ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TERJADINYA PENCURIAN ALIRAN LISTRIK

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TERJADINYA PENCURIAN ALIRAN LISTRIK

Oleh

FAIZAL KURNIAWAN ADI PUTRA

Aliran tenaga listrik merupakan kebutuhan yang sangat penting dan bermanfaat untuk keperluan kehidupan masyarakat. Namun, dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, ada kecenderungan masyarakat mengatasi dengan cara-cara yang menyimpang, baik karena motifasi ekonomi maupun karena kurangnya kesadaran hukum dan moral, yaitu adanya pemakaian listrik secara tidak sah sehingga menimbulkan susut transmisi dan distribusi tenaga listrik yang mengakibatkan kerugian cukup besar bagi perusahaan listrik negara. Sebagai upaya penindakan , PLN menerapkan sanksi administratif berupa penetapan tagihan susulan, tanpa pernah menerapkan sanksi pidana seperti dalam pasal 362 KUHP jo Pasal 19 UU No 15 Tahun 1985 tentang ketenaga listrikan, sehingga penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran tenaga listrik dikota Bandar Lampung tidak pernah terlaksana. Untuk itu dilakukan penelitian tentang masalah penegakan hukum pidana terhadap pencurian listrik di kota bandar lampung dengan tujuan untuk mengetahui faktor apakah yang menjadi penghambat tidak terlaksananya penegakan hukum pidana terhadap pencurian listrik dan bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik yang dilakukan oleh masyarakat di kota Bandar Lampung.

Penelitian dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.dalam pengambilan sampel digunakan metode purposive sampling. Adapun sumberdata adalah data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dan dokumentasi serta data primer yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan melalui wawancara terhadap seluruh responden, yaitu petugas PLN, Polisi, Jaksa, dan Hakim di pengadilan negeri di kota Bandar Lampung.


(2)

Dari hasil penelitian dan pembahasan, diketahui bahwa tidak terlaksananya penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik di kota Bandar Lampung karena adanya pengaruh budaya hukum yang mendukung penyelesaian secara administrati, melalui penetapan tagihan susulan terhadap semua kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi. hal ini didasarkan pada banyaknya faktor-faktor penghambat dalam penyelesaian secara hukum, sehingga penegakan hukum sulit untuk dilaksanakan, antara lain faktor waktu, biaya dan sarana prasarana sehingga timbul kesulitan dalam memenuhi persyaratan formal maupun material dalam pelaksanaan tahapan tahapan suatu proses penyelenggaraan peradilan.

Untuk itu diperlukan upaya-upaya penegakan hukum pidana antara lain melalui peningkatan kerjasama dan koordinasi antara PLN dan aparat penegak hukum, peningkatan manajemen operasional dan mekanisme badan Kepolisian serta peningkatan interaksi, interdependensi dan interkoneksi antar sub sistem peradilan pidana.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan masyarakat Indonesia terus maju dan berkembang sehingga kebutuhan hidup menjadi semakin beragam, salah satunya adalah kebutuhan akan adanya aliran tenaga listrik. Tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara, sebagai salah satu penemuan teknik yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga keberadaanya menjadi sangat vital bagi pembangunan nasional pada umumnya dan sebagai salah satu pendorong kegiatan ekonomi pada khususnya. Maka dalam pelaksanaannya, pemerintah membentuk suatu badan hukum Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang sekarang berbentuk PT. Perusahaan Listrik Negara sebagaimana sifat usahanya untuk menyelenggarakan kepentingan umum dibidang ketenagalistrikan, memenuhi kebutuhan maysarakat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pemenuhan kebutuhan tanaga listrik, ada kecenderungan mayarakat mengatasinya dangan cara-cara yang menyimpang, baik karena motifasi ekonomi maupun karena kurangnya kesadaran hukum dan moral, yaitu pemakaian listrik secara tidak sah yang dapat dilakukan oleh pelanggan maupun bukan pelanggan listrik sehingga menyebabkan susut transmisi dan distribusi tenaga listrik yang menjadi sumber kerugian yang cukup besar bagi Perusahaan Listrik Negara. Pemakaian


(4)

tenaga listrik secara tidak sah tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga sebagai landasan hukumnya dipergunakan Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 yang dikenal dengan “Electriciteits Arrest” yang

menyatakan bahwa: “Tenaga listrik termasuk dalam pengertian benda karena mempunyai nilai tertentu, yang untuk memperolehnya diperlukan biaya dan

tenaga...”. Arrest ini diperkuat dengan Arrest Hoge Raad tanggal 3 Januari 1922

yang menyatakan bahwa: “...Mengambil arus listrik secara melawan hak adalah

pencurian....”.

Bedasarkan yurisprudensi di atas, diketahui bahwa pemakaian aliran tenaga listrik secara tidak sah termasuk dalam tindak pidana pencurian sebagaimana diatur dalam pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang menyatakan bahwa:

“barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian

adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki benda tersebut secara melawan hukum diancam karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah”.

Selanjutnya penggunaan Pasal 362 KUHP itu diperkuat dengan Undang-undang No 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan. Pasal 19 yang menyatakan bahwa :

“Barang siapa menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya merupakan tindak pidana pencurian sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum


(5)

Data dari PT. PLN Sektor Wilayah Lampung Karang periode Januari-Desember 2008 menyatakan bahwa telah dilakukan pemeriksaan terhadap 110.500 pelanggan dan ditemukan 2.333 kasus pencurian listrik di Bandar Lampung dengan daya kedapatan sebesar 4.633.064 VA dan tagihan susulan sebesar Rp. 1.485.682.170. (Satu Milyar Empat Ratus Delapan Puluh Lima Juta Enam Ratus Delapan Puluh Dua Ribu Seratus Tujuh Puluh Rupiah)

Sekian banyak kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi, dapat dikemukakan sebagai contoh kasus berdasarkan hasil Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) yang dilaksanakan pada bulan Juni 2009 di daerah Way Halim Permai. Ditemukan adanya segel KWH meter rusak dan didalam KWH meter terdapat selembar negatif film, selain itu alat pembatas diganti secara tidak sah menjadi 20 amper. Perbuatan ini digolongkan kedalam pelanggaran golongan C, yang mempengaruhi pemakaian daya dan KWH. Sanksi yang dikenakan adalah sanksi administratif, yaitu pemberian tagihan susulan. Hal ini dikenakan juga terhadap semua kasus pencurian aliran tenaga listrik yang terjadi.

Pemberian sanksi dalam kasus pencurian aliran tenaga listrik di kota Bandar Lampung masih terbatas pada sanksi administratif, berupa penetapan tagihan susulan dan belum menerapkan sanksi pidana sebagai suatu bentuk hukuman terhadap pelaku pencurian. Sehingga dapat dikatakan bahwa, penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran tenaga listrik di kota Bandar lampung belum terlaksana sebagai mana mestinya, seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP jo Pasal 19 No. 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan.


(6)

Berdasarkan atas latar belakang yang telah dikemukakan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berjudul “Analisis Penegakan Hukum pidana terhadap Pencurian Aliran Listrik di Kota Bandar Lampung”.

B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik di kota Bandar Lampung.?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik di kota Bandar lampung?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penulisan skripsi ini adalah masalah penegakan hukum pidana tehadap pencurian aliran tenaga listrik di kota Bandar Lampung. ( Dalam kurun waktu 2003 – 2007 di wilayah Pengadilan Negeri Tanjung Karang )

C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik di kota Bandar lampung.

b. Untuk mengetahui faktor-fator penghambat perihal pencurian aliran tenaga listrik di kota Bandar Lampung.


(7)

2. Kegunaan Penulisan

a. Secara teoritis, sebagai tambahan wawasan keilmuan penulis dan masyarakat umum tentang penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik di kota Bandar Lampung.

b. Secara praktis, sebagai suatu kontribusi dalam usaha untuk mengurangi tindak pencurian aliran tenaga listrik di kota Bandar Lampung.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakan. Melalui penegakan hukum inilah, hukum di realisasikan.

Penegakan hukum pidana merupakan upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara kongkret dalam mengatasi masalah sosial terutama terhadap penanggulangan kejahatan, yang dalam prosesnya melibatkan tiga faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat/penegak hukum, dan faktor kesadaran hukum. Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum seperti dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, yaitu substansi hukum, stuktur hukum dan budaya,

a. Substansi hukum, yaitu hasil sebenarnya yang dikeluarkan oleh sistem hukum, seperti peraturan-peraturan.


(8)

b. Struktur hukum, yaitu bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme (lembaga-lembaga hukum).

c. Budaya hukum, yaitu sistem nilai yang berpengaruh terhadap sikap tindak masyarakat.

(Ronny Hanitijo Soemitro,1989:9)

Penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran tanaga listrik di kota Bandar Lampung terkait erat dengan aspek substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. hal ini didukung dengan adanya adanya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pencurian tenaga listrik, yaitu Pasal 362 KUHP jo Pasal 19 UU No. 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, kemudian adanya sub-sub sistem peradilan pidana, yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang bertugas melaksanakan sistem peradilan pidana, termasuk didalamnya terhadap pencurian tenaga listrik dan adanya kebijakan-kebijakan dalam menyelesaikan kasus pencurian aliran tenaga listrik, yang mempengaruhi budaya hukum masyarakat.

2. Konseptual

Konseptual adalah gambaran hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti. adapun beberapa konsep yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Penegakan hukum pidana adalah proses, pembuatan, cara menegakkan keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana yang dimana pidana itu menjelma (Andi Hamzah, 1986:252)


(9)

b. Pencurian adalah mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki benda itu secara melawan hukum (Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

c. Tenaga listrik adalah salah satu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, bukan listrik yang dipergunakan untuk komunikasi atau isyarat (Pasal 1 ayat (2) UU No 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan).

E. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pendahuluan terdiri dari latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka, merupakan pengantar pemahaman terhadap pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan mengenai tindak pidana pencurian, pencurian tenaga listrik, pemakaian listrik secara melawan hukum, kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan dan dan pengertian serta bentuk-bentuk sanksi pidana.


(10)

III. METODE PENELITIAN

Metode penulisan membahas tentang langkah-langkah atau cara-cara yang dipakai dalam rangka pendekatan masalah, sumber-sumber data, pengumpulan dan pengolahan serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian dan Pembahasan tentang berbagai hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, yang menjelaskan tentang penyebab tidak dilaksanakannya penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik di kota Bandar Lampung dan upaya untuk menegakkanya.

V. PENUTUP

Penutup, memuat hasil penulisan dan saran penulis dalam kaitanya dengan masalah yang dibahas.


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian

1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian

Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitap Undang-undang Hukum Pidana, Buku Kedua, Bab XXII, Pasal 362, yaitu:

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki benda tersebut secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah”

Melihat rumusan pasal tersebut diketahui bahwa kejahatan pencurian merupakan tindak pidana yang dirumuskan secara formil. Dalam hal ini yang dilarang dan diancam pidana adalah suatu perbuatan mengambil.

Pemakaian listrik secara tidak sah tidak diatur secara khusus dalam Kitap Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian. Hal ini ditegaskan dalam Arret Hoge Raad Tanggal 3 Januari 1922 (N.J. 1922 halaman 280, w. 10864), yaitu:

“Tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan, bahwa tenaga listrik itu berada dibawah kekuasaanya. Perusahaan listrik tidak mempercayakan


(12)

tenaga listrik itu kepadanya dan tidak menyuruh ia menyimpanya. Mengambil arus listrik secara melawan hak adalah pencurian bukan

penggelapan”.

(P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, 1981 : 102).

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Menentukan suatu tindak pidana pencurian perlu diketahui unsur-unsurnya sebagai berikut:

a. Unsur-unsur objektif 1. Perbuatan mengambil 2. Suatu benda

3. Seluruhnya atau sebagian b. Unsur-unsur subjektif

1. Maksud dari si pembuat

2. Untuk memiliki benda itu sendiri 3. Secara melawan hukum

1. Perbuatan mengambil

Perbuatan mengambil diartikan sebagai memindahan suatu benda dari kedudukanya atau tempatnya semula ketempat lain untuk dikuasai. Pengertian perbuatan mengambil ini telah mengalami perkembangan unsur lain dalam kejahatan pencurian, yakni unsur benda, yang selain benda berwujud dan bergerak dibedakan juga kedalam benda tidak berwujud dan tidak bergerak. Pengertian perbuatan mengambil tidak hanya terbatas pada memindahkan sesuatu benda


(13)

ada, bila dengan cara sedemikian rupa suatu benda telah berpindah dari tempat semula ketempat lain yang dikehendakinya, agar dapat dikuasai.

Perbuatan mengambil dalam pencurian tenaga listrik ditegaskan dalam Arrest

Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 yaitu “perbuatan menyambung kawat listrik

untuk dialirkan kesuatu rumah dari kawat yang terdapat sebelum meteran adalah

perbuatan mengambil” (P.A.F Lamintang Dan C. Djisman Samosir,1981 : 19).

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa suatu kejahatan pencurian telah selesai apabila si pelaku telah mengambil atau memindahkan benda dari tempatnya semula ketempat lain dengan maksud untuk menguasai atau memilikinya secara melawan hukum. Jadi apabila perbuatan tersebut hanya memegang, menyentuh, atau mengulurkan tangan tidak dapat dikatakan telah selesai melakukan perbuatan

mencuri tetapi dapat dikatakan baru melakukan “percobaan” untuk melakukan pencurian.

Pencurian tenaga listrik, hal tersebut ditegaskan dalam Arrest Hoge Raad tanggal 24 Mei 1937 yang menyatakan bahwa :

“Pada pencurian aliran listrik tidaklah penting apakah orang yang

menghidupkan aliran dan dengan demikian untuk dipakai bagi kepentingan sendiri ataupun untuk dikumpulkan bagi kepentingannya

sendiri. Pencuri telah selesai pada saat diambilnya aliran listrik itu”


(14)

2. Suatu Benda

Unsur benda dalam kejahatan pencurian merupakan objek dari perbuatan. Dalam penjelasan Pasal 362 KUHP, pengertian benda adalah benda berwujud yang menurut sifatnya dapat dipindahkan (benda bergerak). Namun dalam perkembanganya meluas menjadi benda tidak bergerak dan tidak berwujud dengan alasan bahwa benda-benda tersebut mempunyai nilai ekonomis atau berharga bagi pemiliknya.

Seperti dinyatakan dalam Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 (N.J. 1921 Halaman 564, W.10728) :

“Tenaga listrik termasuk dalam pengertian benda, karena ia mempunyai

nilai tertentu. Untuk memperolehnya diperlukan biaya dan tenaga. Tenaga listrik dapat dipergunakan untuk kepentingan sendiri, akan tetapi juga dapat diserahkan kepada orang lain dengan penggantian pembayaran. Karena Pasal 362 KUHP mempunyai tujuan untuk melindungi milik seseorang, maka didalam pengertian benda haruslah tenaga listrik itu

dimasudkan didalamnya.”

Arrest ini kemudian dikenal dengan apa yang disebut “Electriciteits

Arrest” (P.A.F. Laminang dan C. Djisman Samosir, 1981 : 87-88) Tenaga listik dapat dikatakan sebagai benda karena :

1. Energi listrik itu tidak dapat dipisahkan secara sendiri. 2. Energi listrik dapat diangkut dan dikumpulkan.

3. Energi listrik mempunyai nilai karena membangkitkan energi, memerlukan biaya dan usaha dan dapat dipakai sendiri maupun dapat dipakai orang banyak.


(15)

3. Seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain

Unsur kepunyaan orang lain dalam Pasal 362 KUHP dapat berupa seluruh benda adalah kepunyaan orang lain atau hanya sebagian saja kepunyaan orang lain. Kepunyaan orang lain dalam rumusan Pasal 362 KUHP diartikan sebagai milik orang lain seluruhnya milik orang lain berarti si pelaku tidak sama sekali tidak ikut memiliki benda yang diambilnya sedangkan sebagian milik orang lain berarti si pelaku pencurian turut berhak atas sebagian benda yang diambilnya, misalnya harta warisan.

Kejahatan pencurian tenaga listrik jelas bahwa ada pemakaian listrik secara tidak sah karena menikmati tenaga listrik yang bukan miliknya tetapi milik PT. Perusahaan Listrik Negara yang untuk memperolehnya diharuskan melalui prosedur yang ditentukan.

4. Maksud dari si pembuat.

Perkataan “maksud” didalam rumusan Pasal 263 KUHP merupakan terjemahan

dari perkataaan “oogmerk”. Perkataan oogmerk ini pengertiannya sama dengan

opzet”, yang dapat diartikan dengan “Kesengajaan atau dengan maksud”.

Dengan demikian dapat pula dikatakan delik pencurian sebagai delik kesengajaan. Kesengajaan itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan secara disadari, dimana dalam perbuatan tersebut ia menghendaki melakukannya serta mengerti pula akan akibat yang timbul atau dapat timbul dari perbuatanya. Dalam ilmu hukum, kesengajaan itu dikenal dengan dalam 3 bentuk, yaitu :


(16)

1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) yang berati bahwa seseorang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, perbuatan mana menjadi tujuan sesuai dengan kehendaknya.

2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zakerheids), yang berarti bahwa seseorang melakukan perbuatan dimana sangat disadari bahwa akibat lain yang bukan menjadi tujuan perbuatannya pasti timbul. Terhadap akibat lain yang timbul, yang bukan merupakan tujuan perbuatanya, dikatakan adanya kesengajaan sebagai kepastian.

3. kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis), yang berarti seseorang melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu, dimana disadarinya bahwa selain tujuannya tercapai maka mungkin ada akibat lain yang tidak dikehendakinya dapat terjadi.

(Wirjono Prodjodikoro)

Berdasarkan bentuk-bentuk kesenjangan tersebut diatas, maka sudah jelas unsur

“maksud” dalam rumusan Pasal 362 KUHP mempunyai makna sebagai “opzet al

oogmerk” yakni perbuatan tersebut ( mengambil barang milik orang lain ) dilakukan dengan sengaja, dengan maksud agar dapat memiliki barang tersebut. Pemakaian listrik secara tidak sah yang didasari oleh sifat batin yang buruk dan merupakan kesengajaan untuk kepentingan diri sendiri merupakan suatu perbuatan tindak pidana.

5. untuk memiliki benda itu sendiri

Memiliki bagi diri sendiri adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang tersebut, melakukan tindakan atas barang itu seakan-akan pemiliknya, sedangkan


(17)

ia bukan pemiliknya. Maksud memiliki barang bagi diri sendiri itu terwujud dalam berbagi jenis perbuatan, yaitu menjual, memakai, memberikan kepada orang lain, menggadaikan, menukar, merubah, dan sebagainya.

Suatu kejahatan pencurian itu dianggap telah selesai dengan terbuktinya unsur

“maksud menguasai benda yang akan diambil itu bagi dirinya sendiri”, jadi cukup dapat dibuktikan bahwa “maksud” tersebut ada, dan tidak perlu bahwa benda yang

diambilnya itu benar-benar telah dinikmati atau diberikan kepada orang lain, dijual, digadaikan atau sebagainya.

Arrest Hoge Raad Tanggal 14 Februari 1938 (N.J. 1938 No. 731):

“Adalah disyaratkan untuk maksud bertidak seolah-olah pemilik dari suatu benda secara melawan hak in casu (dalam hal ini) si pembuat telah mengambil arus listrik dengan maksud untuk menggerakan alat-alat yang

terdapat dibengkel ayahnya secara melawan hak”.

(P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir , 1981 : 101)

6. Secara melawan hak

Unsur “secara melawan hak” merupakan unsur subjektif yang terakhir dari kejahatan pencurian, yang dalam Arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang melanggar hukum itu adalah :

“berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan dengan kepatutan atau tata susila ataupun bertentangan


(18)

dengan sikap hati-hati yang sepantasnya didalam pergaulan masyarakat

atas diri atau barang orang lain”

(P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir , 1981 : 108)

Perbuatan melawan hak didalam pencurian tenaga listrik ditegaskan dalam Arrest Hoge Read tanggal 8 Juni 1936 (N.J. 1936 No. 740), yaitu:

“Memasang kembali meteran listrik, setelah dibuka untuk memperoleh

arus listrik yang banyak, bukan merupakan suatu penguasaan yang melawan hak, jika setelah membuka meteran itu, jumlah pemakaian listrik kemudian didaftarkan pada perusahaan listrik dan dimasukkan ke dalam tagihan padanya. Lain halnya jika arus listrik yang telah dipakai itu, walaupun si pembuat pada saat membuka meteran dimaksudkan untuk

dipergunakan secara melawan hak’.

(P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir , 1981 : 102)

B. Pengertian dan Unsur-unsur Pensurian Tenaga Listrik

1. Pengertian Pencurian Tenaga Listrik

Tindak pidana pencurian tenaga listrik diatur dalam Pasal 19, Bab IX, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, yang menyatakan:

“Barang siapa menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya merupakan

tindak pidana pencurian sebagaimana dimaksud dalam kitab

Undang-undang Hukum Pidana”.

Tindak pidana pencurian dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 362, yaitu:


(19)

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian

adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki benda tersebut secara melawan hukum diancam karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman denda

setingi-tingginya sembilan ratus rupiah”.

Namun untuk mendefinisikan perbuatan tersebut tidak menggunakan istilah

“Pencurian tenaga listrik” tetapi menggunakan istilah “pemakaian tenaga listrik

secara tidak sah” sebagaimana terdapat dalam Surat Edaran Direksi PLN No.

019/PTS/1975 tanggal 8 April 1975. Surat edaran ini menyatakan bahwa:

“Yang dimaksud dengan pemakaian tenaga listrik secara tidak sah adalah pemakaian listrik PLN dengan melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam syarat-syarat untuk mendapatkan sambungan, aturan-aturan instalasi

dan tarif dasar listrik yang berlaku”.

2. Unsur-unsur Pencurian Tenaga Listrik

Melihat pada pengertian pemakaian tenaga listrik secara tidak sah yang telah dikemukakan, maka didapat unsur-unsur dari pemakaian tenaga listrik secara tidak sah adalah sebagai berikut:

1. Pemakaian tenaga listrik menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan adalah satu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan dan didistribusikan untuk segala macam keperluan dan bukan listrik yang dipakai untuk komunikasi atau isyarat.


(20)

Menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) HURUF C Undang-Undang Nomor 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan yang dimaksud dengan tenaga listrik hanya terbatas pada pengertian tenaganya (power).

2. Melanggar salah satu ketentuan

Yang dimaksud dengan ketentuan adalah: a. Syarat-syarat mendapatkan sambungan

setiap calon pelanggan yang hendak melakukan penyambungan baik penyambungan baru, penyambungan sementara atau penambahan daya harus mengikuti prosedur dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh PLN, yaitu:

1. Calon pelanggan mengajukan permohonan untuk memperoleh sambungan listrik kepada PLN.

2. Permohonan tersebut diteliti oleh pihak PLN untuk mementukan perencanaan perhitungan biaya.

3. Jika calon pelanggan menyetujui besarnya biaya yang telah diperhitungkan oleh PLN, maka dibuatlah surat persetujuan.

4. Pemasangan instalasi listrik dilakukan oleh instalator yang ditunjuk oleh pelanggan.

5. Membuat surat perjanjian.

6. Membayar semua tagihan yang telah ditetapkan dalam surat perjanjian. 7. PLN memasukkan daya listrik ke rumah pelanggan.


(21)

b. Tarif Dasar Listrik yang berlaku

Tarif dasar yang berlaku adalah segala biaya yang dikenakan kepada pelanggan,. Biaya pemakaian listrik tersebut wajib dibayar oleh pelanggan setiap bulannya, meliputi bea beban dan bea pemakaian yang besarnya tergantung dari besarnya daya yang digunakan dan golongan pemakaian.

c. Aturan-Aturan instalasi

Aturan-aturan instalasi ini ditujukan kepada Biro Teknik Listrik yang melaksanakan intslasi si rumah pelanggan. Dalam pelaksanaan instalasi listrik tersebut, Biro Teknik Listrik harus memenuhi aturan-aturan instalasi, yaitu petunjuk pemasangan teknis pemasangan instalasi.

Apabila dalam penggunaan tenaga listrik digunakan dengan melanggar salah satu ketentuan dari PLN maka perbuatan tersebut merupakan pemakaian tenaga listrik secara tidak sah.

C. Bentuk-Bentuk Pemakaian Tenaga Listrik Secara Tidak Sah

Bentuk-bentuk pemakaian tenaga listrik secara tidak sah diatur dalam Surat Edaran No. 019/PST/1975, yaitu:

1. Pelanggan Golongan A: mempengaruhi pemakaian daya.

Pelanggan atau konsumen yang bersangkutan dalam hal ini berusaha agar dapat menggunakan daya lebih besar daripada daya yang tersedia menurut kontrak, sedangkan pemakaian kwh tetap terukur dengan baik.


(22)

Pelanggaran dilakukan antara lain dengan menyambung langsung atau mem by-pass pesawat-pesawat pembatas arus/otomat yang sudah ada dan juga dengan cara memperbesar sekring pembatas utama milik PLN,

Contohnya adalah dengan merusak termis/pembatas yang berfungsi sebagai pembatas arus/daya listrik maksimum yang dapat dipergunakan pelanggan sesuai perjanjian dan mengganti termis/pembatas dengan daya yang lebih besar dari daya yang telah ditentukan.

2. Pelanggaran Golongan B : mempengaruhi pemakaian KWH

Pelanggar atau konsumen dalam hal ini ingin agar pemakaian kwh tidak terukur dengan baik atau dapat dikatakan sama sekali tidak terukur dengan baik (tidak tercatat dalam kwh meter), tapi daya yang dipakai masih sesuai dengan kontraknya.

Pelanggaran dilakukan dengan cara meyambung terus atau mem by-pass ataupun mempengaruhi bekerjanya kwh meter. Dalam hal ini pesawat kwh meter tidak bekerja sama sekali atau kurang baik kerjanya, selain itu dapat pula dilakukan dengan cara menghentikan ataupun mempengaruhi bekerjanya lonceng (jam kontrak meter) sehingga pemakaian kwh pada waktu beban puncak (WHP) tidak terukur dengan baik.

Contohnya adalah:

a. Melubangi kwh meter dan mengganjal piringannya dengan suatu badan (jarum,kawat dan sebagainya) sehingga kwh tidak berputar dan berfungsi.


(23)

b. Memutuskan/melepaskan saklar yang terdapat dalam kwh meter, sehingga kwh tidak berfungsi karena tenaga listrik penggeraknya tidak masuk, namun aliran listrik tetap mengalir dalam rumah.

3. Pelanggaran Golongan C: mempengaruhi pemakaian daya dan kwh.

Dalam hal ini si pelanggar atau konsumen ingin agar pemakaian daya dapat lebih besar dari daya tersedia menurut haknya dikontrak dan ingin juga pemakaian kwh tidak terukur dengan baik atau sama sekali tidak terukur. Pelanggaran tersebut dapat dilakukan dengan cara:

1. Menyambung terus/mempengaruhi bekerjanya sekering utama/pembatas arus/otomat dan menghentikan/mempengaruhi bekerjanya pesawat pengukur dan lonceng.

2. Mengambil tenaga listrik dari saluran dalam langsung ke instalasi pelanggar.

3. Mengambil tenaga listrik dari saluran luar langsung ke instalasi pelanggar. 4. Mengambil tenaga listrik dari jaringan distribusi (jaringan/kawat listrik

yang berfungsi mengalirkan listrik ke rumah-rumah pelanggan) langsung ke instalasi pelanggar.

5. Menukar fasa dan nol pada sambungan fasa 1 (satu) fasa yang dihubungkan dengan tanah atau menghubungkan fasa dengan tanah pada sambungan 3(tiga) fasa.

Contohnya adalah:

1. Mencantol, yaitu suatu perbuatan mengambil tenaga listrik secara tak terbatas tanpa diketahui jumlahnya, hal ini dapat dilakukan baik pelanggan maupun non pelanggan. Mengambil tenaga listrik dapat


(24)

dilakukan dari saluran dalam (kabel, atau saluran listrik yang terletak di dalam rumah sebelum sampai pada kwh meter), dari saluran luar(kabel listrik yang terdapat di luar rumah, sampai batas ujung tiang/mustang) ataupun dari jaringan distribusi(jaringan/kawat listrik yang berfungsi mengalirkan listrik ke rumah-rumah pelanggan).

2. Sambungan Liar, yaitu perbuatan memberikan sebagian tenaga listrik milik pelanggan kepada orang lain yang bukan pelanggan dengan memperoleh imbalan/pembayaran tertentu.

Perbuatan ini dapat dilakukan oleh pelanggan/konsumen, bukan pelanggan/non konsumen, oknum PLN ataupun instalatir (petugas pemasangan instalasi listrik).

4. Pelanggan Golongan D: memakai tenaga listrik dalam Waktu Beban Puncak (WBP) tanpa izin atau melampaui azin yang diberikan. Waktu Beban Puncak adalah waktu dimana listrik banyak dipergunakan, misalnya waktu sore atau malam hari sekitar pukul 18.00-22.00 WIB. Ketentuan ini berlaku bagi pemakai dengan pesawat pengukur tarif ganda (pelanggan-pelanggan besar dengan pemakaian daya 30.000 VA atau lebih).

D. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaanggulangan Kejahatan

Politik hukum atau politik kriminal adalah suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan (Marc Ancel, dalam Barda Nawawi Arief, 1992:2), Sudarto menyebutkan bahwa:

“Politik kriminal ini dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas. Dalam arti sempit. Politik kriminal itu digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran


(25)

hukum yang berupa pidana. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan seluruh fungsi dari aparatur penegak hukum, sedang dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan perundang-undangan dan bada-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral dari masyarakat” (Barda Nawawi Arief, 1992:2).

Kebijakan atau upaya penaggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau utama dari politik kriminal adalah

“perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat” (Barda

Nawawi Arief, 1992:2).

Usaha-usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan (Politik Kriminal) menggunakan sarana non-penal dan penal, yaitu:

a. Sarana Non-penal

Sarana non-penal bisa juga disebut sebagai upaya preventif, yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga kemungkinan terjadi kejahatan, merupakan upaya pencegahan , penangkalan, pengendalian sebelum kejahatan terjadi, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Tujuan utama dari sasaran non-penal ini adalah memperbaiki kondisi kondisi sosial tertentu.


(26)

Menurut G. Peter Hoefnagels, upaya penaggulangan kejahatan melalui sarana non-penal dapat ditempuh dengan pencegahan tanpa pidana dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (Barda Nawawi Arief).

Contoh kegiatan yang dilakukan dalam sarana non-penal adalah penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral dan agama, peningkatan usaha-usaha anak remaja seperti Pramuka dan Karang Taruna, kegiatan patroli dan kegiatan lain yang dilaksanakan secara kontinu oleh polisi dan keamanan lainnya.

b. Sarana Penal

Sarana penal merupakan upaya represif, yaiu kebijakan dalam menanggulangi kejahatan dan menggunakan hukum pidana atau undang-undang, yang menitik beratkan pada penindasan, pemberantasan, penumpasan sesudah kejahatan terjadi. Menurut Sudarto (1986:118) yang dimaksud dengan upaya represif adalah:

“Segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah

terjadinya kejahatan atau tindak pidana. Termasuk upaya represif adalah penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntun dan seterusnya sampai

dilaksanakan pidana”.

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah masalah penentuan:


(27)

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama, yang sering juga disebut maslah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur, merata material spiritual berdasarkan Pancasila.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

(Barda Nawawi Arief, 1996:33-34)

E. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Sanksi Pidana

1. Pengertian Sanksi Pidana

Sanksi pidana adalah ancaman hukuman yang bersifat penderitaan dan siksaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anselm Von Feuerbach dengan ajarannya yang


(28)

ancaman hukuman akan menghindarkan orang lain dari perbuatan jahat (Satochid Kartanegara:tanpa tahun:56).

Penerapan sanksi pidana yang tegas diharapkan dapat menekan meningkatnya pencurian tenaga listrik secara kuantitas maupun kualitas. H. L. Packer didalam

bukunya “The Limit Of Criminal Sanction”, menimbulkan antara lain sebagai berikut:

1. Sanksi pidana sangatalah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang ataupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana.

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.

3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik atau prime threatener dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat cermat atau prudently dan secara manusiawi atau humanly, ia merupakan suatu pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.

(Muladi, Barda Nawawi Arief, 1984:155-156)

2. Bentuk-bentuk sanksi pidana

Bentuk-bentuk sanksi tercantum pada pasal 10 KUHP dengan membedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu:

a. Pidana Pokok 1. Pidana Mati 2. Pidana Penjara


(29)

3. Pidana Kurungan 4. Pidana Denda

5. Pidana Tutupan (terjemahan BPHN)

b. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

Dalam hal ini hanya akan diuraikan satu-persatu tentang bentuk-bentuk pidana pokok.

1. Pidana Mati

Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati dijalankan dengan jalan menjerat tali yang terikat di tiang gantungan leher pidana, kemudian algojo menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Kemudian Staatblad 1945 Nomor 123 yang dikeluarkan oleh Belanda menyatakan bahwa pidana mati dijalankan dengan jalan tembak mati. Staatblad ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaga Negara 1964 Nomor 38 yang ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun 1969.

2. Pidana Penjara

Pidana penjara adalah adalah pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan, yang bukan saja tidak merdeka berpergian tetapi juga kehilangan hak-hak tertentu, seperti hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu, hak untuk memangku jabatan publik, hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan, hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu, hak untuk mengadakan


(30)

asuransi hidup, hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan, hak untuk kawin dan hak-hak sipil lainnya. Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal 1 hari sampai penjara seumur hidup, yang hanya tercantum apabila ada ancaman pidana mati (pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara dua puluh tahun). Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimum 15 tahun.

3. Pidana Kurungan

Pembuat undang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara karena pidana kurungan diancam kepada delik-delik yang dipandang ringan seperti delik culpa dan pelanggaran, dimana dimana jangka waktu pemidanaannya lebih pendek dibandingkan dengan pidana penjara.

4. Pidana Denda

Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua yang terdapat setiap masyarakat. Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan. Oleh karena itu, pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana. Denda dalam perkara pidana dibayarkan kepada negara atau masyarakat, yang apabila tidak dibayar dapat diganti dengan pidana kurungan. Dan pidana denda tersebut tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi secara perdata kepada korban.

5. Pidana Tutupan

Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok dibagian akhir,


(31)

dibawah pidana denda. Pencantuman ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Pidana Tutupan. Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan ideologi yang dianutnya. Jadi dalam hal ini, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan terhadap mereka yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, pidana tutupan tidak pernah diterapkan.


(32)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris karena penelitian ini melihat kepada keberlakuan hukum pidana terhadap suatu perbuatan dan kenyataan yang ada didalam masyarakat pendukung hukum. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari dan menelaah asas-asas hukum yang berhubungan dengan masalah penegak hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan melakukan penelitian dilapangan, yaitu di PT. PLN Sektor Wilayah Lampung dan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan di Kota Bandar Lampung, sebagai institusi yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan yang dilakukan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam masalah penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik di Kota Bandar Lampung.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan, terbagi dalam:


(33)

a. Bahan Hukum Premier, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berasal dari perundang-undangan, terdiri dari:

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Jo UU No. 73 Tahun 1958 Tentang KUHP.

2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. 4. Arrest Hoge Raad Tanggal 31 Januari 1919

5. Arrest Hoge Raad Tanggal 23 Mei 1921 6. Arrest Hoge Raad Tanggal 3 Januari 1922 7. Arrest Hoge Raad Tanggal 8 Juni 1936 8. Arrest Hoge Raad Tanggal 24 Mei 1937 9. Arrest Hoge Raad Tanggal 14 Februari 1938

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti aturan pelaksana, yaitu Surat Edaran Direksi PLN No. 019/PST/1975 tanggal 8 April 1975, literature-literatur, hasil penelitian hukum, karya dari kalangan hukum dan dokumen yang mendukung.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang, mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan bahan-bahan primer, sekunder, tersier (penunjang) diluar bidang hukum, misalnya dari bidang teknik, sosiologi yang digunakan untuk melengkapi atau menunjang data penelitian.


(34)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi dalam penulisan skripsi ini adalah pihak-pihak yang terkait dengan masalah penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik di Kota Bandar Lampung. Dalam menentukan sample dari populasi yang diteliti menggunakan metode pengambilan sample yang berupa “purposive sampling”, yaitu berdasarkan penunjukan sesuai dengan kewenangan atau kedudukan sample. Adapun responden yang dijadikan sample adalah:

1. Polisi pada Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung : 1 Orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang 3. Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang : 1 Orang 4. Petugas PT. PLN Sektor Wilayah Lampung

- Kepala Bagian administrasi Kepegawaian : 1 Orang - Petugas Lapangan P2TL : 1 Orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Mengumpulkan data, penulis menggunakan langkah-lamgkah sebagai berikut: a. Memperoleh data primer dilakukan melalui metode wawancara terhadap

seluruh responden yang bertujuan mendapatkan informasi dengan cara bertanya secara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu (interview guide).

b. Mendapatkan data sekunder dilakukan melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dan dokumentasi dengan cara membaca, mencatat mengutip serta menelaah peraturan-peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.


(35)

2. Metode Pengolah Data

Pelaksanaan data yang diperoleh, penulis melakukan kegiatan sebagai berikut: a. Editing, yaitu memeriksa jawaban yang diperoleh tentang kelengkapan,

kebenaran, kejelasan dan relevansinya bagi penelitian.

b. Evaluasi, yaitu kegiatan memeriksa atas kelengkapan data, kejelasan, konsistensi serta relevansinya terhadap topik penulisan skripsi.

c. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis dan konsisten.

E. Analisis Data

Pada penelitian ini, data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu mendeskripsikan data dari hasil penelitian dilapangan dalam bentuk penjelasan. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir dengan mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus dan selanjutnya dengan beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(36)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden 1. Responden Petugas PLN a) Nama : Hendri AH

Agama : Islam

Status : Kepada Kepegawaian PLN Sektor Wilayah Lampung Pendidikan: S1

b) Nama : M. Nurohman Agama : Islam

Status : Petugas P2TL PLN Sektor Wilayah Lampung Pendidikan: SMU

2. Responden Polisi Nama : Rizal Agama : Islam

Status : Anggota Tipiter Poltabes Bandar Lampung Pendidikan: S1


(37)

3. Responden Jaksa Nama : Selamet Agama : Islam

Status : Kasubsi Pra Penuntutan Pendidikan: S1

4. Responden Hakim Nama : Tani Ginting Agama : Islam

Status : Hakim Pengadilan Negeri Bandar Lampung Pendidikan: S2

B. Gambaran Umum Pencurian Tenaga Listrik di Kota Bandar Lampung

Masalah tindak pidana pencurian tenaga listrik di Kota Bandar Lampung masih menjadi persoalan. Hal ini disebabkan karena penegak hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik belum dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jumlah kasus pencurian tenaga listrik yang cukup tinggi.

Untuk tahun 2003 kasus pencurian tenaga listrik mencapai 2,11 % dan sampai tahun 2007 kasus pencurian tenaga listrik mencapai 0,43 %. Data dari PLN Sektor Wilayah Lampung menyatakan bahwa pada tahun 2003 telah terjadi 2.333 kasus pencurian tenaga listrik dari 110.500 pelanggan yang diperiksa dan sampai


(38)

tahun 2007 telah terjadi 319 kasus pencurian tenaga listrik dari 74.899 pelanggan yang diperiksa, dengan perincian sebagai berikut:

Tabel I. Golongan Pelanggan Pencurian Tenaga Listrik Tahun 2007 dan 2008.

Sumber: PLN Sektor Wilayah Lampung, 2008

Keterangan: Golongan A: Mempengaruhi pemakaian daya Golongan B: Mempengaruhi pemakaian kwh

Golongan C: Mempengaruhi pemakaian daya dan kwh

Golongan D: Pemakaian listrik dalam Waktu Beban Puncak (WBP) tanpa ijin atau melampaui ijin yang diberikan.

Dari data yang telah dikemukakan, untuk tahun 2003 ditemukan daya kepadatan sebanyak 4.633.064 VA dengan penetapan tagihan susulan sebesar Rp. 1.485.682.170 dan sampai tahun 2007 ditemukan daya kepadatan sebesar 275.678 VA dengan penetapan tagihan susulan sebesar Rp. 382.638.339,-

Pencurian tenaga listrik di Kota Bandar Lampung disebabkan antara lain karena masih lemahnya pengawasan PLN terhadap pemakaian tenaga listrik, kemudahan dalam hal mengubah peralatan listrik PLN termasuk meter pengukur dan penerapan sanksi terhadap pelaku tidak menjerakan. Faktor-faktor tersebut dilator belakangi oleh motivasi ekonomi, untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan pihak lain, khususnya PLN (Negara) dengan memakai tenaga listrik

Pelanggalaran/tahun 2003 2004 2005 2006 2007

Gol A 677 204 247 — 81

Gol B 536 305 142 187 165

Gol C 1.120 754 56 164 64

Gol D — 11 32 37 9


(39)

sebanyak-banyaknya tetapi ingin membayar rekeningnya dengan biaya yang rendah (Sunarto, 1995:20).

Dari hasil wawancara dengan responden petugas PLN Sektor Wilayah Lampung, Hendri AH, diketahui bahwa daerah yang cukup rawan akan pencuriaan tenaga listrik di Kota Bandar Lampung adalah di daerah Way Halim, Kaliawi dan Kampung Baru. Hal ini dapat dimengerti, mengingat jumlah penduduk yang cukup padat di daerah tersebut dengan tingkat ekonomi dan kesadaran hukum yang bermacam-macam.

Dari beberapa pelaku tindak pidana pencurian tenaga listrik terlihat bahwa para pelaku ada yang merupakan pelanggan dan ada yang bukan pelanggan. Mereka melakukan hal tersebut dengan:

1. Sendiri, yaitu tidak dibantu oleh orang lain cara atau keterangan tentang pemakaian listrik secara tidak sah. Tindakan yang sering dilakukan adalah mencantol dan merusak termis.

2. Bantuan orang lain

Adapun pelaku dari perbuatan itu adalah: a. Pelanggan

b. Bukan Pelanggan

c. Oknum PLN untuk kepentingan sendiri

d. Oknum PLN yang memberi bantuan untuk melaksanakan sambungan liar.


(40)

Bantuan tersebut berupa: - Bantuan tidak langsung, yaitu

Pemberian keterangan tentang cara melakukan sambungan liar - Bantuan langsung, yaitu:

Oknum PLN sendiri yang melakukan perbuatan sambungan liar. 3. Kealpaan

a. Dari pelanggan, ia tidak mengetahui bahwa rumah yang baru ditempati tidak membayar rekening listrik sehingga ia harus menanggung akibatnya

b. Dari petugas, terjadi karena kurangnya informasi tentang data pelanggan sehingga dapat menyiapkan dan menentukan target operasi kurang terarah, menyebabkan pelaksanaannya tidak maksimal.

Pelanggaran yang paling ditemui di PLN Sektor Wilayah Lampung Periode Januari 2003 Sampai Desember 2007 adalah pelanggaran golongan B dan C dengan mudus operandi sebagai berikut:

1. Pelanggaran oleh pelanggan, seperti pelanggaran alat pengukur arus dan pembatas serta pelanggaran penggunaan alat pengukur arus dan pembatas, yang dapat dilakukan dengan:

a. Membuka tutup terminal KWH meter, kemudian membypass KWH meter, membuka klem tegangan, membalik fasa, menyambung langsung tanpa melalui APP atau memasukkan film ke dalam KWH.


(41)

b. Merubah setelan KWH meter, merubah register, mengganti roda gigi, membalik fasa untuk KWH meter 3 fasa.

c. Dengan menghubung singkat pembatas, menyetel atau mengganti pembatas dengan maksud memperbesar daya tersambung.

d. Merusak body alat pembatas.

e. Melepas klem tegangan pada terminal meter/kawat nol pada terminal blok OK.

f. Mempengaruhi bekerjanya/putaran KWH meter.

g. Menghambat putaran KWH meter dengan cara mengganjal piringan atau as piringan KWH.

h. As piringan diatur maksimum dan roda cacing direnggangkan. i. Memutus aliran listrik untuk time switch, merusak saklar

kontraktor time switch, merubah posisi pembagian atau membalik waktu.

2. Pelanggaran oleh bukan pelanggan, seperti:

a. Penyambung Langsung Jaringan Tegangan Rendah (JTR), penyambungan langsung Jaringan Tegangan Menengah (JTM), penyambungan langsung Jaringan Tegangan Tinggi (JTT).

b. Penyambungan langsung Saluran Masuk Pelayanan (SMP).

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelanggan maupun bukan pelanggan mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Hasil dari perbuatan yang dilakukan oleh pelanggan, dapat dibagi dalam dua hal (Sunarto, 1995:18), yaitu:

1. Penggunaan Watt listrik secara melebihi kapasitas yang diijinkan berdasarkan kontrak perjanjian dimana kelebihan atas kapasitas tersebut


(42)

tidak termonitor didalam meteran sehingga pembayaran rekening tidaklah termasuk penggunaan watt yang kelebihan tersebut.

2. Pelanggan yang tidak melebihi kapasitas watt yang diijinkan sesuai kontrak perjanjian tetapi memperkecil penggunaan watt yang sesungguhnya dimanipulasi dengan hanya membayar jumlah watt yang ada pada meteran.

Sedangkan hasil yang diharapkan dari perbuatan yang dilakukan oleh bukan pelanggan adalah menikmati penggunaan atau pemakaian tenaga listrik secara Cuma-Cuma, tanpa membayar.

Dari data yang dikemukakan, diketahui adanya penurunan jumlah kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi di Kota Bandar Lampung, yaitu pada tahun 2003 sebesar 2,11 % turun menjadi 0,43 % pada tahun 2007. Hl ini disebabkan karena upaya penanggulangan pencurian tenaga listrik yang dilakukan oleh PLN Sektor Wilayah Lampung.

Tahun 2003 pihak PLN haya menerapkan Operasi Penertiban Aliran Listrik (OPAL) atau yang sekarang disebut Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL), yaitu kegiatan yang berupaya mencari dan mengidentifikasi pencurian tenaga listrik yang terjadi melalui pemeriksaan langsung, yang dilakukan terhadap instalasi listrik pelanggan maupun bukan pelanggan.

Kegiata OPAL atau P2TL dilaksanakan berdasarkan pemantauan yang telah dilakukan terhadap rekening pelanggan yang bersangkutan atau berdasarkan informasi yang diterima dari masyarakat, petugas pencatat meter atau sumber informasi lainnya.


(43)

Pelaksanaan OPAL atau P2TL, dilengkapi dengan sarana hukum maupun administrasi yang lengkap yang berupa peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksana. Namun demikian, sering terjadi persinggungan antara pihak PLN yang sedang melaksanakan OPAL atau P2TL dengan masyarakat pelanggan maupun bukan pelanggan yang diperiksa, karena kebanyakan masyarakat merasa terganggu dengan pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan PLN terhadap instalasi listrik mereka sehingga timbul ancaman-ancaman kekerasan terhadap petugas PLN.

