1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Alasan Pemilihan Judul
Penulis memilih judul “Asas Persamaan Perlakuan di Depan Hukum
dalam Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.8 tahun 2006No.9 tahun 2006 dan
Putusan No.41G2008PTUN-BDG serta Putusan No.127 PKTUN2009, ”
karena materi muatan dalam Peraturan Bersama Menteri
1
Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 tahun 2006No. 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala DaerahWakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat, menarik untuk dikaji. Penilaian atau pengujian review apakah isi PBM sudah sesuai ataukah
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya di bawah Hukum, norma hukum, atau asas hukum, misalnya seperti penilaian yang dilakukan oleh
1
Untuk selanjutnya dalam Skripsi ini Peraturan Bersama Menteri dimaksud Penulis singkat dengan PBM.
2
hakim apakah isi PBM sesuai dengan prinsip „lex superior derogate lex inferiore‟,
khususnya penilaian atas Pasal-Pasal PBM yang mengatur tentang pendirian rumah ibadat terhadap asas hukum atau prinsip hukum, dalam hal ini Penulis
fokuskan kepada asas persamaan perlakuan di depan hukum adalah perlu dan menarik sebagai bahan kajian dan suatu eksersais keilmuan dalam bidang hukum.
Satu diantara Pasal dari PBM yang menarik untuk diuji secara ilmiah adalah Pasal yang mensyaratkan adanya dukungan masyarakat
2
setempat paling sedikit enam puluh orang, sebelum suatu ijin pendirian rumah ibadat dapat
diterbitkan oleh aparat yang berwenang kepada mereka sebagai pemohon yang berhak untuk melaksanakan kebebasan beragama mereka, beribadat di suatu
rumah ibadat. Ada kesan, bahwa Pasal tersebut kemungkinan dapat menyulitkan kelompok minoritas agama yang hendak mendirikan rumah ibadat di suatu daerah
tertentu dengan mayoritas masyarakatnya beragama lain. Sehingga, manakala kesan bakal ada kemungkinan kesulitan itu terjadi, maka dapat saja orang
berpendapat bahwa, terjadi kesenjangan perlakuan hukum kepada kelompok minoritas agama oleh yang berwenang dibandingkan dengan perlakuan terhadap
kelompok mayoritas agama dengan menyandera hijacking pendirian suatu rumah ibadat. Bahkan, yang lebih parah lagi, hijacking seperti itu dapat saja
dimanfaatkan oleh para petualang politik yang doyan menggunakan isu agama supaya mendapat tiket menuju ke kekuasaan. Dengan kata lain, dapat dikatakan
adanya kemungkinan terjadinya diskriminasi, yang dalam skripsi ini disebut sebagai ketiadaan atau pengabaian prinsip hukum, baik yang dilakukan dengan
sengaja maupun pembiaran ommision, persamaan perlakuan di depan hukum
2
Pasal 14 Ayat 2b.
3
dalam PBM. Hal inilah yang membuat Penulis tertarik memilih judul sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Meskipun harus Penulis akui, bahwa topik sejenis sudah pernah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Salatiga,
3
yang mengkaji tentang peraturan tersebut di atas, namun kajian dalam skripsi yang pernah ditulis itu
berbeda dengan penelitian Penulis ini. Perbedaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Bahwa karya tulis ini hanya memuat kajian atas prinsip hukum
dalam PBM yang mengatur pendirian suatu rumah ibadat
4
. Soal atau isu yang ada adalah apakah eksis persamaan perlakuan penerapan PBM. Dengan kata lain
apakah ada nilai asas persamaan di hadapan hukum di balik Putusan hakim yang mengadili dan memutus perkara yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadat?
Penulis pastikan, bahwa isu seperti ini belum pernah dibicarakan oleh penulis- penulis skripsi di Fakultas Hukum UKSW Salatiga sebelumnya.
Aspek yang belum dibicarakan oleh penulis dalam karya tulis terdahulu adalah bahwa dalam perspektif Ilmu Hukum, adanya persyaratan bagi ilmuan
hukum jurists, bahwa dalam suatu pengkajian ilmiah dalam bidang hukum, para pengkaji itu harus, paling kurang mengkaji kaedah dan asas dalam suatu
keputusan badan peradilan, yang dalam hal ini kajian mengenai bagaimana penerapan PBM oleh hakim dalam mengadili dan memutus perkara konkret yang
berkaitan dengan boleh tidaknya didirikan rumah ibadat.
3
Budi Wahyudiono Purnomo Wibowo, S.H., Implementasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 tahun 2006 tentang Hak Kebebasan Beragama dan
Beribadat,Studi Kasus Gereja Kerasulan Baru Indonesia Guwokajen dan Gereja Kristen Jawa Karang Duren Sawit Boyolali, FH UKSW, 2011.
4
Putusan Hakim yang menggunakan atau mengaplikasikan prinsip hukum dalam PBM yang mengatur pendirian rumah ibadat dapat dilihat dalam Bab III Skripsi ini.
4
Dalam skripsi terdahulu, belum dibahas suatu keputusan peradilan. Ada memang, seperti telah Penulis kemukakan di atas, penulis yang hanya
membangun argumen tentang kesulitan untuk mendirikan rumah ibadat menurut pandangan subyektif dari pengelola rumah-rumah ibadat tertentu. Namun,
bangunan argumen itu tidak ada contoh konkret sebagaimana yang dilakukan Penulis terhadap Putusan-Putusan Hakim yang dikaji dalam skripsi ini.
