commit to user 20
Berencana Dengan Terdakwa Prakas Agung Nugraha Bin Widayat Studi Kasus Putusan Nomor : 156Pid.B2009PN.Bi.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk
mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang terdiri
dari 4 empat bab dimana masing-masing bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk mempermudahkan pemahaman mengenai seluruh isi penulisan
hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan
kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan menguraikan
tentang tinjauan tentang tindak pidana pembunuhan berencana
yang meliputi tindak pidana pembunuhan, unsur-unsur pembunuhan,
tindak pidan pembunuhan berencana; tinjauan tentang pembuktian
yang meliputi pengertian pembuktian, teori sistem pembuktian, alat
bukti dalam pembuktian; tinjauan tentang penuntut umum dalam proses pembuktian; tinjauan tentang pendapat hakim
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
commit to user 21
Dalam hal ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu anotasi hakim atas
pembuktian penuntut umum dalam tindak pidana pembunuhan berencana dengan terdakwa PRAKAS AGUNG NUGRAHA bin
WIDAYAT No. PDM-89BoyolaliEp.1042009 BAB IV : PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
commit to user 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pembunuhan Berenacana
a. Tindak Pidana Pembunuhan
Pembunuhan biasanya dilator belakangi oleh bermacam –
macam motif, misalnya politik, kecemburuan, dendam, membela diri, dan sebagainya. Pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara,
yang paling umum adalah dengan menggunakan senjata api atau senjata tajam, dapat juga dilakukan dengan menggunakan bahan
peledak seperti bom. Pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun .”
Menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara umum disebut “Pembunuhan”. Pembunuhan
dalam sejarah kehidupan manusia telah terjadi sejak dahulu kala dan pengaturan atau hukumnyapun telah ditentukan.
Dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan dikualifikasikan dalam kejahatan terhadap nyawa manusia. Tindak pidana terhadap
nyawa dimuat dalam Bab XIX KUHP, yang diatur dalam Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 KUHP.
Mengamati pasal-pasal tersebut, dilihat dari kesengajaan dolus, maka tindak pidana terhadap nyawa terdiri atas:
1 Yang dilakukan dengan sengaja;
commit to user 23
2 Yang dilakukan dengan sengaja disertai kejahatan berat;
3 Yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu;
4 Atas keinginan yang jelas dari yang dibunuh;
5 Menganjurkan atau membantu orang untuk bunuh diri .
Marpaung 2002:19. Kejahatan terhadap jiwa manusia merupakan penyerangan
terhadap kehidupan manusia. Kepentingan hukum yang dilindungi dan merupakan obyek kejahatan dalam hal ini adalah jiwa manusia.
Kejahatan terhadap nyawa yang dimuat dalam KUHP adalah sebagai berikut:
1 Pembunuhan Pasal 338;
2 Pembunuhan dengan pemberatan Pasal 339;
3 Pembunuhan berencana Pasal 340;
4 Pembunuhan bayi oleh ibunya Pasal 341;
5 Pembunuhan bayi berencana Pasal 342;
6 Pembunuhan atas permintaan yang bersangkutan Pasal 344;
7 Membujuk atau membantu orang agar bunuh diri Pasal 345;
8 Pengguguran kandungan dengan izin ibunya Pasal 346;
9 Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya Pasal 347;
10 Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya
Pasal 348; 11
Dokter bidan tukang obat yang membantu pengguguran matinya kandungan Pasal 349.
Secara lebih rinci kejahatan terhadap nyawa yang akan di jelaskan dalam penelitian ini adalah pembunuhan berencana yang
tertuang dalam Pasal 340 yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja
dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau
commit to user 24
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
b. Unsur-unsur pembunuhan
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dalam bentuk pokok dimuat dalam Pasal 338 KUHP yang bunyinya
sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”. Apabila Pasal tersebut dirinci, maka unsur-unsurnya terdiri dari:
1 Unsur Obyektif ;
a Perbuatan: menghilangkan nyawa;
b Obyeknya: nyawa orang lain.
2 Unsur Subyektif: dengan sengaja.
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1 Adanya wujud perbuatan;
2 Adanya suatu kematian;
3 Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat
kematian. c.
Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Hal ini diatur dalam Pasal 340 KUHP yang berbunyi
“Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas
commit to user 25
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana moord, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. Pengertian dengan rencana menurut Pasal 340 diutarakan
antara lain “dengan rencana lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berpikir sebentar
saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan sehingga ia menyadari apa yang akan dilakukannya.
Dapat dikatakan bahwa direncanakan lebih dahulu antara lain bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk
mempertimbangkan, untuk berpikir dengan tenang. 2.
Tinjauan tentang Pembuktian a.
Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam
sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarakan undang-
undang membuktikan kesalahan terdakwa yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-
alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan
Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa M. Yahya Harahap, 2002:273
Pasal-Pasal KUHAP
tentang pembuktian
dalam acara
pemeriksaan biasa diatur di dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal 191. Dalam Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut :
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang b ersalah melakukanya”
commit to user 26
Ketentuan diatas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.
Untuk dapat menjatuhkan hukuman disyaratkan terpenuhi dua syarat yaitu :
1 Alat-alat bukti yang sah wettige bewijsmiddelen;
2 Kayakinan hakim overtuiging des rechters Joko Prakoso,
1988:36. Arti pembuktian di tinjau dari segi hukum acara pidana antara
lain bahwa ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik hakim, penuntut umum,
terdakwa, atau penasehat hukum, semua terkait pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang di tentukan undang-undang.
Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggap benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang.
Cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang
dibenarkan undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan oleh majelis hakim terhindar dari pengorbanan
kebenaran yang harus dibenarkan. Jangan sampai kebenaran yang diwujudkan dalam putusan berdasarkan hasil perolehan dan penjabaran
yang keluar dari garis yang dibenarkan system pembuktian M. Yahya Harahap, 2002:274.
Dalam pembuktian tidaklah mungkin dapat tercapai kebenaran mutlak absolut. Semua pengetahuan kita hanya bersifat relative, yang
didasarkan pada pengalaman, penglihatan dan pemikiran yang tidak selalu pasti benar Joko Prakoso, 1988:37.
Dalam hal ini hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima,
bahwa sesuatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna,
yaitu bukti yang sah dan meyakinkan.
commit to user 27
b. Teori sistem pembuktian
1 Conviction-in Time
Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidakanya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh
penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan
menyimpulkan keyakinanya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat
bukti itu diabaikian hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
Sistem Conviction in time memberikan keleluasaan terhadap hakim maka mengakibatkan sulit diawasi. Disamping itu,
terdakwa atau penasehat hukum terdakwa sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidanakan terdakwa
berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.
2 Conviction-Raisonee
Dalam sistem ini dapat dikatakan keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya
terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatsi sehingga keyakinan hakim harus
didukung dengan „alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang mendasari
keyakinanya atas kesalahan terdakwa. Sering kali sistem ini disebut sebagai jalan tengah karena
hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya yang diambil dari dasar-dasar pembuktian disertai
dengan suatu
kesimpulan yang
berlandaskan peraturan
pembuktian tertentu.
commit to user 28
Sistem ini terpecah menjadi dua jurusan yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis Conviction
Raisonee dan teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif Negatief Wettelijk Bewijstheorie. Dari kedua teori
tersebut mempunyai persamaan yaitu bahwa keduanya sama berdasarkan atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak
mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Dari persamaan tersebut juga timbul beberapa perbedaan
yang mendasar yaitu bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tapi keyakinan itu harus didasarkan
pada suatu kesimpulan yang logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan menurut imu pengetahuan hakim
sendiri. Kemudian perbedaan yang kedua bahwa berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif
oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.
3 Pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif
Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan
kesalahan terdakwa. Kayakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini
berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Untuk membuktikan salah atau
tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah.
Dikatakan secara positif karena selalu didasarkan pada undang-undang. Teori ini sekarang sudah tidak dianut lagi karena
terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang.
commit to user 29
4 Pembuktian menurut Undang-Undang secara Negatif Negatif
Wettelijk Stelsel Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang secara Negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang- Undang secara Positif dengan sistem pembuktian menurut
keyakianan atau Conviction-in Time Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang secara
Negatif menggabungkan kedalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem yang bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem
pembuktian menurut Undang-Undang secara negatife rumusanya berbunyi : salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat- alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Hal tersebut dapat disimpulakan dari Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut.
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana pada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar
terjadi dan
bahwa terdakwalah
yang bersalah
melakukannya.” Dari ketentuan tersebut maka dalam pembuktian harus
didasarkan pada undang-undang KUHAP yaitu bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP disertai dengan keyakinan
hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti. Sama seperti pada Pasal 294 ayat 1 HIR yang bisa
dikatakan sama seperti dengan ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP. Sebenarnya sebelum diberlakukanya KUHAP, ketentuan
commit to user 30
yang sama telah ditetapkan dalam undang-undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman UUPKK dalam Pasal 6 yang berbunyi
sebagai berikut. “tiada seorangpun dapat dijatuhi hukuman, kecuali apabila
pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang- undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap
dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.”
Inti dari aturan yang tersebut diatas bahwa ketentuan tersebut berguna untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan,
dan kepastian hukum bagi seseorang. c.
