POTENSI REDUKSI EMISI GAS RUMAH KACA MELALUI PEMANFAATAN KOTORAN SAPI MENJADI BIOGAS SKALA RUMAH TANGGA DI PROVINSI LAMPUNG

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemanasan global adalah peristiwa naiknya suhu Bumi menjadi lebih panas yang terakumulasi dalam jangka waktu yang lama. Pemanasan global terjadi akibat peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer Bumi. Sumber emisi berasal dari kegiatan manusia yang melepaskan GRK meliputi sektor energi, transportasi, pertanian, limbah, dan industri. Gas-gas rumah kaca seperti karbondioksida (CO2),

metana (CH4), nitrous oksida (N2O) dan lain-lain terperangkap di lapisan troposfer Bumi

dan bekerja seperti rumah kaca yang menahan pantulan panas matahari dari sisi dalam. Dampak pemanasan global sangat merugikan yakni terjadinya perubahan iklim,

peningkatan tinggi muka air laut, perubahan habitat makhluk hidup, serta timbul bencana alam.

Pemanasan global telah menjadi isu penting di seluruh dunia selama lebih dari 30 tahun terakhir. Dimulai dari Konferensi I Iklim dunia yang diadakan oleh WMO (World

Meteorological Organization) pada tahun 1979 untuk membahas dampak karbondioksida dan gas-gas rumah kaca terhadap iklim. Hasil yang diperoleh dalam pertemuan itu yakni disimpulkannya kesepahaman bahwa peningkatan konsentrasi gas rumah kaca mampu menaikkan suhu bumi yang pada akhirnya akan menyebabkan global warming.


(12)

Indonesia sebagai negara berkembang turut aktif dalam berbagai konvensi internasional mengenai dampak pemanasan global. Hal ini ditunjukkan dengan peran serta Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggara Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim ke-13 (COP/Conference of the Parties 13 UNFCCC) di Bali pada tahun 2007. Indonesia juga ikut memberikan angka target penurunan emisi dan berpartisipasi dalam konvensi COP ke-15 di Kopenhagen dan COP ke-16 di Cancun. Sebagai tindaklanjut kesepakatan COP ke-13, COP ke-15, dan COP ke-16, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional (Perpres No.61/2011).

Ternak, terutama sapi dan kerbau, menghasilkan kotoran dalam jumlah melimpah setiap harinya dan melepaskan emisi metana yang berbahaya ke atmosfer. PBB (2006) dalam bukunya Livestock Long Shadow melaporkan bahwa emisi GRK dari sektor peternakan menyumbang 18 % dari total GRK dunia. Jumlah tersebut adalah nilai emisi yang cukup besar dan memerlukan penanganan serius dalam upaya pengurangan emisi GRK dari sektor peternakan. Namun di sisi lain, emisi yang berasal dari kotoran ternak (khususnya gas metana) dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi baru terbarukan pengganti bahan bakar migas yakni biogas. Jika emisi ini dapat dikelola dengan baik melalui aplikasi biogas, maka berbagai keuntungan dapat diperoleh, seperti pencegahan dampak buruk pemanasan global, pengelolaan limbah ternak yang baik, penghematan bahan bakar, serta meningkatkan kemandirian energi oleh masyarakat.

Lampung memiliki potensi yang besar bagi perkembangan biogas mengingat perkembangan ternak di Lampung menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Peningkatan jumlah ternak sapi dan kerbau di Lampung secara besar-besaran terjadi di


(13)

tahun 2011. Persentase peningkatan sebesar 43,9 % terjadi dari penambahan ternak sebesar 539.049 ekor tahun 2010, menjadi 775.900 ekor tahun 2011.

1.2 Rumusan Masalah

Reduksi emisi GRK dapat dilakukan melalui aplikasi biogas skala rumah tangga yang memanfaatkan kotoran ternak. Kotoran ternak yang ditumpuk merupakan sumber emisi metana melalui proses anaerobik. Jika gas metana tidak ditangkap maka bisa

mengakibatkan pemanasan global. Penggunaan biogas sebagai bahan bakar pada dasarnya adalah proses penangkapan gas metana supaya tidak lepas ke atmosfer.

Metana bersifat flammable sehingga dapat dimanfaatkan sebagai energi untuk memasak. Penggunaan metana sebagai bahan bakar dapat mengurangi konsumsi bahan bakar minyak/gas, sehingga dapat menurunkan emisi CO2 akibat dari pembakaran minyak dan

gas alam. Pengoperasian biogas juga menghasilkan ampas (slurry) yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Penggunaan pupuk organik dapat mengurangi konsumsi pupuk kimia yang dalam pembuatannya menghasilkan emisi GRK.

Rumusan pemecahan masalah pengurangan emisi GRK secara singkat dapat dirangkum menjadi tiga mekanisme yaitu: 1) penurunan emisi GRK dari penangkapan dan

pembakaran metana yang dihasilkan dari kotoran sapi, 2) penurunan emisi GRK dari substitusi penggunaan bahan bakar fosil (Liquid Petroleum Gas - LPG) oleh biogas dan 3) subtitusi pupuk kimia oleh pupuk organik limbah biogas.


(14)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Mengevaluasi kinerja digester biogas berdasarkan produksi biogas, penurunan COD, total solid, volatile solid dan komposisi metana pada biogas.

2. Menghitung besarnya potensi penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan melalui aplikasi biogas skala rumah tangga berbahan baku kotoran sapi di Provinsi Lampung.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Tersedianya data mengenai biogas skala rumah tangga di Lampung dan peranannya dalam mengurangi GRK.

2. Dengan adanya literatur ini, diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan

pengambilan kebijakan dalam upaya penurunan GRK melalui biogas skala rumah tangga.

3. Mendukung program pemerintah dalam melakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca di Provinsi Lampung.


(15)

2.1 Gas-gas Rumah Kaca

Gas rumah kaca atau biasa disingkat dengan GRK merupakan kumpulan gas-gas yang dianggap mampu meningkatkan potensi pemanasan global oleh para ilmuan di seluruh dunia. Disebut GRK karena cara kerja gas-gas tersebut adalah seperti rumah kaca yang berfungsi menahan panas untuk keluar dari sistem sehingga mengakibatkan perubahan suhu Bumi (Jhamtani et.al, 2007). Awalnya, sinar matahari masuk ke Bumi sebagai radiasi cahaya matahari dalam bentuk

gelombang pendek dan berubah menjadi radiasi inframerah gelombang panjang. Gas-gas rumah kaca mampu meneruskan 90% radiasi matahari pada kisaran panjang gelombang tampak.

Seluruh radiasi matahari yang masuk ke Bumi akan berubah menjadi radiasi gelombang panjang dalam bentuk inframerah. Seluruh radiasi yang dipancarkan oleh benda-benda Bumi adalah radiasi inframerah. Gas-gas rumah kaca dapat dimasuki oleh radiasi surya namun tidak mengijinkan radiasi inframerah untuk keluar. Sebagai akibatnya, suhu Bumi akan mengalami peningkatan karena terakumulasinya energi radiasi di Bumi. Bumi akan menyerap sebagian energi matahari dan memantulkan kembali sisanya. GRK pada troposfer Bumi mampu memancarkan sebagian besar radiasi matahari namun juga mampu menahan radiasi inframerah yang terkandung dalam pantulan tersebut. Akan tetapi ketika


(16)

GRK menyelimuti Bumi dengan kadar yang berlebihan, pantulan radiasi inframerah akan terperangkap di atmosfer sehingga suhu bumi meningkat lebih panas daripada suhu normal dalam jangka waktu yang lama (Cengel, 1997).

IPCC (Intergovernmental Panel of Climate Change) melaporkan bahwa Bumi mengalami kenaikan suhu sebesar 0,6°C pada abad ke-20 dibandingkan dengan suhu pada masa awal industrialisasi tahun 1750. Suhu Bumi diperkirakan akan terus meningkat hingga 2°C pada tahun 2100 dengan rata-rata peningkatan sebesar 0,1°C - 0,2 °C/dekade selama 5 dekade kedepan (IPCC, 1997). Angka-angka peningkatan suhu tersebut nampaknya merupakan perubahan yang kecil. Namun, perubahan kecil tersebut mulai menunjukkan dampak yang merugikan bagi kelanjutan hidup manusia.

Pemanasan global memiliki dampak yang mengancam kehidupan manusia dan dianggap sebagai permasalahan paling serius yang dihadapi oleh negara-negara di seluruh dunia. Hal tersebut dikarenakan pemanasan global dapat mempengaruhi kondisi ekonomi, ketahanan, dan stabilitas suatu negara di masa mendatang. Dampak pemanasan global meliputi meningkatnya tinggi permukaan laut, mengubah kondisi habitat tanaman dan tumbuhan, menimbulkan ancaman bencana alam seperti tornado, banjir dan longsor serta mempengaruhi perubahan sistem iklim kompleks (Mc Carl, 2000, Kompas 2008, dan Agus, 2008).

Gas-gas yang tergolong sebagai GRK adalah karbondioksida (CO2), metana

(CH4), nitrogenoksida (N2O), hidroflorokarbon (HFC), perflorokarbon (PFC), dan

sulfurheksaklorida (SF6). Keenam GRK tersebut adalah gas-gas berdasarkan


(17)

global. Gas-gas tersebut memiliki potensi pemanasan global yang diperhitungkan dalam potensi CO2 atau dikenal sebagai Global Warming Potential (GWP). GWP

merupakan besaran efek radioaktif GRK apabila dibandingkan dengan CO2

(Purwanta, 2009). GWP menunjukkan sekian ton CO2 setara dengan satu ton

GRK lainnya. Metana (CH4) memiliki GWP 21 kali CO2, sedangkan nilai GWP

untuk N2O, HFC, PFC dan SF6 berturut-turut adalah sebesar 310, 140-11.700,

6500-9.200, dan 23.900 kali CO2 seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Enam Jenis Gas Rumah Kaca Berdasarkan Protokol Kyoto No Gas Rumah Kaca (GRK) Potensi Pemanasan Global (GWP)

1 Karbondioksida (CO2) 1

2 Metana (CH4) 21

3 Nitrogenoksida (N2O) 310

4 Hidroflorokarbon (HFC) 140 – 11.700

5 Perflorokarbon (PFC) 6500 – 9200

6 Sulfurheksaklorida (SF6) 23.900

Sumber: Handayani, 2008

GRK berasal dari dua sumber utama yakni GRK yang terjadi secara alami dan GRK yang terjadi karena kegiatan manusia (anthropogenik). Sumber GRK anthropogenik dipercaya sebagai penyebab utama pemanasan global. Kegiatan manusia yang menimbulkan emisi GRK menurut laporan IPCC (IPCC Tehnical Paper 1, 1996) berasal dari 7 sektor, yakni dari sektor perumahan dan bangunan, transportasi, industri, energi, pertanian, kehutanan, dan limbah. Sektor pertanian memberikan emisi ≤ 1/5 dari total emisi global, dengan besar sumbangan emisi CH4 dan N2O sekitar 18 %. Sedangkan sisanya, sektor energi, transportasi dll

adalah sebesar 68%. Upaya penurunan GRK dari sektor pertanian diharapkan mampu menurunkan emisi setara 1,2 – 3,2 Gt/C per tahun dengan berbagai upaya yang dilakukan.


(18)

Kegiatan pertanian memberikan kontribusi emisi GRK yang besar dalam

pemanasan global. Lahan pertanian yang disirami dengan pupuk secara periodik menghasilkan emisi yang tidak sedikit jumlahnya. Pupuk dan peternakan

menyumbangkan emisi GRK sebesar 38% dan 31% dari total emisi sektor

pertanian (Anonim, 2007). Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari konsumsi sayuran dan daging, apalagi jumlah penduduk Bumi akan terus bertambah setiap tahunnya. Artinya, lebih banyak pupuk dan daging yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, maka semakin tinggi pula tingkat emisi GRK di atmosfer kita.