Melihat dari sikap masyarakat yang tidak mendukung pelaksanaan OPAL atau P2TL, maka untuk yahun 2007 pihak PLN berusaha menerapkan OPAL atau P2TL yang diikuti dengan Loss Reduction Programme (LRP), yaitu Pembinaan Pelanggan Pergardu yang bertujuan memperkecil peluang terjadinya pencurian tenaga listrik dan menghilangkan niat pelaku. Dalam hal ini diharapkan ada dukungan dari warga masyarakat terhadap langkah-langkah yang diambil oleh PLN, karena LRP bertujuan memantapkan pengetahuan hukum masyarakat, sehingga ada persesuaian antara program PLN dengan nilai-nilai yang dianut oleh warga masyarakat tersebut.

Kegiatan Loss Reduction Programme dilakukan dengan cara mengadakan pendekatan social masyarakat melalui penerangan, penyuluhan dan pembinaan yang dilakukan berulang kali, sehingga menimbulkan suatu penghargaan tertentu terhadap hukum. Kegiatan ini dalam politik kriminal disebut sebagai sarana non penal yaitu usaha penanggulangan kejahatan melalui upaya preventif, yang merupakan upaya pencegahan, dilakukan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam hal


(44)

ini pihak PLN berusaha memberikan pengertian terhadap masyarakat akan bahaya kerugian yang diderita dari pencurian tenaga listrik. Ternyata upaya ini efektif untuk dilaksanakan dalam menekan jumlah pencurian tenaga listrik yang terjadi.

C. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pencuriaan Tenaga Listrik di Kota Bandar Lampung

Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, serta peradaban manusia itu sendiri. Sampai saat inipun, hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik kriminal. Hukum pidana hampir selalu digunakan untuk “menakut

-nakuti atau mengamankan” bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul diberbagai bidang (barda Nawawi Arief, 1998: 39).

Sanksi pidana dianggap efektif dalam upaya penanggulangan kejahatan, mengingat sifatnya yang menjerakan. Tetapi dalam pelaksanaannya, sanksi pidana tidak selalu dapat diterapkan karena adanya berbagai alasan dan faktor penghambat sehingga penegakan hukum pidana belum dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini terjadi dalam kasus pencurian tenaga listrik di Kota Bandar Lampung.

Untuk kasus pencurian aliran listrik yang berhasil dilimpahkan dan berhasil disidangkan yaitu kasus pencurian untuk pertama kali dan baru yang pertama di Bandar Lampung yang dilakukan oleh konsumen industri dengan golongan pelanggaran C yaitu pelanggaran yang mempengaruhi pengurangan energi dengan cara merusak segel dan merubah pengawatan Kwh dan KVARN meter pada


(45)

Cubicle, menghilangkan segel asli pada pintu gardu dan Cubicle, merubah wiring hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (klem terminal dilepas).

Menanggapi tentang pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran listrik menurut Bapak Selamet selaku Kasubsi Pra Penuntutan menyatakan bahwa untuk kasus pencurian aliran listrik yang dilakukan oleh kalangan rumah tangga belum pernah ada yang dilimpahkan ke kejaksaan, tetapi telah ada kasus pencurian aliran listrik yang berhasil dilimpahkan ke pengadilan yang dilakukan oleh kalangan industri yaitu oleh CV. Bumi Waras dengan tersangka Sujadi Pohan alias Aseng yang dibantu oleh Karsono Baizigar alias Untung dan oknum dari PLN itu sendiri yaitu Slamet Riyadi alias Garen Sarju selaku Staf Gangguan PLN Rayon Teluk Betung dan Iswan Hamdi selaku Staf Distribusi dan Lapangan PLN Cabang Tanjung Karang.

Pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran listrik menurut Bapak Selamet selaku Kasubsi Pra Penuntutan tidak akan terlaksana apabila pihak PLN selaku pihak yang dirugikan tidak berkoordinasi dengan pihak kepolisian selaku penyidik. Dalam hal ini diharapkan ada upaya proaktif dari pihak PLN, berupa laporan tentang adanya suatu kasus pencurian aliran listrik kepada pihak kepolisian selaku pihak yang berwenang agar dapat dilakukan tindakan lebih lanjut yang kemudian diteruskan ke Kejaksaan dan Pengadilan.

Mengenai pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran listrik dalam kasus yang dilakukan oleh kalangan industri yaitu CV. Bumi Waras, terdakwa Sujadi Pohan dijatuhi hukuman hanya 6 bulan penjara dan terdakwa Karsono Baizigar selama 5 bulan 15 hari, lalu oknum PLN sendiri dijatuhi


(46)

hukuman masing-masing Iswan Hamdi selama 6 bulan penjara dan Slamet Riyadi alias Garen Sarju selama 5 bulan 15 hari. Hal tersebut dipandang dari sudut supremasi hukum maka pidananya harus diadili melalui jalur hukum dan hal tersebut diputus berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan hakim yang memiliki pertimbangan lain. Kasus tersebut diputus pada tanggal 8 Juli 2003 dengan Nomor Perkara No.254/Pid/B/2003/PNTK dan No.255/Pid/B/2003/PNTK setelah selama 8 kali diadakan persidangan.

Berbicara tentang penegakan hukum pidana berarti akan melibatkan faktor perundang-undangan, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum, yang terkait dengan masalah substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Dan dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana melalui tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi.

Dari segi substansi, berdasarkan Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 dan Arrest Hoge Raad tanggal 3 Januari 1992 serta Pasal 19 UU No. 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, dinyatakan bahwa pencurian tenaga listrik adalah tindak pidana pencurian dan memenuhi rumusan Pasal 362 KUHP, yaitu adanya pemakaian tenaga listrik secara tidak sah yang bukan miliknya sehingga dapat dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah. Hal ini didukung oleh pendapat responden Polisi, Jaksa, dan Hakim yang menyatakan bahwa pencurian tenaga listrik merupakan suatu tindak pidana murni yang dapat diantisipasi dengan Pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP.


(47)

Permasalahan yang ada di lapangan adalah tidak pernah dikenakan sanksi pidana dalam pasal 362 KUHP jo pasal 19 UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan terhadap kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi sehingga pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak terlaksanakan. Untuk mengetahui penyebab tidak terlaksananya penegakan hukum pidana tersebut, maka akan dilihat dari masing-masing institusi yang terkait, yaitu:

1. P.T. PLN Sektor Wilayah Lampung

PT. Perusahaan Listrik Negara merupakan penyelenggara kepentingan umum dibidang ketenagalistrikan, yang bertanggung jawab terhadap usaha penyediaan dan penunjang tenaga listrik yang meliputi pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik serta pembangunan dan pemasangan, pemeliharaan dan pengembangan peralatan ketenagalistrikan. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi tuntunan kebutuhan hidup masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi.

Pelaksanaan usaha penyediaan dan penunjang tenaga listrik tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya karena PLN sering menemui adanya pelanggan maupun bukan pelanggan listrik PLN, melakukan cara-cara menyimpang dari perilaku masyarakat atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, yaitu adanya pemakaian listrik secara tidak sah atau pencurian tenaga listrik.


(48)

Pencurian tenaga listrik ini menimbulkan susutnya jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik yang akan berakibat terjadinya penurunan tegangan sehingga peralatan-peralatan yang menggunakan tenaga listrik menjadi tidak berfungsi dengan baik. Hal ini akan merugikan semua masyarakat pemakai tenaga listrik dan menjadi sumber kerugian yang cukup besar bagi Negara sehingga timbul upaya mengembalikan kerugian tersebut dengan menerapkan sanksi administratif berupa penetapan tagihan susulan dengan mengesampingkan penerapan sanksi pidana.

Menurut responden petugas PLN Sektor Wilayah Lampung, alasan-alasan yang menyebabkan tidak dilaksananya penyelesaian kasus pencurian tenaga listrik melalui proses hukum antara lain karena:

1. Proses peradilan yang cukup lama sehingga menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Peradilan pidana tehadap suatu kasus tindak pidana merupakan suatu proses yang bekerja dalam beberapa lembaga penegak hukum, meliputi kegiatan yang bertahap dimulai dari penyelidikan Polisi, penuntutan oleh Jaksa, pemeriksaan di sidang pengadilan oleh Hakim dan pelaksana putusan hakim yang dilakukan oleh lembaga Pemasyarakatan.

Masing-masing tahapan penyelenggaraan peradilan pidana membutuhkan proses dalam penyelesaian kewenangan dan tanggung jawabnya sehingga perlu waktu relative lama dengan biaya operasional yang tidak sedikit. Sedangkan jumlah kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi di Kota Bandar Lampung mencapai 2.333 kasus pada


(49)

tahun 2003 dan 319 kasus pada tahun 2007, yang keseluruhan jumlah tersebut apabila diselesaikan melalui proses peradilan, tentu akan memerlukan waktu sangat lama dengan biaya operasional yang cukup tinggi.

Faktor waktu dan biaya membuat pihak PLN berpendapat bahwa proses peradilan tidak efektif diterapkan dalam penyelesaian kasus pencuriaan tenaga listrik yang terjadi, mengingat hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan dari pihak PLN yang berusaha mengupayakan pengembalian kerugian-kerugian materi yang dideritanya.

2. Kesulitan mendapatkan saksi

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengetahui adanya suatu pencurian tenaga listrik adalah melalui kegiatan OPAL atau P2TL yang dilaksanakan secara rutin terhadap instalasi listrik terhadap pelanggan maupun bukan pelanggan, yang diduga melakukan pencurian tenaga listrik, berdasarkan hasil pemantauan pemakaian listrik yang tidak wajar selam 3 bulan berturut-turut ataupun berdasarkan informasi dari masyarakat, petugas pencatat meter atau pegawai PLN.

