Keadaan Umum Wilayah Kabupaten Analisis Distribusi Spasial

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Wilayah Kabupaten

Bungo, Propinsi Jambi Kabupaten Bungo terletak di bagian barat Propinsi Jambi dengan luas wilayah sekitar 716.000 Ha. Wilayah ini secara geografis terletak pada posisi 1º08’ - 1º55’LS dan 101º27’ - 102º30’BT. Berdasarkan letak geografisnya Kabupaten Bungo berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan Kabupaten Darmasraya di sebelah utara, Kabupaten Tebo di sebelah timur, Kabupaten Merangin di sebelah selatan, dan Kabupaten Kerinci di sebelah barat Lampiran 1. Dari aspek topografi, wilayah Kabupaten Bungo secara umum adalah berupa daerah perbukitan dengan ketinggian berkisar antara 70-1300 mdpl. Sebagian besar wilayah Kabupaten Bungo berada pada Sub Daerah Aliran Sungai Batang Tebo. Secara geomorfologis wilayah Kabupaten Bungo merupakan daerah aliran yang memiliki kemiringan berkisar antara 0 – 8 92,28 . Dari aspek klimatologi, sebagaimana umumnya wilayah lainnya di Indonesia, wilayah Kabupaten Bungo tergolong beriklim tropis dengan suhu udara berkisar antara 25,8°C - 26,7°C. Curah hujan rata-rata per tahun di wilayah ini adalah 2.181 mm, dengan kelembaban berkisar antara 56 – 85.

4.2 Pengolahan Awal Citra Satelit

4.2.1 Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik bertujuan untuk menghasilkan citra satelit dimana setiap pixel- nya mempunyai ukuran resolusi spasial yang sama dan sesuai dengan koordinat bumi. Pada penelitian ini citra satelit yang belum terkoreksi, dikoreksi dengan menggunakan peta vektor Propinsi Jambi yang memiliki koordinat geografis sebagai referensi. Proses selanjutnya yaitu menentukan titik ikat antara citra satelit yang belum terkoreksi dengan data vektor yang sudah terkoreksi Define Ground Control Point. Pada saat menentukan titik ikat, diambil pada posisi yang tidak mudah berubah seperti garis pantai dan daerah yang tidak tertutup awan. Hal ini dilakukan untuk memperkecil nilai kesalahan dari interpolasi Root Mean Square antar titik ikat. Penentuan nilai GCP Ground Control Point menentukan keakurasian koreksi geometrik suatu citra. Oleh karena itu nilai RMS yang didapatkan diusahakan dibawah 0.5. Artinya dengan resolusi spasial 30 x 30 m pada citra LANDSAT, suatu lokasi akan bergeser sejauh kurang dari 15 m dari posisi geografis aktual di lapangan.

4.2.2 Koreksi RadiometrikAtmosferik

Koreksi radiometrik bertujuan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan memperbaiki nilai pixel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan spektral yang sebenarnya. Pada koreksi ini diasumsikan bahwa nilai pixel terendah pada suatu kerangka liputan scanning seharusnya bernilai nol, sesuai dengan bit-coding sensor. Apabila nilai terendah pixel pada kerangka liputan tersebut bukan nol, maka nilai penambah offset tersebut dipandang sebagai hasil dari hamburan atmosfer. Pada penelitian ini proses koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian histogram. Metode ini termasuk sederhana, karena dilakukan dengan hanya melihat histogram setiap kanal secara independen. Dari histogram ini dapat diketahui nilai pixel terendah kanal tersebut. Asumsi yang melandasi metode ini adalah bahwa proses coding digital oleh sensor, obyek yang memberikan respon spektral paling lemah atau tidak memberikan respon sama sekali seharusnya memiliki nilai nol. Apabila nilai ini ternyata lebih besar dari nol, maka nilai tersebut dihitung sebagain offset, dan koreksi dilakukan dengan mengurangkan keseluruhan nilai pada kanal tersebut dengan besarnya offset tersebut. Dengan kata lain, besarnya offset menunjukkan besarnya pengaruh gangguan oleh atmosfer.

4.2.3 Pengambilan Wilayah Kajian

Proses pengambilan wilayah kajian cropping data dari data citra satelit LANDSAT ETM+ pathrow : 126061, dilakukan metode sub-sampling image, kemudian overlay dengan data vektor wilayah Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi. Lampiran 2 adalah hasil pengolahan awal data citra satelit dan croping data wilayah kajian.

