Rencana pengembangan ruang terbuka hijau berdasarkan distribusi suhu permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) di kabupaten Bandung

(1)

RENCANA PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU

BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN

DAN

TEMPERATURE HUMIDITY INDEX

(THI)

DI KABUPATEN BANDUNG

SEPTA FEBRINA HEKSAPUTRI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

DAN

TEMPERATURE HUMIDITY INDEX

(THI)

DI KABUPATEN BANDUNG

SEPTA FEBRINA HEKSAPUTRI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

RINGKASAN

SEPTA FEBRINA HEKSAPUTRI. E34060649. Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan

Temperature Humidity Index (THI) di Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI.

Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang berada di Provinsi Jawa Barat dengan ibukota Soreang. Meningkatnya jumlah penduduk di Kabupaten Bandung menyebabkan kebutuhan lahan terbangun semakin meningkat. Kondisi ini mengakibatkan konversi lahan menjadi pemukiman dan fasilitas publik yang lain, sehingga ruang terbuka hijau berkurang. Dampak dari menurunnya luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah meningkatnya suhu dan menurunnya kelembaban udara pada suatu wilayah. Kondisi lingkungan seperti ini mengakibatkan ketidaknyamanan dan daerah ini perlu diidentifikasi sebagai prioritas pengembangan RTH. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi distribusi spasial suhu permukaan di beberapa tipe penutupan lahan, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan kaitannya terhadap ruang terbuka hijau, (2) Pemetaan Temperature Humidity Index (THI) atau indeks kenyamanan di Kabupaten Bandung dan (3) pengembangan RTH berdasarkan distribusi suhu permukaan dan THI.

Penelitian dilakukan di 13 kecamatan di Kabupaten Bandung. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa Landsat 7 ETM (Path/Row 122/065) tanggal 12 Mei 2001 dan 6 Agustus 2009 serta peta batas administratif Kabupaten Bandung. Pengolahan data citra Landsat 7 ETM dengan menggunakan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software ArcGIS 9.3 dan ERDAS Imagine 9.1, yang meliputi layer stack, koreksi geometrik, pemotongan citra, klasifikasi citra, dan uji akurasi. Pendugaan suhu permukaan dilakukan dengan menggunakan band 6. Hasil estimasi suhu digunakan untuk menduga kelembaban udara dan indeks kenyamanan (THI) di Kabupaten Bandung. Penentuan tutupan lahan bervegetasi juga dilakukan dengan menggunakan NDVI. Nilai NDVI digunakan untuk mengetahui hubungan antara suhu permukaan dan tutupan lahan.

Suhu permukaan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung berkisar antara <21 °C sampai 27 °C. Suhu permukaan pada RTH berkisar antara <21 °C sampai <23 °C, sedangkan suhu permukaan pada area terbangun 22 °C sampai <23 °C. Terjadi peningkatan suhu permukaan dari tahun 2001 sampai tahun 2009. Perubahan tersebut berhubungan dengan penurunan luasan RTH. RTH dapat diduga dengan nilai NDVI. Nilai NDVI > 0 merupakan vegetasi dan semakin mendekati 1, maka tajuk vegetasi semakin rapat. Semakin besar nilai NDVI maka semakin rendah suhu permukaan dan sebaliknya. Kabupaten Bandung hampir seluruhnya termasuk kedalam kelas nyaman pada tahun 2001 dan 2009, karena memiliki distribusi nilai THI <19 sampai 26. Kecamatan Pangalengan, Dayeuhkolot, dan Margahayu merupakan kecamatan yang menjadi prioritas pengembangan RTH.


(4)

Plan Based on Surface Temperature and Temperature Humidity Index Distribution of Bandung Regency. Under Supervision of LILIK BUDI PRASETYO and SITI BADRIYAH RUSHAYATI.

Bandung Regency is situated in West Java province with the capital in Soreang. The district has been experiencing the increase of population that lead to green space conversion for settlement and other public facilities. As a result there has been countinuing decrease of green space. Impact of green space are increase of air temperature and decrease of humidity. These environment conditions resulted in level of living comfort in some areas. Identification of such areas is needed certain as high priority area for green space development . The study aimed at : (1) identify the spatial distribution of surface temperature in some types of land cover, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) and its relation to the green open spaces, (2) mapping of Temperature Humidity Index (THI) or comfort index in the region of Bandung Regency and (3) Development of green space based on the distribution of surface temperature and THI.

The study was conducted in 13 sub districts in Bandung Regency. Materials used in this research are a Landsat 7 ETM (Path/Row 122/065) dated May 12, 2001 and August 6, 2009 and the administrative boundary map of Bandung Regency. Processing of Landsat 7 ETM image data using a set of computers equipped with software ArcGIS 9.3 and Erdas Imagine 9.1, which includes the layer stack, geometric correction, cropping the image, image classification, and test accuracy. Estimation of surface temperature was conducted by using band 6. Estimation results are used to estimate temperature and air humidity comfort index (THI) in the Bandung Regency. In addition, the determination of vegetation land cover was also done using NDVI. NDVI values were used to determine the relationship between surface temperature and land cover.

Bandung Regency surface temperature ranges from <21 °C to 27 °C. Surface temperature on the green space ranges from <21 °C to <23° C, while the surface temperature in the build-up area 22 °C to <23 °C. There was an increase in surface temperature from 2001 until 2009. The changes were associated with reduction of green space area. RTH can be predicted with NDVI values. NDVI values greater than 0 and less than 1 was vegetation. The greater surface temperature the lower the NDVI value and viceversa . Bandung Regency was mostly classified into the comfortable class in 2001 and 2009, since the city located on THI values < 19 to 26. Pangalengan, Dayeuhkolot and Margahayu were priority area for development green space.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Indeks (THI) di Kabupaten Bandung adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2011

Septa Febrina Heksaputri E34060649


(6)

(THI) di Kabupaten Bandung Nama : Septa Febrina Heksaputri

NRP : E34060649

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si NIP. 19620316 198803 1 002 NIP. 196507042 00003 1 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Februari 1988 sebagai anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Tatiasnaputra (alm) dan Siti Chodidjah. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SDN Pengadilan 2 Bogor (2000), SLTPN 5 Bogor (2003), dan SMAN 2 Bogor (2006). Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI). Pada tahun 2007, penulis memilih dan masuk jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.

Selama menjadi mahasiswi di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), yaitu sebagai anggota kelompok pemerhati mamalia (KPM) dan kelompok pemerhati fotografi konservasi (FOKA). Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitiaan, yakni panitia Open House 2007, panitia GEBYAR HIMAKOVA tahun 2008 dan panitia Bina Corps Rimbawan (BCR) pada tahun 2009. Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapang, yaitu Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA)-HIMAKOVA di Cagar Alam Gunung Simpang Jawa Barat, Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cagar Alam Sancang dan Cagar Alam Kamojang pada tahun 2008, Praktek Pengelolalan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2009, serta melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKL-P) di Taman Nasional Meru Betiri, Jember-Banyuwangi, Jawa Timur pada tahun 2010.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

skripsi yang berjudul ”Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH)

berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI)

di Kabupaten Bandung” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,


(8)

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah swt atas segala curahan rahmat dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) di Kabupaten Bandung”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada :

1. Ayahanda Tatiasnaputra (alm) dan Ibunda Siti Chodidjah tersayang, Abang

Dyat, Ayu Dyta, Ayu Devi, Ayu Deva, Ayu Fanny, A’ Yuyus, Acu Ade serta

keponakanku Cipa dan Ahdan atas segala bantuan doa, materiil, kasih sayang, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc., selaku dosen pembimbing pertama atas arahan, nasehat dan bimbingannya dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Ir. Siti Badriyah Rushayati M.Si., selaku dosen pembimbing kedua atas

ketersediaannya memberi bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ir. Nana Mulyana Arif Jaya, M.Sc., Ir. Jajang Suryana, M.Sc., dan Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop., selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu penulis selama kuliah

6. Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung, Badan Perencaan dan Pemeliharaan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bandung, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kelas I Dramaga, Bogor.

7. Teman-teman Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan : Muis Fajar, Noor Aenni, Arga Pandiwijaya, Amrizal Yusri, Pande Made Wisnu Temaja, Febriyanto Kolanus, Nur Izzatil, Harry TA, Amri Muhammad, Gamma NMS, Ka Ayam, Ka Budi, Ka Nina, Ka Bebi, Ka Muti, Ka Arul, Yasmin, atas bantuan, semangat dan dukungannya.


(9)

8. Teman-temanku : Reni Lestari, Catur Wulandari, Ari Listyowati, Andina Nugrahani, Indri Nilasari, Fiona Hanberia, Syafitri Hidayati, Afroh Mansyur, M. Yunus Ardian Saputra, Des Novar, dan keluarga besar Cendrawasih 43 KSHE atas bantuan dan kebersamaannya.

9. Tris Ramadhan yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan semangat selama ini.

10.Sahabatku : Gita, Dwie, dan Ekta atas semangat dan dukungannya.

11.Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

Bogor, April 2011


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

rahmat dan ridhoNya karya ilmiah yang berjudul “Rencana Pengembangan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) di Kabupaten Bandung” ini dapat terselesaikan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari pada penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, April 2011


(11)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penutupan Lahan ... 3

2.2 Rencana Tata Ruang Wilayah ... 6

2.3 Suhu dan Kelembaban ... 7

2.4 Temperature Humidity Index (THI) ... 9

2.5 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) ... 9

2.6 Pendugaan Suhu dengan Citra Satelit Landsat ... 9

2.7 Hubungan Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara ... 11

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 12

3.2 Alat dan Bahan ... 12

3.3 Metode Penelitian ... 13

3.4 Korelasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dengan Suhu ... 15

3.5 Estimasi Kelembaban Udara Relatif (RH) ... 16

3.6 Penentuan Temperature Humidity Index (THI) ... 16

3.7 Rekomendasi Pengembangan RTH berdasarkan Pengelompokkan Suhu ... 17

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis ... 18


(12)

4.2 Kondisi Fisik Lingkungan ... 18

4.3 Keadaan Penduduk ... 19

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Bandung ... 20

5.2 Ruang Terbuka Hijau ... 39

5.3 Distribusi Suhu Permukaan ... 42

5.4 Hubungan NDVI dengan Suhu Permukaan ... 57

5.5 Distribusi Kelembaban Udara Kabupaten Bandung ... 61

5.6 Distribusi Temperature Humidity Index (THI) di Kabupaten Bandung ... 70

5.7 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kabupaten Bandung ... 77

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 83

6.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(13)

iv

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Luas penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2001 ... 25

2. Luas penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2009 ... 30

3. Perubahan luas tutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009 ... 34

4. Luas konversi areal terbangun di Kabupaten Bandung periode tahun 2001-2009 ... 35

5. Perubahan luasan ruang terbuka hijau Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009 ... 39

6. Alih fungsi ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung ... 40

7. Luasan suhu permukaan di Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009 .. 42

8. Rata-rata suhu dominan pada penutupan lahan di lokasi penelitian wilayah Kabupaten Bandung ... 48

9. Hasil regresi NDVI dengan suhu permukaan ... 58

10. Luas kelembaban udara Kabupaten Bandung ... 61

11. Hasil regresi suhu udara dan kelembaban ... 61

12. Luas THI Kabupaten Bandung tahun 2001-2009 ... 71

13. Persentase luas kecamatan sebagai prioritas pengembangan RTH berdasarkan suhu dan THI ... 79


(14)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Peta lokasi penelitian ... 12

2. Vegetasi rapat berupa hutan di Kecamatan Ciwidey ... 21

3. Vegetasi jarang berupa perkebunan teh di Situ Patenggang ... 22

4. Lahan terbangun di Kopo ... 22

5. Lahan terbuka di Kecamatan Pasirjambu ... 23

6. Sawah di Kecamatan Soreang ... 23

7. Semak belukar di Kecamatan Baleendah ... 24

8. Sungai di Kecamatan Pasirjambu ... 24

9. Peta tutupan lahan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2001 ... 29

10. Peta tutupan lahan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2009 ... 33

11. Diagram penurunan vegetasi rapat tahun 2001-2009 ... 36

12. Diagram peningkatan vegetasi jarang tahun 2001-2009 ... 37

13. Peta tutupan lahan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009 ... 38

14. Diagram perubahan RTH Kabupaten Bandung tahun 2001-2009 ... 40

15. Peta sebaran suhu permukaan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2001 ... 44

16. Peta sebaran suhu permukaan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2009 ... 45

17. Diagram hubungan antara tutupan lahan 2001 dengan suhu permukaan tahun 2001 ... 46

18. Diagram hubungan antara tutupan lahan 2009 dengan suhu permukaan tahun 2009 ... 47

19. Perubahan luasan suhu permukaan Kabupaten Bandung tahun 2001-2009 ... 49

20. Peta sebaran suhu permukaan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2001-2009 ... 51


(15)

vi

21. Diagram korelasi NDVI dengan suhu permukaan Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009 ... 58 22. Peta sebaran nilai NDVI pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung

tahun 2001 ... 59 23. Peta sebaran nilai NDVI pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung

tahun 2009 ... 60 24. Diagram suhu dan kelembaban udara tahun 2001 dan 2009 ... 62 25. Peta sebaran kelembaban udara pada lokasi penelitian di Kabupaten

Bandung tahun 2001 ... 63 26. Peta sebaran kelembaban udara pada lokasi penelitian di Kabupaten

Bandung tahun 2009 ... 64 27. Diagram hubungan antara kelembaban udara tahun 2001 dengan

tutupan lahan tahun 2001 ... 65 28. Diagram hubungan antara kelembaban udara tahun 2009 dengan

tutupan lahan tahun 2009 ... 66 29. Diagram perubahan luasan distribusi kelembaban udara di Kabupaten

Bandung tahun 2001-2009 ... 67 30. Diagram perubahan luasan distribusi THI di Kabupaten Bandung ... 72 31. Peta sebaran nilai THI pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung

tahun 2001 ... 73 32. Peta sebaran nilai THI pada lokasi penelitian di Kabupaten

Bandung tahun 2009 ... 74 33. Peta sebaran tingkat kenyamanan pada lokasi penelitian di Kabupaten

Bandung tahun 2001 ... 75 34. Peta sebaran tingkat kenyamanan pada lokasi penelitian di Kabupaten


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Tutupan lahan Kabupaten Bandung per wilayah kecamatan ... 89

2. Konversi tutupan lahan periode tahun 2001-2009 ... 93

3. Luas distribusi suhu permukaan tahun 2001 terhadap tutupan lahan tahun 2001 ... 94

4. Luas distribusi suhu permukaan tahun 2009 terhadap tutupan lahan tahun 2009 ... 95

5. Luas distribusi suhu permukaan per wilayah kecamatan ... 96

6. Luas distribusi kelembaban per wilayah kecamatan ... 103


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah yang berada di wilayah Jawa Barat. Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah yang berada di wilayah Jawa Barat dengan ibukota Soreang. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumedang di utara, Kabupaten Garut di timur dan selatan, serta Kabupaten Cianjur di barat dan selatan.

Perluasan wilayah panas (UHI) setiap tahun diperkirakan mencapai 12.606 ha atau sekitar 4,47 %. Hal itu, dipicu oleh pertumbuhan kawasan terbangun yang mencapai 1.029 ha atau 0,36 %/tahun di kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, dan Bandung. Tursilowati (2007) mengklasifikasikan dari data satelit landsat bahwa dengan pasti terjadinya pengurangan kawasan vegetasi atau hutan di Bandung yang luas lahan hijaunnya berkurang 3.932 ha atau 1,4 %/tahun.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk setiap tahunnya, maka kebutuhan akan lahan terbangun pun semakin meningkat. Pada akhir tahun 2008 penduduk Kabupaten Bandung tercatat sebanyak 2.921.696 jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,03% per tahun (BPS 2009). Kebutuhan akan lahan terbangun untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia mengakibatkan konversi tipe penutupan lahan, sehingga ruang terbuka hijau yang terdapat pada suatu wilayah di Kabupaten Bandung mengalami penurunan. Dampak dari menurunnya luasan ruang terbuka hijau yaitu meningkatnya suhu udara dan menurunnya kelembaban pada suatu wilayah.

Menurut Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota. Berkurangnya luasan hutan atau RTH akibat perubahan penggunaan lahan menjadi permukiman, industri, sarana transportasi akan mengakibatkan berkurangnya keindahan dan kenyamanan kota, sehingga suhu kota menjadi naik dan lingkungan menjadi tidak nyaman. Kondisi lingkungan seperti ini mengakibatkan ketidaknyamanan dalam suatu wilayah, sehingga perlu


(18)

dilakukannya identifikasi wilayah kecamatan tertentu di Kabupaten Bandung sebagai prioritas pengembangan RTH.

Ruang Terbuka Hijau (RTH), termasuk jalur hijau, taman kota, dan hutan kota memegang peran penting dalam pembangunan perkotaan, terutama terkait dalam merancang masa depan perkotaan. Pengembangan RTH merupakan salah satu cara yang digunakan dalam rangka menjaga keseimbangan iklim mikro dan mengatasi menurunnya kualitas lingkungan. Keberadaan RTH ini memberikan dampak terhadap penurunan suhu udara, peningkatan kelembaban dan suasana kota menjadi lebih nyaman.

Penggunaan data penginderaan jauh memungkinkan untuk mendapatkan data spasial yang akurat dan cepat dalam waktu yang relatif singkat. Pemetaan suhu, kelembaban dan THI dilakukan untuk pengembangan ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung, sehingga didapatkan data-data dan informasi yang bermanfaat untuk merumuskan program dan kebijakan lingkungan bagi pemerintahan daerah dalam suatu kawasan.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi distribusi spasial suhu permukaan pada beberapa tipe penutupan lahan, NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan kaitannya dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

2. Pemetaan distribusi THI (Temperature Humidity Index) atau indeks kenyamanan di Kabupaten Bandung.

3. Pengembangan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kabupaten Bandung berdasarkan distribusi suhu permukaan dan THI.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk pengelolaan dan pengaturan tata ruang Kabupaten Bandung, serta sebagai bahan masukan untuk dasar kebijakan dalam pengambilan keputusan pemerintah mengenai pembangunan wilayah Kabupaten Bandung.


(19)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penutupan Lahan

Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut, sedangkan penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan tertentu (Lillesand dan Kiefer 1990). Menurut Burley (1961) dalamLo (1995) menggambarkan penutupan lahan sebagai konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh.

Perubahan penutupan lahan merupakan suatu keadaan yang karena manusia mengalami perubahan pada waktu yang berbeda (Lillesand dan Kiefer 1979). Deteksi perubahan lahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan di wilayah tertentu dan dari data tersebut penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan.

2.1.1 Ruang terbuka hijau

Ruang Terbuka Hijau (RTH) memegang peran penting dalam pembangunan perkotaan, terutama terkait dengan merancang masa depan perkotaan. RTH memiliki fungsi beragam, baik dari segi ekologi, ekonomi, dan sosial, seperti menjaga iklim atau temperatur, wahana rekreasi, dan menghasilkan tanaman produktif. Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengartikan ruang terbuka hijau merupakan area memanjang atau jalur dan atau mengelompok yang penggunaanya bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh alami ataupun secara sengaja.

Komponen-komponen RTH berdasarkan kriteria, sasaran dan fungsi penting, vegetasi serta intensitas manajemennya dalam Rencana Umum Tata Ruang Jakarta Tahun 1985 – 2005 dalam Nurcahyono (2003), yaitu:


(20)

1. Taman

Memiliki fungsi utama menghasilkan oksigen, sehingga tanaman yang dipilih untuk dibudidayakan adalah tanaman yang dapat menghasilkan oksigen tinggi.

2. Jalur Hijau

Pada jalur ini termasuk pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir.

3. Kebun dan Pekarangan

Pada kebun dan pekarangan ini hendaknya ditanam dengan jenis tanaman yang dapat mendukung lingkungan kota yang nyaman.

4. Hutan

5. Tempat-tempat rekreasi

Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota dan ayat 3 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota. Menurut Simonds (1983) dalam Wijayanti (2003), RTH di perkotaan memiliki fungsi yaitu: penjaga kualitas lingkungan, penyumbang ruang bernafas yang segar dan keindahan visual, sebagai paru-paru kota, penyangga sumber air dalam kota, mencegah erosi dan sarana pendidikan.

Dalam INMENDAGRI No.14 Tahun 1988 adapun manfaat RTH, yaitu: 1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan

penyangga kehidupan.

2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan kehidupan lingkungan.

3. Sebagai sarana rekreasi.

4. Sebagai pengaman lingkungan perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran.

5. Sebagai sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan. 6. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah.

7. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. 8. Sebagai pengatur tata air.


(21)

6

2.1.2 Hutan kota

Menurut Dahlan (2004), hutan kota merupakan suatu lahan yang bertumbuhan pepohonan di dalam wilayah perkotaan pada tanah negara maupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pohon-pohonan, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai hutan kota. Fakuara (1987) dalam Dahlan (1992), mendefinisikan hutan kota adalah tumbuhan atau vegetasi berkayu di perkotaan yang bermanfaat sebesar-besarnya bagi lingkungan dalam kegunaan proteksi, estetika, rekreasi, dan kegunaan khusus lainnya. Hutan kota merupakan bagian dari program RTH, yaitu ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun memanjang atau jalur dan dalam penggunaannya bersifat terbuka tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988).

Hutan kota memiliki peranan, yaitu sebagai identitas kota, pelestarian plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel padat dari udara, penyerap dan penjerap partikel timbal, penyerap dan penjerap debus semen, peredam kebisingan, mengurangi bahaya hujan asam, penyerap karbon monoksida, penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen, penahan angin, penyerap dan penapis bau, mengatasi penggenangan, mengatasi intrusi air laut, produksi terbatas, ameriolasi iklim, pengelolaan sampah, pelestarian air tanah, penapis cahaya silau, meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung, mengurangi stres, mengamankan pantai terhadap abrasi, meningkatkan industri pariwisata, sebagai hobi dan pengisi waktu luang (Dahlan 1992).

2.2 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan fungsi budidaya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan. Perencanaan tersebut meliputi aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang. Perencanaan tata ruang mencakup


(22)

perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya.

Menurut PP No. 3 Tahun 2009 tentang Petunjuk Operasional Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten menerangkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten merupakan rencana tata ruang administratif Kota/Kabupaten yang merupakan penjabaran dari RTRW Propinsi yang meliputi tujuan pemanfaatan ruang, rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang, rencana umum tata ruang Kota/Kabupaten dan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kota/Kabupaten. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWKN) adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara (UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008).

2.3 Suhu dan Kelembaban

Suhu merupakan energi kinetik rata-rata dari gerakan molekul-molekul (Handoko 1993). Heat island merupakan suatu fenomena dimana suhu udara kota yang padat bangunan lebih tinggi daripada suhu terbuka di sekitarnya baik di desa maupun pinggir kota (Adiningsih et al 2001 dalam Wardhana 2003). Pada umumnya suhu udara tertinggi berada di pusat kota akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota sampai ke desa.

Menurut Lowry dalam Griffith (1976) ; Wardhana (2003), perbedaan suhu udara antara perkotaan dengan pedesaan disebabkan oleh lima sifat fisik permukaan bumi, yaitu:

1. Bahan Penutup Permukaan

Perkotaan memiliki permukaan yang terdiri dari beton dan semen yang konduktivitas kalornya sekitar tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanah berpasir yang basah. Hal ini menyebabkan permukaan kota menerima dan menyimpan energi lebih banyak daripada pedesaan.

2. Bentuk dan Orientasi Permukaan

Bentuk dan orientasi permukaan kota lebih bervariasi dari pada daerah pinggir kota atau pedesaan, sehingga energi matahari yang datang dipantulkan berulang kali dan akan mengalami beberapa kali penyerapan dan disimpan dalam bentuk panas (heat), serta padatnya kota dapat


(23)

8

mengubah pola aliran udara yang bertindak sebagai perombak dan meningkatkan turbulensi.

