pengolahan citra penginderaan jauh untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan.

(1)

PENGOLAHAN CITRA PENGINDERAAN JAUH UNTUK M ENDUKUNG PEM BANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN

I Wayan Sedana

1. Pendahuluan

Menurut Avery and Berlin (1992) Penginderaan jauh diartikan sebagai suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek melalui analisis data yang dikumpulkan melalui suatu perangkat yang tidak berhubungan langsung secara fisik dengan obyek yang sedang dikaji. Penginderaan jauh berbeda dengan banyak perangkat lain yang bersifat in-situ sensing yang bersinggungan secara langsung dengan obyek yang diteliti. Penginderaan jauh memanfaatkan berbagai perangkat seperti kamera, radiometer, penyiam (scanner), atau sensor lainnya yang diangkut oleh suatu wahana (platform). Banyak alasan mengapa penginderaan jauh sangat bermanfaat (Wiradisastra, 2000):

1. Sangat membantu untuk mengumpulkan data dan informasi dari daerah yang sukar atau tidak mungkin dikunjungi (accessibility rendah) seperti rawa, hutan dll.

2. Memungkinkan untuk meneliti daerah yang luas sekaligus, sehingga hubungan antara satu wilayah dengan lainnya dapat dianalisis (Synoptic view) .

3. Memungkinkan melakukan ulangan pengamatan dengan cermat. Rekaman mengenai obyek, area atau kejadian yang sama dapat diulang dengan hasil yang dapat diperbandingkan, sehingga bermanfaat untuk mendeteksi perubahan (monitoring).

4. Memenuhi persyaratan "skala khusus (Special scale)" atau jarak tertentu untuk melihat sesuatu, seperti membaca tulisan paling baik pada jarak 30 cm dari mata. Melihat hubungan antara area dalam studi suatu daerah aliran sungai misalnya akan lebih baik digunakan data dengan skala < 1:30.000, sebaliknya bila harus mempelajari sebaran rumah penduduk dalam suatu studi permukiman akan dibutuhkan skala 1:5.000. Pada teknik penginderaan jauh memperkecil maupun memperbesar data dapat dilakukan dengan mudah dan tetap valid. 5. Dapat memberikan kemungkinan "stop action" pada kejadian yang diamati.

Misalnya kalau diperlukan menghitung burung yang sedang terbang, akan lebih mudah bila memotretnya terlebih dahulu dari pada mengikuti gerakan mereka, demikian juga dalam menghitung satwa liar lainnya.


(2)

6. Kemampuan melihat lebih baik dibandingkan dengan mata. Mengenai hal terakhir ini akan diuraikan lebih lanjut, pada bagian lain.

Teknologi penginderaan yang paling banyak dibicarakan saat ini adalah penginderaan dengan menggunakan gelombang elektro magnetis. Sumber dari gelombang EM ini yang sehari-hari kita gunakan adalah sinar matahari. Kita dapat melihat benda pada waktu siang karena benda-benda, terkena energi yang bersumber dari matahari, yang kemudian dipantulkannya ke berbagai arah. Bila mata kita tepat berada pada arah pantulan cahaya (biasa sehari-hari kita sebut sebagai cahaya matahari) maka kita dapat melihat benda tersebut sesuai dengan tingkat/besarnya energi. Mata adalah sensor bagi kita masing-masing demikian juga dalam inderaja alat yang dipakai untuk menangkap pantulan benda disebut sebagai sensor. Sedangkan alat atau pesawat yang digunakan sebagai cara membawa sensor disebut wahana. Wahana yang paling dekat dengan bumi adalah menara, kemudian disusul balon atau helikopter dan kapal terbang biasa. Wahana lain yang jaraknya dapat jauh sekali dari bumi yang direkam adalah pesawat ulang-alik dan satelit.

Penginderaan yang menggunakan sinar matahari yang tersedia tiap siang hari disebut penginderaan bersifat pasif. Disebut pasif karena ada sumber energi lain yang dapat dibuat sebagai sumber misalnya radar, maka inderaja dengan radar disebut inderaja aktif. Sudah sewajarnya sumber energi radar harus dibiayai untuk pengadaannya, itulah sebabnya pada awalnya inderaja pasif lebih banyak dilakukan dibandingkan inderaja aktif. Keuntungan yang diperoleh dari cara aktif adalah kebebasan memilih waktu dan keadaan (cuaca), sehingga mengindera dapat dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan (Wiradisastra, 2000).

Sinar tampak mata adalah hanya salah satu dari bentuk energi elektromagnetik. Gelombang radio, panas, ultra violet, sinar X adalah bentuk-bentuk lain yang sudah dikenal. Semua bentuk energi tersebut merambat mengikuti hukum perambatan gelombang. Teori ini menggambarkan bahwa energi elektro magnetik merambat dalam bentuk gelombang sinusoidal dengan kecepatan cahaya atau c. Jarak antara dua puncak yang bertururtan disebut sebagai satu panjang gelombang (λ- lambda), sedangkan jumlah puncak yang melewati titik ada satuan jarak tiap satuan waktu disebut frekuensi v atau c = vλ. Karena c bersifat konstan sebesar 3x108 m/detik, maka frekuensi v berbanding


(3)

terbalik dari panjang gelombang λ. Gambar dibawah menunjukkan panjang gelombang elektromagnetik yang umum digunakan pada penginderaan jauh optis

2. Pengolahan Awal

2.1 Koreksi Radiometri

Koreksi geometri merupakan tipe koreksi yang sangat berkaitan dengan topik tulisan ini. Hal ini dimungkinkan mengingat koreksi geometri merupakan teknik yang secara langsung mengubah kenampakan citra penginderaan jauh yang digunakan.

Secara ideal/teoritis, fluks radian yang direkam oleh sistem pencitra penginderaan jauh pada band-band yang digunakan adalah representasi yang akurat dari fluks yang dipantulkan oleh benda di atas permukaan bumi. Akan tetapi kesalahan atau penyimpangan dapat terjadi dan masuk dalam subsistem penerimaan sinyal elektromagnetik. Penyimpangan dapat terjadi akibat alat yang tidak berfungsi sempurna (malfunction) atau tidak terkalibrasi sempurna. Selain di pihak alat, penyimpangan dapat pula terjadi akibat efek atmosferik.


(4)

Kesalahan pada detektor sistem dapat berbentuk line dropouts, striping/banding dan line-start. Line dropouts dapat terjadi sewaktu sensor malfungsi pada baris tertentu. Kesalahan ini akan ditampakkan pada citra dengan garis hitam memanjang horisontal. Mengingat kesalahan ini merupakan kesalahan sistem, maka tidak ada cara apapun yang dapat digunakan untuk memperbaiki nilai digital yang hilang. Akan tetapi kesalahan tersebut dapat direduksi untuk kepentingan visualisasi dengan mengestimasi nilai yang hilang tersebut dengan rataan piksel pada baris sebelumnya dan sesudahnya (Jensen, 1996). Teknik ini merupakan teknik yang awal sekali dikembangkan.

