RMK REGULASI DAN STANDAR SEKTOR PUBLIK

(1)

RMK KELOMPOK 5

REGULASI DAN STANDAR SEKTOR PUBLIK

DISUSUN OLEH :

ARDIANSYAH

(A31113009)

RISKI AMALIA ODE

(A31113038)

ANDI TENRI DETTYA ULENG .P. (A31113523)

DWI KARTIKO SARI

(A31113524)

ULFA RAMADHANI

(A31113528)

Tahun Ajaran 2015/2016

Fak. Ekonomi Jurusan Akuntansi


(2)

I.

PERKEMBANGAN REGULASI DI SEKTOR PUBLIK

Secara garis besar regulasi di sektor publik dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu perkembangan regulai yg terkait dengan organisasi nirlaba & instansi pemerintah. Kedua jenis perkembagan ini perlu dibedakan mengingat sifat regulasi di sektor publik bersifat spesifik untuk setiap jenis organisasi. Selain itu, di instansi pemerintah, regulasi yg digunakan cenderung lebih rumit dan detail.

PERKEMBANGAN REGULASI TERKAIT ORGANISASI NIRLABA

Regulasi Tentang Yayasan

Regulasi yg terkait dengan yayasan adalah UU RI No.16 tahun 2001 tentang yayasan. UU ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat. Kemudian UU tersebut diperbarui dalam beberapa aspek dengan UU No.28 tahun 2004.

Selain dari dua UU tersebut, untuk lebih menjamin kepastian hukum pemerintah juga mengeluarkan peraturan pemerintah No. 63 Tahun 2008 mengenai Undang Undang tentang Yayasan.

Regulasi Tentang Partai Politik

UU yg pertama ada setelah era reformasi adalah UU No. 2 tahun 1999. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan perubahan sistem ketatanegaraan yg dinamis di awal-awal reformasi, UU ini diperbarui dengan keluarnya UU No.31 tahun 2002 tentang partai politik. Kemudian UU 31/2002 kembali diperbarui pada tahun 2008 melalui UU No.2 tahum 2008 tentang partai politik.

Regulasi Tentang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) & Badan

Hukum Pendidikan (BHP)

BHMN adalah salahsatu bentuk badan hukum di Indonesia yg awalnya dibentuk untuk mengakomodasikan kebutuhan khusu dalam rangka “privitisasi” lembaga pendidikan yg memiliki karakteristik tersendiri, khususnya sifat non-profit meski berstatus sebagai badan usaha.

Pada akhir tahun 2008, terdapat perkembangan baru pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia dengan disahkannya UU tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).

BHP adalah badan hukum penyelenggaraan pendidikan formal dengan berprinsip nirlaba yang memeliki kemandirian dalam pengelolaannya dengan tujuan memajukan satuan pendidikan.

Regulasi Tentang Badan Layanan Umum (BLU)

BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yg dbentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang/jasa yang tanpa mengutamakan mencari keuntungan. BLU dibentuk untuk mempromosikan peningkatan layanan publik melalui fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU yg dikelola secara profesional dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas.

Wacana tentang BLU dalam regulasi di level UU disebut dalam UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Level regulasi dibawahnya yang secara khusus menjelaskan tentang BLU adalah peraturan pemerintah No.23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan badan layanan umum.


(3)

DASAR HUKUM KEUANGAN SEKTOR PUBLIK

Dasar Hukum Keuangan Negara

Wujud pelaksanaan keuangan negara tersebut dapat diidentifikasikan sebagai segala bentuk kekayaan, hak, dan kewajiban negara yang tercantum dalam APBN dan laporan pelaksanaannya.