Alat Bukti dalam Pembuktian Yang dimaksud alat bukti adalah segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan hakim atas kebenarannya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa Hari Sasangka, 2003 : 11.
Sesuai dengan Pasal 184 ayat 1 KUHAP telah menentukan secara “liminatif” alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.
Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penunutut umum,
terdakwa atau penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan memeprgunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak
leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat 1 yang dinilai sebagai alat
bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti
diluar jenis alat bukti yang tersebut pada Pasal 184 ayat 1, tidak
commit to user 31
mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat M. Yahya Harahap, 2002:285.
Namun dalam hal ini mengenai barang bukti tidak diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana KUHAP
atau di dalam Pasal tersendiri di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP sebagai salah satu syarat dalam pembuktian,
namun dalam praktik peradilan, barang bukti tersebut dapat memberikan keterangan yang berfungsi sebagai tambahan dalam
pembuktian di persidangan. Barang bukti adalah benda-benda yang dipergunakan untuk memperoleh hal-hal yang benar-benar dapat
meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan Simorangkir dkk, 2004:14.
Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat 1 adalah :
1 Keterangan saksi
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP memberikan batasan pengertian keterangan saksi ialah salah satu
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya Pasal 1 angka 27 KUHAP.
Suatu fakta yang didapat dari keterangan seorang saksi tidaklah cukup, dalam arti tidak bernilai pembuktian apabila tidak didukung
oleh fakta yang sama atau disebut bersesuaian yang didapat dari saksi lain atau alat bukti lainnya. Pasal 185 ayat 2 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana KUHAP menentukan bahwa: ”keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
commit to user 32
Jadi nilai pembuktian keterangan saksi adalah bukan terletak dari banyaknya atau kuantitas saksi, tetapi dari kualitasnya. Artinya,
isi atau fakta apa yang diterangkan satu saksi bernilai pembuktian apabila bersesuaian dengan isi dari keterangan saksi yang lain atau
alat bukti lain. Berapapun banyaknya saksi tetapi isi keterangannya berdiri sendiri tidaklah berharga. Kecuali apabila isi keterangan
beberapa saksi yang berdiri sendiri tersebut adalah berupa fakta- fakta mengenai suatu kejadian atau keadaan yang ada hubungan
yang sedemikian rupa, sehingga saling mendukung dan membenarkan, yang jika dirangkai dapat menunjukkan kebenaran
atas suatu kejadian atau keadaan tertentu. Dengan demikian, dapat dirangkai menjadi satu alat bukti yang
disebut dengan alat bukti petunjuk. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHAP. 2
Keterangan Ahli Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Seorang ahli memberikan keterangan
bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau dibidang
keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan
sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan
atau fakta. Akan tetapi, yang diterangkan ahli adalah suatu
commit to user 33
penghargaan dari kenyataan dan atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahlian seorang ahli.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat
bukti keterangan ahli Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP dan keterangan seorang ahli secara tertulis
di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti surat Pasal 187 butir c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
3 Alat Bukti Surat
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP mengatur tentang alat bukti surat hanya dua Pasal, yakni Pasal 184
dan secara khusus Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Menurut Pasal 187 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana KUHAP ada empat surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti. Tiga surat harus dibuat diatas sumpah
atau dikuatkan dengan sumpah Pasal 187 huruf a, b dan c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, sedangkan surat
yang keempat adalah surat dibawah tangan Pasal 187 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
Tiga jenis surat yang dibuat diatas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah tersebut adalah:
a Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
jaksa penuntut umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
commit to user 34
jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
4 Alat Bukti Pentunjuk
Alat bukti petunjuk bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri, melainkan suatu alat bukti bentukan hakim. Hal itu
tampak dari batasnya dalam ketentuan Pasal 188 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang menyatakan
bahwa: ”petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain
maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Karena alat bukti
petunjuk adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan
dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektivitas hakim lebih dominan.
Alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa Pasal
188 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
5 Keterangan Terdakwa
Diantara lima alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, alat bukti
terdakwalah yang acap kali diabaikan oleh hakim karena: a
Seringkali keterangan terdakwa tidak bersesuaian dengan isi dari alat-alat bukti yang lain, misalnya keterangan saksi;
commit to user 35
b Pada diri terdakwa memiliki hak untuk bebas berbicara termasuk
yang isinya tidak benar; c
Pengabaian oleh hakim biasanya terhadap keterangan terdakwa yang berisi penyangkalan terhadap dakwaan.