Emisi GRK yang dihasilkan oleh peternak susu dan daging diprediksikan akan meningkat hingga 60% pada tahun 2030. Sapi dan kerbau mampu menghasilkan metana dari proses fermentasi di dalam pencernaan maupun dalam proses

pembusukkan kotoran sapi. Hal serupa juga diulas oleh FAO dalam laporannya yang berjudul Livestock’s Long shadow: Environmental Issues and Option (2006). FAO menyatakan bahwa pemanasan global oleh emisi GRK yang terjadi saat ini berasal dari sektor peternakan sebesar 18 %, dimana 9 % adalah CO2 yang

dihasilkan dari proses penggunaan lahan, 37 % adalah CH4 yang dihasilkan dari

fermentasi pencernaan dan pembusukan kotoran, dan 65 % N2O bersumber dari

pupuk. Angka ini lebih besar dari efek pemanasan global yang dihasikan oleh alat transportasi dunia digabungkan. Hingga tercetuslah pemikiran untuk mengganti pola makan daging dengan pola makan vegetarian atau dengan kata lain berhenti makan daging.

Ancaman besar yang datang dari sektor peternakan perlu diantisipasi dengan baik. Sustainable agriculture menjadi solusi untuk mengamankan zona pertanian


(19)

menjadi zona zero emition. Antisipasi yang dapat dilakukan untuk mereduksi emisi GRK dari sektor pertanian dan peternakan adalah dengan menangkap GRK yang dihasilkan. Metana adalah jenis rumah kaca yang banyak dihasilkan dari proses peternak sapi dan kerbau sehingga teknologi penangkapan metana ini diharapkan akan memberikan kontribusi yang besar dalam upaya penurunan gas rumah kaca.

2.2 Upaya-upaya Penurunan GRK

Kepedulian terhadap upaya penurunan GRK di dunia diawali oleh organisasi asuhan PBB, Badan Meteorologi Dunia atau WMO (World Metrorological Organization). WMO mengadakan Konferensi Iklim Dunia yang pertama pada tahun 1979 ( Fralinda, 2011). Bukti-bukti ilmiah yang berhubungan antara pengaruh kegiatan manusia dan sistem iklim diperlihatkan pada konferensi tersebut. Pertemuan tersebut melahirkan sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa kegiatan manusia yang meningkatkan konsentrasi GRK mampu menaikkan suhu Bumi dan menyebabkan global warming.

Tahun 1985, WMO bekerja sama dengan Program Lingkungan PBB (UNEP- United Nation Environment Programme) melakukan pertemuan di Austria untuk melihat dampak karbondioksida dan GRK terhadap iklim. Akhirnya, mereka menyadari diperlukan antisipasi terhadap bahaya peningkatan konsentrasi GRK bagi kehidupan manusia dengan membentuk IPCC (Intergovernmental Panel of Climate Change) pada tahun 1988 (Wardhana, 2007). IPCC terdiri dari 1300 ilmuan terbaik dari seluruh dunia bertugas menyediakan data terkini yang


(20)

berkaitan dengan isu perubahan iklim, dampak yang ditimbulkan, serta strategi pencegahan dan adaptasi pemanasan global.

Selain itu, INC (Intergovernmental Negotiating Committee) dibentuk melalui majelis umum PBB pada tahun 1990 untuk merundingkan sebuah pertemuan mengenai perubahan iklim. Pertemuan diwujudkan dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC-United Nation Framework Convention on Climate Change) pada tahun 1992 yang juga merupakan salah satu keputusan penting dari Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janerio, Brazil. Dua butir ketetapan yang diambil adalah 1) Sasaran menstabilkan GRK pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia dan 2) Emisi harus ditekan ke tingkat emisi tahun 1990 (Handayani, 2008). Tujuan utama UNFCCC adalah untuk menstabilkan kembali konsentrasi GRK di lapisan udara pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim global.

INC mengadakan COP (Conference of Parties) ke-3 pada Desember 1997 di Kyoto, Jepang. Konferensi tersebut melahirkan kesepakatan yang mengatur usaha-usaha penurunan emisi GRK oleh negara maju, secara individu atau bersama-sama. Kesepakatan tersebut bernama Protokol Kyoto yang merupakan sarana teknis untuk mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim. Sasaran protokol ini adalah untuk melakukan reduksi GRK sebesar 5% dibawah level tahun 1990 dalam periode 2008 – 2012 (Pasal ke-3 (1) Kyoto Protocol, 1998).

Indonesia menunjukkan kepedulian terhadap bahaya peningkatan GRK dengan turut berperan aktif dalam menghadiri berbagai konvensi internasional. Tahun 2007 Indonesia dipercaya untuk menggelar ajang pertemuan internasional


(21)

UNFCC, yakni COP (Conference of Parties) ke-13 di Bali. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan Bali Action Plan yang ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Perpres No.61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional, Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (terdiri dari 12 pasal). Di dalam peraturan tersebut presiden menginstruksikan setiap kepala daerah untuk

menurunkan emisi GRK di daerah masing-masing sesuai potensi penurunan yang memungkinkan.

Indonesia juga telah meratifikasi beberapa kesepakatan konvensi internasional seperti Amandemen Kopenhagen, Protokol Montreal, Amandemen Beijing, Protokol Kyoto, Konvensi Wina, dan UNFCCC (Unit Ozon Nasional, 2007). Menindaklanjuti segala kesepakatan internasional tersebut, Presiden Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK dalam pertemuan G-20 di Pittsburg yakni sebesar 26 % menggunakan usaha nasional dan mencapai 41 % dengan bantuan internasional. Alokasi penurunan GRK dititikberatkan pada 5 sektor utama yakni kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, dan limbah (Tabel 2).

Tabel 2. Alokasi Penurunan GRK Nasional Tahun 2020

Sektor Target Penurunan (Gton CO2 e)

26 % 41%

Kehutanan dan lahan gambut 0.672 1.039

Pertanian 0.008 0.011

Energi dan transportasi 0.036 0.056

Industri 0.001 0.005

Limbah 0.048 0.078

Total 0.767 1.189


(22)

2.3 Mitigasi dan Adaptasi GRK di Provinsi Lampung

Definisi mitigasi menurut Perpres No.71 Th. 2011 adalah “usaha pengendalian untuk mengurangi resiko akibat perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan GRK dari berbagai sumber emisi”. Mitigasi di tingkat daerah mutlak diperlukan untuk mencegah

meningkatnya dampak buruk pemanasan global. Pemerintahan daerah Lampung melalui Peraturan Gubernur Lampung No.14 tahun 2011 tentang Perlindungan Lapisan Ozon Provinsi Lampung telah menyatakan kesediaan daerah untuk membantu mengoptimalkan upaya pemerintah nasional untuk menurunkan emisi GRK.

Adaptasi merupakan upaya penyesuaian diri terhadap akibat peningkatan GRK berupa perubahan iklim dan pemanasan global. Upaya adaptasi dilakukan di berbagai aspek kehidupan. Sektor utama adaptasi ada pada sektor kebencanaan dan kesehatan karena sektor ini dianggap vital. Contoh upaya adaptasi yakni perencanaan SDA dalam hal pengelolaan dan penghematan air dan pertanian. Atau juga dalam hal penyesuaian aspek ekonomi terhadap dampak negatif pemanasan global.

2.4 Reduksi GRK Melalui Pemanfaatan Biogas

Salah satu solusi yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai upaya

penurunan GRK adalah dengan melakukan penangkapan gas metana atau methane trapping. Lebih lanjut, teknologi ini lebih dikenal dengan teknologi biogas. Biogas adalah produk dari proses fermentasi dan degradasi bahan-bahan organik pada kondisi anaerobik atau tanpa oksigen. Proses tersebut dibantu oleh bakteri


(23)

metanogen yang akan memproduksi gas metana (Kossmann, 2000). Biogas merupakan sumber energi baru terbarukan.yang dianggap unggul untuk menggantikan bahan bakar fossil oleh Haryati (2006) dan dipertimbangkan sebagai salah satu pemecahan masalah untuk fenomena peningkatan emisi GRK di dunia (Bird dan Sumner, 2011). Biogas dapat dihasilkan dari limbah kotoran hewan, limbah cair industri serta limbah padat perkotaan.

Tabel 3. Komposisi Biogas Menurut Beberapa Sumber

No Gas Haryati

% (2006)

Wahyuni % (2011)

Isdiyanto % (2009)

1 Metana (CH4) 65,7 65-75 58,8

2 Karbondioksida (CO2) 27,0 25-30 30,2

3 Nitrogen (N2) 2,3 >1 5,6

4 Hidrogen (H2) - >1 -

5 Karbon Monoksida (CO) - - -

6 Hidrogen Sulfida (H2S) - >1 605 ppm

Komponen utama biogas adalah metana dan karbondioksida. Setiap tahun diperkirakan sekitar 590-880 juta ton metana dilepaskan ke atmosfer dari hasil aktivitas mikroba (Kossmann, 2000). Menurut Haryati (2006), kandungan metana pada biogas dari kotoran sapi adalah sebanyak 65,7 %, sedangkan menurut

Isdiyanto et.al kandungan metana pada biogas adalah sebesar 58,8%. Komposisi terbesar kedua setelah metana adalah karbondioksida yakni sebesar 27-30%. Komposisi biogas dari beberapa sumber pustaka disajikan dalam Tabel 3.

Produksi biogas dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni keasaman bahan organik (PH), jumlah bahan organik (feed), jumlah bakteri fermentasi, lama waktu tinggal (HRT) serta suhu reaktor (Cahyani, 2011). Penelitian Costa (2011) menunjukkan bahwa produksi biogas maksimum berlangsung pada suhu 38˚C. Setiap kenaikan suhu 2˚C produksi biogas akan meningkat sebanyak 3,1 %.


(24)

2.4.1 Keunggulan Biogas

Setiap orang memerlukan energi (bahan bakar) untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka (memasak, penerangan, transportasi dan sebagainya).

Perkembangan energi yang berkelanjutan (sustainable) diperlukan demi tercapainya ketahanan energi, namun tetap memberikan efek positif terhadap lingkungan. Biogas dapat menjadi jawaban akan permasalahan krisis energi dan penyelamatan lingkungan mengingat biogas mampu menyediakan energi baru terbarukan yang tidak akan habis digunakan.

Laporan IPCC keempat (The IPCC Fourth Assesment Report) menyatakan bahwa bahan bakar fossil memasok 85 % dari total persediaan bahan bakar di dunia pada tahun 2004 dan 2008. Pembakaran bahan bakar fosil tersebut menyumbangkan 56,6 % dari total GRK antropogenik di seluruh dunia (Moowaw, et al, 2011). Berbeda dengan bahan bakar fosil, bahan bakar terbarukan seperti biogas hanya menyumbang sedikit sekali bahkan nol emisi CO2.

Teknologi biogas telah berkembang dengan baik untuk dapat diaplikasikan dan tergolong sederhana untuk dapat ditiru oleh masyarakat luas. Biogas memiliki tekanan gas yang tergolong rendah sehingga tidak akan meledak seperti halnya gas cair petroleum (LPG). Selain itu, biogas tidak menimbulkan asap (smokeless), hal ini membuat biogas menjadi lebih menyehatkan bagi ibu-ibu yang melakukan kegiatan masak-memasak setiap harinya bila dibandingkan dengan penggunaan kayu bakar.