Pelaksanaan kewajiban atau tugas-tugas pemerintah tersebut dapat berupa pengeluaran dan diakui sebagai belanja negara. Dalam UUD 1945 Amandemen IV, secara khusus diatur mengenai Keuangan Negara, yaitu pada BAB VIII pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut :

1. Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu. 2. Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang

3. Jenis dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang 4. Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang

5. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, ditetapkan Undang-undang tentang APBN untuk tahun anggaran bersangkutan. Penyusunan APBN bukan hanya untuk memenuhi ketentuan konstitusional yang dimaksud pada pasal 23 ayat (1) UUD 1945, tetapi juga sebagai dasar rencana kerja yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Oleh karena itu, penyusunannya didasarkan atas Rencana Strategi dalam UU Propenas, dan pelaksanaannya dituangkan dalam UU yang harus dijalankan oleh Presiden/Wakil Presiden dan Menteri-menteri serta pimpinan Lembaga Tinggi Negara Lainnya.

Dasar Hukum Keuangan Daerah

Berdasarkan pasal 18 UUD 1945, tujuan pembentukan daerah otonom adalah meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintah untuk melayani masyarakat dan melaksanakan program pembangunan. Dalam rangka penyelenggaraan daerah otonom, menurut penjelasan pasal 64 Undang-undang No. 5 tanhun 1974, fungsi penyusunan APBD adalah untuk :

1. Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada Rakyat Daerah yang bersangkutan

2. Mewujudkan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab

3. Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala daerah khususnya, karena anggaran pendapatan dan belanja daerah itu menggambarkan seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah

4. Melaksanakan pengawasan terhadap pemerintahan daerah dengan cara yang lebih mudah dan berhasil guna.

5. Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan Keuangan Daerah didalam batas-batas tertentu

PARADIGMA BARU AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK DI ERA REFORMASI

Paradigma baru dalam “Reformasi Manajemen Sektor Publik” adalah penerapan akuntansi dalam praktik pemerintah guna mewujudkan good governance. Landasan hukum pelaksanaan reformasi tersebut telah disiapkan oleh Pemerintah dalam suatu Paket UU Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang pada saat ini telah disahkan oleh DPR.


(4)

Terdapat 4 prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan dalam 3 Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yaitu :

1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja 2. Keterbukaan dalam setiap prinsip transaksi 3. Pemberdayaan manajer profesional

4. Adanya lembaga pemeriksa internal yang kuat, profesional, dan mendiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemerintahan.

Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan demikian, pelaksanaan tiga UU Bidang Keuangan Negara tersebut nantinya, selain menjadi acuan dalam pelaksanaan reformasi manajemen pemerintah, diharapkan akan memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI.

Paradigma Baru Regulasi Akuntansi Sektor Publik

1. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara 2. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

3. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara 4. UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan

Nasional

5. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

6. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

7. PP No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan 8. PP No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

PERATURAN PEMERINTAH NO.71 SEBAGAI REGULASI TERKINI DI

INDONESIA

Dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16, dapat dilihat bahwa definisi pendapatan dan belanja negara/daerah berbasis akrual karena disana disebutkan bahwa: Pendapatan negara/daerah dalah hak pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dan Belanja negara/daerah adalah kewajiban pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Namun kita diperkenankan untuk transisi karena saat itu praktik yang ada adalah dengan menggunakan basis kas, dimana pendapatan dan belanja diakui saat uang masuk/keluar ke/dari kas umum negara/daerah.

Dispensasi ini tercantum dalam Pasal 36 ayat 1 UU 17 Tahun 2003 yang intinya ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun, artinya sampai dengan tahun 2008. Untuk masa transisi itulah PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah terbit, dimana kita memakai basis Kas Menuju Akrual (Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan basis kas, Neraca berdasarkan basis Akrual). Dalam pelaksanaan PP 24 Tahun 2005 tersebut hingga Laporan Keuangan Pemerintah tahun 2008 selesai diaudit di tahun 2009, ternyata opini yang didapat pemerintah saat itu masih menyedihkan. Untuk itulah, Pemerintah akhirnya berkonsultasi dengan Pimpinan DPR, dan disepakati bahwa basis akrual akan dilaksanakan secara penuh mulai tahun 2014.