3. Sumber Kelembaban

Di perkotaan air hujan cenderung menjadi aliran permukaan, akibat adanya permukaan semen,parit, selokan, dan pipa-pipa saluran drainase. Di daerah pedesaan sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah sehingga cadangan air untuk penguapan dapat menyejukkan udara. Air menyerap panas lebih banyak sebelum suhu menjadi naik 10C dan memerlukan waktu yang lama untuk melepaskannya.

4. Sumber Kalor

Bertambahnya sumber kalor akibat dari aktivitas dan panas metabolisme penduduk diakibatkan oleh kepadatan penduduk kota yang semakin tinggi. 5. Kualitas Udara

Udara di perkotaan mengandung banyak bahan-bahan pencemar yang berasal dari kegiatan industri dan kendaraan bermotor sehingga mengakibatkan kualitas udaranya menjadi lebih buruk bila dibandingkan kualitas udara di pedesaan. Banyaknya bangunan-bangunan bertingkat dan tingkat pencemaran yang tinggi di perkotaan dapat menyebabkan timbul kubah debu (dust home), yaitu selubung polutan yang menyelimuti kota. Hal ini disebabkan pola sirkulasi atmosfir di atas kota yang unik dan mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu yang tajam antara perkotaan dengan daerah di sekitanya.

Kelembaban udara mengambarkan kandungan uap air yang berada di udara (Handoko 1993). Kartasapoetra (2008) menjelaskan bahwa kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Keadaan kelembaban di atas permukaan bumi berbeda-beda. Kelembaban udara yang lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada siang hari disebabkan karena penambahan uap air hasil evapotranspirasi dari permukaan. Proses ini berlangsung karena permukaan tanah menyerap radiasi selama siang hari tersebut. Pada malam hari akan berlangsung proses kondensasi atau pengembunan yang memanfaatkan uap air yang berasal dari udara. Oleh karena itu kandungan uap air di udara dekat permukaan tersebut akan berkurang (Soedomo 2001).


(24)

2.4 Temperature Humidity Index (THI)

Temperature Humidity Index atau dikenal juga dengan indeks kelembaban panas merupakan metode yang digunakan untuk mengkaji tingkat kenyamanan di suatu daerah. Metode ini menghasilkan suatu indeks untuk menetapkan efek dari kondisi panas pada kenyamanan manusia yang mengkombinasikan suhu dan kelembaban (Encyclopedia 2003). Beberapa ahli telah berusaha untuk menyatakan pengaruh parameter-parameter iklim terhadap kenyamanan manusia dengan bantuan persamaan yang mengandung dua atau lebih parameter iklim. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Mulyana, et al (2003), didapatkan bahwa indeks kenyamanan pada suatu kondisi yang nyaman berkisar dengan nilai THI 20-26.

2.5 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

Hung (2000) menjelaskan bahwa nilai NDVI menggambarkan tingkat kehijauan biomassa dan merupakan indikator yang baik untuk menentukan status (kesehatan, kerapatan) vegetasi pada suatu wilayah namun tidak berhubungan langsung dengan ketersediaan air tanah pada wilayah tersebut. Estimasi NDVI dengan basis data satelit merupakan perhitungan kanal cahaya tampak dan inframerah dekat. Pigmen pada daun, klorofil, menyerap gelombang cahaya

tampak (0,4 μm sampai 0,7 μm), dan struktur sel daun memantulkan gelombang inframerah dekat (0,7 μm sampai 1,1 μm).

2.6 Pendugaan Suhu dengan Citra Satelit Landsat

Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa pengukuran suhu biasanya meliputi penempatan instrumen pengukur yang bersentuhan dengan atau terbenamkan dalam badan yang diukur suhunya (suhu kinetik). Suhu kinetik

merupakan ungkapan “internal” terjemahan tenaga rata-rata molekul yang

menyusun tubuh. Disamping ungkapan internal, objek memancarkan tenaga sebagai fungsi suhunya. Tenaga yang dipancarkan merupakan ungkapan

“eksternal” keadaan tenaga objek yang dapat diindera dari jarak jauh dan


(25)

10

Kenampakan permukaan bumi memancarkan radiasi terutama pada gelombang inframerah termal.

Lillesand (1997) mengemukakan bahwa penginderaan jauh thermal menjelaskan secara ringkas kemungkinan untuk memperoleh, menggambarkan dan menginterpretasikan keadaan panas dipermukaan bumi. Pendefinisian energi thermal sering mengacu kepada energi yang dipancarkan dari permukaan bumi. Berdasarkan sumber energi radiasi dari matahari, panjang gelombang dipancarkan dari energi matahari lebih pendek daripada gelombang panjang dari permukaan bumi. Lillesand (1997) juga menjelaskan bahwa radiasi matahari memberikan energi maksimumnya pada kisaran spektral tampak (0,3-0,7 μm). Sedangkan untuk permukaan bumi dengan suhu permukaan sebesar 300 K memberikan nilai

pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9,7 μm yang merupakan

kisaran radiasi infrared. Maka, penginderaan jauh thermal banyak dilakukan pada daerah spektrum antara 8-14 μm.

Setiap pengurangan 50% RTH akan menyebabkan peningkatan suhu udara sebesar 0,4 °C hingga 1,8 0C sedangan penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0,2 0C hingga 0,5 0C. Hal ini membuktikan arti pentingnya mempertahankan RTH. Pengurangan atau penambahan RTH menyebabkan peningkatan ataupun penurunan suhu udara dengan besaran berbeda dengan akan mengakibatkan (Effendy 2001).

Berdasarkan penelitian Maulida (2008) mengenai perubahan lahan dan suhu permukaan di kota Bandung didapatkan sebaran suhu permukaan di kota Bandung berbentuk mengelompok yaitu di daerah ruralmeliputi selang suhu ≥14 0

C sampai dengan selang <22 0C, daerah sub urban meliputi selang suhu ≥22 0C hingga <25 0C, sedangkan daerah urbanmeliputi selang suhu ≥26 0C hingga ≥31 0

C, berdasarkan korelasi antara NDVI dengan suhu permukaan serta estimasi band 6 pada citra landsat 7 ETM pada periode tahun 1997, 2002 dan 2006.