Biogas merupakan sumber bahan bakar alternatif yang sangat tepat untuk menggantikan LPG atau minyak tanah. Masyarakat akan mendapatkan dua


(25)

keuntungan dengan menggunakan biogas, yakni mereka akan memiliki sumber energi sendiri (mandiri) dan penghematan uang belanja karena tidak perlu lagi membeli bahan bakar fosil yang harganya terus meningkat. Lebih jauh, keuntungan secara tidak langsung juga terjadi ketika biogas dibakar untuk memasak maka GRK berupa metana tidak akan mengotori atmosfer. Selain itu juga terdapat penyimpanan GRK dari subtitusi LPG/minyak tanah yang tidak digunakan (Pathak, 2008).

Nilai tambah kotoran sapi akan semakin meningkat ketika digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas. Selama ini, kotoran sapi hanya menimbulkan masalah lingkungan karena baunya yang tidak sedap sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat. Pemanfaatan kotoran sapi hanya sebatas sebagai pupuk organik. Akan tetapi, teknologi biogas juga menghasilkan produk samping berupa ampas (slurry) atau kotoran tidak berbau yang juga dapat digunakan sebagai pupuk organik. Penurunan nilai GRK juga terjadi ketika pupuk kimia disubtitusi dengan pupuk organik. Pupuk kimia melepaskan emisi N2O saat digunakan di

lahan pertanian. N2O sangat berbahaya karena memiliki nilai potensi GRK

sebesar 310 setara CO2 (Tabel 1).

2.4.2 Tipe-Tipe Digester Biogas

Digester atau reaktor merupakan wadah/lokasi utama terjadinya proses perombakan alami kotoran sapi yang dibantu oleh bakteri anaerobik untuk

memproduksi biogas. Digester dilindungi oleh sebuah penutup rapat impermeable untuk menangkap biogas yang dihasilkan. Digester dirancang untuk membantu proses fermentasi bahan organik. Jenis-jenis digester biogas yang berkembang saat ini sangat beragam. Bentuk, ukuran dan sistem pengelolaan digester


(26)

berbeda-beda disesuaikan dengan tujuan pemilik digester dan sumber bahan baku digester Klasifikasi paling utama dalam tujuan pengoperasian reaktor anaerobik adalah untuk mengubah padatan limbah menjadi biogas. Manfaat pengolahan kotoran sapi pada digester anaerob menurut Burke (2001) adalah:

 Menurunkan massa padatan terlarut

 Mengurangi produksi bau (odor) yang dibuang ke lingkungan

 Memproduksi efluen yang bersih sebagai kebutuhan air dan atau irigasi  Menghasilkan energi

 Menghasilkan lingkungan yang bersih nonpatogen (eco-friendly)  Mereduksi emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

2.4.2.1 Tipe Digester Berdasarkan Cara Pengisian

Model pengisian material umpan ke dalam reaktor yang paling dikenal terbagi menjadi dua yaitu, model feeding continouse dan model feeding batch.

Model feeding continouse merupakan model pengisian yang dilakukan secara kontinyu dalam periode waktu tertentu. Kotoran atau limbah yang masuk sebagai influen akan sama dengan efluen yang dikeluarkan (first in – first out). Limbah efluen secara periodik akan dikeluarkan (removed) dari reaktor. Model ini biasanya digunakan oleh pengolahan limbah sistem CoLAR atau UASB karena beban polutan terbilang sangat tinggi. Di beberapa tempat, pengisian umpan biogas menggunakan kotoran sapi juga telah memanfaatkan sistem ini. Model feeding continouse tergolong lebih praktis dan efisien.


(27)

Model pemasukan feeding batch adalah model pengumpanan yang dilakukan dengan memasukkan bahan organik ke dalam reaktor dan dilanjutkan dengan pemrosesan anaerobik dalam durasi waktu tertentu. Reaktor ini membutuhkan bantuan starter berupa bakteri yang siap mencerna bahan organik. Jika proses telah dianggap selesai maka tangki reaktor akan dikosongkan dan diisi kembali dengan limbah segar.

2.4.2.2 Tipe Digester Berdasarkan Proses Menghasilkan Biogas

Digester anaerobik telah berkembang sejak 50 tahun yang lalu. Pengoperasian digester anaerobik telah menyebar di seluruh dunia. Berikut ini adalah beberapa jenis digester yang telah dikembangkan dan digunakan menurut Burke, 2001.

A. Fixed Film Reactor

Fixed film reaktor merupakan reaktor yang terbuat dari film tipis permanen. Proses anaerobik yang terjadi dilakukan dengan kecepatan tinggi (high rate). High rate yang dimaksud adalah masa retensi hidrolik limbah di dalam reaktor anaerobik dilakukan lebih cepat dari 20 hari menjadi beberapa jam. Berbagai macam biofilm digunakan untuk menahan bakteri sebagai pembawa (carier) substrat, bisa dalam bentuk manik plastik (plastic beads), pasir, atau media lainnya.

Bakteri pengurai akan mengubah limbah menjadi gas dengan tanpa melakukan hidrolisis dan proses degradable lainnya. Substrat dan padatan akan menempel pada biofilm atau media biomass lain dalam kondisi yang tidak terurai.


(28)

Gambar 1. Fixed Film Reactor

Reaktor jenis fixed film reactor tidak cocok untuk pengolahan limbah kotoran sapi karena tidak mampu mendegradasi padatan terlarut menjadi gas secara sempurna. Padatan soluble dari kotoran sapi dapat dihilangkan oleh reaktor ini namun hanya fraksi energi yang dapat diperoleh.

B. The Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB) dan Baffled Reactor

Digester yang saat ini digunakan secara luas oleh sektor perindustrian adalah reaktor jenis UASB atau reaktor upflow anaerobic sludge blanket. Reaktor ini adalah jenis yang paling efektif dalam mendegradasi bahan organik soluble, seperti gula menjadi gas metana.

Baffled Reactor UASB

Gambar 2. Reaktor UASB dan Baffled Reactor Filter


(29)

C. Covered Lagoon Anaerobic Reactor (CoLAR)

Anaerobic lagoon adalah digester berbentuk kolam besar yang tertutup. Reaktor jenis ini biasanya digunakan untuk limbah cair industri dengan beban polutan tinggi setiap harinya. Kolam ditutupi dengan plastik HDPE setebal 1 mm dan bersifat permanen. Lubang efluen dan influen berada pada dua sisi yang

berlainan. Lagoon beroperasi pada suhu termofilik atau suhu bawah tanah yang dipengaruhi oleh cuaca.

Gambar 3. Digester CoLAR

Kecepatan produksi gas di dalam reaktor tergolong sangat lamban. Keuntungan penggunaan reaktor sistem CoLAR adalah biaya pembangunannya yang tergolong murah.

D. Completely Stirred Tank Reactor (CSTR)

Jenis reaktor anaerobik yang paling umum adalah completely stirred tank reactor atau CSTR. Sebagaian besar pengolahan limbah kotoran hewan dan limbah cair industri menggunakan jenis reaktor ini untuk mengubah bahan organik limbah menjadi gas. Digester CSTR adalah digester berupa tangki yang diberi pemanas dan pengaduk.


(30)

Gambar 4. Completely Stirred Tank Reactor

Digester CSTR bekerja pada suhu mesofilik dengan pasokan energi yang cukup untuk meningkatkan suhu di dalam reaktor. Biaya operasional penggunaan reaktor ini sangat mahal karena membutuhkan perawatan khusus. Lama tinggal bahan pada reaktor ini berkisar antara 10-20 hari.

E. Plug Flow Digester

Plug flow digester merupakan jenis reaktor yang paling sederhana dibandingkan dengan reaktor lainnya namun. Namun, tingkat efisienreaktor ini lebih rendah dan menghasilkan gas yang juga lebih sedikit. Reaktor ini dapat berbentuk horizontal maupun vertikal.


(31)

Secara periodik, substrat reaktor harus dikeluarkan dari dalam tangki reaktor. Reaktor harus dimatikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengosongan reaktor. Belum ada cara pengosongan yang lebih mudah daripada cara tersebut. Plug flow digester dipanaskan menggunakan sistem pipa air panas dibawah reaktor.

2.4.2.3 Digester Skala Rumah Tangga

Digester skala rumah tangga menurut Kossman (2000) adalah Fixed-Dome Plant, Floating Drum-Plants, dan Ballon Plants.

A. Fixed-Dome Plants

Fixed-Dome Plants merupakan tipe digester biogas yang dibuat dengan konstruksi permanen menggunakan bahan semen, beton dan batu bata. Rancang bangun reaktor ini sebagian besar terpendam di dalam tanah sehingga mampu melindungi digester dari bahaya kerusakan fisik dari luar dan tergolong aman bagi kehidupan bakteri pengurai di dalam tangki pengurai. Suhu yang berfluktuasi akibat

perubahan cuaca dan sinar matahari matahari mampu mempengaruhi kondisi bakteri perombak.

Keuntungan dari penggunaan digester ini adalah kemampuannya bertahan selama lebih dari 20 tahun. Namun, biaya untuk membangun digester memang relatif lebih mahal. Bentuk umum Fixed-Dome Plants dapat dilihat pada Gambar 10. Bagian-bagian utama dari digester Fixed-Dome Plants adalah sebuah lubang masukan, tangki pencerna kotoran sapi anaerob, ruang penyimpan gas (gas holder), lubang pengeluaran dan tempat penyimpan slurry (pupuk organik). Lokasi penyimpanan biogas menyatu dengan kotoran (sludge) yang akan


(32)

didegradasi oleh bakteri. Pipa penyalur gas dipasang di bagian atas reaktor menuju kompor biogas.

Gambar 6. Fixed-Dome Plants: 1.Lubang inlet, 2. Digester, 3. Tanki pemindah slurry, 4. Gasholder, 5. Pipa penyalur gas, 6. Entry hatch, 7. Sludge, 8. Lubang outlet, 9. Lubang keluar ampas 10. Batas sludge-biogas (Sumber: Kossman, 2000)

Digester fixed-dome Plants telah berkembang di seluruh dunia. Negara asal pengguna digester ini adalah Cina. Tipe digester fixed-dome plants yang berkembang saat ini sesuai dengan negara asal pengembangnya. Fixed-dome plants asal Cina telah dibangun jutaan unit dan masih digunakan hingga saat ini. Konstruksi dari Cina berupa ruangan silinder yang sangat dalam menyerupai bola.

Janata Model berasal dari India memiliki beberapa kekurangan karena mudah retak dibagian dalam. Digester Janata tidak dibangun lagi sekarang namun digantikan dengan model yang lebih baiik yakni model Deenbandhu. Terakhir, tipe digester dari Tanzania bernama CAMARTEC model. Konstruksi tipe ini berupa setengah bola dengan pondasi seperti cincin.


(33)

Floating Dome Plants atau reaktor kubah mengapung merupakan jenis digester yang berbentuk kubah silinder dengan sebuah ruang penampung gas yang mampu bergerak dan mengapung. Digester terbuat dari bahan batu atau batu bata dengan tambahan semen untuk menghaluskan dinding. Ruang penampung gas

menggunakan drum dengan tebal 2,5 mm. Drum harus diberi perlindungan tambahan untuk mencegah korosi yakni berupa lapisan cat minyak, cat sintetik atau cat aspal. Pelapisan cat pada drum diperbaharui setiap bulan untuk mendapatkan hasil yang baik. Rancangan Floating Dome Plants dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.