Pada tahun 2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai pengganti PP 24 tahun 2005. Diharapkan setelah PP ini terbit maka akan diikuti dengan aturan-aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri Keuangan untuk pemerintah pusat maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pemerintah daerah. Ada yang berbeda antara PP 71 tahun 2010 ini dengan PP-PP lain. Dalam PP 71 tahun 2010 terdapat 2 buah lampiran.


(5)

-

Lampiran I merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Akrual yang akan dilaksanakan selambat-lambatnya mulai tahun 2014, sedangkan

-

Lampiran II merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Kas Menuju Akrual yang hanya berlaku hingga tahun 2014.

Perbedaan mendasar dari sisi jenis laporan keuangan antara Lampiran I dan Lampiran II adalah sebagai berikut:

-

Lampiran I

Laporan Anggaran (Budgetary Reports): Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih

Laporan Keuangan (Financial Reports): Neraca, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan

-

Lampiran II

Laporan terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Dengan perbedaan jenis Laporan Keuangan yang akan dihasilkan, otomatis penjelasan pada setiap Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang terkait dengan masing-masing Laporan Keuangan akan mengalami perubahan.

Kedua daftar isi hampir serupa karena kebijakan yang diambil oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintah saat mengembangkan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual ini adalah dengan beranjak dari PP 24 tahun 2005 yang kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap PP 24 tahun 2005 itu sendiri. Dengan strategi ini diharapkan pembaca PP 71 tahun 2010 nantinya tidak mengalami kebingungan atas perubahan-perubahan tersebut karena lebih mudah memahami perubahannya dibandingkan jika langsung beranjak dari penyesuaian atas International Public Sector of Accounting Standards (IPSAS) yang diacu oleh KSAP.

BARANG DAN JASA PUBLIK

Barang & Jasa Publik Vs Barang & Jasa Swasta

Barang publik adalah barang kolektif yang seharusnya dikuasai oleh Negara/ pemerintah. Sifatnya tidak eksklusif dan diperuntukkan bagi kepentingan seluruh warga dalam skala yang luas, dan dapat dinikmati warga secara gratis, misalnya udara bersih, air bersih, dan lingkungan yang aman. Sedangkan barang swasta adalah barang spesifik yang dimiliki oleh pihak swasta. Sifatnya eksklusif dan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membelinya, karena harganya disesuaikan dengan harga pasar menurut penjual, misalnya perumahan mewah, villa, dan hotel. Dan ada juga setengah kolektif yang dimiliki oleh swasta atau pemilik gabungan antara swasta dan pemerintah. Seharusnya barang ini tidak boleh bersifat eksklusif, dan pemerintah harus ikut menentukan harga penjualannya, yang biasanya tidak terjangkau oleh rakyat kecil, misalnya sekolah dan rumah sakit.

Konsep-Konsep Pokok Barang dan Jasa Publik

Suatu barang dikategorikan sebagai barang ‘swasta’ atau ‘publik’ dalam kaitannya dengan tingkat excludability dan persaingannya. Tingkat excludablity suatu barang ditentukan dengan kondisi dimana konsumen dan produsen barang atau pelayanan bisa memastikan bahwa orang lain tidak memperoleh manfaat dari barang/pelayanan tersebut. Jika suatu barang memiliki daya saing yang tinggi, barang tersebut dipergunakan secara perorangan dan apabila daya saingnya


(6)

rendah, barang tersebut dapat dimanfaatkan secara bersama-sama. Contoh taman umum daya saingnya rendah, sedangkan ‘iphone’ daya saingnya tinggi.

1. Secara umum, barang publik memiliki tingkat excludability dan daya saing yang rendah. Ini menandakan bahwa apabila barang itu diproduksi, barang tersebut dapat dipergunakan oleh banyak orang. Barang publik ini dimanfaatkan oleh banyak orang, sehingga umumnya dibiayai dari dana publik.

2. Barang swasta adalah barang yang punya excludability dan daya saing tinggi. Orang-orang yang memanfaatkanya jelas, sehingga mudah dikenakan biaya.

