Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh CV Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Kota Binjai (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tipikor Nomor 05/Pid.Sus K/2011/PN Medan)

(1)

TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH CV PADA PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

DI KOTA BINJAI

(Studi Kasus Putusan pengadilan Tipikor Nomor 05/Pid.Sus K/2011/PN Medan)

TESIS

Oleh

SESY SEPTIANA SEMBIRING 107005087

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH CV PADA PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

DI KOTA BINJAI

(Studi Kasus Putusan pengadilan Tipikor Nomor 05/Pid.Sus K/2011/PN Medan)

TESIS

(Disusun Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)

Oleh

SESY SEPTIANA SEMBIRING 107005087

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL TESIS : TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN

OLEH CV PADA PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DI KOTA BINJAI. (Studi Kasus Putusan pengadilan Tipikor Nomor 05/Pid.Sus K/2011/PN Medan). NAMA MAHASISWA : SESY SEMBIRING

NIM : 107005087

PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS

Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

Anggota Anggota


(4)

ABSTRAK

Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan di berbagai sektor kehidupan masyarakat demi peningkatan taraf kehidupan masyarakat tersebut. Namun pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah selalu dijadikan lahan perbuatan tindak pidana korupsi baik oleh para oknum pejabat pemerintah yang tidak bertanggung jawab maupun pimpinan pelaksana penyedia barang/jasa pemerintah itu sendiri. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah berupa proyek fasilitasi Pembangunan Prasarana dan Sarana Dasar Pemukiman (TARUKIM) Kota Binjai merupakan contoh pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang belum terlepas dari perbuatan tindak pidana korupsi. Permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dalam praktek pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, 2. Bagaimana tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak CV pada pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Binjai, 3. Siapa saja yang bisa diminta pertanggung jawaban dalam pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dimana analisis didasarkan pada hal-hal yang bersifat umum, diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisis permasalahan yang ada untuk kemudian ditarik kesimpulan yang merupakan inti dari solusi permasalahan tersebut. Analisa data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan sekunder yang selanjutnya dilakukan evaluasi dan analisis data secara kualitatif membahas permasalahan berdasarkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 dengan menggunakan metode deduktif. Uraian hasil analisa dideskripsikan secara kualitatif dengan menggunakan gambaran baru atau mengikatkan gambaran yang sudah ada dalam menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.

Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam praktek pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah diantaranya adalah 1. Pemberian gratifikasi, 2. Penyimpangan dari prosedur dan ketentuan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah ditetapkan. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah berupa Proyek Fasilitasi Pembagunan Prasarana dan Sarana Dasar Pemukiman (TARUKIM) Pemerintah Kota Binjai yang dimulai pada Tahun 2009 tersebut, ternyata tidak luput dari perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Zainal Arifin dan Direktur CV. Lancang Kuning H. Sentot Prawiradirja. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Binjai ternyata tidak sesuai dengan bestek (kerangka acuan kerja yang telah ditetapkan dalam perjanjian), sehingga negara dirugikan oleh karenanya. Pihak yang bertanggung jawab terhadap kerugian negara tersebut adalah PPK Zainal Arifin dan Direktur CV. Lancang Kuning H. Sentot Prawiradirja. Kedua pelaku tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut oleh pengadilan tindak pidana


(5)

korupsi telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman masing-masing 2 (dua) Tahun penjara dan denda Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) terhadap H. Sentot Prawiradirja dan 1 (satu) Tahun 2 (dua) bulan penjara terhadap PPK Zainal Arifin.

Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah belum mampu untuk memberantas tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan pengdaan barang/jasa pemerintah. Dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat dalam proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah tahap demi tahap dari awal sampai akhir pelaksanaan, dan juga sanksi pidana yang lebih berat dan tegas bagi para oknum-oknum pejabat maupun pimpinan pelaksana pemerintah yang melakukan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Adapun judul tesis ini adalah “Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh CV Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Kota Binjai (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tipikor Nomor 05/Pid.Sus K/2011/PN Medan)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Hukum (MH) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik berupa masukan maupun saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku Pembimbing utama

penulis, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Pembimbing II penulis, Bapak Dr. Madiasa Albisar, SH, MS, selaku Pembimbing III penulis yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH dan Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini


(7)

sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta saran yang membangun kepada penulis Tesis ini.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Bapak Hendri Sembiring dan Ibunda Carolina br. Ketaren yang


(8)

telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis. Terimakasih pula penulis ucapkan kepada kakanda Herry Agus Pratama Sembiring dan adinda David Andrian Sembiring.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan kerja sekaligus atasan penulis Bapak F.K.J Sembiring, selaku Kasi Pid.Sus Kajari Binjai yang telah memberikan banyak kesempatan dan waktu kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. Kepada rekan-rekan penulis Dona Martinus Sebayang, SH, Edwin Syah Putra, Sri Purnama Sari, Kak Fika, Kak Juli, dan Kak Fitri.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Agustus 2012 Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRAC ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Landasan Konsepsi ... 31

G. Metode Penelitian ... 34

1.Sifat dan Jenis Penelitian ... 34

2. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 35

3. Analisis Data ... 35

BAB II. BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PRAKTEK PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH ... 37

A. Pemberian Gratifikasi dalam Pengadaan Barang/Jasa pemerintah .... 36

B. Peyimpanan dari Prosedur dan Ketentuan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang Telah Ditetapkan ... 45

BAB III.TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN CV DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DI KOTA BINJAI 83 A. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Kota Binjai ... 83

B. Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pihak CV Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Kota Binjai ... 91

C. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 05/Pid.Sus K/2011/PN Medan terhadap Sentot Prawiradirdja Selaku Direktur CV Prawira Jaya ... 103


(10)

BAB IV. PIHAK-PIHAK YANG BERTANGGUNGJAWAB DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH MENURUT PERATURAN PRESIDEN NOMOR 54 TAHUN

2010 TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH 107 A. Aspek Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah ... 107

B. Para Pihak yang terkait dalam Pelaksanaan Barang/Jasa Pemerintah Menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 115

C. Sanksi Bagi Para Pihak yang Bertanggungjawab dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 ... 129

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 134

A. Kesimpulan ... 134

B. Saran ... 135


(11)

DAFTAR SINGKATAN APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APIP : Aparat Pengawas Intern Pemerintah

CCO : Contrac Change Order

CV : Comanditaire Venootschap

CPAR : Country Procurement Assesment Report

DP : Down Payment

HPS : Harga Perkiraan Sendiri KKN : Korupsi Kolusi dan Nepotisme KAK : Kerangka Acuan Kerja

K/L/D/I : Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

KPA : Kuasa Pengguna Anggaran KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi

LKPP : Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah PTPK : Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa PA : Pengguna Anggaran

PPK : Pejabat Pembuat Komitmen PU : Pekerjaan Umum

TARUKIM : Tata Ruang dan Pemukiman ULP : Unit Layanan Pengadaan

UNCAC : United Nation Convention Against Corruption


(12)

ABSTRAK

Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan di berbagai sektor kehidupan masyarakat demi peningkatan taraf kehidupan masyarakat tersebut. Namun pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah selalu dijadikan lahan perbuatan tindak pidana korupsi baik oleh para oknum pejabat pemerintah yang tidak bertanggung jawab maupun pimpinan pelaksana penyedia barang/jasa pemerintah itu sendiri. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah berupa proyek fasilitasi Pembangunan Prasarana dan Sarana Dasar Pemukiman (TARUKIM) Kota Binjai merupakan contoh pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang belum terlepas dari perbuatan tindak pidana korupsi. Permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dalam praktek pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, 2. Bagaimana tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak CV pada pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Binjai, 3. Siapa saja yang bisa diminta pertanggung jawaban dalam pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dimana analisis didasarkan pada hal-hal yang bersifat umum, diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisis permasalahan yang ada untuk kemudian ditarik kesimpulan yang merupakan inti dari solusi permasalahan tersebut. Analisa data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan sekunder yang selanjutnya dilakukan evaluasi dan analisis data secara kualitatif membahas permasalahan berdasarkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 dengan menggunakan metode deduktif. Uraian hasil analisa dideskripsikan secara kualitatif dengan menggunakan gambaran baru atau mengikatkan gambaran yang sudah ada dalam menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.

Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam praktek pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah diantaranya adalah 1. Pemberian gratifikasi, 2. Penyimpangan dari prosedur dan ketentuan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah ditetapkan. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah berupa Proyek Fasilitasi Pembagunan Prasarana dan Sarana Dasar Pemukiman (TARUKIM) Pemerintah Kota Binjai yang dimulai pada Tahun 2009 tersebut, ternyata tidak luput dari perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Zainal Arifin dan Direktur CV. Lancang Kuning H. Sentot Prawiradirja. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Binjai ternyata tidak sesuai dengan bestek (kerangka acuan kerja yang telah ditetapkan dalam perjanjian), sehingga negara dirugikan oleh karenanya. Pihak yang bertanggung jawab terhadap kerugian negara tersebut adalah PPK Zainal Arifin dan Direktur CV. Lancang Kuning H. Sentot Prawiradirja. Kedua pelaku tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut oleh pengadilan tindak pidana


(13)

korupsi telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman masing-masing 2 (dua) Tahun penjara dan denda Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) terhadap H. Sentot Prawiradirja dan 1 (satu) Tahun 2 (dua) bulan penjara terhadap PPK Zainal Arifin.

Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah belum mampu untuk memberantas tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan pengdaan barang/jasa pemerintah. Dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat dalam proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah tahap demi tahap dari awal sampai akhir pelaksanaan, dan juga sanksi pidana yang lebih berat dan tegas bagi para oknum-oknum pejabat maupun pimpinan pelaksana pemerintah yang melakukan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut.


(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Secara etimologis atau menurut ilmu bahasa, korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus, dan dalam bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah

corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa, seperti Inggris : coruption, corruptr; Perancis : Corruption; dan Belanda :

corruptie atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi. Arti harafiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.1

1

Andi Hamzah, (I) Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hal 7.

Secara sosiologi, korupsi merupakan tindakan disosialisasi, yaitu suatu tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial. Mengabaikan keperdulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi pelaku tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan adalah hak individunya dapat terpenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain. Dalam cara pandang sosiologi maka korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam tiga model. Pertama, Corruption by need, artinya kondisi yang membuat orang harus korupsi. Apabila tidak korupsi atau melakukan penyimpangan, maka pelaku korupsi tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua corruption by greed, artinya korupsi yang memang karena keserakahan/ketamakan, sekalipun secara ekonomi pelaku krupsi tersebut cukup,


(15)

tetapi tetap saja melakukan perbuatan korupsi. Ketiga, corruption by chance, artinya korupsi terjadi karena adanya kesempatan dan niat.2

Hubungan pemberi-penerima jasa di sektor publik membuka peluang untuk melakukan perbuatan korupsi. Defenisi ini memberikan pengertian begitu saja tanpa memisahkan perbedaan antara peran umum dengan peran pribadi seorang pelaku. Artinya tidak jelas kapan seorang pejabat melakukan perbuatan tersebut dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik dan kapan sebagai pribadi. Di sektor swasta, kebiasaan memberi hadiah berlaku umum dan juga sangat dihargai, dan tampaknya lumrah untuk memberi pekerjaan dan kontrak kepada teman atau keluarga. Pada umumnya tidak ada yang merasa aneh untuk berlaku serupa di masyarakat umum. Dalam kenyataanya, bagi kebanyakan orang, perbedaan tajam antara dunia umum dan dunia pribadi merupakan sesuatu yang aneh, sekalipun demikian penduduk di negara berkembang, membuat perbedaan yang jelas antara tingkah laku apa yang dapat diterima dan apa yang ditolak berdasarkan norma budaya mereka sendiri.

Susan Rose-Ackerman mendefenisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

3

2

KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi,

Jakarta Lawyer Club, Jakarta, 2010,hal 5.

Penggambaran korupsi oleh Rose-Ackerman seperti itu lebih menekankan pada aspek budaya.

3

Susan Rose-Ackerman, Diterjemahkan Oleh Toenggoel P. Siagian, Korupsi Pemerintah, Sebab Akibat dan Reformasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006, hal 127.


(16)

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, defenisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan.4

Korupsi telah menjadi masalah dunia, bukan semata-mata masalah di negara berkembang seperti Indonesia, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa selanjutnya akan disingkat PBB, memandang perlu untuk mengadopsi, “United Nation Convention Against Corruption”, selanjutnya disingkat UNCAC, melalui resolusi 58/4, tanggal 31 Oktober 2003, yang kemudian pada tanggal 10 Januari 2005 ditandatangani oleh 116 negara, dan 15 negara telah meratifikasi dan salah satu negara tersebut adalah Indonesia yang telah meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, tentang pengesahan United Nation Convetion Against Corruption (UNCAC), 2003, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tersebut diundangkan atau disahkan pada tanggal 18 April 2006.

Demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara defenitif diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK).

PBB menyebutkan berbagai alasan atas prakarsa yang akhirnya melahirkan UNCAC, termasuk timbulnya kesadaran dunia bahwa praktek-praktek korupsi meruntuhkan seluruh bangsa ke dalam kemiskinan dan krisis sosial. Tidak berlebihan apabila PBB menyebutnya sebagai “Multi Dimensional Challenge” atau tantangan

4


(17)

Multi Dimensi, baik hak asasi manusia selanjutnya disingkat HAM, demokrasi, peraturan hukum atau rule of law, pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development pasar, keamanan, maupun kualitas kehidupan. Dalam konteks tersebut UNCAC menawarkan bantuan kepada negara-negara penandatangan untuk memberantas korupsi dalam perspektif mereka melalui modifikasi kerjasama dan asistensi. Dalam compendium of internation legal instruments on corruption,

ditegaskan bahwa UNCAC menawarkan seperangkat pendekatan yang konprehnsif untuk menghadapi korupsi. Konvensional dapat dibagi kedalam meta-provinsi diantaranya yaitu :

1. Kebijakan pencegahan dan penataan ulang pelayanan publik sebagai cara dalam menciptakan transparansi dan pemerintahan yang bersih dan baik.

2. Menghukum berat pelaku tindak pidana korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa.

3. Kerjasama internasional dalam menangkap pelaku tindak pidana korupsi. 4. Penyitaan asset pelaku tindak pidana korupsi.5

Korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan keuangan negara dan menyengsarakan masyarakat sekaligus pula dapat menghambat jalannya pembangunan nasional. Oleh karena itu korupsi digolongkan sebagai suatu kejahatan luar biasa yang perlu dikikis habis, diantaranya dengan cara memaksimalkan daya kerja dan daya paksa dari peraturan Perundang-Undangan yang ada, baik melalui penegakan hukum pidana, maupun melalui penegakan hukum perdata. Korupsi adalah setiap perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.

5

Adil Surowidjojo, Konvensi PBB, Tentang Penanganan Tindak Pidana Korupsi dan Pencegahannya, Pelita Ilmu, Jakarta, 2009, hal29.


(18)

Pengadaan barang dan jasa umumnya menyangkut jumlah uang yang besar, sehingga pengadaan barang dan jasa adalah yang selalu berpeluang besar untuk dijadikan lahan korupsi di Indonesia.6

Meskipun Undang-Undang anti korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sudah lama diberlakukan namun tetap saja tindak pidana korupsi belum dapat diberantas bahkan cenderung meningkat dari Tahun keTahun baik secara kualitas maupun kuantitas. Persentase korupsi pada pengadaan barang dan jasa hampir mencapai 60% pengeluaran belanja negara yang digunakan untuk pengadaan barang dan jasa sebagai gambaran APBN Tahun Anggaran 2010, dana untuk pengadaan barang dan jasa mencapai 189 Triliun. Angka tersebut tidak termasuk dana yang dikelola BUMN, kontraktor kemitraan dan belum mencakup anggaran pemerintah daerah. Hasil kajian pemerintah Indonesia yang bekerja sama dengan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang berjudul

Country Procurement Assesment Report (CPAR) Tahun 2010, menyebutkan 10% sampai dengan 50% pengadaan barang dan jasa mengalami kebocoran baik di tingkat

Kasus wisma atlet, hambalang merupakan contoh nyata bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi lahan subur tindak pidana korupsi tidak hanya pada tingkat pejabat menegah kebawah, tapi juga mengakibatkan pejabat tinggi negara, etika politik dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.

