempat


(42)

dan menjualnya ke tempat lain. Pembelian tersebut uangnya berasal dari kredit. Hal ini juga berarti bahwa kredit tersebut dapat pula meningkatkan manfaat suatu barang.

4. Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi.

Dalam keadaan ekonomi yang kurang sehat, kebijakan diarahkan kepada usaha-usaha antara lain:

a. Pengendalian inflasi, b. Peningkatan ekspor, dan

c. Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.

5. Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha.

Setiap orang harus berusaha selalu ingin meningkatkan usaha tersebut, namun adakalanya dibatasi oleh kemampuan di bidang permodalan. Bantuan kredit yang diberikan oleh bank akan dapat mengatasi kekurangmampuan para pengusaha di bidang permodalan tersebut, sehingga para pengusaha akan dapat meningkatkan usahanya.

6. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan.

Dengan bantuan kredit dari bank, para pengusaha dapat memperluas usahanya dan mendirikan proyek-proyek baru. Peningkatan usaha dan pendirian proyek baru akan membutuhkann tenaga kerja untuk melaksanakan proyek-proyek tersebut. Dengan demikian mereka akan memperoleh pendapatan. Apabila


(43)

perluasan usaha serta pendirian proyek-proyek telah selesai, maka untuk mengelolanya diperlukan pula tenaga kerja. Dengan tertampungnya tenagatenaga kerja tersebut, maka pemerataan pendapatan akan meningkat pula.

7. Kredit sebagai alat untuk meningkatkan hubungan internasional.

Bank-bank besar di luar negeri yang mempunyai jaringan usaha, dapat memberikan bantuan dalam bentuk kredit, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Begitu juga Negara-negara yang telah maju yang mempunyai cadangan devisa dan tabungan yang tinggi, dapat memberikan bantuan-bantuann dalam bentuk kredit kepada negara-negara yang sedang berkembang untuk membangun. Bantuan dalam bentuk kredit ini tidak saja dapat mempererat hubungan ekonomi antar Negara yang bersangkutan tetapi juga dapat meningkatkan hubungan internasional.


(44)

BAB III

TINJAUAN TENTANG JAMINAN PERORANGAN

A. Pengertian Jaminan Perorangan

Kata jaminan dapat diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang. Dengan demikian jaminan perorangan mengandung adanya kekayaan (materiil) maupun pernyataan kesanggupan (immaterial) yang dapat dijadikan sumber pelunasan utang. Di sini kata “Jaminan” mengandung pengertian sebagai suatu transaksi, suatu penyerahan atau kesanggupan untuk menyerahkan barangnya sebagai pelunasan hutangnya. Dalam pemberian kredit, jaminan merupakan keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya.30

Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerhei-dessteling atau security of law. Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang lembaga Hipotek dan Jaminan Lainnya yang diselenggarakan di Yogyakarta, pada tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977, disebutkan bahwa hukum jaminan, meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan. Pengertian hukum jaminan ini mengacu pada jenis jaminan, bukan pengertian hukum jaminan. Definisi ini menjadi tidak jelas, karena yang dilihat hanya dari penggolongan jaminan. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan dalam H. Salim HS, SH,

30

Muhamad Djumhana, op cit hal, 218 dikutip dari Thomas Suyatno et. Al, Dasar-dasar Perkreditan,Cetakan Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1990, hal 12-13


(45)

MS mengemukakan bahwa hukum jaminan adalah :“Mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum jaminan bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar, dengan jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah.31

1. Adanya kaidah hukum

Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi ini adalah :

Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis, adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis, adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan;

2. Adanya pemberi dan penerima jaminan.

Pemberi jaminan, adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi jaminan ini, adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Yang

31

H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 5.


(46)

bertindak sebagai penerima jaminan ini, adalah orang atau badan hukum. Badan hukum, adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan nonbank.

3. Adanya jaminan.

Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan immateriil. Jaminan materiil, merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan imateriil, merupakan jaminan non kebendaan

4. Adanya fasilitas kredit.

Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberian kredit, merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan non bank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan nonbank dapat memberikan kredit padanya

B. Jenis-jenis Jaminan

Jaminan dapat digolongkan menurut yang berlaku di Indonesia dan yang berlaku di luar negeri. Dalam Pasal 24 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan ditentukan bahwa “Bank tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan”


(47)