Penelitian Waluyo (2009) mengenai distribusi suhu permukaan di kota Semarang berdasarkan korelasi antara NDVI dengan suhu permukaan serta estimasi band 6 pada citra landsat 7 ETM pada periode tahun 2001-2006

mempunyai nilai suhu antara ≥20 0

C hingga ≥34 0C. Berdasarkan penelitian Tursilowati (2007) mengenai perubahan iklim dan lingkungan kota Semarang,


(26)

menggunakan data landsat 1994 dan 2002 didapatkan bahwa di Semarang terdapat daerah dengan suhu 17 0C-28 0C mengalami penurunan luas, dan daerah dengan suhu 29 0C-37 0C mengalami penambahan luas, sehingga disimpulkan Kota Semarang telah terjadi peningkatan suhu udara akibat adanya perubahan lahan dari lahan bervegetasi menjadi non vegetasi.

Penelitian Wardhana (2003) mengenai pengukuran suhu udara di Kota Bogor, berdasarkan estimasi dari band 7 yang telah dikorelasikan dengan data suhu stasiun permukaan menghasilkan model regresi umum untuk kasus kota Bogor tahun 2001 didapatkan suhu tertinggi adalah kelas penutupan lahan industri dan pemukiman yaitu 27 0C-29 0C. Sedangkan hasil penelitian Khusaini (2008) didaptkan bahwa secara umum di Kota Bogor tipe penutupan lahan yang mengalami perluasan yang paling banyak adalah tipe pemukiman, sejalan dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun, hal ini menunjukkan bahwa semakin besar luas pemukiman, maka suhu semakin meningkat.

2.7 Hubungan Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara

Berdasarkan undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2 menetapkan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dan ayat 3 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Ruang terbuka hijau adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur. dengan perbandingan unsur tanaman yang lebih luas dan memiliki fungsi utama sebagai perlindungan kawasan sekitarnya. Zulkarnain (2006) menyatakan bahwa RTH memiliki manfaat yaitu memberikan hasil terhadap kebutuhan kenyamanan, kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam.


(27)

12

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli – November 2010 di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, meliputi 13 kecamatan di wilayah tersebut. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1 Peta administrasi Kabupaten Bandung.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan paket Sistem Informasi Geografis (perangkat keras dan lunak) dengan softwareErdas Imagine 9.1, ArcGIS 9.3, DNR Garmin 5.4.1, SPSS 15, dan Microsoft Office 2007. Alat yang digunakan di lapangan meliputi Global Positioning System (GPS), kamera digital dan alat tulis.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra Landsat ETM (+) path/row : 122/065, dengan tanggal akuisisi 12 Mei 2001 dan 6 Agustus 2009,


(28)

peta administrasi Kabupaten Bandung dan data statistik Kabupaten Bandung yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Bandung, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dari Badan Planologi Kehutanan dan Data Klimatologi berupa suhu minimum, suhu maksimum, suhu rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata Kabupaten Bandung yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kelas I Bogor.

3.3 Metode Penelitian

Data citra diproses dan dianalisis agar didapatkan informasi yang dibutuhkan, sehingga dilakukan tahapan pemrosesan citra landsat, yaitu:

1. Pemulihan citra (Image Restoring)

Terdapat perubahan yang dialami oleh citra pada saat pengambilan citra oleh satelit, sehingga dilakukan perbaikan radiometrik dan geometrik. Perbaikan radiometrik bertujuan untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang disebabkan oleh gangguan atmosfer ataupun kesalahan sensor. Perbaikan geometrik dapat dilakukan dengan mengambil titik-titik ikat di lapangan atau menggunakan citra yang telah terkoreksi.

2. Penajman citra (Image Enhancment)

Penajaman citra dilakukan agar suau objek pada citra terlihat lebih tajam dan kontras, sehingga dapat memudahkan interpretasi secara visual.

3. Pemotongan (subset) wilayah kajian

Pemotongan citra dilakukan sesuai dengan lokasi penelitian yang telah ditentukan berdasarkan pada batas administrasi wilayah Kabupaten Bandung. Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi objek penelitian. Citra yang terkoreksi dipotong menggunakan Area of Interest (AOI). Citra satelit landsat yang digunakan path/row : 122/065 tahun 2001 dan 2009.

4. Survey lapangan

Survey lapangan bertujuan untuk mengetahui kondisi lapangan dan perubahan penutupan lahan. Pengambilan titik kontrol dilakukan tidak secara menyeluruh, melainkan hanya beberapa tempat saja yang dianggap dapat mewakili masing-masing kelas klasifikasi penutupan lahan. Setiap lokasi


(29)

14

survey yang mewakili masing-masing kelas penutupan lahan, diambil titik koodinatnya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) untuk diverifikasikan dengan data citra.

5. Klasifikasi tutupan lahan

Interpretasi citra Landsat ETM+ dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penggunaan/penutupan lahan pada citra yang dibantu dengan unsur-unsur interpretasi (Avery, 1992; Lillesand dan Kiefer, 1997). Klasifikasi citra diperlukan untuk mengetahui sebaran dan luas tipe penutupan lahan di wilayah studi. Klasifikasi citra yang digunakan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) yaitu melalui proses pemilihan kategori informasi atau kelas yang diinginkan, yang selanjutnya memilih training area yang mewakili tiap kelas atau kategori untuk penentuan posisi contoh di lapangan dengan bantuan citra warna komposit dan peta penutupan lahan untuk setiap kelas penutupan lahan yang dibantu dengan data pengecekan lapang.

Tahapan yang dilakukan dalam klasifikasi terbimbing menggunakan software Erdas Imagine 9.1 antarlain:

a. Pengenalan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra dengan berpedoman pada titik kontrol yang diambil pada lokasi penelitian menggunkan GPS.

b. Pemilihan daerah (area of interest) yang diidentifikasi sebagai satu tipe penutupan lahan berdasarkan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra.

c. Proses klasifikasi citra yang dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan pola-pola spektral yang telah ditetapkan pada saat proses pemilihan daerah. Klasifikasi citra pada wilayah penelitian meliputi: vegetasi rapat, vegetasi jarang, sawah, semak, lahan terbangun, lahan terbuka, awan dan bayangan awan.

d. Menggabungkan daerah-daerah yang memiliki tipe penutupan lahan yang sama (recode).

e. Citra hasil klasifikasi dikoreksi dengan membandingkannya dengan citra sebelum diklasifikasi.