Gambar 7. Floating-Dome Plants. 1. Kolam pengadukan bahan,. 11. Pipa inlet, 2. Reaktor anaerobik, 3. Penampung gas, 31. Atap, 4. Slurry, 5. Pipa penyalur

(Kossman, 2000)

Pelapisan warna hitam dan merah akan memberikan hasil produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan warna putih karena produksi biogas dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari. Penambahan sebuah atap untuk melindungi drum dari air hujan dan cahaya matahari sangat disarankan. Penggunaan drum sebagai


(34)

penampung gas memang tergolong merugikan karena ancaman pengkaratan logam. Penggantian drum besi dengan drum plastik/fiber dapat dilakukan namun, biaya operasional tergolong lebih mahal.

Digester jenis Floating-Dome Plants banyak dibangun dan digunakan di India. Digester ini memiliki beberapa model yang banyak berkembang. Model KVIC merupakan model tertua yang berkembang di India disusul dengan digester model Pragati yang berbentuk setengah bola, dan model Ganesh berbahan besi dan fiber. Model yang memberikan performa terbaik didapatkan dari model Borda yang memberikan produk gas yang stabil dan umur digester lebih lama.

C. Baloon Plants (Plastic Tunnel)

Baloon Plant merupakan jenis digester kantung berbahan plastik berbentuk balon silinder yang digunakan pada bagian reaktor dan penampung gas. Lubang

masukan inlet dan outlet berada pada kedua ujung plastik. Sedikit berbeda dengan tipe digester lainnya, kantung penampung gas dibuat secara terpisah dengan reaktor anaerobik. Biogas yang dihasilkan akan disalurkan menuju kantung penampungan gas dan kompor biogas dibantu dengan selang plastik atau pipa PVC.


(35)

Digester biogas jenis Baloon Plants banyak digunakan di Indonesia (Gambar 8). Tekanan pada digester dapat ditingkatkan dengan meletakkan pemberat di atas plastik. Klep pengaman dibutuhkan ketika tekanan gas melebihi batas yang mampu ditampung oleh penampung gas. Klep pengaman sederhana dapat dibangun dengan memberikan air pada sebuah botol atau kaleng yang saling berhubungan dengan penampung gas.

Digester jenis Baloon Plants memiliki beberapa keuntungan diantaranya: biaya pembangunan relatif lebih murah dari digester jenis lain, pembuatan lebih cepat dan mudah ditiru, serta perawatan dan pembersihan yang relatif lebih mudah. Namun, digester ini juga memiliki kelemahan yakni umur pemakaian yang lebih singkat yakni 2-4 tahun, tekanan rendah memungkinkan tambahan pompa penarik gas, dan lebih mudah rusak.

2.4.3 Proses Produksi Biogas

Proses produksi biogas dibantu oleh berbagai kelompok mikroba yang berasal dari berbagai jenis bakteri kompleks. Proses pencernaan anaerobik di dalam reaktor biogas biasanya terbagi dalam tiga tahap yakni tahap hidrolisis, tahap

acidogenesis dan acetogenesis, serta tahap metanogenesis (Kossman, 2000; Handayani, 2008; dan Wahyuni 2011 ). Proses pencernaan anaerobik dapat dilihat pada Gambar 4.

2.4.3.1 Tahap Hidrolisis

Hidrolisis adalah pemisahan (lysis) suatu senyawa organik yang dibantu oleh air (hydro). Tahap pertama dalam proses degradasi anaerob adalah proses hidrolisis


(36)

enzimatik yakni proses perombakan bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim.

Gambar 9. Tahapan Proses Pencernaan Anaerobik Bahan organik kompleks

(Karbohidrat, Protein, dan Lemak)

Monosakarida, Asam amino

Bakteri

Tahap Hidrolisis

Bakteri

H2 + CO2 Asam propionat

Asam butirat Asam laktat Alkohol

H2 + CO2 Asam asetat

Tahap Acidogenesis dan Acetogenesis

Asam asetat

Bakteri

CH4 + CO2

Tahap Metanogenesis

Sumber: Wahyuni, 2011 Asam lemak

Alkohol


(37)

Enzim-enzim yang melakukan proses hidrolisis adalah enzim selulase, amilase, protase, dan lipase. Enzim tersebut akan menyederhanakan tiga bahan organik utama yang terkandung di dalam limbah yakni protein, lemak dan karbohidrat. Ketiga polimer akan disederhanakan menjadi monomer-monomernya. Lemak diubah menjadi gliserol dan asam lemak berantai panjang, protein disederhanakan menjadi peptida dan asam amino, sedangkan karbohidrat menjadi monosakarida.

Proses hidrolisis karbohidrat, protein, dan lemak mampu memproduksi metana secara langsung sebelum dibantu oleh tahapan metanogenesis. Metana yang dihasilkan dipengaruhi oleh substrat yang dikandung. Karbohidrat mampu menghasilkan metana 50:50 terhadap karbondioksida, protein menghasilkan metana dengan perbandingan 55:45, sedangkan lemak menghasilkan metana dengan perbandingan 40:17. Reaksi lebih lanjut ditampilkan pada persamaan berikut:

a) Karbohidrat (50:50)

CnHn-2On-1 + nH2O 0,5nCH4+ 0,5 nCO2 ... (1)

b) Protein (55:45)

C10H20O6N2 + 3H2O 5,5CH4 + 4,5CO2 + 2NH3 ....(2)

c) Lemak (40:17)

C54H106O6 + 26H2O 40CH4 + 17CO2 ...(3)

2.4.3.2 Tahapan Acidogenesis dan Acetogenesis

Bakteri asam berperan dalam tahapan acidogenesis. Bakteri ini merombak bahan yang telah didegradasi pada tahapan hidrolisis menjadi berbagai produk akhir


(38)

berupa asam-asam format seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam laktat, serta alkohol.

Contoh reaksi perombakan glukosa;

C6H12O6 CH3COOH (Asam asetat) ...(4)

C6H12O6 CH3CH2COOH + 2CO2 +2H2 (Asam butirat) ....(5)

C6H12O6 CH3CH2COOH + 2CO2 (Asam propionat) ....(6)

C6H12O6 2CH3COOH (Asam Laktat) ...(7)

Asetat, format, metanol dan metilamin dapat langsung diubah menjadi metana melalui bantuan bakteri pembentuk metana (methane-forming bacteria) dalam proses metanogenesis. Namun, bahan-bahan seperti etanol, butirat, dan propionat memerlukan fermentasi lanjutan melalui tahapan acetogenesis. Pada tahapan acetogenesis bahan-bahan tersebut diubah menjadi menjadi asam asetat

(CH3COOH), hidrogen (H2), dan karbondioksida (CO2) yang dibantu oleh bakteri

pembentuk asetat (Gerardi, 2003).

2.4.3.3 Tahapan Metanogenesis

Tahap metanogenesis merupakan fase akhir dari proses pencernaan anaerobik. Produk utama proses metanogenesis adalah metana yang dihasilkan dari

perombakan asam asetat, gas hidrogen, dan karbondioksida. Chernicharo (2007) menyatakan bahwa kelompok mikroorganisme pengurai pada proses


(39)

Dua kelompok mikroorganisme tersebut adalah :

 Mikroorganisme pengurai asetat (aceticlastic methanogens)

 Mikroorganisme pengurai hidrogen (hydrogenothropic methanogens)

Kelompok pertama, aceticlastic methanogens, merupakan kumpulan

mikroorganisme yang menggunakan bahan asetat dan alkohol menjadi metana. Kelompok ini bertanggung jawab atas 60-70 % dari total metana yang dihasilkan. Mikroorganisme yang tergolong dalam kelompok aceticlastic methanogens adalah bakteri Methanosarcina dan bakteri Methanosaeta.

Aceticlastic Methanogens :

CH3COOH CH4 + CO2 ...(8)

CH3CH2COOH + ½ H2O 7/4 CH4 + CO2 ...(9)

Kelompok kedua, hydrogenothropic methanogens, menggunakan hidrogen sebagai substrat utama penghasil metana. Jenis mikroorganisme pengurai hidrogen yang paling sering ditemukan adalah Methanobacterium,

Methanispirillum, dan Methanobrevibacter. Hydrogenothropic Methanogens :

4H2 + CO2 CH4 + 2H2O...(10) 2.4.4 Kondisi yang Mempengaruhi

2.4.5 Digester Anaerob

Kecepatan produksi biogas sangat bergantung pada kondisi digester anaerob. Digester anaerob mampu bekerja pada kondisi tertentu, dimana kondisi tersebut sangat berpengaruh sensitif terhadap tumbuh kembang bakteri-bakteri pembentuk metana. Kehidupan bakteri di dalam reaktor sangat dipengaruhi oleh suhu,


(40)

keasaman (PH), alkalinitas, serta karakteristik kotoran sapi sebagai bahan masukan.

2.4.4.1 Alkalinitas dan Derajat Keasaman (PH)

Alkalinitas penting dalam mengontrol tingkat PH yang sesuai. Alkalinitas

berperan sebagai zat penyangga (buffer) yang mencegah terjadinya perubahan PH yang ekstrem. Aktivitas enzimatik di dalam reaktor anaerobik sangat dipengaruhi oleh kondisi keasaman (PH), dimana mikroorganisme pendekomposisi bahan organik akan mampu hidup pada rentang PH tertentu. Aktivitas enzim pada bakteri pembentuk asam-asam bekerja pada kondisi masam, > 5 (Gerardi, 2003).

Kondisi PH berangsur-angsur akan mengalami penetralan sejalan dengan bertambahnya masa waktu hidrolik di dalam reaktor. PH di dalam reaktor anaerobik berkurang dengan bertambahnya produksi asam-asam volatil. Bakteri penghasil metana akan mengonsumsi asam volatil sehingga alkalinitas dihasilkan melalui konversi asam volatil menjadi metana dan karbondioksida. Banyaknya karbondioksida mampu mempengaruhi alkalinitas.

Tabel 4. Jenis-jenis Bakteri Sesuai Kondisi Keasaman

No Genus PH

1 Methanosphaera 6.8

2 Methanothermus 6.5

3 Methanogenium 7.0

4 Methanolacinia 6.6–7.2 5 Methanomicrobium 6.1–6.9 6 Methanospirillium 7.0–7.5 7 Methanococcoides 7.0–7.5 8 Methanohalobium 6.5–7.5

9 Methanolobus 6.5–6.8

10 Methanothrix 7.1–7.8


(41)

Alkalinitas mampu menetralkan PH didalam reaktor. Bakteri pembentuk metana akan bekerja pada PH 6,8 - 7,8. Kondisi keasaman yang sesuai dengan 10 jenis bakteri pembentuk metana ditampilkan pada Tabel 4.

Pelepasan karbondioksida mampu menghasilkan asam karbonat, bikarbonat alkali dan karbonat alkali. Pelepasan amonia akan menghasilkan ion amonia. Berikut reaksi ionisasi karbondioksida dan amonia yang terjadi:

CO2+ H2O ↔H2CO3 ↔ H+ + HCO3- ↔ H+ + CO3-2 ...(11)

NH3 + H+ ↔ NH4+ ...(12)

2.4.4.2 Temperatur

Keberhasilan tingkat produktivitas biogas salah satunya ditentukan oleh faktor suhu. Suhu menjadi satu kunci penting pada digester anaerob karena suhu dapat mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Bakteri pengurai bahan organik mampu hidup dan berkembang pada berbagai rentang suhu Secara umum, bakteri

dekomposisi bahan organik bekerja pada suhu 0˚C hingga 69˚C. Namun, pada suhu dibawah 16˚C reaksi berjalan sangat lamban. Costa (2011) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa suhu paling optimal dalam proses produksi biogas tipe horizontal terjadi pada suhu 35˚C dengan bantuan pengadukan pada digester. Tidak jauh berbeda, Isdiyanto dkk (2009) menyatakan bahwa suhu optimal produksi biogas berlangsung pada suhu 30˚C –35 ˚C. Tabel 5 menunjukkan tingkat produksi metana pada rentang suhu tertentu.


