Terdapat tiga algoritma resampling yang dapat dimanfaatkan untuk menentuka nilai suatu piksel yaitu a Tetangga Terdekat Nearest Neighbour Resampling; b Interpolasi
Bilinear Bilinear Interpolation; c Konvolusi Kubik Cubic Convolution. Ilustrasi berikut akan menggambarkan perbandingan penetapan nilai piksel dari suatu lokasi baru
A.
Bila dilakukan resampling dengan pendekatan Tetangga Terdekat, maka nilai piksel keluaran akan ditentukan oleh nilai piksel tetanggany dengan jarak spasial yang paling
dekat. Keuntungan dari algoritma ini adalah citra keluaran akan memiliki pola rona atau warna yang mendekati citra aslinya. Pada Interpolasi Bilinear, nilai piksel keluaran akan
ditentukan oleh rataan terboboti dari empat piksel-piksel tetangganya. Ciri penting dari teknik ini adalah citra keluaran cenderung kabur blur karena terdapat operasi perataan.
Sementara algoritma Konvolusi Kubik lebih mirip dengan Interpolasi Bilinear, namun menggunakan 16 piksel tetangga.
3. Transformasi Citra
3.1 Indeks Vegetasi
Vegetasi merupakan salah satu aplikasi terbesar untuk data penginderaan jauh. Banyak teknik yang dikembangkan pada pengolahan citra penginderaan jauh berorientasi pada
pencarian karakteristik vegetasi untuk pertanian ataupun kehutanan, termasuk didalamnya lingkungan. Teknik ini berkembang karena pengumpulan data secara in situ sangat mahal,
memakan waktu dan biaya yang sangat besar dan juga seringkali tidak mungkin dilakukan, misalnya pada daerah-daerah yang terpencil ataupun daerah bahaya karena
perang. Salah satu pendekatan yang sering digunakan untuk memperoleh informasi tentang kondisi vegetasi adalah menggunakan Indeks Vegetasi.
7
Indeks Vegetasi merupakan suatu ukuran yang dirancang untuk mereduksi kanal jamak menjadi kanal tunggal yang mencerminkan informasi spesifik yaitu tentang karakteristik
vegetasi. Indeks vegetasi telah lama sekali digunakan untuk memonitor perubahan vegetasi temporal yang menggunakan data penginderaan jauh. Perkembangan algoritma
indeks vegetasi dari nilai kecerahan didasarkan atas perubahan energi absorbsi, transmitan dan reflektan oleh vegetasi pada spektrum elektromagnetik merah dan infra
merah. Beberapa penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa rasio infra merah dan merah berkorelasi kuat dengan jumlah biomas daun hijau.
Lyon et al. 1998 mengklasifikasikan indeks vegetasi menjadi tiga kelompok besar yang didasarkan atas jenis operasi komputasinya yaitu:
1. Kelompok Pengurangan : Difference Vegetation Index, Perpendicular Vegetation
Index 2.
Kelompok Pembagian : Ratio Vegetation Index, Soil Adjusted Ratio Vegetation Index
3. Kelompok Transformasi Rasional : Normalized Difference Vegetation Index,
Soil Adjusted Vegetation Index dan Transformed Soil Adjusted Vegetation Index.
Beberapa persamaan indeks vegetasi yang umum digunakan adalah sebagai berikut Richardson and Everitt, 1992 dalam Lyon, et al., 1998:
DifferenceVegetationIndex =
Band 4 −a Band 2
NormalizedDifferenceVegetationIndex =
Band 4
−Band 2
Band 4 +
Band 2 PerpendicularVegetationIndex
=
Band 4
−a Band
2 −b
1 +
a
2
RatioVegetationIndex =
Band 4
Band 2 SoilAdjustedRatioVegetationIndex
=
Band 4
Band 2 +
b a
8
SoilAdjustedVegetationIndex =
1 +
L Band 4
−Band 2
Band 4 +
Band 2 +
L
TransformedSoilAdjustedVegetationIndex =
a Band
4 −a
Band 2
−b
Band 2 +
a Band 4 −a b
dimana a = 0.96916, b = 0.084726 dan L = 0.5. Mengingat kajian Indeks Vegetasi tidak terlepas dari sifat inheren dari masing-masing
sensor, pada sub bab berikut akan disajikan hasil penelitian terdahulu menggunakan sensor-sensor yang umum digunakan untuk studi Indeks Vegetasi.
3.2 Studi Indeks Vegetasi pada Citra NOAA AVHRR
Perkembangan studi Indeks Vegetasi secara cepat dimulai dengan dibuktikannya estimasi dari radiasi aktif fotosintetik yang diintersepsi yaitu pada panjang gelombang 0.4-0.7
mikron menggunakan kombinasi data antar band. Dengan pembuktian itu, Indeks Vegetasi menjadi populer sebagai sarana pengkajian produksi biomasa dari berbagai
macam tipe vegetasi Tucker, 1996. Dua aplikasi yang penting dicatat dalam makalah Tucker 1996 adalah estimasi biomas herbaceous pada padang rumputsteppa dan studi
regional, kontinental dan global. Estimasi biomas mengikuti dasar kaitan antara NDVI dan PAR Photosynthetically
Active Radiation yang diintersepsi. Pada waktu pertumbuhan tumbuhan, PAR dan NDVI berhubungan sangat erat berkorelasi tinggi dengan total fotosintesis yang selanjutnya
juga berkaitan erat dengan produksi biomasa kering total. Sebelum kajian ini menggunakan riil data satelit, percobaan dilakukan terlebih dahulu menggunakan
pengukuran spektral di lapang menggunakan panjang gelombang merah dan infra merah. Data AVHRR juga dapat dibentuk dalam NDVI yang berseri waktu time series dan
digunakan untuk mengetahui kemungkinan penetapan tutupan lahan kontinental. Asumsi yang digunakan dalam kajian ini adalah agregasi besar yang berbeda-beda dari tutupan
lahan akan memiliki perbedaan respons NDVI. Perbedaan magnitude dan variasi waktu sangat berguna untuk memilahkan atau mengklasifikasikan jenis tutupan lahan.
3.3 Studi Indeks Vegetasi pada Citra Landsat TM
Beberapa varian aplikasi dari teknik rasio yang juga menarik dibahas di sini adalah kekeringan drought stress pada pinus Pinder and McLeod, 1999. Data TM
9
multitemporal mengindikasikan bahwa rasio reflektansi dari band 5 ke band 4 meningkat dengan meningkatnya kekeringan. Pinder dan McLeod juga menyatakan bahwa rasio
band 54 mendekati nilai 0.42 pada awal musim kering dan sekitar 0.55 pada tengah musim kering yang panjang. Percobaan Pinder-McLeod ditujukan untuk mengevaluasi
prosedur pengukuran berulang yang mirip menggunakan data Thematic Mapper pada sebelum, selama dan sesudah musim kering yang panjang. Perubahan variasi spasial pada
reflektansi kanopi selama musim kering dikaji untuk menentukan kemampuan mengukur variasi spasial pada penurunan pertumbuhan. Parameter utama yang diujikan adalah
jumlah curah hujan, jenis tanah, kerapatan tumbuhan dan ukuran pohon. 3.4
Metode Thresholding Mengingat data keluaran Indeks Vegetasi merupakan data yang “continuous” dan terlalu
rendahnya tingkat kecerahan untuk dibedakan oleh mata Richards, 1993, maka untuk lebih mempermudah pengkelasan, umumnya pengguna menggunakan teknik thresholding
atau pemotongan. Salah satu teknik yang dapat digunakan dengan relatif mudah adalah metode Density Slicing.
Density Slicing menekankan pada pencarian atau pengenalan obyek dari histogram kumpulan piksel. Metode pencarian yang dapat dijadikan patokan adalah pencarian
bentuk sebaran tunggal dari sebuah histogram. Walaupun teknik ini belum banyak diujicoba potensinya, bentuk sebaran tunggal dapat diyakini merupakan representasi
suatu obyek yang khas. 3.5
Penyaringan Filtering Karakteristik penting dari suatu citra penginderaan jauh adalah frekuensi spasial spatial
frequency. Frekuensi spasial merupakan ukuran frekuensi perubahan dari nilai kecerahan pada setiap unit jarak tertentu dan terjadi pada bagian tertentu dari citra. Jika frekuensi
perubahan tersebut sangat rendah, maka daerah tersebut dikatakan sebagai area dengan frekuensi rendah. Daerah ini akan ditandai dengan homogenitas area yang tinggi serta
tingkat pemisahan obyek yang rendah. Citra satelit seringkali mengandung ingar noise acak yang bertampalan dengan nilai
kecerahan piksel. Ingar ini dapat berasal dari malfungsi-nya sensor, interferensi elektronik atau anomali pada pengolahan atau transmisi data. Kenampakannya dapat
menutupi ataupun bahkan menghilangkan sama sekali informasi radiometrik sehingga akan mempersulit proses klasifikasi. Penyaringan low pass low pass filter secara spasial
10
pada umumnya digunakan untuk mereduksi ingar seperti ini. Penyaring seperti ini cenderung menghaluskanmengaburkan kenampakan citra.