(30)

T =

6. Estimasi suhu

Pengestimasian nilai suhu permukaan menggunakan software Erdas Imagine 9.1, kemudian dibangun sebuah model pada model maker yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilai – nilai pixel pada landsat 5 TM dan band 6. Hal yang perlu diperhatikan adalah nilai DN (Digital Number) untuk dilakukan konversi menjadi nilai radiasi. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilai digital menjadi nilai radiasi (USGS 2002).

Radiasi = gain x DN (digital number) + offset

Nilai gain sebesar 0,05518, digital number adalah dengan band 6 dan nilai offset sebesar 1,2378. Konversi band 6 pada Landsat 5 TM dan 7 ETM kemudan dilakukan untuk mengetahui suhu permukaan (USGS 2002):

3.4 Korelasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dengan Suhu NDVI merupakan salah satu cara yang efektif dan sederhana untuk mengidentifikasikan kondisi vegetasi di suatu wilayah, dan metode ini cukup berguna dan sudah sering digunakan dalam menghitung indeks kanopi tanaman hijau pada data multispectral penginderaan jauh. Secara defenisi matematis, dengan menggunakan NDVI, maka suatu wilayah dengan kondisi vegetasi yang rapat akan memiliki nilai NDVI yang positif. Nilai NDVI perairan bebas akan cenderung bernilai negatif.

NDVI pada dasarnya adalah menghitung seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. Tumbuhan hijau menyerap radiasi matahari pada bagian photosynthetically active radiation (PAR). Nilai NDVI merupakan perbedaan reflektansi dari kanal inframerah dekat dan kanal cahaya tampak (merah). Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai +1, yang artinya bahwa jika wilayah tersebut semakin hijau rapat suatu vegetasi, maka nilai NDVI semakin besar. Nilai NDVI semakin kecil jika berada pada suatu wilayah yang jarang atau tidak ada vegetasi. Persamaan untuk menghitung NDVI adalah NDVI

Keterangan : T : Suhu Efektif (K)

K2 : Konstanta Kalibrasi 2 (Tabel 2) K3 : Konstanta Kalibrasi 1 (Tabel 1) : Spektral Radiasi (W/(m2*ster*µm)


(31)

16

y = a + bx

= (NIR – VIS)/(NIR+VIS), dengan NIR merupakan Reflektansi kanal inframerah dekat/near infrared (kanal 2) dan VIS merupakan Reflektansi kanal cahaya tampak/infrared (kanal 2).

Analisis korelasi dan regresi dilakukan untuk memperoleh tingkat hubungan antara NDVI dengan suhu ditentukan dengan bentuk persamaan yang akan dicoba adalah regresi linier sederhana antara NDVI sebagai variabel bebas X dan suhu permukaan sebagai variabel tak bebas y dengan persamaan umum adalah y = b0 + b1*x. Besarnya nilai b1 yang negatif akan menentukan berapa besarnya pengurangan nilai x yang dapat meningkatkan nilai y.

3.5 Estimasi Kelembaban Udara Relatif (RH)

Data kelembaban didapatkan dari stasiun BMKG Kelas I Dramaga Bogor dan pengukuran langsung yang dilakukan Rushayati (2010) pada beberapa tipe penutupan lahan. Estimasi nilai kelembaban berdasarkan hasil regresi antara suhu rata-rata dan kelembaban rata-rata di Kabupaten Bandung. Regresi sederhana yang didapatkan, yaitu :

Berdasarkan rumus regresi sederhana, y merupakan kelembaban variabel terikat, sedangkan x merupakan variabel bebas. Nilai DN dari suhu permukaan digunakan sebagai nilai x untuk penentuan wilayah sebaran kelembaban. Hasil regresi yang didapatkan dimasukkan ke dalam software Erdas Imangine, sehingga didapatkan peta sebaran kelembaban.

3.6 Penentuan Temperature Humidity Index (THI)

Penentuan indeks kenyamanan atau THI dapat ditentukan dari nilai suhu udara (0C) dan kelembaban (RH) dengan menggunakan persamaan Nieuwolt, 1975 dalam D. Murdiyarso dan H. Suharsono, 1992, yaitu:

Keterangan : T a : Suhu Udara (

o

C) RH : Kelembaban relatif (%)


(32)

3.7Rekomendasi Pengembangan RTH Berdasarkan Pengelompokkan Klasifikasi Suhu

Berdasarkan hasil perhitungan indeks kenyamanan atau THI didapatkan proposi RTH suatu wilayah. Peta penutupan lahan dan peta administrasi wilayah di overlay dengan peta sebaran suhu, yang kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas suhu dan THI. Dari data tersebut dapat diketahui sebaran suhu pada suatu daerah, dan dapat diidentifikasi daerah mana saja yang memiliki suhu permukaan yang tinggi, rendah, ataupun sedang, sehingga dapat direkomendasikan ruang terbuka hijau yang sesuai dengan kondisi lingkungan.


(33)

18

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1Letak Geografis

Kabupaten Bandung merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Daerah ini memiliki ibukota yaitu Soreang. Secara geografis

letak Kabupaten Bandung berada pada posisi 107° 22’ –108° 5’ Bujur Timur dan

6° 41’ –7° 19’ Lintang Selatan. Luas Kabupaten Bandung adalah 176.238,67 ha.

Kabupaten Bandung memiliki batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut : Sebelah Utara : Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota

Cimahi.

Sebelah Timur : Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut.

Sebelah Selatan : Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur dan di bagian tengah terletak kota Bandung dan kota Cimahi.

Sebelah Barat : Kabupaten Bandung Barat.

Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, 267 desa dan sembilan kelurahan. Pada akhir tahun 2008 jumlah penduduk Kabupaten Bandung mencapai 2.921.696 jiwa.

