KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) TANAH MENURUT HUKUM PERDATA

(1)

ABSTRAK

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) TANAH MENURUT HUKUM PERDATA

Oleh

INES SEPTIA SAPUTRI

Tanah merupakan suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhaan akan tanah terus meningkat dan untuk mendapatkan tanah di peroleh dari warisan, wasiat, hibah atau pun jual beli. Jual beli dapat dilakukan dengan membuat akta di bawah tangan dan dapat juga dilakukan di hadapan pejabat berwenang yang daerah kerjanya meliputi daerah tempat tanah yang diperjualbelikan itu berada, namun apabila para pihak belum dapat memenuhi persyaratan jual beli di hadapan notaris, maka para pihak dapat membuat perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) sebagai perjanjian pendahuluan melalui notaris. Penelitian ini mengkaji mengenai kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah menurut hukum perdata. Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah kekuatan hukum dalam akta pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris serta status hak dari akta tersebut?, (2) Bagaimanakah perlindungan hukum dari perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah jika salah satu pihak melakukan wanprestasi?

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif terapan. Data yang digunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data melalui studi pustaka, studi dokumen dan wawancara. Pengelolahan data dilakukan dengan cara identifikasi, editing, penyusunan data, penarikan kesimpulan. Selanjutnya, dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa kekuatan hukum dalam perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris dapat dibenarkan, karena pembuatannya berlandaskan Pasal 1338 ayat (3) yaitu asas kebebasan berkontrak dan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris menjadi akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum yang sempurna. Hal ini dikarenakan akta tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang


(2)

berwenang yang mendapatkan kepercayaan dari negara untuk menjalankan sebagian fungsi administratif negara, sehingga legalitasnya dapat dipastikan. Perlindungan hukum terhadap para pihak apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam perjanjian pengikatan jual beli jika perjanjian pengikatan tersebut dibuat oleh atau dihadapan notaris maka dengan sendirinya akta tersebut menjadi akta notaril sehingga para pihak dilindungi sepanjang perjanjian pengikatan jual beli tersebut diakui oleh para pihak, karena perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, sesuai dengan asas konsesualisme dan apabila terdapat salah satu pihak yang tidak mengakuinya, maka pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris, jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.


(3)

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) TANAH MENURUT HUKUM PERDATA

Oleh

INES SEPTIA SAPUTRI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

Nama lengkap penulis adalah Ines Septia Saputri, penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 23 September 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan bapak Mingrum Gumay S.H,.M.H dan ibu Sri Yudhi Yanti S.Pd.

Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Pratama Bandar Lampung pada tahun 1998, penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar di SDN 2 Sawah Brebes pada tahun 1999 hingga tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 29 Bandar Lampung pada tahun 2005 hingga tahun 2008 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Perintis 2 Bandar Lampung pada Tahun 2008 hingga tahun 2011. Penulis terdaftar sebagai mahasiwa Fakultas Hukum melalui jalur Ujian Masuk Langsung (UML) pada tahun 2011.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif diberbagai unit kegiatan mahasiswa, yaitu kepala devisi kesekretariatan dan sekretaris umum Unit Kegiatan Mahasiswa Taekwondo 2013-2014, Anggota Komunitas Konstitusi 2012, selain dalam kegiatan internal kampus, penulis juga mengikuti kegiatan eksternal kampus, sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).


(7)

Atas Ridho Allah S

Kedua orangtuaku ter

A tempatku memperol

h SWT dan dengan segala kerendahan hati kupe skripsiku ini kepada:

ku tercinta Mingrum Gumay S.H.,M.H dan Sri Yudhi

Almamater tercinta Universitas Lampung oleh ilmu dan merancang mimpi yang menjadi

langkahku menuju kesuksesan.

kupersembahkan

Yudhi Yanti S.Pd.


(8)

“Sekiranya air laut sebagai tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya laut itu kering sebelum habis ditulis kalimat-kalimat Tuhanku, walaupun Kami

datangkan tambahan sebanyak itu (lagi)” (Qs Al Kahfi: 109)

“Dengan kekayaan, tanah asing adalah negeri sendiri, sedang dengan kemiskinan bahkan tanah sendiri menjadi negeri asing”


(9)

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan

rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Menurut Hukum Perdata” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung di bawah bimbingan dari dosen pembimbing serta atas bantuan dari berbagai pihak lain. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.

Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. M. Fakih, S.H., M.S., Pembimbing I atas kesabaran dan kesediaan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(10)

bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Nilla Nargis, S.H., M.H., Pembahas I yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

6. Bapak Dita Febrianto, S.H., M.H., Pembahas II yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini dan sebagai Pembimbing Akademik, yang telah membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi. 8. Ibu Rahma Diyanti, S.H., M.Kn. selaku notaris di Bandar Lampung yang telah

membantu dan bersedia menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini. 9. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Papa yang

penulis banggakan dan Mama tercinta yang telah banyak memberikan dukungan dan pengorbanan baik secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Terimakasih atas segalanya semoga kelak dapat membahagiakan, membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian tersenyum dalam kebahagiaan.

10. Kakakku Eka Chandre Pratiwi, S.H atas semua dukungan moril, motivasi, kegembiraan, dan semangatnya.


(11)

, Dewi , Asadilah, Ayu, Aprilia RW.

12. Seluruh teman-teman Taekwondo Unila Annisa K, Hari Barkah, Eko S, Tita, Dina, Tono, Khory, Tommy, Yoga, Kuantan, Indah, Indri.

13. Teman-teman Hukum Keperdataan 2011 Tari, Clara, Imam, Abung, Bramantya, Gerri, Astari, Marullfa, Yunika, Miranti yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan kerjasamanya.