Berdasarkan kebendaannya, maka jaminan dikelompokkan Menjadi: 32 a. Jaminan perorangan (persoonlijk) Jaminan perorangan atau borgtocht

merupakan suatu pernyataan tertulis bahwa apabila debitur sampai waktu dan jumlah tertentu tidak dapat melunasi utangnya kepada kreditur, maka pihak penjamin yang akan membayar atau orang yang memberikan jaminan perorangan tersebut harus membayarnya.

b. Jaminan kebendaan (zakelijk)

Hal ini berarti menyediakan bagian dari kekayaan seseorang guna pemenuhan atau pembayaran kewajiban debitur

Jaminan kebendaaan dapat dikelompokkan menjadi : 1. Jaminan yang sifatnya materiil atau berwujud yang terdiri dari:

a. Jaminan barang-barang bergerak atau gadai yaitu hak kreditur atas barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh yang berhak untuk mengambil pelunasan suatu utang dari hasil penjualan barang tersebut. Contoh : logam mulia, perhiasan dan lain-lain.

b. Jaminan barang yang tidak bergerak. Biasanya lebih dikenal sebagi hipotik atau creditverband atau yang sekarang dikenal dengan Hak Tanggungan. Yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan adalah tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha.

c. Fiducia atau yang dikenal dengan FEO (Fiducia Eigendom Overdracht) yaitu suatu bentuk ikatan jaminan dimana benda bergerak diserahkan kembali penguasaannya kepada penerima kredit dengan kepercayaan

32


(48)

untuk digunakan meneruskan usahanya. Contoh : stok barang dagangan, inventaris kantor.

2. Jaminan yang sifatnya immateriil atau tidak berwujud seperti hak tagih, hak cipta, asuransi dan lain-lain.

Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri “kebendaan”, dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan jaminan perorangan, tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan dalam H. Salim HS, SH, MS, mengemukakan pengertian jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan perorangan. Jaminan materiil adalah: “Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapa pun selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jaminan imateriil (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu terhadap kekayaan debitur umumnya.”33

Dari uraian di atas maka dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum pada jaminan materiil, yaitu:34

1. Hak mutlak atas suatu benda;

2. Cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu; 3. Dapat dipertahankan terhadap siapapun;

33

H. Salim HS, op cit, hal. 24 34


(49)

4. Selalu mengikuti bendanya; dan 5. Dapat dialihkan kepada pihak lainnya.

Unsur jaminan perorangan, yaitu:35

1. Mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu; 2. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu; dan 3. terhadap harta kekayaan debitur umumnya.

“Suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) si berhutang tersebut”, bahwa maksud adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang, yang dijamin pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda si penanggung (penjamin) dapat disita dan dilelang menurut ketentuan perihal pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.36

Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 5 macam yaitu:37 1. gadai (pand), yang diatur didalam Bab 20 Buku II KUH Perdata; 2. hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata;

3. credietverband,yang diatur dalam Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah dengan Stb.1937 Nomor 190;

4. hak tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996; 5. Jaminan fidusia,sebagaimana yang diatur di dalam UU Nomor 42 Tahun 1999.

35 Ibid. 36

37


(50)

Yang termasuk jaminan perorangan adalah:38

1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih;

2. tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng;dan 3. perjanjian garansi

Dari kedelapan jenis jaminan diatas, maka yang masih berlaku adalah:39 1. gadai;

2. hak tanggungan; 3. jaminan fidusia;

4. hipotek atas kapal laut dan pesawat udara; 5. Borg tanggung-menanggung;dan

6. Perjanjian garansi.

C. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan

Prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata adalah sebagai berikut:40

1. Kedudukan harta pihak peminjam

Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya. Pasal 1131 KUHPerdata menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam, baik yang berupa herta bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang aka nada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang pihak peminjam.

38 Ibid. 39

Ibid. 40

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010, hal 9


(51)

Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berhutang (pihak peminjam) atas perikatan utanganya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari.

Dalam praktek sehari-hari dapat disebut sebagai harta yang aka nada di kemudian hari adalah misalnya berupan warisan, penghasilan, gaji atau tagihan yang akan diterima pihak peminjam.

Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata sering pula dicantumkan sebagai salah satu klausal dalam perjanjian kredit perbankan. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang dicantumkan sebagai klausal dalam perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) yang tergolong sebagai isi yang naturalia. Klausal perjanjian fakultatif, artinya bila dicantumkan sebagai isi perjanjian akan lebih baik, tetapi bila dicantumkan, tidak menjadi masalah kecacatan perjanjian karena hal (klausal) yang berlaku. Dengan memperhatikan kedudukan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata bila dikaitkan dengan suatu perjanjian pinjaman uang, akan lebih baik ketentuan tersebut dimasukkan sebagai klausul dalam perjanjian pinjaman uang, termasuk dalam perjanjian kredit.