3. Barang yang excludable, tetapi daya saingnya rendah disebut toll goods. Contohnya sperti jalan tol.

4. Barang yang berdaya saing tinggi, tetapi non-excludable, disebut common pool goods. Contohnya adalah pengadaan air disebuah desa; meskipun termasuk barang yang non-excudable, namun penggunaannya secara berlebihan akan mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk menggunakannya.

Penyedia Pelayanan

Barang/ pelayanan yang dibiayai secara publik dapat dikontrakkan kepada sektor swasta misalnya, penggunaan kontraktor swasta dalam pembangunan lapangan terbang, atau sebaliknya misalnya sekolah pemerintah menerima pembayaran dari orang tua murid dalam bentuk pemakai pelayanan. Setor swasta mempunyai kecendrungan bekerja lebih efisien dan efektif karena :

1. Sektor swasta memiliki fleksibilitas dalam pengolahan sumber daya sehingga permintaan pasar dapat ditanggapi.

2. Persaingan pelayanan mendorong lebih baiknya mutu pelayanan dengan harga yang lebih murah bagi pelanggan.

Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik

Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik mempunyai tugas mengkaji, menyiapkan perumusan kebijakan, perencanaan kebijakan pengadaan barang/jasa nasional, serta melaksanakan sosialisasi, pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya. Dalam melaksanakan tugasnya, Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik menyelenggarakan fungsi:

1. penyiapan dan perumusan kebijakan dan sistem pengadaan nasional

2. penyiapan dan perumusan kebijakan pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia di bidang pengadaan

3. pelayanan bimbingan teknis, pemberian pendapat dan rekomendasi, serta koordinasi penyelesaian masalah di bidang pengadaan

4. pengembangan sistem informasi nasional di bidang pengadaan

5. pengawasan pelaksanaan pelayanan pengadaan barang/jasa dengan teknologi informasi

6. melaksanakan sosialisasi, pemantauan, dan penilaian pelaksanaan kebijakan dan sistem pengadaan nasional

ETIKA PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK

Pihak member amanah (principal) percaya bahwa pihak pemegang amanah (agent) mempunyai “kapasitas” yang menandai untuk menjalankan amanah yang didelegasikan. Makna kapasistas disini hanya dilihat dari kompetensi pada bidang kerja, tetapi juga dilihat dari perilaku etis. Perilaku etis nampaknya sangat menunjang kepercayaan para partner dan teman kerja.

Etika sering dilihat dari segala sesuatu yang terwujud (tangible). Di tengah masyarakat yang masih mempercayai symbol-symbol (tanda-tanda (signals)), dan


(7)

berbagai bentuk aksesoris fisik lain, standar etika amat diperlukan untuk menetukan perilaku etis.

Etika bisnis adalah bagaimana tindakan atau perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai etis atau tidak etis. Dalam banyak pembahasan tentang teori etika, para ahli filosofi umumnya menitikberatkan pada etika secara umum daripada etika dari suatu kelompok kecil, misalnya profesi dan bidang pekerjaan tertentu. Berbagai tulisan yang dibuat oleh para ahli filsafat sering jadikan acuan atau pedoman untuk memahami nilai rasionalisasi suatu sikap dan perbuatan yang disebut etis.

Berikut ini adalah beberapa pemikiran dari para filsafat mengenai etika : A. Socrates

Ia berpendapat bahwa semua pengetahuan (knowledge) dari seseorang itu sebetulnya bersifat baik dan menjunjung nilai-nilai kebijakan. Tanpa didukung pengetahuan, seseorang tidak mungkin dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berbudi luhur.

B. Hume

Ia berpendapat bahwa perilaku seseorang (personal merit) yang beretika sebenarnya mempunyai beberapa nilai kualitas karakter dan kepribadian yang bermanfaat dan diterima baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri.