14. Seluruh teman-teman GMNI dan KKN Tematik 2014 di Labuhan Ratu Induk dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan dukungannya.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, 2015 Penulis,


(12)

ABSTRAK...i

HALAMAN JUDUL... iii

HALAMAN PERSETUJUAN... iv

HALAMAN PENGESAHAN...v

RIWAYAT HIDUP...vi

MOTO... vii

PERSEMBAHAN... viii

SANWACANA... ix

DAFTAR ISI... xii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup...8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...9

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perjanjian ...11

1. Pengertian Perjanjian ...11

2. Syarat Sahnya Perjanjian ...12

3. Asas-asas Perjanjian ...15

4. Jenis-jenis Perjanjian...18

5. Hubungan Hukum dalam Perjanjian...20

B. Tinjauan Umum Jual Beli ...22

1. Pengertian Jual Beli ...22

2. Bentuk dan Subtansi Jual Beli ...22

3. Saat Terjadinya Jual Beli ...23


(13)

1. Pengertian Akta...27

2. Macam-Macam Akta ...28

D. Tinjauan Umum Perjanjian Pengikatan Jual beli...30

1. Pengertian Perjanjian Pengikatan Jual beli...31

2. Fungsi Perjanjian Pengikatan Jual beli ...32

3. Isi Perjanjian Pengikatan Jual beli...32

4. Bentuk Perjanjian Pengikatan Jual beli...33

E. Kerangka Pikir ...34

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian...36

B. Tipe Penelitian ...37

C. Pendekatan Masalah...37

D. Data dan Sumber Data ...38

E. Metode Pengumpulan Data...40

F. Metode Pengolahan Data...41

G. Analisis Data...42

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Status Haknya 43 B. Perlindungan Hukum dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah Jika Salah Satu Pihak Melakukan Wanprestasi...63

V. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan ...76

B. Saran...77

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris (negara pertanian) yang sebagian besar masyarakatnya bercocok tanam atau berkebun di lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhannya dan bertahan hidup, oleh karena itu masyarakat memerlukan adanya lahan pertanahan yang mencukupi. Fungsi tanah merupakan suatu bagian penting bagi kehidupan manusia, selain untuk becocok tanam, tanah juga menjadi kebutuhan yang utama bagi suatu pembangunan di negara ini. Tanah juga dapat digunakan untuk tempat membangun rumah atau tempat tinggal bagi masyarakat itu sendiri, karena salah satu kebutuhan primer dari manusia adalah memiliki rumah yang tentunya didirikan di atas sebidang tanah. Menurut pandangan masyarakat dengan memiliki rumah, seseorang dianggap telah mapan secara finansial sehingga tidak mengherankan jika setiap orang akan berupaya semaksimal mungkin memperoleh rumah dan tanah.1

Seiring dengan berkembang jumlah penduduk, kebutuhaan akan tanah terus meningkat, dalam memenuhi kebutuhan akan tanah tersebut terkadang menimbulkan perselisihan atau konflik di dalam masyarakat, untuk mengatur mengenai pemanfaatan tanah agar tidak menimbulkan perselisihan atau konflik

1

Jimmy Joses sembiring,Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, Visimedia, Jakarta, 2010, hlm.1.


(15)

maka pada tanggal 24 September 1960 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Tujuan dikeluarkannya UUPA untuk memberikan kepastian hukum mengenai pertanahan, karena sebelum dikeluarkannya UUPA, Indonesia berlaku dua sistem hukum mengenai jual beli tanah yaitu jual beli tanah berdasarkan hukum adat dan jual beli tanah berdasarkan hukum barat yang terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Menurut hukum adat, jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana pembeli menyerahkan harganya pada penjual, pembayaran harganya dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan meskipun pembayarannya baru sebagian, menurut hukum adat sudah dianggap dibayar penuh, jual beli di dalam hukum adat dilakukan dengan tunai.

Menurut hukum perdata, jual beli tanah dianggap telah terjadi dengan dicapainya kata sepakat antara penjual dan pembeli biarpun haknya yaitu berupa sertifikat tanah belum diserahkan dan harga yang telah disepakati belum dibayar lunas. Jual beli mempunyai sifat konsensuil sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1458 KUHPerdata. Hak atas tanah yang dijual itu baru berpindah kepada pembeli dengan dilakukannya perbuatan hukum lain yang disebut “penyerahan juridis” seperti yang terdapat dalam Pasal 1459 KUHPerdata.2

2

Harun Al Rashid,Sekilas Tentang Jual Beli Tanah,Jakarta, Ghalia Indonesia, 1987, hlm.52.


(16)

UUPA tidak mendefinisikan secara jelas mengenai jual beli, tetapi dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual. Jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah dari penjual kepada pembeli itu termasuk hukum agraria.3

Saat ini untuk mendapatkan tanah tidaklah mudah terutama di daerah perkotaan. Salah satu cara untuk memperoleh tanah adalah melalui jual beli, yang pada hakikatnya merupakan pengalihan hak atas tanah dari pihak penjual kepada pembeli, maka dengan adanya jual beli antara para pihak tersebut secara otomatis hak kepemilikan tanah telah beralih kepada pihak pembeli. Hak kepemilikan tanah tersebut berupa sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan sah.

Jual beli tanah biasanya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian untuk memberikan kepastian hukum, tetapi pada masa pemerintahan kolonial Belanda dahulu masih banyak masyarakat yang melakukan jual beli tanah hanya dengan kwitansi (girik, persil) saja. Bukti kepemilikan tanah dengan menggunakan kwitansi tersebut belum mendapat kepastian hukum. Pendaftaran hak atas tanah penting dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan yang dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah, hal ini merupakan tujuan dari pendaftaran tanah yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.

3

http://lawyersinbali.wordpress.com/2012/03/31/perjanjian-jual-beli. diakses pada tanggal 18 Januari 2015 Pukul 20:17 WIB.


(17)

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Tujuan inilah yang merupakan tujuan utama dari pendaftaran tanah sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 19 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Kewenangan pemberian hak atas tanah dan kegiatan pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan BPN RI No.2 Tahun 2013. Peraturan tentang hak atas tanah tersebut yang akan mengatur semua persyaratan mengenai pendaftaran tanah untuk memudahkan masyarakat awam yang hanya melakukan jual beli dengan kwitansi. Proses jual beli dengan selembar kwitansi tersebut tidak dilarang atau tidak menyalahi undang-undang, tetapi dengan cara tersebut dapat menyulitkan pembeli ketika akan mendaftarkan hak atas tanah yang dibelinya.

Apabila persyaratan tentang pendaftaran tanah tidak dilaksanakan dan pembayaran Pajak Bumi & Bangunan (PPB) belum dilunaskan, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak akan membuatkan akta jual beli (AJB) yang mengakibatkan sertifikat juga tidak akan dikeluarkan oleh PPAT, hal tersebut dapat merugikan pihak yang ingin melakukan jual beli tanah karena penjual tidak segera mendapatkan uang dari hasil penjualan tanahnya dan pembeli belum dapat memperoleh hak atas tanah tersebut.