Kadang kala detektor tidak malfungsi sama sekali, tetapi memiliki karakteristik yang berbeda dengan ciri piksel-piksel sekitarnya. Pada umumnya kondisi yang ada adalah terjadi ketidakcocokan kontras dan kecerahan dengan piksel-piksel yang lain. Kejadian ini sering disebut dengan striping. Jika striping ini terjadi secara simultan, maka fenomena ini disebut dengan banding. Teknik yang dikembangkan untuk line dropouts dapat digunakan bila baris yang terdegradasi memiliki karakteristik yang mirip dengan ciri line dropouts. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan transformasi Fast Fourier (FFT) untuk mengidentifikasi kesalahan-kesalahan tersebut dan memperbaikinya (Trisasongko and Tjahjono, 1999). Makalah di atas menggunakan pendekatan UDF (User Defined Function) pada proses masking spektrum Fourier. Pendekatan ini berbasis pada teknik thresholding pada citra. Hasil yang didapatkan cukup menjanjikan, meskipun pendekatan teknik yang digunakan membutuhkan pengetahuan tentang spektrum frekuensi yang cukup dan hasil yang diperoleh sangat tergantung pada kemampuan analis dalam mengolah citra atau dengan kata lain subyektivitas masih cukup kuat.


(5)

2.2 Normalisasi Topografi

Normalisasi topografi sebenarnya merupakan bagian dari kegiatan dalam koreksi radiometri, namun mengingat besarnya peran proses ini dalam studi vegetasi, maka dalam makalah ini kegiatan ini dipisahkan dari induk koreksi radiometri.

Di samping kejaian kesalahan radiometri di atas, topografi dan lereng permukaan bumi juga seringkali mengaburkan interpretasi citra. Topografi yang bergunung dapat menghilangkan sama sekali informasi yang terkandung pada permukaan bumi tersebut. Ada tiga kelompok besar prosedur pengoreksi topografi yaitu Koreksi Kosinus, Koreksi Semi Empirik dan Koreksi Statistik-Empirik. Khusus untuk kelompok Koreksi Semi Empirik, makalah ini akan menyajikan dua metode yang sering digunakan yaitu Koreksi Minnaert dan Koreksi C.

Jumlah pantulan (irradiance) yang mencapai sensor dan direpresentasikan dalam 1 piksel pada sebuah lereng memiliki hubungan langsung dan proporsional dengan kosinus dari incidence angle. Sudut incidence adalah sudut yang dibentuk dari garis normal dengan garis zenith. Asumsi yang dibuat dalam Koreksi Kosinus adalah: (1) permukaan Lambertian, (2) jarak yang konstan antara matahari dan bumi, dan (3) jumlah pancaran (illumination) matahari yang konstan. Secara matematis, koreksi ini dinyatakan sebagai

cos

θ

L

H

=

L

T

cos

α

0

dimana LH adalah pantulan pada permukaan horisontal, LT adalah pantulan pada permukaan yang miring, θ0 adalah sudut zenith dan αadalah sudut incidence (Jensen,

1996; Hill et al, 1995).

Modifikasi Koreksi Kosinus diperkenalkan oleh Teillet, Guindon dan Goodenough untuk mereduksi kelemahan-kelemahan Koreksi Kosinus. Modifikasi ini dikenal dengan nama Koreksi C dan didefinisikan sebagai:

cos

θ

+

c

L

H

=

L

T

cos

α

0

+

c

dimana c adalah rasio b/m pada persamaan regresi yang akan diterangkan pada Koreksi Statistik-Empirik.


(6)

Teillet-Guindon-Goodenough juga memperkenalkan Koreksi Minnaert yang didefinisikan sebagai berikut:

cos

θ

L

H

=

L

T

(

cos

α

0

)

k

dimana k adalah konstanta Minnaert yang bervariasi antara 0 (bukan permukaan Lambertian) dan 1 (permukaan Lambertian penuh) (Jensen, 1996).

Dalam Koreksi Statistik-Empirik, setiap piksel dalam citra dapat dikorelasikan dengan iluminasi yang diprediksikan dari model elevasi digital. Koreksi ini dapat didefinisikan sebagai:

LH =LT −cosα.m b +LT

dimana m adalah kemiringan dari garis regresi linier, b adalah intersep pada garis y dari garis regresi, dan LT adalah rataan LT untuk piksel-piksel hutan (dari data referensi) (Jensen, 1996).

Aplikasi normalisasi topografi dalam bidang kehutanan dapat ditelaah dalam makalah Ekstrand (1996) dan Hill et al. (1995).

2.3 Koreksi Geometri

Data penginderaan jauh umumnya mengandung galat geometri sistematik dan non sistematik. Distorsi sistematik dapat diakibatkan oleh scan skew, kecepatan mirror scanning, distorsi panoramik, kecepatan wahana, rotasi bumi dan efek perspektif. Sedangkan distorsi non sistematik umumnya diakibatkan oleh ketinggian wahana dan attitude.

Prosedur koreksi geometri yang sering digunakan dan diterapkan oleh pembuat perangkat lunak pengolahan citra penginderaan jauh adalah koreksi map dan image-to-image. Koreksi pertama merupakan jenis koreksi yang sangat dianjurkan mengingat referensi peta merupakan referensi standar bagi berbagai aplikasi.

Mengingat lokasi baru dari piksel tertransformasi sangat jarang cocok dengan lokasi awal, maka umumnya piksel tertransformasi tersebut akan mengalami interpolasi. Nilai piksel keluaran akan ditentukan oleh piksel-piksel lain dalam sebuah kelompok ketetanggaan. Proses interpolasi ini umumnya dikenal dengan nama Resampling.


(7)

Terdapat tiga algoritma resampling yang dapat dimanfaatkan untuk menentuka nilai suatu piksel yaitu (a) Tetangga Terdekat (Nearest Neighbour Resampling); (b) Interpolasi Bilinear (Bilinear Interpolation); (c) Konvolusi Kubik (Cubic Convolution). Ilustrasi berikut akan menggambarkan perbandingan penetapan nilai piksel dari suatu lokasi baru A.

Bila dilakukan resampling dengan pendekatan Tetangga Terdekat, maka nilai piksel keluaran akan ditentukan oleh nilai piksel tetanggany dengan jarak spasial yang paling dekat. Keuntungan dari algoritma ini adalah citra keluaran akan memiliki pola rona atau warna yang mendekati citra aslinya. Pada Interpolasi Bilinear, nilai piksel keluaran akan ditentukan oleh rataan terboboti dari empat piksel-piksel tetangganya. Ciri penting dari teknik ini adalah citra keluaran cenderung kabur (blur) karena terdapat operasi perataan. Sementara algoritma Konvolusi Kubik lebih mirip dengan Interpolasi Bilinear, namun menggunakan 16 piksel tetangga.

