Hubungan antara self-esteem dan religiusitas terhadap resiliensi pada remaja di Yayasan Himmata

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

MUHAMMAD IQBAL

(106070002177)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN

RELIGIUSITAS TERHADAP RESILIENSI PADA

REMAJA DI YAYASAN HIMMATA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

MUHAMMAD IQBAL NIM: 106070002177

Di Bawah Bimbingan :

Pembimbing I

Ikhwan Lutfi, M.Psi

NIP. 19730710 200501 1 006

Pembimbing II

Zulfa Indira Wahyuni, M.Psi

NIP. 19810509 200901 2 012

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432H/2011M


(3)

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN RELIGIUSITAS TERHADAP RESILIENSI PADA REMAJA DI YAYASAN HIMMATA”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 6 Desember 2011

Sidang Munaqasyah Ketua/Dekan

Jahja Umar, Ph.D NIP. 130 885 522

Sekretaris/Pembantu Dekan

Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 19561223 198303 2001 Anggota

Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si

NIP. 19620724 198903 2 001

Dra. Diana Mutiah, M.Si

NIP. 1967102 199603 2 001

Ikhwan Lutfi, M.Psi

NIP. 19730710 200501 1 006

Zulfa Indira Wahyuni, M.Psi

NIP. 19810509 200901 2 012


(4)

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Muhammad Iqbal

NIM : 106070002177

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN RELIGIUSITAS TERHADAP RESILIENSI PADA REMAJA DI YAYASAN HIMMATA” adalah benar merupakan karya saya dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah dicantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau ciplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 29 November 2011 Yang Menyatakan,

Muhammad Iqbal NIM: 106070002177


(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO :

(

#q

Ł

=t«¡ sø

@dr&

ł

.

ˇe

%!

$#

b

˛

) OGY. w

t

b qHs>Łs?

“Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (An-Nahl: 43)

Persembahan:

Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya, B apak M .

Syamsuddin dan I bu D. Sholihati yang telah mendoakan, mendidik dan

membentuk karakter saya hingga saat ini.


(6)

ABSTRAK

A) Fakultas Psikologi B) November 2011 C) Muhammad Iqbal

D) Hubungan Antara Self-Esteem dan Religiusitas Terhadap Resiliensi Pada Remaja di Yayasan HIMMATA

E) xiv + 126 halaman + lampiran

F) Persaingan dunia global saat ini, telah menciptakan kelompok masyarakat yang hidup dengan status sosioekonomi yang rendah, kaum miskin kota, kelompok marginal, anak jalanan, dan masyarakat yang hidup dalam keterbatasan. Dalam konteks remaja sebagai individu yang tengah dihadapkan pada pencarian jati diri dan status sebagai orang dewasa, hal tersebut menjadi suatu ancaman baru bagi perkembangan psikologis mereka, karena secara alami remaja mudah tertekan dengan beragam resiko (Goldstein, 2005). Data Badan Pusat Statistik (2010), menyebutkan terdapat 110.978.00 warga miskin yang hidup di kota, dan 19.925.600 warga miskin lainnya hidup di desa. Lalu data DEPSOS RI (2010), menyebutkan jumlah anak jalanan pada tahun 2008 sebanyak 109.454 jiwa. Remaja yang berhasil menghadapi tantangan-tantangan dan kesengsaraan adalah remaja yang mampu mengembangkan kerangka berpikir untuk menjadi resilient. Yaitu mereka yang mampu berkembang dengan baik (Gordon, 1993), adaptif dan tak terkalahkan (Werner & Smith, 1982), tidak mudah terserang (Garmezy, 1985), berhasil beradaptasi dengan keadaan yang merugikan (Norman, 2000), dan mereka yang mampu menghadapi, mengatasi, mempelajari, dan berubah melalui kesulitan-kesulitan yang tak terhindarkan (Grotberg, 2003). Untuk menjadi resilient atau memiliki resiliensi yang baik, banyak faktor yang menentukan, salahsatunya adalah self-esteem (perasaan tentang diri sendiri, perasaan tentang hidup, dan perasaan tentang orang lain) dan religiusitas (daily spiritual experience, values, beliefs, forgiveness, private religious pratices, religious/spiritual coping, religious support, religious/spiritual history, organizational religiousness). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara self-esteem dan religiusitas dengan resiliensi pada remaja di Yayasan HIMMATA. HIMMATA atau Himpunan Pemerhati Masyarakat Marginal Kota) adalah sekolah bagi remaja dengan latar belakang sosioekonomi yang rendah (miskin), termasuk juga remaja yatim piatu, dan remaja yang menjadi anak jalanan. Sampel yang berjumlah 146 orang diambil dengan teknik simple random sampling dan diberikan angket untuk mengukur self-esteem, religiusitas dan resiliensi responden. Analisa data pada penelitian ini menggunkan metode Statistic Multiple Regression Analysis pada taraf signifikansi 0,05.


(7)

Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara self-esteem dan religiusitas dengan resiliensi pada remaja, dimana jika remaja memiliki self-esteem yang tinggi, maka resiliensinya akan tinggi pula, begitu juga dengan religiusitas. Sebaliknya, jika self-esteem dan religiusitas remaja rendah maka resiliensinya akan rendah pula. Pada pengujian dimensi masing-masing variabel dari self-esteem dan religiusitas sebagai variabel minor, menunjukkan bahwa hanya variabel daily spiritual experience, values, forgiveness, private religious practice, dan perasaan tentang diri sendiri yang signifikan terhadap resiliensi. Hasil penelitian juga menunjukkan proporsi varians dari resiliensi yang jelaskan oleh semua indepent variable adalah sebesar 53,8%, sedangkan 46,2% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian.

Hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian adalah pengadministrasian alat ukur, serta sampel penelitian yang lebih representatif dan homogen.

G) Bahan Bacaan: 33 Buku, 11 Jurnal, dan 2 Int enet . (1961-2011)


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, hidayah, dan pencerahan-Nya kepada peneliti, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini dengan kesungguhan dan kerja keras. Penelitian ini adalah manifestasi pemahaman peneliti atas studi Ilmu Psikologi yang telah dipelajari selama masa perkuliahan, khususnya studi Psikologi Sosial yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Penelitian ini diajukan sebagai prasyarat kelulusan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti telah melibatkan banyak pihak yang secara langsung maupun tidak telah memberikan konstribusi nyata bagi peneliti dalam rangka mendapatkan hasil penelitian yang maksimal. Termasuk juga pelajaran dan hikmah baik selama penyusunan skripsi, maupun selama peneliti menghabiskan berkuliah di Fakultas Psikologi. Terimakasih yang sebesar-besarnya peneliti ucapkan kepada:

1. Kedua orang tua, yang selalu mendukung, membantu dan memberikan nasihat dengan sabar dan kerja keras selama peneliti menyelesaikan penelitian ini. Keempat saudaraku, t’Duha, Ismah, Jadid dan Fiah yang telah mendukung secara emosional selama peneliti mengerjakan skripsi dan umumnya selama masa perkuliahan.

2. Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Jakarta, dan Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, Pembantu Dekan I, beserta seluruh jajaran dekanat lainnya, yang secara totalitas dan kesungguhan telah memfasilitasi pendidikan kepada mahasiswa dalam rangka menciptakan lulusan-lulusan Fakultas Psikologi yang baik dan berkualitas.

3. Sitti Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi., selaku pembimbing akademik yang selalu membantu, mendukung, dan memberikan masukan kepada peneliti baik selama masa perkuliahan maupun selama peneliti melaksanakan penelitian. Terimakasih untuk support yang luar biasa.

4. Ikhwan Lutfi, M.Psi. dan Zulfa Indira Wahyuni, M.Psi, dosen pembimbing peneliti yang dengan kesabaran dan kesungguhan telah memberikan banyak saran dan kritik kepada peneliti selama masa penyusunan skripsi ini. Terimakasih telah meluangkan waktu yang begitu berharga untuk berdiskusi dan memberikan masukan.

5. Dosen-dosen peneliti, Mrs. Yunita, Mrs. Rena Latifa, Mr. Avicena, Mr Abdul Mujib, dan seluruh dosen di Fakultas Psikologi yang telah membimbing, memberikan masukan, dan bertukar ide dengan peneliti selama penyusunan skripsi maupun masa perkuliahan. Terimakasih untuk dedikasi yang luar biasa, dosen-dosen yang mendidik dengan kejujuran


(9)

dan kesungguhan, dosen-dosen yang mengatakan tahu jika mengetahui, dan tidak tahu jika tidak mengetahui. Terimakasih.

6. Pak Sarkono, kepala Yayasan HIMMATA, terimakasih telah memberikan izin dan memfasilitasi peneliti selama peneliti melaksanakan penelitian di Yayasan HIMMATA.

7. Roni, pengajar di Yayasan HIMMATA yang telah banyak membantu dan memfasilitasi peneliti selama masa penelitian, khususnya selama masa pengambilan data di Yayasan HIMMATA. Terimakasih untuk kemurahan hati dan keikhlasannya membantu peneliti mendapatkan banyak pengalaman dan pelajaran berharga selama berada di HIMMATA.

8. Para responden peneliti di Yayasan HIMMATA, siswa/I SMP dan SMA yang telah bersedia memberikan informasi dan mengisi angket penelitian sehingga peneliti dapat melaksanakan penelitian ini dengan hasil yang maksimal. Terimakasih untuk pelajaran berarti yang peneliti dapatkan. Kalian telah menunjukkan bagaimana menjadi individu yang resilient ditengah keterbatasan dan kesulitan hidup.

9. Adiyo dan ka Via, sahabat peneliti yang telah banyak membantu peneliti dalam pengolahan dan analisa data selama penyusunan Bab 3-5. Terimakasih untuk kesungguhan dan kesediaannya sob.

10.Terakhir, terimakasih untuk kawan-kawan seperjuangan yang telah banyak mendukung dan memberikan masukan baik selama penyusunan skripsi ini maupun selama masa perkuliahan, Kharubi, Ade, agan Reza, agan Dimas, agan Vita, Hani Istifa, Firanti, Cut, dan Tsauroh.

Penelitian ini tidak akan berarti tanpa kehadiran dan kontribusi dari seluruh pihak yang telah peneliti sebutkan di atas. Peneliti sangat berharap penelitian ini dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang dan bisa memberi manfaat bagi siapa saja yang membaca, serta menjadi kontribusi nyata sebagai wacana baru dalam diskursus kajian Ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Sosial. Peneliti juga berharap siapapun yang membaca penelitian ini dapat memberikan masukan dan kritik yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan di masa yang akan datang. Amin.

