Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Populasi remaja di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 sebanyak 255 juta jiwa dan 27 di antaranya adalah remaja usia 10-24 tahun Badan Pusat Statistik Nasional, 2015. Remaja di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY, sebagai fokus subjek peneliti, pada tahun 2016 pula telah mencapai lebih dari 650 ribu jiwa. Jumlah ini terus meningkat sebanyak 1-5 setiap tahunnya atau sekitar 1000-3000 jiwa Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016. Peningkatan populasi ini disertai peningkatan kasus permasalahan remaja, terutama di Kota Yogyakarta. Pihak Panti Sosial Bina Remaja PSBR Kota Yogyakarta menerangkan bahwa jumlah anak berhadapan dengan hukum ABH terus meningkat. Salah satunya adalah kasus pencurian yang dilakukan oleh 20 anak di tahun 2011. Jumlah ini meningkat pada tahun berikutnya menjadi 105 anak dan bertambah menjadi 174 anak di tahun 2013. Kasus pencurian ini menjadi sebanyak 216 kasus di tahun 2014 KRjogja.com, 2015. Hurlock 2006 mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang menimbulkan ketakutan karena remaja menjadi sulit untuk diatur dan cenderung berperilaku yang tidak baik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2 Masa remaja adalah periode transisi perkembangan masa kanak- kanak menuju masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan dalam aspek biologis, kognitif, dan sosio-emosional Larson dkk, dalam Santrock, 2007. Masa remaja disebut pula masa peralihan karena individu meninggalkan tingkah laku kanak-kanak dan belajar menyesuaikan diri pada tata cara hidup orang dewasa Ali Ansori, 2009. Santrock 2011 menyatakan bahwa perubahan biologis yang terjadi pada masa remaja adalah percepatan pertumbuhan, perubahan hormonal, dan kematangan seksual yang ditandai dengan pubertas. Dari segi kognitif, remaja mengalami peningkatan dalam berpikir abstrak dan logis. Pada segi sosio-emosional, seorang remaja mencari kebebasan, mengalami konflik dengan orang tua, dan keinginan untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman sebaya. Cole dalam Khan, 2012 menjelaskan bahwa perubahan dari anak- anak yang tergantung menjadi individu bebas dan mandiri menyebabkan remaja harus menyesuaikan diri dengan banyak hal demi menuju kedewasaan. Remaja harus lebih mampu mengendalikan emosi, mengembangkan ketertarikan terhadap lawan jenis, membangun hubungan sosial dengan orang lain, mampu mandiri secara finansial, dan memandang kehidupan secara lebih luas. Penyesuaian diri ini diperoleh melalui proses belajar memahami, mengerti, dan berusaha melakukan apa yang diinginkan individu maupun lingkungannya. Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3 menjadi lebih matang dalam berpikir dan bertindak. Individu mampu mencari sisi positif dan kreatif dalam mengelola kondisi serta mampu mengendalikan diri, sikap, dan perilakunya. Kemampuan tersebut membuat individu lebih mudah diterima dalam lingkungannya Sandha, Hartati, Fauziah, 2012. Namun, Wong et al. 2008, dalam Asnita, Arneliwati, Jumaini, 2015 mengatakan bahwa status kematangan emosional remaja masih belum terlihat jelas atau remaja masih belum mampu mengendalikan emosinya sendiri. Akibatnya emosi remaja masih mudah dan sering berubah- ubah. Hal ini menyebabkan remaja dijuluki sebagai orang yang tidak stabil, tidak konsisten, dan tidak mampu diprediksi. Masalah yang kecil dapat diinterpretasikan remaja menjadi sesuatu yang besar. Hall dalam Santrock, 2003 menambahkan bahwa emosi remaja usia 12-23 tahun mengalami badai dan stres storm and stress. Remaja sesekali sangat bergairah dalam bekerja dan tiba-tiba berganti lesu, kegembiraan yang meledak bertukar rasa sedih yang sangat, rasa percaya diri berganti rasa ragu-ragu yang berlebihan, serta kebimbangan dalam menentukan cita-cita dan menentukan hal-hal yang lain. Perubahan emosi yang cepat pada remaja membuat remaja rentan terhadap stress, depresi, kemarahan, kesulitan akademis, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja, dan gangguan makan Widuri, 2012. Stress timbul karena transisi berlangsung pada suatu masa ketika banyak perubahan yang terjadi pada individu, salah satunya adalah masa remaja PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4 Sandha, Hartanti, Fauziah, 2012. Berbagai perubahan dan tuntutan sosial pada masa remaja menimbulkan tekanan-tekanan bagi remaja. Hal- hal tersebut menambah beban psikologis pada diri remaja sehingga remaja menjadi sangat sering merasa kecewa, tidak menghargai diri sendiri, dan menganggap dirinya sebagai orang yang gagal Khan, 2012. Tidak mudah bagi remaja untuk beradaptasi sehingga mendorong terjadinya kenakalan remaja. Mengenai kenakalan remaja, Tribun Jogja 16 Juli 2015 memberitakan peristiwa terjadinya tawuran pelajar antar dua Sekolah Menengah Pertama SMP swasta di Yogyakarta setelah memperoleh berita kelulusan. Kejadian ini dipicu oleh salah satu kelompok pelajar SMP swasta yang terlebih dahulu menyerang para pelajar SMP swasta lain. Lonjakan emosi remaja juga memicu tindakan berlebihan dan membahayakan bagi diri remaja sendiri dan orang lain. Miler dalam Pradhana, 2015 mengatakan bahwa para remaja kurang memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah. Remaja yang mengalami tekanan cenderung kesulitan dalam menyelesaikan masalah, mudah memiliki emosi negatif, tidak mampu berpikir dengan jernih, dan cenderung berpikir pendek dalam bertindak Widuri, 2012. Sehingga, remaja sering memilih untuk menghindari masalah, salah satunya adalah dengan mengonsumsi obat-obatan terlarang atau narkotika. 5 Mengenai penggunaan narkoba di Daerah Istimewa Yogyakarta DIY, Tribun Jogja 25 Januari 2013 mengutip pernyataan Badan Narkotika Nasional BNN bahwa jumlah pengguna narkoba di Daerah Istimewa Yogyakarta DIY terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012, jumlah pengguna narkoba usia remaja berjumlah 69.700 orang. Jumlah ini meningkat pada tahun 2013 menjadi sebanyak 87.432 orang. Badan Narkotika Nasional BNN memperkirakan jumlah ini terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Dari peristiwa kenakalan remaja di atas diketahui bahwa proses perkembangan remaja sangat sulit untuk dilewati dan membuat remaja merasa tertekan. Remaja menjadi sulit untuk diatur dan cenderung berperilaku yang tidak baik bahkan berani melakukan hal yang merugikan dirinya sendiri, seperti mengonsumsi narkoba. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan remaja untuk mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan dan tuntutan sosial sepanjang masa perkembangannya. Tidak sedikit yang mampu menjalani hidup dengan baik dan memaknai masa remaja secara sungguh-sungguh. Dalam upaya untuk melewati proses perkembangan remaja dengan baik dibutuhkanlah suatu kemampuan penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan dalam diri, baik fisik maupun psikis emosi dan tuntutan lingkungan, yang berupa harapan-harapan sosial terhadap diri remaja, disebut resiliensi. Boyce Rodgers dan Rose serta Kumpfer dalam Veselska, Geckova, Orosova, Gajdosova, van Dijk Reijneveld, 2012 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6 merumuskan resiliensi sebagai sebuah proses dari kapasitas atau hasil kesuksesan dalam beradaptasi dengan membangun kekuatan emosional atau psikologis yang positif. Desmita 2012 mengatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan resiliensi, memiliki kehidupan yang lebih kuat dengan mampu menyesuaikan diri pada perubahan diri dan sosial serta tekanan lain dalam kehidupan. Oleh karena itu, resiliensi menjadi faktor penting bagi remaja karena pada masa remaja tidak hanya terjadi perubahan fisik, psikis, dan sosial, namun perubahan-perubahan tersebut menuntut atau menekan remaja untuk menjadi dewasa seperti yang diharapkan lingkungan Santrock, 2007. Remaja yang mampu bertahan dan beradaptasi pada situasi tersebut adalah remaja yang resilien. Remaja resilien memiliki tujuan, harapan, dan perencanaan terhadap masa depan, yang didukung oleh ketekunan dan ambisi dalam mencapai hasil yang diperoleh Evarall, Altrows, Paulson, dalam Hidayati, 2014. Kemampuan resiliensi yang optimal juga membantu remaja terhindar dari berbagai perilaku meladaptif, seperti perilaku bunuh diri, depresi, menyerang orang lain, dan mengalami ketergantungan obat-obatan terlarang Santrock, 2007. Proses menuju kemampuan resiliensi yang optimal dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah faktor individu yang berupa harga diri self-esteem. Self-esteem dipilih sebagai faktor yang mempengaruhi resiliensi remaja dalam penelitian ini karena remaja yang menerima dirinya sendiri dan menilai diri serta kehidupannya secara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 positif, mampu beradaptasi secara positif dan mampu melewati proses perkembangan remaja dengan baik. Schwarz 2010 mendefinisikan self- esteem sebagai suatu penilaian pribadi atas keberhargaan worthiness yang diekspresikan melalui sikap implisit maupun eksplisit seseorang terhadap dirinya sendiri. Sorensen dalam Aunillah Adiyanti, 2015 merumuskan self-esteem sebagai pandangan yang mendasar atas diri atau bersifat personal tentang bagaimana merasa, menilai, dan menghargai diri sendiri. Santrock 2007 mengatakan bahwa harga diri yang rendah disebabkan oleh penilaian negatif remaja terhadap diri maupun hidupnya. Hal ini menyebabkan remaja merasa tidak nyaman secara emosional dan menunnjukkan berbagai perilaku yang negatif serta menghindari resiko. Remaja dengan harga diri rendah cenderung merasa tidak berdaya, tidak bersemangat, dan kurang percaya diri terhadap kemampuannya dalam mengatasi masalah. Namun, remaja dengan harga diri tinggi, cenderung merasa bahagia, aman, mampu menahan diri, tenang, dan memiliki pikiran yang jernih dalam mengatasi masalah yang terjadi Yusuf, 2008 dalam Fadillah, 2014. Hal-hal tersebut dikarenakan remaja memandang diri dan hidupnya secara lebih positif sehingga mendukung remaja untuk mencapai resiliensi. Kemampuan penilaian atas diri individu ini berdampak pada tingkat motivasi, usaha dan ketekunan, kemampuan untuk bangkit dari kegagalan, dan mendapatkan kesuksesan dalam hidup Lupo, dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 Aunillah Adiyanti, 2015. Dengan kata lain, self-esteem membantu remaja untuk beradaptasi terhadap berbagai perubahan dan tekanan yang terjadi dalam hidup Branden, 1992, dalam Aunillah Adiyanti, 2015. Individu dengan self-esteem yang tinggi lebih mampu mengenali diri sekaligus menerima setiap perubahan dalam dirinya, dan memiliki motivasi untuk mengembangkan perubahan ke arah positif. Remaja yang menilai dirinya secara positif cenderung memandang perubahan dan harapan masyarakat terhadap dirinya sebagai suatu tantangan. Remaja pun menjadi merasa lebih bahagia dan lebih efektif dalam mengatasi perubahan dan memenuhi tuntutan lingkungan Coopersmith, 1967. Sebaliknya, individu yang memiliki self-esteem rendah cenderung memandang perubahan dan harapan lingkungan sebagai suatu tuntutan yang menyebabkan remaja kesulitan dalam menampilkan perilaku sosialnya. Individu juga memberi pandangan negatif terhadap diri sendiri dan membiarkan pikiran tentang kelemahan-kelemahan diri mendominasi perasaannya Sorensen, 2006, dalam Aunillah Adiyanti, 2015. Hal ini menghambat individu untuk berkembang ke arah yang lebih positif. Individu menjadi cenderung memilih untuk melakukan sesuatu yang berbahaya dan merugikan karena merasa terasing, tidak dicintai, dan kurangnya pemahaman individu tersebut terhadap dirinya Sandha, Hartanti, Fauziah, 2012. Individu pula menjadi mudah stres ketika tidak mampu mencapai sesuatu yang diinginkan dan sulit mengembangkan potensi diri bahkan mencapai resiliensi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9 Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa self-esteem memiliki pengaruh pada resiliensi. Di antaranya penelitian Smestha 2015 mengenai pengaruh self esteem dan dukungan sosial terhadap resiliensi pada mantan pecandu narkoba menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari self esteem dan dukungan sosial terhadap resiliensi. Penelitian yang dilakukan oleh Ekasari dan Andriyani 2013 juga menunjukkan pengaruh yang signifikan pula dari self-esteem dan peer group support terhadap resiliensi. Kedua penelitian di atas Smestha, 2015 Ekasari dan Andriyani, 2013 memiliki kesamaan, yakni dari segi variabel yang diteliti, penelitian mengaitkan pengaruh variabel self-esteem dan resiliensi dengan variabel atau aspek lain. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini secara khusus mengeksplorasi bagaimana pengaruh self-esteem terhadap resiliensi karena peneliti menilai self-esteem memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan resiliensi remaja. Hal di atas didukung oleh Amalia 2014 yang mengatakan bahwa dalam proses membangun identitas diri, remaja membutuhkan penghargaan, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun penghargaan yang didapatkan dari orang lain atau self-esteem need, istilah menurut Harold Maslow. Maslow menegaskan bahwa kebutuhan terhadap self- esteem pada masa remaja merupakan kebutuhan yang sangat penting. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10 Berdasarkan fenomena dan alasan penelitian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Pengaruh Harga Diri Self- Esteem terhadap Resiliensi pada Remaja.

B. Rumusan Masalah