Dikarenakan akta jual beli (AJB) belum dapat dilaksanakan, maka penjual dan pembeli sepakat untuk melakukan pengikatan sementara dengan membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang berisi kesepakatan penjual untuk mengikatkan diri akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau uang muka berdasarkan kesepakatan, tidak hanya dikarenakan pendaftran tanah belum dilakukan, pembuatan PPJB juga dapat dilakukan jika


(18)

pembayaran pajak bumi & bangunan (PBB) belum dilunaskan, sertifikat tanah penjual belum dibalik nama dari penjual terdahulu tetapi pihak penjual ingin menjual tanah itu kepada pembeli dan pembeli belum dapat melunaskan pembayaran jual beli tanah. Pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut dapat dibuat di hadapan notaris dan dapat pula dibuat dengan akta bawah tangan. Perjanjian pengikatan jual beli memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan dari instrument perjanjian pengikatan jual beli (yang lazimnya diikuti dengan surat kuasa menjual dari penjual kepada pembeli untuk pelaksanaan AJB) adalah dapat mengakomodir perjanjian dari para pihak meskipun kondisi keuangan tidak memungkinkan, maksudnya adalah walaupun dana yang dibutuhkan untuk membeli tanah tersebut belum mencukupi atau masih kurang pihak pembeli bisa melakukan jual beli dengan menggunakan PPJB, selain itu dalam PPJB para pihak tidak perlu melakukan pembayaran pajak (PPH dan BPHTB), cukup membayar jasa notaris yang mengacu pada ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Undang-Undang-Undang-Undang Jabatan Notaris jo Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, namun kelemahan dari instrument PPJB adalah tidak dapat digunakan sebagai dasar dalam pembuatan sertifikat tanah ataupun proses balik nama sertifikat tanah. Setiap instrument PPJB di hadapan notaris selanjutnya akan diikuti dengan instrument AJB di hadapan PPAT.4

4

http://satryaadhitama.blogspot.com/2013/06/perjanjian-pengikatan-jual-beli-ppjb.htmldi akses pada tanggal 29 Desember 2014 Pukul 21:24.


(19)

Secara yuridis telah terjadi hubungan hukum antara para pihak dan akan menimbulkan akibat hukum apabila terjadi pelanggaran atas isi perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak, oleh karena itu dengan dibuatkannya perjanjian pengikatan jual beli oleh notaris, maka telah melekatlah hak dan kewajiban antara pihak calon penjual dan pihak calon pembeli.

Salah satu contoh perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah ini adalah perjanjian yang dibuat antara Ibu Tutwuri Handayani, S.Ag dengan Bapak Johanes dalam perjanjian tersebut, Ibu Tutwuri Handayani, S.Ag merupakan pemilik sekaligus pihak yang bertindak sebagai penjual dan bertempat tinggal di Jalan Ryacudu No.: 33 Lingkungan II Kelurahan Harapan Jaya, Kecamatan Sukarame dengan Bapak Johanes yang bertindak sebagai pembeli dan bertempat tinggal di Perumahan Bukit Kencana Blok NN-9 Lingkungan III, Kelurahan Kali Balok kecamatan Sukabumi Bandar Lampung.

Ibu Tutwuri Handayani, S.Ag adalah pemilik atau yang berhak atas sebidang tanah 336 m² yang terletak di Provinsi Lampung dan bermaksud untuk menjual sebidang tanah tersebut kepada bapak Johanes, akan tetapi jual beli tersebut belum dapat dinyatakan dalam suatu akta yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang sesuai dengan peraturan-peraturan agraria yang berlaku sekarang ini, karena sertifikat tanah sedang dalam proses balik nama keatas nama pihak pertama pada kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Berdasarkan keterangan di atas dapat dilihat bahwa perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah perjanjian pendahuluan atas perjanjian jual beli hak atas tanah atau bangunan sebelum dikeluarkannya akta jual beli yang dibuat di hadapan


(20)

notaris. Pada perjanjian pengikatan jual beli tersebut, para pihak telah terikat untuk memenuhi prestasi sesuai dengan hak dan kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut.

Perjanjian pengikatan jual beli ini merupakan perjanjian yang sering digunakan oleh masyarakat, tetapi perjanjian pengikatan jual beli ini tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak atas tanah, sehingga kedudukan serta bagaimana kekuatan hukum dalam perjanjian pengikatan jual beli terkadang masih dipertanyakan keabsahannya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kekuatan hukum dalam akta pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris dan status hak dari akta tersebut serta perlindungan hukum dari perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah jika salah satu pihak melakukan wanprestasi. Berjudul: “KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) TANAH MENURUT HUKUM PERDATA”


(21)

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dalam penelitian ini ada beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesaiannya secara ilmiah. Beberapa masalah tersebut sebagai berikut:

a. Bagaimanakah kekuatan hukum dalam akta pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris dan status haknya dari akta tersebut ?

b. Bagaimanakah perlindungan hukum dari perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah jika salah satu pihak melakukan wanprestasi ?

2. Ruang Lingkup

Lingkup penelitian ini meliputi lingkup pembahasan dan lingkup bidang ilmu. Lingkup pembahasan adalah kekuatan hukum dalam akta pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris dan status hak dari akta tersebut dan perlindungan hukum dari perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Lingkup bidang ilmu adalah Hukum Keperdataan khususnya Hukum Perjanjian.


(22)

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Mengkaji dan menganalisis mengenai kekuatan hukum dalam akta pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris dan status hak dari akta tersebut.

b. Mengkaji dan menganalisis mengenai perlindungan hukum dari perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah jika salah satu pihak melakukan wanprestasi.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum keperdataan dalam lebih khususnya dalam lingkup hukum perjanjian. Serta memberi gambaran isi dari perjanjian pengikatan jual beli tanah.

b. Kegunaan Praktis

1. Mengembangkan pola pikir dan pemahaman serta mengetahui kemampuan penulis menerapkan ilmu yang diperoleh.


(23)

2. Mendeskripsikan isi perjanjian pengikatan jual beli antara penjual dan pembeli.

3. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai kekuatan hukum dalam perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah.

4. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai pengaturan PPJB atas tanah berdasarkan ketentuan yang berlaku.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract, dalam bahasa Belanda disebut dengan overeenkomst (perjanjian). Pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”, namun pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata terlalu luas karena perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan personal.

Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Apabila diperinci, maka perjanjian itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Ada pihak-pihak sedikit-dikitnya dua orang (subjek). b. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu (konsensus). c. Ada objek yang berupa benda.


(25)

e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.1 2. Syarat Sahnya Perjanjian

Instrumen pokok untuk menguji keabsahan perjanjian yang dibuat para pihak

terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Berdasarkan pasal tersebut terdapat

empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

a. Kesepakatan

Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Secara garis besar kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis. Kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan membuat akta otentik maupun akta bawah tangan. Kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis dapat berupa kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu atau diam-diam. Adanya kesepakatan merupakan penentu lahirnya perjanjan, berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, tidak terjadi perjanjian, akan tetapi terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau bisa disebut cacat kehendak sehingga pihak yang merasa dirugikan dapat meminta pembatalan perjanjian.