6

Budi Raharjo, Praktek Pelaksanaan tender Pengadaan Barang dan Jasa dan Pengawasannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 18.


(19)

pusat maupun di tingkat daerah. Kajian ini memperkuat dugaan bahwa pengadaan barang dan jasa adalah sasaran empuk para koruptor.7

Penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai prosedur akan berdampak pada kerugian yang akan ditanggung oleh masyarakat, termasuk rendahnya kuantitas pelayanan yang diterima dari pemerintah. Ada beberapa langkah yang sebaiknya dilakukan dalam rangka menyehatkan praktek pengadaan barang dan jasa, baik oleh pihak pemerintah maupun masyarakat sipil.

1. Memperkuat dasar hukum pengadaan barang dan jasa, status hukum pengadaan barang dan jasa dalam bentuk keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang kemudian disempurnakan lewat Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang perubahan keempat Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 serta diubah lagi melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Walaupun pada Keppres dan Perpres telah memuat sejumlah klausul yang cukup reformatif, tetapi klausul-klausul tersebut tidak terimplementasi dengan baik.

2. Peningkatan kapasitas (capacity building) bagi para kontraktor lokal. Peran ini dapat diemban oleh pemerintah dan asosiasi pemisahan pengadaan barang dan jasa lewat berbagai program pelatihan dan sosialisasi mengenai kompetensi teknik dan manajemen. Selama ini asosiasi hanya berfungsi sebagai tempat bagi pengusaha barang dan jasa untuk bagi-bagi proyek, kepedulian asosiasi dalam

7

ADB Project Relations Aktivities In Support of Government’s Anticorruption Effortd Tool Kit, Anti Korupsi Bidang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintrah, hal 4.


(20)

meningkatkan kapasitas anggota merupakan bentuk keberpihakan yang nyata dalam rangka mempertahankan eksistensi perusahaan barang dan jasa dalam jangka panjang. Bahkan asosiasi dapat menerangkan aturan mengenai sistem

punishment dan reward bagi tingkat prestasi atau kegagalan tertentu dalam melaksanakan pekerjaan.

3. Proses perencanaan pengadaan di lakukan secara profesional, dan sebaiknya sesuai dengan rencana strategis dari dokumen perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan. Proses perencanaan kadang-kadang telah menjadi permulaan selama ini adalah perencanaan dilakukan pada eksekutif. Setelah tiba dilegislatif di mulailah “deal deal” terbatas, terutama pada panitera anggaran dan seluruh rencana bisa berubah. Maka dimulailah praktek penggelembungan anggaran, perencanaan pengadaan yang diarahkan, dan direkayasa pemaketan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).

Sebagai contoh dan sudah menjadi rahasia umum. Jika kontraktor dan pengusaha kadang-kadang juga anggota DPRD yang mempunyai jaringan portai di Panitia Anggaran (Panggar) DPR melakukan lobi-lobi Intensif dalam rangka mendapatkan proyek, tentu dengan komisi tertentu (kasus percobaan proyek di DPRD).

4. Masyarakat menggiatkan diri pada aksi peniup peluit (whistel blower) atau wal-chdog. Karena masyarakatlah yang menjadi user dari hasil pekerjaan yang dilaksanakan, maka secara moral masyarakat dituntut kepeduliannya untuk melakukan pengawasan. Pendekatan pengawasan tentunya harus berbasis


(21)

masyarakat di lokasi proyek pengadaan barang dan jasa. Pemerintah dituntut memberi akses yang luas kepada masyarakat dalam memperoleh informasi mengenai proyek. Bahkan sebelum proyek dilaksanakan sebaiknya pemerintah memberi sosialisasi mengenai proyek yang akan dilaksanakan, sehingga masyarakat sendiri menjadi safe quarding bagi keberhasilan proyek pengadan barang dan jasa.8

Pendekatan lainnya adanya lembaga-lembaga pemantau yang diinisiasi masyarakat sipil. Lembaga pemantau pengadaan barang dan jasa yang telah berdiri pada level nasional (Indonesia Procurement watch) sebaliknya diikuti inisiasinya pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Lembaga ini haruslah terdiri dari pribadi-pribadi yang memiliki kompetensi integritas dan track record yang memadai karena jika tidak, lembaga ini hanya akan terbeli oleh pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan pada proses pengadaan barang dan jasa, baik itu dari pemerintah, DPR/DPRD, maupun pihak pengusaha.

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa berbunyi :

“Pengadaan barang dan jasa pemerintah yang selanjutnya disebut dengan pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa”.

8

Ronny Hariyanto, Prosestender Pengadaan Barang Dan Jasa Serta Upaya PengawasannyaOleh Masyarakat, Pustaka harapan, Jakarta, 2010, hal 19.


(22)

Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa berbunyi :

“Kementrian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi lainnya, yang selanjutnya disebut K/L/D/I adalah instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pasal 1 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 berbunyi, “Pengguna barang/jasa adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang dan/atau jasa untuk negara/daerah di masing-masing K/L/D/I. selanjutnya Pasal 1 ayat (12) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 berbunyi, “Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultasi/jasa lainnya. Pada pengadaan barang/jasa dikenal istilah pelelangan umum sebagai salah satu metode yang digunakan untuk memiliki penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa lainnya untuk semua pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang memiliki syarat, sedangkan pelelangan terbatas adalah metode pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi untuk pekerjaan konstruksi dengan jumlah penyedia yang mampu melaksanakan diyakini terbatas untuk pekerjaan yang kompleks. Pelelangan sederhana adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa lainnya untuk pekerjaan yang bernilai paling tinggi Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Pemilihan Langsung (PL) adalah metode pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi untuk pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua penyedia jasa konstruksi yang memenuhi syarat. Seleksi sederhana adalah metode pemilihan penyedia jasa


(23)

konstruksi untuk jasa konstruksi yang bernilai paling tinggi Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah ruang lingkupnya meliputi :

a. Pengadaan barang/jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD.

b. Pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/badan Usaha Milik Daerah yang pembayarannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.

Pasal 2 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 berbunyi, “Pengadaan barang/jasa yang dananya bersumber dari APBN (APBD) sebagaimana di maksud pada ayat (1), mencakup pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari pinjaman atau hibah dalam negeri yang diterima oleh pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Ketentuan pengadaan barang / jasa yang dananya baik sebagian atau seluruhnya berasal dari pinjaman/hibah Luar Negeri (PHLN) berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah ini.

Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang / jasa berbunyi, “Pelaksanaan Pengadaan barang/jasa dilakukan melalui, a. swa kelola, b. pemilihan penyedia barang/jasa. Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 berbunyi, “Pengadaan barang/jasa pemerintah meliputi, a. barang, b. pekerjaan konstruksi, c. jasa konsultasi, d. jasa lainnya. Pengadaan barang dan jasa menerapkan


(24)

prinsip-prinsip sebagai berikut: a. efisien, b. efektif, c. transparan, d. terbuka, e.bersaing, f. adil/tidak diskriminatif dan g. akuntabel.9

Pasal 12 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah berbunyi, “Persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12ayat (1) huruf c, d, f, h dan huruf i Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah dikecualikan bagi penyedia barang/jasa proyek perorangan.

Pengadaan barang/jasa proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat oleh CV Prawira Jaya sebagai rekanan di Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Tarukim) Pemerintah Kota (Pemko) Binjai yang dimulai pada Tahun 2009 juga tidak terlepas dari indikasi korupsi. Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Tarukim) Kota Binjai melalui kantor Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Binjai melakukan pelelangan pengadaan barang/jasa proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat untuk kecamatan Binjai Utara dan Kecamatan Binjai Selatan dengan nilai penggunaan anggaran yang ditampung di dalam APBD Kota Binjai Tahun 2009 sebesar Rp 900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah) pada masing-masing kecamatan tersebut. Pada tanggal 12Januari 2009 Pejabat Pengguna Anggaran pada kantor Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Kota Binjai mengangkat Zainal Arifin selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan mengangkat Panitia pengadaan/pelelangan pada

9

Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.


