Epidemiologi Rinitis Akibat Kerja Patofisiologi Rinitis Akibat Kerja

12 RAK nonalergi dengan Reactive Upper Airways Dysfunction Syndrome merupakan reaksi rinitis nonimunologi yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar iritan yang tinggi Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Moscato dkk., 2009. RAK terinduksi iritan juga dapat menimbulkan gejala rinitis yang disebabkan berbagai pajanan iritan berulang tanpa harus disertai adanya pajanan yang jelas terhadap iritan dalam konsentrasi tinggi seperti gas, kabut, uap, uap air dan debu termasuk asap rokok, nitrogen oksida, sulfur oksida, ozon, PAN atau peroxyacetyl nitrite, hypochlorite, ammonia, chloramines, gas chlorine, formaldehyde, glycol ethers Drake-Lee dkk., 2002; Gautrin dkk., 2006; Moscato dkk., 2009. Rinitis korosif merupakan RAK terinduksi iritan yang terparah ditandai dengan inflamasi persisten mukosa hidung berupa atropi, ulserasi atau perforasi mukosa hidung dan epistaksis Moscato dkk., 2009. Gejala rinitis yang memburuk karena pekerjaan dicetuskan oleh berbagai kondisi kerja seperti agen iritan yang berasal dari kimia, debu, asap, faktor fisik karena perubahan temperatur, emosi, mantan perokok, dan bau parfum. Gambaran klinisnya serupa dengan RAK, tapi mekanisme yang mempengaruhi timbulnya rinitis sulit untuk diselidiki Moscato dkk., 2009.

2.4. Epidemiologi Rinitis Akibat Kerja

Di Indonesia angka kejadian rinitis akibat kerja belum diketahui secara pasti karena saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Menurut penelitian, diperkirakan 15 pekerja di seluruh dunia menderita rinitis akibat kerja. Pekerja 13 industri adalah pekerja terbanyak yang menderita rinitis akibat kerja 48, disusul oleh pekerja administrasi 29 dan pekerja pengolahan bahan jadi 13. Jenis pekerjaan yang diketahui berisiko tinggi adalah petani, pekerja laboratorium farmasi, tukang kayu, pekerja pertambangan, pekerja industri makanan dan pekerja kesehatan. Para pekerja yang memiliki riwayat alergi individu atau keluarga lebih rentan terhadap rinitis akibat kerja. Peningkatan konsentrasi alergen dalam lingkungan dan lamanya waktu pajanan semakin meningkatkan resiko menderita rinitis akibat kerja Arandelovic dkk., 2004.

2.5. Patofisiologi Rinitis Akibat Kerja

Rinitis sendiri merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat RAFC yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat RAFL yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam fase hiperreaktivitas setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji Antigen Presenting CellAPC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II Major Histocompatibility 14 Complex yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper Th0. kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 IL-1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil sel mediator sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi pecahnya dinding sel mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk Performed Mediators terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 PGD2, Leukotrien D4 LT D4, Leukotrien C4 LT C4, bradikinin, Platelet Activating Factor PAF, berbagai sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL- 6, GM-CSF Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat RAFC. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain 15 histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 ICAM1. Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor GM-CSF dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein ECP, Eosiniphilic Derived Protein EDP, Major Basic Protein MBP, dan Eosinophilic Peroxidase EPO. Pada fase ini, selain faktor spesifik alergen, iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi Irawati dkk., 2007. Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan 16 terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: a. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen Ag. Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. b. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau ke duanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. c. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Untuk rhinitis akibat kerja mekanisme terjadinya adalah mekanisme imunologi IgE mediated yang mendasari terjadinya rhinitis akibat kerja dapat dijelaskan dengan baik, sedangkan tentang mekanisme non IgE mediated dan iritasi non imunologi 17 kurang dapat dijelaskan. Rhinitis akibat kerja ditandai dengan adanya aktivasi sel T yang disebabkan oleh Specific Inhalation Challenge SIC di dalam darah dan sputum dari pasien dengan rhinitis akibat kerja yang dibandingkan sukarelawan yang sehat. SIC ini diinduksi oleh sebuah peningkatan dari proporsi IL-13 yang memproduksi sel T, baik di dalam darah dan sputum dari pasien rhinitis akibat kerja. Pada temuan terbaru juga menunjukkan bahwa hidung yang tiba-tiba bereaksi disebabkan zat perisulfat pada penata rambut karena akibat aktivasi dari sel Th1. Pada penelitian yang lain ditemukan bahwa paparan debu di lingkungan kerja berhubungan dengan peradangan eosinofilik di hidung yang eksudatif dan menginduksi peningkatan yang signifikan dari a2 macroglobulin setelah peningkatan histamin pada hidung Moscato dkk., 2009.

2.6. Jenis dan Sifat Debu

Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Penambang Pasir Kali di Kabupaten Labuhan Batu

0 21 90

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBER

0 19 17

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBERENGOLAHAN BATU KAPUR

0 5 17

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBERRachman Efendi

0 14 17

Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Rinitis Alergi Pada Usia 13-14 Tahun di Daerah Ciputat Timur dengan Menggunakan Kuesioner International Study Of Asthma And Allergy In Childhood (ISAAC) Tahun 2013

20 108 83

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kab. Karawang Tahun 2013

2 54 182

FAKTOR-FAKTOR RISIKO RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PENAMBANG BATU KAPUR DI DESA PECATU KABUPATEN BADUNG.

0 0 47

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rinitis Akibat Kerja Pada Pekerja Pembuat Roti.

2 3 47

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN PERNAPASAN PADA PEKERJA PEMBAKARAN BATU KAPUR DI BAGIAN (PENAMBANG DAN GEPUK) DI DESA MRISI KECAMATAN TANGGUNGHARJO KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 2010 - UDiNus Repository

0 0 2

STUDI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PENAMBANG BATU KAPUR DI DESA TONDO KECAMATAN BUNGKU BARAT KABUPATEN MOROWALI

1 1 12