Fungsi Dan Makna Ornamen Rumah Adat Karo : Kajian Semiotik

(1)

SKRIPSI SARJANA

FUNGSI DAN MAKNA ORNAMEN RUMAH

ADAT KARO : KAJIAN SEMIOTIK

DIKERJAKAN :

O L E H

NAMA : AFRINA BERLIANA SILALAHI NIM : 030703011

h

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA DAERAH JURUSAN SASTRA BATAK

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN


(2)

FUNGSI DAN MAKNA ORNAMEN RUMAH ADAT KARO : KAJIAN SEMIOTIK

DIKERJAKAN : O

L E H

NAMA : AFRINA BERLIANA SILALAHI NIM : 030703011

DIKETAHUI /DISETUJUI, OLEH :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Jekmen Sinulingga. M, Hum

NIP. 131837558 NIP . 131785647

Drs. Baharuddin, M. Hum Departemen Sastra Daerah

Ketua,

NIP . 131785647 Drs. Baharuddin, M. Hum

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA DAERAH JURUSAN SASTRA BATAK

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN


(3)

Abstrak

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Setiap suku memiliki kebudayaan, tradisi dan adat istiadat yang berbeda dan beraneka ragam. Hal inilah yang menjadikan kekayaan tradisi bangsa salah satunya suku Karo. Suku Karo pada umumnya berdiam di daerah pegunungan seperti Berastagi dan Kabanjahe. Sebab di daerah tersebutlah banyak dijumpai orang yang mayoritas Karo dan mengetahui tentang adat istiadat dan kebudayaan Karo. Salah satunya Ornamen yang terdapat di Rumah Adat Karo, yang ada di desa Lingga Kabanjahe. Kebudayaan ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.


(4)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Setiap suku memiliki kebudayaan, tradisi dan adat istiadat yang berbeda dan beraneka ragam. Hal inilah yang menjadikan kekayaan tradisi bangsa salah satunya suku Karo.

Suku Karo pada umumnya berdiam di daerah pegunungan seperti Berastagi dan Kabanjahe. Sebab di daerah tersebutlah banyak dijumpai orang yang mayoritas Karo dan mengetahui tentang adat istiadat dan kebudayaan Karo. Salah satunya Ornamen yang terdapat di Rumah Adat Karo, yang ada di desa Lingga Kabanjahe.

Kebudayaan ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.


(5)

Koenjaraningrat (1974:5) menyatakan rumah adat Karo merupakan hasil karya masyarakat Karo yang diikat oleh rasa kekeluargaan dan gotong royong sehingga menghasilkan nilai seni yang tinggi.

Rumah adat Karo tersebut ketahanannya juga bisa mencapai ratusan tahun dan tahan terhadap gempa. Pembuatan rumah adat tersebut juga tidak memakai paku sebagai alat bangunan, dikarenakan masyarakat Karo pada zaman dahulu percaya akan adanya tanah yang baik dan buruk. Sehingga untuk membuat rumah masyarakat Karo pada zaman dahulu memanggil guru (dukun) yang bertujuan untuk mengetahui apakah tanah tersebut dapat didirikan Rumah Adat Karo, Sitepu (1996 : 69).

Selain itu di atas rumah adat Karo diletakkan sepasang tanduk kerbau, ada yang dua ada yang empat, hal itu dikarenakan masyarakat Karo pada zaman dahulu percaya bahwa kepala kerbau sebagai lambang skekuatan yang apabila tanduk kerbau belum dipasang rumah adat Karo tersebut belum dianggap selesai.


(6)

Penelitian ini merupakan penelitian tentang tanda yang di tinjau dari segi kebudayaan yang terfokus pada ornamen rumah adat Karo. Ornamen merupakan suatu unsur yang memperindah bangunan, baik berupa bangunan hunian biasa, rumah besar berupa bangunan adat ataupun bangunan istana.

Pada hakikatnya, setiap bangunan di beri tanda hiasan – hiasan berupa ornamen yang memberikan kesan keagungan serta keindahan pada bangunan tersebut. Banyak bangunan tradisional berupa peninggalan masa lalu diberi dan dilengkapi dengan tanda hiasan – hiasan, baik berupa ornamen atau berupa pahatan – pahatan maupun ukiran ( Situmorang, 1997 : 54 ).

Penggunaan tanda hiasan – hiasan tersebut sering memberi suatu makna khusus terhadap bangunan sehingga antara bangunan dengan hiasan menjadi suatu kesatuan utuh dalam perwujudannya sebagai bangunan yang diagungkan. Konsep penyatuan tanda hiasan pada bangunan merupakan suatu tradisi yang dilakukan oleh para perancang bangunan pada masa lalu hingga masa sekarang ini (Situmorang, 1997 :54 ).


(7)

Rumah adat Karo merupakan bangunan tradisional yang ditandai ornamen yang keseluruhan ornamen memiliki hal – hal yang berhubungan dengan lambang yang bermakna adat istiadat. Dalam pembuatan ornamen rumah adat Karo akan melewati berbagai proses perencanaan yang matang dan tidak terlepas dari adat istiadat yang telah ditetapkan sebagai sumber hukum yang berlaku di tengah – tengah masyarakat, melalui sidang adat raja, yang kemudian dikirim kepada ahli kesenian (penggerga) yang mendapat perintah dari pengulu taneh.

Warna sebagai tanda juga mendominasi masyarakat Karo pada zaman dahulu menurut sembiring (1995 :186) ialah merah, putih dan hitam, sehingga warna tersebutlah yang dipergunakan untuk mendominasi ornamen rumah adat Karo. Pemikiran yang melatarbelakangi terhadap pendominasian warna dalam kehidupan mereka sehari-hari yaitu kepercayaan yang menjaga mereka bersumber dari telu sedalenan ‘tiga


(8)

Menurut tradisi masyarakat Karo dalam warna merah mengandung makna terhadap kegairahan untuk hidup. Gairah untuk hidup itu lebih diidentikkan dengan kekuatan yang mendorong manusia untuk bekerja. Hal ini dibuktikan pada pakaian adat Karo pada saat akan melakukan pernikahan. Warna hitam diidentikkan dengan ketidakmampuan manusia untuk mengetahui dan mengikuti kehendak Tuhan, dapat kita lihat pada setiap pakaian Karo selalu ada warna hitam saat warga Karo meninggal dan warna putih diidentikkan dengan kesucian Tuhan, dapat kita lihat disaat masyarakat Karo akan mengadakan upacara ritual adat Karo mereka berpakaian putih.

Skripsi tanda ornamen yang dianalisis adalah ornamen yang khusus pada rumah adat Karo. Karena Rumah Adat Karo merupakan suatu bangunan monumental yang sangat bernilai tinggi dengan ornamen yang melekat di dinding Rumah Adat Karo.


(9)

De Boer (1920 :1) mengatakan ornamen adalah suatu tanda desain tradisional yang sangat bernilai tinggi yang berkaitan erat dengan mistik dan kepercayaan asli kesukuan, dimana ornamen tersebut mempunyai makna dan kebahagian penghuninya.

Sitepu (1996 : 202) mengatakan seni ukir (Ornamen) adalah tanda sederhana untuk menolak bala menangkal roh jahat dan berupa pengobatan. Jadi ornamen yang terdapat di dinding rumah adat Karo pada zaman dahulu bukan sekedar untuk keindahan saja, akan tetapi setiap lembar papan yang dihiasi ornamen tersebut mempunyai makna yakni kekuatan gaib yang menjaga si pemilik rumah dari marabahaya.

Akan tetapi pada saat sekarang ini karena di pengaruhi oleh kemajuan zaman dan agama, maka ornamen yang terdapat di dinding rumah adat Karo dianggap sebagai hiasan yang memperindah bangunan.

Sitepu (1996 : 202) mengatakan bahwa dalam perkembangan dari waktu ke waktu kebiasaan membuat ornamen tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya penangkalnya, lukisan itu telah dipandang sebagai sesuatu yang memiliki daya keindahan sehingga dikembangkan sebagai


(10)

suatu karya seni. Sehingga pada saat sekarang ini ornamen dalam masyarakat Karo (ornamen) sudah mengalami kepunahan. Hal ini disebabkan karena sedikit sekali para ahli yang berniat untuk menggali dan melestarikan kebudayaan - kebudayaan yang ada di daerah.

Di samping itu untuk mendirikan rumah adat Karo bahannya sangat sulit didapatkan dan termasuk orang yang mengerti tentang pembuatan rumah dan ukiran seni Karo pun pada saat ini sudah sangat jarang dapat ditemui. Hal itu dapat mengakibatkan hilangnya kebudayaan yang ada pada suatu daerah akibat kurangnya para ahli yang mampu untuk menciptakan suatu karya seni (ornamen) yang memiliki kekuatan.

Sehingga pada saat sekarang ini ornamen dalam masyarakat Karo hanya dipandang sebagai suatu yang memiliki keindahan sehingga dikembangkan sebagai karya seni. Untuk itulah kekayaan budaya seperti rumah adat Karo sangat perlu di jaga kelestariannya, agar tidak mengalami kepunahan.


(11)

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan di rumuskan pada skripsi ini adalah :

1. Bentuk Ornamen apa sajakah yang terdapat pada Rumah Karo,

2. Apakah Fungsi Ornamen Rumah Karo,

3. Apakah Makna Ornamen Rumah Karo

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk ornamen pada Rumah Karo,

2. Untuk mengetahui fungsi ornamen dalam Rumah Karo,

3. Untuk mengetahui makna ornamen dalam rumah adat Karo.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Bagi Masyarakat dengan adanya penelitian ini,maka akan tertarik

untuk mengenal ornamen rumah adat Karo lebih dalam lagi,

2. Menginventarisasikan budaya Karo yang mulai hilang karena

perkembangan zaman,

3. Menjadi sumber informasi bagi mahasiswa jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra USU.


(12)

1.5 Anggapan Dasar

Dalam melakukan suatu penelitian sangat perlu membuat suatu anggapan dasar. Menurut Anwar Syah dalam Yanti (2003: 10) mengatakan anggapan dasar adalah titik tolak pemikiran haruslah berdasarkan kebenarannya (tidak perlu dibuktikan lagi). Dari pendapat sarjana di atas jelaslah bahwa anggapan dasar haruslah berdasarkan kebenaran yang objektif, maksud kebenaran yang objektif di sini adalah apabila anggapan dasar tersebut, dapat dibuktikan kebenarannya. karena itu penulis menganggap bahwa ornamen Rumah Adat Karo merupakan karya sastra yang memiliki nilai seni yang indah yang memberikan fungsi dan makna dalam rumah adat Karo.


(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kepustakaan Yang Relevan

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi ini.Adapun buku-buku yang digunakan dalam memahami dan mendukung penelitian penulis adalah

1. Sitepu dkk (1996:202) yang berjudul Pilar Budaya Karo, dalam buku

ini dipaparkan tentang tahap pembuatan rumah adat Karo, sistem kemasyarakatan yang ada pada masyarakat Karo, sistem religi masyarakat Karo, ornamen rumah adat Karo yang rumah adat, sendok dapur, pakaian tenunan dan lain-lain, buku ini juga menceritakan tentang asal usul nama Karo, dan asal usul dari satu kampung.

2. Ginting, buku ini berupa diktat yang di dalam buku ini ada

membahas ragam hias dari buku Sitepu yang membahas tentang arti dan fungsi ornamen rumah adat Karo.


(14)

3. Yanti, skripsi (2003) : fungsi dan makna gorga dalam masyarakat

Batak Toba. Skripsi ini membahas tentang ornamen dalam rumah

adat Batak Toba, fungsinya dalam masyarakat Toba, dan makna yang terdapat pada setiap ornamen yang ada pada masyarakat Batak Toba. Skripsi ini juga menggunakan Teori yang sama, seperti yang penulis pergunakan.

2.2.Teori yang Digunakan

Berdasarkan judul penelitian ini maka teori yang digunakan untuk mendeskripsikan fungsi dan makna ornamen dalam rumah adat batak Karo adalah teori semiotik. Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Maka semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. (Zoest 1993 : 1).


(15)

Menurut Peirce tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain-lain. Yang dapat menjadi tanda bukan hanya bahasa, melainkan berbagai hal yang dapat melingkupi kehidupan disekitar kita. Tanda dapat berupa bentuk tulisan, karya seni, sastra, lukisan dan patung.

Dan berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon),

index (indeks), dan symbol (simbol).

1. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya

bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta.

2. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah

antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu kepada kenyataan.Contoh yang paling jelas adalah asap sebagai tanda adanya api.


(16)

3. Simbol adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antar penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan bedasarkan konvensi atau (perjanjian) masyarakat.

Simbol yang terdapat pada ornamen yang ada pada rumah adat Karo, diantaranya tercipta dan diciptakan atas dorongan pengaruh lingkungan seperti alam, manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Ornamen yang ada pada masyarakat Karo juga diletakkan di tiga tempat yaitu ayo-ayo rumah adat yang dibentuk dengan menganyam bambu, dapur-dapur rumah adat Karo yang tehnik pembuatannya diukir dan pada derpih dengan cara membuat lubang membentuk gambar cicak yang membermakna kekuatan pada derpih rumah adat.

Ketiga tempat tersebut dianggap sebagai tanda yang menghalangi masuknya roh-roh jahat yang akan membinasakan orang yang berada di dalam rumah adat dan yang memberikan perlindungan bagi anggota keluarga. Ketiga tempat tersebut juga melatar-belakangi dari kekuatan pencipta, alam, dan penghancur yang merupakan sumber dari Dibata atas, Dibata tengah dan Dibata terruh


(17)

Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Peirce (2003 : 43) membagi ikon menjadi empat jenis :

1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. Kata keras

menunjukkan kualitas tanda. Misalnya, suaranya keras yang menandakan orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan.

2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Contoh

:foto, diagram, peta, dan tanda baca.

3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda yang berdasarkan pengalaman

langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh segala sesuatu. Contoh: pantai yang sering merenggut nyawa orang yang mandi di situ akan dipasang bendera bergambar tengkorak yang bermakna berbahaya, dilarang mandi di sini.

4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang

sesuatu. Misalnya, tanda larangan yang terdapat di pintu masuk sebuah kantor.


(18)

Tanda yang ditunjukkan dicent sinsign dalam ornamen rumah adat Karo ditunjukkan pada ornamen yang memiliki mistik yang merupakan penghalang bagi roh-roh jahat di udara untuk masuk ke dalam rumah adat. Salah satunya ornamen pengret-ret. Ornamen pengret-ret merupakan pagar rumah yang menolak segala mahluk jahat untuk masuk ke rumah dan diletakkan pada derpih rumah adat Karo.

Peirce membagi klasifikasi Indeks menjadi tiga jenis :

1. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau

hukum. Misalnya, rambu lalu lintas.

2. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada obyek

tertentu, misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana buku itu?” dan dijawab, “Itu!”

3. Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan

menunjuk subyek informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-putar di atas mobil ambulans menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka yang dilarikan kerumah sakit.


(19)

Peirce membagi klasifikasi Simbol menjadi tiga jenis :

1. Rhematic Symbol atau Symbolic rheme, yakni tanda yang dihubungkan

dengan objeknya melalui asosiasi nilai umum.Misalnya, kita melihat gambar harimau.Lantas kita katakan, harimau. Mengapa kita katakan demikian, karena ada asosiasi antara gambar dengan benda atau hewan yang kita lihat yang namanya harimau.

2. Dicent Symbol atau proppsition (proposisi) adalah tanda yang langsung

menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang berkata, “Pergi!” penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak,dan sertamerta kita pergi. Padahal proposisi yang kita kenal hanya kata. Kata – kata yang kita gunakan yang membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi di dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu, dan seseorang segera menetapkan pilihan atau sikap.

3. Argument, yakni tanda yang merupakan kesamaan seseorang terhadap


(20)

Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap sebab ia menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. Dengan demikian argumen merupakan tanda yang berisi penilaian atau alasan, mengapa seseorang berkata bengitu. Tentu saja penilaian tersebut berisi kebenaran.

Namun yang paling dekat pengkajiannya pada ornamen adalah Simbol. Secara etimologis, simbol berasal dari kata yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. (Hartoko dan Rahmanto, 1998 : 133). Ada pula yang menyebutkan “symbolos,” yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10).

Semua simbol melibatkan tiga unsur: Simbol itu sendiri, Satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbolik.

Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna putih melambangkan kesuciann, padi lambang kemakmuran.


(21)

Dengan demikian, dalam konsep Peirce simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya.

Mempelajari ornamen tradisional Karo, merupakan satu hal yang menarik karena diciptakan atas dorongan pengaruh lingkungan seperti alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan yang mereka dapat dari hasil buah pikirannya.

Seniman pencipta ornamen baik dahulu maupun sekarang menyadari bahwa dibalik nilai-nilai keindahan masih terdapat nilai-nilai rohaniah lain yang mempunyai arti kekuatan batin. Hal ini berhubungan dengan makna dari ornamen yang akan dibahas pada bab pembahasan. Untuk itulah penulis memilih teori ini sebagai suatu landasan berpijak dalam meneliti bentuk, jenis, dan fungsi dalam ornamen Karo.


(22)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode yang bertujuan agar penelitian tersusun secara sistematis. Metode adalah cara bertindak menurut sistem atau sistem tertentu (Sudartono,1995 : 41), sedangkan arti kata “penelitian” dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan. Jadi dapat disimpulkan bahwa metodologi penelitian ialah upaya untuk menghimpun data yang diperlukan dalam penelitian untuk memperoleh kebenaran terhadap suatu objek permasalahan.

3.1 Metode Dasar

Metode dasar yang digunakan dalam skipsi ini adalah metode deskriptif. Metode Deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan objek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain)


(23)

pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. (Nawawi 1991 : 63). Dalam metode deskriptif, penulis akan berusaha mengungkapkan dan memaparkan hasil yang sebenarnya sesuai dengan keadaannya sekarang.

3.2.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dijadikan daerah penelitian adalah Desa Lingga Kabupaten Karo Kabanjahe. Penduduk desa ini bermata pencaharian petani, pedagang, dan pegawai. Penulis memilih lokasi ini karena ditemui rumah adat disertai dengan ornamen yang menghiasi rumah adat.

3.3.Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian ini diperoleh dari keterangan informan yang mengerti tentang ornament yang terdapat di dalam rumah adat Karo. Kemudian penulis juga melakukan penelitian kepustakaan (library

research) yang bertujuan untuk mencari buku-buku yang berhubungan


(24)

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat perekam (tape recorder) yang digunakan untuk mewawancarai

informan sehubungan dengan objek penelitian

2. Kamera, yang digunakan untuk mengambil foto objek

3. Alat tulis dan kertas, yang digunakan untuk mencatat segala hal yang

dianggap penting dan berhubungan dengan objek penelitian.

3.5. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data penulis menggunakan metode sbb:

1. Metode observasi yaitu penulis langsung kelapangan melakukan

pengamatan terhadap objek penelitian.

2. Metode wawancara yaitu melakukan wawancara terhadap informan

yang dianggap dapat memberikan informasi atau data-data tentang objek yang diteliti dengan menggunakan teknik :


(25)

a. Rekam yaitu merekam informasi atau data yang diberikan informan.

b. Catat yaitu mencatat semua keterangan yang diperoleh dari informasi

informan.

3. Metode kepustakaan (library research) yaitu dengan mencari data dari

buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

3.6. Metode Analisis Data

Pada dasarnya analisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidak-benaran dari suatu objek. Penganalisisan data dilakukan dengan mendeskripsikan bentuk, fungsi dan makna ornamen rumah adat Karo. Data yang diperoleh dari masyarakat sangat berpengaruh terhadap fungsi dan makna terhadap nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat Karo pada zaman dahulu sampai sekarang.


(26)

BAB IV

SISTEM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO

4.1. Asal Usul Etnis dan Nama Karo

Daerah Sumatera Utara terdiri dari pantai, dataran rendah, dataran tinggi dan pegunungan. Daerah pantai terletak sepanjang pesisir timur, barat dan bersambung dengan dataran rendah. Dataran Karo, Toba dan Humbang merupakan dataran tinggi, sedangkan pegunungan Bukit Barisan yang yang membujur di tengah–tengah dari utara ke selatan merupakan daerah

pegunungan. Luas daerah Sumatera Utara sekitar 71.680 km2 dan terletak

antara 1 dengan 4 lintang utara dan antara 98 dengan 100 bujur timur. Penduduk pribumi Sumatera Utara terdiri atass suku Melayu, Toba, Karo, Simalungun, Pakpak Dairi, Mandailing dan Nias, dengan mata pencaharian sehari–hari adalah bertani. (Saragih 2007 :42)

Berdasarkan asal usul terjadinya suku Karo belum diketahui secara pasti. Namun diperkirakan sudah ada sekitar tahun 1250. Karena menurut

beberapa penulis pada waktu itu sudah ada kerajaan Haru (Aru). Kerajaan


(27)

Masa kejayaan kerajaan ini cukup lama. Namun sekitar tahun 1539 kerajan Haru kalah dan hancur total akibat serangan tentara kerajaan Aceh yang memiliki persenjataan yang cukup kuat. Rakyatnya pergi menyelamatkan diri ketempat yang dianggapnya aman.

Rakyat yang pergi menyelamatkan diri ada yang ke Singkil, Pak-pak Dairi, Aceh (Gayo Alas), Asahan, Simalungun, dan dataran tinggi tanah Karo (Karo Gugung). Sebahagian lagi pergi ke dataran rendah dekat pengunungan mulai dari bukit Lawang, Bahorok (Buah Orok), Deli Serdang sampai keperbatasan Sipis-pis Tebing Tinggi sekarang. Mereka yang menempati tempat yang baru diluar Asahan kemudian disebut orang Karo sisa perang Haru. Suku Karo yang tinggal di dataran rendah dekat pengunungan yang luasnya lebih kurang 5.000 km2 kemudian disebut Batak Karo Dusun.

Disisi lain dari penemuan sejarah, di Labu Tuo yang letaknya berdekatan dengan kota pelabuhan Baros, ditemukan sebuah batu bertulis pada tahun 1872, isinya baru dapat dibaca pada tahun 1932 oleh Prof. Nilakantisastri, Guru besar Purbakala di Madras.


(28)

Batu tertulis tersebut ditemukan oleh Kontelitir Deuz. Isinya bahwa pada tahun 1088 M ada 1.500 orang Tamil dari India Selatan bertempat tinggal di Baros. Mereka membentuk kesatuan untuk mencegah persaingan sesama mereka dalam dagang kapur barus dan kemenyan, mereka membentuk kesatuan dagang di daerah itu.

Penduduk yang terdahulu menempati daerah itu semakin bertambah dengan adanya pendatang baru. Pendatang baru itu terutama berasal dari India dengan maksud untuk mencari sumber penghidupan terutama berdagang disamping menanamkan pengaruhnya. Di luar daerah Baros mereka menjumpai gading gajah, cula badak, kapur barus, kemenyan dan emas yang sangat berharga dan digemari pada waktu itu.

Barang-barang ini dibawa dan diperdagangkan di India, Eropa, dan Tiongkok. Beberapa diantaranya ada juga yang menetap dan menggabungkan diri dengan golongan pribumi setempat. Mereka tidak kembali kenegrinya, ada juga akibat sulitnya atau putusnya hubungan karena pemimpinnya tidak datang lagi.


(29)

Di daerah-daerah sekitarnya sering terjadi perpindahan penduduk. Perpindahan tersebut disebabkan terjadinya huru-hara untuk mencari tempat pertanian yang lebih baik. Oleh karena terjadinya pergeseran penduduk tersebut suku Karo tinggalnya berpencar dan sebagian kecil derada di dataran tinggi Karo.Diperkirakan orang India (Tamil) yang tinggal disekitar Baros itulah yang sampai di desa Seberaya (Karo) kemudian tinggal bersama dengan penduduk setempat.

Dari sumber lain diketahui pula bahwa pada tahun 1680 Guru Pertimpus (Guru Pa Timpus) sudah tinggal di Medan sekarang. Dia bermarga Sembiring Pelawi datang dari tanah Karo Gugung, bermaksud untuk membuka ladang diantara sungai Babura dan sungai Deli. Kemudian Guru Pa Timpus kawin dengan seorang putri panglima Hali yang tinggal di Sei Sikambing. Panglima Hali sendiri sebenarnya dulu berasal dari suku Karo, bermarga Tarigan.

Disisi lain masih ada sumber dengan versi yang berbeda. Sumber itu adalah nenek kandung penulis (Sempa Sitepu) bernama Rayung Karo Sitepu


(30)

Nama orang si Karo-lah asal mula nama suku Karo, katanya dengan muka serius memulai penuturanya. Pada zaman dahulu kala ada seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa. Dia tinggal disebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang letaknya jauh diseberang lautan. Dia mempunyai panglima, ratusan prajurit, puluhan wanita sebagai dayang-dayang dan puluhan pembantu.

Pada suatu ketika maharaja ingin pergi dari negeri tempat tinggalnya itu dan ingin mencari tempat lain yang lebuh luas dan tanahnya lebih subur serta ditempat baru itu dia akan mendirikan sebuah kerajaan. Pada waktu yang ditentukan berangkatlah maharaja, permaisuri, putra-putrinya, dayang-dayang, pembantu dan panglima pengawal maharaja ikut bersama berpuluh- puluh prajurit. Panglima itu bernama si Karo, tubuhnya kekar dan berwajah tampan. Mereka juga membawa perhiasan miik raja untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan diperjalanan.


(31)

Berbulan-bulan mereka berjalan ke arah selatan melewati gunung, perbukitan dan sungai. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berburu dan menangkap ikan sambil berjalanan yang tampa disadari mereka telah sampai di pulau Pinang.

Setelah agak lama mereka tinggal di semenanjung Malaka yang bersebarangan dengan pulau Pinang pada pagi hari ketika matahari terbit maharaja memandang ke selatan yang nampak terlihatnya laut yang terbentang luas dan pulau yang lebih luas dari pulau Pinang. Maharaja berniat mengetahui pulau itu perjalanan yang mereka alami sangat sulit karena angin dan gelombang yang sangat kencang. Perahu yang mereka tumpangi terkatung-katung dan tidak ada yang dapat mereka lakukan. Dalam keadaan seperti itu mereka sadar bahwa mereka telah kembali ke tempat semula. Setelah mereka memperhatikan ternyata pulau itu adalah bukan tempat mereka semula akan tetapi, pulau berhala sekarang.

Beberapa bulan lamanya mereka tinggal di pulau itu dengan mencari ikan sebagai makanan mereka sehari-hari. Di pulau itu tidak mereka temukan manusia sehingga mereka hidup bebas.


(32)

Pada saat itulah si Karo panglima maharaja mempersunting seorang dari putri dari maharaja yang selama ini sudah jatuh cinta, hal itu di beritahukan kepada rombongan yang lantas mencari pasangan masing-masing. Setelah itu rombongan si Karo pergi melanjutkan perjalanan ke pulau sangat jauh yaitu pulai perca (Sumatera) tempat itu kemudian diketahui dengan nama pulau Belawan. Dari tempat itu mereka melanjutkan perjalanan malalui perahu sungai kepedalaman.

Sepanjang perjalanan mereka tidak menjumpai manusia selain sungai dan pepohonan. Berapa jam lamanya kemudian mereka berjalan kaki

ketempat yang disebut Durin tani. Ditempat itu terdapat gua umang yang

cukup besar. Gua umang itu yang digunakan mereka sebagai rumah sementara. Lebih kurang satu tahun lamanya mereka tinggal dan bersembunyi di Gua itu. Si Karo bekas panglima maharaja menganggap tempat itu tidak sesuai, sehingga dia mengajak rombongan pergi kearah hulu sunagai menuju pegunungan. Anggota rombongan tidak menjawab karena keberatan. Si Karo mulai marah dan seorang anggota bertanya kemana lagi mereka akan pergi karena tempat itu cukup baik bagi mereka.


(33)

Mereka tidak mau tua-tua diperjalanan. Persediaan makanan juga sudah menipis. Mendengar ucapan itu si Karo bertanya siapa yang mau ikut dia, dan 15 orang mengikut dia. Si-Karo berpesan pada orang yang tinggal agar suatu waktu kita dapat bertemu kembali atau anak cucu kita oleh karena itu, kuperintahkan kalian agar semuanya memakai nama Karo sebagai tambahan namanya, hal ini sebagai tanda pengenal keturunan kita agar tidak saling baku hantam dan kita satu keturunan yang merasa senasib dan sepenanggungan.

Setelah itu mereka berangkat dan rombongan yang tinggal di Durin tani yang menempati daerah dataran rendah Karo yang berdekatan dengan kota Medan sekarang. Rombongan si Karo yang mengikuti aliran sungai Lau betimus menuju arah pegunungan. Dua hari lamanya mereka berada dalam perjalanan melalui beberapa tempat yang kemudian dinamai Buluh Hawar.

Tempat itu berpariasi berbukit dan dekat sungai. Tempat itu kemudian disebut dengan desa Si Keben berdekatan dengan Bandar baru. Mereka tinggal disitu beberapa bulan yang pada suatu pagi, si Karo pergi


(34)

kesebuah bukit yang agak tinggi kemudian mengarahkan pandanganya ke arah utara dan nampak olehnya batas laut dengan daratan dan dia merasa tempat itu dekat dengan laut.

Akhirnya rombongan si Karo bergerak kembali meneruskan perjalanan yaitu sebelah kiri gunung Barus sekarang. Dengan susah payah mereka melintasi hutan rimba yang belum pernah di jamah manusia dan tanahnya berlapis-lapis dan terlindung dari cahaya matahari. Suara burung dan suara binatang masih banyak disekitar mereka. Setelah perjalanan mereka tiba diatas dataran dekat gunung Barus. Mereka terkejut melihat alam yang begitu indah dengan aneka ragam tumbuhan dan pepohonan hutan. Keesokan harinya mereka berjalan ke tempat yang mereka pandang indah. Menjelang tengah hari mereka tiba disana dan berhenti di bawah pohon (jabi-jabi) sejenis pohon beringing.

Mereka semua berpendapat tempat itu cukup baik dan memberikan ketenangan pikiran karena udara sejuk yang dekat dengan sungai Lau Biang sekarang.


(35)

Si Karo mengambil segenggam tanah dan mengamati dan rasa tanah itu belum sama beratnya dengan tanah negeri asal, maka di putuskan untuk mencari tempat lain disekitar. Mereka kemudian memutuskan mencari tempat lain disekitarnya. Dari sebuah bukit mereka melihat suatu dataran yang agak luas diseberang sungai. Mereka menyuruh anjing menyebaranginya, setelah kurang dua jam anjing tersebut mengibas- ibaskan ekornya sebagai suatu tanda ada tempat yang baik ditempati.

Karena dipandu anjing maka tempat itu disebut sungai Lau Biang yang berarti dapat diseberangi anjing. Tempat itu luas dan tanahnya subur, si Karo pun mengulangi caranya menilai tanah. Terdapat kesesuaian tanah di negeri asalnya dengan tanah tersebut

Anggota rombongan bersorak mendengar ucapan si Karo yang kemudian dahulu dinamakan tempat itu mulawari berseberangan dengan sungai si Capah yang sekarang dinamakan Seberaya daerah sekitarnya dinamakan Sukapiring. Mulawari dahulu telah jadi talun karo (peninggalan nenek Karo)


(36)

Sehari-hari mereka membuat rumah sederhana dari gubuk, mengerjakan lahan pertanian dengan tebang bebas. Setelah itu jumlah mereka bertambah sehingga berpindah ketempat lain diantaranya kuta Bale, Samura, Seberaya, Sukanalu dan Suka. Demikianlah dan beratus tahun bahkan ribuan tahun jumlahnya bertambah. Mereka menempati wilayah si Karo kebarat sampai dengan Aceh dan selatan berbatasan dengan Tapanuli Utara dan sampai ke Dairi, sedangkan Timur menempati daerah Simalungun. Jadi pendatang si Karolah yang menjadi asal-usul nama Karo.

Ada juga yang mengatakan kerajaan Sukapiring didataran tinggi Karo erat hubunganya sejarah putri hijau seorang raja di Deli yang kerajaannya hancur akibat kerajaan aceh ceritanya ada di seberaya berkaitan dengan putri hijau di deli tua. Memang ada perbedaan akan tetapi, persamaan tokoh dan sisa perang yang ditinggalkan berupa pecahan meriam Putri Hijau yang ada di Seberaya yang kemudian pindah ke Sukanalu yang saat ini kita jumpai di kawasan Sitepu rumah ukir. Pecahan meriam Putri Hijau di deli tua diletakkan dalam sebuah bangunan berbentuk rumah adat Karo.


(37)

Walaupun sementara ada pendapat suku Karo termasuk Sub Suku keturunan Toba yang berasal dari gunung Pusuk Buhit hal tersebut menurut buku yang penulis kurang logis dan tidak rasional. (Sitepu 1996 : 5 – 12)

4.2. Daerah Wilayah Budaya Masyarakat Karo

Suku Karo adalah salah satu sub suku yang berdiam di dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu dan sebagian daerah Dairi. Wilayah tersebut merupakan bagian dari kabupaten Karo dengan ibu kota Kabanjahe di propinsi Sumatera Utara. Menurut (Neuman dalam Saragih 1972:8) Wilayah Karo adalah suatu wilayah yang luas, yang terlepas dari perbedaan – perbedaan antar suku, yang menganggap dirinya termasuk ke dalam Karo, yang berbeda dengan Toba, Pakpak, Simalungun. Seluruh perpaduan suku – suku Karo diikat oleh suatu dialek yang dapat dimengerti dimana- mana dan hampir tidak ada perbedaannya antara yang satu dengan yang lain.


(38)

Secara geografis kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten Langkat dan Deli Serdang di bagian utara, kabupaten Dairi di bagian selatan, kabupaten Simalungun di bagian timur, dan D.I. Aceh di bagian barat.

Menurut Parlindungan dalam Saragih (2007-35) membagi wilayah Karo menjadi dua bahagian yaitu wilayah Karo Gunung, wilayah ini terletak 1000 meter di permukaan laut yang mencakup di sekitar gunung Sinabung dan gunung Sibayak dan wilayah Karo Dusun 1000 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini berada diluar dari wilayah Karo Gunung. Daerah ini boleh jadi mencakup Langkat, Deli Serdang, Simalungun, Pakpak Dairi sampai tanah Alas.

Berdasarkan perkiraan Neumann dan Parlindungan di atas, wilayah budaya Karo pada zaman sebelum kedatangan Belanda sangat luas. Namun setelah kedatangan Belanda (Putro, 1981), Wilayah Karo ini di bagi atas beberapa daerah. Pembagian ini bermotif kepentingan politik pemerintahan jajahan Belanda.


(39)

1. Pada tahun 1908 (stbl no.604) ditetapkan batas- batas daerah kabupaten Karo dengan kabupaten Dairi, dengan memasukkan daerah Karo Baluren, sepanjang sungai Renun kecamatan tanah Pinem dan kecamatan Lingga, masuk menjadi daerah kabupaten Dairi.

2. Pada tanggal 19 April 1912, dengan besluit Government Bijblad No.

7645, menetapkan batas- batas kabupaten Karo dengan kabupaten Simalungun sekarang dengan memasukkan Urung Silima Kuta ke dalam daerah tingkat II kabupaten Simalungun.

3. Pada tanggal 19 April 1912, dengan besluit government no.17, telah

ditetapkan pula batas antara kabupaten Karo sekarang dengan Deli Hulu, dengan memisahkan seluruh pantai timur dengan kabupaten Karo sekarang.

1. Karo Bingei, yang terdiri atas kecamatan Selapian dan kecamatan

Bahorok dimasukkan ke Kabupaten Langkat sekarang.

2. Karo Dusun, yang terdiri atas kecamatan Serbanyaman, kecamatan

Sunggal dan kecamatan Delitua dimasukkan ke kabupaten Deli Serdang.


(40)

Pada masa penjajahan Belanda, pemerintahan jajahan Belanda membagi daerah Karo menjadi 5 wilayah yang terdiri dari : a. wilayah Lingga, b. wilayah Sarinembah, c. wilayah Suka, d. wilayah Barusjahe, dan e. wilayah Kutabuluh. Dan masing-masing mempunyai beberapa desa. Pada masa Pemerintahan Jepang, wilayah ini tidak mengalami perubahan. Namun setelah Indonesia merdeka, wilayah ini masuk menjadi bagian daerah tingkat II kabupaten Karo yang dikepalai oleh seorang Bupati yang berkedudukan di Kabanjahe.

Hingga sampai sekarang kabupaten Karo terdiri dari 13 kecamatan mencakup kecamatan Barus Jahe, kecamatan Tiga Panah, kecamatan Kabanjahe, kecamatan Merek, kecamatan Payung, kecamatan Tigandreket, kecamatan Kutabuluh, kecamatan Munte, kecamatan Laubaleng, kecamatan Tiga Binanga, kecamatan Juhar , kecamatan Mardingding , dan kecamatan Simpang Empat ( lokasi penulis meneliti).

Kabupaten daerah tingkat Karo ini mempunyai relief bergelombang yang terdiri dari bukit-bukit dan gunung. Puncak tertinggi adalah gunung Sibuatan(2.457 m) , terletak di perbatasan kabupaten Karo dan kabupaten


(41)

Dairi. Daerah ini juga merupakan daerah vulkanik. Gunung yang aktif adalah gunung Sinabung dan gunung Sibayak.

Kabupaten dati II Karo ini terletak pada koordinat 2 0 50 ‘ sampai 30 10 ‘ lintang utara dan 97 0 55’ sampai 98 0 38 ‘ bujur timur , dengan ketinggian 140 m – 1400 m di atas permukaan laut. Luas kabupaten Karo

2.127, 25 Km2 atau 3,01 % dari wilayah Propinsi Sumatera Utara (lihat peta

kabupaten dati II Karo). Curah hujan tahunan berkisar 1000 hingga 4000 mm/tahun. Curah hujan maksimum jatuh pada bulan November dan

minimum pada bulan Juli. Suhu udara berkisar dari 16 0 hinggga 27 0

celsius dengan kelembaban udara rata- rata 82 %.

4.3. Sejarah Terbentuknya Desa Lingga

Asal usul desa Lingga berasal dari daerah Pak-pak. Seorang yang bermarga Lingga di Pak-pak merantau ke kampung tersebut dan namanya disebut Sitading Lingga, lama kelamaan nama tersebut berubah menjadi


(42)

Lingga orang Karo berasal dari orang Pak – pak yang merantau ke desa Lingga. (Hasil wawancara penelitian)

4.4. Letak Geografis dan Sistem Sosial Desa Lingga

Suku Karo pada umumnya mendiami daerah tanah Karo sebagai daerah pemirantahan Kabupaten Karo, yang meliputi : Kecamatan Brastagi, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Lau Baleng, Kecamatan Juhar, Kecamatan Kuta Buluh, Kecamatan Munthe, Kecamatan Mardinding, Kecamatan Merek.

Masyarakat Karo memiliki berbagai nilai budaya, salah satu diantaranya adalah nilai budaya pada arsitektur tradisional yang ada pada rumah adat. Hal ini pula yang menjadi penelitian penulis. Penulis memfokuskan objek penelitian di kecamatan Simpang Empat, dan menitik beratkan permasalahan pada fungsi ornamen tradisional rumah adat masyarakat Karo yang ada di desa Lingga kecamatan Simpang Empat Kabanjahe.


(43)

Desa Lingga merupakan desa pertanian, yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani, pedagang, dan pegawai. Luas desa lingga adalah 2624 Ha.

Sebelah Utara berbatasan dengan desa Surbakti, Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Kacaribu, Sebelah Timur berbatasan dengan desa Kaban, dan Sebelah Barat berbatasan dengan desa Nang belawan.

Jarak desa Lingga dengan Ibukota Kabanjahe lebih kurang 4,5 km.

4.5. Ornamen Rumah Adat Karo

Rumah adat Karo merupakan bangunan tradisional yang ditandai ornamen yang keseluruhan ornamen memiliki hal – hal yang berhubungan dengan lambang yang bermakna adat istiadat. Dalam pembuatan ornamen rumah adat Karo akan melewati berbagai proses perencanaan yang matang dan tidak terlepas dari adat istiadat yang telah ditetapkan sebagai sumber hukum yang berlaku di tengah – tengah masyarakat, melalui sidang adat raja, yang kemudian dikirim kepada ahli kesenian (penggerga) yang mendapat perintah dari pengulu taneh.


(44)

Setiap lembar papan yang dihiasi ornamen pada masyarakat Karo ada yang bermakna keindahan, kekeluargaan dan yang mengandung unsur mistik untuk menjaga pemilik rumah dan sebagai pengerat sistim kekeluargaan pada masyarakat Karo. Ornamen yang diteliti pada skripsi ini adalah ornamen yang terdapat pada Rumah adat Karo.

4. 5.1. Ornamen Lumut-lumut Lawit

a. Bentuk

Ornamen Lumut-lumut lawit berbentuk persegi empat sama sisi yang bagian tengahnya berbentuk kotak-kotak.


(45)

Kotak-kotak tersebut terdiri dari empat bagian. Antara bagian yang pertama, kedua, ketiga dan ke empat memiliki sisi yang sama. Adapun panjang, lebar dan luas dari masing-masing kotak berukuran sama. Kotak-kotak pada bagian tengah tersebut berwarna putih, sedangkan sisi yang menutupi kotak-kotak tersebut berwarna hitam.

Ornamen Lumut-lumut lawit bermotif geometris karena merupakan gambaran tumbuh-tumbuhan yang ada di alam laut. Adapun ornamen ini diambil dari gambaran rumput laut dengan lumut-lumut yang bertebaran di laut pada batu karang. Rumput laut yang licin akan menjaga batu karang yang merupakan kekuatan untuk menjaga kelangsungan hidupnya di alam laut dari segala macam gangguan yang di timbulkan oleh alam dan manusia untuk merusak laut.

Hal tersebutlah yang melatarbelakangi masyarakat Karo membentuk ornamen Lumut-lumut lawit yang mereka percaya dapat menggelincirkan segala niat jahat yang berusaha mengganggu ketentraman pemilik rumah.


(46)

Ornamen ini terbuat dari bambu yang dibelah dan dianyam sedemikian rupa membentuk segi empat yang diletakkan pada ayo-ayo depan rumah adat Karo.

Adapun bambu yang dianyam itu diberikan warna hitam dan putih yang merupakan tiruan dari batu karang dan Lumut yang mana lumut berwarna hitam sedangkan batu karang berwarna putih.

b.Fungsi

Ornamen Lumut-lumut lawit diatas diletakkan pada ayo-ayo rumah adat Karo yang berfungsi yakni:

1. Penolakan kepada segala niat jahat

Penolakan berarti menepis segala hal-hal yang tidak baik karena masyarakat Karo pada zaman dahulu masih percaya akan adanya roh-ro0h jahat yang hendak mengganggu ketentraman rumah. Roh-roh jahat itu dikirim melalui bantuan dukun yang gunanya untuk merusak dan membinasakan orang yang tinggal di rumah, sehingga mereka mempercayai ornamen Lumut-lumut lawit dapat dijadikan penangkal untuk menggagalkan segala niat jahat orang tersebut.


(47)

2. Sebagai ventilasi udara

Ornamen Lumut-lumut lawit di letakkan pada ayo-ayo depan rumah adat Karo memiliki fungsi sebagai ventilasi udara. Ornamen ini akan memberikan cahaya matahari karena ornamen ini diletakkan pada ayo-ayo rumah adat yang dibuat dengan cara dianyam sehingga udara segar masuk melalui ornamen tersebut.

c. Makna

Lumut-lumut lawit dalam masyarakat Karo memiliki makna berupa keamanan. Ornamen Lumut-lumut lawit akan menjaga keamanan dari setiap anggota keluarga dari segala niat jahat orang. Niat jahat tersebut bentuknya tidak terlihat karena dibuat untuk menghancurkan dan membinasakan orang yang ada dalam rumah adat. Roh-roh jahat tersebut dikirim dengan bantuan dukun yang berusaha untuk merusak keharmonisan para anggota keluarga yang tinggal dalam rumah adat.


(48)

Niat jahat orang tersebut akan menjadikan pertengkaran antara satu keluarga dengan keluarga lainnya yang tinggal di rumah adat. Kekuatan jahat tersebut juga dapat membinasakan orang yang ada di rumah adat. Dengan datangnya penyakit yang secara tiba-tiba sehingga sebelum terjadi hal-hal tersebut harus dicegah.

Ornamen Lumut-lumut lawit di percaya dapat menghancurkan niat jahat tersebut dan menjaga ketentraman anggota keluarga yang ada dalam rumah adat. Ornamen Lumut-lumut lawit dipercaya dapat menghalau dan menggelincirkan segala niat jahat orang tersebut sehingga ketentraman rumah akan terjaga.


(49)

4.5.2. Ornamen Bindu Matagah

a. Bentuk

Bentuk ornamen ini berupa garis yang menyilang diagonal dan membentuk persegi yang melambangkan pesilah simehuli (menyingkirkan yang tidak baik). Penyingkiran yang tidak baik itu merupakan kekuatan ornamen Bindu Matagah untuk menjaga lingkungan dan manusia dari roh-roh alam semesta yang ditimbulkan oleh manusia sendiri ataupun alam yang berusaha mengganggu dan merusak ketentraman desa dan pemilik


(50)

adalah kayu yang tehnik pembuatannya di ukir dan dibuat garis menyilang membentuk persegi.

b. Fungsi

Ornamen ini memiliki fungsi sebagai penyingkir yang tidak baik dalam masyarakat Karo yang memiliki arti apabila seorang tamu hendak memasuki kampung atau rumah maka ornamen Bindu Matagah akan dilukiskan di tanah dan tamu tersebut harus memijak ornamen Bindu Matagah.

Ada anggapan masyarakat bahwa tidak semua orang mempunyai sifat baik apalagi kalau ada orang asing yang datang ke kampung atau ke rumah, maka orang tersebut harus memijak ornamen bindu matagah dengan kaki kanan agar supaya segala niat jahat yang mungkin di bawa orang tersebut hilang, dan tidak masuk ke rumah atau kampung, sehingga ketentraman tetap terjaga.

Ornamen ini juga berfungsi untuk menjaga pemilik rumah atau orang kampung yang sedang berburu kehutan. Apabila penghuni kampung di hutan memiliki ketakutan, akibat adanya gangguan dari binatang buas


(51)

seperti ular, harimau dan hewan-hewan liar yang berusaha mengganggu dan mengancam jiwa mereka, maka ornament ini dilukiskan ditanah dan dipijakkan dengan kaki kanan, maka hal-hal buruk tidak akan terjadi.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornamen ini adalah makna kekuatan dan

makna kepercayaan

1. Makna Kekuatan

Ornamen Bindu Matagah mempunyai kekuatan untuk menjaga orang kampung dari niat jahat orang ketika mereka kedatangan tamu dari luar desa yang tidak dikenal.

Masyarakat Karo menganggap setiap orang yang tidak dikenal belum tentu mempunyai niat baik maka ornamen Bindu Matagah akan memiliki kekuatan untuk menjaga orang kampung dan pemilik rumah dari segala ancaman dan gangguan yang datangnya terlihat maupun tidak terlihat.


(52)

Gangguan yang terlihat seperti merusak hubungan persaudaraan masyarakat yang menghuni kampung dan gangguan yang tidak terlihat berupa gangguan yang dikirim lewat udara dengan bantuan dukun.

2. Makna kepercayaan

Makna Kepercayaan terlihat dari kepercayaan masyarakat Karo pada ornamen Bindu Matagah saat kedatangan tamu, tamu tersebut harus memijak ornamen Bindu Matagah dengan kaki kanan agar niat jahat tidak masuk ke kampung atau kerumah. Ornamen ini juga dipercaya akan memperkuat roh orang yang akan berburu kehutan ketika mereka berjumpa dengan hewan binatang buas di hutan dengan melukisan ornamen ini di tanah dan memijaknya dengan kaki kanan.


(53)

4.5.3. Ornamen Embun Sikawiten

a. Bentuk

Ornamen ini bermotif alam yang merupakan tiruan dari awan akan tetapi ornamen ini dibuat menyerupai gambar bunga yang menjalar membentuk segitiga. Ornamen ini merupakan gambar awan yang beriring dilangit yang memiliki gumpalan tebal yang ketika lapisan awan atas bergerak maka bayangan awan dibawahnya akan ikut.

Terjemahan secara bebas ornamen ini adalah awan yang berkaitan atau rangkaian awan yang beriringan yang berarti rakut sitelu dalam masyarakat Karo. Lapisan awan atas menunjukkan Kalimbubu dan lapisan awan bawah sebagai pengikut menunjukkan anak berru.


(54)

Bahan dasar ornamen ini adalah kayu yang tehnik pembuatannya di ukir dan dipahat sesuai gambar awan yang beriringan. Warna dasar ornamen diambil dari warna bunga yang merah yang berarti kekuatan kalimbubu dalam acara adat Karo yang menjaga keharmonisan kekeluargaannya dengan anak berru.

b. Fungsi

Ornamen Embun Sikawiten merupakan gambar alam yang berupa segitiga yang memiliki bayangan yang berfungsi menunjukkan hubungan kalimbubu dan anak berru yang posisinya berbeda yaitu kalimbubu di atas

dan anak berru di bawah sesuai dengan gambar awan yang beriringan.

Dalam masyarakat Karo, kalimbubu memegang peranan yang penting, orang yang sangat dihormati dan disegani. Masyarakat Karo percaya menghormati kalimbubu akan mendapatkan usaha dan rejeki yang baik. Oleh karena itu kalimbubu disebut juga Dibata Idah yang maksudnya kalimbubu merupakan wakil Dibata di dunia ini.


(55)

Anak Berru ialah pihak keluarga Laki-laki yang kawin atau mengambil anak perempuan suatu keluarga dan kalimbubunya ialah pihak keluarga perempuan yang dikawininya. Dan anak berru harus menghormati

kalimbubunya dan kalimbubu akan memberikan perlindungan kepada anak berru.

Ornamen ini juga berfungsi untuk menolak segala niat jahat orang yang berusaha untuk mengganggu ketentraman satu keluarga anak berru yang memiliki konflik. Posisi kalimbubu sebagai pelindung anak berru akan terlihat dan kalimbubu akan membuat keputusan yang baik sesuai dengan warna merah yang berarti pemberi semangat pada ornamen Embun Sikawiten.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornamen Embun Sikawiten ialah makna kekeluargaan. Makna kekeluargaan itu terlihat dari hubungan antara

kalimbubu dan anak berru. Ornamen Embun Sikawiten berarti rakut sitellu


(56)

terpisahkan dalam masyarakat Karo. Sebagai contoh perkawinan antara marga dan sub marga dalam masyarakat Karo.

Perkawinan tersebut menghasilkan keturunan baru disamping ada keluarga lama, maka terjadilah pertukaran kedudukan dan fungsi pihak keluarga laki-laki dinamakan anak berru pihak keluarga perempuan. Dan selanjutnya kelurga pihak perempuan disebut kalimbubu oleh pihak keluarga laki-laki. Dan hal ini yang menimbulkan kekelurgaan yang di sebut rakut sitellu.

Rakut artinya suatu ikatan dan sitellu artinya kelengkapan dari tiga unsur. Selain itu ornamen ini juga mempunyai makna keindahan yang memberikan kesan indah pada dapur-dapur rumah adat Karo. Unsur mistik dalam ornament ini tidak ada , akan tetapi ornament ini menunjukkan rakut si tellu dalam masyarakat Karo.


(57)

4.5.4. Ornamen Cimba Lau (Tutup Dadu)

a. Bentuk

Ornamen ini bermotif geometris (alam) yang membentuk persegi panjang dengan garis-garis melintang membentuk tutup stoples pada bagian dalamnya. Bahan dasar ornamen ini adalah papan (ayo-ayo) yang di ukir dan dipahat membentuk tutup stoples melintang.

Warna dasar ornamen ini ialah hitam dan putih yang mana ornamen ini menunjukkan awan hitam yang berarak di langit yang akan segera menunjukkan datangnya hujan. Ornamen ini terdapat pada bagian atas dan bawah papan dapur-dapur rumah adat Karo.


(58)

Ornamen yang merupakan bentuk awan yang berarak di langit menunjukkan doa masyarakat Karo kepada sang pencipta yang memberikan kecerahan pada hidup mereka.

b. Fungsi

Ornamen Cimba Lau (Tutup Dadu) diletakkan pada dapur-dapur rumah adat Karo yang berfungsi sebagai:

1. Doa masyarakat Karo kepada penciptanya.

Masyarakat Karo pada zaman dahulu percaya pada kekuatan gaib dan roh-roh halus sebagai suatu bentuk kekuatan yang dapat membahagiakan dan menghancurkan. Oleh karena itu kepercayaan animesme merupakan sistem religius yang mereka anut. Kepercayaan kepada Dibata atas, Dibata tengah dan Dibata Terruh dibagi lagi atas beberapa bagian seperti kepercayaan akan adanya pembagian sibiak atau Dewa yang mereka yakini sudah mempunyai peranan masing-masing.

Doa masyarakat Karo pada langit menunjukkan permohonan mereka pada Dewa hujan agar ketika mereka bertanam diturunkan hujan yang memberikan kecerahan pada hidup mereka.


(59)

2. Ornamen ini berfungsi sebagai hiasan yang memperindah rumah adat Karo. Ornamen Cimba Lau tidak mengandung unsur mistik akan tetapi hanya merupakan sebagai keindahan dan doa masyarakat Karo pada penciptanya.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornamen Cimba Lau ini tidak jauh dari fungsinya yaitu sebagai makna keindahan dan makna kepercayaan.

1. Makna keindahan

Makna keindahan itu terlihat pada ornamen Cimba Lau yang memberikan kesan keindahan pada dapur-dapur sepanjang rumah adat Karo.

2. Makna kepercayaan.

Makna Kepercayaan terlihat pada upacara-upacara ritual masyarakat Karo seperti dalam meminta hujan akibat terjadinya kekeringan pada suatu kampung. Kekeringan tersebut akan mengganggu pertumbuhan tanaman yang akan menguning. Air yang ada di sungaipun sudah mulai surut sehingga orang kampung membuat inisiatif untuk meminta Dewa hujan


(60)

(sibiak udan), agar hujan turun dengan acara ritual yang diadakan di sungai yang dikenal dengan nama ndilo wari udan.

4.5.5. Ornamen Pengret-ret (Pengerat)

a. Bentuk

Bentuk Ornamen yang terdapat pada gambar ini bila di perhatikan secara seksama akan hampir mirip dengan rupa hewan yang menyerupai gambar cecak. Ornamen ini memiliki lambang yang berupa kekuatan.

Ornamen ini dalam masyarakat Karo diartikan sebagai lambang untuk memperkuat derpih rumah adat Karo. Dalam pembuatan ornamen Pengret-ret sebenarnya derpih sudah dilobangi membentuk cecak dan pengret-ret dihubungkan kelobang yang sudah dilobagi yang membentuk


(61)

cecak. Ornamen ini juga yang menghubungkan tiap lembar papan dalam pembuatan rumah adat Karo.

Ornamen pengeret-ret sebagai paku yang mempunyai kekuatan untuk memperkuat tiap lembar papan yang terdapat pada rumah adat Karo. Ketahanan rumah adat juga berkisar empat ratus tahun di tempat penulis mengadakan penelitian. Bahan dasar ornamen ini adalah sejenis tali (ijuk) yang dibentuk membentuk cecak dan lengket pada derpih rumah adat Karo.

b. Fungsi

Pengret-ret ini dalam masyarakat Karo diletakan pada derpih depan rumah adat Karo yang berfungsi sebagai

1. Tolak Bala

Tolak bala merupakan penolakan masyarakat Karo terhadap segala bahaya yang datangnya dari roh-roh jahat di udara yang dapat mengganggu ketentraman orang yang berada dalam rumah adat.

Didalam rumah adat Karo terdiri dari delapan rumah tangga yang semuanya diikat oleh rasa kesatuan yang merasa senasib sepenanggugan, sehingga untuk menghindari hal-hal yang merusak keharmonisan yang


(62)

datangnya dari luar mereka percaya bahwa ornamen pengret-ret akan menjaga mereka.

2. Pagar Rumah

Ornamen ini merupakan pagar rumah yang berfungsi menjaga pemilik rumah dari orang yang berusaha untuk mengganggu ketentraman dari pemilik rumah. Mereka percaya bahwa kekuatan jahat yang ada di sekitar mereka dapat merusak keharmonisan yang ada dalam rumah adat. Untuk menghalau kekuatan jahat itu mereka percaya bahwa ornamen pengeret-ret sebagai penolak kekuatan jahat

pelindung yang melindungi seisi rumah orang tersebut agar terhindar dari perbuatan jahat orang lain yang memiliki niat yang akan mengganggu ketentraman orang yang ada dalam rumah adat.

c. Makna

Makna dalam ornamen pengret-ret ini tidak jauh dari fungsinya yaitu sebagai makna kekuatan dan kepercayaan.

a. Makna kekuatan ini ditunjukkan pada saat pembangunan rumah yang tidak memakai paku sebagai bahan dalam bangunan akan tetapi


(63)

mempergunakan pengret-ret sebagai paku yang merupakan tali yang mengikat setiap lembar papan yang ada dalam rumah adat. Masyarakat Karo memiliki keyakinan pengret-ret lebih kuat untuk menjaga ketahanan rumah dari gangguan alam seperti gempa, karena setiap lembar yang di ikat oleh pengret-ret lebih kuat dan lebih tahan lama. b. Makna Kepercayaan dimana mereka percaya bahwa ornamen pengret-ret

memberikan perlindungan yang menolak segala niat jahat orang dan sebagai pagar rumah yang melindungi orang yang ada dalam rumah.

4.5.6. Ornamen Bendi-Bendi

a. Bentuk

Ornamen di atas berbentuk satu garis panjang dengan tiga lubang yang berukuran setengah lingkaran. Setengah lingkaran tersebut merupakan


(64)

pegangan apabila memasuki rumah adat. Ornamen tersebut dipahat dari bahan kayu. Adapun bahan kayu yang membentuk ornamen ini disebut kempawa.

Kempawa memiliki arti kayu yang sudah tua. Kayu yang sudah tua itu dipahat hingga membentuk setengah lingkaran. Ornamen ini berwarna hitam dan pada bagian kiri dan kanan pintu rumah adat Karo. Ornamen ini ditempatkan pada bagian kiri dan kanan pintu rumah adat Karo agar menjadi pegangan ketika masuk ke rumah. Ornamen tersebut juga sebagai pegangan ibu-ibu hamil saat proses persalinan.

b. Fungsi

Ornamen Bendi – bendi di atas diletakkan padasebelah kiri dan kanan pintu rumah adapt Karo yang memiliki fungsi

a. Pegangan ketika akan memasuki rumah

Ornamen Bendi-bendi diletakkan pada pintu sebelah kiri dan kanan rumah adat Karo disebabkan karena bendi-bendi sebagai pegangan saat akan memasuki rumah. Pertama sekali sebelum kita memasuki rumah adat


(65)

kita memegang bendi-bendi sebagai pegangan dan penyambut kedatangan kita untuk masuk dan melangkahkan kaki untuk masuk kerumah.

b. Pegangan ibu-ibu hamil saat melakukan proses persalinan

Ornamen Bendi-bendi juga merupakan pegangan Ibu-ibu hamil saat proses persalinan. Saat akan melakukan proses persalinan ibu-ibu hamil akan didudukkan di atas danggulen (pijakan waktu akan memasuki rumah) dan tangan ibu tersebut akan di ikatkan pada ornamen Bendi-bendi yang berfungsi sebagai pegangan dan dukun beranak (sibaso) akan memulai proses persalinan.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornament Bendi-bendi ialah makna kekuatan dan makna komunikasi.

a. Makna kekuatan

Makna kekuatan ini ditunjukkan pada kekuatan seorang ibu ketika akan melahirkan anaknya dimana pada saat proses persalinan ibu yang akan melahirkan tersebut hanya memegang Bendi-bendi sebagai pegangan. Pada


(66)

saat itu dunia kedokteran belum mereka kenal jadi ibu tersebut hanya di temani sibaso (dukun beranak) dalam proses persalinan.

b. Makna Komunikasi

Ornamen ini bermakna komunikasi yang menunjukkan hubungan komunikasi antara penghuni rumah dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Bendi-bendi yang berada didekat pintu masuk merupakan pengalo-alo (penyambut tamu) yang menunjukkan sikap keterbukaan masyarakat Karo dengan dunia luar. Namun keterbukaan itu ada batasnya sesuai dengan etika. Apabila tergantung seutas benang pada ornamen Bendi-bendi tamu tersebut harus masuk melalui pintu yang lain.

4.5.7. Ornamen Bunga Gundur Sitelinen

a. Bentuk

Ornamen ini memiliki bentuk persegi dengan dihiasi kotak-kotak. Ornamen ini dibentuk dari gambaran alam yang merupakan tiruan dari


(67)

Bunga tersebut merupakan bunga labu yang saling menelan. Ornamen ini berbentuk kotak-kotak yang merupakan tiruan dari gambar bunga labu. Yang setiap kotak yang di gambarkan pada ornamen memiliki sisi, lebar dan luas yang sama.

Ornamen ini dapat kita lihat pada bagian depan (ayo-ayo) rumah adat Karo, dengan warna dasar hitam dan putih, di katakan ayo-ayo karena memiliki arti bahwa benda yang dipergunakan dalam pembuatan ornamen tersebut terbuat dari bambu yang di iris tipis-tipis lalu dianyam membentuk rupa bunga labu yang saling.

Bentuk yang melatar belakangi pembuatan pada ornamen ini di latar belakangi oleh masyarakat Karo yang melihat bunga labu yang saling menelan menunjukkan kelemahan dari bunga yang merupakan sebagai suatu bentuk perlawanan masyarakat Karo terhadap musuh.

b. Fungsi

Ornamen ini diletakkan pada ayo-ayo rumah adat Karo yang memiliki fungsi

1. Mengetahui kelemahan lawan


(68)

Bunga tersebut yang melatar belakangi masyarakat Karo untuk melihat segala kelemahan dari pada lawan yang berusaha untuk mengganggu ketentraman rumah dan kampung yang ada pada masyarakat Karo.

2. Sebagai ventilasi udara

Ornamen ini diletakkan pada ayo-ayo rumah adapt Karo berfungsi sebagai ventilasi udara yang memberikan kesegaran pada rumah adat karena ornament ini di tempatkan di atas bagian depan yang berbentuk segitiga dari rumah adat Karo.

c. Makna

Ornamen Bunga Gundur Sitelinen merupakan gambaran bunga labu yang saling menelan. Ornamen ini mempunyai makna sebagai keamanan. Keamanan yang ditunjukkan pada ornamen Bunga Gundur Sitelinen dimana ornamen ini sebagai pelindung yang melindungi anggota keluarga yang ada dalam rumah adat dengan mempelajari setiap kelemahan dari pada lawan.


(69)

melatarbelakangi pembuatan ornamen ini pada ayo-ayo rumah adat Karo. Perlindungan tersebut berupa kekuatan dari pada lawan yang ingin merusak kampung atau anggota keluarga dengan mengetahui maksud jahat orang tersebut sehingga bisa dibuat penangkal dan kampong atau orang yang berada dalam rumah adat terlindungi.

4.5.8. Ornamen Ser-ser Sigembel

a. Bentuk

Ornamen ini berbentuk persegi empat sama sisi, yang bahagian tengahnya membentuk kotak-kotak membentuk persegi panjang yang bertumpu pada diagonalnya. Antara bagian pertama, kedua, ketiga dan


(70)

keempat memiliki sisi yang sama dan bagian dalam ornamen membentuk persegi panjang.

Ornamen ini terdapat pada ayo-ayo depan rumah adat Karo dengan warna dasar hitam. Ornamen ini dibuat dengan cara dianyam dari bambu yang diiris tipis dan dibelah membentuk kotak persegi dan persegi panjang yang menunjukkan pembagian tugas kepala keluarga yang ada di dalam rumah adat dan kesatuan mereka untuk bermusyawarah dalam mengambil keputusan.

b. Fungsi

Ornamen ini diletakkan pada Ayo-ayo rumah adat Karo yang mempunyai fungsi

Sebagai penolak segala bala yang ada pada masyarakat Karo yang mengganggu ketentraman rumah. Setiap bahaya datangnya tidak disangka-sangka maka setiap anggota keluarga yang berada dalam rumah adat akan mempunyai tugas yang sama untuk saling menjaga anggota keluarga.


(71)

Ornamen ini juga memperlihatkan tugas dari masing-masing kepala keluarga yang ada dalam rumah adat.

Didalam Rumah adat masyarakat Karo terdiri dari delapan keluarga maka setiap keluarga menempati masing-masing jabu dan dua keluarga memiliki satu tempat masak.

Kepala keluarga yang ada dalam rumah adat tersebut juga memiliki fungsi sendiri –sendiri dalam rangkaian pengelolaan kegiatan masyarakat terkecil dirumah itu. Ada yang berfungsi sebagai kepala dari seluruh penghuni rumah, petugas keamanan dan penghubung pemberi kabar informasi, penjaga ketentraman, juru bicara, pemberi nasihat. Masing-masing cara kerja kepala keluarga sudah ditentukan melalui musyawarah.

Ornamen Ser-ser Sigembel yang diletakkan pada ayo-ayo rumah adat Karo juga memiliki fungsi sebagai ventilasi udara yang memberikan kesegaran dan cahaya matahari setiap pagi bagi pemilik rumah.


(72)

c. Makna

Saat kita melihat ornamen diatas maka terdapat makna kebijaksanaan dan kepercayaan.

1. Makna Kebijaksanaan

Penghuni rumah adat masyarakat Karo terdiri dari delapan keluarga yang menempati rumah adat maka dalam urusan untuk ketentraman rumah perlu diambil suatu keputusan yang tidak merugikan salah satu keluarga maka diambil suatu kebijaksanaan. Hal ini terlihat jika sekiranya dalam rumah adat itu terjadi suatu kecurangan ataupun pertengkaran maka pertama sekali personalannya diselesaikan oleh anggota-anggota keluarga penghuni rumah dan ada pihak yang membuka persoalan (anak berru) dan pihak yang tertuduh juga dapat membela dirinya baik oleh dirinya maupun anak sampai penyelesaian masalah ditemukan.

2. Makna Kepercayaan

Ornamen ini bermakna kepercayaan, karena mereka percaya setiap bahaya datangnya tidak disangka-sangka maka setiap anggota keluarga bertanggung jawab untuk saling menjaga anngota keluarga lainnya.


(73)

4.5.9. Ornamen Taruk-taruk

a. Bentuk

Ornamen ini berbentuk gambar bunga yang merupakan tiruan dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu merupakan sulur labu yang menjalar. Tumbuhan Sulur labu yang menjalar menunjukkan kesuburan dan kemakmuran yang memberikan kebahagian.

Kebahagian itu didapatkan dari hasil pengolahan pertanian yang akan mendatangkan rejeki yang baik pada masyarakat Karo. Hal inilah yang melatarbelakangi masyarakat Karo membentuk ornamen Taruk-taruk yang mereka yakini bahwa pertanian memberikan rejeki yang baik jika diolah


(74)

Ornamen ini di bentuk dengan teknik tatah dan diberi warna sesuai dengan gambar Sulur labu yang menjalar.

b. Fungsi

Ornamen Taruk-taruk di atas diletakkan pada dapur-dapur rumah adat Karo yang berfungsi sebagai hiasan yang memperindah sepanjang dapur-dapur rumah adat Karo. Keindahan dari sulur labu ditunjukkan pada pertanian Karo yang sampai pada saat sekarang ini masih dapat terlihat. Sulur labu yang menjalar menunjukkan kesuburan pertanian Karo yang pada umumnya masyarakat Karo menyukai pertanian sebagai mata pencaharian mereka. Pertanian juga memberikan rejeki yang baik pada masyarakat Karo.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornamen Taruk-taruk ialah makna kemakmuran. Masyarakat Karo pada umumnya bermata pencaharian petani


(75)

atau orang yang bekerja dilembaga instansi juga akan menyempatkan waktu kosongnya dengan bertani.

Pertanian yang ada di Karo dengan menanam sayur mayur, buah-buahan dan padi sebagai tanaman yang mereka anggap mendatangkan rejeki yang baik.

Penanaman yang dilakukan juga bertukar-tukar menurut musim tanam masing-masing sehingga mendatangkan rejeki yang baik bagi mereka. Pada zaman dahulu tanah yang mereka olah adalah tanah adat yang berdasarkan keturunan. Pelaksanaan pengolahan tanah juga dengan gotong royong yang disebut dengan aron (kelompok kerja) sehingga pekerjaan juga cepat selesai.

Akan tetapi pada saat sekarang ini pengolahan tanah tidak berdasarkan tanah adat lagi, tetapi menurut kemampuan ekonomi yang ada pada masyarakat Karo tersebut.


(76)

4.5.10. Ornamen Pantil Manggis

a. Bentuk

Ornamen ini berbentuk persegi empat yang bagian tengahnya dibagi atas empat bagian seperti gambar kelopak bunga. Antara kelopak bunga yang pertama, kedua, ketiga dan ke empat memiliki ukuran yang sama. Keempat kelopak bunga tersebut berwarna putih dan persegi dan yang menutupi kelopak tersebut berwarna hitam.

Ornamen ini bermotif tumbuh-tumbuhan berupa bagian bawah buah manggis. Bagian bawah buah manggis tersebut menunjukkan isi dari pada buah manggis.


(77)

Adapun ornamen ini bermotif tumbuh-tumbuhan karena merupakan tiruan dari buah manggis dan isi dari buah manggis. Warna hitam persegi pada ornamen ini menunjukkan kulit dari buah manggis dan putih yang membentuk kelopak bunga menunjukkan isi dari buah manggis tersebut.

Bahan dasar ornamen ini adalah papan (ayo-ayo) yang tehnik pembuatannya dengan cara di ukir yang menyerupai bagian bawah buah manggis dengan warna dasar putih membentuk kelopak bunga yang setiap bentuknya sama.

b. Fungsi

Ornamen pantil manggis diatas di letakkan pada dapur-dapur rumah adat Karo yang berfungsi sebagai

1. Hiasan yang memperindah rumah adat Karo. Bunga yang merupakan bagian bawah buah manggis akan memberikan kesan indah pada dapur-dapur rumah adat Karo.

2. Ornamen Pantil Manggis juga menunjukkan kemurah hatian masyarakat Karo dalam melakukan kegtiatan mereka sehari-hari.


(78)

Warna hitam yang ditunjukkan pada kulit buah manggis menunjukkan semangat kerja keras mereka dan anggapan banyak orang di luar mereka yang menyatakan orang Karo jahat akan tetapi dibalik semangat kerja keras dan sifat keras mereka terdapat kemurnian hati dari mereka yang ditunjukkan pada bagian isi dari buah manggis yang berwarna putih.

c. Makna

Ornamen ini merupakan gambaran bunga yang merupakan bagian bawah buah manggis. Ornamen ini mempunyai makna yang tidak jauh dari fungsinya yaitu makna kebaikan. Kebaikan tersebut terlihat dari sifat tolong menolong masyarakat Karo dalam bekerja.

Sikap kerja keras dan sifat yang keras pada masyarakat Karo tidak mencerminkan hati masyarakat Karo yang keras pula akan tetapi dibalik sikap keras mereka , terdapat kemurnian hati. Ketulusan hati tersebut terlihat dari ornamen pantil manggis yang menunjukkan isi putih dari buah manggis.


(79)

4.5.11. Ornamen Pucuk Merbung

a.Bentuk

Ornamen ini berbentuk persegi empat dan persegi panjang yang bagian tengahnya menunjukan gambar bunga yang sedang mekar. Motif ornamen ini diambil dari gambar tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu berupa bunga kembang sepatu yang sedang mekar.

Ornamen ini dibentuk pada dapur-dapur rumah adat Karo. Tehnik pembuatan ornamen ini dengan cara di ukir dan dipahat. Pembuatan ornamen ini dilakukan dengan melihat tumbuh-tumbuhan yang ada di alam


(80)

sedang mekar. Ornamen ini pembuatannya tidak mengandung unsur mistik, sehingga ornamen ini hanya merupakan keindahan bagi masyarakat Karo.

b.Fungsi

Ornamen pucuk merbung diletakkan pada dapur-dapur rumah adapt Karo yang berfungsi sebagai keindahan yang memperindah rumah adt Karo. Ornamen pucuk merbung yang menunjukkan bunga kembang sepatu yang sedang mekar menunjukkan kesan indah dan cantik dari bunga yang sedang mekar.

Kesan indah itulah yang melatar belakangi pembuatan ornamen ini. Tehnik pembuatan ornamen ini dengan cara diukir dan di pahat pada ayo-ayo rumah adat Karo, karena ornamen ini berfungsi memberikan kesan indah dan cantik pada dapur-dapur rumah adat Karo.

Bunga pucuk merbung yang sedang mekar itulah yang melatar belakangi ornamen Pucuk Merbung yang jika sedang mekar akan memperlihatkan keindahannya.


(81)

c.Makna

Ornamen Pucuk Merbung yang merupakan tiruan dari bunga kembang sepatu yang sedang mekar memberikan keindahan pada masyarakat Karo. Pucuk Merbung yang merupakan pucuk bunga kembang sepatu memberikan kesan indah dan keagungan rumah sehingga ornamen ini diletakkan pada dapur-dapur rumah adat Karo.

Makna yang mengandung mistik pada ornamen ini tidak ada, karena ornamen ini dibentuk dengan melihat keindahan alam sekitar. Keindahan akan tumbuhan alam sekitar yang merupakan bunga kembang sepatu tersebut yang sedang mekar yang sangat indah tersebutlah yang terdapat pada dapur-dapur rumah adat Karo.

Kecantikan dari pada bunga kembang sepatu tersebutlah yang menjadikan dapur-dapur rumah adat Karo indah dan ornament ini menunjukkan kesan indah pada dapur-dapur rumah adat Karo.


(82)

4.5.12. Ornamen Bunga Bincole

a. Bentuk

Ornamen ini berbentuk tumbuh-tumbuhan yang sedang mekar yang menunjukkan keindahan. Pembuatan ornamen ini dengan cara di ukir dan di pahat dengan cara melihat tumbuh-tumbuhan yang ada di alam sekitar. Motif tumbuhan yang ada pada ornamen ini menyerupai tumbuhan teratai putih. Tumbuhan bunga teratai putih yang ada pada ornamen ini tumbuh di semak-semak di rawa-rawa hutan.


(83)

Bunga Bincole yang merupakan bunga teratai putih yang terdapat pada ornamen ini sangat harum baunya dan sangat sulit untuk memetiknya. Akan tetapi memberikan keindahan yang sangat indah ditengah-tengah lumpur dan rawa-rawa hutan. Kesan cantik dan indah itulah yang melatar belakangi pembuatan ornamen bunga Bincole.

b. Fungsi

Ornamen bunga Bincole diletakkan pada dapur-dapur rumah adat Karo yang berfungsi sebagai keindahan yang memperindah rumah adat Karo. Ornamen bunga Bincole yang merupakan tiruan dari bunga teratai putih yang tumbuh disemak-semak di rawa-rawa hutan menunjukkan kecantikan dan kemurnian hati masyarakat Karo.

Kemurnian hati masyarakat Karo tersebut bisa terlihat dari sikap kerja keras mereka pada pertanian dan sikap gotong-royong mereka saat akan mendapatkan hasil pertanian yang mau berbagi dengan orang lain. Ornamen bunga Bincole juga dapat ditunjukkan pada gadis Karo yang berparas ayu dan memiliki kemurnian hati dan terpuji.


(84)

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornamen ini tidak jauh dari fungsinya yaitu sebagai makna keindahan dan kekeluargaan

1. Makna keindahan pada ornamen ini terlihat pada keindahan bunga bincole yang merupakan tiruan dari bunga teratai putih yang tumbuh disemak-semak dirawa-rawa hutan. Keindahan Bbunga tersebut menunjukkan keiklasan dan kemurnian hati masyarakat Karo yang mau berbagi degan sesamanya.

2. Makna kekeluargaan ornamen ini terlihat dari gadis Karo yang mempunyai wajah yang ayu dan hati yang baik sesuai dengan bunga teratai yang memancarkan keindahannya ditengah – tengah lumpur dan semak-semak, yang memberikan bau harum dan wangi bagi yang melihatnya. Bau harum dan wangi tersebut memperlihatkan kecantikan dari gadis Karo dan kemurnian hatinya yang memahami dirinya sebagai anak berru dalam keluarganya yang harus menghormati keluarganya yang diikat oleh rakut sitellu.


(85)

4.5.13. Ornamen Lukisan Umang

a. Bentuk

Ornamen ini dibentuk dari tumbuh-tumbuhan yang menjalar, ikal dan pada ujung ikal terdapat motif hiasan mahluk halus. Ornamen ini merupakan gambar tumbuhan bunga yang dijagai oleh umang (mahluk halus) yang memiliki tubuh kecil seperti tuyul akan tetapi tidak jahat.

Bunga menunjukkan keindahan dan keindahan bunga tersebut akan dijaga umang dari segala gangguan yang berusaha untuk merusak bahkan menghancurkan bunga tersebut.


(86)

Hal inilah yang melatarbelakangi pembuatan ornamen lukisan umang karena dipercaya ornamen ini dapat menjaga mereka dari segala niat jahat orang.

b. Fungsi

Ornamen Lukisan Umang diletakkan pada dapur-dapur rumah adapt Karo yang berfungsi sebagai

1. Penolakan kepada segala niat jahat

Penolakan berarti mencegah segala hal-hal buruk yang disebabkan oleh lingkungan sekitar yang dikirim melalui roh-roh jahat yang tidak terlihat oleh mata yang berusaha untuk mengganggu ketentraman anggota keluarga yang ada dirumah. Umang yang menjaga bunga menunjukkan bahwa ornamen ini akan menjaga pemilik rumah dari segala bentuk niat jahat orang yang berusaha untuk mengganggu ketentraman rumah. Bentuk niat jahat orang tersebut tidak terlihat karena dikirim melalui roh-roh jahat di udara. Sehingga mereka percaya bahwa umang yang menjaga bunga tersebut sanggup mengalahkan roh-roh jahat tersebut.


(87)

2. Media Komunikasi

Ornamen ini juga sebagai media komunikasi dimana mereka percaya untuk berkomunikasi dengan roh-roh halus nenek moyang sebagai suatu bentuk penghormatan yang memberikan kekuatan dan kebahagian pada masyarakat Karo media komunikasi yang dipergunakan adalah ornament Lukisan Umang sebagai perantaranya. Kepercayaan mereka pada umang yang ada dalam ornament tersebut dengan harapan umang yang ada dalam ornament tersebut akan menyampaikan maksud mereka untuk memanggil roh nenek moyang.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornamen Lukisan Umang tidak jauh dari fungsinya yaitu sebagai makna kepercayaan dan makna komunikasi.

1. Makna kepercayaan

Makna kepercayaan pada ornamen Lukisan Umang yang menunjukkan gambar mahluk halus yang menyukai keindahan merupakan kepercayaan masyarakat Karo bahwa mahluk halus itu tidak selamanya


(88)

jahat akan tetapi dia juga menyukai keindahan yang merupakan penjagaan mahluk halus terhadap seisi rumah.

Penjagaan tersebut merupakan penjagan ornamen Lukisan Umang yang menjaga pemilik rumah dari roh-roh jahat dan umang yang menyukai keindahan menunjukkan rumah adat Karo tercipta dengan kesan indah dan agung yang dijagai oleh ornamen yang sebagian mengandung unsur mistik. 2. Makna Komunikasi

Ornamen ini juga mempunyai makna komunikasi dimana masyarakat Karo percaya bahwa roh-roh nenek moyang dapat berkomunikasi dan akan memberikan bentuk kekuatan yang dapat membahagiakan masyarakat Karo dan sebagai media perantaranya adalah ornamen lukisan umang, mereka percaya bahwa umang tersebut sebagai perantara yang baik bagi mereka untuk dapat berhubungan dengan dunia lain.


(89)

4.5.14. Ornamen Bindu Matoguh

a. Bentuk

Bentuk ornamen ini berpa garis yang menyilang diagonal, yang membentuk persegi yang melambangkan memegang yang baik atau encikep simehuli dalam masyarakat Karo. Pemegangan terhadap yang baik tersebut berupa keteguhan hati masyarakat Karo untuk berbuat dan bertindak dengan baik, tanpa merugikan banyak orang.

Ornamen ini bermotif geometris dan terdapat pada bagian bawah dapur-dapur rumah adat karo. Bahan dasar ornament ini adalah kayu yang tehnik pembuatannya di ukir dan dibuat garis menyilang membentuk persegi.


(90)

b. Fungsi

Ornamen ini berfungsi sebagai tolak bala dan memegang yang baik (encikep simehuli) dalam masyarakat Karo.

1. Memegang yang baik (encikep simehuli)

Memegang yang baik dalam masyarakat Karo berhubungan dengan kepercayaan mereka bahwa hal-hal yang baik yang tidak melanggar norma yang harus dipegang dan tidak merugikan banyak orang.

2.Tolak Bala

Tolak Bala berarti penolakan kepada hal-hal yang dianggap dapat merugikan banyak orang. Penolakan ini juga berhubungan dengan upacara ritual pada saat mereka akan berburu kehutan. Sebelum mereka pergi ke hutan masyarakat Karo pada zaman dahulu akan mengadakan acara bepergian kehutan supaya di hutan mereka mendapatkan hasil buruan yang banyak. Ornamen ini dilukiskan ditanah dan dipijakkan dengan kaki sebelah kiri.


(91)

c. Makna

Makna yang terdapat pada Ornamen Bindu Matagah ini adalah makna kepercayaan. Makna kepercayaan pada ornamen ini berhubungan dengan upacara ritual adat kepercayaan masyarakat Karo pada zaman dahulu.

Pada zaman dahulu sebelum pergi ke hutan masyarakat Karo akan mengadakan acara ritual berburu ke hutan dan sebelum mereka pergi mereka harus memijak ornamen Bindu Matagah dengan kaki kiri agar mereka mendapatkan hasil buruan yang banyak.

Ornamen ini juga dipergunakan saat mereka akan memulai menanam maka ornamen ini berhubungan dengan hasil yang melimpah saat mereka melukiskan ornamen ini di tanah maka hasil pertanian mereka akan terhindar dari hama dan mereka akan mendapatkan hasil yang banyak.


(92)

4.12 Tupak salah Silima-lima

a. Bentuk

Ornamen ini berbentuk garis-garis yang menyilang yang membentu gambar bintang. Ornamen ini diambil dari gambaran alam berupa gambar bintang yang ada dilangit. Gambaran bintang yang ada dilangit menunjukkan kekuatan dari pada alam sendiri untuk menerangi jagad raya pada malam hari. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi pembuatan ornamen ini pada pintu masuk rumah adat Karo yang menunjukkan kesatuan dari merga silima dalam masyarakat Karo.


(93)

Kelima merga tersebut adalah merga induk dalam masyarakat Karo yang diikat oleh struktur sosial masyarakat Karo yang utuh dan tidak terpisah-pisahkan pada masyarakat Karo. Merga dalam masyarakat Karo menunjukkan bahwa mereka satu kesatuan dari orang Karo agar dihormati dan disegani.

b. Fungsi

Ornamen ini berfungsi sebagai penolakan niat jahat orang yang hendak mengganggu keutuhan merga silima. Pada masyarakat Karo merga merupakan dasar untuk mengadakan sisitim organisasi adat orang Karo. Merga berasal dari kata meherga yang artinya berharga atau memiliki nilai. (sitepu 1996 : 34). Sebagai mana yang ditunjukkan ornamen Tupak Salah Silima-lima yang menunjukkan kelima merga besar yang menjadi golongan induk sub-sub merga yang ada pada masyarakat Karo yaitu Karo-karo, Ginting, Sembiring, Perangin-angin, Tarigan.

Merga juga menunjukkan jati diri orang Karo yang mana Laki –laki dipanggil dengan marga dan perempuan dipanggil dengan sebutan berru yang kenyataan ini menunjukkan bahwa suku Karo mewarisi garis


(94)

keturunan ayah. Penolakan niat jahat yang terdapat pada ornamen ini dimana ada orang diluar merga silima yang berusaha merusak keutuhan mereka dan sebagai pegangan mereka ialah ornamen Tupak salah Silima-lima yamg menunjukkan bahwa mereka adalah bersaudara yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornamen ini ialah makna kesatuan keluarga yang berarti bahwa merga silima tidak dapat dipisahkan dalam susunan marga yang ada dalam masyarakat Karo. Kelima merga tersebut adalah Karo-karo, Ginting, Sembiring, Perngin-angin, Tarigan merupakan merga induk dalam masyarakat Karo. Sehingga dengan adanya merga ini maka segala sikap-sikap dan tanggung jawab serta hak dari rakut sitellu bisa terlaksana dengan teratur. Manfaat dari pada merga bagi masyarakat Karo menurut (sitepu 1996:34) sebagai berikut :

1. Merga membuat seorang masyarakat Karo dihargai, disegani dan

dihormati.


(95)

3. Merga sebagai tanda garis keturunan seseorang dalam masyarakat Karo.

4. Merga adalah bagiaan atau unsure yang terdapat dalam hak pemilikan

dan pewarisan pada suku Karo.

5. Merga menunjukkan posisi atau sangkut paut keluarga dan

lingkungannya secara langsung atau tidak langsung

4.5.16. Desa Siwaluh “Desa Delapan”

a. Bentuk

Ornamen ini bermotif alam/geometris dengan warna dasar hitam dan bagian tengah terlihat empat bulatan dan garis berwarna putih.


(96)

Ornamen ini menunjukkan tutur siwaluh dalam masyarakat Karo. Ragam hias ini terdapat pada dinding bagian bawah rumah adat, berupa petunjuk arah mata angin, yaitu :

1. Utara : Utara

2. Iresen : Timur Laut

3. Purba : Timur

4. Anguni : Tenggara

5. Daksina : Selatan

6. Nariti : Barat Daya

7. Pustima : Barat

8. Mangabia: Barat Laut

Petunjuk arah mata angin yang ada pada ornament ini menunjukkan arah yang baik dan buruk bagi masyarakat Karo untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan acara adat.

b. Fungsi

Ornamen ini berfungsi untuk melihat hari yang baik dan buruk dalam melakukan sesuatu acara yang berhubungan dengan acara adat


(97)

istiadat yang berhubungan dengan kegiatan penolakan segala hal-hal yang jahat dengan melihat hari yang baik. Dalam masyarakat Karo mereka percaya bahwa hari dapat dilihat dengan bantuan dukun untuk melihat keadaan mereka atau supaya tidak terjadi bahaya saat akan mengadakan acara adat.

Ornamen ini juga merupakan gambaran tutur siwaluh dalam masyarakat Karo yang menunjukkan hubungan seseorang dengan yang lain sehingga kedudukan dan statusnya lebih jelas (sapaan dalam keluarga).

c.Makna

Makna yang terdapat pada ornamen ini adalah makna kekelurgaan dan kepercayaan.

1. Makna Kekeluargaan

Ornamen desa siwaluh mempunyai makna sebagai makna kekeluargaan yang berarti tutur siwaluh dalam masyarakat Karo. Tutur siwaluh menunjukkan hubungan seseorang dengan yang lain (tutur) yang kedudukan dan statusnya berbeda yang meliputi :


(98)

a. Senina sipemeren, yaitu orang yang bersaudara karena ibu mereka kakak adik

b. Senina sipengalon, yaitu saudara karena anak perempuan kawin dengan anak laki-laki dalam satu keluarga.

c. Senina siparibanen, yaitu orang yang tidak semarga tapi istri mereka bersaudara

d. Puang Kalimbubu, yaitu Semua Kalimbubu dari kalimbubu itu sendiri dengan berbagai tingkatannya.

e. Puang ni puang yaitu puang kalimbubu dari kalimbubu.

f. Anak Sincekuh baka yaitu anak laki-laki dari saudara perempuan kandung ayah. Sincekuh baka memiliki arti dia bebas untuk mengambil apa saja dari rumah kalimbubunya, termasuk anak perempuannya. Anak Berru Mentri yaitu : kelompok penerima yang dikawini (anak berru dari anak berru).


(99)

2. Makna Kepercayaan

Makna kepercayaan berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo terhadap adanya hari yang baik dan buruk, sehingga untuk melakukan suatu acara yang berhubungan dengan ada, mereka akan melihat hari yang baik dengan bantuan dukun.

4.5.17. Ornamen Tapak Raja Sulaiman

a. Bentuk

Ornamen ini bermotif geometris yang berupa garis menyimpul membentuk ruang. Bentuk ornamen ini merupakan jalinan dari motif bunga tertentu yang secara geometris membentuk menjadi empat bagian. Nama


(1)

5. 2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap Fungsi Dan Makna Ornamen Rumah Adat Karo dapat diberikan saran sebagai berikut :

1. Ornamen yang ada dalam rumah adat Karo memiliki banyak nilai sosial yang bermakna adat istiadat dalam masyarakat Karo yang perlu dijaga dan dilestarikan.

2. Untuk mengetahui Nilai-nilai yang terkandung dalam ornamen rumah adat Karo perlu diadakan penelitian lanjutan karena masih banyak nilai –nilai yang terdapat pada ornamen yang ada di Karo.

3. Pada masyarakat Karo perlu untuk menjaga kelestarian rumah adat yang saat ini sudah mulai mengalami kepunahan.


(2)

(3)

(4)

DAFTAR PUSTAKA

Boer dalam Yanti. 2003. Fungsi dan Makna Gorga dalam masyarakat Batak Toba.

Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Penerjemah Fransisco Budi Hardiman. Yogyakarta Kanasius.

Hartoko dan Rahmanto dalam Sobur Alex. Semiotika Komunikasi, Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Herusatoto dalam Sobur Alex. Semiotika Komunikasi, Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan Indonesia.jakarta:

PT.Gramedia.

Nanawi Hadari. 1991. Metode Penelitian. Balai Pustaka :Jakarta

Poerwardarminta. W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. P.N. Balai Pustaka : Jakarta.

Sitepu dkk, 1996. Pilar Budaya Karo. Medan. FKK

Sudartono.1996. Metodologi Penelitian. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Sobur Alex, Semiotika Komunikasi, Bandung. PT Remaja Rosdakarya

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Penerjemah Misbah Zulfa

Elisabet. Yogyakarta. Tiara Wacana

Sembiring dkk, 1995. Tehnik Arsitektur Masyarakat Batak Sumatera Utara

Saragih Risdo, 2007. Makna Tawar Bentar Pada Masyarakat Karo.

Syah , Anwar. 1993. Dasar-dasar Metode Penelitian. Medan : IKIP


(5)

(6)