(52)

Kedudukan pihak pemberi pinjaman terhadap harta pihak peminjam dapat diperhatikan dari ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu (1) yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing; dan (2) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan prundang-undangan.

Pasal 1132 KUH Perdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam menjadi jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil penjualan harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara pihak pemberi pinjaman itu mempunyai alasan yang sah untuk didahulukan.

Dalam praktik perbankan pihak pemberi pinjaman disebut kreditor dan pihak pinjaman disebut nasabah debitur atau debitur.

(Untuk selanjutnya istilah-istilah si berpiutang dan si berutang, atau kreditor dan debitur akan sering digunakan dalam buku ini, masing-masing diartikan sebagai pihak pemberi pinjaman dan pihak peminjam.)

Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai kedudukan didahulukan lazim disebut sebagai kreditor preferen dan pihak pemberi pinjaman yang mempunyai hak berimbang disebut sebagai kreditor konkuren.

Mengenai alasan yang sah untuk didahulukan sebagaimana yang tercantum pada bagian akhir ketentuan pasal 1132 KUH Perdata adalah berdasarkan ketentuan dari peraturan perundang-undangan, antara lain berdasarkan ketentuan yang


(53)

ditetapkan oleh pasal 1133 KUH Perdata, yaitu dalam hal jaminan utang diikat melalui gadai atau hipotek. Kedudukan sebagai kreditor yang mempunyai hak didahulukan juga ditetapkan oleh ketentuan UU No. 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan dan ketentuan UU No.42 Tahun 1999 mengenai jaminan Fidusia. Pemegang hak tanggungan dan pemegang jaminan fidusia mempunyai hak didahulukan dari kreditor lainnya untuk memperoleh pelunasan piutangnya dari hasil pencairan (penjualan) jaminan utang yang diikat dengan hak tanggungan atau jaminan fidusia.

3. Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak pemberi pinjaman.

Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan yang demikian diatur oleh Pasal 1154 KUH Perdata tentai Gadai, Pasal 1178 KUH Perdata tentang Hipotek.

Larangan yang sama terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain, yaitu pada Pasal 12 UU No.4 Tahun 1996 mengenai Hak tanggungan, Pasal 33 UU No. 42 Tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia.

Larangan bagi pihak pemberi pinjaman untuk memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan lembaga jaminan tersebuttentunya akan melindungi kepentingan pihak peminjam dan pihak pemberi pinjaman lainnya, terutama bila naik objek jaminan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai hak berdasarkan ketentuan lembaga jaminan dilarang secara serta-merta menjadi


(54)

pemilik. Objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji. Ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas tentunya akan dapat mencegah tindakan sewenang-wenang pihak pemberi pinjaman yang akan merugikan pihak peminjam.

D. Pengertian Hak Jaminan

Aktifitas usaha atau bisnis yang sangat dinamis, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun oleh badan hukum, adakalanya tidak terlepas dari suatu hubungan utang piutang, baik yang berbentuk utang dagang, utang bank dan lain sebagainya. Hubungan utang piutang ini terjadi dikarenakan adanya kebutuhan untuk mengembangkan usaha, keperluan pembayaran, penyediaan dana cadangan serta untuk keperluan-keperluan lainnya.41

Merupakan suatu keharusan, dalam suatu hubungan utang piutang, adanya pelunasan dari pihak yang berutang atau debitur untuk melakukan pelunasan atas utangnya tersebut, termasuk apabila ditentukan adanya bunga, provisi, maupun beban-beban lainnya.42 Selain itu dapat pula dipersyaratkan, oleh pihak berpiutang atau kreditur, mengenai adanya jaminan yang ditunjukkan untuk lebih menjamin kepastian pelunasan utang tersebut, agar dapat terlaksana sesuai dengan yang diperjanjikan.43

Adanya kepastian jaminan pelunasan utang kepada kreditur termaksud di atas, kemudian diwujudkan dalam suatu hak jaminan (zekerheidsrechten), yaitu

41

Wahyono Darmabrata dan Ari Wahyudi Hertanto, Jual Beli Dan Aspek Peralihan Hak

Milik Suatu Benda (Dalam Kontruksi Gadai Saham), Jurnal Hukum Dan Pembangunan Jakarta:

Januari 2005, halaman 4 42

Ibid 43

J. Satrio.2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan cet. IV Bandung : Citra Aditya Bakti, halaman 9


(55)

hak yang memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih baik dari pada kreditur-kreditur lainnya dalam suatu hubungan utang piutang. Kedudukan lebih baik ini diperoleh kreditur dikarenakan dalam pemenuhan pelunasan piutangnya, kreditur tersebut lebih terjamin dibandingkan kreditur lainnya yang tidak mempunyai hak jaminan.