Semestinya, kalaupun pandangan seperti penulis skripsi di atas, yaitu argumen hasil temuan bahwa ada kesulitan untuk mendirikan rumah ibadat, dan apabila hal
seperti itu harus distudi, maka demi obyektifitas dan persyaratan penelitian hukum yang valid, pandangan-pandangan yang obyektif, yang dimuat di dalam suatu
putusan pengadilanlah yang seharusnya distudi. Karena, pandangan-pandangan itu telah dikemukakan di dalam ruang persidangan yang terbuka untuk umum.
Sedangkan skripsi tersebut sangat subyektif, membangun argumen dengan tidak mengikutsertakan pandangan atau pendapat, bahkan keputusan boleh tidaknya ijin
pendirian rumah ibadat tersebut diterbitkan dari sudut pandang aparat setempat yang ada dalam suatu surat keputusan, apalagi pandangan tersebut bukanlah
pejabat pembuat putusan pengadilan, atau hakim. Sedangkan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah yang argumennya
akan dibangun oleh skripsi ini mendasarkan diri pada keputusan hakim obyektifitas yang telah berkekuatan hukum tetap inkraht van gewijde. Dalam
hal ini, keputusan hakim itu adalah satuan amatan penelitian Penulis yaitu
Putusan No . 41G2008PTUN-BDG dan Putusan No. 127 PKTUN2009.
Dengan kata lain, dapat Penulis katakan bahwa skripsi sebagaimana ditulis oleh penulis terdahulu berdimensi subyektif, sedangkan skripsi ini lebih berdimensi
5
obyektif karena mengkaji suatu putusan pengadilan yang dibuat oleh instansi berwenang having the power and capacity to contract.
Sedikit lebih menarik, dan yang juga perlu Penulis kemukakan di sini yaitu bahwa perbedaan antara skripsi ini dengan skripsi sebelumnya
5
adalah bahwa skripsi ini ilmu hukum murni sedangkan skripsi sebelumnya skripsi yang
berdimensi sosiologi hukum
6
. Selanjutnya, hal yang juga penting untuk dikemukakan pada bagian awal
skripsi ini adalah bahwa skripsi ini juga berdimensi judicial review yang per definisi dirumuskan sebagai berikut :
“the simplified procedure by which, since 1977, prerogative and other remedies have been obtainable in the high court against
inferior courts, tribunals, and administrative authorities on an application for the judicial review of a decision, the court may
grant Certiorari, Mandamus, Prohibition, a Declaration, or an Injunction; it may also award damages.
”
7
Judicial review merupakan suatu konsep yang berasal dari sistem hukum Inggris. Dimaksudkan dengan judicial review, sebagaimana rumusan pengertian
di atas, adalah penyerderhanaan prosedur hukum acara yang oleh karena hak luar biasa dan penyelesaian lainnya yang menjadi wewenang suatu pengadilan
5
Lihat Catatan kaki No.1. supra.
6
Dr. Jeferson Kameo SH., LL.M., mengatakan bahwa tidak salah apabila seorang jurist memelajari Sosiologi Hukum, namun, Kameo mengingatkan bahwa Sosiologi Hukum itu bukan
Ilmu Hukum. Sosiologi Hukum itu Ilmu sosial yang mengkaji hukum sebagai obyek. Seorang Jurist tidak mengkaji hukum dalam pengertian mengobok-obok hukum, atau kemudian
menggunakan hukum menjadi alat menjadi kaya atau mencari makan, namun memelajarinya untuk dipatuhi.
7
Edited by Elizabeth A. Matin, MA., A Dictionary of Law, Oxford University Press, 1997, Fourth Edition, New York, p. 252.
6
tinggi. Pengadilan yang lebih tinggi itu menilai review bahwa ada hal yang bertentangan. Review juga dilakukan oleh pengadilan terhadap keputusan tata
usaha negara maupun badan peradilan seperti berbagai tribunal dengan berbagai pemberian ganti rugi apabila ternyata pengadilan menemukan adanya perbuatan
melawan hukum. Dimaksud dengan judicial review dalam skripsi ini dapat dilihat dalam
Putusan No. 41G2008PTUN-BDG
8
jo. No. 241B2008PT TUN. JKT
9
jo. No. 127 PKTUN2009
10
. Penulis berpendapat bahwa di dalam perkara tersebut terlihat dengan jelas dimensi pengujian review terhadap keputusan administrasi
negara oleh lembaga kehakimanhakim judicial PTUN yang dibuat dalam rangka pembangunan pendirian rumah ibadat. Satu dari alat pengukur dalam
pengujian yang dilakukan oleh para Majelis Hakim yang mengadili perkara itu adalah PBM. Dengan kata lain dalam skripsi ini terdapat satu dimensi judicial
review yang terdapat dalam putusan pengadilan. Adanya pengujian review oleh hakim judicial, dan yang paling penting,
menuruti definisi judicial review sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas adalah bahwa pengujian itu dilakukan terhadap putusan administrasi negara
beschiking. Dari tulisan ilmiah ini diharapkan dapat ditemukan kembali suatu kaedah yang mengatur mengenai suatu perbuatan something to do, dalam hal ini,
perbuatan pemberian ijin pendirian rumah ibadat di daerah yang mayoritas
8
Selanjutnya dalam skripsi ini disingkat dengan Putusan 41.
9
Selanjutnya dalam skripsi ini disingkat dengan Putusan 241.
10
Uraian lengkap Putusan-putusan itu, yang Penulis olah sebagai suatu Hasil Penelitian dan oleh sebab itu ditaruh di bawah judul Hasil Penelitian dalam Bab III. Selanjutnya pada skripsi ini
Penulis singkat dengan Putusan 127.
7
masyarakatnya beragama berbeda dengan kelompok minoritas yang akan mendirikan rumah ibadat.
1.2. Latar Belakang Masalah