(42)

Tabel 5. Rentang Suhu Terhadap Produksi Metana No Temperatur (˚C) Produksi Metana

1 35 Optimum

2 32-34 Minimum

3 21-31 Sedikit, digester mulai menjadi masam 4 <21 Nol, digester telah masam

Sumber : Gerardi (2003)

Gerardi (2003) membagi kelompok bakteri menjadi empat sesuai dengan kemampuannya berkembang dalam rentang suhu tertentu (Tabel 6). Keempat kelompok tersebut adalah Psikofilik, Mesofilik, Thermofilik, dan

Hiperthermofilik.

Tabel 6. Macam Suhu Sesuai Jenis Bakteri Pembentuk Metana No Grup Bakteri Rentang suhu (˚C)

1 Psikofilik 5-25

2 Mesofilik 30-35

3 Thermofilik 50-60

4 Hiperthermofilik >65

Sumber : Gerardi (2003)

Sebagian besar bakteri penghasil metana bekerja pada dua rentang suhu yakni, mesofilik (30˚C-35˚C) dan thermofilik (50˚C-60˚C). Sejumlah bakteri mampu hidup pada kondisi psikofilik (5˚C - 25˚C) dan hiperthermofilik ( >65˚C), namun laju reaksi yang terjadi sangat lamban bahkan nol. Suhu paling baik bagi

perkembangan bakteri penghasil metana berada pada suhu mesofilik, dimana memberikan keuntungan yang positif bagi kondisi alam Lampung yang tropis.

2.4.4.3 Waktu Tinggal Hidrolik (HRT)

Sebagian besar sistem digester anaerobik dirancang untuk menahan limbah dalam masa waku yang ditentukan. Lamanya waktu material limbah tersimpan di dalam reaktor disebut lama retensi hidrolik atau waktu tinggal hidrolik (HRT). HRT


(43)

merupakan hasil pembagian antara volume tangki terhadap kecepatan aliran atau debit kotoran (massa per waktu) dalam satuan waktu (Burke, 2001).

...(13) Proses perubahan padatan terlarut menjadi gas dalam reaksi anaerobik sangat bergantung pada HRT. Lamanya waktu retensi berpengaruh dalam banyaknya produksi metan yang dihasilkan.

Gambar 10. Hubungan Antara HRT, Suhu, dan TS

Gambar 10 menunjukkan hubungan antara HRT, suhu dan total padatan (TS). Pada suhu mesofilik 30-35˚C, waktu ideal yang dibutuhkan adalah selama 40-50 hari. Nilai TS yang direkomendasikan untuk memperoleh tingkat keberhasilan dekomposisi kotoran yang baik adalah 8%.

2.4.4.4 Karakteristik Kotoran

Karakteristik kotoran menjadi satu hal yang mempengaruhi produksi biogas karena jenis bahan yang terkandung di dalam kotoran akan mempengaruhi reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam reaktor anaerobik. Kandungan bahan organik utama pada limbah adalah karbohidrat, protein dan lemak.


(44)

Tabel 7. Kandungan Kotoran Sapi

No Komponen Persentase (%)

1 Kadar air 70-80

2 Hemiselulosa 20-30

3 Selulosa 20-30

4 Lignin 7

6 Protein sederhana 12

7 Lemak 3-5

Sumber : Dungait, 2010

Menurut Dungait, 2010 kotoran sapi kering yang diberi pakan rumput (Lolium perenne) dan tanaman jagung (Z. mays) mengandung 30% hemiselulosa, 20-30% selulosa, 7% lignin, 12% protein sederhana dan 3-5% lemak (Tabel 7). Karbohidrat, protein, dan lemak mampu menghasilkan metana dan

karbondioksida dengan perbandingan 50:50, 55:45, dan 40:17. Komposisi protein yang tinggi akan menghasilkan metana yang lebih besar.

2.4.4.5 Total Solid dan Volatile Solid

Produksi biogas pada proses perombakan bahan-bahan biologis secara anaerobik dipengaruhi oleh jumlah dan jenis material yang diumpankan ke dalam reaktor. Total Solid (TS) dan Volatile Solid (VS) merupakan parameter-parameter yang digunakan untuk mengetahui kemampuan produksi biogas dari suatu bahan. Total solid (TS) mampu memberikan informasi mengenai jumlah materi padat yang terkandung dalam limbah/bahan organik selama proses digester terjadi, serta mengindikasikan laju penghancuran/pembusukan padatan limbah organik. Sedangkan Volatile Solid atau VS merupakan bagian padatan yang berubah menjadi fase gas (Saragih, 2010).


(45)

Tabel 8. Produksi Biogas Dari Berbagai Jenis Material Limbah Bahan Organik Produksi biogas (m3/kg TS)

Kotoran Sapi 0,2 - 0,5

Kotoran Ayam 0,31

Kotoran Itik 0.46 - 0.56

Kotoran Domba 0.37 - 0.61

Kotoran Babi 0,49-0,76

Algae 0,32

Sumber : National academy of science, 1977.

Umumnya, produksi gas yang rendah akan diperoleh ketika limbah tidak dapat didekomposisi dengan baik (less biodegradable). Asupan makanan dan kesehatan hewan ternak juga mampu mempengaruhi kualitas dan kuantitas kotoran, yang secara tidak langsung akan memperngaruhi kualitas biogas. Produksi biogas maksimum dari limbah kotoran sapi sebanyak 0,5-0,6 m3/kg TS dapat dicapai jika material terdegradasi dengan sangat baik. Seperti dapat dilihat pada Tabel 8, produksi biogas per kg kotoran kering (TS) sapi adalah sebesar 0,2 hingga 0,5 m3/kg bahan kering (National academy of science, 1977).

Tabel 9. Kaitan Produksi Biogas Terhadap Reduksi VS

Beban VS Reduksi VS HRT Produksi Biogas

Kg/m3/hari % Hari m3/hari

1,17 22,8 50 0,22

2,40 19,5 25 0,42

3,76 14,4 17 0,52

5,29 14,2 12 0,47

Sumber : Mohanrao, 1974

Dikutip dari National academy of science (1977), kualitas gas yang diproduksi juga dipengaruhi oleh jumlah material limbah yang diumpankan pada setiap unit digester dengan kapasitas tertentu (Loading rate). Loading rate yang

direkomendasikan adalah sebesar 0,48 – 1,6 kg per m3/hari dengan lama waktu retensi hidraulik (HRT) 30 – 90 hari. Tabel 9 menunjukkan hasil produksi biogas


(46)

berbahan baku kotoran sapi pada digester skala laboratorium berkapasitas 1 m3 dan volume penampung gas sebesar 0,69 m3.Peningkatan reduksi TS dengan loading rate yang rendah membutuhkan waktu retensi yang lebih lama (50 hari), namun produksi biogas yang dihasilkan akan menjadi lebih kecil (0,22 m3/hari).

2.4.4.6 COD

Chemical Oxygen Demand (COD) adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau miligram per lilter yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk mengoksidasi bahan organik. Limbah organik akan dioksidasi oleh kalium bikromat (K2Cr2O7)

sebagai sumber oksigen menjadi gas CO2 dan H2O serta sejumlah ion chrom.

Nilai COD digunakan sebagai parameter tingkat pencemaran bahan organik (Nurhasanah, 2009).

2.4.4.7 C/N Rasio

Bakteri dan mikroba memerlukan unsur makro dan mikro seperti karbon,nitrogen, fosfor, sulfur serta unsur natrium, kalsium, magnesium, cobalt, dan zinkum, untuk melangsungkan kehidupannya. Menurut Saragih (2010), bakteri yang berperan dalam proses anaerobik membutuhkan sumber nutrisi untuk tumbuh dan berkembang berupa karbon dan nitrogen. Jika substrat memiliki kandungan nutrigen yang rendah, maka bakteri tidak akan dapat memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk mensintesis senyawa karbon. Namun sebaliknya, jika kandungan nitrogen terlalu banyak maka pertumbuhan bakteri akan terhambat. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan bakteri anaerob diperlukan rasio C:N berkisar antara 20:1 sampai 30:1.


(47)

Perbandingan C/N untuk masing-masing bahan organik akan mempengaruhi komposisi biogas yang dihasilkan. Perbandingan C/N yang terlalu rendah akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH4 rendah, CO2 tinggi, H2 rendah dan

N2 tinggi. Namun, perbandingan C/N yang terlalu tinggi akan menghasilkan

biogas dengan kandungan CH4 rendah, CO2 tinggi, H2 tinggi dan N2 rendah.

Perbandingan C/N yang seimbang mampu menghasilkan biogas dengan CH4

tinggi, CO2 sedang, serta H2 dan N2 yang rendah (Yulistyawati, 2008). Berikut

Nilai C:N rasio dari berbagai jenis material organik kotoran hewan pada Tabel 10.

Tabel 10. Rasio C/N Beberapa Kotoran Hewan Jenis Kotoran C/N Ratio

Manusia 8

Kambing 12

Domba 19

Bebek 8

Ayam 10

Babi 18

Sapi/Kerbau 24

Gajah 43

2.5 Potensi Biogas di Provinsi Lampung

Lampung memiliki potensi yang besar dalam pengembangan biogas skala rumah tangga dengan bahan baku utama kotoran sapi. Jumlah ternak sapi di Lampung setiap tahunnya terus menunjukkan peningkatan yang signifikan, dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan pada tahun 1999 total ternak sapi dan kerbau adalah sebesar 421.899 ekor, peningkatan sebesar 5,2% terjadi pada tahun 2004 yakni sebanyak 444.049 ekor (BPS Lampung, 2012). Hingga pada tahun


(48)

2008 peningkatan terjadi sebesar 9,3 % dan diperkirakan populasi sapi dan kerbau akan terus meningkat.

Tabel 11. Populasi Sapi dan Kerbau di Provinsi Lampung

Tahun Sapi (ekor) Kerbau (ekor) Total (ekor)

1999 372.001 49.898 421.899

2000 372.021 49.988 422.009

2001 373.534 50.012 423.546

2002 381.934 50.095 432.029

2003 387.350 52.351 439.701

2004 391.846 52.203 444.049

2005 417.129 49.219 466.348

2006 401.636 36.408 438.044

2007 410.169 38.991 449.160

2008 425.526 40.016 465.542

2009 463.032 423.46 505.378

2010 496.066 429.83 539.049

2011 742.776 331.24 775.900

Sumber : BPS Lampung, 2012

Seekor sapi dapat menghasilkan 15-30 kg kotoran basah setiap harinya

(Prihandini, 2007), sumber lain menyatakan bahwa kotoran yang dihasilkan oleh seekor sapi/kerbau diperhitungkan sebanyak 8,2 % dari bobot sapi hidup

(Kementrian LH, 2009). Sedangkan, bobot sapi rata-rata pada kegiatan

penggemukan sapi atau usaha sapi perah adalah seberat 350 kg/ekor. Sehingga, dapat dibayangkan kotoran sapi yang akan dihasilkan ribuan ternak jumlahnya sangat melimpah. Pemanfaatan kotoran limbah sapi dan kerbau harus dilakukan untuk mengurangi dampak negatif pencemaran limbah oleh kotoran sapi.

2.6 Potensi Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Penangkapan metana dengan teknologi biogas dan pemanfaatannya mampu menurunkan nilai emisi GRK. Penurunan diperoleh dari berkurangnya emisi metana yang ditangkap dan dibakar sebagai bahan bakar. Konsumen biogas tidak


(49)

perlu lagi membeli bahan bakar fossil yang ketika dibakar melepaskan emisi CO2.