C. John

Ia berpendapat bahwa kebenaran, perilaku etis, dan prinsip moral seseorang sebenarnya tidak dibawa sejak lahir. Berbagai pedoman etika bisa diperoleh melalui suatu persepsi dan konsepsi. Ia juga mengemukakan bahwa hukum (law) merupakan sebuah kriteria untuk memutuskan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk. Tiga tipe dari hukum ini yaitu : divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan), civil law (hukum yang berlaku di masyarakat), law of opinion and reputation (hukum yang berhububgan dengan opini dan reputasi).

D. Kant

Ia berpendapat bahwa pentingnya standar formal sebagai pedoman umum untuk menilai perilaku seseorang. Tetapi ia tidak setuju dengan perilaku etis ini dibentuk dari suatu tekanan (hukum) yang disertai hukuman tertentu.

Dalam menyikapi pro-kontra terhadap suatu perbuatan, pengkategorian perilaku etis sebaiknya berpedoman pada etika umum, antara lain : pengetahuan (knowledge), kesadaran akan hidup bermasyarakat, respek terhadap divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan), memahami bahwa suatu pekerjaan membutuhkan pertanggungjawaban, menyadari bahwa norma dari perilaku etis yang diakui masyarakat berlaku untuk semua jenis pekerjaan apapun.

KEDUDUKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MEMPERBAIKI

KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

Semua masyarakat memiliki hak yang sama atas jaminan sosial dan ekonomi dari pemerintah sebagai konsekuensi langsung atas pembayaran pajak yang telah dipenuhi. Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah bisa berimbas pada bidang yang lain. Pemerintah mempunyai peran menentukan kualitas tingkat kehidupan masyarakat secara individual.

Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajemen kualitas jasa, yakni upaya meminimasi kesenjangan antara tingkat layanan dengan harapan konsumen. Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome-nya, karena outcome merupakan variabel kinerja yang mewakili misi organisasi dan aktivitas oprasional, baik aspek keuangan dan nonkeuangan. Dalam penentuan outcome sangat perlu untuk mempertimbangkan dimensi kualitas (Mardiasmo 2007). Selanjutnya, monitoring kinerja perlu dilakukan untuk mengevaluasi pelayanan publik dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.


(8)

1. Langkah-langkah penting dalam memonitoring kinerja organisasi layanan publik yaitu : Mengembangkan indikator kinerja yang mengembangkan pencapaian tujuan organisasi,

2. Memaparkan hasil pencapaian tujuan berdasarkan indikator kinerja diatas, 3. Mengidentifikasi apakah kegiatan pelayanan sudah efektif dan efisien sebagai


(9)

REFERENSI

Wibowo, Panji (2015). Regulasi Dan Standar Sektor Publik. From

https://www.academia.edu/8849434/Regulasi_dan_Standar_Sektor

_Publik

, 1 september 2015

Nordiawan, Deddi., & Ayuningtyas Hertianti (2010). Akuntansi

Sektor Publik . Edisi 2. Jakarta:Salemba Empat.


(1)

Terdapat 4 prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan dalam 3 Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yaitu :

1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja 2. Keterbukaan dalam setiap prinsip transaksi 3. Pemberdayaan manajer profesional

4. Adanya lembaga pemeriksa internal yang kuat, profesional, dan mendiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemerintahan.

Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan demikian, pelaksanaan tiga UU Bidang Keuangan Negara tersebut nantinya, selain menjadi acuan dalam pelaksanaan reformasi manajemen pemerintah, diharapkan akan memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI.

Paradigma Baru Regulasi Akuntansi Sektor Publik

1. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara 2. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

3. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara 4. UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan

Nasional

5. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

6. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

7. PP No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan 8. PP No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

PERATURAN PEMERINTAH NO.71 SEBAGAI REGULASI TERKINI DI

INDONESIA

Dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16, dapat dilihat bahwa definisi pendapatan dan belanja negara/daerah berbasis akrual karena disana disebutkan bahwa: Pendapatan negara/daerah dalah hak pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dan Belanja negara/daerah adalah kewajiban pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Namun kita diperkenankan untuk transisi karena saat itu praktik yang ada adalah dengan menggunakan basis kas, dimana pendapatan dan belanja diakui saat uang masuk/keluar ke/dari kas umum negara/daerah.

Dispensasi ini tercantum dalam Pasal 36 ayat 1 UU 17 Tahun 2003 yang intinya ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun, artinya sampai dengan tahun 2008. Untuk masa transisi itulah PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah terbit, dimana kita memakai basis Kas Menuju Akrual (Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan basis kas, Neraca berdasarkan basis Akrual). Dalam pelaksanaan PP 24 Tahun 2005 tersebut hingga Laporan Keuangan Pemerintah tahun 2008 selesai diaudit di tahun 2009, ternyata opini yang didapat pemerintah saat itu masih menyedihkan. Untuk itulah, Pemerintah akhirnya berkonsultasi dengan Pimpinan DPR, dan disepakati bahwa basis akrual akan dilaksanakan secara penuh mulai tahun 2014.

Pada tahun 2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai pengganti PP 24 tahun 2005. Diharapkan setelah PP ini terbit maka akan diikuti dengan aturan-aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri Keuangan untuk pemerintah pusat maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pemerintah daerah. Ada yang berbeda antara PP 71 tahun 2010 ini dengan PP-PP lain. Dalam PP 71 tahun 2010 terdapat 2 buah lampiran.


(2)

-

Lampiran I merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Akrual yang akan dilaksanakan selambat-lambatnya mulai tahun 2014, sedangkan

-

Lampiran II merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Kas Menuju Akrual yang hanya berlaku hingga tahun 2014.

Perbedaan mendasar dari sisi jenis laporan keuangan antara Lampiran I dan Lampiran II adalah sebagai berikut:

-

Lampiran I

Laporan Anggaran (Budgetary Reports): Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih

Laporan Keuangan (Financial Reports): Neraca, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan

-

Lampiran II

Laporan terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Dengan perbedaan jenis Laporan Keuangan yang akan dihasilkan, otomatis penjelasan pada setiap Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang terkait dengan masing-masing Laporan Keuangan akan mengalami perubahan.

Kedua daftar isi hampir serupa karena kebijakan yang diambil oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintah saat mengembangkan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual ini adalah dengan beranjak dari PP 24 tahun 2005 yang kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap PP 24 tahun 2005 itu sendiri. Dengan strategi ini diharapkan pembaca PP 71 tahun 2010 nantinya tidak mengalami kebingungan atas perubahan-perubahan tersebut karena lebih mudah memahami perubahannya dibandingkan jika langsung beranjak dari penyesuaian atas International Public Sector of Accounting Standards (IPSAS) yang diacu oleh KSAP.

BARANG DAN JASA PUBLIK

Barang & Jasa Publik Vs Barang & Jasa Swasta

Barang publik adalah barang kolektif yang seharusnya dikuasai oleh Negara/ pemerintah. Sifatnya tidak eksklusif dan diperuntukkan bagi kepentingan seluruh warga dalam skala yang luas, dan dapat dinikmati warga secara gratis, misalnya udara bersih, air bersih, dan lingkungan yang aman. Sedangkan barang swasta adalah barang spesifik yang dimiliki oleh pihak swasta. Sifatnya eksklusif dan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membelinya, karena harganya disesuaikan dengan harga pasar menurut penjual, misalnya perumahan mewah, villa, dan hotel. Dan ada juga setengah kolektif yang dimiliki oleh swasta atau pemilik gabungan antara swasta dan pemerintah. Seharusnya barang ini tidak boleh bersifat eksklusif, dan pemerintah harus ikut menentukan harga penjualannya, yang biasanya tidak terjangkau oleh rakyat kecil, misalnya sekolah dan rumah sakit.