(25)

proyek tersebut, dan kemudian pada tanggal 16 februari 2009, proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat untuk kecamatan Binjai Utara dan Kecamatan Binjai Selatan diumumkan oleh panitia pelelangan. Pada tanggal 24 Maret 2009 melalui surat keputusan Pejabat Komitmen (PPK) Nomor : 050-63/SK/PPK/APBD/Tarukim/2009 ditetapkan CV Prawira Jaya sebagai pemenang lelang dan dengan demikian berhak menjadi penyedia barang/jasa pada proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat untuk kecamatan Binjai Utara dengan anggaran biaya yang disetujui sebesar Rp 851.500.000 (delapan ratus lima puluh satu juta lima ratus ribu rupiah). 10

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, menarik untuk diketahui dan diteliti lebih jauh mengenai apakah ada indikasi korupsi yang dilakukan pada proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat yang Kemudian pada tanggal 25 Maret 2009, dibuat surat perjanjian pekerjaan oleh PPK Zainal Arifin dengan Direktur CV. Prawira Jaya Sentot Prawiradirdja untuk proyek fasilitas pembangunan Prosa Binjai Selatan dengan anggaran 851.300.000 (delapan ratus lima puluh satu juta tiga ratus ribu rupiah) melalui surat keputusan PPK Nomor 050-61/SK/PPK/APBD/Tarukim/2009 tanggal 24 Maret 2009 menetapkan CV Lancang Kuning sebagai pemenang lelang dan berhak menjadi penyedia barang/jasa Surat Perjanjian Kerjasama dibuat oleh PPK, Zainal Arifin dengan Direktur CV Lancang Kuning, Haris Syahputra Nasution.

10

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 05/PID.Sus.K/2011/PN.MDN, hal 10.


(26)

dilakukan oleh CV. Prawira Jaya melalui Direkturnya Sentot Prawiradirdja baik secara bersama-sama maupun secara sendiri sesuai prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam pengadaan barang/jasa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraikan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dalam praktek pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah ?

2. Bagaimanakah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak CV pada pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Binjai ?

3. Siapa saja yang bisa dimintai pertanggung jawaban dalam pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 ?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang sering terjadi secara umum dalam praktek penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah.


(27)

2. Untuk mengetahui bentuk tindak pidana korupsi yang yang dilakukan oleh pihak CV dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Binjai.

3. Untuk mengetahui siapa saja yang dapat dimintai pertanggung jawaban dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 ?

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbang saran dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya terutama mengenai masalah pengadaan barang/jasa pemerintah dikaitkan dengan tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam penyelenggaraan literatur dalam memperkaya khazanah dan kepustakaan serta perkembangan ilmu hukum pidana khusus tentang korupsi dalam penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Disamping itu tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat pada umumnya dan kepada para rekanan proyek pengadaan barang/jasa pemerintah pada khususnya, agar mengetahui dan memahami prosedur hukum yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.


(28)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulis karya ilmiah Magister Hukum maupun di Magister KeNotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini. Adapun judul penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu adalah : Judul penelitian ini adalah:

1. Arina Rasitah (NIM : 037005003) dengan judul “Analisis Tentang Tindak Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Wewenang Pengadaan Barang/Jasa di PTPN II Medan.

2. Budi Prakarsa (NIM : 107005007) dengan judul “Analisis Yuridis Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Pertimbangan yang Meringankan Hukuman dalam Tindak Pidana Korupsi.

Pembahasan kedua penelitian tersebut di atas dari segi substansi permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian adalah asli adanya, artinya secara akademika penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.


(29)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangang teoritis.11 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.12

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats), bukan negara kekuasaan (machtstaats), maka setiap tindak pidana yang terjadi seharusnya diproses sesuai hukum yang berlaku. Hukum dipandang sebagai satu-satunya saranan bagi penyelesaian terhadap suatu tindak pidana. Dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung konsep tujuan negara baik secara khusus maupun secara umum. Secara khusus tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sedangkan secara umum adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Menurut Lawrence M. Friedman, hukum sebagai suatu sistem atau sub sistem dari sistem kemasyarakatan akan berperan secara baik jika instrumen pelaksanaanya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan di bidang penegakan hukum, maka sistem hukum tersebut tersusun dari beberapa sub sistem yang mencakup, struktur

11

M. Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80. 12


(30)

hukum (structure), substansi hukum (substance) dan budaya hukum (legal culture).

Ketiga unsur sistem hukum ini yang nantinya sangat menentukan apakah suatu sistem hukum berjalan atau tidak. Susbstansi hukum biasanya terdiri dari peraturan Perundang-Undangan, sedangkan struktur hukum adalah aparat, sarana dan peraturan hukum. Budaya hukum adalah berupa perilaku dari anggota masyarakat itu sendiri.13 Cara lain menggambarkan 3 (tiga) unsur hukum itu adalah dengan mengibaratkan “Struktur hukum sebagai mesin”. Substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.14

a. Teori Pertanggung Jawaban

Dalam hukum pidana Indonesia dikenal istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan (geen straf zonder schuld) yang merupakan dasar dari pertanggungjawaban hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana. Istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan tersebut memiliki ratio hukum bahwa barang siapa yang melakukan kesalahan di dalam hukum pidanawajib mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut di depan hukum dengan ancaman penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Perkataan “Barang siapa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menunjuk kepada subjek pelaku tindak

13

M.Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus,Liberti, Yogyakarta, 2009, hal 1.

14

Lawrence M. Friedman, Americn Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, PT. Tata Nusa, Jakarta 1984, hal 8.


(31)

pidana. Subjek pelaku tindak pidana yang dimaksud dalam rumusan tersebut dapat berupa orang perseorangan dan/atau kelompok orang baik yang tergabung dalam suatu organisasi tertentu yang bertindak sebagai pengurus maupun pimpinan ataupun kelompok orang yang tidak tergabung dalam suatu organisasi tertentu. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, maka pertanggungjawaban sanksi pidananya dibebankan kepada orang dalam organisasi perusahaan tersebut yang memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana, maupun orang yang bertindak sebagai pemimpin didalam organisasi perusahaan tersebut.

Pertanggungjawaban tindak pidana yang dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan dapat pula dibebankan kepada orang yang memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana dan juga pemimpin dari organisasi perusahaan tersebut secara bersama-sama. Dalam berbagai perumusan tindak pidana dalam KUHP selalu tercantum unsur sengaja (dolus) dan unsur kealpaan/kelalaian (culpa) yang mengandung arti bahwa pertanggungjawaban pidan dalam KUHP menganut prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault) atau asas culpabilitas.15

15

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penangggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008, hal 111.

Berdasarkan asas kesalahan dalam hukum pidana maka dalam pertranggungjawaban pidana tidak dimungkinkan adanya pertanggungjawaban mutlak (strict liability/absolute liability), walaupun ada pendapat bahwa strict liability tidak selalu berarti sama dengan absolute liability. Secara teoritis sebenarnya


(32)

dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap asas kesalahan dengan menggunakan prinsip/ajaran strict liability atau “vicarious liability”, terlebih memang tidak mudah membuktikan adanya kesalahan pada delik-delik yang dilakukan oleh korporasi/badan hukum.

Dari penjelasan tersebut di atas maka yang dapat dimintai pertanggung jawaban adalah person atau orang baik secara pribadi maupun secara bersama-sama dalam suatu korporasi/badan hukum yang memberi perintah sehingga terjadi tindak pidana atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dari korporasi/badan hukum tersebut atau kedua-duanya.

Untuk dapat meminta pertanggung jawaban orang atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan maka dibutuhkan bukti-bukti yang otentik, yang dapat membuktikan bahwa orang tersebut memang benar telah melakukan suatu tindak pidana.