Secara tidak langsung emisi CO2 yang dilepaskan oleh bahan bakar fossil akan

dikurangi melalui pemanfatan biogas.

Sebuah reaktor biogas membutuhkan minimal 4 ekor sapi/kerbau untuk dapat mengisi reaktor biogas skala rumah tangga. Air ditambahkan dalam proses pengadukan dengan perbandingan 1:1. Perhitungan nilai GWP (Global Warming Mitigation Potential) secara keseluruhan melibatkan beberapa variabel dalam perhitungan, yakni variabel input, output, dan faktor konversi. Variabel input yang digunakan dalam perhitungan adalah kotoran (dung) yang akan

dikonversikan ke dalam perhitungan volume biogas dan ampas (slurry) yang dihasilkan. Biogas akan menghasilkan hasil samping berupa ampas yang bermanfaat sebagai pupuk organik. Penggunaannya mampu menurunkan emisi pembuatan pupuk kimia berupa CO2 dan N2O. Ampas yang dihasilkan

diasumsikan akan dihasilkan sama banyak dengan jumlah kotoran segar yang masuk. Ampas (slurry) mengandung 1,4% N, 0,5 % P, dan 0,8 % K.

Banyaknya N, P, K setara pupuk organik diberikan dalam persamaan berikut:

N (kg) = 1,4 % x Kotoran kering (kg) ...(14) P (kg) = 0,5 % x Kotoran kering (kg) ...(15) K (kg) = 0,8 % x Kotoran kering (kg) ...(16)

Penggantian pupuk kimia dengan menggunaan ampas juga mampu menurunkan nilai emisi N2O dari kandungan N pupuk kimia. Emisi CO2 dari penggunaan

pupuk dihitung dengan mengalikan berat N, P,dan K dengan nilai emisi CO2 dan


(50)

Tabel 12.Koefisien Faktor Konversi dalam Perhitungan GWP Reaktor Biogas

No Parameter Faktor konversi

1. Emisi CO2 dari pembakaran LPG (kg/kg) 2,912 c

2. Nilai kalor biogas (kcal/l) 4,81 a 3. Nilai kalor CH4 (kcal/l) 8,0 a

4. Densitas CH4 (kg/m3) 0,71 a

5. Nilai kalori LPG (kcal/kg) 11.256,61 b 6. Kadar N pada slurry (kg/kg kotoran kering) 0,014 a 7. Kadar P pada slurry (kg/kg kotoran kering) 0,011 a 8. Kadar K pada slurry (kg/kg kotoran kering) 0,008 a 9. Emisi CO2 dari produksi pupuk N (kg/kg) 1,3 a

10. Emisi CO2 dari produksi pupuk P (kg/kg) 0,2 a

11. Emisi CO2 dari produksi pupuk K (kg/kg) 0,2 a

12. Emisi N2O-N dari penggunaan pupuk N (kg/kg) 0,07 a

13. GWP CO2 (setara CO2/kg) 1 d

14. GWP CH4 (setara CO2/kg) 21 d

15. GWP NO2 (setara CO2/kg) 310 d

Sumber = a.Pathak, 2009; b. ESDM, 2011; c. Suhendi, 2009; d. Handayani, 2008.

Biogas yang dihasilkan diasumsikan akan disubstitusi 100% dengan LPG. LPG yang dapat dihemat dihitung menggunakan rumus berikut:

...(17)

GWP dan kredit karbon dari reaktor biogas skala rumah tangga (per tahun) diperhitungkan dalam persamaan 1 berikut ini:

GWP TOT ( kg CO2) = GWP CH4 + GWP LPG + GWP Pupuk ...(18) GWP TOT = Potensi reduksi global warming (kg CO2)

GWP CH4 = GWP reduksi emisi CH4 yang dibakar (kg CO2)

= (Persentase CH4 x Densitas CH4 (kg/l) x GWP CH4...(19)


(51)

= LPG (kg) x Emisi CO2 dari pembakaran LPG (kg/kg CO2)..(20)

GWP Pupuk = GWP emisi reduksi CO2 dan N2O dari N, P, K (kg CO2)

= N kg x 1,3 kg CO2/kg + (P kg +K kg x 0,2 kg CO2/kg ) +

(Nkg x 0,07 kg CO2/kg) x GWP N2O...(21)

GWP potensial Provinsi Lampung adalah potensi reduksi GRK ketika seluruh kotoran sapi/kerbau di Provinsi Lampung dikumpulkan untuk pengisian reaktor biogas skala rumah tangga. Jumlah sapi dan kerbau di Provinsi Lampung ditunjukkan dalam Tabel 13.

Tabel 13. Jumlah Sapi dan Kerbau di Provinsi Lampung, 2011. Tahun 2011 Sapi (ekor) Kerbau (ekor) Total (ekor)

Jantan 242.367 7.994 250.361

Betina 500.409 25.130 525.539

Total 742.776 33.124 775.900

Sumber : BPS Lampung, 2012

Jumlah reaktor yang dapat dibangun dihitung dengan membagi total sapi dan kerbau dengan jumlah minimal sapi/kerbau yang dibutuhkan untuk menghasilkan kotoran pada satu buah reaktor. Jumlah minimal sapi/kerbau yang digunakan dalam sebuah reaktor adalah 4 ekor.


(52)

Jumlah reaktor dihitung dengan rumus:

Jumlah Reaktor (unit) = Total sapi dan kerbau (ekor)...(22) 4 (ekor/unit)

Jika penurunan emisi yang dihasilkan oleh satu buah reaktor biogas dikalikan dengan jumlah reaktor yang mampu dibangun akan didapatkan nilai GWP provinsi (GWP net), sebagai berikut:


(53)

(54)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juli-Desember 2012 bertempat di empat lokasi digester biogas skala rumah tangga yang aktif beroperasi di Provinsi Lampung, Laboratorium Rekayasa Pengolahan Limbah, Jurusan Teknik Pertanian dan Laboratorium Pengolahan Limbah Agroindustri, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang diperlukan adalah instalasi biogas aktif, sampel gas bio dari setiap digester, limbah inlet dan outlet, kromatografi gas GC-2014 Shimidzu, PH meter HM-50G, HACH DR 4000 spektrofotometer, labu ukur, pipet volume, pemanas dengan lubang-lubang penyangga tabung, labu ukur 100 ml, tabung pencerna, larutan pencerna (Kr2Cr2O7 + H2SO4 + Hg2SO4 + Ag2SO4), syringe, tabung refluks, gelas ukur,

stopwatch, manometer U, ember, plastik, perekat, cawan petri, oven, timbangan digital, tanur (furnace), tisu, air suling, bag vacuum, tas penyimpan gas (sample bag), dan peralatan keselamatan lab.

Terdapat dua jenis instalasi biogas (reaktor) yang diteliti, yakni baloon types digester yang berbahan plastik dan fixed dome digester yang berbahan beton batu bata. Digester


(55)

tipe fixed dome berlokasi di Desa Pesawaran Indah, Kecamatan Padang Cermin,

Kabupaten Pesawaran. Sedangkan digester tipe plastik berlokasi di Desa Marga Lestari, Kelurahan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan.

3.3 Data Primer dan Data Sekunder

Jenis data yang digunakan terbagi menjadi dua yakni, data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari metode pengukuran langsung di lapangan dan di laboratorium. Data primer yang diukur yakni: data produksi biogas, komposisi biogas, kandungan total padatan terlarut (total solid - TS), kandungan padatan yang menguap (volatile solid - VS), kandungan abu serta (Fixed Solid-FS), dan chemical oxygen demand (COD).

Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui pencarian statistik dan literatur. Data sekunder yang dibutuhkan adalah data statistik populasi sapi dan kerbau, nilai parameter emisi GRK, nilai kalori bahan bakar, densitas zat, dan kadar N, P, dan K pada ampas biogas (slurry).

3.4 Metodologi Penelitian

3.4.1 Pengukuran Produksi Biogas

Tahapan pertama dalam metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengukur volume produksi biogas yang dihasilkan oleh digester biogas berbahan baku kotoran sapi berskala rumah tangga. Pengukuran dilakukan dengan mengukur tekanan biogas yang memanfaatkan alat ukur manometer U pada digester fixed dome plant. Produksi pada digester baloon type dianggap sama dengan produksi harian fixed dome plant.


(56)

Gambar 1. Manometer U

Produksi biogas diukur dengan memanfaatkan beda ketinggian air manometer U yang terpasang pada instalasi biogas. Seperti ditunjukkan pada Gambar 10, beda tinggi manometer U dituliskan sebagai ∆h, yang merupakan jarak terukur dari h1 hingga h2.

Volume reaktor (V) dihitung dengan memasukkan variabel tinggi gas di dalam kubah (h) dan jari-jari kubah (r). Ketinggian permukaan air di dalam ruang anaerob (h) dapat dideteksi karena jaraknya akan sama dengan beda tinggi pada manometer. Produksi gas didapatkan dari perhitungan volume kubah/bola terpenggal (Svirin, 2004), pada

persamaan 25 berikut :

Volume reaktor =

) ...(25)

Pembacaan selisih tinggi fluida (∆h) manometer dilakukan dalam jangka waktu tertentu setelah gas digunakan untuk memasak (∆h1) hingga biogas akan digunakan kembali


(57)

(∆h2). Setelah V1 dan V2 dihitung, maka produksi biogas didapatkan dengan mengurangi

selisih antara keduanya, ditunjukkan pada persamaan 26.

Produksi gas = V2– V1 ...(26)

Gambar 2. Skema Produksi Biogas Pada Ruang Penyimpan Gas, (a) setelah digunakan ∆h1dan (b) saat akan digunakan ∆h2

3.4.2 Komposisi Biogas

Komposisi biogas diukur dengan menggunakan alat kromatografi gas, Gas

Chromatography– GC2014 Shimadzu. Alat ini akan mendeteksi komponen gas-gas berupa metana, karbondioksida, dan nitrogen serta menampilkannya dalam bentuk grafik persentase volume gas. Alat kromatografi gas (Gambar 12 a ) terdiri dari pencadang gas pembawa (syringe), lubang penyuntikan gas, kolom pemisah zat, alat detektor dan alat pencatat. Kolom pemisah zat yang digunakan adalah jenis kolom zink karbon, sedangkan detektor yang digunakan berjenis TCD atau Thermal Conductivity Detector. Pertama-tama biogas diambil menggunakan syringe dari sample bag yang diisi sampel biogas dari masing-masing reaktor sebanyak 0,5 ml. Lalu gas diinjeksikan melalui lubang

r h r

h

a

b

V1


(58)

penyuntikan gas (Gambar 12b) untuk dipanaskan dan dipisahkan zat-zatnya di daerah kolom pemisah zat.

Gambar 3. (a) Gas Chromatography 2014 Shimidzu, (b) Pencadang Gas Pembawa - Siring (c) Lubang injeksi

Detektor akan membaca setiap komponen zat yang dikandung. Pengukuran komposisi gas menggunakan sampel gas bio dari setiap digester dengan pengulangan 3 kali. Rata-rata persentase metana yang terbaca akan digunakan untuk menghitung total produksi metana dan potensi GWP yang dapat direduksi (Persamaan 20).

3.4.3 Pengukuran TS dan VS Bahan Baku Biogas

Pengukuran padatan atau Total Solid (TS) dan Volatile Solid (VS) dilakukan untuk menghitung jumlah kotoran kering yang mampu dihasilkan pertahun dan mengukur kemampuan degradasi limbah oleh reaktor. Reaktor biogas menghasilkan output hasil samping berupa ampas kotoran yang telah terfermentasi dalam kondisi kehilangan gas-gas beracun. Ampas tersebut dimanfaatkan menjadi kompos yang diperhitungkan sebagai limbah kotoran kering.