Frekuensi spasial dapat dimanipulasi dalam analisis citra. Terdapat dua pendekatan utama dalam manipulasi ini yaitu analisis domain spasial dan analisis domain frekuensi. Analisis
utama dalam domain spasial adalah pentapisan konvolusi spatial convolution filtering. Sedangkan pada domain frekuensi, metode Fourier merupakan pendekatan yang paling
banyak dikaji. Tulisan ini tidak membahas domain frekuensi.
Proses penyari ngan pada domai n spasi al di l akukan dengan menggunakan konvol usi dengan ukur an ker nel t er t ent u. Oper asi konvol usi menghasil kan ni l ai piksel yang
mer upakan penj uml ahan yang t erbobot i dari nil ai pi ksel yang dikandung ol eh suat u ker nel . Kel ebi han t eknik i ni adal ah memberikan pel uang bagi anal is unt uk
mempr edi ksi kan kel uar an ci t r a dari f or mat konvol usi yang di gunakan. Pavl idis 1984 memf ormul asikan prosedur konvol usi sebagai berikut
n
gx =
∑
[hi f i]
i =
1
dimana gx menyatakan hasil konvolusi, fx menyatakan nilai awal piksel, hx menyatakan pembobotan dan i menyatakan jumlah piksel dalam suatu kernel. Formulasi
di atas dikenal sebagai filter linier. Ilustrasi penyaringan domain spasial dapat dilihat pada gambar berikut.
Terlihat dari gambar di atas, untuk mendapatkan satu nilai piksel dalam citra keluaran diperlukan kelumpok ketetanggaan dengan ukuran yang khas. Pada ilustrasi di atas,
kelompok ketetanggaan yang dibangun terdiri dari 3 x 3 piksel bertetangga. Ukuran ini umumnya dikenal dengan istilah ukuran kernel. Ukuran ini dapat bervariasi, tetapi
umumnya dalam satuan ganjil.
11
3.6 Deskriptor Tekstur
Metode lain yang juga dikembangkan untuk mengekstrak informasi lanjutan dari Indeks Vegetasi adalah penerapan Deskriptor Tekstur hasil penelitian Ricotta, Avena dan Ferri
1996. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan proses yang membangun keberagaman dalam pencarian pendekatan biomasa tumbuhan.
Vegetasi cenderung mencapai bahan organik, spesies dan kompleksitas yang maksimum sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Konsekuensinya, lingkungan hutan dengan
tingkat organisasi yang tinggi umumnya dicirikan oleh nilai densitas penutupan lahan yang tinggi dan tingkat yang tinggi dari biomasa homogen secara spasial. Akan tetapi
gangguan-gangguan dari alam dan manusia antropik cenderung melemahkan kondisi ini. Mengingat struktur hutan adalah fenomena spasial, pengukuran secara kuantitatif dari
keberagaman spasial adalah kegiatan penting dalam memahami dinamika dan struktur bentang lahan. Ukuran kuantitatif ini dapat didekati dengan penggunaan deskriptor
tekstur dari data indeks vegetasi Ricotta et al., 1996. Dalam studinya, Ricotta et al. 1996 tidak menggunakan nilai asli NDVI mengingat nilai
tersebut berkisar antara –1 dan 1, tetapi menggunakan penskalaanperentangan menjadi 0- 200 dengan nilai 0 direpresentasikan dengan nilai 100. Karena faktor komputasi dapat
menjadi kendala utama, studi ini menggunakan algoritme perbedaan absolut Rubin. Secara singkat nilai tekstur Rubin dengan memanfaatkan aturan konvolusi baku dapat
dijelaskan dengan gambar berikut: A
B C
… …
D E
F …
… G
H I
… …
… …
… …
… …
… …
… …
Tekstur =
|A-B| + |B-C| + |D-E| + |E-F| + |G-H| + |H-I| +
|A-D| + |D-G| + |B-E| + |E-H| + |C-F| + |F-I|
Asumsi yang harus diperhatikan dalam studi ini adalah pengabaian kejadian transmitan atmosfer atmospheric transmittance dan efek angular.
Karena homogenitas yang tinggi dari biomasa tumbuhan, tutupan lahan hutan menunjukkan tekstur yang halus yang dicirikan oleh nilai tekstur NDVI yang rendah.
Sebaliknya, karena heterogenitas yang tinggi pada tutupan lahan non hutan, distribusi
12
tekstur NDVI sangat tersebar. Dalam grafik, kedua pernyataan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Huta
Ju ml
ah P
ik se
l
Non
Nilai Tekstur
4. Ekstraksi Biomasa dengan SAR Synthetic Aperture Radar