65
karakteristik masyarakat pedesaan sebagai berikut: Pertama, penduduk pedesaan di negara kurang berkembang memiliki tingkat pendapatan yang rendah, dan itu
merupakan indikator kemiskinan yang nyata. Kedua, penduduk pedesaan memiliki ketergantungan yang besar pada
sumberdaya alam setempat. Pendayagunaan sumberdaya alam itu sendiri pada umumnya menghasilkan nilai tambah yang rendah. Kegiatan ekonomi yang
menghasilkan nilai tambah tinggi pada umumnya bukan merupakan bagian dari perekonomian lokal. Hal itu dipertajam dengan distribusi sumberdaya yang tidak
merata. Ketiga, perpaduan dua karakteristik sebelumnya menghasilkan tingkat
ketidak-menentuan yang tinggi berkaitan dengan aliran pendapatan penduduk dalam kurun waktu tertentu. Hal itu antara lain karena masyarakat tidak memiliki kontrol
yang jelas terhadap sumberdaya setempat, karena sumberdaya itu merupakan sumberdaya terbuka.
4.6.2 Bukan berpusat pada modal
Dalam pedoman umum PEMP selalu disebutkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir itu perlu didorong melalui tiga inisiatif: perbaikan
manajemen, perbaikan teknologi, dan perbaikan akses masyarakat pada modal. Artinya, segala program pemberdayaan PEMP itu dirancang sebagai bentuk
perbaikan tiga komponen di atas. Dalam prakteknya, kebijakan permodalan masyarakat pesisir telah
berkembang menjadi jiwa program PEMP. Pemberian modal ‘secara komersial’ telah menjadi penciri program PEMP.
Namun penelitian ini justru menjelaskan, bahwa peningkatan pendapatan responden itu ternyata tidak dipengaruhi secara nyata oleh variabel modal, baik
modal awal maupun tambahan modal. Dengan demikian, program PEMP perlu melakukan reorientasi pelaksanaan programnya untuk lebih memberikan perhatian
pada inisiatif-inisiatif non-modal.
66
Secara normatif, dalam setiap pemberdayaan masyarakat, sesungguhnya modal tidak pernah ditempatkan sebagai faktor utama. Ia hanya bersifat
komplementer terhadap pembentukan sistem nilai unggul, tingkat kekompakan kelompok group cohesiveness, dan unsur kelembagaan lainnya. Bank komersial
juga menempatkan injeksi modal setelah mereka menilai kelayakan usaha yang dijalankan oleh pelaku usaha yang berkarakter. Bahkan dalam masyarakat pun
tumbuh pemeo: Dalam bisnis, yang penting bukan modal, tapi kepercayaan. Itu semua mengisyaratkan, bahwa komponen non-modal merupakan faktor yang harus
diperhatikan dalam program PEMP, untuk tidak dikatakan lebih penting ketimbang faktor modal.
4.6.3 Revitalisasi program pendampingan
Peningkatan mutu Pendampingan masyarakat dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat dan penguatan kelembagaan lokal diduga merupakan alternatif
yang perlu mendapat perhatian serius. Hal itu selaras dengan kenyataan sebagai berikut: Pertama, terdapat kecenderungan dampak program yang bersifat acak
dengan perbedaan lokasi binaan. Cirebon menunjukkan peningkatan yang jauh lebih besar dibanding dengan Subang, seperti yang ditunjukkan dengan variabel lokasi
yang nyata pada taraf 5 pada model regresi Iterasi I. Pendampingan yang lebih tangguh akan mendorong program-program yang lebih berbasis sumberdaya dan
masyarakat lokal. Kedua, adanya tanda-tanda bounded rationality, misalnya ditunjukkan
dengan tanda negatif pada variabel persepsi pada kecakapan berbisnis. Hal itu lazimnya terjadi karena dua hal: i Proses penyadaran masyarakat belum terjadi
secara intensif; dan ii Proses dampingan pasca pelatihan tidak terjadi secara intensif, sehingga peningkatan ekspektasi masyarakat melampaui peningkatan
kecakapan aktualnya. Ketiga, adanya kebutuhan untuk melakukan program-program secara
afirmatif. Selain mendorong agar setiap kelompok masyarakat bisa memperbaiki derajat kesejahteraannya, juga dibutuhkan sebuah mekanisme partisipatif yang
67
dihormati oleh masyarakat untuk memperkecil kesenjangan kemakmuran antar kelompok masyarakat atau antar wilayah.
Untuk menjawab persoalan itu, Tadjudin 2000 memberikan solusi untuk melakukan pemaduan kelembagaan lokal. Pemerintah dan masyarakat memiliki
kepentingan yang sama dalam hal pengelolaan sumberdaya. Keduanya menginginkan produktifitas, kelestarian, dan tidak ingin konflik. Jika kepentingan
produksi dan ketidak-mauan konflik itu mencuat secara terbuka, maka kepentingan kelestarian relatif tersembunyi. Pada pihak pemerintah, hal itu tersembunyi dalam
konsep-konep retoriknya; sedangkan pada masyarakat lokal tersembunyi dalam pengetahuan dan kearifan lokalnya.
Untuk menjembatani pemerintah dengan masyarakat lokal, masyarakat lokal dengan masyarakat luar, maupun pengetahuan dari luar dengan pengetahuan lokal,
dibutuhkan sebuah komunikasi yang oleh Roy 1992 disebut sebagai billateral matching, yang memiliki makna menjembatani dua kelembagaan yang berbeda.
Selanjutnya Tadjudin 2000 menyebutkan, bahwa agar perbedaan itu yang menimbulkan potensi konflik, dapat ditransformasikan menjadi potensi kolaborasi
yang sinergik, diperlukan prasyarat sebagai berikut: Pertama, dibutuhkan political will pemerintah, antara lain berupa:
pengenalan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal; menaruh kepercayaan bahwa identitas, budaya, kebiasaan, tatanilai lokal, dan pengetahuan
lokal itu mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap model pengelolaan sumberdaya yang produktif dan lestari; serta memahami masyarakat sebagai
manusia yang memiliki harkat yang tinggi, dan dengan demikian patut didengar aspirasinya.
Kedua, setiap aturan formal termasuk sistem insentifnya disusun dengan mengakomodasikan kebutuhan masyarakat lokal. Ini merupakan model konkret
yang menunjukkan bahwa pemerintah itu percaya kepada masyarakat. Ketiga, setiap tindakan sosialisasi hukum kepada masyarakat tidak dilakukan
secara koersif, meski hukum itu sendiri pada hakekatnya bersifat koersif. Sosialisasi hendaknya dipandang sebagai proses pembelajaran yang dialogik.
68
Keempat, agar dihasilkan organisasi pemerintah yang lebih adaptif terhadap kepentingan masyarakat lokal, diperlukan desentralisasi penanganan masalah
sumberdaya dan devolusi pembuatan keputusan dari pusat ke daerah. Kelima, prakarsa pembangunan ‘jembatan komunikasi’, seperti dituangkan
dalam keempat butir pertama, hendaknya datang dari pemerintah. Prakarsa tersebut diperlukan bukan karena sepatutnya pemerintah bermurah-hati, melainkan karena
masyarakat itu berhak mendapatkannya.
69
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan