Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
economic and social develovment yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat.
Penyelenggaraan pemerintahan
baru akan
terwujud apabila
penyelengaraan pemerintahan nasional dilaksanakan secara menyeluruh, terencana, terarah, dan berkesinambungan dengan memanfaatkan sumber daya
yang ada. Dalam hal ini keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan nasional tergantung pada aspek manusianya yakni sebagai pemimpin, pelaksana, dan
pengelola sumber daya yang ada pada negara. Kelancaran penyelanggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional juga sangat tergantung pada
kesempurnaan aparatur negara baik ditingkat pusat maupun di daerah. Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yang merupakan cita-cita bangsa, maka
diperlukan adanya ASN yang handal sesuai dengan bidang kemampuannya, baik, berwibawa, bebas dari intervensi politik, bermental yang kuat, berdaya guna, adil,
bersih dari korupsi, kolusi, nepotisme atau yang disingkat KKN, jujur, bertannggung jawab, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi
masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai aparatur negara. Aparatur negara merupakan unsur perekat rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang penuh
kesediaan dan ketaatan pada Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945. Agar dapat mewujudkan ASN seperti yang diharapkan yang merupakan
bagian dari birokrasi reformasi, maka perlu adanya suatu pembinaan dan pengembangan diri agar dapat mempertanggungjawabkan kinerja berdasarkan
sistem merit dalam pelaksanaan manajemen ASN. Salah satu bentuk pengembangan ASN adalah dengan mutasi. Mutasi sering kali dilaksanakan
dengan alasan sebagai motivasi agar semangat dalam bekerja serta untuk memenuhi keinginan dari ASN untuk bekerja pada bidang tugasnya masing-
masing sesuai dengan minat yang dimilikinya, akan tetapi pelaksanaan mutasi kerja juga sering kali disalah artikan sebagai bentuk hukuman jabatan.
Pelaksanaan mutasi sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan peluang untuk ASN mengembankan potensi yang dimilikinya. Mutasi dilaksanakan berdasarkan
pada indeks prestasi yang diraih dari seorang ASN melalui penilaian objektif. Selain itu mutasi dilaksanakan agar kinerja ASN dalam melaksanakan tugasnya
dapat dilakukan dengan lebih efektif karena mutasi yang tidak dapat meningkatkan efktifitas dan efisiensi tidak ada artinya dan bahkan dapat
merugikan instansi pemerintahan itu sendiri. Pelaksanakan mutasi harus dilakukan dengan cara dan prosedur yang tepat sesuai dengan aturan yang berlaku agar
mutasi tidak dirasakan sebagai hal yang menakutkan dikalangan ASN, untuk melakukan mutasi jabatan tidaklah mudah terutama dalam menentukan indikator
atau ukuran, siapa, kemana, dan bagaimana mekanisme mutasi tersebut. Dengan pertimbangan tersebut maka dari itu mutasi yang dilaksanakan terhadap ASN
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan harus memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang matang agar mutasi yang dilakukan terhadap ASN dapat
berjalan sesuai prosedur, tepat sasaran dan yang paling penting adalah sudah sesuai serta tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah dalam melakukan mutasi terhadap ASN berarti pemerintah sebagai bagian dari pemerintahan mempunyai wewenang untuk itu, dimana sifat
dari wewenang itu adalah expressimlied, jelas maksud dan tujuannya, terkait pada
waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan tidak tertulis yang isinya bersifat umum.
1
UU No. 5 tahun 2014 adalah aturan baru yang sudah barang tentu menjadi pedoman dalam pelaksanaan mutasi kepegawaian pada
setiap instansi pemerintahan baik itu di tingkat pusat maupun di daerah, akan tetapi pada kenyataannya tidak jarang ditemukan pelaksanaan mutasi terhadap
ASN menyalahi aturan. Berkaca pada kasus mutasi yang terjadi di kota Denpasar, dimana seorang penjabat Walikota Denpasar melakukan mutasi terhadap dua
orang pegawai ASN yang merupakan pejabat eselon II kota Denpasar.
2
Pada kasus mutasi tersebut, mutasi yang dilakukan oleh penjabat Walikota Denpasar
dianggap tidak berdasar dan melanggar aturan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6
tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, dan Wakil Kepala Daerah lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2008 nomor 92 dan tambahan lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4865 yang selanjutnya disebut PP No. 49 tahun 2008, karena berdasarkan pasal
132 A yang menyatakan bahwa : 1
Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat 1 dan ayat 3, serta Pasal 131 ayat 4, atau
yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkandicalonkan menjadi calon kepala
daerahwakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri
untuk mencalonkandicalonkan sebagai calon kepala daerahwakil kepala daerah dilarang:
a.
melakukan mutasi pegawai;
1
S.F. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 154-155.
2
Anonim, “Dipertanyakan, dasar hukum pejabat walikota melakukan mutasi”, Bali Post, Sabtu paing, 10 Oktober 2015, hlm. 2.
b. membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya
danatau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya;
c. membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan
kebijakan pejabat sebelumnya; dan d.
membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
2 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dikecualikan setelah
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan pada UU No. 5 tahun 2014 yang dapat melakukan mutasi adalah
pejabat pembina kepegawaian sesuai dengan pasal 73 ayat 2 yang menyatakan bahwa, Mutasi PNS dalam satu intansi pusat atau instansi daerah dilakukan oleh
pejabat pembina kepegawaian. Mengenai pejabat pembina kepegawaian diatur dalam pasal 53 UU No. 5 tahun 2014 yang menyatakan bahwa:
Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan
pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepada:
a. menteri di kementerian;
b. pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian;
c. sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga nonstruktural;
d. gubernur di provinsi; dan
e. bupati walikota di kabupaten kota
Berdasarkan uraian pasal-pasal dari UU No. 5 tahun 2014 dan PP No. 49 tahun 2008 tersebut apabila dikaitkan dengan kasus yang terjadi di pemerintahan
kota Denpasar yaitu seorang pejabat Walikota Denpasar melakukan mutasi terhadap dua orang pegawai ASN yang merupakan pejabat eselon II kota
Denpasar secara kasat mata terlihat adanya perbedaan diantara kedua aturan tersebut mengenai aturan dalam pelaksanaan mutasi terhadap ASN, sehingga akan
terjadi kebingungan mengenai aturan mana yang dapat dijadikan pedoman atau dasar hukum seorang penjabat Walikota melakukan mutasi.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut dengan mengidentifikasi instrumen hukum
nasional Indonesia dalam menyikapi persoalan mengenai pelaksanaan mutasi bagi ASN di instansi pemerintahan dan aturan mana yang harusnya digunakan sebagai
pedoman dalam pelaksanaan mutasi dengan melihat kasus mutasi yang terjadi di pemerintahan kota Denpasar. Maka permasalahan ini menjadi sangat menarik dan
relevan jika dianalisa serta dibahas secara komperhensif dalam pembahasan penulis skripsi yang berjudul
“KEWENANGAN PENJABAT WALIKOTA MELAKUKAN MUTASI”