(59)

Nilai TS diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung di laboratorium. Metode pengujian TS dan VS adalah sebagai berikut:

1. Homogenkan limbah inlet dan limbah outlet

2. Siapkan cawan petri yang bersih dan sudah ditimbang (W0)

3. Masukkan kedua jenis limbah ke dalam cawan petri sebanyak 25 ml, masing-masing 3 kali ulangan, timbang (W1).

4. Masukkan ke dalam oven pada suhu 85˚C selama 40 jam.

5. Setelah 40 jam, ambil cawan petri + residu dan masukkan ke dalam desikator, setelah dingin lalu ditimbang (W2).

6. Bakar cawan petri + residu menggunakan tanur (furnace) pada suhu 550˚C hingga menjadi abu, kurang lebih 35 menit.

7. Keluarkan cawan petri + abu dari furnace lalu masukkan ke dalam desikator, diamkan hingga suhu normal lalu timbang (W3).

TS dan VS dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Total Solid (TS) = W2– W0 ... (27)

Kadar abu (TFS) = W3– W0 ...(28)

Total Volatile Solid (VS) = TS – TFS ...(29)

Nilai TS yang dikalikan dengan produksi kotoran basah sapi, akan menunjukkan nilai kotoran kering limbah biogas. Nilai tersebut akan dikonversi setara dengan jumlah pupuk kimia N,P, dan K yang mampu direduksi. Selanjutnya nilai penurunan emisi GWP dari reduksi NPK akan ditunjukkan setara CO2 dan N2O.


(60)

3.4.4 Pengukuran Derajat Keasaman (PH)

Pengukuran PH dilakukan menggunakan alat PH meter jenis HM 50G. Prosedur pengukuran sesuai dengan SNI 06-6989.11-2004 mengikuti metode berikut ini:

1. Lakukan kalibrasi alat PH meter dengan larutan penyangga.

2. Keringkan elektroda dengan kertas tisu selanjutnya bilas dengan air suling. 3. Siapkan limbah pada gelas ukur 500 ml, isi setengah penuh.

4. Celupkan elektroda ke dalam sampel uji hingga PH meter menunjukkan pembacaan yang tetap.

5. Catat hasil pembacaan pada tampilan PH meter.

3.4.5 Pengukuran COD

Chemical Oxygen Demand (COD) atau nilai kebutuhan oksigen kimiawi limbah merupakan jumlah oksidan Cr2O72- yang bereaksi dengan contoh uji dan dinyatakan

sebagai mg oksigen untuk setiap 1000 mL contoh uji. Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen oksigen (O2 mg/L) diukur secara spektofotometri sinar

tampak menggunakan HACH DR 4000 spektrofotometer. Pengukuran COD dilakukan sesuai dengan standar SNI 06-6989.2-2004. Contoh uji sampel limbah biogas memiliki nilai COD yang tinggi, sehingga dilakukan pengenceran terlebih dahulu sebelum pengujian.

Sebelum masuk ke dalam metode pengukuran COD, terlebih dahulu dibuat larutan pencerna(digestion solution) pada kisaran konsentrasi tinggi dan larutan pereaksi asam sulfat. Cara pembuatan yaitu:


(61)

1. Larutan pencerna (digestion solution) pada kisaran konsentrasi tinggi.

Tambahkan 10,216 g K2Cr2O7yang telah diringkan pada suhu 150˚C selama 2 jam

ke dalam 500 mL air suling. Tambahkan 167 mL H2SO4 pekat dan 33,3 g HgSO4.

Larutkan, dan dinginkan pada suhu ruang dan encerkan sampai 1000 mL. 2. Larutan pereaksi asam sulfat

Tambahkan serbuk atau kristal Ag2SO4 teknis ke dalam H2SO4 pekat dengan

perbandingan 5,5 g Ag2SO4 untuk tiap satu kg H2SO4 pekat. Biarkan satu sampai

dua jam sampai larut, aduk.

Prosedur pengujian COD dilakukan dengan tahapan berikut ini:

1. Homogenkan sampel uji (limbah kotoran sapi outlet dan inlet).

2. Cuci tabung refluks dan tutupnya dengan H2SO4 20% sebelum digunakan.

3. Encerkan sampel uji sebanyak 25 kali pengenceran. Caranya dengan mengambil campuran homogen limbah sebanyak 4 mL lalu dicampurkan dengan aquades hingga 100 mL. Aduk hingga homogen.

4. Pipet 2,5 mL contoh uji dan tambahkan 1,5 mL larutan pencerna dan tambahkan larutan pereaksi asam sulfat sebanyak 3,5 mL ke dalam tabung.

5. Tutup tabung dan kocok perlahan hingga homogen.

6. Letakkan tabung pada pemanas yang telah dipanaskan pada suhu 150˚C, refluks dilakukan selama 2 jam.

7. Setelah 2 jam dinginkan tabung berisi contoh uji.


(62)

9. Catat pembacaan nilai COD.

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan perhitungan potensi penurunan biogas skala rumah tangga dengan menggunakan persamaan 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, dan 23 dan ditampilkan dalam bentuk grafik dan tabel


(63)

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Kinerja Digester

• Tingkat biodegradasi limbah berdasarkan nilai TS, VS dan COD adalah senilai 38,62%, 30,69%, dan 50,02 %.

• Biogas sebesar 1.543 Liter dihasilkan per hari, dengan kandungan metana, karbondioksida dan nitrogen sebesar 53,61%, 31,35 % dan 15,04 %. 2. Nilai reduksi GWP

• GWP sebuah reaktor biogas skala rumah tangga sebesar 7.314,3 kg CO2 setara

dengan penghematan LPG sebanyak 240,7 kg per tahun. Ampas (slurry) sebanyak 6.482,4 kg kering digunakan sebagai pupuk organik setara dengan kandungan 90,8 kg N, 71,3 kg P, dan 51,9 kg K

• GWP potensial di Provinsi Lampung dengan memanfaatkan 775.900 ekor sapi dan kerbau sebagai pengisi 193.975 unit reaktor biogas skala rumah tangga adalah sebesar 1,4 juta ton setara CO2 (senilai dengan 17,73% target penurunan emisi


(64)

5.2 Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya :

1. Reaktor biogas skala rumah tangga memiliki potensi besar dalam upaya

penurunan GRK nasional dan penghematan bahan bakar fosil untuk kesejahteraan masyarakat. Namun beberapa kendala di lapangan seperti masalah pengelolaan dan perawatan reaktor yang kurang baik serta pengisian reaktor yang tidak disiplin membuat produktivitas reaktor dan popularitas biogas menurun.

Dibutuhkan rekayasa sosial untuk meningkatkan kembali pamor biogas di mata masyarakat.

2. Modal pembuatan digester biogas tergolong mahal. Mengingat sebagian besar petani Lampung memiliki penghasilan yang kecil, maka dibutuhkan dukungan pemerintah untuk pembangunan digester skala rumah tangga


(65)

Anonim. 2007. Briefing Food and Climate Change. http://www.foe.co.uk (08 Februari 2012).

Abubakar, B.S.U dan Ismail, N. 2012. Anaerobic Digestion of Cow Dung For Biogas Production. ARPN Journal of Engineering and Applied Science. Vol. 7 No.2, Februari 2012.

Agus, R. dan Rudy, S.. 2008. Global Warming, Mengancam Keselamatan Planet Bumi!.

http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/ (11 April 2012).

Astutiningtyas, E. 2010. Kemiskinan Energi, Fakta dan Solusi. IESR. Jakarta.

Bird, L dan Sumner, J. 2011. Using Renewable Energy Purchses to Achieve Institutional Carbon Goal: A Review of Current Practices and Considerations. Technical Report of National Energy Laboratory. Colorado.

Burke, D. A. 2001. Dairy Waste Anaerobic, Digestion Handbook. Olympia, WA. Environmental Energy Company.

BPS Lampung, 2012. Lampung Dalam Angka (Lampung in Figures) 2011. BPS – Provinsi Lampung.

Cahyani, D. 2012. Proses Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Cair Tapioka Pada Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) PD. Semangat Jaya Lampung. Laporan PU. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Cengel, Y. 1997. Heat Transfer A Practical Approach. Mc-Graw Hill. University of Nevada.


(66)

Chernicharo, C. A,. 2007. Biological Wastewater Treatment Anaerobic Reactors: Volume 4. IWA Publishing, Alliance House, 12 Caxton St, London, UK. Costa, J. 2011. Optimasi Produksi Biogas Pada Anaerobic Digester Biogas Type

Horizontal Berbahan Baku Kotoran Sapi Dengan Pengaturan Suhu Dan Pengadukan. Skripsi. Fak. Teknologi Industry. ITS.

Dungait. 2010. Modern IsotopicMethods to Investigate The Fate and Provenance of CSequestered Into Soils From Livestock Derived Organic Matter.

Dipresentasikan padaworld congress of soil science, soil solutions for a

changing world 1 – 6 August 2010, Brisbane, Australia. http://www.iuss.org/ ( Januari, 2012).

ESDM. 2011. Konversi Minyak Tanah ke LPG. http://esdm.go.id// (20 Mei 2012

FAO. 2006. Livestock’s Long Shadow. UN. Italy. ftp://ftp.fao.org/ (6 April 2012).

Fralinda, F. 2011. Sejarah Konferensi Global Dunia. http://publiksi.umy.ac.id/ index.php/hi/article/view/3412/2170 (April 2012).

Gerardi, M. H. 2003. The Microbiology of Anaerobic Digesters. New Jersey. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken.

Handayani, S.J. 2008. Analisis Reduksi Emisi Gas Metan Melalui Proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) pada Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tesis Program Studi Pasca Sarjana Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan. USU.

Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. WARTAZOA Vol. 16 No. 3.

Isdiyanto, R., dan Hasanudin, U. 2009. Rekayasa dan Uji Kinerja Reaktor Biogas Sistem CoLAR pada Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka. Jurnal

Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan. Vol.9 (1) : 143-155.

IPCC. 1996. Technologies, Policies and Measures for Mitigating Climate Change, IPCC Technical Paper 1. http://www.ipcc.ch (25 Mei 2011)


(67)

IPCC. 1997. Stabilization of Atmospheric Greenhouse Gases: Physical, Biological and Socio-Economic Implication. http://www.ipcc.ch/ (25 Mei 2011).

IPCC. 2001. Climate Change 2001,The Scientific Basis-Contribution of Working Group 1 to The Third Assesment Report of TheIntergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Cambridge: Cambridge University Press.

Jhamtani H. dan Lisa K. 2007. Ketika Selimut Bumi Makin Tebal. Lembar Informasi No.1. http://wisnu.or.id/ (07 April 2012).

Kementrian LH, 2009. Program Agroindustry Towards Zero Waste. Pedoman Pengelolaan Limbah kegiatan Peternakan dan Rumah Pemotongan Limbah. Jakarta. Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan

Kompas. 2008. Pada 2100, Permukaan Laut Naik Satu Meter. www.kompas.com (22 Februari 2012).

Kossman,W. 2000. Biogas Digest Vol.1. By ISAT and GTS. http://www.gtz.de/ (07 April 2012).

Manurung, R. 2004. Proses Anaerobik Sebagai Alternatif Untuk Mengolah Limbah Sawit. Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Mc Carl, B.A., 2000. U.S. Agriculture’s Role in a Greenhouse Gas Emission Mitigation World: An Economic Perspective. Texas A&M University.

Mohanrao, G. J. 1974. Scientific Aspects of Cow Dung Digestion. Khadi ramodyog: Journal of Rural Economy (India) 20(April) : 340-347.