Tidak semua keterangan terdakwa mengandung nilai pembuktian. Dari ketentuan Pasal 189 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana KUHAP didapatkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar keterangan terdakwa mengandung nilai
pembuktian, yaitu: a
Keterangan terdakwa haruslah dinyatakan dimuka siding pengadilan;
b Isi keterangan terdakwa haruslah mengenai tiga hal yaitu
perbuatan yang dilakukan terdakwa, segala hal yang diketahuinya sendiri, dan kejadian yang dialaminya sendiri;
c Nilai ketarangan terdakwa hanya berlaku sebagai bukti untuk
dirinya sendiri; d
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa dirinya bersalah melakukan tindak pidana, melainkan
harus ditambah dengan alat bukti yang lain. 3.
Tinjauan tentang Penuntut Umum dalam Proses Pembuktian Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian
penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim,dari hal
tersebut tercantum dalam Pasal 1 KUHAP. Dalam KUHAP membedakan pengertian jaksa dalam pengertian
umum dan penuntut umum dalam pengertian jaksa yang sementara
commit to user 36
menuntut suatu perkara. Di dalam Pasal 1 butir 6 ditegaskan hal sebagai berikut :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dari hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa jaksa adalah menyangkut jabatan, sedangkan penuntut umum menyangkut fungsi.
Tentang wewenang penuntut umum oleh KUHAP dituangkan dalam dua pasal yaitu Pasal 14 dan 15. Dalam Pasal 14 dijelaskan sebagai berikut :
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu; b.
Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat 3 dan ayat 4,
dengan memberi petunjuk dalam penyempurnaan penyidikkan dan penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan, dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan
waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan; g.
Melakukan penuntutan; h.
Menutup perkara demi kepentingan hukum;
commit to user 37
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j.
Melaksanakan penetapan hakim. Jadi dari wewenang yang tertuang dalam Pasal 14 tersebut bahwa
jaksa atau penuntut umum tidak mempunyai wewenang untuk menyidik perkara. Berarti penuntut umum atau jaksa tidak pernah melakukan
melakukan pemeriksaan terhadap tersangka ataupun terdakwa. Ketentuan Pasal 14 dapat disebut sistem tertutup yaitu tertutup
kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikan meskipun dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat khususnya dari segi
pembuktian dan masalah teknis yuridisnya. Andi Hamzah, 2002:72 Penuntut umum juga diatur dalam Pasal 137 KUHAP yang
mengatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam
daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
4. Tinjauan Tentang Pendapat Hakim
Dalam hal pendapat hakim disini dilakukan dengan sistem musyawarah hakim yang mana didasarkan atas surat dakwaan dan segala
sesuatu yang terbukti dalam persidangan seperti halnya yang sesuai dengan bunyi Pasal 182 ayat 4 KUHAP :
“Musyawarah tersebut pada ayat 3 harus didasarkan pada atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di
sidang”. Dalam musyawarah tersebut hakim anggota termuda dan hakim
anggota tertua dan terakhir hakim ketua majelis memberikan pendapatnya disertai pertimbangan beserta alasannya sesuai Pasal 182 ayat 5
KUHAP. Sehingga putusan yang sudah di musyawarahkan oleh hakim
commit to user 38
tersebut sudah mufakat bersifat bulat, namun apabila tidak tercapai maka dalam hal ini berlaku ketentuan :
a. Putusan diambil dengan suara terbanyak;
b. Jika gagal, dipilih putusan yang paling menguntungkan bagi terdakwa;
Pasal 182 ayat 6 KUHAP. Apabila tidak tercapai kemufakatan bulat, maka pendapat lain dari
seorang hakim majelis dicatat dalam berita acara sidang majelis yang sifatnya rahasia Pasal 182 ayat 6 KUHAP. Pada prakteknya keberatan
tersebut dikemukakan pada ketua pengadilan, dengan mencatat dalam buku keberatan, yang disediakan oleh ketua pengadilan negri yang
sifatnya rahasia. Sedangkan putusan yang dipakai adalah putusan yang disetujui oleh 2 orang hakim Hari Sasangka, Lily Rosita, 2003: 110.
5. Tinjauan Tentang Anotasi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia menjelaskan anotasi adalah catatan yang dibuat oleh pengarang atau orang untuk menerangkan,
mengomentari atau mengkritik teks karya sastra atau bahan tertulis, jadi dalam hal ini yang dimaksud sebagai catatan adalah komentar yang dibuat
oleh hakim sedangkan pengarang disini adalah hakim yaitu orang yang mengadili perkara pengadilan atau mahkamah, pengadilan, juri, penilai.
Jadi anotasi hakim adalah komentar tertulis yang dibuat oleh hakim untuk menerangkan atau mengkritik pembuktian yang dibuat oleh penuntut
umum yang nantinya digunakan penulis sebagai pokok pembahasan dalam penulisan hukum ini.
commit to user 39
B. Kerangka Pemikiran