Hukum pembuktian yang kita anut sekarang, sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang saling kait mengait dan berhubungan satu dengan lain yang terpissahkan dan menjadi suatu kesatuan yang utuh. Sistem pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar/criteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan.

Sistem pembuktian adalah merupakan ketentuan tentang bagaimana cara dalam membuktikan dan sandaran dalam menarik kesimpulan tentang terbuktinya apa yang dibuktikan. Pengertian sistem pembuktian yang mengandung isi yang demikian,


(33)

dapat pula disebut dengan teori atau ajaran pembuktian. Ada beberapa sistem pembuktian yang telah dikenal dalam doktrin hukum pidana, yaitu :

1. Sistem Keyakinan Belaka (Conviction in Time)

Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan pada keyakinan saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinan tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah keyakinan yang dibentuknya itu logis atau tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung kepada hati nurani hakim.

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada criteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin. Walaupun mengandung kelemahan yang besar, sistem ini pernah berlaku di Indonesia zaman Hindia Belanda dahulu, yakni pada Pengadilan Distric dan Pengadilan Kabupaten.16

16

WirjoNo Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, Bandung, 1985, hal 110.

Pengadilan Distric adalah pengadilan sipil dan criminal tingkat pertama untuk orang-orang bangsa Indonesia. Berada pada tiap-tiap distrik di Jawa dan Madura berdasarkan


(34)

Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid de Justitie ini Nederlandsch Indie (Pasal 77-80 RO). Pengadilan Kabupaten yang disebut juga dengan Regentschapsgerecht (Pasal 81-85 RO) adalah pengadilan tingkat bandingnya.17

2. Sistem Keyakinan dengan Alasan Logis (laconviction in Raisonne)

Sistem ini lebih maju sedikit daripada sistem yang pertama, walaupun kedua sistem dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih maju, karena dalam sistemn yang kedua ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Walaupun alasan-alasan itu dengan menggunakan alat-alat bukti baik yang ada disebutkan dalam UU maupun diluar UU.

Dalam sistem ini, walaupun UU menyebut dan menyediakan alat-alat bukti, tetapi dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah pada pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. Artinya alasan yang digunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya. Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan bebas (vrije bewjstheorie)

karena dalam membentuk keyakinannya hakim bebas menggunakan alat-alat

17

R. Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Penerbit Pradnya Paraminta, Jakarta, 1978, hal 60-61.


(35)

bukti dan menyebutkan alasan-alasan dari keyakinan yang diperolehnya dari alat-alat bukti tersebut.

3. Sistem Pembuktian Melalui Undang-Undang (Posistief Wettlijk Bewijstheorie)

Sistem pembuktian ini disebut dengan sistem menurut Undang-Undang secara positif. Maksudnya, adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan semata-mata pada alat-alat bukti serta cara-cara mempergunakannya yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam Undang-Undang. Dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam Undang-Undang, baik mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannyamaka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jadi, sistem ini adalah sistem yang berlawanan dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan semata-mata.

Sistem pembuktian ini hanya sesuai dengan hukum acara pidana khususnya dalam hal pemeriksaan yang bersifat inkuisitor (inquisitoir) seperti yang pernah dianut dahulu di benua Eropa.18

Sistem pembuktian demikian pada saat ini sudah tidak ada penganut lagi,19

18

WirjoNo Prodjodikoro, Op Cit, hal 111.


(36)

sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Juga karena sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim.

4. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Terbatas (negatief Wettelijk Bewijstheorie)

Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam Undang-Undang. Jadi, untuk menarik kesimpulan dari kegiatan pembuktian didasarkan pada 2 (dua) hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak sipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri.

Disebut degan sistem menurut UU, karena dalam membuktikan harus menurut ketentuan UU baik alat-alat bukti yang dipergunakan maupun cara mempergunakannya serta syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyatakan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan. Disebut dengan terbatas, karena dalam melakukan pembuktian untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan

19

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 247.


(37)

tindak pidana disamping dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut UU juga menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut UU juga dibatasi/diperlukan pula keyakinan hakim. Artinya, bila ketiadaan keyakinan hakim tidak boleh menyatakan sesuatu (objek) yang dibuktikan sebagai terbukti, walaupun alat bukti yang dipergunakan telah memenuhi syarat minimal bukti. Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana kita sejak berlakunya Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dahulu dan kini KUHAP adalah menganut sistem ini secara konsekuen. Pasal 294 ayat (1) HIR merumuskan bahwa :

“Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”.20

Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan penyempurnaan kedalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya adalah :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Rumusan Pasal 183 KUHAP dapat dinilai lebih sempurna, karena telah menentukan batas yang lebih tegas bagi hakim dalam usaha membuktikan kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Lebih tegas karena ditentukan batas minimum pembuktian, yakni harus menggunakan setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah dari yang disebutkan dalam UU. Sedangkan dalam Pasal 294 ayat

20


(38)

(2) HIR syarat setidak-tidaknya dengan 2 (dua) alat bukti sebagaimana dalam Pasal 183 KUHAP tidak disebutkan secara tegas. Hal ini menandakan bahwa sistem pembuktian negatif dalam KUHAP lebih baik dan lebih menjamin kepastian hukum.

Pasal 294 ayat (2) HIR tidak secara tegas menentukan minimal dua alat bukti yang harus dipergunakan satu alat bukti juga tercermin dari Pasal 308 HIR, bahwa pengakuan terdakwa saja tanpa adanya fakta-fakta lain pendukungnya dalam sidang tidak cukup untuk dijadikan bukti. Fakta-fakta pendukung yang diperoleh dalam sidang tentu saja diperoleh dari alat bukti selain pengakuan. Dalam sistem menurut Undang-Undang secara terbatas atau disebut dengan sistem Undang-Undang secara negatif sebagai intinya, yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, yaitu :

a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;

b. Standar/syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.

Salah satu tujuan hukum adalah memberi kemanfaatan bagi orang lain. Hal ini didasarkan pada konsep pemikiran Utilities. Penganut aliran Utilities menganggap bahwa tujuan hukum adalah semata-mata memberikan pemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat (the greatest happiness for the greatest number).

Jeremy Bentham berpendapat adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Menurut Max Weber Guru


(39)

Besar Universitas Kekaisaran Jerman pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri. Kaidah hukum ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis, keputusan pengadilan maupun keputusan-keputusan lembaga-lembaga pemasyarakatan21

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu kejahatan dan pelanggaran yang memuat perincian berbagai jenis tindak pidana yang terdapat dalam buku II dan buku III KUHP. Tujuannya adalah guna melindungi kepentingan hukum yang dilanggar. Kepentingan hukum pada dasarnya dapat dirinci dalam 3 (tiga) jenis yaitu :

1. Kepentingan hukum perorangan. 2. Kepentingan hukum masyarakat. 3. Kepentingan hukum negara.22

Pengkajian tentang penegakan hukum pidana atau criminal law enforcement

sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana, yakni menggunakan penal atau sanksi pidana dan menggunakan sarana non penal yaitu penanggulangan kejahatan tanpa menggunakan sanksi pidana (penal). Penegakan hukum mempunyai sasaran agar orang taat hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal, yakni : (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa

21

SoerjoNo Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal 3.

22

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal 9.


(40)

berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat inperatif; (3) takut karena malu berbuat jahat.23

Kehadiran hukum dalam pergaulan hidup di negara Pancasila ini tidak sekedar menunjukkan pada dunia luar bahwa negara ini berdasarkan atas hukum, melainkan adanya kesadaran akan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh hukum itusendiri. Sejalan dengan itu Baharuddin Lopa memberikan gambaran berbagai fungsi hukum tersebut yaitu :

1. Hukum sebagai alat perubahan sosial as a tool of social engineering). Jadi hukum adalah kekuatan untuk mengubah masyarakat (shange agent).

2. Hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya sesuatu tingkah laku (as a tool of justification).

3. Hukum berfungsi pula sebagai (as a tool of social control). Yaitu mengontrol pemikiran dan langkah-langkah kita agar kita selalu terpelihara tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.24

Pengadilan diberi wewenang untuk membuat Norma hukum substanstif yang dianggapnya memuaskan, patut atau adil bagi kasus konkrit. Oleh sebab itu, pengadilan berfungsi sebagai organ pembuat Undang-Undang. Dalam menjatuhkan sanksi, pengadilan selalu bertindak sebagai organ pembuat Undang-Undang karena pengadilan melahirkan hukum.

23

Siswantoro Sonarso, 2004, Penegakan Hukum Dalam Kajian Sosiologis, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal 142.

24

Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1987, hal 32.


(41)

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi unsur delik, tetapi tidak dipidana.25

b. Teori Pemidanaan

Asas pemidanaan di dalam hukum Pidana dikenal dengan istilah nullum delicthum sine praevea lege pionale yang artinya tidak satu perbuatanpun yang dapat dihukum melainkan harus berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang ada terlebih dahulu sebelum perbuatan itu dilakukan. Asas ini dikenal dengan nama asas legalitas dalam hukum pidana yang terkjandung didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan Perundang-Undangan pidana yang telah ada”.

Pada pokoknya, Herbert L. Packer mengemukakan ada 4 teori yang berusaha memberikan pembenaran pidana (Justification for criminal punishment),

yaitu :

1. Retribution

Oandangan ini didasarkan atas gagasan bahwa terhadap kejahatan dapat dibenarkan untuk dipidana, sebab manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.

25


(42)

Untuk itu, pelaku harus menerima ganjaran yang selayaknya. Pandangan ini dibagi dua yaitu :

a. Teori Pembalasan (revengre theory); pidana dianggap sebagai pembalasan mutlak atas perbuatan jahat yang telah dilakukan atas dasar pertanggungjawaban penuh dari individu pelakunya, dilaksanakan misalnya melalui lembaga lex talionis dimana penganiayaan terhadap mata dibalas secara setimpal dengan pidana atas mata yang serupa, mati dibalas mati, dan seterusnya.

b. Teori penderitaan dan penebusan dosa. Dalam teori ini pembalasan dilakukan dengan cara membuat sipelaku kejahatan mengalami penderitaan tertentu sehingga ia merasa terbebas dari perasaan bersalah dan berdosa.

2. Utilitarian Prevention : Deterrence

Pandangan ini dapat dianggap sebagai reaksi terhadap pandangan klasik yang bersifat retributif. Pandangan ini melihat punishment sebagai sarana untuk mencegah atau mengurani kejahatan. Menurut pandangan tersebut bahwa pemindahan sebagai tindakan sah apabila terbukti bahwa dijatuhkannya pidana penderitaan itu memang menimbulkan akibat lebih baik daripada tidak dijatuhkannya pidana, khususnya dalam rangka menimbulkan efek pencegahan terhadap pihak-pihak terkait.26

Terdapat dua versi tentang pencegahan yaitu pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum didasarkan pada asumsi bahwa pemidanaan pelaku

26


(43)

tindak pidana secara individu akan menjadi contoh bagi individu yang lain sehingga mereka tidak akan berbuat tindak pidana yang sama. Pencegahan umum ini menggunakan pengaruh pemidanaan untuk ditujukan kepada masyarakat umum, artinya pencegahan tindak pidana ingin dicapai melalui pemidanaan dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana melalui pembentukan Undang-Undang yang bersifat represif terhadap tindak pidana tertentu. Sedangkan pencegahan khusus didasarkan pada asumsi bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana akan menimbulkan efek jera kepada pelaku untuk tidak mengulangi tindak pidananya di masa yang akan datang. Pencegahan khusus ini mengarahkan secara langsung pengaruh pemidanaan kepada pribadi terpidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi dengan menghukum terpidana selama lamanya di penjara.

3. Special Deterence atau Intimidation

Menurut pandangan ini, efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharap tidak setelah pemidanaan dilakukan (after the fact inhibition) sehingga terpidana tidak lagi melakukan kejahatan serupa di masa datang, karena, teori ini dapat juga disebut sebagai teori penjeraan, yang bermaksud agar sipelanggar menjadi jera. Teori ini memandang bahwa pemidanaan itu merupakan sasaran untuk mengintimidasi mental si terpidana merasa jera untuk melakukan perbuatan pidana lagi.


(44)

4. Behaviour Prevention : In Capacitation

Menurut pandangan ini pidana dilihat sebagai suatu yang harus dilakukan agar yang bersangkutan tak dapat lagi melakukan atau meneruskan perbuatan anti sosial yang dilakukannya, artinya dengan dijatuhkannya pidana maka yang bersangkutan tidak lagi berada dalam kapasitas untuk melakukan kejahatan. Robert D Pursley menggunakan istilah isolation. Menurutnya masyarakat juga menganut gagasan bahwa pelanggar harus diisolasi dari anggota yang sah agar tidak mengotori masyarakat.

5. Behaviour Prevention : Rehabilitation

Pandangan rehabilitation mengatakan bahwa pemidanaan dilakukan untuk memudahkan dilakukannya pemberian pemidanaan itu sendiri guna merehabilitasikan si terpidana sehingga ia dapat merubah kepribadiannya, agar dapat diharapkan menjadi orang baik yang taat pada hukum di kemudian hari.27 2. Landasan Konsepsi

Konsep adalah defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.28

27

Marlina, Hukum Pentensier, Medan :Aditama, 2011, hal 78, Op Cit

Kerangka konsepsional

28


(45)

mengunkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.29

Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan defenisi operasional (operational definition).30

1. Tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi disebutkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary measures). Oleh karena itu sebagai tindak pidana luar biasa maka digunakan Undang-Undang khusus yang bersifat Lex Specialis. Untuk penindakan tindak pidana korupsi selain dilakukan oleh institusi kepolisian dan kejaksaan juga dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan untuk mengadili pelaku tindak pidana korupsi maka dibentuk pula pengadilan khusus yakni pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).

Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menhindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.oleh karena itu dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

29

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tayangan Singkat, Raja Grafinbdo Persada, Jakarta, 1995, hal 7.

30

Lexyt Moelong, Metode penelitian Kuantitatif , Remaja Rosdakarya,Bandung, 2002, hal 101.


(46)

2. Kerugian negara adalah harta atau kekayaan negara yang tercantum haknya untuk dikembalikan ke negara melalui jaksa pengacara negara (JPN). Harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda lain yang bergerak maupun tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam bentuk anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), serta termasuk pula pendapatan negara bukan pajak (PNBP).31

3. Pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.

4. Proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukimanj berbasis masyarakat adalah suatu proyek pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berupa pembuatan dan pengaspalan jalan, pembuatan selokan/parit, saluran air pembuangan di kawasan pemukiman kecamatan Binjai Selatan yang dilakukan CV Prawira Jaya Selaku penyedia barang/jasa untuk Pemko Binjai selaku pengguna barang/jasa.

5. Putusan pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa,

31

Marwan Efendi, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal 165.


(47)

pemeriksaan barang bukti, ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan.32

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan jenis Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriftif analitis, dimana penelitian ini memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada, serta mencari solusi yang tepat untuk menjawab permasalahan tersebut. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum Normatif (yuridis Normatif), dengan cara mengkaji berbagai aspek hukum, dari segi ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku mengenai tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Pada umumnya dan proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat oleh CV Prawira Jaya Pada pemko Binjai pada khususnya. Penelitian ini juga didasarkan kepada buku-buku, jurnal dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana tersebut di atas. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis. Bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dengan mengajukan solusi yang baik dan dapat menjadi jawaban dari permasalahan tersebut.

32


(48)

2. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Dalam studi kepustakaan (library research) alat pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan menggunakan studi dokumen, untuk memperoleh bahan hukum sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Analisis Data

Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat dikemukakan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.33 Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.34

Sebelum analisis dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan (primer dan sekunder) untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan

33

Ronny Hutajulu, Metode Penelitian Hukum Normatif, Media Ilmu, Jakarta, 2006, hal 59. 34

Herianto Widodo. Metode penelitian Karya Ilmiah, Citra Aditya Bakti,Bandung, 2009, hal 26.


(49)

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban baik pula.35

Analisis data dilakukan secara kualitatif, artinya menguraikan secara lugas kenyataan-kenyataan yang terungkap dari data yang diperoleh. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir deduktif dan induktif.

35


(50)

BAB II

BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PRAKTEK PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH A. Pemberian Gratifikasi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pada Pasal 12 B dinyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dilarang pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnnya, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Yang nilainya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.

b. Yang niainya kurang dari Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut dilakukan oleh penuntut umum.

Menurut penjelasan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat

(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.


(51)

Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berbunyi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya tersebut kepada komisi pemberantasan korupsi (KPK). Ancaman pidana bagi penerima gratifikasi adalah pidana seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) Tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Tahun dan denda Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Bagi sipemberi gratifikasi diancam pidana paling lama 3 (tiga) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah), melaporkan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara merupakan perintah Pasal 12 C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UUPTPK). Suap yang dilaporkan kepada KPK dianggap bukan gratifikasi penerima gratifikasi wajib melaporkan gratifikasi yang diterimanya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak penerimaannya. Bila melewati batas waktu itu dan diketahui KPK, penerima gratifikasi lebih dari sepuluh juta rupiah akan dikenakan “pembuktian terbalik” di depan sidang pengadilan.36

Filosopi pelaporan adalah agar pegawai negeri dan penyelenggara negara jujur dan bersih, sebab ada kemungkinan gratifikasi yag dilaporkan di kembalikan kepada

36

Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(52)

penerima, jika KPK melihat tidak terkait serta tidak memengaruhi tugas dan kewajiban penerima gratifikasi tersebut.37

Perbuatan tindak pidana gratifikasi tersebut memang merupakan tindak pidana baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut merupakan setiap penerima gratifikasi bisa dipandang telah menerima suap apabila berhubungan dengan jabatannya. Penerimaan gratifikasi tersebut dikhawatirkan dapat bertentangan dengan tugas dan kewajibannya sebagai pegawai negeri/penyelenggara negara.38

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah :

a. Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara b. Pejabat negara pada lembaga tinggi negara c. Menteri

d. Gubernur e. Hakim

f. Pejabat negara yang lain yaitu duta besar, wakil gubernur, bupati/walikota

37

Marwan Maas, Gratifikasi Sebagai Suatu Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media, Jakrta, 2010, hal 56.

38

Herman Matondang, Gratifikasi dan Pengaruhnya terhadap Penyimpangan Tugas dan Kewajiban Aparatur Negara, Mitra Ilmu, Jakarta, 2012, hal 5.


(53)

g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis yakni komisaris, Direksi dan Pejabat struktual pada BUMN dan BUMD, Pimpinan Bank Indonesia (BI), Pimpinan Perguruan Tinggi, pejabat eselon satu dan pejabat lain yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer, jaksa penyidik, panitera pengadilan, pimpinan atau bendahara proyek.

h. Pegawai negeri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang PTPK.

Rumusan tindak pidana tersebut langsung menyebutkan unsur yang terdapat dalam Pasal-Pasal 418, 419, dan 420 KUHP uang dinyatakan tidak berlaku lagi. Pemberian gratifikasi biasanya terjadi di sektor pelayanan publik (perizinan), pengadaan barang dan jasa, perpajakan, penyelesaian perkara perdata dan pidana, dan lainnya.

Jika dicermati laporan masyarakat kepada Komisi Ombudsman, sebagian keluhan tersebut tidak tertutup kemungkinan berkaitan dengan masalah gratifikasi. Pemberian gratifikasi memang sulit dibuktikan apalagi jika menggunakan sarana elektronik. Bagi penerima dan pemberi saling merahasiakan.

Kasus suap terungkap, karena kejujuran si penerima gratifikasi yang melaporkan ke KPK, atau tertangkap tangan oleh aparat penegak hukum. Jika tidak lapor, tidak akan terungkap dan masyarakat menjadi korban penyalahgunaan wewenang oleh PNS dan penyelenggara negara. Akibatnya, hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil jauh dari harapan. Diharapkan masyarakat berperan


(54)

aktif mewujudkan penyelenggara negara yang bebas KKN dengan cara menaati Norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku di masyarakat. Masyarakat yang memerlukan pelayanan dari pejabat politik semestinya mengikuti prosedur yang berlaku dan tidak memberikan gratifikasi.

Dengan mencermati Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, aturan pelaksanaan gratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sangat lemah dan sulit dilaksanakan. Akan tetapi, pakar hukum menyatakan bukan ketentuan yang mandul. Selama hampir tujuh bulan, KPK membahas secara intensif masalah gratifikasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Divisi yang khusus menangani pendaftaran gratifikasi pun sudah dibentuk. Para pakar hukum dan anggota DPR39

39

Kesimpulan sementara yang tidak menggembirakan itu kembali diulangi KPK saat menggelar Rapat Kerja dengan DPR, 24 November lalu.

pun sudah diundang untuk membahas masalah itu dalam bentuk

roundtable discussion, namun gratifikasi sangat sulit dilaksanakan. Sebagai jalan keluarnya, KPK berencana mengajukan legislative review alias amandemen atas sejumlah Pasal terkait dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah satu yang akan diamandir adalah pengertian dan ruang lingkup gratifikasi. KPK berharap gratifikasi dimasukkan secara tegas dalam ruang lingkup suap dengan membuat standar untuk mengklasifikasikan gratifikasi. Parameter standar gratifikasi sampai saat ini belum terwujud jelas dalam satu aturan baku, walaupun untuk tata cara pelaporannya telah diakomodasikan dalam Pasal 16

“Benarkah Aturan Gratifikasi Sangat Lemah dan Sulit Dilaksanakan?”, 29 Januari 2004.


(55)

Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.

Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh pakar hukum pidana Romli Atsasmita. Menurutnya tidak ada alasan untuk menyatakan aturan-aturan di atas tidak dapat diimplementasikan, karena aturan mengenai gratifikasi tidak terperinci. Aturan dalam Undang-Undang tersebut bukan ketentuan yang mandul.40

Ketentuan tentang gratifikasi dalam Undang-Undang memang ketentuan yang luas, untuk itu menurut Romli, KPK dapat membuat standar internal sendiri tentang gratifikasi mengingat lembaga tersebut mempunyai kewenangan yang luas. Romli mencontohkan dalam ketentuan mengenai gratifikasi di beberapa negara lain memang diatur dalam standar internal badan layaknya KPK, bukan secara rinci dalam Undang-Undang.

Soal gratifikasi tersebut memang menjadi bagian yang luas. Dikatakannya, gratifikasi bisa saja dinilai melalui penyediaan fasilitas tiket, hotel sampai pada pemberian dalam bentuk uang. Untuk itu, sebelum menginvestasikan lebih lanjut tentang pelaporan gratifikasi, maka sebaiknya KPK membuat standarisasi gratifikasi.

Sementara itu pelaporan gratifikasi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 merupakan tindakan kesadaran pegawai negeri atau penyelenggara negara kepada KPK. Artinya, tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai usaha preventif yang berdasarkan kesadaran dari pegawai negeri atau

40

Penjelasan Romli kepada hukumonline tanggal 27 November 2005. Romli termasuk pakar hukum yang diundang KPK saat roundtable discussion pada bulan Juli 2005.


(56)

penyelenggara negara. Padahal dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan secara jelas gratifikasi yang dimasukkan dalam kategori suap merupakan unsur tindak pidana. Selain membuat standar, KPK juga harus melakukan sosialisasi bagi pegawai negeri dan penyelenggara negara. Sebab, sampai saat ini pelaporan gratifikasi baru dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Tengah. Dana sebesar Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) yang dilaporkan ke KPK dikembalikan kepada sang Gubernur. Salah satu penyebabnya, belum ada parameter yang jelas kapan suatu gratifikasi harus masuk kas negara atau dikembalikan kepada pejabat bersangkutan.