4.2.4 Klasifikasi Penutupan Lahan

Menggunakan Citra Satelit Proses klasifikasi penutup lahan dengan menggunakan citra satelit LANDSAT yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing Unsupervised Classifikation. Sistem pengklasifikasian ini lebih banyak menggunakan algoritma yang mengkaji sejumlah besar pixel dan membaginya kedalam sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan nilai DN Digital Number pada citra. Kelas yang dihasilkan dari hasil klasifikasi ini adalah kelas spektral. Kelas tersebut didasarkan pada pengelompokan nilai natural spektral citra, maka identitas kelas spektral tidak akan diketahui secara dini. Analisis lebih lanjut, hasil klasifikasi harus dibandingkan dengan data rujukan sebagai referensi. Data rujukan yang dipakai pada penelitian ini adalah data spasial penutup dan penutupan lahan Kabupaten BungoTahun 2002 dan hasil citra LANDSAT ETM+ dengan komposit RGB kanal 542. Hasil klasifikasi penutup lahan untuk wilayah Kabupaten Bungo pada penelitian ini dibagi ke dalam lima kelas. Pembagian kelima kelas tersebut yaitu : hutan, tegalan, lahan terbuka, pemukiman dan badan air Lampiran 3. Luasan pada masing-masing penutupan lahan di atas tidak sepenuhnya menunjukkan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hal ini disebabkan kesalahan perhitungan seperti faktor error secara spasial saat proses klasifikasi lahan. Informasi luasan setiap penutupan lahan hasil klasifikasi terdapat pada tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi dan Luas Penutup Lahan di Kabupaten Bungo Tahun 2002.