Jakarta, 29 November 2011

Peneliti


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-16 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 12

1.2.1 Perumusan Masalah ... 12

1.2.2 Pembatasan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 14

1.4 Manfaat Penelitian ... 14

1.5 Sistematika Penulisan ... 16

BAB 2 KAJIAN TEORITIS ... 17-70 2.1 Resiliensi ... 17

2.1.1 Pengertian Resiliensi ... 17

2.1.2 Protective Factors dan Risk Factors ... 24


(11)

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi ... 27

2.1.4 Karakteristik Resiliensi ... 33

2.2 Self-Esteem ... 38

2.2.1 Pengertian Self-Esteem ... 38

2.2.2 Dimensi-Dimensi Self-Esteem ... 42

2.3 Religiusitas ... 46

2.3.1 Pengertian Religiusitas ... 46

2.3.2 Dimensi-Dimensi Religiusitas ... 48

2.4 Remaja ... 54

2.4.1 Pengertian Remaja ... 54

2.4.2 Resiliensi pada Remaja ... 56

2.4.3 Self-Esteem pada Remaja ... 58

2.4.4 Religiusitas pada Remaja ... 60

2.5 Kerangka Berpikir ... 62

2.6 Hipotesis Penelitian ... 67

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 71-92 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 71

3.2 Variabel Penelitian ... 72

3.2.1 Definisi Konseptual ... 72

3.2.2 Definisi Operasional ... 73

3.3 Pengambilan Sampel ... 74

3.3.1 Populasi dan Sampel ... 74

3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel ... 74

3.4 Pengumpulan Data ... 75


(12)

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data ... 75

3.4.2 Instrumen Penelitian ... 76

3.4.3 Uji Validitas Alat Ukur ... 78

3.4.3.1 Uji Validitas Skala Resiliensi ... 79

3.4.3.2 Uji Validitas Skala Religiusitas ... 82

3.4.3.3 Uji Validitas Skala Self-Etsem ... 86

3.5 Analisa Data ... 89

3.6 Prosedur Penelitian ... 91

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 93-110 4.1 Analisis Deskriptif ... 93

4.2 Uji Hipotesis Penelitian ... 99

4.2.1 Analisis Korelasional Variabel Penelitian ... 99

4.2.2 Analisis Regresi Variabel Penelitian ... 100

4.2.3 Pengujian Proporsi Varians Independent Variable ... 105

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 111-120 5.1 Kesimpulan ... 111

5.2 Diskusi ... 112

5.3 Saran ... 117

5.3.1 Saran Metodologis ... 118

5.3.2 Saran Praktis ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 121-126 LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Karakteristik Remaja di Yayasan HIMMATA Tabel 1.2 Alasan Pentingnya Penelitian Resiliensi

Tabel 2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Menurut Wagnid dan Young

Tabel 2.2 Perbedaan Karakt erist ik Resilient dan Vulnerabilit y

Tabel 3.1 Skor untuk Setiap Pernyataan Pada Skala Tabel 3.2 Blue Print Skala Self-Esteem

Tabel 3.3 Blue Print Skala Religiusitas Tabel 3.4 Blue Print Skala Resiliensi Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Resiliensi

Tabel 3.6 Matriks Korelasi Antar Kesalahan Pengukuran dari Item Resiliensi Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Religiusitas

Tabel 3.8 Matriks Korelasi Antar Kesalahan Pengukuran dari Item Religiusitas

Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Self-Esteem

Tabel 3.10 Matriks Korelasi Antar Kesalahan Pengukuran dari Item Self-Esteem

Tabel 4.1 Distribusi Populasi Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.2 Distribusi Resiliensi Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.3 Distribusi Populasi Berdasarkan Usia


(14)

Tabel 4.4 Distribusi Resiliensi Berdasarkan Usia

Tabel 4.5 Signifikansi Perolehan Mean Berdasarkan Usia Tabel 4.6 Distribusi Populasi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel 4.7 Distribusi Resiliensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tabel 4.8 Signifikansi Perolehan Mean Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel 4.9 Perolehan Skor Variabel Secara Kategorik

Tabel 4.10 Matriks Korelasi Antar Variabel Tabel 4.11 Tabel Anova

Tabel 4.12 Tabel R Square

Tabel 4.13 Tabel Proporsi Varians Self-Esteem terhadap Resiliensi Tabel 4.14 Tabel Proporsi Varians Religiusitas terhadap Resiliensi Tabel 4.15 Tabel Koefisien Regresi

Tabel 4.16 Penghitungan Proporsi Varians Resiliensi Tabel 4.17 Residual Plot Resiliensi


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Item-item Skala Variabel Penelitian Lampiran 2 Angket Penelitian

Lampiran 3 Skor-skor Variabel Resiliensi Lampiran 4 Skor-skor Variabel Religiusitas Lampiran 5 Skor-skor Variabel Self-Esteem

Lampiran 6 Gambar Analisis Konfirmatorik Resiliensi Lampiran 7 Gambar Analisis Konfirmatorik Religiusitas Lampiran 8 Gambar Analisis Konfirmatorik Self-Esteem


(16)

Pada bab ini berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian tentang resiliensi, tujuan dan manfaat penelitian, dan pembatasan masalah serta sistematika penulisan.

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam menghadapi persaingan dunia global saat ini, dan di antara perkembangan teknologi yang pesat, telah menciptakan kelompok masyarakat yang hidup dengan kondisi sosioekonomi yang rendah, kaum miskin kota, kelompok-kelompok marginal, anak jalanan, dan masyarakat yang hidup dalam keterbatasan.

Dalam konteks remaja, dimana menurut Beyth, Marom & Fischoff (dalam Diclemente, Santelli, & Crosby, 2009),

Remaja adalah suatu periode kehidupan yang ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, sosial dan emosional yang terjadi secara cepat. Secara normatif perkembangan remaja ditunjukkan dengan meningkatnya kemandirian, perubahan dalam hubungan keluarga, prioritas hubungan dengan teman sebaya, pembentukan identitas, meningkatnya kesadaran moral dan nilai, kematangan kognitif, dan semua yang berangkat dari perubahan fisiologis yang cepat. Namun dalam pertumbuhan positif yang sangat pesat tersebut, masa perkembangan remaja juga membawa peningkatan eksplorasi dan perilaku mengambil resiko yang membahayakan.


(17)

Secara alami remaja menjadi mudah tertekan dengan beragam resiko yang mengancam perkembangan psikologis mereka. Bahkan dewasa ini tidak ada seorang anak pun yang terbebas dari tekanan, perubahan yang terjadi secara cepat dan lingkungan yang memberi pengaruh stress telah menciptakan resiko baru bagi anak-anak dan remaja (Goldstein, Brooks, 2005). Adriana Feder (dalam Reich, Zautra & Hall, 2010) juga menyatakan bahwa kebanyakan orang sangat rentan terhadap kejadian traumatis dalam kehidupan mereka, dan sebagian besar lainnya memikul beban stres secara persisten sepanjang waktu.

Menurut Schilling, Aseltine & Gore (dalam Reich, et.al., 2010), terdapat hubungan yang nyata antara kondisi kesehatan psikologis yang dialami remaja berusia antara 18-22 tahun secara partikular dengan kemunduran dalam kondisi sosioekonomi, dimana remaja dalam kondisi sosioekonomi yang rendah akan mudah menghadapi masalah-masalah psikologis. Hal ini menggambarkan bahwa remaja yang menghadapi tekanan baik karena kondisi sosioekonomi yang rendah, lingkungan, maupun sikap diskriminasi atau remaja yang berada dalam kesenjangan sosial, akan menghadapi ancaman serius dalam tahap perkembangan yang sedang dijalani.

Salah satu kelompok remaja yang memiliki resiko tinggi dalam tahap perkembangan tersebut adalah remaja yang bersekolah di Yayasan HIMMATA, Plumpang, Jakarta Utara, dimana secara umum remaja yang bersekolah di yayasan ini adalah remaja dengan latar belakang keluarga dengan status sosioekonomi yang rendah (miskin). HIMMATA atau Himpunan Pemerhati Masyarakat Marginal Kota, adalah yayasan yang berdiri pada 24 Agustus 2000


(18)

dengan tujuan memberikan pendidikan yang layak dan setara dengan lembaga pendidikan lainnya bagi remaja berusia antara 12-21 tahun dengan latar belakang keluarga tidak mampu, remaja yatim piatu atau ditinggalkan orang tua, dan remaja yang hidup atau tinggal di jalanan.

Seperti pada kebanyakan yayasan sosial lainnya, Yayasan HIMMATA tumbuh dan berkembang dari swadaya masyarakat dan donatur, termasuk pemerintah. Oleh karenanya setiap remaja yang bersekolah di yayasan ini tidak dipungut biaya sama sekali, dengan syarat mereka berasal dari keluarga miskin (dibuktikan dengan surat keterangan miskin dari RT, RW, dan kelurahan di mana mereka tinggal). Latar belakang geografis dan sosiologis masyarakat Jakarta Utara yang perkembangannya tidak sebaik di Jakarta Selatan maupun Jakarta Pusat, dimana masyarakat marginal kota di Jakarta Utara menjadi sangat ketara dan kental dengan potret sosial kemiskinan, menjadikan yayasan seperti HIMMATA strategis bagi perkembangan pendidikan dan sosial masyarakat miskin kota.

Program pendidikan yang disediakan oleh HIMMATA adalah program pendidikan paket C bagi SMP dan SMA, walaupun para siswa di yayasan ini tidak dipungut biaya sama sekali sampai mereka lulus tahap ahkir Sekolah Menengah Atas (SMA), namun kurikulum dan sistem pendidikan yang diterapkan sama dengan penyelenggaran sekolah pada umumnya, termasuk program ekstrakulikuler seperti marawis, futsal dan lain-lain. Sebagai nilai tambah yang ada pada yayasan ini adalah program yang berkaitan dengan peningkatan keberagamaan siswa, yaitu seluruh siswa diwajibkan untuk mengikuti shalat


(19)

berjamaah di mushola jika waktu shalat telah tiba, diikuti dengan berdo’a dan dzikir bersama.

Remaja dengan latar belakang keluarga tidak mampu, ditinggalkan orang tua (yatim piatu), dan remaja yang tinggal di pemukiman yang kurang layak, serta hidup di jalanan seperti yang terdapat di Yayasan HIMMATA, secara alami menurut Goldstein dan Brooks (2005), menjadi mudah tertekan dengan beragam resiko yang mengancam perkembangan psikologis mereka. Tetapi Goldstein dan Brooks (2005), menekankan bahwa yang menjadi keyakinan adalah setiap individu (remaja) mampu mengembangkan kerangka berpikir untuk menjadi resilient. Mereka akan mampu mengurai stress dan tekanan secara lebih efektif, mampu mengatasi setiap tantangan, mampu kembali dari kekecewaan, kesengsaraan dan trauma, mengembangkan tujuan yang jelas dan realistis, mampu memecahkan masalah, dan mampu berhubungan dengan orang lain secara nyaman, serta mampu menyikapi dirinya dan orang lain dengan penghargaan.

Individu yang resilient sebagaimana dipaparkan di atas adalah individu yang memiliki resiliensi yang baik, dimana resiliensi menurut Gordon, 1993 (dalam Gordon & Other, 1994), didefinisikan sebagai kemampuan untuk berkembang dengan baik, matang dan bertambahnya kompetensi dalam menghadapi keadaan-keadaan dan rintangan-rintangan yang sulit. Dalam rangka untuk berkembang dengan baik, matang dan bertambahnya kompetensi tersebut, seseorang harus menerapkannya pada semua sumber daya mereka; biologis, psikologis, dan lingkungan.


(20)

Sementara menurut Ruther (dalam Mccubbin, 2001), resiliensi adalah suatu hasil yang positif (dari proses adaptasi) dalam menghadapi kesengsaraan seperti kemiskinan. Maka individu yang resilient adalah mereka yang adaptif; tak terkalahkan dan tidak mudah terserang. Menurut Luthar (dalam MacDermid, Samper, Schwarz, Nishida & Nyaronga, 2008), resiliensi didefinisikan sebagai suatu fenomena atau proses yang secara relatif mencerminkan adaptasi positif saat mengalami ancaman atau trauma yang signifikan. Resiliensi adalah konstruk yang lebih tinggi yang menggolongkan dua dimensi yang berbeda, yaitu; ancaman yang signifikan dan adaptasi positif, dan ini tidak pernah secara langsung diukur, melainkan secara tidak langsung dapat disimpulkan berdasarkan bukti dua penggolongan konstruk tersebut.

Werner & Smith (dalam Diclemente, et.al., 2009) menjelaskan bahwa penelitian tentang resiliensi baru dimulai pada tahun 1954 ketika Emmy Werner menerbitkan hasil penelitian tentang resiliensi yang melibatkan sekelompok remaja yang lahir di pulau Kauai, Hawaii selama hampir 5 dekade. Werner memulai penelitiannya dengan sebuah pertanyaan sederhana:

Why some children did well socially and emotionally in the face of adversity?

Kemudian pada awal tahun 1950an terdapat sejumlah penelitian yang dilakukan untuk bertujuan menjawab pertanyaan serupa yang diajukan oleh Werner. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Norman Garmezy, dimana ia membangun kerangka berpikir penelitian dengan sebuah pertanyaan sederhana,


(21)

“What causes strength to overcome what causes harm?”

Pada intinya, penelitian tentang resiliensi fokus pada pertanyaan mengapa seseorang yang hidup dalam kesengsaraan dan tekanan dapat kembali sehat, sementara yang lain tidak. Penelitian resiliensi menurut Cutuli & Masten (dalam Lopez, 2009) kemudian berkembang sebagai penelitian pada individu yang memiliki resiko atas masalah perkembangan, termasuk anak-anak yang memiliki resiko karena latar belakang keluarga mereka (seperti, memiliki orang tua dengan beberapa gangguan mental), dan pengalaman hidup (seperti, kemiskinan atau kekerasan lingkungan).

Sementara para peneliti lain yang mengembangkan resiliensi pada tahun 1970an dan 1980an, yaitu Lois Murphy, Michael Rutter, dan Garmezy, mereka menilai pentingnya perkembangan positif yang tidak diduga-duga dan mulai mencari penjelasan atas resiliensi. Dari permulaan tersebut, para pelopor teori resiliensi memiliki tujuan untuk memperoleh pengetahuan untuk mengembangkan hasil yang lebih baik diantara individu-individu dengan resiko tinggi pada permasalahan hidup (Cutuli & Masten dalam Lopez, 2009). Penelitian resiliensi lebih banyak dikembangkan pada anak-anak dan remaja, karena anak-anak dan remaja adalah populasi utama dimana resiliensi terjadi pada rentang waktu tersebut (Ahern et al., dalam Resnick, Gwyther & Roberto, 2011).

Goldstein & Brooks (2005) dalam Handbook of Resilience in Children, menjelaskan bahwa resiliensi mengurangi tingkat faktor-faktor resiko (risk factors), dan meningkatkan level faktor-faktor pelindung (protective factors), Baik secara langsung maupun tidak, resiliensi mengurangi timbulnya kondisi


(22)

mudah terserang (vulnerabilities) dan meningkatkan kompetensi dan kekuatan individu dalam menghadapi tantangan dan kesulitan, Merubah derajat kondisi faktor resiko dan faktor pelindung yang muncul untuk dihubungkan dengan kelemahan dan kekuatan individu untuk melawan serangan dari gangguan dan untuk menghasilkan resiliensi dalam menghadapi tantangan yang serius.

Alasan lainnya dikemukakan oleh Benard, Burgoa dan Wheldon (dalam Goldstein dan Brooks, 2005), bahwa penelitian resiliensi penting dalam rangka membangun komunitas yang mendukung pada pengembangan manusia berdasarkan pada hubungan saling membantu, juga menunjukkan remaja pada kebutuhan akan stabilitas psikologis dan rasa memiliki, dan penelitian resiliensi penting karena resiliensi telah lama dikenal oleh para peneliti psikologi dan menjadi konstribusi yang baik bagi psikologi, serta karena resiliensi mengarah pada kebijaksanaan hati dan intuisi sebagai panduan bagi intervensi klinis,

Menurut Masten dan Coatsworth (dalam Goldstein & Brooks, 2005) ada dua hal utama yang perlu diperhatikan dalam mempelajari resiliensi. Pertama, adanya ancaman yang signifikan. Seseorang tidak dapat dikatakan sebagai individu yang resilient jika ia tidak menghadapi ancaman atau kesengsaraan yang signifikan yang mengancam perkembangan psikologisnya. Kedua, hasil yang baik. Yaitu seseorang dikatakan resilient jika ia berhasil menghadapi ancaman atau kesengsaraan dengan baik.

Resiliensi sendiri saat ini telah menjadi payung istilah untuk mencakupi banyak perbedaan aspek individu dalam menghadapi kesulitan (adversity) (McCubbin, 2001). Wolin & Wolin (dalam Waxman, Gray, & Padron, 2003),


(23)

menjelaskan bahwa istilah “resiliensi” telah diadopsi sebagai pengganti dari istilah sebelumnya yang digunakan untuk mendeskripsikan fenomena (seperti kondisi tidak mudah terancam, tak terkalahkan, dan ketabahan), karena usaha pengenalan istilah ini melibatkan proses individu untuk menjadi resilient.

Istilah resiliensi secara umum merujuk pada faktor-faktor yang membatasi perilaku negatif yang dihubungkan dengan stress dan hasil yang adaptif meskipun dihadapkan dengan kemalangan atau kesengsaraan”. (Waxman, et.al. 2003). Maka resiliensi terkait sangat erat dengan stress, dan keduanya adalah konstruk yang tidak dapat dipisahkan, karena resiliensi hanya bisa dijelaskan ketika ada kondisi kesengsaraan/tekanan yang dihadapi seseorang, sementara kondisi kesengsaraan atau tekanan tersebut memicu stress; dan manajemen stres yang mengarah pada adaptasi yang positif adalah resiliensi (Blum & Blum, dalam Diclemente, Santelli & Crosby, 2009).

Sementara itu, kesengsaraan atau tekanan yang dihadapi individu bisa beragam bentuknya, diantaranya adalah individu yang mengalami masalah medis (Brown & Harris dalam Goldstein & Brooks, 2005), keluarga yang memiliki resiko (Beardslee, Beardslee & Podorefsky, Hammen, Worsham, Compas, & Ey, dalam Goldstein & Brooks, 2005), masalah-masalah psikologis (Hammen dalam Goldstein & Brooks, 2005), orang tua yang bercerai (Sandler, Tein, & West, dalam Goldstein & Brooks, 2005), kehilangan atau ditinggalkan orang tua (Lutzke, Ayers, Sandler, & Barr, dalam Goldstein & Brooks, 2005), masalah-masalah yang terjadi di sekolah (Skinner & Wellborn dalam Goldstein & Brooks, 2005), dan kemiskinan (Furstenberg, dalam Goldstein & Brooks, 2005).


(24)

Faktor-faktor dalam skala yang luas seperti kondisi pasca perang atau bencana alam, dipastikan dapat menyebabkan stress, tetapi faktor yang lebih umum pada level makro adalah faktor-faktor seperti kemiskinan, diskriminasi, dan ketidakadilan (Cicchetti & Dawson, dalam Diclemente, et.al., 2009).

Sebagai contoh, kemiskinan menurut Lerner & Steinberg (dalam Diclemente, et.al. 2009), menjadi faktor resiko yang signifikan bagi kehidupan jutaan remaja, dimana faktor tersebut menetap sejak mereka kanak-kanak hingga remaja. Sementara menurut Furstenberg (Diclemente, et.al., 2009), kemiskinan pada remaja berkembang dari keadaan keluarga dan lingkungan sekitar yang miskin yang kemudian menjadi faktor resiko. Meskipun dampak kemiskinan lebih spesifik terjadi pada perkembangan masa kanak-kanak, tetapi kemiskinan menjadi salah satu faktor negatif yang paling signifikan bagi kondisi kesehatan mental dan fisik remaja. Sejumlah penelitian menunjukkan hubungan yang nyata antara kemiskinan dan permasalahan psikologis pada remaja, dan remaja yang tumbuh dalam kemiskinan memiliki resiko lebih tinggi menghadapi masalah-masalah psikologis.

Para peneliti resiliensi yang terdiri dari psikolog dan psikiatri, selama tahun 1970-an telah mendapati fakta bahwa sejumlah anak-anak yang hidup dalam kondisi sosioekonomi yang rendah seperti kemiskinan, cenderung akan menghadapi hambatan dalam perkembangan psikologis (Garmezi, 1991; Murphy & Morarty, 1976; Rutter, 1979; Werner, 1995, dalam Reich, Zautra & Hall, 2010).


(25)

Berdasarkan data dari Kementrian Sosial Republik Indonesia (2011), pada tahun 2008 terdapat 6.767.159 warga miskin di Indonesia, hampir miskin sejumlah 7.561.831 dan warga yang sangat miskin sejumlah 2.989.038 jiwa. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2010) jumlah total penduduk miskin di Indonesia yang berada di kota sebanyak 11.097.800 jiwa, dan yang terdapat di desa sebanyak 19.925.600 jiwa. Lalu untuk data mengenai anak jalanan, jumlah anak jalanan berdasarkan data Departemen Sosial Republik Indonesia (2011), pada tahun 2007 terdapat 104.497 jiwa, dan pada tahun 2008 sebanyak 109.454 jiwa.

Berdasarkan data tersebut, maka dapat dipahami bahwa masyarakat miskin Indonesia sangat memungkinkan untuk menjadi populasi sosial dalam penelitian terkait ketahanan psikologis yang tercakup dalam resiliensi, karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kemiskinan memiliki resiko lebih tinggi menghadapi masalah-masalah psikologis.

Dalam resiliensi, banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya adalah self-esteem dan religiusitas. Self-esteem menurut Santrock dalam Educational Psychology (2009), mengacu pada suatu gambaran menyeluruh dari individu. Self-esteem juga berarti harga diri (self-worth) atau gambaran diri (self-image). Sebagai contoh, seorang anak dengan self-esteem yang tinggi mungkin merasa bahwa dirinya bukan hanya seorang anak, melainkan seorang anak yang baik.

Menurut Nicholson (dalam Guindon, 2010), self-esteem khususnya pada remaja, adalah prediktor yang paling signifikan bagi resiliensi. Burns dan Covington (dalam Owens, Stryker & Goodman, 2006), menjelaskan bahwa,


(26)

Self-esteem diargumentasikan sebagai pelindung individu dari pengaruh sakit dan mencegah dari berbagai macam permasalahan hidup. Dasar pemikiran ini mengasumsikan bahwa individu dengan self-esteem yang tinggi (yang berlawanan dengan individu dengan self-esteem yang rendah), memiliki sikap yang secara sosial lebih dapat diterima dan bertanggungjawab. Bagaimanapun individu tersebut menjadi lebih resilient dalam menghadapi perubahan dalam hidup, dan secara umum menunjukkan pencapaian yang lebih tinggi, dan pada akhirnya secara sosioemosional lebih baik.

Sementara religiusitas (religiousness) adalah seberapa kuat individu penganut agama merasakan pengalaman beragama sehari-hari (daily spiritual experience), mengalami kebermaknaan hidup dengan beragama (meaning), mengekspresikan keagamaan sebagai sebuah nilai (values), meyakini ajaran agama (beliefs), memaafkan (forgiveness), melakukan praktek beragama secara pribadi (private religious practices), menggunakan agama sebagai coping (religious/spiritual coping), mendapat dukungan sesama penganut agama (religious support), mengalami sejarah keberagamaan (religious/spiritual history), komitmen beragama (commitment), mengikuti organisasi atau kegiatan keagamaan (organizational religiousness) dan meyakini pilihan agamanya (religious preference) (dalam Fetzer, 2003).

Pargament dan Cummings dalam “Handbook of Adult Resilience” (2010), menyatakan bahwa faktor resiliensi yang signifikan bagi banyak orang adalah religiusitas (religiousness). Para peneliti tersebut mengidentifikasi bagaimana religiusitas membantu banyak orang dalam menahan pengaruh krisis dalam hidup. Lebih dari sekedar suatu pendekatan dalam mereduksi agama, agama memiliki


(27)

pengaruh yang unik bagi resiliensi. (dalam Reich, 2010). Studi-studi empiris juga telah menunjukkan hubungan yang nyata antara kejadian stress dengan berbagai bentuk keterlibatan keberagamaan. (Bearon, Koeing, Bjorck, Cohen, Ellison, Taylor, Lindenthal et.al., dalam Lopez, 2003).

Dari pemaparan beberapa faktor yang mempengaruhi resiliensi di atas, peneliti menggunakan self-esteem dan religiusitas sebagai faktor yang mempengaruhi resiliensi pada remaja di Yayasan HIMMATA. Dimana penelitian kedua faktor tersebut akan diukur berdasarkan pada dimensi masing-masing variabel dan signifikansinya terhadap resilensi. Dengan asumsi bahwa jika self-esteem dan religiusitas remaja tinggi, maka resiliensi yang mereka miliki juga tinggi, yang artinya kemampuan beradaptasi remaja terhadap berbagai macam ancaman dan kesengsaraan juga tinggi. Maka melalui resiliensi ini akan terukur kemampuan adaptasi, kompetensi, perkembangan dan kematangan psikologis remaja di Yayasan HIMMATA dalam menghadapi berbagai macam ancaman dan tantangan hidup yang mereka hadapi.

1.2. Perumusan dan Pembatasan Masalah

1.2.1.Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti mengajukan perumusan masalah yang akan dijadikan dasar dalam penelitian dan pengumpulan data, yang dirumuskan sebagai berikut:

Apakah ada hubungan antara self-esteem dan religiusitas terhadap resiliensi pada remaja di Yayasan HIMMATA?


(28)

1.2.2.Pembatasan Masalah

Kajian dalam penelitian ini dibatasi pada hal sebagai berikut:

1. Self-esteem adalah nilai yang dilekatkan pada diri kita. Self-esteem juga berarti penilaian atas ‘harga diri’ kita sebagai manusia, berdasarkan pada persetujuan atau pengingkaran atas diri dan perilaku kita (Jerry Minchinton, 1993).

2. Religiusitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seberapa kuat individu penganut agama merasakan pengalaman beragama sehari-hari (daily spiritual experience), mengekspresikan keagamaan sebagai sebuah nilai (value), meyakini ajaran agama (belief), memaafkan (forgiveness), melakukan praktek beragama secara pribadi (private

religious practice), menggunakan agama sebagai coping

(religious/spiritual coping), mendapat dukungan sesama penganut agama (religious support), mengalami sejarah keberagamaan (religious/spiritual history), dan mengikuti organisasi atau kegiatan keagamaan (organizational religiousness) (dalam John E. Fetzer, 2003). 3. Resiliensi (resilience) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

kemampuan seseorang untuk menghadapi, mengatasi, mempelajari, atau berubah melalui kesulitan-kesulitan yang tak terhindarkan (Grotberg, 2003).

4. Remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang berusia antara 12 sampai 19 tahun yang sekolah di Yayasan HIMMATA.


(29)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui hubungan antara self-esteem dan religiusitas terhadap resiliensi pada remaja.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat berupa: a) Secara teoritik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

khazanah Ilmu Psikologi khususnya Psikologi Sosial, dan menambah wawasan baru bagi pembaca tentang resiliensi pada remaja kaitannya dengan self esteem dan religiusitas.

b) Secara praktis,

• Bagi subjek: Penelitian ini diharapkan secara praktis akan bermanfaat dalam memberikan informasi dan pemahaman kepada remaja yang memiliki resiko tinggi terhadap ancaman psikologis, bahwa tekanan dan ancaman yang diterima tidak akan mempengaruhi kondisi psikologis mereka ketika self-esteem dan religiusitas masih tinggi.

• Bagi lembaga atau yayasan sosial: Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga/yayasan sosial yang menaungi anak jalanan atau remaja yang memiliki resiko tinggi terhadap ancaman psikologis, bahwa pembinaan yang dilakukan dapat dilakukan melalui pendekatan resiliensi dimana anak perlu dididik untuk menjadi lebih resilient dalam menghadapi permasalahan


(30)

hidup yang dihadapi melalui peningkatan self-esteem dan religiusitas, (intervensi dengan pendekatan community based).

• Bagi orang tua: Diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman kepada orang tua yang memiliki remaja dengan tingkat resiko tinggi tentang resiliensi remaja yang dibangun melalui peningkatan self-esteem dan religiusitas. Orang tua diharapkan dapat menjadi lingkungan yang stabil dan kondusif bagi remaja, sehingga keluarga dapat mendukung perkembangan psikologis remaja dan melindunginya dari gangguan dan ancaman psikologis (family asprotective factor).

• Bagi praktisi klinis: Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan baru bagi para praktisi klinis sebagai panduan intervensi klinis tentang resilensi pada remaja, kaitannya dengan peningkatan self-esteem dan religiusitas individu.

• Pemerintah: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait remaja yang memiliki resiko tinggi (remaja jalanan, atau remaja yang berada dalam kemiskinan), bahwa pengambilan kebijakan dalam menyikapi anak-anak atau remaja yang beresiko tinggi menghadapi ancaman psikologis, penting dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu bahwa kebijakan (pembinaan atau pengawasan) yang diterapkan akan berdampak pada psikologis


(31)

mereka. Dampak psikologis tersebut tergantung pada seberapa kuat resiliensi yang dimiliki oleh para remaja.

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam pembahasan tema yang diteliti, penulis membagi penelitian ini dalam 5 (lima) bab dengan sistematikan sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan, yang berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan

penelitian resiliensi, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan masalah serta sistematikan penulisan.

Bab 2 Landasan Teoritis, berisi teori yang menjelaskan masing-masing

variabel dalam penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi, dimensi-dimensi pada tiap variabel, dan kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.

Bab 3 Metodologi Penelitian, membahas tentang pendekatan dan metode

penelitian, variabel penelitian, yaitu definisi konseptual dan definisi operasional, populasi dan sampel termasuk teknik pengambilan sampel, dan pengumpulan data serta analisis data.

Bab 4 Hasil Penelitian, membahas mengenai hasil penelitian meliputi

pengolahan statistik dan analisis terhadap data

Bab 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran, berisi rangkuman keseluruhan isi


(32)

BAB 2

KAJIAN TEORITIS

Pada bab ini akan dibahas teori yang menjelaskan masing-masing variabel dalam penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi, dimensi-dimensi pada tiap variabel, dan kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.

1.1.Resiliensi

1.1.1. Pengertian Resiliensi

Resiliensi telah menjadi salah satu konsep psikologi yang integratif dan heuristic yang muncul pada abad ke-21 dalam kajian ilmu sosial. Meskipun banyak terdapat variasi dalam definisi dan karakteristik, resiliensi muncul menjadi dua domain utama dalam arus berpikir manusia yang kemudian menjadi pokok dari arti konsep ini, yaitu:

Pertama: sebagai respon atas stress, resiliensi fokus pada pemulihan (recovery), yaitu kemampuan untuk kembali dari kondisi stress, atau suatu kapasitas untuk mendapatkan kembali keseimbangan (equilibrium) secara cepat, serta mampu kembali pada kondisi kesehatan semula. Kedua: sebagai dimensi pokok yang sama, yaitu ketahanan, yang menyatakan

keberlangsungan pertumbuhan dan peningkatan fungsi sebagai hasil reaksi kesehatan atas stress. (Reich et.al. 2010).


(33)

Sementara Waxman, Gray dan Padron (2003), menjelaskan bahwa dalam literatur psikologi, konsep resiliensi digunakan untuk menggambarkan tiga kategori pokok fenomena:

Kategori pertama: mencakup kajian-kajian mengenai perbedaan individu dalam pemulihan pasca trauma.

Kategori kedua: dibentuk untuk individu dari kelompok dengan resiko tinggi untuk memperoleh hasil yang lebih baik daripada hasil yang secara khusus diharapkan individu tersebut.

Kategori ketiga: mengacu pada kemampuan individu untuk beradaptasi dalam kondisi stress.

Lopez (2009), menjelaskan bahwa resiliensi secara umum mengacu pada adaptasi secara positif dalam konteks resiko (risk) dan kesengsaraan (adversity). Resiliensi adalah konsep yang luas yang menekankan pada fenomena yang luas, termasuk kapasitas sistem untuk menahan dan mengatasi tantangan-tantangan yang signifikan. Dalam perkembangan manusia, penelitian resiliensi fokus pada tiga situasi yang berbeda:

a. Berfungsi selama mengalami kesengsaraan yang signifikan (stress resistance)

b. Mengembalikan fungsi yang baik pada tingkat sebelumnya menyusul trauma yang beberapa kali mengganggu pengalaman (bouncing back) c. Mencapai tingkatan baru pada adaptasi yang normal atau positif ketika


(34)

Sementara McCubbin (2001) menjelaskan, bahwa terdapat empat hal yang saling berhubungan tetapi memiliki perspektif yang berbeda dalam memahami resiliensi:

a. Sebagai akibat (outcomes) atas kesengsaraan/ancaman

b. Sebagai kompetensi yang menopang (sustained competence) saat terjadi stress

c. Sebagai pemulihan (recovery) setelah trauma.

d. Sebagai hubungan antara protective factors dan risk factors

Beberapa definisi resiliensi menurut beberapa tokoh:

Menurut Grotberg (1996) dalam The International Resilience Project Findings from the Research and the Effectiveness of Interventions, “Resiliensi adalah kapasitas universal yang memungkinkan individu, kelompok atau komunitas untuk mencegah, meminimalisir atau mengatasi pengaruh merugikan atas kesengsaraan atau kesulitan.

Masih menurut Grotberg (2003) dalam sumber berbeda, Resilience for today: Gaining strength from adversity, “Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi, mengatasi, mempelajari, atau berubah melalui kesulitan-kesulitan yang tak terhindarkan”.

Luthar (dalam MacDermind et.al 2008), menyatakan bahwa resiliensi didefinisikan sebagai suatu fenomena atau proses yang secara relatif mencerminkan adaptasi positif meskipun saat mengalami ancaman atau trauma yang signifikan. Resiliensi adalah konstruk yang lebih tinggi yang


(35)

menggolongkan dua dimensi yang berbeda, yaitu; ancaman yang signifikan dan adaptasi positif, dan ini tidak pernah secara langsung diukur, melainkan secara tidak langsung dapat disimpulkan berdasarkan bukti dua penggolongan konstruk tersebut.

Menurut Charney (dalam Reich et.al. 2010), konstruk resiliensi mengacu pada kemampuan individu untuk beradaptasi secara sukses dalam menghadapi stres akut, trauma, atau kesengsaraan yang kronis, untuk memperoleh kembali kesehatan psikologis dan keseimbangan fisiologis.

Menurut Goldstein dan Brooks (2001), “Resiliensi adalah kekuatan dari dalam diri untuk berhadapan secara kompeten dan sukses, hari ke hari, dengan tantangan dan tuntutan yang mereka hadapi”.

Menurut Luthar, Cicchetti dan Becker (dalam McCubbin, 2001), resiliensi mengacu pada sebuah proses dinamis yang mencakup adaptasi yang positif dalam konteks kesengsaran atau kemalangan.

Wolin & Wolin’s (dalam Hooper, n.d), resiliensi adalah kemampuan mengatasi tantangan-tantangan yang signifikan dalam masa perkembangan dan secara konsisten dapat pulih kembali untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada masa selanjutnya.

Gordon (dalam Gordon & Other., 1994), resiliensi adalah:

Kemampuan untuk berkembang dengan baik, matang dan bertambahnya kompetensi dalam menghadapi keadaan-keadaan dan rintangan yang sulit. Keadaan ini mungkin berat dan jarang atau kronis dan konsisten. Dalam rangka untuk berkembang dengan baik, matang dan bertambahnya kompetensi, seseorang harus menerapkannya pada semua sumber daya mereka; biologis, psikologis, dan lingkungan.


(36)

Gordon et.al., (1994), menjelaskan bahwa resiliensi adalah fenomena yang beraneka segi yang mencakup dua faktor: personal dan lingkungan. Berdasarkan kerangka tersebut, terdapat empat hal yang dapat menjelaskan resiliensi, yaitu:

1. Menghilangkan stressor

2. Memberikan jalan alternatif untuk sukses 3. Memutus rantai negatif dari kejadian 4. Meningkatkan self-esteem (self-concept).

Wolin & Wolin (dalam Waxman, et.al. 2003), menjelaskan bahwa istilah “resilient” telah diadopsi sebagai pengganti dari istilah sebelumnya yang digunakan untuk mendeskripsikan fenomena (seperti kondisi tidak mudah terancam, tak terkalahkan, dan ketabahan), karena usaha pengenalan istilah ini melibatkan proses untuk menjadi resilient. Istilah resiliensi secara umum merujuk pada fator-faktor dan proses-proses yang membatasi perilaku negatif yang dihubungkan dengan stress dan hasil yang adaptif meskipun dalam kondisi kemalangan/kesengsaraan.

Dalam Review of Research on Educational Resilience (2003), dijelaskan bahwa perbedaan di antara definisi-definisi resiliensi seringkali berakar pada pendekatan yang spesifik atau konteks dimana resiliensi dikaji (Waxman, et.al. 2003). Dan tantangan dalam menjabarkan konstruk resiliensi berhubungan dengan kondisi kritis itu sendiri yang dinamis (seperti: resiko atau kesengsaraan dan kompetensi atau adaptasi). Apa yang mungkin bisa dipertimbangkan adalah faktor-faktor resiko atau stressor pada masa kecil mungkin sangat berbeda dibandingkan dengan stressor yang dihadapi pada masa dewasa. Juga bagaimana


(37)

kemampuan mengatasi dan beradaptasi pada kondisi stress dapat berubah sepanjang waktu sebagai akumulasi dari pengalaman dan pengetahuan (Mc Cubbin, 2001).

Cicchetti & Garmezy (1993), mencatat bahwa resiliensi tidak statis dan mungkin berubah sepanjang waktu. Oleh karena itu, aspek yang dinamis menjadikan resiliensi konstruk yang unik dibandingkan dengan konstruk yang lain, dan ini adalah tantangan yang besar. Maka untuk mendefinisikan resiliensi, seseorang perlu mempertimbangkan usia atau kapasitas psikologis yang mengembangkan keterampilan tertentu atau perilaku dalam mengatasi adversitas (dalam McCubbin, 20010). Kaufman, Cook, Arny, Jones & Pittinsky (1994), menyepakati bahwa mendefinisikan resiliensi adalah suatu permasalahan yang akan terus berkelanjutan. Oleh karenanya tidak mengherankan terjadi beragam pendapat dalam mendefinisikan konsep resiliensi.

Hal ini bahkan dijabarkan lebih jauh dalam “Challenges to the Definition

of Resilience” oleh McCubbin (2001), tentang beberapa faktor yang

mempengaruhi perbedaan dalam mendefinisikan resiliensi, yaitu:

a. Pertama: Hubungan antara resiliensi dan faktor-faktor akibat (outcomes factors).

Seperti: Mendefinisikan resiliensi sebagai variabel penengah (moderator variable) dalam menguji hubungan antara kesengsaraan dan akibat yang dimunculkan.

b. Kedua: Perbedaan dalam konseptualisasi resiliensi sebagai seperangkat akibat (outcome) yang utama.


(38)

Seperti: Resiliensi didefinisikan sebagai pertambahan keterampilan sosial, perkembangan emosional atau pencapaian akademis. Atau outcome yang negatif yaitu penggunaan narkoba dan meningkatnya aktivitas seksual.

c. Ketiga: Mendefinisikan dan mengoperasionalisasikan unsur resiliensi yang tampak untuk mempengaruhi akibat/hasil yang akan dimunculkan. Seperti: Variabel-variabel yang mempengaruhi keterampilan coping, sikap-sikap menghadapi rintangan, atau faktor-faktor lingkungan seperti dukungan keluarga dan keterlibtan komunitas.

d. Keempat: Resiliensi dilihat sebagai sekelompok faktor-faktor resiko (risk factors) yang memberikan arti bagi respon manusia bertahan dan pulih kembali dari kesengsaraan, seperti:

• Mengukur signifikansi kejadian dalam kehidupan seseorang. Contohnya, kelahiran anak, pernikahan (positif), atau kematian keluarga dan sakit (negatif)

• Mengukur stress yang spesifik seperti bencana alam atau kejadian yang khusus seperti perceraian atau kehilangan keluarga.

• Memperhatikan stress yang kronis atau stres yang beruntun dan konstelasi.

Berdasarkan pemaparan beberapa definisi di atas, serta uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan dalam mendefinisikan konstruk resiliensi, penulis dapat menyimpulkan bahwa resiliensi adalah, “kemampuan individu untuk beradaptasi secara positif, berkembang dengan baik dan


(39)

kemampuan dalam mengatasi berbagai bentuk ancaman, tekanan dan kesulitan dalam hidup dalam rangka memperoleh keseimbangan psikologis.”

1.1.2.Protective Factors dan Risk Factors

Dalam kajian resiliensi, terdapat dua istilah yang terkait erat dengan konstruk resiliensi, yaitu protective factors (faktor-faktor pencegah) dan risk factors (faktor-faktor resiko). Protective factors adalah faktor-faktor yang menjaga individu dari masalah perilaku. Sementara risk factor adalah faktor-faktor yang menyebabkan individu dengan resiko permasalahan tinggi mengalami permasalahan dalam perilaku. Menurut Kraemer (1997) istilah resiko (risk factors) mengacu pada meningkatnya kemungkinan mendapatkan hasil yang negatif (dari proses adaptasi) pada suatu populasi yang spesifik. Risk factors disebutjugasebagai risk characteristics atau karakteristik resiko (dalam Glantz & Johson, 2002).

Para peneliti bersepakat bahwa faktor-faktor resiko (risk factors) berkonstribusi pada keadaan psikologis yang membahayakan, sementara faktor-faktor pencegah (protective factors) mengurangi pengaruh dari kondisi kesulitan atau kemalangan yang dihadapi (Benard, Constantine, Benard, & Diaz, Grotberg, Masten, Tusaie & Dyer, dalam McCubbin, 2001). Interaksi antara faktor-faktor resiko dan fakor-faktor pencegah penting untuk menguji variabel hasil (outcome variable) yang mungkin berubah dari waktu ke waktu, tergantung pada sifat permasalahan dan signifikansi kejadian. Protective factors dibutuhkan dalam


(40)

rangka memperbaiki dan melindungi seseorang dari hasil perkembangan yang buruk (dalam McCubbin, 2001).

Terdapat tiga bentuk protective factors, yaitu: pertama, karakteristik individu yang memunculkan respon positif dari lingkungan (seperti, anak-anak yang memiliki temperamen yang baik dalam keluarga yang sedang menghadapi kondisi stress yang signifikan). Kedua, praktek sosialisasi di dalam keluarga yang mendorong kepercayaan, otonomi, inisiatif dan hubungan baik dengan orang lain.

Ketiga, sistem dukungan eksternal pada lingkungan sekitar atau komunitas yang

memperkuat self-esteem dan self-efficacy (dalam Goldstein & Brooks, 2005). Hal serupa juga dipaparkan oleh Wyman (dalam Miller, 2005), tentang tiga bentuk protective factors, yaitu, temperamen yang positif pada anak-anak, dukungan dari lingkungan keluaga, dan adanya dukungan dari orang yang lebih dewasa atau keluarga secara lebih luas.

Protective factors telah diuji dalam hubungannya dengan variabel resiko dan variabel hasil dalam berbagai cara yang berbeda. Protective factors dapat menjadi lawan penahan dari faktor-faktor resiko dan yang dapat menengahi faktor resiko, serta melindungi hasil-hasil yang buruk (Jessor, 1999 Kumpfer, 1993; Masten et al, 1990; dan Rutter, 1987, sebagaimana dikutip dalam Norman, 2000). Bagaimanapun beberapa peneliti setuju bahwa protective factors hanya dapat didefinisikan dalam hubungannya dengan faktor-faktor resiko karena hubungan saling keterkaitan (Rutter, 1979) (dalam McCubbin, 2001).


(41)

Risk factors

Outcomes

Protective factors

Beavias dan Oetting (1999), membedakan antara protective factors dan konsep resiliensi. Protective factors berperan seiring meningkatnya kesempatan perilaku prososial dan norma secara konsisten sepanjang waktu. Sementara resiliensi hanya berfungsi ketika suatu permasalahan atau kesengsaraan muncul. Beavias dan Oetting (1999) juga menyatakan, protective factors menjaga seseorang dari bencana, sementara resiliensi mengembalikan kondisi seseorang pasca bencana. Pembedaan antara protective factors dan resiliensi ini perlu dipertimbangkan untuk menguji penelitian dan konstruk seseorang (dalam McCubbin, 2001).

Protective factors dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1. Internal protective factors

Seperti: Harga diri (self-esteem), kemampuan diri (self-efficacy) dan kejujuran (honesty). Internal protective factors memiliki dua sub-kategori, yaitu:

a. Kejujuran b. Tanggungjawab

c. Kemampuan mengendalikan seseorang atau kemampuan mengambil keputusan


(42)

2. External protective factors

Seperti: Dukungan keluarga dan keterlibatan komunitas. External protective factors dibagi menjadi dua sub-kategori, yaitu:

a. Dukungan b. Pemberdayaan c. Batasan dan Harapan d. Pemanfaatan waktu

1.1.3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Menurut Resnick, Gwyther & Roberto (2011), terdapat empat faktor yang mempengaruhi resiliensi pada individu, yaitu: self-esteem, dukungan sosial, spiritualitas atau keberagamaan dan emosi positif.

1. Self-Esteem

Memiliki self-esteem yang baik pada usia lanjut dapat membantu individu dalam menghadapi kesengsaraan. Dua data dari hasil penelitian yang lebih luas yang dilakukan oleh Collins & Smyer (2005), bertujuan menggali self-esteem sepanjang rentang kehidupan manusia (yang dilakukan selama periode 3 tahun), pada individu yang mengalami stres pada usia lanjut (memiliki beban finansial). Para partisipan menyelesaikan alat ukur self-esteem, nilai dan perasaan kehilangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi sedikit penurunan self-esteem pada individu meskipun mereka menghadapi kehilangan. Kemudian, ketika mereka mengalami kehilangan yang sangat berarti, seperti ‘merasa terpukul’, tidak


(43)

mengurangi self-esteem yang dimiliki, meskipun individu tersebut teridentifikasi sebagai individu yang sehat, begitu juga yang memiliki penyakit, tidak menghasilkan perubahan yang berarti pada self-esteem.

2. Dukungan Sosial (Social Support)

Dukungan sosial sering dihubungkan dengan resiliensi (Hildon et al. 2009; Maddi et al. 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa resiliensi dan dukungan emosional (bukan dukungan instrumen) menghasilkan kualitas hidup yang lebih tinggi pada individu usia lanjut (Netuveli & Blane, 2008). Penelitian pada orang dewasa di New York, Poindexter dan Shippy (2008), yang dilakukan pada partisipan yang mengalami positif HIV, menunjukkan bahwa jaringan dukungan sosial yang unik berkonstribusi pada resiliensi. Para peneliti juga melakukan penelitian pada lima kelompok yang memiliki jaringan dukungan sosial informal yang terdiri atas individu-individu yang kebanyakan mengidap positif HIV.

Meskipun upaya untuk memperoleh dukungan sosial menurun karena ketakutan dan stigma yang dialami, namun mereka mampu merelokasi sumber daya dan mengisi dukungan melalui sumber daya HIV positif pada komunitas mereka. Para partisian menunjukkan bahwa kehilangan anggota kelompok karena kematian menyediakan kesempatan bagi para anggota untuk memperkuat ikatan dukungan.

3. Spiritualitas (Spirituality)

Faktor lain yang mempengaruhi resiliensi dalam menghadapi tekanan dan penderitaan adalah ketabahan (hardiness) dan keberagamaan


(44)

(religiousness) serta spiritualitas (spirituality) (Maddi et al. 2006). Spiritualitas membutuhkan suatu pencarian di alam semesta, suatu pandangan bahwa dunia lebih luas daripada diri sendiri, spiritualitas juga berarti ketaatan pada suatu ajaran (agama) yang spesifik. Penelitian tentang ketabahan, keberagamaan dan spiritualitas menunjukkan kualitas-kualitas yang membantu individu dalam mengatasi kondisi stres dalam hidup dan menyediakan perlindungan pada individu dalam menghadapi depresi dan stres (Maddi et al. 2006).

Aspek positif dari spiritualitas juga turut membantu individu dalam memulihkan perasaan kontrol diri saat sakit, dan membantu perkembangan adaptasi saat sakit kronis dan tidak seimbang (Crowther et al. 2002). Pada suatu hasil penelitian, spiritualitas memiliki hubungan dengan resiliensi pada orang yang selamat dari penyakit kanker; meskipun individu tersebut memiliki resiko lebih dalam mengembangkan depresi dan kecemasan, tetapi tingkat spiritualitas dan personal mereka tumbuh lebih baik setelah pemulihan (Costanzo et al. 2009)

4. Emosi Positif (Positive Emotions)

Bereaksi dengan emosi yang positif saat mengalami krisis dapat menjadi cara dalam menurunkan dan mengatasi respon stres secara lebih efektif (Davis et al. 2007). Kemudian, emosi positif juga dapat menjadi pelindung dalam menghadapi ancaman terhadap ego. Perangkat teori ini dibangun dan dikembangkan oleh Fredrickson (1998) yang menyatakan bahwa sebagai manusia yang berkembang, emosi positif telah membantu dalam


(45)

beradaptasi pada situasi-situasi stres. Secara spesifik, respon negatif terhadap stres (respon melawan atau menghindar) adalah sifat yang terbatas, karena memilih respon positif selama mengalami stres memungkinkan beragam respon yang lebih luas.

Dalam serangkaian penelitian, Tugade dan Fredrickson (2004), menemukan bahwa respon positif saat mengalami stres berhubungan dengan menurunnya tegangan secara fisiologis, dan mendukung adanya hubungan antara pikiran dan tubuh. Kemudian, coping stres diketahui lebih tinggi saat individu diinstruksikan untuk melihat situasi stres sebagai suatu tantangan yang dapat membantu mereka tumbuh dengan lebih baik daripada sebagai suatu ancaman yang merugikan. Kerangka kognitif tersebut dapat menjadi cara untuk meningkatkan resiliensi. Studi berikutnya menunjukkan suatu bukti adanya hubungan antara emosi positif dan penilaian positif atas situasi. Melalaui beberapa penelitian tersebut, menunjukkan bahwa individu yang memiliki resiliensi lebih baik, lebih memungkinkan untuk mengalami emosi positif dan memanfaatnya untuk mengatasi stres.

Wagnid dan Young (dalam Reich, et.al, 2010), mengembangkan suatu skala resiliensi secara psikometri yang dikembangkan melalui wawancara pada individu yang resilient. Skala tersebut dibangun melalui analisis faktor yang mempengaruhi resiliensi, yaitu: ketenangan hati, ketekunan/kekerasan hati, kepercayaan diri, kesendirian, dan spiritualitas/kebermaknaan.


(46)

Tabel 2.1.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Menurut Wagnid dan Young

No. Faktor - faktor Resiliensi Penjelasan

1. Ketenangan hati (equanimity)

Ketenangan hati adalah berpegang teguh pada pendirian dalam hidup

2. Ketekunan/kekerasan hati (perseverance)

Ketekuan berarti keberlanjutan untuk berusaha keras mengatasi kemalangan.

3. Kepercayaan diri (self-reliance)

Kepercayaan diri meliputi keyakinan seseorang pada kemampuannya.

4. Kesendirian

(existential aloneness)

Perasaan sendiri adalah pengungakapan keunikan masing-masing individu dan keyakinan atas keberlangsungan hidup sepanjang waktu.

5. Spiritualitas

(spirituality/meaningfulness)

Spiritualitas memiliki peran yang penting dalam resiliensi yaitu melalui kemampuan individu untuk membangun kesimpulan atas kejadian yang terjadi pada dirinya, juga mencakup kebutuhan individu akan untuk perubahan, fleksibilitas dan tumbuh.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Werner dan Smith (dalam Reich, et.al. 2010), dengan longitudial study selama 40 tahun, menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi resilience outcome yaitu:

(1) Karakteristik individual, seperti self-esteem dan purpose in life;

(2) Karakteristik keluarga, seperti kasih sayang ibu dan dukungan keluarga; dan

(3) Lingkungan sosial yang lebih luas, khususnya yang mempunyai contoh peran orang dewasa yang menyediakan dukungan tambahan


(47)

Faktor-faktor umum diantara populasi seperti memiliki peran yang berarti pada suatu komunitas, self-efficacy, self-esteem, hubungan yang aman, keamanan, dan optimisme, berkonstribusi terhadap resiliensi (Kirby & Fraser, 1997 dalam Reich, et.al. 2010)

Faktor-faktor lingkungan juga berkonstribusi bagi resiliensi, kualitas pengasuhan dan keterbukaan keluarga (Bradley, Tellegen, Pellegrini, Larkin & Larsen, Rutter), tugas sehari-hari dan kekokohan spiritualitas (Clark, Gordon), meningkatkan kemungkinan resiliensi dalam konteks keadaan-keadaan yang menantang (dalam Gordon, 1994).

Garmezy, Greef & Ritman, Rutter, dan Shinner (dalam Reich, et.al., 2010), menjelaskan bahwa kepribadian resilient ditandai oleh sifat (trait) yang merefleksikan suatu kekuatan, dapat dibedakan dengan baik, kepribadian yang terintegrasi (self structed), dan sifat-sifat yang menunjukkan kekuatan dan hubungan interpersonal timbal balik dengan orang lain. Kekuatan diri tersebut dibuktikan oleh:

• Harga Diri (Self esteem)

• Kepercayaan Diri (Self-confidence/self efficacy)

• Pemahaman Diri (Self understanding)

• Orientasi Masa Depan yang Positif (A positive future orientation)

• Kemampuan untuk mengelola perilaku-perilaku dan emosi-emosi negatif (Ability to manage negative behaviors and emotions).


(48)

1.1.4.Karakteristik Resiliensi

Karakteristik resiliensi diperlukan dalam rangka menjelaskan bagaimana seseorang dapat dikatakan sebagai individu yang mempunyai resiliensi yang kuat (resilient), termasuk juga individu yang mudah terserang atau tidak mampu beradaptasi dengan baik dalam kondisi stres (vulnerability). Maka seseorang yang disebut sebagai resilient adalah individu yang memiliki karakteristik-karakteristik resiliensi.

Dalam hal ini Griffith (2004) mengajukan sebuah konsep yang disebut sebagai “existential postures”, yaitu kesiapan (pikiran, tubuh dan jiwa) seseorang dalam merespon adversitas atau stress. Konsep ini menguraikan perbedaan karakteristik individu yang resilient dan vulnerability, sebagai berikut:

Tabel 2.2

Perbedaan Karakteristik Resilient dan Vulnerability

Resilient Vulnerability

Kelekatan (Coherence) Rukun (Communion) Harapan (Hope) Mandiri (Agency) Tujuan (Purpose)

Komitmen (Commitment) Berani (Courage)

Bersyukur (Gratitude)

Bingung (Confusion) Terasing (Isolation) Putus asa (Despair)

Tidak berdaya (Helplessness) Tidak bermakna(Meaninglessness) Lalai (Indifference)

Takut (Cowardice)


(49)

Sementara Grotberg (1995), dalam “Resilience for Today: Gaining Strength from Adversity”, menjelaskan karakteristik resiliensi dalam tiga hal, yaitu: I HAVE, I AM, dan I CAN.

A. I HAVE (External Supports)

I HAVE adalah dimensi resiliensi yang mencakup dukungan dari luar terhadap individu, yaitu individu merasa memiliki keluarga, dan orang-orang yang mendukung dan peduli terhadapnya. Dimensi ini secara spesifik mencakup:

1. Aku memiliki orang-orang di dalam keluargaku yang aku percaya dan sayang padaku tanpa syarat

2. Aku memiliki orang-orang di luar keluargaku yang aku percaya tanpa syarat

3. Aku memiliki batasan dalam berperilaku (norma)

4. Aku memiliki orang yang mendorongku untuk menjadi mandiri 5. Aku memiliki orang yang menjadi teladan yang baik

6. Aku memiliki akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan sosial, serta pelayanan keamanan yang aku butuhkan

7. Aku memiliki keluarga dan komunitas yang stabil

B. I AM (Inner Strengths)

I AM adalah dimensi resiliensi yang mencakup kekuatan atau potensi positif dari dalam diri, dimana individu merasa optimis, memilliki harga diri, dan empati terhadap orang lain. Dimensi ini secara spesifik mencakup:


(50)

2. Aku adalah orang yang secara umum tenang dan memiliki sifat yang baik

3. Aku adalah orang memiliki cita-cita/rencana untuk masa depan 4. Aku adalah orang yang menghargai diri dan orang lain

5. Aku adalah orang yang empati dan peduli terhadap orang lain

6. Aku adalah orang yang tanggungjawab pada perilaku sendiri dan menerima segala konsekuensi

7. Aku adalah orang yang percaya diri, optimis, penuh harapan dan keyakinan

C. I CAN (Interpersonal and Problem-Solving Skills)

I CAN adalah dimensi resiliensi yang mencakup hubungan interpersonal dan kemampuan dalam memecahkan masalah. Secara spesifik mencakup hal-hal berikut ini:

1. Aku dapat menghasilkan ide-ide baru atau cara baru dalam melakukan sesuatu

2. Aku dapat mengerjakan suatu pekerjaan hingga selesai

3. Aku dapat melihat sebuah humor dan menggunakan humor tersebut untuk mengurangi tegangan

4. Aku dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan saat berkomunikasi dengan orang lain

5. Aku dapat memecahkan masalah pada beragam keadaan (akademik, pekerjaan, personal dan sosial)


(51)

6. Aku dapat mengontrol perilaku (perasaan, dorongan, dan tindakan) 7. Aku dapat memperoleh pertolongan ketika aku butuh

Berdasarkan pada penjelasakan karakteristik resiliensi menurut Grotberg di atas, seseorang yang dikatakan resilient tidak (harus) membutuhkan semua karakteristik tersebut untuk menjadi resilient, tetapi pun satu karakteristik saja tidak cukup. Seseorang mungkin dicintai (I HAVE), tetapi jika ia tidak memiliki kekuatan dari dalam (I AM) atau tidak memiliki keterampilan sosial (I CAN), dia bukanlah seseorang yang memiliki resiliensi. Seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi (I AM), tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya berkomunikasi dengan orang lain atau caranya memecahkan masalah (I CAN), dan ia tidak memiliki seseorang yang dapat membantu (I HAVE), orang tersebut bukanlah individu yang resilient. Juga seseorang yang mungkin sangat verbal dan dapat berbicara dengan baik (I CAN), tetapi ia tidak memiliki empati (I AM) atau tidak belajar dari seseorang yang mungkin dianggap teladan (I HAVE), individu tersebut bukanlah seorang yang resilient. Resiliensi dihasilkan dari suatu kombinasi atau gabungan atas tiga karakteristik tersebut (I HAVE, I AM dan I CAN), (dalam Parinyaphol & Chongruksa, 2008)

Karakteristik resiliensi juga dipaparkan oleh Kent dan Davis (dalam Reich, et.al., 2010), dalam Handbook of Adult Resilience yang menyimpulkan bahwa ada delapan karakteristik resiliensi sebagai kualitas individu, yaitu:


(52)

1. Emosi Positif

Yaitu: Optimis, mempunyai harapan, humoris, mempunyai pilihan, hasil yang positif, kemampuan untuk tertawa pada diri sendiri, emosi yang positif

2. Kontrol

Yaitu: Locus of Control, self-esteem dan rasa bangga, tantangan, komitmen, dan kontrol terhadap sumber stres.

3. Coping Stres yang aktif, perlawanan, dan menghadapi ketakutan Yaitu: Fokus pada tugas atau fokus pada emosi, coping dengan cara menghindar atau coping dengan perlawanan, menghadapi ketakutan, meninggalkan zona nyaman, coping yang adaptif atau coping yang pasif.

4. Fleksibilitas kognitif

Yaitu: Penjelasan alternatif, membangun kerangka yang positif, penerimaan, permasalahan-permasalahan yang sementara dan memiliki batas.

5. Kebermaknaan dan nilai dalam kesengsaraan

Yaitu: Pertumbuhan pasca-trauma, pembelajaran dari krisis, manfaat dari kesengsaraan atau ujian.

6. Altruisme

Yaitu: Memiliki empati dan rasa belas kasihan, bantuan yang bermanfaat, dan tugas penyelamatan.


(53)

Yaitu: Memiliki kerangka pemahaman, acuan moral, dan memiliki rasa peduli atas suatu kejadian.

8. Training

Yaitu: Pengalaman trauma yang dimiliki sebelumnya, atau stress.

1.2. Self Esteem

1.2.1. Pengertian Self Esteem

Wells dan Marwell (dalam Guindon, 2010), mengklasifikasikan definisi self-esteem dalam empat pendekatan yang berbeda, yaitu:

a. Pendekatan objek/sikap(Object/attitudinal approach).

Diri adalah suatu objek perhatian sama seperti yang lainnya. Kita memiliki pemikiran, perasaan dan sikap terhadap segala sesuatu yang menjadi objek. Jadi, kita juga mempunyai reaksi atas diri kita sendiri, dalam hal ini adalah bagian dari diri kita yang kita sebut sebagai self-esteem.

b. Pendekatan hubungan (Relational approach).

Hubungan atau perbedaan antara seperangkat sikap. Ini juga berarti suatu reaksi. Sebagai contoh: kita dapat memiliki perbedaan dalam pemikiran, perasaan dan sikap ketika kita membandingkan diri ideal (ideal-self) dengan gambaran diri (real-self), atau antara harapan dan pencapaian. Hubungan antar perangkat yang berbeda ini disebut oleh Wells dan Marwell sebagai bagian dari klasifikasi definisi self-esteem.


(54)

c. Pendekatan respon-respon psikologis (Psychological responses approach). Sebagaimana namanya, perhatian reaksi-reaksi psikologis dan emosional mengacu pada diri. Kita dapat merasakan reaksi positif atau negatif tentang beberapa unsur dari diri kita, seperti perilaku atau penampilan. Maka pendekatan respon-respon psikologis adalah salah satu cara dalam mendefinisikan self-esteem.

d. Pendekatan komponen/fungsi kepribadian (Personality function/ component approach). Self-esteem tampak sebagai bagian dari kepribadian (konstruk itu sendiri), diri atau sistem diri (self-system), yang menjadi bagian dari kepribadian, terkait dengan motivasi dan regulasi diri (self-regulation). Sebagai contoh, individu menilai diri mereka sendiri berdasarkan pada bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan standar hukum secara sosial.

Beberapa definisi self-esteem menurut beberapa tokoh:

Menurut Minchinton (1993) dalam Maximum Self-Esteem, “Self-esteem adalah nilai yang dilekatkan pada diri kita. Self-esteem juga berarti penilaian atas ‘harga diri’ kita sebagai manusia, berdasarkan pada persetujuan atau pengingkaran atas diri dan perilaku kita.”

Matsumoto (2009) dalam The Cambridge Dictionary of Psychology menjelaskan, “Self-esteem adalah tingkat kecenderungan sikap, gagasan, evaluasi atas diri sendiri, sejarah, proses-proses mental, dan perilaku yang positif.


(55)

Self-esteem berhubungan dengan banyak aspek dari pemikiran, emosi dan perilaku serta sering dipertimbangkan sebagai bagian inti dalam memahami individu”.

James (dalam Guindon, 2010), mendefinisikan self-esteem sebagai penghargaan diri yang berisi perasaan dan emosi diri.

Rosenberg (dalam Guindon, 2010), menyimpulkan bahwa self-esteem adalah suatu sikap yang mengacu pada objek yang spesifik, yaitu diri (self). Setiap karakteristik dari diri dan hasil dari perkiraan karakteristik tersebut dievaluasi. Setiap unsur dari diri dievaluasi berdasarkan pada suatu penilaian yang dikembangkan selama masa kanak-kanak hingga remaja. Timbal balik dari orang lain secara khusus menjadi signifikan bagi yang lainnya, yang kemudian menjadi unsur penting dalam self-esteem.

Horney (dalam Guindon, 2010), menyatakan bahwa setiap orang dilahirkan dengan potensi yang unik, dan self-esteem diperoleh dengan mencapai potensi tersebut. Sementara Sullivan (dalam Guindon, 2010) mengusulkan bahwa self-esteem adalah kebutuhan sosial yang harus diterima, disukai, dan dimiliki. yang diperoleh dari interaksi sosial yang mencerminkan penilaian diri. Self-esteem dipertahankan oleh penyesuaian diri terhadap harapan .

Menurut Hewitt (dalam Lopez, 2009), self-esteem adalah dimensi evaluatif dari penghargaan diri yang menggabungkan aspek kognitif dan afektif.

Rogers (dalam Guindon, 2010), mendefinisikan self-esteem sebagai suatu perluasan atas apa yang seseorang sukai, nilai, dan apa yang diterima oleh diri sendiri. Rogers percaya bahwa diri (self) berkembang dari suatu kombinasi atas


(1)

Lampiran V

(Skor-skor Variabel Self-Esteem)

Skor-skor Variabel Self-Esteem Responden

Nomor Item N o m o r R e sp o n d e n

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

1 4 3 3 3 2 3 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 2 4

2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

3 3 3 4 3 3 3 3 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 4

4 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 4 4

5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 1 4

6 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

7 3 2 3 4 3 3 3 3 4 4 3 3 3 3 4 3 3 4

8 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 3 3 3 4

9 3 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

10 4 4 4 1 1 4 3 3 4 3 4 4 3 1 4 4 3 4

11 4 3 4 4 1 3 3 3 4 4 3 3 4 4 2 4 1 4

12 4 2 4 3 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

13 3 4 3 3 4 3 4 4 3 4 3 3 4 3 4 4 4 3

14 3 3 3 4 3 3 2 3 3 4 2 3 3 3 3 2 3 3

15 4 4 4 2 4 3 4 4 4 1 4 4 3 4 4 2 4 3

16 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 2 3 2 3

17 3 3 4 2 4 2 2 4 1 1 4 4 1 3 3 2 1 3

18 3 3 2 3 3 2 2 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3

19 4 4 4 1 1 4 3 3 4 3 4 4 3 3 4 4 1 4

20 2 3 4 4 4 4 1 1 4 4 1 4 4 4 4 1 4 4

21 4 4 4 2 3 4 2 1 4 4 4 1 3 4 2 4 1 3

22 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 1 3

23 3 3 4 4 2 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4

24 4 4 3 2 4 3 2 3 2 3 3 4 3 3 2 3 3 4

25 3 3 4 1 3 4 2 3 3 4 3 4 3 3 3 3 3 4

26 4 4 4 2 1 4 1 2 4 1 4 2 2 1 4 4 1 3

27 3 3 4 1 3 4 3 3 3 4 4 4 3 3 2 2 4 4

28 3 3 3 2 4 3 3 2 3 4 3 3 3 4 3 4 3 4

29 3 4 3 3 3 3 2 4 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3

30 4 3 3 2 2 3 3 3 4 3 4 3 3 3 3 3 3 4

31 4 3 4 3 3 3 3 3 3 4 3 2 4 4 3 4 3 4

32 3 3 4 3 3 3 3 3 3 4 3 2 4 4 3 4 3 4

33 3 3 4 3 4 4 2 3 4 4 4 3 4 4 3 2 3 4

34 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 2 3 4 4 3 3 4

35 3 3 3 2 2 4 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 4

36 3 4 4 4 4 2 4 4 4 4 3 3 4 4 4 3 4 4

37 4 3 4 4 3 4 3 3 4 4 4 3 3 3 4 3 3 4

38 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 1

39 3 3 3 1 2 3 2 1 4 1 3 3 2 1 4 4 2 3

40 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3

41 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3

42 4 3 3 2 3 3 3 3 3 1 3 4 3 3 3 3 3 4

43 4 4 4 1 4 3 1 4 4 3 4 3 3 4 4 4 3 3

44 3 3 3 3 2 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 4


(2)

46 3 3 4 3 3 4 1 3 4 3 4 4 3 3 4 4 3 4

47 3 4 3 4 3 3 3 4 3 4 3 3 3 3 3 4 4 4

48 4 4 3 4 1 4 3 1 4 4 4 4 1 4 4 4 1 4

49 3 3 4 4 3 3 3 3 1 4 4 3 4 3 2 2 3 4

50 4 4 4 4 4 4 1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

51 3 3 4 4 3 3 3 2 2 4 4 3 3 3 3 3 2 4

52 3 3 3 3 3 3 2 2 4 3 3 4 2 3 4 3 2 4

53 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 3 3 3 3 3 4

54 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

55 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

56 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4

57 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

58 4 4 4 3 3 4 3 3 2 3 4 4 3 3 4 4 3 4

59 4 4 4 3 3 4 3 3 4 3 4 3 3 3 4 3 3 4

60 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 3 4

61 4 3 3 3 3 3 3 4 4 3 4 3 4 4 3 4 3 4

62 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4

63 4 4 4 4 3 3 1 4 4 3 4 3 3 4 4 4 3 3

64 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4 4 3 4 3 4

65 3 3 3 3 3 4 2 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4

66 3 3 4 4 3 3 3 4 3 3 3 4 4 3 3 3 3 4

67 4 3 3 4 3 4 3 3 4 4 3 3 4 4 3 4 3 4

68 3 3 4 1 2 3 3 1 2 3 4 4 1 1 4 4 2 4

69 3 3 4 4 3 3 3 3 4 4 4 3 3 3 3 4 3 4

70 3 3 3 3 3 2 2 2 3 2 3 3 2 2 3 3 2 3

71 3 4 3 4 4 3 1 4 3 4 3 3 4 4 3 3 4 4

72 4 4 4 3 3 4 3 3 4 3 4 4 3 3 4 4 3 4

73 4 3 3 3 2 4 3 3 4 3 4 3 3 3 4 3 3 4

74 4 3 3 3 3 4 3 3 4 4 2 2 4 3 4 4 1 4

75 4 3 3 3 4 2 3 3 4 4 4 2 4 4 4 4 3 4

76 4 3 4 2 3 4 2 4 3 3 4 4 4 3 4 4 4 4

77 4 4 3 3 3 2 3 3 3 4 4 4 4 4 3 4 3 4

78 4 4 4 4 1 4 1 1 1 1 4 4 1 1 4 4 1 4

79 4 4 3 4 3 3 3 3 4 3 4 4 2 1 3 3 3 4

80 2 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 4 3 4

81 3 3 4 2 1 2 2 1 4 2 2 4 2 1 4 3 1 3

82 3 4 3 4 4 3 3 4 3 4 3 1 4 4 4 4 4 4

83 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

84 4 3 4 4 3 4 4 4 1 4 4 4 3 2 3 4 2 4

85 3 3 4 3 3 3 3 3 3 4 4 3 3 4 3 3 3 4

86 4 3 2 2 3 4 3 2 4 2 2 4 2 1 3 4 2 2

87 4 4 4 1 1 4 1 1 4 1 4 4 1 1 4 4 1 4

88 4 4 4 3 3 4 3 3 3 1 1 2 3 3 3 3 3 4

89 4 4 3 3 3 4 3 3 4 3 4 4 3 3 4 4 3 4

90 3 2 3 3 3 3 2 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4

91 3 3 4 3 3 4 3 3 3 3 4 1 3 3 3 4 3 4

92 4 3 4 2 3 4 1 2 3 1 2 4 2 1 2 1 1 4

93 4 3 4 2 1 3 1 1 3 1 3 4 2 1 4 3 1 3

94 4 4 4 2 4 2 2 1 1 1 4 1 4 1 4 4 4 4

95 4 3 4 2 1 3 1 2 4 3 4 1 1 3 4 2 2 1

96 3 3 2 2 3 4 1 2 3 1 3 3 3 3 3 3 3 3

97 4 4 4 1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4


(3)

99 3 3 4 3 3 2 3 3 4 3 4 4 3 3 3 3 2 4

100 4 4 4 4 4 4 3 4 1 4 4 4 4 4 4 4 4 4

101 4 4 3 4 4 3 1 4 3 2 3 4 3 3 3 4 3 4

102 4 4 4 3 1 4 1 3 4 3 4 4 3 3 4 4 3 4

103 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 4 3 3 3 3 3 2 2

104 3 3 3 3 2 4 2 2 4 4 3 4 3 4 3 4 3 3

105 3 4 3 3 3 3 2 3 3 3 4 3 3 3 4 2 3 4

106 3 2 3 1 1 4 2 1 4 4 4 4 2 4 4 2 2 4

107 4 3 3 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 3 3 4 4

108 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 4

109 4 3 3 1 3 2 1 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4

110 3 3 3 1 3 4 3 3 4 1 4 3 4 4 4 4 4 4

111 4 4 4 4 2 4 2 3 4 4 3 4 4 4 3 3 3 3

112 4 4 4 1 4 4 3 4 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4

113 4 3 2 3 2 1 3 4 3 4 4 3 3 4 4 3 3 4

114 4 3 2 1 1 4 2 1 4 3 4 4 3 3 4 4 3 4

115 4 4 4 3 3 3 3 3 4 4 4 3 4 4 3 4 1 4

116 4 3 3 3 1 2 1 3 4 3 4 4 3 3 2 4 1 4

117 3 3 3 3 2 3 2 2 4 2 4 4 2 3 3 3 2 4

118 3 3 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

119 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 4 2 3 3 3 4

120 4 3 3 3 4 3 3 3 3 4 4 4 4 3 3 4 3 4

121 2 2 4 1 2 4 1 3 3 1 1 4 1 3 2 4 3 1

122 1 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 2 3 3 3 3

123 4 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 2 3 3 3

124 3 3 3 4 3 3 3 3 2 4 3 3 3 3 3 3 3 3

125 4 4 3 3 1 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

126 4 3 4 2 3 4 3 3 4 3 4 3 3 3 4 4 3 4

127 2 1 3 3 3 2 3 3 3 3 1 1 3 3 3 3 3 3

128 4 4 4 4 2 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4

129 4 3 4 4 2 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4

130 4 4 4 4 4 4 1 3 3 3 4 4 3 3 4 4 1 4

131 4 3 3 3 3 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4

132 4 3 4 1 1 3 1 4 4 1 4 3 2 4 4 3 3 4

133 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 4

134 3 3 4 3 3 3 3 3 4 4 3 3 4 3 3 3 2 4

135 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 3 2 3 3 3 3 2 4

136 4 4 3 2 1 4 1 2 3 2 4 4 1 2 3 2 1 4

137 4 3 4 2 1 4 2 3 4 2 4 4 2 1 3 4 1 3

138 2 2 3 2 2 2 3 2 2 2 3 2 3 2 3 2 3 3

139 3 3 4 3 1 2 2 3 1 2 2 4 3 1 2 1 2 2

140 4 4 4 4 4 4 1 1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

141 3 3 4 4 3 3 3 3 4 4 4 3 3 4 4 3 3 4

142 3 3 4 3 3 4 3 3 4 3 4 1 3 3 3 3 3 4

143 4 3 3 4 4 3 3 3 4 4 4 4 3 2 3 4 4 4

144 4 4 4 4 3 3 3 4 4 4 3 4 4 3 2 2 3 3

145 3 3 3 3 2 2 3 2 3 2 3 2 3 3 3 3 3 4


(4)

Lampiran VI (Gambar Analisis Konfirmatorik Resiliensi)


(5)

Lampiran VII (Gambar Analisis Konfirmatorik Religiusitas)


(6)

Lampiran VIII (Gambar Analisis Konfirmatorik Self-Esteem)