Kegiatan OPAL atau P2TL tersebut dilakukan dengan maksud untuk mencari bukti dan mengidentifikasi tentang adanya suatu pelanggaran, namun dalam pelaksanaannya, petugas PLN seringkali menemui adanya pelanggan maupun bukan pelanggan yang instalasi listriknya sedang diperiksa, tidak mau memberikan keterangan tentang adanya


(50)

pelanggaran, dengan alasan tidak mengetahui tentang pelanggaran yang dimaksud atau bahkan mengaku bahwa yang bersangkutan bukanlah pemilik sehingga tidak tepat untuk dimintai keterangan tentang adanya suatu pelanggaran yang terjadi. Hal ini menyulitkan pihak PLN dalam melengkapi syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyidikan atau penuntutan seperti dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP sehingga penyelesaian melalui proses hukum sulit untuk dilaksanakan.

3. Kesulitan untuk menentukan waktu

Dalam kasus pencurian tenaga listrik sulit untuk mengetahui dan menentukan kapan perbuatan tersebut dilakukan dan oleh siapa perbuatan dilakukan karena dalam pemeriksaan OPAL atau P2TL, pihak PLN hanya dapat mengidentifikasikan pelanggaran-pelanggaran apa yang dilakukan dan besarnya kerugian tanpa dapat memperkirakan secara pasti waktu berlangsungnya pelanggaran dan pelaku pelanggaran, yang biasa dilakukan oleh siapa saja, seperti pelanggan, bulan pelanggan, instalatir maupun oknum PLN sehingga dalam hal ini timbul kesulitan dalam faktor membuktikan bahwa pihak yang diduga melanggar adalah merupakan pelaku seperti dimaksud dalam Pasal 362 KUHP.

4. Sikap pelanggar yang lebih memilih penyelesaian secara administratif daripada penyelesaian melalui jalur hukum.


(51)

Para pelanggar baik pelanggan maupun bukan pelanggan, pada umumnya lebih memilih penyelesaian secara administratif berupa pembayaran tagihan susulam daripada penyelesaian melalui jalur hukum. Dalam hal ini pembayaran tagihan susulan dirasakan lebih baik karena prosesnya lebih mudah dan cepat sehingga terhindar dari pemutusan aliran listrik oleh PLN. Sedangkan proses hukum dirasakan memberatkan karena masyarakat cendrung beranggapan bahwa proses hukum akan berlangsung lama dan mencemarkan nama baiknya sebagai orang yang bersalah.

5. Adanya ancama-ancaman kekerasan terhadap petugas OPAL atau P2TL.

Petugas PLN yang melaksanakan OPAL atau P2TL untuk mencari bukti-bukti adanya suatu pelanggaran, sering menemui kendala yang berupa ancaman-ancama kekerasan dari masyarakat yang merasa terganggu dengan pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan Tim OPAL atau P2TL terhadap instalasi listrik dan semua peralatan listrik mereka sehingga ada kesulitan bagi pihak PLN untuk dapat menemukan bukti-bukti yang mendukung dan dibutuhkan dalam proses persidangan.

6. Toleransi yang diberikan PLN terhadap pelanggan.

Pihak PLN selaku produsen yang menyediakan kebutuhan tenaga listrik menganggap para pelanggannya sebagai konsumen yang dapat memberikan pemasukan dan keuntungan bagi PLN, sehingga apabila


(52)

terjadi pencurian tenaga listrik yang dilakukan oleh pelanggan hanya akan dianggap sebagai pelanggaran yang cukup diselesaikan secara administrative. Hal ini dilakukan demi untuk menjaga hubungan baik antara pihak PLN selaku produsen dengan masyarakat pelanggan selaku konsumennya.

Apabila pencurian tenaga listrik dilakukan oleh bukan pelanggan, maka idealnya akan diselesaikan secara hukum dan diajukan sebagai tindak pidana. Namun hal ini pun tidak pernah diterapkan karena masyarakat bukan pelanggan dapat menjadi pelanggan dengan cara menyelesaikan sanksi administratif yang telah ditentukan dan mengajukan permintaan sambungan baru menurut prosedur yang berlaku. Dengan demikian, jumlah pelanggan PLN akan semakin bertambah, yang artinya akan menambah jumlah pemasukan dan keuntungan bagi PLN.

Alasan-alasan yang dikemukakan diatas menjadi dasar pemikiran bagi PLN untuk menerapkan alternatif penyelesaian lain yang masih dapat dilaksanakan, diluar ketentuan pidana, yaitu dengan menerapkan sanksi administratif berupa pembayaran tagihan susulan.

Tagihan Susulan adalah tagihan kemudian sebagai akibat adanya penyesuaian dengan ketentuan atau sebagai akibat adanya pelanggaran, yang dihitung berdasarkan golongan pelanggaran yang dilakukan (Golongan A, B, C atau D) dan perhitungan daya kedapatan, yaitu jumlah daya dari semua motor listrik, lampu pijar dan pelepas gas serta alat listrik


(53)

lainnya baik yang terpasang maupun yang dilihat dari letak keadaannya dapat dianggap akan/sudah dipakai, yang kedapatan di tempat pelanggaran pada waktu diadakan pemeriksaan dan kesemuanya dinyalakan hingga aliran listrik terputus.

Tujuan dari pembayaran listrik susulan adalah untuk mengembalikan kerugian materi yang di derita oleh PLN. Hal ini dalam hukum pidana dikenal sebagai penyelesaian di luar perkara, dikatakan wanprestasi sebagai perbuatan yang melanggar hukum perdata, yaitu melanggar perjanjian yang telah disepakati.

Penetapan tagihan susulan merupakan penerapan diskresi oleh PLN dalam penyelesaian pencurian tenaga listrik yang terjadi di Kota Bandar Lampung karena dalam hal ini PLN telah membuat keputusan atau kebijakan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.

Pihak PLN menilai kebijakan mengenai tagihan susulan lebih efektif dan lebih menguntungkan untuk diterapkan daripada penyelesaian melalui jalur hokum dengan menerapkan sanksi pidana karena penetapan tagihan susulan dapat mengupayakan pengembalian kerugian-kerugian materi yang diderita dan secara tidak langsung dapat membuat masyarakat mematuhi peraturan. Dikatakan demikian karena dalam hal ini PLN dengan sengaja menciptakan situasi tertentu, yaitu menetapkan tagihan susulan yang harus dibayar oleh pelanggar dan apabila tidak dipatuhi akan berakibat diputusnya aliran listrik pelanggar, sehingga pelanggar tidak


(54)

memiliki pilihan lain kecuali mematuhinya, dengan mengingat bahwa PLN adalah satu-satunya penyedia dan penyalur tenaga listrik yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Dan memang, dengan mempergunakan cara ini, tercipta suatu situasi dimana warga masyarakat agak terpaksa melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sehingga dapat menekan meningkatnya pencurian tenaga listrik.

Menanggapi kebijakan yang dilakukan oleh PLN, seharusnya penetapan tagihan susulan yang harus dibayar oleh pelanggar dan berakibat diputusnya aliran listrik apabila tidak dipatuhi berarti PLN telah menerapkan system monopoli dan dalam hal ini PLN telah mengabaikan hak-hak pelanggar untuk membela diri, seharusnya PLN menerapkan asas praduga tak bersalah, dimana seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap sehingga terhadapnya belum dapat dikenakan sanksi dan harus diberikan kesempatan untuk mempergunakan hak-haknya melalui proses hukum.

2. Kepolisian Kota Bandar Lampung

Polisi sebagai aparatur penegak hukum menduduki urutan pertama dalam Sistem Peradilan Pidana karena menempati posisi sebagai penjaga, yaitu melalui kekuasaan yang ada (Police discretion), ia merupakan awal mula dari proses pidana. Polisi merupakan penyelenggara hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat beserta segala jenis tingkah laku dan perbuatannya, baik berupa tindak pidana maupun bukan tindak pidana.


(55)

Dengan demikian dapat dikatakan pekerjaan Kepolisian adalah juga pekerjaan mengadili, karena Polisi memberikan penafsiran terhadap hokum pidana pada saat berhadapan dengan orang-orang tertentu yang melakukan perlawanan terhadap hukum (Sunarto, 1999:26-27).

Di dalam penegakan hukum, khususnya hukum pidana yang dilaksanakan oleh Polri selalu berhubungan dengan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), hal ini sejalan dengan tugas pokok Polri selaku aparat penegak hukum dan inti Pembina Kamtibmas, sebagaimana tercantum dalam UU No. 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian).

Polri selaku aparat penegak hukum yang menduduki urutan pertama dalam Sistem Peradilan Pidana bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti dinyatakan dalam Pasal 14 Huruf a UU No. 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam kaitannya dengan tindak pidana pencurian tenaga listrik yang terjadi, Polri juga bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU No. 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, yaitu:

1. Selain pejabat penyidik hukum yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya dapat juga dilakukan oleh


(56)

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diangkat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

2. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang

a. Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan.

b. Melakukan penelitian terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan.

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang lain atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang ketenagalistrikan.

d. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan melakukan penyitaan terhadap bahan yang akan dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagalistrikan.

e. Melakukan tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian penjelasan Pasal 24 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan menyatakan bahwa:

- Penyidikan atas perbuatan pidana yang diatur dalam undang-undang ini memerlukan keahlian dalam bidang ketenagalistrikan, sehingga perlu adanya petugas khusus untuk melakukan penyidikan di samping penyidik yang biasa bertugas menyidik tindak pidana.

- Petugas yang dimaksud adalah antara lain pegawai yang bertugas di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagalistrikan.


(57)

- Sedangkan yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ialah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana beserta peraturan pelaksananya.

Jadi jelas dalam tindakan penyelidikan dan penyidik tersebut, bahwa polisi atau PPNS yang bersangkutan, dalam hal ini adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertugas di Departemen Pertambangan berwenang sebagai penyidik dalam kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi.

Ketentuan yang telah ditur dalam perundang-undangan seharusnya dilaksanakan, tetapi dalam kenyataan, tim OPAL atau P2TL yang bertugas melakukan penertiban pemakaian tenaga listrik dan mengidentifikasikan adanya pelangaran-pelanggaran yang tidak selalu mengikutsertakan polisi atau PPNS yang bersangkutan dalam pelaksanaan operasinya. biasanya, Polisi atau PPNS tersebut baru akan diikutsertakan pada saat pelaksanaan operasi khusus, yaitu operasi secara mendadak ke suatu daerah atau keadaan malam hari.

Dari hasil wawancara dengan anggota Tipiter poltabes Bandar lampung, Bapak Rizal, diketahui bahwa sejau ini pihak kepolisian bekerjasama dengan pihak PLN dalam pelaksanaan hanya sebatas pada menjadi pendamping PLN dalam pelaksanaan operasinya, dengan tujuan untuk menjaga kemungkinan terjadinya tindak kekerasan, seperti pemukulan yang dilakukan oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap tim OPAL atau P2TL, selain itu pihak kepolisian diperlukan untuk membuat berita tentang adanya suatu kasus pencurian tenaga listrik, yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk menetapkan besar tagihan


(58)

susulan, sebagai upaya penyelesaian yang diberlakukan oleh PLN terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Jadi dapat diketahui bahwa, peran peran kepolisian sebagai penyidik tidak terlaksana karena PLN selaku pihak yang diugikan hanya menginginkan penyelesaian secara administratif yang dinilai lebih menguntungkan dari pada penyelesaian melalui jalur hukum. Dengan demikian pihak kepolisian pun bersikap pasif, tidak melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi. Selain itu, pihak kepolisian juga mengaku beratnya beban pihak kepolisian dalam menyelesaikan tugas-tugas pokoknya dan dalam menangani tindak pidana lainnya, seperti pencurian dengan kekerasan, pencurian dengan pemberatan, pencurian kendaraan bermotor, pembegalan, pembunuhan, pemerkosaan sehingga apabila ditambahkan dengan kasus pencurian tenaga listrik akan menimbulkan kelampauan beban tugas, mengingat terbatasnya atau kemampuan daya kerja dari pihak kepolisian.

Keterbatasan-keterbatasan yang dialami pihak kepolisian, antara lain pada factor sarana dan prasarana atau fasilitas, yang mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil dibidang ketenagalistrikan, peralatan dan kendaraan serta keuangan, sehingga pihak kepolisisian pun berpendapat bahwa untuk kasus pencurian tenaga listrik dapat diselesaikan secara administratif melalui penetapan tagihan susulan sepanjang cara tersebut lebih menguntungkan, lebih efektif dan lebih memungkinkan untuk diterapkan karena pada dasarnya penegakan hukum bertujuan untuk mencapai keamanan dan ketertiban, dengan pembayaran tagihan susulan apabila dapat menyelesaikan masalah maka dibenarkan.


(59)

3. Kejaksaan Negri Bandar lampung

Jaksa sebagai aparatur penegak hukum yang mempunyai salah satu tugas dibidang penuntutan merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah guna melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kewenangan jaksa dalam menuntut didasarkan pada asas legalitas, yaitu adanya peraturan perundang-undangan yang memberi kewenangan kepada jaksa sebagai satu-satunya lembaga penuntut umum yang mewakili pemerintah dalam penegakan hukum pidana. Dengan demikian kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan seperti diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan republik Indonesia (UU Kejaksaan).

Penuntut umum merupakan lembaga yang menerima perkara dari penyidik untuk kemudian melakuan penuntutan dimuka persidangan serta melaksanakan putusan hakim. Tetapi dalam kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi, tidak pernah dilakukan penuntutan oleh jaksa karena pihak kepolisian selaku penyidik tidak pernah melakukan penyidikan terhadap kasus tesebut dan melimpahkannya ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan.

Memanggapi tentang pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik, Bapak Selamet, selaku Kasubsi Pra Penuntutan di Kejaksaan Negri Bandar lampung menyatakan bahwa, hal tersebut tudak akan terlaksana selama PLN selaku pihak yang dirugikan tidak berkoordinasi dengan pihak Kepolisian selaku penyidik. Dalam hal ini diharapkan adanya upaya yang proaktif dari pihak PLN, berupa laporan tentang adanya suatu kasus pencurian tenaga listrik kepada


(1)

Judul Skripsi : ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN ALIRAN LISTRIK DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Nama Mahasiswa : FAIZAL KURNIAWAN AP No Pokok Mahasiswa : 0312011128

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Adrisman, S.H., M.H Heni Siswanto, S.H., M.H NIP. 19611231 198903 1 023 NIP. 19650204 199009 1 004

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, SH.,MH NIP. 19620817 198703 2 003


(2)

FAKTOR

FAKTOR PENYERBAB TERHADAP PENCURIAN

TENAGA LISTRIK DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(Proposal Judul)

FAIZAL KURNIAWAN AP 0312011128

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2008


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum dengan prinsip menciptakan ketentraman dalam masyarakat dan kepastian hukum. Dalam melaksanakan fungsinya secara efisien dan produktif perlu kebijaksanaan disegenap bidang pembangunan agar kerangka hukumnya dapat dimantapkan sebagai pemberi patokan serta pemberi pengarahan bagi pembangunan ekonomi dan perkembangan sosial budaya. Meningkatnya kejahatan secara kuantitas maupun kualitas memerlukan cara yang tepat dalam upaya penanggulangan ataupun pengurangannya, yaitu dengan ditingkatkannya pembinaan hukum yang tertib dan bertanggung jawab disamping meningkatkan pengawasan serta langkah-langkah penindakan.

Kehidupan masyarakat Indonesia terus maju dan berkembang sehingga kebutuhan hidup menjadi semakin beragam, salah satunya adalah kebutuhan akan adanya tenaga listrik. Tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara, sebagai salah satu penemuan teknik yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga keberadaanya menjadi sangat vital bagi pembangunan nasional pada umumnya dan sebagi salah satu pendorong kegiatan ekonomi pada khususnya. Maka dalam pelaksanaannya, pemerintah membentuk suatu badan hukum Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang sekarang berbentuk PT.


(4)

Perusahaan Listrik Negara sebagaimana sifat usahanya untuk menyelenggarakan kepentingan umum dibidang ketenagalistrikan, memenuhi kebutuhan maysarakat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam pemenuhan kebutuhan tanaga listrik, ada kecenderungan mayarakat mengatasinya dangan cara-cara yang menyimpang, baik karena motifasi ekonomi maupun karena kurangnya kesadaran hukum dan moral, yaitu pemakaian listrik secara tidak sah yang dapat dilakukan oleh pelanggan maupun bukan pelanggan listrik sehingga menyebabkan susut transmisi dan distribusi tenaga listrik yang menjadi sumber kerugian yang cukup besar bagi Perusahaan Listrik Negara.

Untuk mengatasi pencurian listrik ini pemerintah telah mengatur dalam Pasal 362 KUHP tentang Pasal pencurian dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, Pasal 19 yang menyatakan bahwa: “Barang siapa menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya merupakan tindak pidana pencurian sebagaimana dimaksud dalam Kitap Undang-Undang Hukum Pidana”.

Tetapi masrakat tidak bisa selalu dipersalahkan atas pencurian tenaga listrik ini, sebagai contoh, banyak dari masyarakat yang menjadi korban pemerasan dari oknum-oknum nakal petugas PLN, masyarakat ditawarkan oleh petugas PLN sendiri untuk mencuri litrik dirumahnya kemudian setelah satu atau dua bulan berikutnya ada oknum lain yang datang dan memeras masyarakat dengan dalih mencuri tegangan listrik.


(5)

Selalu banyak faktor yang menyebabkan masyarakat itu sendiri untuk mencuri listrik, baik itu dari diri mereka sendiri yang biasanya dilatar belakangi permasalahan ekonomi atau pun pengaruh dari orang lain yang dalam hal ini banyak dilakukan oleh petugas PLN itu sendiri.

Berdasarkan atas latar belakang yang dikemukakan, maka penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian berjudul “Faktor-Faktor Penyebab Terhadap Pencurian

Tenaga Listrik Di Kota Bandar Lampung”

B. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor-Faktor apa sajakah yang menyebapkan pencurian tenaga listrik di kota Bandar Lampung?

2. Seberapa besarkah peranan oknum petugas PLN dalam masyarakat sehingga menyebabkan masyarakat melakukan pencurian tenaga listrik di kota Bandar Lampung?


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, Pada 06 Juli 1984, sebagai anak pertama dari empat bersaudara, pasangan Ali Achmad Uce dan Nurtimala.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Xaverius Way Halim Permai Bandar Lampung di selesaikan Pada tahun 1991. Sekolah Dasar (SD) di selesaikan di SD Xaverius Way Halim Permai Bandar Lampung pada tahun 1997. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Al Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2000. Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMU Al Kautsar Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2003.

Pada tahun 2003, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SPMB. Pada tanggal 15 Januari sampai 16 Maret 2007 penulis mengikuti Praktik Kerja Lapangan Hukum (PKLH) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung.