Pembangunan Ekonomi Pariwisata EVALUASI DAMPAK KEGIATAN WISATA PESISIR TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT DI PULAU NUSA PENIDA.

dari menggunakan kearifan lokal. Masyarakat yang tinggal dikota-kota modern harus mempelajari kearifan lokal lama dan disesuaikan dengan keadaan mereka Na Thalang dalam Mungmachon, 2001: 177. Masalah yang ditimbulkan oleh globalisasi memprovokasi banyak orang untuk mencari cara-cara untuk lebih baik mengelola hidup mereka. Ini merupakan cara berbeda tergantung pada pilihan yang dibuat oleh individu. Sifat yang bijaksana dan berpengetahuan yang sangat diperlukan untuk penelitian ini, sehingga memungkinkan untuk memilih kerangka yang tepat bagi masyarakat untuk belajar hidup bertanggung jawab dan bijaksana. Selain itu, efek langsung adalah hanya salah satu dari tiga kelas efek multiplier dalam perekonomian: dua lainnya adalah efek tidak langsung yang timbul dari pendirian yang menerima barang pembelian pengeluaran wisatawan dan jasa dari sektor-sektor lain dalam ekonomi lokal; dan efek yang terjadi dari penduduk lokal menghabiskan mereka upah, gaji, laba didistribusikan, sewa dan bunga atas barang dan jasa dalam perekonomian lokal Cooper et al., 1998 diinduksi. Dengan pendayagunaan aspek sosial, budaya, dan pelestarian pada lingkungan berbasis ekowisata, maka akan bisa meningkatkan minat bagi wisatawan untuk mengunjungi suatu objek wisata. Akan menambah nilai tersendiri bagi masyarakat Bali umumnya, bahwa perekenomian yang berkembang dan bermutu adalah perekonomian yang selalu berpegang pada dasar penjagaan lingkungan yang menjadi penggerak pariwisata kerakyatan.

4.4. Pembangunan Ekonomi Pariwisata

Pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin ekonomi penghasil devisa bagi pembangunan ekonomi di suatu negara tidak terkecuali di Indonesia. Namun demikian pada prinsipnya pariwisata memiliki spektrum fundamental pembangunan yang lebih luas bagi suatu negara. Berdasarkan beberapa jenis pengembangan pariwisata oleh Pearce 1992, destinasi merupakan gabungan dari produk dan pelayanan yang tersedia di satu lokasi yang dapat menarik pengunjung diluar wilayah bersangkutan. Franch and Martini menjelaskan pengertian manajemen destinasi: as the strategic, organizational and operative decisions taken to manage the process of definition, promotion and commercialisation of the tourism product [originating from within the destination], to generate manageable flows of incoming tourists that are balanced, sustainable and sufficient to meet the economic needs of the local actors involved in the destination 2002:5. Inti pemikiran diatas menegaskan bahwa manajemen destinasi berkenaan dengan keputusan strategis, organisasional dan operatif yang dilakukan untuk mengelola proses pendefinisian, promosi dan komersialisasi produk pariwisata untuk mewujudkan arus turis yang seimbang, berkelanjutan dan berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi disuatu destinasi. Segala sesuatau yang berhubungan dengan pengembangan, pemasaran, layanan dan aktivitas pendukung harus diidentifikasi secara tepat sesuai dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam perencanaan wisata. Perencanaan tersebut tentunya jangan sampai menghilangkan keunikan dari kawasan wisata, yaitu pemandangan alam, kawasan perairan, taman-taman, dan lain-lain. Diharapkan secara bersama-sama, para pelaku tersebut dapat membangun serta mengembangkan elemen- elemen kepariwisataan sesuai dengan peran, tanggungjawab, dan motivasi masing-masing. Pariwisata akan terwujud dengan adanya suasana dan fasilitas pendukung, lingkungan alam dan sosial ekonomi serta masyarakat dan pengunjung dengan berbagai macam ketertarikan. Ada lima pendekatan untuk perencanaan wisata yang diidentifikasikan oleh para ahli. Lima pendekatan ini dapat diterapkan pula dalam perencanaan wisata air. Empat diantaranya dikemukakan oleh Getz 1987:45 dan ditambah lagi satu pendekatan yang dikemukakan oleh Page 1995:185. Pendekatan-pendekatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Boosterism. Merupakan suatu pendekatan sederhana yang melihat pariwisata sebagai suatu atribut positif untuk suatu tempat dan penghuninya. Obyek-obyek yang terdapat di suatu lingkungan ditawarkan sebagai aset bagi pengembangan kepariwisataan tanpa memperhatikan dampaknya, yang menurut Hall 1991:22 nyaris dapat dikatakan bukan sebagai suatu bentuk dari perencanaan pariwisata. Masyarakat setempat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan daya dukung wilayah yang ada tidak begitu dipertimbangkan. 2. The Economic-Industry Approach. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang sangat luas digunakan oleh kota-kota yang menganggap pariwisata sebagai suatu industri yang dapat mendatangkan manfaat-manfaat ekonomi bersama-sama dengan penciptaan lapangan kerja serta munculnya kesempatan- kesempatan dalam pembangunan. Konsep pariwisata dengan pendekatan ini adalah sebagai suatu ekspor bagi sistem perkotaan, dan pemasaran digunakan untuk menarik pengunjung yang merupakan pembelanja tertinggi. 
 Tujuan-tujuan ekonomi lebih dinomorsatukan daripada tujuan-tujuan sosial dan lingkungan, yaitu dengan menetapkan sasaran utama berupa pengalaman menarik bagi pengunjung dan tingkat kepuasan yang dialami oleh para wisatawan. 3. The Physical-Spatial Approach 
Pendekatan ini didasarkan pada tradisi “penggunaan lahan” geografis dan perencana- perencana dengan pendekatan rasional untuk perencanaan lingkungan perkotaan. Kepariwisataan dilihat di dalam suatu range konteks, tetapi dimensi lingkungan dianggap juga sebagai isu kritis dari daya dukung sumber daya wisata di dalam kota. Strategi-strategi perencanaan yang berbeda berdasarkan prinsip-prinsip keruangan digunakan di sini, misalnya pengelompokan pengunjung di kawasan-kawasan utama, atau pemecahan untuk menghindarkan terlalu terkonsentrasinya pengunjung di satu kawasan, dan pemecahan untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya konflik-konflik. Hanya saja satu kritik bagi pendekatan ini adalah masih kurang mempertimbangkan dampak sosial dan kultural dari wisata perkotaan. 4. The Community Approach 
Merupakan pendekatan yang lebih menekankan pada pentingnya keterlibatan maksimal dari masyarakat setempat di dalam proses perencanaan. Perencanaan tradisional top-down, dimana perencana menetapkan agenda yang perlu dimodifikasi untuk memasukkan kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal di dalam proses perencanaan dan penentuan keputusan. Jadi, community tourism planning ini menganggap penting suatu pedoman pengembangan pariwisata yang dapat diterima secara sosial social acceptable. 
 Pendekatan ini menekankan pada pentingnya manfaat-manfaat sosial dan kultural bagi masyarakat lokal bersama-sama dengan suatu range pertimbangan ekonomi dan lingkungan. Menurut Haywood 1988, dalam penerapan rencana, “bentuk politis” dari proses perencanaan tersebut seringkali terjadi penurunan derajat misalnya dari kemitraan partnership menjadi penghargaan tokenism. 5. Sustainable Approach Sustainable tourism planning 
 Pendekatan ini adalah pendekatan yang diidentifikasi oleh Page, merupakan pendekatan keberlanjutan berkepentingan dengan masa depan yang panjang atas sumber daya dan efek-efek pembangunan ekonomi pada lingkungan yang mungkin juga menyebabkan gangguan kultural dan sosial untuk memantapkan pola-pola kehidupan dan gaya hidup individual. Dalam konteks perencanaan pariwisata, pembangunan berkelanjutan didasarkan pada beberapa prinsip yang ditetapkan oleh the World Commission on the Environment and Development the Brundtland Commission pada tahun 1987 yang menurut Hall 1991 berhubungan dengan eguity, the needs of economically marginal populations, and the idea of technological and social limitations on the ability of the environment to meet present and future needs. Untuk menindaklanjuti adanya beberapa prinsip tersebut diatas, Dutton dan Hall 1989 mengidentifikasikan mekanisme-mekanisme yang dapat digunakan sebagai pedoman pencapaian suatu pendekatan berkelanjutan yang realistik untuk perencanaan pariwisata, yaitu sebagai berikut: 1. Mendorong kerjasama dan saling perhatian untuk meningkatkan manfaat dari setiap pendekatan, sehingga perencanaan pariwisata harus kooperatif dan didasarkan pada sistem pengendalian terpadu. 2. Mengembangkan mekanisme koordinasi industri. 3. Meningkatkan kepedulian konsumen mengenai pilihan-pilihan yang berkelanjutan dan 
 tidak-berkelanjutan, termasuk manfaat-manfaat dari manajemen pengunjung. 4. Meningkatkan kepedulian produsen atas manfaat-manfaat perencanaan pariwisata yang 
 berkelanjutan. 5. Menggantikan pendekatan-pendekatan perencanaan konvensional dengan perencanaan 
 strategik, untuk ini disyaratkan semua pihak yang berkepentingan membuat komitmen 
 yang pasti untuk tujuan-tujuan yang berkelanjutan. 6. Memberi perhatian yang lebih besar atas keperluan perencanaan kualitas pengalaman 
 wisatawan, dengan suatu pandangan atas keberlanjutan jangka panjang dari produk wisata, bersama-sama dengan memantapkan atraksi dari kawasan tujuan wisata. 
 Pariwisata berkelanjutan dapat dikatakan sebagai pembangunan yang mendukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya alam dan budaya secara berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan memberi manfaat baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang Puslitbang BP. Budpar, 2003. Pariwisata budaya mempunyai peran penting dalam membantu masyarakat lokal mencapai potensi penuh mereka. Adanya kesepakatan tentang tantangan dan peluang yang dihadapi masyarakat setempat dalam menggunakan pariwisata sebagai alat untuk pengembangan ekonomi, budaya dan sosial. Pemerintah perlu aktif membantu masyarakat lokal untuk mencapai pembangunan pariwisata berkelanjutan. Menurut laporan Konferensi Internasional WTO 2006: 21-23 tentang pariwisata budaya dan komunitas lokal, terdapat beberapa unsur yang direkomendasikan untuk memperluas penggunaan pariwisata budaya sebagai alat yang efektif dalam pembangunan ekonomi lokal, yaitu: 1. Membantu masyarakat dan pejabat publik dalam memahami sifat sistem pariwisata alam. 2. Membantu masyarakat dan pejabat publik agar bisa menentukan pengalaman pengunjung dengan lebih baik. 3. Mengadopsi proses analisis dan dokumentasi yang menyangkut masyarakat yang memiliki beragam ukuran. 4. Mengembangkan proyek interdisipliner meneliti isu yang membawa kapasitas dan batasan-batasan dalam pertumbuhan. 5. Meningkatkan basis pengetahuan yang ada tentang pariwisata budaya dan masyarakat lokal. 6. Mengembangkan perencanaan berbasis masyarakatdan teknik manajemen. 7. Mengembangkan kasus persatuan pariwisata budaya berbasis bantuan masyarakat. 8. Mengadaptasikan model tujuan wisata kewisata budaya di masyarakat daerah. Dari penjelasan tersebut dapat diuraikan, bahwa masyarakat memiliki kendali utama dalam pengembangan sektor pariwisata yang berbasis ekowisata. Sebagian besar fasilitas wisata disediakan oleh masyarakat, dimana semua fasilitas tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Apabila semua ruang lingkup bersatu padu, maka system ekonomi pariwisata yang berkelanjutan akan berjalan dengan baik. Masyarakatlah pemegang kunci utama perkembangan ekonomi pariwisata berbasis ekowisata. Dapat dikatakan bahwa masyarakat berperan sebagai jumlah keseluruhan pengalaman wisatawan yang berwisata pada suatu daerah. Berdasarkan beberapa wacana dalam konferensi tersebut, maka peran pariwisata kerakyatan dalam pembangunan ekonomi pariwisata , dapat dijabarkan sebagai berikut: - Penambahan pada pendapatan penduduk lokal - Adanya banyak peluang bagi penduduk yang masih remaja maupun yang belum bekerja - Menyebabkan peningkatan permintaan produk lokal - Adanya budaya revitalisasi - Menyebabkan peningkatan kebanggaan masyarakat - Peningkatan kapasitas dalam pengambilan keputusan masyarakat

4.5. Penelitian sebelumnya