Konsep jaminan secara umum, menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa segala kebendaan Debitur, baik yang berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan bagi semua perikatan yang dibuat oleh debitur dengan para krediturnya.

Dari pernyataan di atas mengandung pengertian bahwa pihak kreditur dapat melaksanakan haknya terhadap semua benda milik debitur, kecuali terhadap benda-benda yang dikecualikan oleh Undang-undang.44

1. Hak Jaminan Perorangan

Dalam hal ini adanya keadaan atau kondisi debitur yang tidak dapat melaksanakan pelunasan utangnya kepada kreditur (wanprestasi), maka kebendaan milik debitur tersebut akan dijual dan hasil penjualan benda tersebut akan dibagi kepada para kreditur secara prorata (proporsional) dan pari passu

Jaminan perorangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata adalah suatu perjanjian antara seorang kreditur dengan seorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Jaminan ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada kreditur bahwa akan dipenuhinya

44

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 2004. Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok


(56)

kewajiban debitur dalam hal adanya suatu Wanprestasi pada diri debitur atas suatu hubungan utang piutang oleh seorang pihak ketiga tersebut. Pihak ketiga ini memberikan jaminan kepada kreditur untuk melakukan pelunasan atau pelaksanaan prestasi si debitur, baik seluruhnya maupun sampai jumlah tertentu saja, terhadap kewajiban si debitur atau dengan syarat-syarat yang ringan dari pada yang seharusnya dibebankan pada debitur dalam hubungan utang piutang tersebut.

Jaminan perorangan ini dilakukan dengan sepengetahuan dari debitur, namun demikian jaminan ini dapat pula dilakukan dengan tanpa sepengetahuan dari si kreditur, misalnya dengan dasar persahabatan atau kekeluargaan. Jaminan perorangan ini pada umumnya dituangkan dalam suatu perjanjian di bawah tangan, akta notaris atau bentuk-bentuk tertulis lainnya yang biasa disebut perjanjian penanggungan.

Perjanjian penanggungan ini merupakan perjanjian yang bersifat accessoir, dalam arti senantiasa dikaitkan dengan perjanjian pokok atau dengan kata lain keberadaanya tergantung kepada keberadaan perjanjian pokok atau dengan istilah lain merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pokok., yaitu perjanjian utang piutang antara kreditur dengan debitur.

Dalam hak jaminan perorangan yang memiliki ciri dan akibat hukum yang menimbulkan hubungan langsung pada diri orang perorang atau pihak tertentu yang memberikan perjanjian penanggungan, maka hak kreditur hanya dapat dipertahankan terhadap si penjamin tertentu tersebut dan terhadap harta kekayaan dari pihak penjamin itu. Ini berarti dalam hak jaminan yang bersifat perorangan


(57)

berlaku azas persamaan, yaitu bahwa tidak ada perbedaan antara piutang yang datang lebih dahulu dan yang kemudian. Semua piutang kreditur terhadap penjamin berkedudukan sama dan dilunasi secara pari passu dan prorate

2. Hak Jaminan Kebendaan

Hak jaminan kebendaan adalah hak yang memberikan kepada seorang kreditur kedudukan yang lebih baik, karena kreditur didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok benda tertentu milik debitur. Selain itu kreditur dapat pula memegang benda tertentu yang berharga bagi debitur dan memberikan suatu tekanan psikologis terhadap debitur untuk memenuhi semua kewajibannya dengan baik terhadap kreditur.45

Berdasarkan ciri dasar tersebut maka benda yang dapat dijadikan jaminan atau obyek jaminan kebendaan adalah sesuatu yang dapat dialihkan dan mempunyai nilai jual (ekonomis), serta memiliki nilai atau harga, dalam Selain memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih baik, hak jaminan kebendaan juga dapat dipertahankan maupun di tujukan kepada setiap orang, dan mempunyai hubungan langsung dengan benda tertentu milik debitur, dengan kata lain mempunyai sifat droit de suite, dalam pengertian hak jaminan kebendaan ini mengikuti bendanya, walau ditangan siapapun benda itu berada, dan hak jaminan ini dapat pula dialihkan kepada pihak lain.

45


(58)

pengertian mudah diuangkan apabila debitur cedera janji untuk melakukan pembayaran kewajibannya atau utangnya.46

Menurut KUHPerdata dikenal adanya 3 (tiga) bentuk jaminan yang memberikah hak kepada kreditur untuk didahulukan diantaranya para kreditur yang lain, yaitu Hak Istimewa, Gadai dan Hipotik. Dalam konteks inilah kemudian dikenal adanya kreditur yang diistimewakan yang oleh Undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapat pelunasan terlebih dahulu, dan juga kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dalam KUHPerdata disebut dengan gadai dan hipotik. Para kreditur pemegang hak jaminan ini, memiliki hak yang diutamakan (hak Preveren), dalam pengertian apabila terjadi eksekusi atas harta kekayaan debitur yang dinyatakan wanprestasi, maka kreditur tersebut didahulukan dalam pengambilan pelunasan dibandingkan kreditur-kreditur lainnya.47

Diantara hak-hak yang didahulukan adalah gadai dan hipotik, termasuk juga Hak Tanggungan dan jaminan fidusia, semua hak tersebut mempunyai kedudukan yang lebih tinggi terhadap hak istimewa, dalam pengertian apabila terjadi penjualan benda milik debitur maka kreditur pemegang gadai, hipotik, Hak Tanggungan dan fidusia mengambil terlebih dahulu pelunasan atas piutangnya, baru kemudian pemilik hak tagih dengan hak istimewa dan selanjutnya kemudian sisanya untuk kreditur konkuren.

46

Retnowulan Sutanto. 1995. Perjanjian Kredit Dan Macam-Macam Jamianan Kredit

Dalam Praktek Hukum Di Indonesia, Kapita Selekta Hukum Perbankan, Cet.I Jakarta : Ikatan

Hakim Indonesia, halaman15 47

Mariam Darus Badrulzaman, 2002. Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis, halaman 12.


(1)

e) Eksekusi putusan (jika inkracht) 3) Tingkat Kasasi/Mahkamah Agung

a) Pernyataan kasasi dari pemohon kasasi (biasanya dari pihak yang kalah) b) Memori kasasi dari pemohon kasasi

c) Kontra memori kasasi dari termohon kasasi d) Putusan

e) Eksekusi putusan (jika inkracht)

Disamping upaya hukum biasa tersebut di atas kita mengenal juga upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali (Request Civil). Peninjauan kembali ini merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), mentah kembali. Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat dilakukan sepanjang pihak yang kalah dalam putusan tingkat kasasi menemukan bukti baru (novum) terhadap perkara tersebut.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah melakukan pembahasan pada bab-bab terdahulu maka sampailah penulis pada bagian akhir dimana dalam bagian ini akan diberikan kesimpulan dan saran.

A. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh bab hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan pada Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan kondisi actual lebih menguatkan perkembangannya dengan adanya Surat-Surat Keputusan Dewan Direksi Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) serta ditingkatkannya Biro Perbankan Syariah di Bank Indonesia menjadi Direktorat Perbankan Syariah

2. Kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan, kewajiban pihak kedua membayar angguran dan kewajiban pihak pertama memberikajn pinjaman kepada pihak kedua setelah selesaikan mengadakan perjanjian kontrak.

3. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit yang objeknya jaminan perorangan. penyelesainnya pertama pihak bank berhubungan langsung dengan bendahara perusahaan dan pimpinan perusahaan, kedua diselesaikan secara musyawarah. Sampai saat ini


(3)

penyelesaian wanprestasi belum pernah ada yang diselesaikan di pengadilan.

B. Saran

Dari kesimpulan tersebut di atas dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Undang-Undang sebaiknya juga memberikan solusi yang lebih praktis apabila pemberi jamiman merasa haknya dirugikan selain melakukan gugatan perdata ke pengadilan untuk menciptakan perlindungan hukum yang seimbang bagi pemberi dan penerima jaminan.

2. Setiap benda yang menjadi objek jaminan seharusnya diasuransikan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi musnahnya benda jaminan, dimana dengan musnahnya benda jaminan tersebut tidak menghapuskan piutang yang belum dihapus. Walaupun perusahaan asuransi tidak membayar sepenuhnya, tetapi perusahaan asuransi dapat meringankan beban debitur untuk mengembalikan sisa pinjaman kredit.

