Teori Pertanggung Jawaban Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

hukum structure, substansi hukum substance dan budaya hukum legal culture. Ketiga unsur sistem hukum ini yang nantinya sangat menentukan apakah suatu sistem hukum berjalan atau tidak. Susbstansi hukum biasanya terdiri dari peraturan Perundang-Undangan, sedangkan struktur hukum adalah aparat, sarana dan peraturan hukum. Budaya hukum adalah berupa perilaku dari anggota masyarakat itu sendiri. 13 Cara lain menggambarkan 3 tiga unsur hukum itu adalah dengan mengibaratkan “Struktur hukum sebagai mesin”. Substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. 14

a. Teori Pertanggung Jawaban

Dalam hukum pidana Indonesia dikenal istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan geen straf zonder schuld yang merupakan dasar dari pertanggungjawaban hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana. Istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan tersebut memiliki ratio hukum bahwa barang siapa yang melakukan kesalahan di dalam hukum pidanawajib mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut di depan hukum dengan ancaman penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Perkataan “Barang siapa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP menunjuk kepada subjek pelaku tindak 13 M.Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus,Liberti, Yogyakarta, 2009, hal 1. 14 Lawrence M. Friedman, Americn Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, PT. Tata Nusa, Jakarta 1984, hal 8. Universitas Sumatera Utara pidana. Subjek pelaku tindak pidana yang dimaksud dalam rumusan tersebut dapat berupa orang perseorangan danatau kelompok orang baik yang tergabung dalam suatu organisasi tertentu yang bertindak sebagai pengurus maupun pimpinan ataupun kelompok orang yang tidak tergabung dalam suatu organisasi tertentu. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, maka pertanggungjawaban sanksi pidananya dibebankan kepada orang dalam organisasi perusahaan tersebut yang memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana, maupun orang yang bertindak sebagai pemimpin didalam organisasi perusahaan tersebut. Pertanggungjawaban tindak pidana yang dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan dapat pula dibebankan kepada orang yang memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana dan juga pemimpin dari organisasi perusahaan tersebut secara bersama-sama. Dalam berbagai perumusan tindak pidana dalam KUHP selalu tercantum unsur sengaja dolus dan unsur kealpaankelalaian culpa yang mengandung arti bahwa pertanggungjawaban pidan dalam KUHP menganut prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan liability based on fault atau asas culpabilitas. 15 15 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penangggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008, hal 111. Berdasarkan asas kesalahan dalam hukum pidana maka dalam pertranggungjawaban pidana tidak dimungkinkan adanya pertanggungjawaban mutlak strict liabilityabsolute liability, walaupun ada pendapat bahwa strict liability tidak selalu berarti sama dengan absolute liability. Secara teoritis sebenarnya Universitas Sumatera Utara dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap asas kesalahan dengan menggunakan prinsipajaran strict liability atau “vicarious liability”, terlebih memang tidak mudah membuktikan adanya kesalahan pada delik-delik yang dilakukan oleh korporasibadan hukum. Dari penjelasan tersebut di atas maka yang dapat dimintai pertanggung jawaban adalah person atau orang baik secara pribadi maupun secara bersama-sama dalam suatu korporasibadan hukum yang memberi perintah sehingga terjadi tindak pidana atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dari korporasibadan hukum tersebut atau kedua-duanya. Untuk dapat meminta pertanggung jawaban orang atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan maka dibutuhkan bukti-bukti yang otentik, yang dapat membuktikan bahwa orang tersebut memang benar telah melakukan suatu tindak pidana. Hukum pembuktian yang kita anut sekarang, sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang saling kait mengait dan berhubungan satu dengan lain yang terpissahkan dan menjadi suatu kesatuan yang utuh. Sistem pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standarcriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu objek yang dibuktikan. Sistem pembuktian adalah merupakan ketentuan tentang bagaimana cara dalam membuktikan dan sandaran dalam menarik kesimpulan tentang terbuktinya apa yang dibuktikan. Pengertian sistem pembuktian yang mengandung isi yang demikian, Universitas Sumatera Utara dapat pula disebut dengan teori atau ajaran pembuktian. Ada beberapa sistem pembuktian yang telah dikenal dalam doktrin hukum pidana, yaitu : 1. Sistem Keyakinan Belaka Conviction in Time Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan pada keyakinan saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana alat bukti dia memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinan tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah keyakinan yang dibentuknya itu logis atau tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung kepada hati nurani hakim. Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada criteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin. Walaupun mengandung kelemahan yang besar, sistem ini pernah berlaku di Indonesia zaman Hindia Belanda dahulu, yakni pada Pengadilan Distric dan Pengadilan Kabupaten. 16 16 WirjoNo Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, Bandung, 1985, hal 110. Pengadilan Distric adalah pengadilan sipil dan criminal tingkat pertama untuk orang-orang bangsa Indonesia. Berada pada tiap-tiap distrik di Jawa dan Madura berdasarkan Universitas Sumatera Utara Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid de Justitie ini Nederlandsch Indie Pasal 77-80 RO. Pengadilan Kabupaten yang disebut juga dengan Regentschapsgerecht Pasal 81-85 RO adalah pengadilan tingkat bandingnya. 17 2. Sistem Keyakinan dengan Alasan Logis laconviction in Raisonne Sistem ini lebih maju sedikit daripada sistem yang pertama, walaupun kedua sistem dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih maju, karena dalam sistemn yang kedua ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Walaupun alasan-alasan itu dengan menggunakan alat-alat bukti baik yang ada disebutkan dalam UU maupun diluar UU. Dalam sistem ini, walaupun UU menyebut dan menyediakan alat-alat bukti, tetapi dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah pada pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. Artinya alasan yang digunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya. Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan bebas vrije bewjstheorie karena dalam membentuk keyakinannya hakim bebas menggunakan alat-alat 17 R. Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Penerbit Pradnya Paraminta, Jakarta, 1978, hal 60-61. Universitas Sumatera Utara bukti dan menyebutkan alasan-alasan dari keyakinan yang diperolehnya dari alat- alat bukti tersebut. 3. Sistem Pembuktian Melalui Undang-Undang Posistief Wettlijk Bewijstheorie Sistem pembuktian ini disebut dengan sistem menurut Undang-Undang secara positif. Maksudnya, adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan semata-mata pada alat-alat bukti serta cara- cara mempergunakannya yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam Undang- Undang. Dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam Undang-Undang, baik mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannyamaka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jadi, sistem ini adalah sistem yang berlawanan dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan semata-mata. Sistem pembuktian ini hanya sesuai dengan hukum acara pidana khususnya dalam hal pemeriksaan yang bersifat inkuisitor inquisitoir seperti yang pernah dianut dahulu di benua Eropa. 18 Sistem pembuktian demikian pada saat ini sudah tidak ada penganut lagi, 19 18 WirjoNo Prodjodikoro, Op Cit, hal 111. karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang ada pada zaman Universitas Sumatera Utara sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Juga karena sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. 4. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Terbatas negatief Wettelijk Bewijstheorie Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam Undang-Undang. Jadi, untuk menarik kesimpulan dari kegiatan pembuktian didasarkan pada 2 dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak sipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri. Disebut degan sistem menurut UU, karena dalam membuktikan harus menurut ketentuan UU baik alat-alat bukti yang dipergunakan maupun cara mempergunakannya serta syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyatakan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan. Disebut dengan terbatas, karena dalam melakukan pembuktian untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan 19 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 247. Universitas Sumatera Utara tindak pidana disamping dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut UU juga menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut UU juga dibatasidiperlukan pula keyakinan hakim. Artinya, bila ketiadaan keyakinan hakim tidak boleh menyatakan sesuatu objek yang dibuktikan sebagai terbukti, walaupun alat bukti yang dipergunakan telah memenuhi syarat minimal bukti. Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana kita sejak berlakunya Het Herziene Indonesisch Reglement HIR dahulu dan kini KUHAP adalah menganut sistem ini secara konsekuen. Pasal 294 ayat 1 HIR merumuskan bahwa : “Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”. 20 Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan penyempurnaan kedalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya adalah : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Rumusan Pasal 183 KUHAP dapat dinilai lebih sempurna, karena telah menentukan batas yang lebih tegas bagi hakim dalam usaha membuktikan kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Lebih tegas karena ditentukan batas minimum pembuktian, yakni harus menggunakan setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah dari yang disebutkan dalam UU. Sedangkan dalam Pasal 294 ayat 20 R. Tresna, Komentar HIR, Penerbit Pradnya Paraminta, Jakarta, 2000, hal 237. Universitas Sumatera Utara 2 HIR syarat setidak-tidaknya dengan 2 dua alat bukti sebagaimana dalam Pasal 183 KUHAP tidak disebutkan secara tegas. Hal ini menandakan bahwa sistem pembuktian negatif dalam KUHAP lebih baik dan lebih menjamin kepastian hukum. Pasal 294 ayat 2 HIR tidak secara tegas menentukan minimal dua alat bukti yang harus dipergunakan satu alat bukti juga tercermin dari Pasal 308 HIR, bahwa pengakuan terdakwa saja tanpa adanya fakta-fakta lain pendukungnya dalam sidang tidak cukup untuk dijadikan bukti. Fakta-fakta pendukung yang diperoleh dalam sidang tentu saja diperoleh dari alat bukti selain pengakuan. Dalam sistem menurut Undang-Undang secara terbatas atau disebut dengan sistem Undang-Undang secara negatif sebagai intinya, yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, yaitu : a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana; b. Standarsyarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana. Salah satu tujuan hukum adalah memberi kemanfaatan bagi orang lain. Hal ini didasarkan pada konsep pemikiran Utilities. Penganut aliran Utilities menganggap bahwa tujuan hukum adalah semata-mata memberikan pemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat the greatest happiness for the greatest number. Jeremy Bentham berpendapat adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Menurut Max Weber Guru Universitas Sumatera Utara Besar Universitas Kekaisaran Jerman pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri. Kaidah hukum ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis, keputusan-keputusan pengadilan maupun keputusan- keputusan lembaga-lembaga pemasyarakatan 21 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 dua yaitu kejahatan dan pelanggaran yang memuat perincian berbagai jenis tindak pidana yang terdapat dalam buku II dan buku III KUHP. Tujuannya adalah guna melindungi kepentingan hukum yang dilanggar. Kepentingan hukum pada dasarnya dapat dirinci dalam 3 tiga jenis yaitu : 1. Kepentingan hukum perorangan. 2. Kepentingan hukum masyarakat. 3. Kepentingan hukum negara. 22 Pengkajian tentang penegakan hukum pidana atau criminal law enforcement sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana, yakni menggunakan penal atau sanksi pidana dan menggunakan sarana non penal yaitu penanggulangan kejahatan tanpa menggunakan sanksi pidana penal. Penegakan hukum mempunyai sasaran agar orang taat hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal, yakni : 1 takut berbuat dosa; 2 takut karena kekuasaan dari pihak penguasa 21 SoerjoNo Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal 3. 22 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hal 9. Universitas Sumatera Utara berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat inperatif; 3 takut karena malu berbuat jahat. 23 Kehadiran hukum dalam pergaulan hidup di negara Pancasila ini tidak sekedar menunjukkan pada dunia luar bahwa negara ini berdasarkan atas hukum, melainkan adanya kesadaran akan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh hukum itusendiri. Sejalan dengan itu Baharuddin Lopa memberikan gambaran berbagai fungsi hukum tersebut yaitu : 1. Hukum sebagai alat perubahan sosial as a tool of social engineering. Jadi hukum adalah kekuatan untuk mengubah masyarakat shange agent. 2. Hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya sesuatu tingkah laku as a tool of justification. 3. Hukum berfungsi pula sebagai as a tool of social control. Yaitu mengontrol pemikiran dan langkah-langkah kita agar kita selalu terpelihara tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. 24 Pengadilan diberi wewenang untuk membuat Norma hukum substanstif yang dianggapnya memuaskan, patut atau adil bagi kasus konkrit. Oleh sebab itu, pengadilan berfungsi sebagai organ pembuat Undang-Undang. Dalam menjatuhkan sanksi, pengadilan selalu bertindak sebagai organ pembuat Undang-Undang karena pengadilan melahirkan hukum. 23 Siswantoro Sonarso, 2004, Penegakan Hukum Dalam Kajian Sosiologis, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal 142. 24 Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1987, hal 32. Universitas Sumatera Utara Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukumanpidana kepada para pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi unsur delik, tetapi tidak dipidana. 25

b. Teori Pemidanaan

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh CV Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Kota Binjai (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tipikor Nomor 05/Pid.Sus K/2011/PN Medan)

7 61 152

Analisis Putusan Sanksi Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung)

18 209 106

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

0 11 90