3. Transformasi Citra

3.1 Indeks Vegetasi

Vegetasi merupakan salah satu aplikasi terbesar untuk data penginderaan jauh. Banyak teknik yang dikembangkan pada pengolahan citra penginderaan jauh berorientasi pada pencarian karakteristik vegetasi untuk pertanian ataupun kehutanan, termasuk didalamnya lingkungan. Teknik ini berkembang karena pengumpulan data secara in situ sangat mahal, memakan waktu dan biaya yang sangat besar dan juga seringkali tidak mungkin dilakukan, misalnya pada daerah-daerah yang terpencil ataupun daerah bahaya karena perang. Salah satu pendekatan yang sering digunakan untuk memperoleh informasi tentang kondisi vegetasi adalah menggunakan Indeks Vegetasi.


(8)

Indeks Vegetasi merupakan suatu ukuran yang dirancang untuk mereduksi kanal jamak menjadi kanal tunggal yang mencerminkan informasi spesifik yaitu tentang karakteristik vegetasi. Indeks vegetasi telah lama sekali digunakan untuk memonitor perubahan vegetasi temporal yang menggunakan data penginderaan jauh. Perkembangan algoritma indeks vegetasi dari nilai kecerahan didasarkan atas perubahan energi absorbsi, transmitan dan reflektan oleh vegetasi pada spektrum elektromagnetik merah dan infra merah. Beberapa penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa rasio infra merah dan merah berkorelasi kuat dengan jumlah biomas daun hijau.

Lyon et al. (1998) mengklasifikasikan indeks vegetasi menjadi tiga kelompok besar yang didasarkan atas jenis operasi komputasinya yaitu:

1. Kelompok Pengurangan : Difference Vegetation Index, Perpendicular Vegetation Index

2. Kelompok Pembagian : Ratio Vegetation Index, Soil Adjusted Ratio Vegetation Index

3. Kelompok Transformasi Rasional : Normalized Difference Vegetation Index, Soil Adjusted Vegetation Index dan Transformed Soil Adjusted Vegetation Index.

Beberapa persamaan indeks vegetasi yang umum digunakan adalah sebagai berikut (Richardson and Everitt, 1992 dalam Lyon, et al., 1998):

DifferenceVegetationIndex =Band 4 a * Band 2

NormalizedDifferenceVegetationIndex =

Band

4

Band

2

Band 4 +Band 2

PerpendicularVegetationIndex =

Band

4

a

*

Band

2

b

1 +a2

RatioVegetationIndex =

Band

4

Band 2

SoilAdjustedRatioVegetationIndex =

Band

4


(9)

SoilAdjustedVegetationIndex =

(1

+

L) * (Band

4

Band

2)

Band 4 +Band 2 +L

TransformedSoilAdjustedVegetationIndex =

a

* (Band

4

a

*

Band

2

b)

Band 2 +a * Band 4 a * b dimana a = 0.96916, b = 0.084726 dan L = 0.5.

Mengingat kajian Indeks Vegetasi tidak terlepas dari sifat inheren dari masing-masing sensor, pada sub bab berikut akan disajikan hasil penelitian terdahulu menggunakan sensor-sensor yang umum digunakan untuk studi Indeks Vegetasi.

3.2 Studi Indeks Vegetasi pada Citra NOAA AVHRR

Perkembangan studi Indeks Vegetasi secara cepat dimulai dengan dibuktikannya estimasi dari radiasi aktif fotosintetik yang diintersepsi (yaitu pada panjang gelombang 0.4-0.7 mikron) menggunakan kombinasi data (antar band). Dengan pembuktian itu, Indeks Vegetasi menjadi populer sebagai sarana pengkajian produksi biomasa dari berbagai macam tipe vegetasi (Tucker, 1996). Dua aplikasi yang penting dicatat dalam makalah Tucker (1996) adalah estimasi biomas herbaceous pada padang rumput/steppa dan studi regional, kontinental dan global.

Estimasi biomas mengikuti dasar kaitan antara NDVI dan PAR (Photosynthetically Active Radiation) yang diintersepsi. Pada waktu pertumbuhan tumbuhan, PAR dan NDVI berhubungan sangat erat (berkorelasi tinggi) dengan total fotosintesis yang selanjutnya juga berkaitan erat dengan produksi biomasa kering total. Sebelum kajian ini menggunakan riil data satelit, percobaan dilakukan terlebih dahulu menggunakan pengukuran spektral di lapang menggunakan panjang gelombang merah dan infra merah. Data AVHRR juga dapat dibentuk dalam NDVI yang berseri waktu (time series) dan digunakan untuk mengetahui kemungkinan penetapan tutupan lahan kontinental. Asumsi yang digunakan dalam kajian ini adalah agregasi besar yang berbeda-beda dari tutupan lahan akan memiliki perbedaan respons NDVI. Perbedaan magnitude dan variasi waktu sangat berguna untuk memilahkan atau mengklasifikasikan jenis tutupan lahan.

3.3 Studi Indeks Vegetasi pada Citra Landsat TM

Beberapa varian aplikasi dari teknik rasio yang juga menarik dibahas di sini adalah kekeringan (drought stress) pada pinus (Pinder and McLeod, 1999). Data TM


(10)

multitemporal mengindikasikan bahwa rasio reflektansi dari band 5 ke band 4 meningkat dengan meningkatnya kekeringan. Pinder dan McLeod juga menyatakan bahwa rasio band 5/4 mendekati nilai 0.42 pada awal musim kering dan sekitar 0.55 pada tengah musim kering yang panjang. Percobaan Pinder-McLeod ditujukan untuk mengevaluasi prosedur pengukuran berulang yang mirip menggunakan data Thematic Mapper pada sebelum, selama dan sesudah musim kering yang panjang. Perubahan variasi spasial pada reflektansi kanopi selama musim kering dikaji untuk menentukan kemampuan mengukur variasi spasial pada penurunan pertumbuhan. Parameter utama yang diujikan adalah jumlah curah hujan, jenis tanah, kerapatan tumbuhan dan ukuran pohon.

3.4 Metode Thresholding

Mengingat data keluaran Indeks Vegetasi merupakan data yang “continuous” dan terlalu rendahnya tingkat kecerahan untuk dibedakan oleh mata (Richards, 1993), maka untuk lebih mempermudah pengkelasan, umumnya pengguna menggunakan teknik thresholding atau pemotongan. Salah satu teknik yang dapat digunakan dengan relatif mudah adalah metode Density Slicing.

Density Slicing menekankan pada pencarian atau pengenalan obyek dari histogram kumpulan piksel. Metode pencarian yang dapat dijadikan patokan adalah pencarian bentuk sebaran tunggal dari sebuah histogram. Walaupun teknik ini belum banyak diujicoba potensinya, bentuk sebaran tunggal dapat diyakini merupakan representasi suatu obyek yang khas.

3.5 Penyaringan (Filtering)

Karakteristik penting dari suatu citra penginderaan jauh adalah frekuensi spasial (spatial frequency). Frekuensi spasial merupakan ukuran frekuensi perubahan dari nilai kecerahan pada setiap unit jarak tertentu dan terjadi pada bagian tertentu dari citra. Jika frekuensi perubahan tersebut sangat rendah, maka daerah tersebut dikatakan sebagai area dengan frekuensi rendah. Daerah ini akan ditandai dengan homogenitas area yang tinggi serta tingkat pemisahan obyek yang rendah.

Citra satelit seringkali mengandung ingar (noise) acak yang bertampalan dengan nilai kecerahan piksel. Ingar ini dapat berasal dari malfungsi-nya sensor, interferensi elektronik atau anomali pada pengolahan atau transmisi data. Kenampakannya dapat menutupi ataupun bahkan menghilangkan sama sekali informasi radiometrik sehingga akan mempersulit proses klasifikasi. Penyaringan low pass (low pass filter) secara spasial


(11)

pada umumnya digunakan untuk mereduksi ingar seperti ini. Penyaring seperti ini cenderung menghaluskan/mengaburkan kenampakan citra.

Frekuensi spasial dapat dimanipulasi dalam analisis citra. Terdapat dua pendekatan utama dalam manipulasi ini yaitu analisis domain spasial dan analisis domain frekuensi. Analisis utama dalam domain spasial adalah pentapisan konvolusi (spatial convolution filtering). Sedangkan pada domain frekuensi, metode Fourier merupakan pendekatan yang paling banyak dikaji. Tulisan ini tidak membahas domain frekuensi.

Proses penyari ngan pada domai n spasi al di l akukan dengan menggunakan konvol usi dengan ukur an ker nel t er t ent u. Oper asi konvol usi menghasil kan ni l ai piksel yang mer upakan penj uml ahan yang t erbobot i dari nil ai pi ksel yang dikandung ol eh suat u ker nel . Kel ebi han t eknik i ni adal ah memberikan pel uang bagi anal is unt uk mempr edi ksi kan kel uar an ci t r a dari f or mat konvol usi yang di gunakan. Pavl idis (1984) memf ormul asikan prosedur konvol usi sebagai berikut

n

g(x) =

[h(i)* f (i)]

i=1

dimana g(x) menyatakan hasil konvolusi, f(x) menyatakan nilai awal piksel, h(x) menyatakan pembobotan dan i menyatakan jumlah piksel dalam suatu kernel. Formulasi di atas dikenal sebagai filter linier.

Ilustrasi penyaringan domain spasial dapat dilihat pada gambar berikut.

Terlihat dari gambar di atas, untuk mendapatkan satu nilai piksel dalam citra keluaran diperlukan kelumpok ketetanggaan dengan ukuran yang khas. Pada ilustrasi di atas, kelompok ketetanggaan yang dibangun terdiri dari 3 x 3 piksel bertetangga. Ukuran ini umumnya dikenal dengan istilah ukuran kernel. Ukuran ini dapat bervariasi, tetapi umumnya dalam satuan ganjil.


(12)

3.6 Deskriptor Tekstur

Metode lain yang juga dikembangkan untuk mengekstrak informasi lanjutan dari Indeks Vegetasi adalah penerapan Deskriptor Tekstur hasil penelitian Ricotta, Avena dan Ferri (1996). Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan proses yang membangun keberagaman dalam pencarian pendekatan biomasa tumbuhan.

Vegetasi cenderung mencapai bahan organik, spesies dan kompleksitas yang maksimum sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Konsekuensinya, lingkungan hutan dengan tingkat organisasi yang tinggi umumnya dicirikan oleh nilai densitas penutupan lahan yang tinggi dan tingkat yang tinggi dari biomasa homogen secara spasial. Akan tetapi gangguan-gangguan dari alam dan manusia (antropik) cenderung melemahkan kondisi ini. Mengingat struktur hutan adalah fenomena spasial, pengukuran secara kuantitatif dari keberagaman spasial adalah kegiatan penting dalam memahami dinamika dan struktur bentang lahan. Ukuran kuantitatif ini dapat didekati dengan penggunaan deskriptor tekstur dari data indeks vegetasi (Ricotta et al., 1996).

Dalam studinya, Ricotta et al. (1996) tidak menggunakan nilai asli NDVI mengingat nilai tersebut berkisar antara –1 dan 1, tetapi menggunakan penskalaan/perentangan menjadi 0-200 dengan nilai 0 direpresentasikan dengan nilai 100. Karena faktor komputasi dapat menjadi kendala utama, studi ini menggunakan algoritme perbedaan absolut Rubin. Secara singkat nilai tekstur Rubin dengan memanfaatkan aturan konvolusi baku dapat dijelaskan dengan gambar berikut:

A B C … … D E F … … G H I … … … … … … … … … … … …

Tekstur = |A-B| + |B-C| + |D-E| + |E-F| + |G-H| + |H-I| + |A-D| + |D-G| + |B-E| + |E-H| + |C-F| + |F-I|

Asumsi yang harus diperhatikan dalam studi ini adalah pengabaian kejadian transmitan atmosfer (atmospheric transmittance) dan efek angular.

Karena homogenitas yang tinggi dari biomasa tumbuhan, tutupan lahan hutan menunjukkan tekstur yang halus yang dicirikan oleh nilai tekstur NDVI yang rendah. Sebaliknya, karena heterogenitas yang tinggi pada tutupan lahan non hutan, distribusi


(13)

tekstur NDVI sangat tersebar. Dalam grafik, kedua pernyataan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Huta

Ju

ml

ah

P

ik

se

l

Non

Nilai Tekstur

4. Ekstraksi Biomasa dengan SAR (Synthetic Aperture Radar)

Karakteristik fisik fenomena-fenomena alam dapat pula diekstrak dari data SAR. Penggunaan terminologi data SAR digunakan mengingat citra dan karakteristik sinyal pada data SAR dapat dipertukarkan, sehingga untuk sub bab ini peristilahan akan lebih mengacu ke data SAR, tidak hanya bertumpu kepada data dalam bentuk citra saja.

Bentuk data SAR yang paling sering digunakan untuk mempelajari karakteristik fenomena fisik alam adalah dalam bentuk koefisien hamburan balik (backscatter coefficient). Secara khusus, koefisien hamburan balik digunakan oleh Ulaby untuk memodelkan hamburan balik kanopi hutan yang dikenal dengan nama MIMICS (Michigan Microwave Canopy Scattering) (Israelsson and Askne, 1995).

Konversi citra menjadi data hamburan balik SAR memerlukan pemahaman tentang format data CEOS SAR Data Format (Trisasongko, 1999) dan aspek-aspek spesifik untuk masing-masing sensor radar. Teknik konversi ini merupakan teknik yang umum dilakukan untuk melakukan kalibrasi radiometrik sehingga unsur-unsur look up table (LUT) dapat dihilangkan (Trisasongko, 1999; Sheperd, 1998). Proses konversi dimulai dengan pengubahan nilai digital/kecerahan masing-masing piksel menjadi data kecerahan radar (radar brightness) dengan persamaan berikut:

β0


(14)

dimana DNj adalah nilai digital pada piksel ke-j. Data A3 dan A2 diekstrak dari Radiometric Data Record yang tersimpan dalam header data SAR (Trisasongko, 1999; Sheperd, 1998).

Proses kedua yaitu pemindahan data kecerahan SAR menjadi data hamburan balik yang dilakukan dengan memanfaatkan persamaan berikut (Trisasongko, 1999; Sheperd, 1998):

σ0

j =β0j +10 log10(Sin(Ij))

Studi Israelsson dan Askne menunjukkan bahwa penarikan informasi dari bole volume menggunakan SAR band C setelah divalidasi secara teoritik dengan MIMICS adalah tidak mungkin. Pada penggunaan band L, pengakjian dimungkinkan sampai 70-80 m3/ha dengan teknik polarisasi silang. Pada band P, meningkat sampai 120 m3/ha. Studi tersebut memberikan kesimpulan bahwa frekuensi radar yang digunakan untuk mengkaji bole volume belum dapat dilakukan secara operasional. Pada umumnya tegakan hutan yang mature membuat sinyal menjadi saturate (Israelsson and Askne, 1995).

5. Klasifikasi Citra

Selain dianalisis secara visual, citra penginderaan jauh seringkali juga dianalisis secara digital untuk mendapatkan informasi tematik. Klasifikasi multispektral adalah satu diantara metode yang seringkali digunakan untuk mengekstrak informasi, terutama informasi penutup lahan. Bila pada pengolahan citra digital, citra penginderaan jauh akan dianalisis secara kualitatif mengingat peran interpretasi visual yang kuat dalam perolehan informasi. Sedangkan klasifikasi multispektral menggunakan pendekatan kuantitatif dan mengurangi subyektifitas pada kegiatan interpretasi. Metode klasifikasi multispektral dapat menggunakan algoritma-algoritma berikut : (1) Klasifikasi Tegas (Hard Classifier), (2) Klasifikasi Samar (Soft Classifier), dan (3) Klasifikasi Hibrid (Jensen, 1996). Algoritma Klasifikasi Tegas pada umumnya terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu Kelompok Terbimbing (Supervised) dan Kelompok Tak Terbimbing (Unsupervised). Pada pengolahan citra digital, aspek kualitatif (yaitu visual) merupakan aspek yang dominan dalam proses ekstraksi informasi. Tetapi pada klasifikasi citra, aspek kuantitatif merupakan aspek yang sangat menonjol. Klasifikasi multispektral merupakan pendekatan yang umum digunakan untuk kegiatan pemetaan berbantu komputer dari citra


(15)

penginderaan jauh. Pemetaan secara obyektif tersebut didasarkan atas kemiripan spektral yang diperoleh dan menghasilkan kelas-kelas spektral yang dapat berkaitan dengan kelas sesungguhnya di permukaan tanah.

Langkah pertama dari prosedur klasifikasi adalah pelatihan (training) untuk program komputer dalam mengenali ciri (signature) kelas yang dikehendaki. Aspek ini penting karena akan menentukan sukses tidaknya hasil klasifikasi. Dalam proses pelatihan ini, pengguna akan memasukkan contoh piksel dimana kelas ciri akan dibuat. Terdapat dua cara untuk membangun ciri kelas dari contoh piksel yang tersedia yaitu tak terbimbimbing dan terbimbing.

Untuk lebih memahami konsepsi prosedur klasifikasi, penjelasan akan dimulai dengan pengertian statistika dasar peubah tunggal (univariate) dan peubah jamak (multivariate). Kemudian penjelasan akan lebih diarahkan ke konsepsi matematis yang mendasari algoritma klasifikasi.

5.1 Statistika Peubah Tunggal

Mengingat data citra memiliki unit tunggal (piksel) yang sangat banyak, pemahaman tentang sebaran (distribusi) merupakan aspek yang sangat penting. Gambar berikut memberikan penjelasan tentang berbagai macam sebaran yang sering dijumpai oleh analis (Jensen, 1996).


(16)

Pengetahuan ini penting mengingat banyak metode pengolahan/klasifikasi citra penginderaan jauh mengasumsikan sebaran normal untuk nilai kecerahan piksel yang ada. Namun pada kenyataannya, banyak citra penginderaan jauh yang tidak mengikuti sebaran normal, melainkan skewed ataupun bahkan multimodal. Pada kondisi ini selayaknya teori statistika non parametrik-lah yang digunakan sebagai dasar analisis.

Aspek lain yang banyak bermanfaat adalah histogram. Dari data histogram, analis dapat menentukan kualitas gambar yang sedang dikerjakan, baik dalam hal kecerahan (brightness) ataupun kontras (contrast).

Beberapa pendekatan yang sering digunakan dalam penetapan statistika deskriptif peubah tunggal adalah modus, median dan mean. Modus adalah nilai yang paling sering muncul dalam pencacahan. Median adalah nilai tengah dari sebaran frekuensi yaitu setengah dari area dibawah kurva sebaran. Sedangkan mean adalah rataan aritmetik dan didefinisikan sebagai jumlah semua observasi dibagi dengan jumlah observasi.

Dua parameter lain yang juga penting adalah ragam (variance) dan deviasi standar (standard deviation). Ragam dari sebuah contoh dalah rataan deviasi kuadrat dari semua observasi yang mungkin dari mean contoh. Secara matematis dapat disimbolkan sebagai berikut:

n

(BVik

µk )2

var =i=1

k

n

Bagian pembilang dari persamaan di atas sering disebut dengan corrected sum of squares (SS). Jika mean contoh (µk) adalah mean populasi, maka ragam memiliki pengukuran yang akurat. Untuk ragam contoh penyebut dari persamaan di atas diganti menjadi n-1. Deviasi standar adalah akar kuadrat positif dari ragam. Dalam persamaan matematis dapat ditunjukkan dengan:

sk = vark

Nilai yang kecil dari deviasi standar menunjukkan bahwa observasi menunjukkan gerombol yang erat di sekitar nilai tengah. Total area di bawah kurva sebaran normal


(17)

adalah 100% atau 1.00. Pada tipe sebaran ini, 68.27% dari observasi jatuh dalam +/- 1 deviasi standar, 95% dalam +/- 2 deviasi standar dan 99% dalam +/- 3.

5.2 Statistika Peubah Jamak

Penginderaan jauh sensor optik banyak bekerja dengan data multi dimensi (dalam hal ini band). Oleh karena itu ukuran statistika yang digunakan adalah ukuran peubah jamak (multivariate). Dua ukuran utama yang paling sering digunakan adalah kovarian dan korelasi. Sekalipun kedua ukuran ini paling banyak diterapkan di proses klasifikasi, aplikasi ukuran ini masih dimungkinkan pada bidang lain, yaitu dalam analisis komponen utama (principal component analysis).

Mengingat ukuran spektral dari individu piksel mungkin tidak independen, kebutuhan akan interaksi mutual antar band menjadi penting. Ukuran interaksi yang menjajikan variasi/varian gabungan dari variabel-variabel umumnya dikenal dengan kovarian. Untuk menghitung kovarian, perlu diketahui terlebih dahulu informasi tentang corrected sum of products (SP) yaitu (Davis, 1973):

n

SPkl=

(BVikµk )(BVilµl) i=1

Komputasi SP dapat disederhanakan menjadi (Jensen, 1996) :

n n

n

BV

ik

BV

il

SPkl =

(BVik * BVil ) i=1 i=1 n

i=1

Kovarian dihitung dengan persamaan (Davis, 1973) :

SP

cov

kl

=

n

kl

1

Untuk mengestimasi tingkat hubungan antar band, ukuran korelasi digunakan untuk keperluan ini. Korelasi adalah rasio dari kovarian dibandingkan dengan deviasi standar masing-masing band.

r

=

cov

kl kl


(18)

Korelasi memiliki kisaran antara –1 dan 1. Koefisien korelasi mendekati 1 berarti terdapat hubungan kuat yang positif antar nilai piksel pada band-band, sedangkan koefisien mendekati –1 berarti terdapat hubungan kuat yang negatif. Korelasi nol menunjukkan tidak adanya hubungan yang linier antar band. Pada umumnya penyajian kovarian dan korelasi dilakukan dalam bentuk tabel agar hubungan antar band dapat lebih terintegrasi dalam menganalisis.