Konsep-Konsep Pokok Barang dan Jasa Publik

Suatu barang dikategorikan sebagai barang ‘swasta’ atau ‘publik’ dalam kaitannya dengan tingkat excludability dan persaingannya. Tingkat excludablity suatu barang ditentukan dengan kondisi dimana konsumen dan produsen barang atau pelayanan bisa memastikan bahwa orang lain tidak memperoleh manfaat dari barang/pelayanan tersebut. Jika suatu barang memiliki daya saing yang tinggi, barang tersebut dipergunakan secara perorangan dan apabila daya saingnya


(3)

rendah, barang tersebut dapat dimanfaatkan secara bersama-sama. Contoh taman umum daya saingnya rendah, sedangkan ‘iphone’ daya saingnya tinggi.

1. Secara umum, barang publik memiliki tingkat excludability dan daya saing yang rendah. Ini menandakan bahwa apabila barang itu diproduksi, barang tersebut dapat dipergunakan oleh banyak orang. Barang publik ini dimanfaatkan oleh banyak orang, sehingga umumnya dibiayai dari dana publik.

2. Barang swasta adalah barang yang punya excludability dan daya saing tinggi. Orang-orang yang memanfaatkanya jelas, sehingga mudah dikenakan biaya.

3. Barang yang excludable, tetapi daya saingnya rendah disebut toll goods. Contohnya sperti jalan tol.

4. Barang yang berdaya saing tinggi, tetapi non-excludable, disebut common pool goods. Contohnya adalah pengadaan air disebuah desa; meskipun termasuk barang yang non-excudable, namun penggunaannya secara berlebihan akan mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk menggunakannya.

Penyedia Pelayanan

Barang/ pelayanan yang dibiayai secara publik dapat dikontrakkan kepada sektor swasta misalnya, penggunaan kontraktor swasta dalam pembangunan lapangan terbang, atau sebaliknya misalnya sekolah pemerintah menerima pembayaran dari orang tua murid dalam bentuk pemakai pelayanan. Setor swasta mempunyai kecendrungan bekerja lebih efisien dan efektif karena :

1. Sektor swasta memiliki fleksibilitas dalam pengolahan sumber daya sehingga permintaan pasar dapat ditanggapi.

2. Persaingan pelayanan mendorong lebih baiknya mutu pelayanan dengan harga yang lebih murah bagi pelanggan.

Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik

Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik mempunyai tugas mengkaji, menyiapkan perumusan kebijakan, perencanaan kebijakan pengadaan barang/jasa nasional, serta melaksanakan sosialisasi, pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya. Dalam melaksanakan tugasnya, Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik menyelenggarakan fungsi:

1. penyiapan dan perumusan kebijakan dan sistem pengadaan nasional

2. penyiapan dan perumusan kebijakan pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia di bidang pengadaan

3. pelayanan bimbingan teknis, pemberian pendapat dan rekomendasi, serta koordinasi penyelesaian masalah di bidang pengadaan

4. pengembangan sistem informasi nasional di bidang pengadaan

5. pengawasan pelaksanaan pelayanan pengadaan barang/jasa dengan teknologi informasi

6. melaksanakan sosialisasi, pemantauan, dan penilaian pelaksanaan kebijakan dan sistem pengadaan nasional

ETIKA PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK

Pihak member amanah (principal) percaya bahwa pihak pemegang amanah (agent) mempunyai “kapasitas” yang menandai untuk menjalankan amanah yang didelegasikan. Makna kapasistas disini hanya dilihat dari kompetensi pada bidang kerja, tetapi juga dilihat dari perilaku etis. Perilaku etis nampaknya sangat menunjang kepercayaan para partner dan teman kerja.

Etika sering dilihat dari segala sesuatu yang terwujud (tangible). Di tengah masyarakat yang masih mempercayai symbol-symbol (tanda-tanda (signals)), dan


(4)

berbagai bentuk aksesoris fisik lain, standar etika amat diperlukan untuk menetukan perilaku etis.