4.3 Analisis Distribusi Spasial

Suhu Permukaan Berdasarkan hasil estimasi pada tanggal 15 Agustus 2002, suhu permukaan untuk tipe penutup lahan non vegetasi pemukiman dan lahan terbuka mempunyai kisaran suhu permukaan sekitar 28 - 40 o C. Untuk tipe penutup lahan vegetasi hutan dan tegalan mempunyai kisaran suhu permukaan sekitar 22 - 29 o C dan untuk badan air berada pada sekitar 24 - 28 o C. Adanya perbedaan suhu permukaan pada beberapa penutup lahan seperti ditunjukan oleh Tabel 5 dan Gambar 2 disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah pada saat yang sama dan dengan masukan energi yang sama respon perubahan suhu permukaan lahan ditentukan oleh emisivitas dan konduktivitas thermal pada suatu penutup lahan. Tabel 5. Kisaran Nilai Suhu Permukaan Pada Setiap Penutupan Lahan. Suhu Permukaan o C Penutup Lahan Min Maks Hutan 22 28 Tegalan 23 29 Lahan Terbuka 28 31 Pemukiman 29 40 Badan Air 24 28 Nilai emisivitas untuk lahan non vegetasi yaitu sekitar 0,92 dan untuk lahan vegetasi sekitar 0,95. Sedangkan nilai emisivitas untuk badan air sekitar 0,98 Nichol, 1994 dalam Weng, 2001. Tipe penutup lahan non vegetasi pemukiman dan lahan terbuka memiliki nilai emisivitas rendah, sedangkan konduktivitas thermal tinggi. Hal ini akan menyebabkan suhu permukaannya lebih tinggi. Gambar 2. Rataan Nilai Suhu Permukaan Pada Setiap Penutupan Lahan. Dari tabel 5 dan Gambar 2, dapat juga diperhatikan suhu permukaan untuk tipe penutup lahan vegetasi hutan dan tegalan memiliki suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan pada tipe penutup lahan non vegetasi. Hal ini disebabkan nilai emisivitas tinggi sedangkan konduktivitas thermal rendah. Begitu halnya juga dengan badan air, terjadi penyerapan kalor tinggi dan melepaskan secara lambat melalui evaporasi. Evaporasi disebabkan oleh meningkatnya kegiatan molekul-molekul air yang memerlukan sejumlah energi. Dengan adanya uap air yang ditambahkan ke udara melalui evaporasi dalam jumlah besar mengakibatkan efek pendinginan di permukaan. Dari hasil estimasi, suhu permukaan minimum terdapat pada penutup lahan hutan. Hal ini disebabkan pada daerah tersebut banyak terbentuk kandungan uap air seperti kabut dan awan. Hal ini akan mengakibatkan suhu Penutupan Lahan Luas Area Ha Persentase Hutan 90.679 20.1 Tegalan 177.769 39.4 10 20 30 40 Hutan Tegal an Lahan Ter buka Pemuki man Badan Ai r Penut upan Lahan Lahan Terbuka 137.709 30.5 Pemukiman 33.659 7.5 Badan Air 11.004 2.4 Jumlah 450.820 100 permukaan yang terukur oleh citra adalah suhu permukaan dari kabut dan awan bukan suhu permukaan dari obyek yang dimaksud. Secara distribusi spasial nilai suhu permukaan dapat dilihat pada Lampiran 4. 4.4 Analisis Distribusi Spasial Suhu Udara Dari hasil pendugaan per waktu, suhu udara dibandingkan dengan suhu udara hasil pengukuran stasiun meteorologi suhu udara reference . Hubungan antara suhu udara pendugaan dengan suhu udara reference dapat dilihat pada gambar 3,4,5 dan 6. Dari grafik hubungan antara suhu udara pendugaan dan suhu udara reference dapat dilihat bahwa nilai R square nya besar yakni di atas 0,5. Hal ini menunjukkan bahwa kisaran nilai suhu udara hasil pedugaan nilainya tidak berbeda jauh dengan suhu udara hasil pegukuran dari stasiun meteorologi. Tabel 6. Kisaran Nilai Suhu Udara Pendugaan Pada Pukul 07.00 WIB. Suhu Udara o C Penutup Lahan Min Maks Hutan 21 27 Tegalan 23 26 Lahan Terbuka 26 29 Pemukiman 26 30 Badan Air 21 25 Tabel 7. Kisaran Nilai Suhu Udara Pendugaan Pada Pukul 13.00 WIB. Suhu Udara o C Penutup Lahan Min Maks Hutan 24 29 Tegalan 25 28 Lahan Terbuka 27 32 Pemukiman 28 34 Badan Air 24 28 Tabel 8. Kisaran Nilai Suhu Udara Pendugaan Pada Pukul 18.00 WIB. Suhu Udara o C Penutup Lahan Min Maks Hutan 22 28 Tegalan 23 26 Lahan Terbuka 26 29 Pemukiman 27 30 Badan Air 22 27 y = 0.9539x + 1.1278 R 2 = 0.9269 23.0 23.5 24.0 24.5 25.0 25.5 26.0 26.5 27.0 27.5 28.0 23 24 25 26 27 28 29 Ta Pendugaan Gambar 3. Hubungan Ta pendugaan dan Ta reference pada pukul 07.00 WIB. y = 0.8806x + 3.2512 R 2 = 0.8626 26.0 26.5 27.0 27.5 28.0 28.5 29.0 29.5 30.0 30.5 31.0 26 27 28 29 30 31 32 Ta Pendugaan Gambar 4. Hubungan Ta pendugaan dan Ta reference pada pukul 13.00 WIB. y y = 0.6458x + 9.5743 R 2 = 0.9023 25.0 25.5 26.0 26.5 27.0 27.5 28.0 28.5 29.0 29.5 25 26 27 28 29 30 31 Ta Pendugaan Gambar 6. Hubungan rata-rata Ta pendugaan dan Ta reference. = 0.9348x + 1.703 R 2 = 0.7824 25.0 25.5 26.0 26.5 27.0 27.5 28.0 28.5 29.0 26 26 27 27 28 28 29 29 30 Ta Pendugaan Gambar 5. Hubungan Ta pendugaan dan Ta reference pada pukul 18.00 WIB. Hasil estimasi suhu udara di Kabupaten Bungo, menunjukan kisaran suhu udara tertinggi terdapat pada tutupan lahan pemukiman. Hal tersebut dapat diperhatikan pada Tabel 9 dan Gambar 7 dengan kisaran suhu udara 28 C - 34 C. Tabel 9. Kisaran Nilai Rata-Rata Suhu Udara Pendugaan Pada Setiap Penutupan Lahan. Suhu Udara o C Penutup Lahan Min Maks St.dev Hutan 23 28 1.87 Tegalan 24 27 1.29 Lahan Terbuka 27 32 1.87 Pemukiman 28 34 2.16 Badan Air 22 26 1.58 Gambar 7. Rataan Suhu Udara Pada Setiap Penutupan Lahan. Sesuai dengan mekanisme peningkatan suhu udara di suatu wilayah, pengaruh suhu permukaan terhadap kondisi udara di atasnya terjadi melalui konduksi semu yakni perpindahan panas pada lapisan udara yang sangat tipis beberapa millimeter dekat permukaan boundary layer dan dikatakan semu karena tidak sepenuhnya merupakan proses perpindahan secara konduksi. Selanjutnya terjadi perpindahan panas secara konveksi, yaitu panas dipindahkan bersama-sama dengan molekul-molekul udara yang bergerak. Sehingga udara yang dipanaskan oleh permukaan bumi akibat radiasi matahari akan mengembang dan naik menuju tekanan yang lebih rendah. Proses konveksi ini menyebabkan suatu pola dengan interval suhu udara tinggi di permukaan pada penutup lahan pemukiman dan lahan terbuka. Hal ini disebabkan karena pada daerah pemukiman mempunyai kalor spesifik panas jenis yang lebih rendah dibanding panas jenis di penutupan lahan lainnya serta keadaannya lebih kering dan permukaan terbuka yang langsung menerima radiasi matahari. Faktor lain yang menyebabkan suhu udara wilayah ini tinggi adalah aktivitas lalu lintas yang sangat ramai dan kawasan pemukiman penduduk yang padat. Sedangkan proses konveksi dengan pola interval suhu udara menurun pada jenis penutup lahan hutan, tegalan dan badan air. Hal ini disebabkan karena rendahnya tingkat evapotranspirasi dari air dan tanaman. Faktor lain yang dapat mempengaruhi suhu udara menurun yaitu kecepatan angin, jika kecepatan angin tinggi maka proses pergerakan massa udara yang banyak mengandung uap air hasil dari evapotranspirasi akan semakin cepat menguap. Secara distribusi spasial nilai suhu udara dapat dilihat pada Lampiran 5.

4.5 Estimasi Kelembaban Relatif Dari