6. Klasifikasi Tak Terbimbing

Dalam mendefinisikan area contoh untuk pelatihan klasifikasi, analis tidak perlu mencari area yang homogen, bahkan seringkali dicari daerah yang sangat beragam untuk memastikan bahwa semua kelas yang memungkinkan dan variabilitas di dalamnya terbentuk. Piksel-piksel contoh tersebut kemudian akan dimasukkan dalam algoritma gerombol yang akan menentukan pengelompokan alami dalam ruang feature berdimensi jamak. Setiap gerombol diasumsikan merepresentasikan distribusi peluang (probability distribution) untuk setiap kelas. Pelabelan (penamaan) kelas dapat dilakukan setelah penggerombolan contoh ataupun setelah penggerombolan semua piksel dalam citra. Penetapan gerombol intrinsik dalam data contoh dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Metode yang paling umum digunakan adalah algoritme k-means.

Algoritma gerombol yang disajikan berikut ini beroperasi pada dua iterasi (pass). Pada iterasi pertama, algoritma membaca seluruh data dan secara sekuen membangun gerombol (kumpulan dari titik pada ruang spektral). Vektor rataan akan diasosiasikan dengan setiap gerombol. Pada iterasi kedua, metode klasifikasi jarak minimum (minimum distance to mean) digunakan pada seluruh data, piksel demi piksel pada rataan kelas yang terbentuk.

Pada iterasi pertama, algoritma membutuhkan masukan data seperti: jarak radius pada ruang spektral (R), jarak ruang spektral (C), Jumlah piksel yang dievaluasi diantara penggabungan besar dari gerombol (N) dan Jumlah maksimum gerombol (Cmax). Pada kebanyakan perangkat lunak pengolah citra penginderaan jauh, parameter ini dapat ditentukan secara default.

Secara umum, gambaran tentang penggerombolan (clustering) dapat dijabarkan pada gambar-gambar berikut:


(19)

(Jensen, 1996)

Citra Asli Algoritme K-means Algoritme Isodata

7. Klasifikasi Terbimbing

Pada klasifikasi terbimbing, analis menggunakan pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya yang dapat berasal dari hasil ekstraksi informasi/interpretasi foto udara, peta dan lain-lain. Pengetahuan ini akan digunakan untuk mengidentifikasi piksel-piksel contoh dan menetapkan kelas ciri yang bersesuaian. Parameter-parameter statistika yang


(20)

penting diturunkan dari contoh kelas tersebut dan digunakan untuk mengkelaskan ciri yang mirip dari sebuah piksel.

Pemilihan kumpulan contoh yang representatif sangat penting pada klasifikasi terbimbing. Pencarian daerah yang homogen dan memiliki kisaran variabilitas yang baik akan menentukan keberhasilan klasifikasi. Aspek statistika lain yang penting adalah jumlah piksel yang digunakan untuk mengestimasi ciri kelas. Jika pengklasifikasi Bayes maximum likelihood dan asumsi distribusi normal (normal class distribution) yang digunakan, vektor rataan kelas dan matriks kovarian harus dihitung (Schowengerdt, 1983). Swain (1978) menyatakan bahwa untuk mendapatkan statistik kelas yang memenuhi syarat, piksel contoh yang diperlukan berkisar antara 10 – 100.

Sebelum menjalankan algoritme klasifikasi, seringkali pengguna menentukan training area yang digunakan untuk melihat ciri-ciri statistika masing-masing calon kelas. Mengingat data penginderaan jauh pada umumnya berkanal jamak, maka untuk setiap contoh piksel akan didapatkan sebuah vektor pengukuran sebagai berikut:

Xc = [BVij1, BVij2, …, BVijk]

dimana BVijk menyatakan nilai piksel (brightness value) untuk piksel ke-i,j dan pada band ke-k. Selanjutnya akan didapatkan pula vektor pengukuran rataan untuk setiap kelas sebagai berikut:

Mc = [µc1, µc2, …, µck]

dimana µck merepresentasikan nilai rataan dari data yang diperoleh untuk kelas c pada band k. Selain itu bisa didapatkan pula matrik kovarian pada setiap kelas c sebagai berikut:

Cov

c11

Cov

c12

...

Cov

c1n

Cov

...

Cov

Cov c21 c22 c2n

Vc =Vckl =

...

...

...

Cov

...

Cov

Cov

cn2 cnn

cn1

dimana Covckl adalah kovarian dari kelas c dari band k sampai l. Untuk mempersingkat, pada umumnya notasi di atas dapat disingkat menjadi Vc.


(21)

Aturan keputusan dalam algoritma kemungkinan maksimum akan bertindak sebagai penentu penggolongan setiap piksel ke dalam kelas yang bersesuaian yaitu dengan menempatkan piksel atas dasar kemiripan atau kemungkinan yang paling tinggi. Hal ini mengasumsikan bahwa statistik dari data training set untuk setiap kelas dan setiap band menyebar secara normal (Gaussian). Aturan keputusan pada algoritma ini dapat dinotasikan sebagai berikut:

Tentukan X ada dalam kelas c, jika dan hanya jika: Pc≥Pi, i adalah kelas ke-1, 2, …, m

Pc = { -0.5loge[det(Vc)]} – [0.5(X-Mc)TVc-1(X-Mc)]

dimana det(Vc) adalah determinan dari matriks kovarian Vc. Untuk mengklasifikasikan vektor X dari sebuah piksel ke dalam suatu kelas, aturan keputusan akan menghitung nilai Pc untuk setiap kelas. Barulah kemudian piksel tersebut akan dikelompokkan ke dalam kelas yang memiliki nilai maksimum.

Persamaan di atas mengasumsikan bahwa setiap kelas memiliki kemungkinan kejadian yang sama pada permukaan bumi. Kejadian pada data penginderaan jauh menunjukkan bahwa ada kemungkinan kejadian yang tinggi bagi suatu kelas daripada kelas yang lain. Sebagai ilustrasi, bila kelas air mendominasi suatu citra, maka dapat diharapkan bahwa akan semakin banyak piksel yang akan dikelaskan sebagai air. Dengan demikian, dimungkinkan untuk memasukkan informasi a priori pada pengambilan keputusan dalam klasifikasi. Pemasukan informasi ini dapat dilakukan dengan pembobotan setiap kelas c dengan kemungkinan a priori ac sehingga:

Tentukan X ada dalam kelas c, jika dan hanya jika: Pc(ac) ≥Pi(ai), i adalah kelas ke-1, 2, …, m

Pc(ac) = loge(ac) - { -0.5loge[det(Vc)]} – [0.5(X-Mc)TVc-1(X-Mc)]

Aturan keputusan Bayes di atas identik dengan aturan keputusan kemiripan maksimum, kecuali bahwa Bayes tidak mengasumsikan kesamaan kemungkinan pada setiap kelas.


(22)

DAFTAR PUSTAKA

Avery, T.E. and G.L. Berlin. 1992. Fundamentals of Remote Sensing and Airphoto Interpretation. Fifth Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey. Davis, J.C. 1973. Statistics and Data Analysis in Geology. John Wiley & Sons. New

York.

Ekstrand, S. 1996. Landsat TM-based Forest Damage Assessment: Correction for Topographic Effects. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. Vol.62. No. 2. pp. 151-161.

Hill, J., W. Mehl and V. Radeloff. 1995. Improved Forest Mapping by Combining Corrections of Atmospheric and Topographic Effects in Landsat TM Imagery. In Sensors and Environmental Applications of Remote Sensing. J. Askne (ed.). A.A. Balkema. Rotterdam. The Netherlands.

Israelsson, H. and J. Askne. 1995. Retrieval of Forest Biomass Using SAR. In Sensors and Environmental Applications of Remote Sensing. J. Askne (ed.). A.A. Balkema. Rotterdam. The Netherlands.

Jensen, J.R. 1996. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective. Second Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey.

Lyon, J.G., D. Yuan, R.S. Lunetta and C.D. Elvidge. 1998. A Change Detection Experiment Using Vegetation Indices. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. Vol.64. No. 2. pp. 143-150.

Pavlidis, T. 1984. Graphics Algorithms and Image Processing. Computer Science Press. New York.

Pinder III, J.E. and K.W. McLeod. 1999. Indications of Relative Drought Stress in Longleaf Pine from Thematic Mapper Data. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. Vol. 65, No. 4. pp. 495-501.

Richards, J.A. 1993. Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction. Springer Verlag. Berlin, Germany.

Ricotta, C., G.C. Avena and F. Ferri. 1996. Analysis of Human Impact on a Forested Landscape of Central Italy with a Simplified NDVI Texture Descriptor.

International Journal of Remote Sensing. Vol. 17, No. 14. pp. 2869-2874.

Schowengerdt, R.A. 1983. Techniques for Image Processing and Classification in Remote Sensing. Academic Press. New York.

Sheperd, N. 1998. Extraction of Beta Nought and Sigma Nought from RADARSAT CDPF Products. Canadian Space Agency Report No. AS97-5001. Ottawa, Canada.

Swain, P.H. 1978. Fundamentals of Pattern Recognition in Remote Sensing. In Remote Sensing: The Quantitative Approach. P.H. Swain and S.M. Davis (eds.). McGraw Hill. New York.


(23)

Trisasongko, B.H. 1999. Radarsat Image Processing: Interpretation for Mangrove and Geomorphology. Introductory Course Radar Imagery. BPPT. Jakarta.

Trisasongko, B.H and B. Tjahjono. 1999. Reducing Artifacts Using Fourier Transformation: Cases in Landsat TM and Radarsat. Franco-Indonesia Space Industry and High Tech Conference. Jakarta.

Tucker, C.J. 1996. History of the Use of AVHRR Data for Land Applications. In Advances in the Use of NOAA AVHRR Data for Land Applications. G. D’Souza, A.S. Belward and J-P. Malingreau (eds.). Kluwer. Doordrecht, The Netherlands. Wiradisastra, U.S. 2000. Komunikasi personal.


(1)

Korelasi memiliki kisaran antara –1 dan 1. Koefisien korelasi mendekati 1 berarti terdapat hubungan kuat yang positif antar nilai piksel pada band-band, sedangkan koefisien mendekati –1 berarti terdapat hubungan kuat yang negatif. Korelasi nol menunjukkan tidak adanya hubungan yang linier antar band. Pada umumnya penyajian kovarian dan korelasi dilakukan dalam bentuk tabel agar hubungan antar band dapat lebih terintegrasi dalam menganalisis.

6. Klasifikasi Tak Terbimbing

Dalam mendefinisikan area contoh untuk pelatihan klasifikasi, analis tidak perlu mencari area yang homogen, bahkan seringkali dicari daerah yang sangat beragam untuk memastikan bahwa semua kelas yang memungkinkan dan variabilitas di dalamnya terbentuk. Piksel-piksel contoh tersebut kemudian akan dimasukkan dalam algoritma gerombol yang akan menentukan pengelompokan alami dalam ruang feature berdimensi jamak. Setiap gerombol diasumsikan merepresentasikan distribusi peluang (probability

distribution) untuk setiap kelas. Pelabelan (penamaan) kelas dapat dilakukan setelah

penggerombolan contoh ataupun setelah penggerombolan semua piksel dalam citra. Penetapan gerombol intrinsik dalam data contoh dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Metode yang paling umum digunakan adalah algoritme k-means.

Algoritma gerombol yang disajikan berikut ini beroperasi pada dua iterasi (pass). Pada iterasi pertama, algoritma membaca seluruh data dan secara sekuen membangun gerombol (kumpulan dari titik pada ruang spektral). Vektor rataan akan diasosiasikan dengan setiap gerombol. Pada iterasi kedua, metode klasifikasi jarak minimum (minimum distance to mean) digunakan pada seluruh data, piksel demi piksel pada rataan kelas yang terbentuk.

Pada iterasi pertama, algoritma membutuhkan masukan data seperti: jarak radius pada ruang spektral (R), jarak ruang spektral (C), Jumlah piksel yang dievaluasi diantara penggabungan besar dari gerombol (N) dan Jumlah maksimum gerombol (Cmax). Pada kebanyakan perangkat lunak pengolah citra penginderaan jauh, parameter ini dapat ditentukan secara default.

Secara umum, gambaran tentang penggerombolan (clustering) dapat dijabarkan pada gambar-gambar berikut:


(2)

(Jensen, 1996)

Citra Asli Algoritme K-means Algoritme Isodata

7. Klasifikasi Terbimbing

Pada klasifikasi terbimbing, analis menggunakan pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya yang dapat berasal dari hasil ekstraksi informasi/interpretasi foto udara, peta dan lain-lain. Pengetahuan ini akan digunakan untuk mengidentifikasi piksel-piksel


(3)

penting diturunkan dari contoh kelas tersebut dan digunakan untuk mengkelaskan ciri yang mirip dari sebuah piksel.

Pemilihan kumpulan contoh yang representatif sangat penting pada klasifikasi terbimbing. Pencarian daerah yang homogen dan memiliki kisaran variabilitas yang baik akan menentukan keberhasilan klasifikasi. Aspek statistika lain yang penting adalah jumlah piksel yang digunakan untuk mengestimasi ciri kelas. Jika pengklasifikasi Bayes

maximum likelihood dan asumsi distribusi normal (normal class distribution) yang

digunakan, vektor rataan kelas dan matriks kovarian harus dihitung (Schowengerdt, 1983). Swain (1978) menyatakan bahwa untuk mendapatkan statistik kelas yang memenuhi syarat, piksel contoh yang diperlukan berkisar antara 10 – 100.