Cacat kehendak dapat terjadi karena hal-hal di antaranya: 1. Kekhilafan

Kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak keliru mengenai apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru.

5

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.224-225.


(26)

2. Paksaan

Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan fisik pada dasarnya tidak ada kesepakatan.

3. Penipuan

Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif memengaruhi pihak yang lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu.

4. Penyalahgunaan Keadaan

Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak yang lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya.2

Penyalahgunaan keadaan ini disebut juga cacat kehendak yang keempat karena tidak diatur dalam KUHPerdata namun lahir kemudian dalam perkembangan hukum perjanjian, sedangkan ketiga cacat kehendak pertama diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi :

“Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

2

Ahmadi Miru,Hukum Kontrak Perancangan Kontrak,Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm.18.


(27)

b. Kecakapan Bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap/wenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa.3 Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun, sudah kawin, belum berumur 21 tahun tetapi sudah menikah/pernah menikah dan tidak ditaruh di bawah pengampuan.

c. Suatu Hal Tertentu

Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus ditentukan secara jelas objek perjanjiannya, objek tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu, hal ini dalam Pasal 1234 KUHPerdata disebut prestasi, yang terdiri atas: (1) Memberikan sesuatu, (2) Berbuat sesuatu, dan (3) Tidak berbuat sesuatu.

d. Causa yang Halal

Meskipun perjanjian memiliki sifat terbuka, yang berarti siapa saja dapat membuat perjanjian apa saja, tetapi ada beberapa pengecualiannya yaitu sebuah perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

3


(28)

Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan, artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya, tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.

3. Asas-asas Perjanjian

a. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Maksud dalam asas ini ialah perjanjian lahir dan telah mengikat segera setelah para pihak mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur (atau yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan tertentu.4

4

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.34.


(29)

b. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu.

Menurut asas kebebasan berkontrak, seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian. Menurut fSutan Remi Sjahdeini asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut :

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian. 3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa dari perjanjian yang akan

dibuatnya.

4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend optional).5

5

Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,Kencana, Jakarta, 2011, hlm.110.


(30)

c. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda menggariskan bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.6

Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang–undang bagi mereka yang membuatnya.7

d. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Sementara itu, Arrest H.R di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan di tempatkan di bawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak.

6

Salim HS dkk,Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.2.

7


(31)

Begitu pentingnya itikad baik tersebut sehingga dalam perundang–undangan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan–kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing– masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas–batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik. Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.8

4. Jenis-Jenis Perjanjian

a. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak

Pembedaan jenis ini berdasarkan kewajiban berprestasi. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik, misalnya jual beli, sewa–menyewa, tukar–menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misalnya perjanjian hibah , hadiah.9

8Ibid.

, hlm.5.

9


(32)

b. Perjanjian Bernama dan Tak Bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai perjanjian–perjanjian khusus dan jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa–menyewa, tukar–menukar, pertanggungan, pengakutan, melakukan pekerjaan, dalam KUHPerdata diatur dalam titel V s/d XVIII dan diatur dalam KUHD. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.10

c. PerjanjianObligatordan Kebendaan

Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban, misalnya dalam jual beli, sejak terjadi konsensus mengenai benda dan harga, penjual wajib menyerahkan benda dan pembeli wajib membayar harga, penjual berhak atas pembayaran harga, pembeli berhak atas benda yang dibeli. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual beli, hibah, tukar-menukar.11

d. Perjanjian Konsensual dan PerjanjianReal

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadinya itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja bagi pihak-pihak. Tujuan perjanjian baru tercapai apabila ada tindakan realisasi hak dan kewajiban tersebut. Perjanjianreal adalah perjanjian yang terjadinya itu sekaligus realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.12

10Ibid

.

11Ibid

.


(33)

5. Hubungan Hukum dalam Perjanjian

Hubungan hukum adalah suatu hubungan di antara para subjek hukum yang diatur oleh hukum, dalam setiap hubungan hukum selalu terdapat hak dan kewajiban. Menurut macamnya hubungan hukum itu ada dua, yaitu hubungan hukum yang bersegi satu atau sepihak hanya ada satu pihak yang berkewajiban melakukan suatu jasa yang berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu dan memberi sesuatu, sedangkan hubungan hukum yang bersegi dua adalah hubungan hukum yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.13

Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditor, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi dan dalam hubungan jual beli, pihak pembeli berposisi sebagai debitur, sedangkan penjual berposisi sebagai kreditor.

Suatu perikatan yang timbul karena perjanjian, kedua pihak debitur dan kreditor dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam perikatan mana kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak kreditor berhak atas prestasi. Perikatan yang timbul karena undang–undang, hak dan kewajiban debitur dan kreditor ditetapkan oleh undang-undang.

13


(34)

Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata ada tidak kemungkinan wujud prestasi, yaitu (a) memberikan sesuatu, (b) berbuat sesuatu, (c) tidak berbuat sesuatu. Berdasarkan Pasal 1235 ayat 1 KUHPerdata, pengertian memberikan sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas sesuatu benda dari debitur kepada kreditor. Perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu” debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan pada perikatan, dalam perikatan yang objeknya “tidak berbuat sesuatu” debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan.

Wanprestasi artinya tidak memenuhi suatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan, tidak dipenuhinya suatu kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :

a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian.

b. Karena keadaan memaksa (overmacht/force majeure) jadi di luar kemampuan debitur. Debitur dianggap tidak bersalah.

Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan yaitu:

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru.

3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.14

14


(35)

B. Tinjauan Umum Jual Beli

1. Pengertian Jual Beli

Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan contract of sale.Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 s.d Pasal 1450 KUHPerdata. Yang dimaksud perjanjian jual beli dalam Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu persetujuan dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Esensi dari definisi ini penyerahan benda dan membayar harga.

Definisi ini ada kesamaannya dengan definisi yang tercantum dalam Artikel 1493NBW. Perjanjian jual beli adalah persetujuan dimana penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang sebagai milik (eigendom te leveren)dan menjaminnya (vrijwaren)pembeli mengikat diri untuk membayar harga yang diperjanjikan. Ada tiga hal yang tercantum dalam definisi ini, yaitu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan barang kepada pembeli dan menjaminnya, serta membayar harga.15

2. Bentuk dan Subtansi Jual Beli

KUHPerdata tidak menentukan secara tegas tentang bentuk perjanjian jual beli. Bentuk perjanjian jual beli dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Perjanjian jual beli secara lisan cukup dilakukan berdasarkan konsensus para pihak tentang barang dan harga. Perjanjian jual beli secara tertulis dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis, apakah itu dalam bentuk akta di bawah tangan

15


(36)

maupun akta otentik. Perjanjian jual beli tanah biasanya dibuat dalam akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Pejabat yang berwenang untuk membuat akta jual beli tanah adalah camat dan atau notaris PPAT. Biasanya akta jual beli tanah tersebut telah ditentukan bentuknya dalam sebuah formulir. Para camat atau notaris PPAT tinggal megisi hal-hal yang kosong dalam akta jual beli tersebut.