3. Bagi para nasabah khususnya nasabah kredit, untuk lebih cermat dan teliti dalam memahami dan mengerti isi perjanjian kredit dari pihak bank untuk menghindari adanya klausula baku yang memberatkan atau merugikan pihak nasabah sendiri.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bahsan, M., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.

Darus, Mariam Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung: Alumi. 2005.

________________________, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991

________________________, “Permasalahan Hukum Hak Jaminan” dalam Hukum Bisnis, Volume 11, 2000

________________________, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

________________________, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis.2002.

Djumhana, Muhamad, Hukum Perbankan di Indonesia Bandung: Citra Aditya Bakti 2000.

Fuad Mohd. Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, Bandung: Alma’arif, 1983.

Fuad Ahmad, Pengaturan Perbankan Syariah dalam Sistem Peraturan Perundang-Undang Nasional, dalam Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2005, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 2005.

Hartono Hadi sucipto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan Yogyakarta: Liberty, 1984.

Harun, Badriyah, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Jakarta : Suka Buku, 2010.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 2010.

Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.


(5)

Subekti,R. Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005.

Sidharta P. Soejardi, Segi-segi Hukum Perkereditan di Indonesia, Kertas Kerja dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perkreditan,(BPHN dan Bina Cipta, 1987

Mgs. Edy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis. Liberty: Yogyakarta, 1989.

Suyatno, Thomas, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta: Gramedia, 1998.

Sutojo, Siswanto, Analisa Kredit Bank Umum: Konsep dan Teknik, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1995.

Sutojo, Siswanto., Analisa Kredit Bank Umum: Konsep dan Teknik, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1995.

Thomas Suyatno et. Al, Dasar-dasar Perkreditan,Cetakan Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1990

Widiyono, Tri, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia, Bogor : Ghalia Indonesia, 2006

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.

Srihono, Adam, Pengembangan Perbankan, Jakarta: September-Oktober 1995, Makalah

Darmabrata, Wahyono dan Ari Wahyudi Hertanto, Jual Beli Dan Aspek Peralihan Hak Milik Suatu Benda (Dalam Kontruksi Gadai Saham), Jurnal Hukum Dan Pembangunan Jakarta: Januari 2005

Satrio, J..2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan cet. IV Bandung : Citra Aditya Bakti

Soedewi, Sri Masjchoen Sofwan. Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Cet. III Yogyakarta: Liberty Offset.2004

Sutanto, Retnowulan. 1995. Perjanjian Kredit Dan Macam-Macam Jamianan Kredit Dalam Praktek Hukum Di Indonesia, Kapita Selekta Hukum Perbankan, Cet.I Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia


(6)

Iqbal, Zamir dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam (Teori dan Praktek), Jakarta: Prenada Media Group,2005.

Usmanm Rachmadi, Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2014

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Internet

diakses tanggal 11 Januari 2015

Desember 2014

Wawancara

Wawancara dengan Nessya Pradifta, selaku Sumber Daya Insani, PT. Bank Mandiri Syariah Kantor Cabang Kesawaan Medan

Wawancara dengan Syarifah Zuhranita, selaku Prioriti Banking, PT Bank Syariah Mandiri, Kantor Cabang Kesawaan Medan

Wawancara dengan Syarifah Zuhranita, selaku Prioriti Banking, PT Bank Syariah Mandiri, Kantor Cabang Kesawaan Medan


Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Penyelesaian Kredit Macet (Studi Pada Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Graha Helvetia, Medan)

0 48 86

Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Tanpa Agunan (Studi pada Bank-Bank Swasta di Kota Medan)

0 29 146

Akibat Hukum Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Objeknya Hak Guna Bangunan Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Pembantu Asia Unit Cemara Medan

10 122 96

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA BANK JATENG CABANG SUKOHARJO

0 15 84

Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dalam Perjanjian Kredit Yang Objeknya Jaminan Perorangan (Studi Pada PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan)

0 0 8

Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dalam Perjanjian Kredit Yang Objeknya Jaminan Perorangan (Studi Pada PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan)

0 0 1

Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dalam Perjanjian Kredit Yang Objeknya Jaminan Perorangan (Studi Pada PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan)

0 0 12

Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dalam Perjanjian Kredit Yang Objeknya Jaminan Perorangan (Studi Pada PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan)

0 0 22

Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dalam Perjanjian Kredit Yang Objeknya Jaminan Perorangan (Studi Pada PT. Bank Mandiri Syariah, Kantor Cabang Pembantu Kesawaan)

0 0 3

Akibat Hukum Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Objeknya Hak Guna Bangunan Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Pembantu Asia Unit Cemara Medan

0 0 8