Sebelum menjalankan algoritme klasifikasi, seringkali pengguna menentukan training area yang digunakan untuk melihat ciri-ciri statistika masing-masing calon kelas. Mengingat data penginderaan jauh pada umumnya berkanal jamak, maka untuk setiap contoh piksel akan didapatkan sebuah vektor pengukuran sebagai berikut:

Xc = [BVij1, BVij2, …, BVijk]

dimana BVijk menyatakan nilai piksel (brightness value) untuk piksel ke-i,j dan pada band ke-k. Selanjutnya akan didapatkan pula vektor pengukuran rataan untuk setiap kelas sebagai berikut:

Mc = [µc1, µc2, …, µck]

dimana µck merepresentasikan nilai rataan dari data yang diperoleh untuk kelas c pada band k. Selain itu bisa didapatkan pula matrik kovarian pada setiap kelas c sebagai berikut:

Cov

c11

Cov

c12

...

Cov

c1n

Cov

...

Cov

Cov c21 c22 c2n

Vc =Vckl =

...

...

...

Cov

...

Cov

Cov

cn2 cnn

cn1

dimana Covckl adalah kovarian dari kelas c dari band k sampai l. Untuk mempersingkat, pada umumnya notasi di atas dapat disingkat menjadi Vc.


(4)

Aturan keputusan dalam algoritma kemungkinan maksimum akan bertindak sebagai penentu penggolongan setiap piksel ke dalam kelas yang bersesuaian yaitu dengan menempatkan piksel atas dasar kemiripan atau kemungkinan yang paling tinggi. Hal ini mengasumsikan bahwa statistik dari data training set untuk setiap kelas dan setiap band menyebar secara normal (Gaussian). Aturan keputusan pada algoritma ini dapat dinotasikan sebagai berikut:

Tentukan X ada dalam kelas c, jika dan hanya jika:

Pc≥Pi, i adalah kelas ke-1, 2, …, m

Pc = { -0.5loge[det(Vc)]} – [0.5(X-Mc)TVc-1(X-Mc)]

dimana det(Vc) adalah determinan dari matriks kovarian Vc. Untuk mengklasifikasikan vektor X dari sebuah piksel ke dalam suatu kelas, aturan keputusan akan menghitung nilai Pc untuk setiap kelas. Barulah kemudian piksel tersebut akan dikelompokkan ke dalam kelas yang memiliki nilai maksimum.

Persamaan di atas mengasumsikan bahwa setiap kelas memiliki kemungkinan kejadian yang sama pada permukaan bumi. Kejadian pada data penginderaan jauh menunjukkan bahwa ada kemungkinan kejadian yang tinggi bagi suatu kelas daripada kelas yang lain. Sebagai ilustrasi, bila kelas air mendominasi suatu citra, maka dapat diharapkan bahwa akan semakin banyak piksel yang akan dikelaskan sebagai air. Dengan demikian, dimungkinkan untuk memasukkan informasi a priori pada pengambilan keputusan dalam klasifikasi. Pemasukan informasi ini dapat dilakukan dengan pembobotan setiap kelas c dengan kemungkinan a priori ac sehingga:

Tentukan X ada dalam kelas c, jika dan hanya jika:

Pc(ac) ≥Pi(ai), i adalah kelas ke-1, 2, …, m

Pc(ac) = loge(ac) - { -0.5loge[det(Vc)]} – [0.5(X-Mc)TVc-1(X-Mc)]

Aturan keputusan Bayes di atas identik dengan aturan keputusan kemiripan maksimum, kecuali bahwa Bayes tidak mengasumsikan kesamaan kemungkinan pada setiap kelas.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Avery, T.E. and G.L. Berlin. 1992. Fundamentals of Remote Sensing and Airphoto Interpretation. Fifth Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey. Davis, J.C. 1973. Statistics and Data Analysis in Geology. John Wiley & Sons. New

York.

Ekstrand, S. 1996. Landsat TM-based Forest Damage Assessment: Correction for Topographic Effects. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. Vol.62. No. 2. pp. 151-161.

Hill, J., W. Mehl and V. Radeloff. 1995. Improved Forest Mapping by Combining Corrections of Atmospheric and Topographic Effects in Landsat TM Imagery. In

Sensors and Environmental Applications of Remote Sensing. J. Askne (ed.). A.A.

Balkema. Rotterdam. The Netherlands.

Israelsson, H. and J. Askne. 1995. Retrieval of Forest Biomass Using SAR. In Sensors

and Environmental Applications of Remote Sensing. J. Askne (ed.). A.A.

Balkema. Rotterdam. The Netherlands.

Jensen, J.R. 1996. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective. Second Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey.

Lyon, J.G., D. Yuan, R.S. Lunetta and C.D. Elvidge. 1998. A Change Detection Experiment Using Vegetation Indices. Photogrammetric Engineering and Remote

Sensing. Vol.64. No. 2. pp. 143-150.

Pavlidis, T. 1984. Graphics Algorithms and Image Processing. Computer Science Press. New York.

Pinder III, J.E. and K.W. McLeod. 1999. Indications of Relative Drought Stress in Longleaf Pine from Thematic Mapper Data. Photogrammetric Engineering and

Remote Sensing. Vol. 65, No. 4. pp. 495-501.

Richards, J.A. 1993. Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction. Springer Verlag. Berlin, Germany.

Ricotta, C., G.C. Avena and F. Ferri. 1996. Analysis of Human Impact on a Forested Landscape of Central Italy with a Simplified NDVI Texture Descriptor.

International Journal of Remote Sensing. Vol. 17, No. 14. pp. 2869-2874.

Schowengerdt, R.A. 1983. Techniques for Image Processing and Classification in

Remote Sensing. Academic Press. New York.

Sheperd, N. 1998. Extraction of Beta Nought and Sigma Nought from RADARSAT CDPF

Products. Canadian Space Agency Report No. AS97-5001. Ottawa, Canada.

Swain, P.H. 1978. Fundamentals of Pattern Recognition in Remote Sensing. In Remote

Sensing: The Quantitative Approach. P.H. Swain and S.M. Davis (eds.). McGraw


(6)

Trisasongko, B.H. 1999. Radarsat Image Processing: Interpretation for Mangrove and Geomorphology. Introductory Course Radar Imagery. BPPT. Jakarta.

Trisasongko, B.H and B. Tjahjono. 1999. Reducing Artifacts Using Fourier Transformation: Cases in Landsat TM and Radarsat. Franco-Indonesia Space

Industry and High Tech Conference. Jakarta.

Tucker, C.J. 1996. History of the Use of AVHRR Data for Land Applications. In

Advances in the Use of NOAA AVHRR Data for Land Applications. G. D’Souza,

A.S. Belward and J-P. Malingreau (eds.). Kluwer. Doordrecht, The Netherlands. Wiradisastra, U.S. 2000. Komunikasi personal.