Moomaw, W. 2011. Introduction. In IPCCSpecial Report on Renewable Energy Sources and Climate Change Mitigation. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, US

Murniningtyas, E. 2011. Kebijakan Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. http://http://www.bappenas.go.id/ (19 Mei 2012).

Musanif, J. 2008. Reaktor Biogas Skala Rumah Tangga (Gambar). http://gasbio.wordpress.com/ (19 Mei 2012).


(68)

National Academy of Sciences.1977.Methane Generation From Human, Animal and Agricultural Wastes. National Academy of Sciences Washington D.C., USA.

Nurhasanah. 2009. Penentuan Kadar COD Pada Air Limbah Pabrik Kelapa Sawit, Pabrik Karet dan Domestik. http: repository.usu.ac.id (Juli, 2012).

Pathak, H. 2008. Global Warming Mitigation Potential of Biogas Plants in India. Environment Monit Assess Journal (2009) 157:407-418.

Perpres No.61 Tahun 2011. //http://www.presidenri.go.id/.pdf (07 April 2012).

Perpres No.71 Tahun 2011. //http://www.presidenri.go.id/ (07 April 2012).

Pergub No. 14 Tahun 2011. //http://www.lampungprov.go.id// (07 April 2012).

Purwanta, W. 2009. Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari Sektor Sampah Perkotaan di Indonesia. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol. 10 (1) : 01-08.

Santana, A. dan Pound, B. 1980. The Production of Biogas From Cattle Slurry, The Effects of Concentration of Total Solid And Aninali Diet. Annual Meeting of The Dominican Center of Livestock Research With Sugarcane. March, 1980. Santo Domingo, Dominican Republic.

Saragih, B. 2010. Pembuatan Biogas DariLimbah Organik dan Pemanfaatannya. http://http://www.lontar.ui.ac.id// (Desember, 2012)

Stegmann, R. 2005. Mechanical Biological Pre-Treatment of Municipal Solid Waste. TenthInternational Waste Management and Landfill Symposium .CISA: Itali.

Suhendi, F. 2009. Emisi CO2 Dari Konsumsi Energi Domestik. http://rohmadreny.

wordpress.com/2009/02/18/emisi-CO2-dari-konsumsi-energi-domestik (20 April

2012).

Tewelde, S., Eyalarasan, K.,Radhamani,R., dan Karthikeyan,K. Juni 2012. Biogas Production From Co-digestion of Brewery Waste (BW) and Cattle Dung (CD). International Journal of Latest Trends in Agriculture & Food Sciences. Vol.2 No.2. UK.


(69)

United Nations. 1998. Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change. http://http://unfccc.int/ (14 Mei 2012).

Yulistiawati, E. 2008. Pengaruh Suhu dan C/N Rasio Terhadap Produksi Biogas Berbahan Baku Sampah Organik Sayuran. Bogor. IPB.

Wahyuni, S. 2011. Menghasilkan Biogas dari Aneka Limbah. Jakarta Selatan. Agromedia Wardahana, A dan Lisa, K. 2007. Lembar Informasi Nomor 2 - Memahami Peraturan Internasional Tentang Perubahan Iklim. http://www.wisnu. or.id/(07 April 2012)


(1)

76 5.2 Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya :

1. Reaktor biogas skala rumah tangga memiliki potensi besar dalam upaya

penurunan GRK nasional dan penghematan bahan bakar fosil untuk kesejahteraan masyarakat. Namun beberapa kendala di lapangan seperti masalah pengelolaan dan perawatan reaktor yang kurang baik serta pengisian reaktor yang tidak disiplin membuat produktivitas reaktor dan popularitas biogas menurun.

Dibutuhkan rekayasa sosial untuk meningkatkan kembali pamor biogas di mata masyarakat.

2. Modal pembuatan digester biogas tergolong mahal. Mengingat sebagian besar petani Lampung memiliki penghasilan yang kecil, maka dibutuhkan dukungan pemerintah untuk pembangunan digester skala rumah tangga


(2)

Anonim. 2007. Briefing Food and Climate Change. http://www.foe.co.uk (08 Februari 2012).

Abubakar, B.S.U dan Ismail, N. 2012. Anaerobic Digestion of Cow Dung For Biogas Production. ARPN Journal of Engineering and Applied Science. Vol. 7 No.2, Februari 2012.

Agus, R. dan Rudy, S.. 2008. Global Warming, Mengancam Keselamatan Planet Bumi!. http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/ (11 April 2012).

Astutiningtyas, E. 2010. Kemiskinan Energi, Fakta dan Solusi. IESR. Jakarta.

Bird, L dan Sumner, J. 2011. Using Renewable Energy Purchses to Achieve Institutional Carbon Goal: A Review of Current Practices and Considerations. Technical Report of National Energy Laboratory. Colorado.

Burke, D. A. 2001. Dairy Waste Anaerobic, Digestion Handbook. Olympia, WA. Environmental Energy Company.

BPS Lampung, 2012. Lampung Dalam Angka (Lampung in Figures) 2011. BPS – Provinsi Lampung.

Cahyani, D. 2012. Proses Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Cair Tapioka Pada Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) PD. Semangat Jaya Lampung. Laporan PU. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Cengel, Y. 1997. Heat Transfer A Practical Approach. Mc-Graw Hill. University of Nevada.


(3)

78 Chernicharo, C. A,. 2007. Biological Wastewater Treatment Anaerobic Reactors:

Volume 4. IWA Publishing, Alliance House, 12 Caxton St, London, UK. Costa, J. 2011. Optimasi Produksi Biogas Pada Anaerobic Digester Biogas Type

Horizontal Berbahan Baku Kotoran Sapi Dengan Pengaturan Suhu Dan Pengadukan. Skripsi. Fak. Teknologi Industry. ITS.

Dungait. 2010. Modern IsotopicMethods to Investigate The Fate and Provenance of CSequestered Into Soils From Livestock Derived Organic Matter.

Dipresentasikan padaworld congress of soil science, soil solutions for a

changing world 1 – 6 August 2010, Brisbane, Australia. http://www.iuss.org/ ( Januari, 2012).

ESDM. 2011. Konversi Minyak Tanah ke LPG. http://esdm.go.id// (20 Mei 2012

FAO. 2006. Livestock’s Long Shadow. UN. Italy. ftp://ftp.fao.org/ (6 April 2012).

Fralinda, F. 2011. Sejarah Konferensi Global Dunia. http://publiksi.umy.ac.id/ index.php/hi/article/view/3412/2170 (April 2012).

Gerardi, M. H. 2003. The Microbiology of Anaerobic Digesters. New Jersey. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken.

Handayani, S.J. 2008. Analisis Reduksi Emisi Gas Metan Melalui Proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) pada Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tesis Program Studi Pasca Sarjana Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan. USU.

Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. WARTAZOA Vol. 16 No. 3.

Isdiyanto, R., dan Hasanudin, U. 2009. Rekayasa dan Uji Kinerja Reaktor Biogas Sistem CoLAR pada Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka. Jurnal

Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan. Vol.9 (1) : 143-155.

IPCC. 1996. Technologies, Policies and Measures for Mitigating Climate Change, IPCC Technical Paper 1. http://www.ipcc.ch (25 Mei 2011)


(4)

IPCC. 1997. Stabilization of Atmospheric Greenhouse Gases: Physical, Biological and Socio-Economic Implication. http://www.ipcc.ch/ (25 Mei 2011).

IPCC. 2001. Climate Change 2001,The Scientific Basis-Contribution of Working Group 1 to The Third Assesment Report of TheIntergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Cambridge: Cambridge University Press.

Jhamtani H. dan Lisa K. 2007. Ketika Selimut Bumi Makin Tebal. Lembar Informasi No.1. http://wisnu.or.id/ (07 April 2012).

Kementrian LH, 2009. Program Agroindustry Towards Zero Waste. Pedoman Pengelolaan Limbah kegiatan Peternakan dan Rumah Pemotongan Limbah. Jakarta. Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan

Kompas. 2008. Pada 2100, Permukaan Laut Naik Satu Meter. www.kompas.com (22 Februari 2012).

Kossman,W. 2000. Biogas Digest Vol.1. By ISAT and GTS. http://www.gtz.de/ (07 April 2012).

Manurung, R. 2004. Proses Anaerobik Sebagai Alternatif Untuk Mengolah Limbah Sawit. Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Mc Carl, B.A., 2000. U.S. Agriculture’s Role in a Greenhouse Gas Emission Mitigation World: An Economic Perspective. Texas A&M University.

Mohanrao, G. J. 1974. Scientific Aspects of Cow Dung Digestion. Khadi ramodyog: Journal of Rural Economy (India) 20(April) : 340-347.

Moomaw, W. 2011. Introduction. In IPCCSpecial Report on Renewable Energy Sources and Climate Change Mitigation. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, US

Murniningtyas, E. 2011. Kebijakan Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. http://http://www.bappenas.go.id/ (19 Mei 2012).

Musanif, J. 2008. Reaktor Biogas Skala Rumah Tangga (Gambar). http://gasbio.wordpress.com/ (19 Mei 2012).


(5)

80 National Academy of Sciences.1977.Methane Generation From Human, Animal and

Agricultural Wastes. National Academy of Sciences Washington D.C., USA.

Nurhasanah. 2009. Penentuan Kadar COD Pada Air Limbah Pabrik Kelapa Sawit, Pabrik Karet dan Domestik. http: repository.usu.ac.id (Juli, 2012).

Pathak, H. 2008. Global Warming Mitigation Potential of Biogas Plants in India. Environment Monit Assess Journal (2009) 157:407-418.

Perpres No.61 Tahun 2011. //http://www.presidenri.go.id/.pdf (07 April 2012).

Perpres No.71 Tahun 2011. //http://www.presidenri.go.id/ (07 April 2012).

Pergub No. 14 Tahun 2011. //http://www.lampungprov.go.id// (07 April 2012).

Purwanta, W. 2009. Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari Sektor Sampah Perkotaan di Indonesia. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol. 10 (1) : 01-08.

Santana, A. dan Pound, B. 1980. The Production of Biogas From Cattle Slurry, The Effects of Concentration of Total Solid And Aninali Diet. Annual Meeting of The Dominican Center of Livestock Research With Sugarcane. March, 1980. Santo Domingo, Dominican Republic.

Saragih, B. 2010. Pembuatan Biogas DariLimbah Organik dan Pemanfaatannya. http://http://www.lontar.ui.ac.id// (Desember, 2012)

Stegmann, R. 2005. Mechanical Biological Pre-Treatment of Municipal Solid Waste. TenthInternational Waste Management and Landfill Symposium .CISA: Itali.

Suhendi, F. 2009. Emisi CO2 Dari Konsumsi Energi Domestik. http://rohmadreny.

wordpress.com/2009/02/18/emisi-CO2-dari-konsumsi-energi-domestik (20 April

2012).

Tewelde, S., Eyalarasan, K.,Radhamani,R., dan Karthikeyan,K. Juni 2012. Biogas Production From Co-digestion of Brewery Waste (BW) and Cattle Dung (CD). International Journal of Latest Trends in Agriculture & Food Sciences. Vol.2 No.2. UK.


(6)

United Nations. 1998. Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change. http://http://unfccc.int/ (14 Mei 2012).

Yulistiawati, E. 2008. Pengaruh Suhu dan C/N Rasio Terhadap Produksi Biogas Berbahan Baku Sampah Organik Sayuran. Bogor. IPB.

Wahyuni, S. 2011. Menghasilkan Biogas dari Aneka Limbah. Jakarta Selatan. Agromedia Wardahana, A dan Lisa, K. 2007. Lembar Informasi Nomor 2 - Memahami Peraturan Internasional Tentang Perubahan Iklim. http://www.wisnu. or.id/(07 April 2012)