3. Saat Terjadinya Jual Beli

Fungsi unsur-unsur pokokessentialiaperjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian KUHPerdata perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.

Konsensualisme berasal dari perkataan konsensus yang berarti kesepakatan, dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya: apa yang dikehendaki oleh orang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam sepakat, accord/ok dan lain lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda tangan di bawah pernyatan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu, bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah sama, sebenarnya tidak tepat, yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah sama dalam kebalikannya 16

16


(37)

4. Kewajiban-Kewajiban Si Penjual

Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu :

a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan.

b. Menanggung kenikmatan tentram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.

1. Kewajiban Menyerahkan Hak Milik

Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari si penjual kepada si pembeli, oleh karena KUHPerdata mengenal tiga macam barang, yaitu barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh (dengan mana dimaksudkan piutang, penagihan atau claim), maka menurut KUHPerdata juga ada tiga macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing macam barang itu:

a. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuatan atas barang itu lihat Pasal 612 yang berbunyi sebagai berikut :

“Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya”.


(38)

b. Untuk barang tetap (tak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan “balik nama” dalam bahasa Belanda overschrijvingdimuka Pegawai Kadaster yang juga dinamakan Pegawai Balik nama atau Pegawai Penyimpanan hipotik, yaitu menurut Pasal 616 dihubungkan dengan Pasal 620, pasal-pasal nama berbunyi: “Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620”.

Segala sesuatu yang mengenai tanah tersebut, sudah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960). Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Pokok Agraria, dalam Pasal 19 menentukan bahwa jual-beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sedangkan menurut maksud peraturan tersebut hak milik atas tanah juga berpindah pada saat dibuatnya akta dimuka pejabat tersebut.

Sebagaimana diketahui, KUHPerdata menganut sistem bahwa perjanjian jual-beli itu hanya “obligator” saja, artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakan hak dan kewajiban bertimbal balik antara pihak penjual dan pembeli.17

2. Kewajiban menanggung kenikmatan tentram dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi(vrijwaring,warranty)

Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tentram merupakan konsekuensi dari pada jaminan oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu

17Ibid.,


(39)

beban atau tuntutan dari sesuatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan dari pihak ketiga, dengan putusan hakim dihukum untuk menyerahkan barang yang telah dibelinya kepada pihak ketiga tersebut. Kejadian ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama “eviction”. Apabila pihak pembeli sewaktu digugat dimuka Pengadilan oleh pihak ketiga, dapatlah ia meminta kepada hakim agar si penjual diikutsertakan di dalam proses yang akan atau sedang berjalan. Peristiwa ini dalam hukum acara perdata terkenal dengan nama pengikutsertaan(voeging).

Mengenai kewajiban untuk menanggung cacat-cacat tersembunyi (verborgen gebreken, hidden defects) dapat diterangkan bahwa si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya yang membuat barang tersebut tak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud atau mengurangi pemakaian itu.18

5. Kewajiban-Kewajiban Si Pembeli

Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Harga tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam suatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termaktub di dalam pengertian jual-beli, oleh karena bila tidak, umpamanya harga itu berupa barang, maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi tukar menukar atau kalau harga itu berupa suatu jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja dan begitu

18Ibid.,


(40)

seterusnya.19 Apabila pembeli tidak membayar harga barang tersebut si penjual dapat menuntut pembatalan perjanjian sebagai mana halnya pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian jika penjual tidak menyerahkan barangnya.20

C. Tinjauan Umum Akta

1. Pengertian Akta

Akta adalah suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani dibuat oleh seseorang atau lebih pihak-pihak dengan maksud dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum. Ini berarti bahwa akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian, untuk dapat digolongkan dalam pengertian akta maka surat harus ditandatangani. Keharusan ditandatanganinya surat untuk dapat disebut akta ternyata dari Pasal 1869 KUHPerdata.

Sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi 2 (dua), yaitu surat yang merupakan akta dan yang bukan akta, sedangkan akta itu sendiri terbagi lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Disamping hal di atas berdasarkan pembuatnya suatu akta masih dibagi lagi dalam akta pejabat/ambtelijk acteatauprocess verbaal acte danpartij acte.21

19Ibid.,

hlm 20.

20

Ahmadi Miru,Op.Cit.,hlm.133.

21


(41)

2. Macam-Macam Akta

a. Akta Otentik

Akta otentik merupakan salah satu alat bukti tulisan di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat/pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya, sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 1867 dan 1868 KUHPerdata, dengan demikian dapat diambil kesimpulan dari pasal tersebut bahwa :

1. Akta otentik merupakan alat bukti tertulis.

2. Memuat tentang semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau atas permintaan dari para klien notaris.

3. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.

Dikenal adanya dua macam akta, yang pertama bentuk akta yang dibuat untuk bukti yang memuat keterangan yang diberikan oleh (para) penghadap kepada notaris dinamakan akta pihak (partij-acten) dengan para penghadap menandatangani akta itu. Akta yang satunya lagi, akta berita acara (relaas-acten), adalah bentuk akta yang dibuat untuk bukti oleh para penghadap dari perbuatan atau kenyataan yang terjadi di hadapan notaris. Akta yang disebut belakangan ini tidak memberikan bukti mengenai keterangan yang diberikan oleh para penghadap dengan menandatangani akta tersebut, tetapi untuk bukti mengenai perbuatan dan kenyataan yang disaksikan oleh notaris di dalam menjalankan tugasnya di


(42)

hadapan para saksi. Akta berita acara (relaas-acten) tidak perlu ditandatangani oleh para penghadap.22

b. Akta di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan atau onderhands acte adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantara seseorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian, misalnya perjanjian jual beli atau perjanjian sewa-menyewa, dalam hal apabila para pihak yang menandatangani surat perjanjian tersebut mengakui dan tidak menyangkal tanda tangannya, tidak menyangkal isi dan apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan sesuatu akta otentik atau resmi.

Pasal 1875 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang mendapat hak dari mereka, bukti yang sempurna seperti sesuatu akta otentik dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 ayat (2) KUHPerdata untuk tulisan itu berbunyi: Jika apa yang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka tidak ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.23

22

Herlien Budiono,Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm.267.

23


(43)

D. Tinjauan Umum Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang tidak berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Perjanjian ini lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata, yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu terobosan baru yang lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah.

Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang-undangan yang ada dan ada juga yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah. Persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya Akta Jual Beli (AJB) tanah yang akan dijual seharusnya atas nama pihak penjual, tetapi dalam AJB tersebut belum dibalik nama ke atas nama pihak penjual. Umumnya persyaratan yang sering timbul adalah persyaratan yang lahir dari kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli, misalnya pada saat akan melakukan jual beli, tanah yang akan dijual belum mempunyai sertifikat hak milik karena tanah tersebut awalnya merupakan tanah hak milik adat yang belum didaftarkan, dengan keadaan di atas tentunya akan menghambat untuk pembuatan akta jual belinya, karena pejabat pembuat akta tanah akan menolak untuk membuatkan akta jual belinya karena belum selesainya semua persyaratan tersebut, untuk tetap dapat melakukan jual beli maka para pihak sepakat bahwa jual beli akan dilakukan setelah Akta Jual Beli (AJB) sudah di balik nama ke atas


(44)

nama pihak penjual dan sertifikat tanah hak milik adat akan di urus oleh salah satu pihak, untuk menjaga agar kesepakatan itu terlaksana dengan baik sementara persyaratan yang diminta bisa di urus maka biasanya pihak yang akan melakukan jual-beli menuangkan kesepakatan awal tersebut dalam bentuk perjanjian yang kemudian dikenal dengan nama perjanjian pengikatan jual beli.

1. Pengertian Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Perjanjian pengikatan jual beli adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pihak penjual dan pihak pembeli di mana masing-masing pihak dituntut untuk melakukan satu atau lebih prestasi sebelum dilakukannya jual beli dikarenakan ada unsur-unsur yang belum terpenuhi. Unsur-unsur yang tidak dipenuhi tersebut antara lain :

a. Pembayaran terhadap objek jual beli belum dapat dilunaskan. b. Surat-surat atau dokumen tanah masih dalam proses/belum lengkap.

c. Obyek atau bidang tanah belum dapat dikuasai oleh para pihak, pihak penjual ataupun pihak pembeli, dalam hal ini pemilik asal ataupun pemilik baru.

d. Besaran obyek jual beli masih dalam pertimbangan para pihak.

Umumnya PPJB dibuat secara otentik atau dibuat di hadapan notaris selaku pejabat umum, sebaliknya ada juga PPJB yang dibuat di bawah tangan. Berdasarkan pengertian diatas dijelaskan, bahwa PPJB dibuat sebelum dilakukannya jual beli, hal ini berarti bahwa PPJB merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian yang utama.


(45)

2. Fungsi Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Seperti apa yang telah diterangkan pada penjelasan sebelumnya mengenai pengertian perjanjian pengikatan jual beli, maka perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan memiliki beberapa fungsi yaitu :

a. Mengikat harga sebelum dibuatnya Akta Jual Beli (AJB)

b. Dapat memperoleh hak kepemilikan tanah sebelum Akta Jual Beli (AJB) dibuat.

c. Memudahkan transaksi jual beli terhadap kedua belah pihak.

Berdasarkan beberapa fungsi di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengikatan jual beli memiliki fungsi untuk mempersiapkan, menegaskan bahkan memperkuat perjanjian utama/pokok yang akan dilakukan karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian awal untuk lahirnya perjanjian pokoknya.

3. Isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Isi dari perjanjian pengikatan jual beli adalah berupa janji-janji atau ketentuan tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam perjanjian jual beli seperti janji untuk melakukan pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli dilakukan yang diurus oleh salah satu pihak atau hak dan kewajiban masing-masing pihak sebelum akta jual beli dibuat, selain janji-janji biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli. Menurut Pasal 1792 KUHPerdata pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaannya (wewenang)


(46)

kepada seseorang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan urusan, hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penadatanganan akta jual beli di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT).

4. Bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Seperti yang telah dibahas sebelumnya perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Lahirnya perjanjian pengikatan jual beli karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu dengan kata lain perjanjian pengikatan jual beli ini berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.


(47)

E. Kerangka Pikir

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka dibuat kerangka pikir sebagai berikut:

Keterangan:

Tanah merupakan suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhaan akan tanah terus meningkat dan untuk mendapatkan tanah itu dapat di peroleh dari warisan, wasiat, hibah atau pun jual beli. Hak kepemilikan tanah tersebut berupa sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan sah.

Biasanya para penjual dan pembeli melakukan perjanjian khusus dalam melakukan jual beli, tetapi karena belum lunasnya pembayaran tanah dan beberapa syarat seperti kurang nya dokumen, belum terpenuhi, maka dibuatlah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dapat dibuat di hadapan notaris maupun dapat pula di buat secara akta bawah tangan.

PEMBELI (Johanes) PENJUAL

(Tutwuri Handayani, S.Ag)

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

Perlindungan hukum PPJB Kekuatan hukum PPJB &


(48)

Subjek kajian yang akan diteliti dalam penelitian ini mengenai perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian yang dibuat antara Ibu Tutwuri Handayani, S.Ag dengan Bapak Johanes. Berdasarkan perjanjian tersebut, Ibu Tutwuri Handayani, S.Ag adalah pemilik atau yang berhak atas sebidang tanah 336 m² yang terletak di Provinsi Lampung dan bermaksud untuk menjual sebidang tanah tersebut kepada bapak Johanes, akan tetapi jual beli tersebut belum dapat dinyatakan dalam suatu akta yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang sesuai dengan peraturan-peraturan agraria yang berlaku sekarang ini karena sertifikat tanah sedang dalam proses balik nama keatas nama pihak pertama pada Kantor Badan Pertanahan Nasional.

Penelitian ini akan mendeskripsikan mengenai kekuatan hukum dalam akta pengikatan jual beli (PPJB) yang dibuat di hadapan notaris serta status hak dari akta tersebut dan perlindungan hukum dari perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah jika salah satu pihak melakukan wanprestasi. Berdasarkan perjanjian tersebut maka mengikatlah hak dan kewajiban antara kedua belah pihak.


(49)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem tertentu, metodologis artinya menggunakan metode atau cara tertentu dan konsisten berarti tidak ada hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu. Penelitian sangat diperlukan untuk memperoleh data yang akurat sehingga dapat menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya.1

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif-empiris (terapan). Penelitian hukum normatif-empiris (terapan) selalu terdapat 2 (dua) tahap kajian. Tahap pertama, kajian mengenai hukum normatif (perundang-undangan, kontrak) yang berlaku dan tahap kedua kajian hukum empiris berupa penerapan (implementasi) pada peristiwa hukum in concreto guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.2Kajian hukum normatif, yaitu aspek teori, bahan-bahan pustaka yang berupa literatur, perundang-undangan dan isi perjanjian yang berkaitan

1

Abdulkadir Muhammad,Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 2.

2Ibid.,


(50)

dengan permasalahan yang akan dibahas, dalam hal ini berkaitan dengan dasar hukum yang digunakan dalam perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dan penelitian empiris adalah menekankan penelitian yang bertujuan memperoleh pengetahuan empiris dengan jalan terjun langsung ke objeknya.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah Nonjudicial Case Study, yaitu pendekatan studi kasus hukum tanpa konflik. Kalaupun ada konflik, diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri secara damai, tanpa campur tangan pengadilan.3 Untuk itu, pada penelitian ini akan menggambarkan bagaimana kekuatan hukum dalam akta pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris dan status hak dari akta tersebut, perlindungan hukum dari perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah jika salah satu pihak melakukan wanprestasi.

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian. Penelitian ini termasuk pendekatan hukum normatif-terapan yang menggunakan data sekunder yang berasal dari buku-buku hukum yang dalam ruang lingkup hukum perjanjian, selain menggunakan data dari buku-buku, penelitian ini mengimpun data dan informasi dari perjanjian yang telah dibuat kedua belah pihak dengan langkah-langkah sebagai berikut :

3Ibid.,


(51)

1. Mengidentifikasi sumber hukum menjadi dasar rumusan masalah

2. Mengidentifikasi sumber-sumber bacaan yang menjadi acuan untuk melakukan penulisan penelitian hukum ini

3. Mengidentifikasi pokok bahasan dan subpokok bahasan yang bersumber dari rumusan masalah

4. Mengkaji secara analisis data yang bersumber dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

D. Data dan Sumber Data

Data yang di perlukan dalam penelitian hukum normatif empiris adalah data sekunder dan data primer. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

1. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari dokumen perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tersebut yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas serta mempelajari peraturan perundang-undangan dan buku-buku hukum. Kegiatan pengumpulan data dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut :

a. Menginvertarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah dengan cara membaca, mempelajari, mengutip/mencatat dan memahami maknanya; b. Mengkaji data yang sudah terkumpul dengan cara menelaah


(52)

penelitian ini serta untuk menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.

c. Analisis data dari KUHPerdata, dan isi dari perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) itu sendiri antara penjual dan pembeli.

Data skunder meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum skunder: a. Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti peraturan perundang-undangan, isi dari perjanjian dan peraturan lain yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini ialah

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) 2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

4. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah 5. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan bacaan dari bahan hukum primer dimana berupa segala perundang-undangan dan dokumen lainnya.

c. Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan-bahan penunjang lain yang ada keterkaitan dengan pokok pokok rumusan permasalahan, memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti hasil penelitian dan artikel-artikel di internet yang sifatnya seperti karya ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.


(53)

2. Data Primer

Data primer dilakukan dengan observasi disertai pencatatan dilokasi penelitian. Data primer meliputi data perilaku terapan dari ketentuan normatif terhadap peristiwa hukum in concreto. Banyaknya data primer bergantung dari banyaknya tolok ukur normatif yang diterapkan pada peristiwa hukum.

E. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan diperoleh dengan menggunakan metode pengumpulan data:

a. Studi Pustaka

Studi Pustaka dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, menelaah dan mengutip peraturan perundang-undangan, literatur dan dokumen yang berkaitan dengan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang akan dibahas.

b. Studi Dokumen

Pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi dapat diketahui oleh pihak tertentu. Pengkajian dan analisis informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum berupa dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan penelitian ini terkait isi perjanjian.

c. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperoleh data primer, maka penelitian mengadakan studi lapangan dengan teknik wawancara kepada narasumber, yang


(54)

menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah Ibu Rahma Diyanti, S.H., M.Kn. notaris di Bandar Lampung. Wawancara tersebut menggunakan teknik wawancara dengan bertatap muka langsung dengan menggunakan catatan-catatan yang berisi beberapa pertanyaan yang nantinya akan dikembangkan saat wawancara berlangsung.

F. Metode Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul, diolah melalui cara pengolahan data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Identifikasi

Identifikasi data adalah mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan proses dan segala isi dari perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah. Serta mengidentifikasi segala literatur yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Editing

Editing merupakan proses meneliti kembali data yang diperoleh dari berbagai kepustakaan yang ada, menelaah isi perjanjian jual beli tersebut. Hal tersebut sangat perlu untuk mengetahui apakah data yang telah kita miliki sudah cukup dan dapat dilakukan untuk proses selanjutnya. Dari data yang diperoleh kemudian disesuaikan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan ini, editing dilakukan pada data yang sudah terkumpul serta diseleksi terlebih dahulu dan diambil data yang diperlukan.


(55)

3. Penyusunan Data

Sistematisasi data yaitu penyusunan data secara teratur sehingga dalam data tersebut dapat dianalisa menurut susunan yang benar dan tepat. Sehingga tidak ada data yang dibutuhkan terlewatkan dan terbuang begitu saja.

4. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan yaitu langkah selanjutnya setelah data tersusun secara sistematis, kemudian dilanjutkan dengan penarikan suatu kesimpulan yang bersifat umum dari data yang bersifat khusus.

G. Analisis Data

Bahan hukum (data) hasil pengolahan serta isi perjanjian tersebut dianalisis secara kualitatif kemudian dilakukan pembahasan dengan cara menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang ada dalam perumusan masalah kemudian ditarik kesimpulan-kesimpulan.


(56)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasaan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kekuatan hukum dari perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris dalam pelaksanaan dapat dibenarkan karena pada dasarnya pembuatan perjanjian pengikatan jual beli tidak melanggar asas kebebasan berkontrak. Menurut asas ini, para pihak dibenarkan untuk mengadakan atau membuat jenis perjanjian baku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Kesempurnaan akta notaris sebagai akta otentik dan siapa pun terikat oleh akta tersebut, jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek yang tidak benar, maka akta itu hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta bawah tangan

2. Perlindungan hukum terhadap para pihak apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam perjanjian pengikatan jual beli jika perjanjian pengikatan tersebut dibuat oleh atau di hadapan notaris maka dengan sendirinya akta tersebut menjadi akta notaril sehingga para pihak dilindungi sepanjang perjanjian pengikatan jual beli tersebut diakui oleh para pihak, karena perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, sesuai


(57)

dengan asas konsesualisme dan akta otentik itu merupakan suatu bukti yang mengikat, artinya akta tersebut harus dipercaya oleh hakim dan tidak memerlukan suatu bukti pendukung lain dalam suatu persidangan. Akta otentik tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian formal, tetapi juga memiliki kekuatan pembuktian lahiriah dan materil.

B. Saran

Saran yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah sebaiknya mengenai pengikatan jual beli diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan khusus dengan format yang baku sehingga para pihak yang memakai pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan dalam jual beli hak atas tanah lebih terlindungi dengan baik dan sebaiknya dalam pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat oleh atau di hadapan notaris harus secara tegas menuliskan dalam pasal-pasalnya tentang klausul mengenai syarat batal sehingga pihak yang dirugikan karena pihak lain wanprestasi dapat menuntut pembatalan perjanjian.


(58)

A. Buku/Literatur

Adjie, Habib, 2009, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,Refika Aditama, Bandung.

---, 2011,Hukum Notaris Indonesia,Refika Aditama, Bandung. Budiono, Herlin, 2010,Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang

Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 2010,Ajaran Hukum Perjanjian dan Penerapan di Bidang Kenotariatan,Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hernoko, Agus Yudha, 2010,Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta.

HS, Salim, (eds.), 2008,Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta.

HS, Salim, 2004, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.

---, 2011,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),Sinar Grafika, Jakarta.

Miru, Ahmadi, 2011,Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2000,Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(59)

Muljadi, Kartini, (eds.), 2006,Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Muchsin,H., 2005, Ikhtisar Ilmu Hukum,Badan Penerbit Iblam, Jakarta. R.Subekti, 1995,Aneka Perjanjian,Citra Aditya Bakti, Bandung. R.Soeroso, 2011,Perjanjian di bawah Tangan,Sinar Grafika, Jakarta. Rashid, Harun Al, 1987,Sekilas tentang Jual Beli Tanah, Ghalia Indonesia,

Jakarta.

Sembiring, Jimmy Joses, 2010,Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, Visimedia, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Isi dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara Ibu Tutwuri Handayani, S.Ag dan Bapak Johanes

Isi dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara Bapak Yayat Suprihay dan Ibu Erlyn Septiara Yuda


(60)

https://lawyersinbali.wordpress.com/2012/03/31/perjanjian-jual-beli. [18/01/2015]

Satra Adhitama, “Perjanjian Pengikatan Jual Beli(PPJB) versus Akta Jual Beli (AJB)” http://satryaadhitama.blogspot.com/2013/06/perjanjian-pengikatan-jual-beli-ppjb.html [29/12/2014]


(1)

42

3. Penyusunan Data

Sistematisasi data yaitu penyusunan data secara teratur sehingga dalam data tersebut dapat dianalisa menurut susunan yang benar dan tepat. Sehingga tidak ada data yang dibutuhkan terlewatkan dan terbuang begitu saja.

4. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan yaitu langkah selanjutnya setelah data tersusun secara sistematis, kemudian dilanjutkan dengan penarikan suatu kesimpulan yang bersifat umum dari data yang bersifat khusus.

G. Analisis Data

Bahan hukum (data) hasil pengolahan serta isi perjanjian tersebut dianalisis secara kualitatif kemudian dilakukan pembahasan dengan cara menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang ada dalam perumusan masalah kemudian ditarik kesimpulan-kesimpulan.


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasaan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kekuatan hukum dari perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris dalam pelaksanaan dapat dibenarkan karena pada dasarnya pembuatan perjanjian pengikatan jual beli tidak melanggar asas kebebasan berkontrak. Menurut asas ini, para pihak dibenarkan untuk mengadakan atau membuat jenis perjanjian baku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Kesempurnaan akta notaris sebagai akta otentik dan siapa pun terikat oleh akta tersebut, jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek yang tidak benar, maka akta itu hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta bawah tangan

2. Perlindungan hukum terhadap para pihak apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam perjanjian pengikatan jual beli jika perjanjian pengikatan tersebut dibuat oleh atau di hadapan notaris maka dengan sendirinya akta tersebut menjadi akta notaril sehingga para pihak dilindungi sepanjang perjanjian pengikatan jual beli tersebut diakui oleh para pihak, karena perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, sesuai


(3)

77

dengan asas konsesualisme dan akta otentik itu merupakan suatu bukti yang mengikat, artinya akta tersebut harus dipercaya oleh hakim dan tidak memerlukan suatu bukti pendukung lain dalam suatu persidangan. Akta otentik tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian formal, tetapi juga memiliki kekuatan pembuktian lahiriah dan materil.

B. Saran

Saran yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah sebaiknya mengenai pengikatan jual beli diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan khusus dengan format yang baku sehingga para pihak yang memakai pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan dalam jual beli hak atas tanah lebih terlindungi dengan baik dan sebaiknya dalam pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat oleh atau di hadapan notaris harus secara tegas menuliskan dalam pasal-pasalnya tentang klausul mengenai syarat batal sehingga pihak yang dirugikan karena pihak lain wanprestasi dapat menuntut pembatalan perjanjian.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur

Adjie, Habib, 2009, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,Refika Aditama, Bandung.

---, 2011,Hukum Notaris Indonesia,Refika Aditama, Bandung. Budiono, Herlin, 2010,Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang

Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 2010,Ajaran Hukum Perjanjian dan Penerapan di Bidang Kenotariatan,Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hernoko, Agus Yudha, 2010,Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta.

HS, Salim, (eds.), 2008,Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta.

HS, Salim, 2004, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.

---, 2011,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),Sinar Grafika, Jakarta.

Miru, Ahmadi, 2011,Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2000,Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(5)

---, 2004,Hukum Dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muljadi, Kartini, (eds.), 2006,Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Muchsin,H., 2005, Ikhtisar Ilmu Hukum,Badan Penerbit Iblam, Jakarta. R.Subekti, 1995,Aneka Perjanjian,Citra Aditya Bakti, Bandung. R.Soeroso, 2011,Perjanjian di bawah Tangan,Sinar Grafika, Jakarta. Rashid, Harun Al, 1987,Sekilas tentang Jual Beli Tanah, Ghalia Indonesia,

Jakarta.

Sembiring, Jimmy Joses, 2010,Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, Visimedia, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Isi dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara Ibu Tutwuri Handayani, S.Ag dan Bapak Johanes

Isi dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara Bapak Yayat Suprihay dan Ibu Erlyn Septiara Yuda


(6)

C. Internet

Made somya Putra,”Perjanjian Jual Beli”

https://lawyersinbali.wordpress.com/2012/03/31/perjanjian-jual-beli. [18/01/2015]

Satra Adhitama, “Perjanjian Pengikatan Jual Beli(PPJB) versus Akta Jual Beli (AJB)” http://satryaadhitama.blogspot.com/2013/06/perjanjian-pengikatan-jual-beli-ppjb.html [29/12/2014]