Jadi. Kewenangan untuk menentukan batasan dan pelaporan gratifikasi saat ini ada di tagan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kewenangan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisi dan bentuk gratifikasi sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berbeda dengan pendapat Romli, menurut Fatahillah pemberian hadiah, rabat bukan merupakan semata-mata untuk menyuap. Menurut Fatahillah, gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang merupakan hal yang lazim dilakukan oleh pengusaha. Tujuannya untuk memperlancar urusan bisnis maupun sebagai bentuk tanda terima kasih. Tanpa ada aturan rinci dari KPK tentang gratifikasi, dikhawatirkan kalangan


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pertanggung jawaban dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 didasarkan kepada jenis pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut. Untuk pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia barang/jasa, para pihak terkait yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 adalah a. Penggunaan Anggaran (PA)/ Kuasa Penggunaan Anggaran (KPA), b. Pejabata Pembuat Komitmen (PPK), c. Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan (PP), d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, e. Pimpinan Pelaksana Penyedia Barang/jasa Pemerintah. PPK dalam pelaksanaan tugasnya dapat dibantu oleh tim pendukung yang diperlukan untuk pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Perangkat organisasi unit layanan pengadaan ditetapkan sesuai kebutuhan yang paling kurang terdiri atas a. Kepala, b. Sekretariat, c. Staff Pendukung, d. Kelompok Kerja.

2. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak CV dalam pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Binjai adalah bahwa pihak penyedia barang/jasa pemerintah dalam melaksanakan pekerjaannya menyimpang dari prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam


(2)

Peraturan PresidenNomor 54 Tahun 2010. Penyimpangan tersebut terjadi dalam hal prosedur administrasi pembayaran dana proyek, yang meliputi pembayaran uang muka, panjar, pembayaran dana termin I sampai dengan III yang telah dilakukan oleh Pemko Binjai meskipun pekerjaan belum dimulai sama sekali. Penyedia barang/jasa menyelesaikan pekerjaan pengadaan barang/jasa tersebut tidak sesuai dengan rencana kerja/bestek yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja sehingga negara dirugikan.

3. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dalam praktek/pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah adalah a. Pemberian suap (gratifikasi) kepada pejabat yang berwenang dan memiliki kekuasaan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, b. Penyimpangan dari prosedur dan ketentuan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah ditetapkan dalam peraturan Perundang-Undangan, mulai dari tahap awal (penunjukkan penyedia barang/jasa pemerintah) sampai dengan tahap akhir (serah terima hasil kerja), yang sering tidak sesuai dengan rencana kerja/bestek yang telah ditetapkan. Namun pejabat penerima hasil pekerjaan tidak merasa keberatan dan tetap menerima hasil pekerjaan yang diserahkan oleh penyedia barang/jasa tersebut.

B. Saran

1. Dalam proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah disarankan untuk lebih mempertegas dan memperberat pengaturan sanksi pidana bagi para pihak yang bertanggung jawab, mengingat pengadaan barang/jasa tersebut sehingga


(3)

bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dapat diberantas/diminimalisasi

2. Proses pengadaan barang/jasa pemerintah disarankan agar dilaksanakan secara transparan dan terbuka tahap demi tahap dengan cara mengumumkannya kepada public/masyarakat di daerah dimana pelaksanaan pengadaan barang/jasa tersebut dilaksanakan. Pengumuman dilakukan melalui papan pengumuman di instansi pemerintah terkait selaku pengguna anggaran maupun di media cetak dan elektronik yang terbit dan ditangkap sinyalnya oleh masyarakat di daerah tersebut. Pengumuman secara transparan dan terbuka tersebut mencakup jumlah anggaran yang digunakan, proses tender, penggunaan kualitas dan kuantitas bahan material yang telah ditetapkan sesuai bestek/perjanjian kerja, penyelesaian tahap demi tahap dan serah terima akhir hasil pekerjaan. Hal ini dilakukan untuk mencegah/meminimalisir terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah oleh CV.

3. Pertanggung jawaban para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah agar lebih diperjelas struktur organisasinya secara baku sehingga lebih mudah dalam hal meminta pertanggung jawaban pidananya dalam hal terjadi tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

AB, Irfan Muhammad, Menyehatkan Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,

Sinar Grafika Jakarta, 2011.

Ali, Cidir, Badan Hukum, Alumni Bandung, 1991.

ADB Project Publik Relations Activities and Support Of Government AntiCoruption Efforts Tool. Kiat Anti Korusi Bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Arief Barda Nawawi, Masalah Penegakkan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana

Dalam Penangggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008.

Dirjosiswono, Sudjono, Pengatar Psikolog Hukum, Bandung Alumni, 1983.

Efendi, Marwan, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.

Friedman, Lawrence M., Americn Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, PT. Tata Nusa, Jakarta 1984.

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

____________ (I) Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991.

Hanni, Vincentia, Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Prenada Media, Jakarta, 2011.

Handoyo, Hery Satria, Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,

Media Ilmu, Jakarta, 2012.

Hariyanto, Ronny, Prosestender Pengadaan Barang Dan Jasa Serta Upaya PengawasannyaOleh Masyarakat, Pustaka harapan, Jakarta, 2010.


(5)

Lamintang, PAF, KUHP dan Pembahasannya, Armico, Bandung, 1995.

Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan dan penegakan Hukum di Indonesia,

Jakarta : Bulan Bintang, 1987.

Lubis, M. Solly. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Lukman Heru, Teknik Penelitian Hukum Normatif. Media Persada, Jakarta, 2009. Maas, Marwan, Gratifikasi Sebagai Suatu Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media,

Jakrta, 2010.

Marlina, Hukum Penitensier, Medan : Aditama, 2011.

Matondang, Herman, Gratifikasi dan Pengaruhnya terhadap Penyimpangan Tugas dan Kewajiban Aparatur Negara, Mitra Ilmu, Jakarta, 2012.

M.Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus,

Liberti, Yogyakarta, 2009.

Muhammad, Rusli Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006).

Moelong, Lexyt, Metode penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002. Penjelasan Romli kepada hukumonline tanggal 27 November 2005. Romli termasuk

pakar hukum yang diundang KPK saat roundtable discussion pada bulan Juli 2005. “Benarkah Aturan Gratifikasi Sangat Lemah dan Sulit Dilaksanakan”. 29 Januari 2004.

Pradjonggo, Tjandra Sridjaja, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi,

Jakarta Lawyer Club, Jakarta, 2010.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, Bandung, 1985.

Puerwanto, Haris, Beberapa Penyimpangan Prosedu Pelaksana Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Media Pustaka Ilmu, Jakarta, 2012.


(6)

R. Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Penerbit Pradnya Paraminta, Jakarta, 1978.

R. Tresna, Komentar HIR, Penerbit Pradnya Paraminta, Jakarta, 2000.

Raharjo Budi, Praktek Pelaksanaan tender Pengadaan Barang dan Jasa dan Pengawasannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Rivai, Muhammad Anwar, Hukum Pidana Khusus Jilid I, Alumni Bandung, 1994. Rose-Ackerman, Susan, Diterjemahkan Oleh Toenggoel P. Siagian, Korupsi

Pemerintah, Sebab Akibat dan Reformasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

2006.

Saragih, C. Djisman, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung. Sianturi, SR. Tindak Pidana di Indonesia, Alumni AHM-PT HM, Jakarta, 1983. Soekanto, SoerjoNo. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1996.

_____________, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

SuyatNo, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005. Surowidjojo, Adil, Konvensi PBB, Tentang Penanganan Tindak Pidana Korupsi dan

Pencegahannya, Pelita Ilmu, Jakarta, 2009.

Sonarso, Siswantoro, 2004, Penegakan Hukum Dalam Kajian Sosiologis, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekanto, SoerjoNo dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tayangan

Singkat, Raja Grafinbdo Persada, Jakarta, 1995.

Widodo, Herianto. Metode penelitian Karya Ilmiah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh CV Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Kota Binjai (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tipikor Nomor 05/Pid.Sus K/2011/PN Medan)

7 61 152

Analisis Putusan Sanksi Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung)

18 209 106

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

0 11 90