Etika bisnis adalah bagaimana tindakan atau perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai etis atau tidak etis. Dalam banyak pembahasan tentang teori etika, para ahli filosofi umumnya menitikberatkan pada etika secara umum daripada etika dari suatu kelompok kecil, misalnya profesi dan bidang pekerjaan tertentu. Berbagai tulisan yang dibuat oleh para ahli filsafat sering jadikan acuan atau pedoman untuk memahami nilai rasionalisasi suatu sikap dan perbuatan yang disebut etis.

Berikut ini adalah beberapa pemikiran dari para filsafat mengenai etika : A. Socrates

Ia berpendapat bahwa semua pengetahuan (knowledge) dari seseorang itu sebetulnya bersifat baik dan menjunjung nilai-nilai kebijakan. Tanpa didukung pengetahuan, seseorang tidak mungkin dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berbudi luhur.

B. Hume

Ia berpendapat bahwa perilaku seseorang (personal merit) yang beretika sebenarnya mempunyai beberapa nilai kualitas karakter dan kepribadian yang bermanfaat dan diterima baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri.

C. John

Ia berpendapat bahwa kebenaran, perilaku etis, dan prinsip moral seseorang sebenarnya tidak dibawa sejak lahir. Berbagai pedoman etika bisa diperoleh melalui suatu persepsi dan konsepsi. Ia juga mengemukakan bahwa hukum (law) merupakan sebuah kriteria untuk memutuskan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk. Tiga tipe dari hukum ini yaitu : divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan), civil law (hukum yang berlaku di masyarakat), law of opinion and reputation (hukum yang berhububgan dengan opini dan reputasi).

D. Kant

Ia berpendapat bahwa pentingnya standar formal sebagai pedoman umum untuk menilai perilaku seseorang. Tetapi ia tidak setuju dengan perilaku etis ini dibentuk dari suatu tekanan (hukum) yang disertai hukuman tertentu.

Dalam menyikapi pro-kontra terhadap suatu perbuatan, pengkategorian perilaku etis sebaiknya berpedoman pada etika umum, antara lain : pengetahuan (knowledge), kesadaran akan hidup bermasyarakat, respek terhadap divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan), memahami bahwa suatu pekerjaan membutuhkan pertanggungjawaban, menyadari bahwa norma dari perilaku etis yang diakui masyarakat berlaku untuk semua jenis pekerjaan apapun.

KEDUDUKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MEMPERBAIKI

KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

Semua masyarakat memiliki hak yang sama atas jaminan sosial dan ekonomi dari pemerintah sebagai konsekuensi langsung atas pembayaran pajak yang telah dipenuhi. Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah bisa berimbas pada bidang yang lain. Pemerintah mempunyai peran menentukan kualitas tingkat kehidupan masyarakat secara individual.

Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajemen kualitas jasa, yakni upaya meminimasi kesenjangan antara tingkat layanan dengan harapan konsumen. Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome-nya, karena outcome merupakan variabel kinerja yang mewakili misi organisasi dan aktivitas oprasional, baik aspek keuangan dan nonkeuangan. Dalam penentuan outcome sangat perlu untuk mempertimbangkan dimensi kualitas (Mardiasmo 2007). Selanjutnya, monitoring kinerja perlu dilakukan untuk mengevaluasi pelayanan publik dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.


(5)

1. Langkah-langkah penting dalam memonitoring kinerja organisasi layanan publik yaitu : Mengembangkan indikator kinerja yang mengembangkan pencapaian tujuan organisasi,

2. Memaparkan hasil pencapaian tujuan berdasarkan indikator kinerja diatas, 3. Mengidentifikasi apakah kegiatan pelayanan sudah efektif dan efisien sebagai


(6)

REFERENSI

Wibowo, Panji (2015). Regulasi Dan Standar Sektor Publik. From

https://www.academia.edu/8849434/Regulasi_dan_Standar_Sektor

_Publik

, 1 september 2015

Nordiawan, Deddi., & Ayuningtyas Hertianti (2010). Akuntansi

Sektor Publik . Edisi 2. Jakarta:Salemba Empat.