4.2Kondisi Fisik Lingkungan 4.2.1Topografi

Kabupaten Bandung sebagian besar merupakan pegunungan atau daerah perbukitan dengan ketinggian diatas permukaan laut bervariasi dari 500 – 1.800 m dpl. Kabupaten Bandung terdiri dari wilayah datar/landai, kaki bukit, dan pegunungan dengan kemiringan lereng beragam antara 0 – 8%, 8% - 15% hingga >45%. Sebagian besar wilayah Bandung adalah pegunungan. Di antara puncak-puncaknya adalah: Sebelah utara terdapat Gunung Bukittunggul (2.200 m), Gunung Tangkubanperahu (2.076 m) (Wilayah KBB) di perbatasan dengan Kabupaten Purwakarta. Di daerah selatan terdapat Gunung Patuha (2.334 m), Gunung Malabar (2.321 m), serta Gunung Papandayan (2.262 m) dan Gunung Guntur (2.249 m), keduanya di perbatasan dengan Kabupaten Garut.


(34)

4.2.2Klimatologi

Kabupaten Bandung berada di dataran tinggi atau pegunungan sehingga menjadikan suhu udara di kabupaten ini menjadi sejuk, yaitu berkisar antara 12 0C

– 24 0C. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim muson dengan curah hujan rata-rata antara 1.500 mm sampai dengan 4.000 mm per tahun. Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, Kabupaten Bandung termasuk pada tipe iklim tropika basah. Menurut klasifikasi iklim Schmidt and Ferguson, Kabupaten Bandung termasuk kedalam tipe iklim C. Kabupaten Bandung memiliki suhu rataan tahunan sebesar 23,4 0C, dengan suhu rataan bulanan terendah 22,9 0C pada bulan Februari dan tertinggi sebesar 24,4 0C pada bulan November.

4.2.3 Geologi

Keadaan geologis dan tanah terbentuk pada zaman kwartier dan mempunyai lapisan tanah alluvial hasil letusan Gunung Tangkuban Perahu. Jenis material tanah bagian utara berjenis andosol, sedangkan bagian selatan dan timur terdiri dari sebaran jenis alluvial kelabu dan bahan endapan tanah liat, serat bagian tengah dan barat berjenis andosol.

4.3 Keadaan Penduduk

Pada akhir tahun 2007, berdasarkan hasil rekapitulasi data jumlah penduduk Kabupaten Bandung tercatat sebanyak 2.902.129 jiwa. Akhir tahun 2008, jumlah penduduk Kabupaten Bandung menjadi 2.921.696 jiwa dengan laju pertumbuhan 0,03% dan kepadatan penduduk 1.647 jiwa/km2 (BPS 2009).


(35)

20

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Penutupan Lahan Kabupaten Bandung

Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Pengertian selanjutnya untuk penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan tertentu (Lillesand & Kiefer 1990). Burley (1961) dalam Lo (1995) yang menggambarkan penutupan lahan sebagai konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Secara umum terdapat tiga kelas data yang mencakup dalam penutupan lahan, yaitu:

1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia.

2. Fenomena biotik vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang. 3. Tipe-tipe pembangunan.

Menurut Lo (1995) satu faktor penting yang menentukan kesuksesan dalam pemetaan penggunaan dan penutupan lahan, terletak pada pemilihan skema klasifikasi yang tepat untuk suatu tujuan tertentu. Adapun sistem klasifikasi penggunaan dan penutupan lahan menurut United State Geological Survey (USGS) memiliki kriteria sebagai berikut: (1) tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh tidak kurang dari 85%, (2) ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama, (3) hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain, (4) sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas, (5) kategori harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutup lahnnya, (6) sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda, (7) kategori harus dapat dirinci ke dalam sub kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan, (8) pengelompokkan kategori harus dapat dilakukan, (9) harus dapat dimungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan dan penutupan lahan


(36)

pada masa yang akan datang, dan (10) lahan multiguna harus dapat dikenali bila mungkin.

Interpretasi dan analisis citra dilakukan menggunakan Landsat 7 ETM path/row 122/065 pada 12 Mei 2001 dan 6 Agustus 2009 yang disubset dengan wilayah administrasi Kabupaten Bandung, sehingga didapatkan hasil interpetasi citra landsat wilayah penelitian di Kabupaten Bandung melalui klasifikasi terbimbing dengan luas total penutupan lahan sebesar 68.064,21 ha, yaitu dengan klasifikasi penutupan lahan sebagai berikut:

1. Vegetasi rapat

Tipe penutupan lahan untuk vegetasi rapat di lokasi penelitian berupa hutan alam dan hutan tanaman. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009, kelas ini berwarna hijau tua/gelap. dan untuk proses klasifikasinya dicirikan dengan warna hijau tua. Gambar 2 merupakan tipe penutupan lahan berupa vegetasi rapat di Kecamatan Ciwidey.

Gambar 2 Hutan di Kecamatan Ciwidey.

2. Vegetasi jarang

Tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang pada lokasi peneltian berupa kebun campur, kebun/perkebunan, taman, dan jalur hijau. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009, kelas ini berwarna hijau muda. Pengklasifikasian penutupan lahan ini digunakan warna yang sama yaitu hijau muda. Tipe penutupan vegetasi jarang berupa perkebunan teh di Situ Patenggang dapat dilihat pada Gambar 3.


(37)

22

Gambar 3 Perkebunan teh di Situ Patenggang.

3. Lahan terbangun

Tipe penutupan lahan terbangun ini berupa pasar atau pertokoan, jalan raya, permukiman, industri dan perkantoran. Pada hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009, tipe penutupan lahan ini berwarna merah sampai ungu gelap dan pada proses klasifikasi dicirikan dengan warna merah. Tipe penutupan lahan berupa lahan terbangun dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Pertokoaan/pasar di Kopo Sayati.

4. Lahan terbuka

Lahan terbuka dalam tipe penutupan lahan ini merupakan areal proyek pembangunan yang awalnya merupakan areal yang bervegetasi dan berupa lahan kosong yang tidak bervegetasi yang tidak dimanfaatkan. Gambar 5 merupakan gambar tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka di Kecamatan Pasirjambu. Pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009, penutupan lahan terbuka ini berwarna merah muda. Proses klasifikasi lahan terbuka ini dicirikan dengan warna ungu.

Septa Febrina-Vegetasi jarang di Situ Patenggang


(38)

Gambar 5 Lahan terbuka di Kecamatan Pasirjambu.

5. Sawah

Sawah dapat berupa sawah yang beririgasi dan sawah tadah hujan. Tipe penutupan sawah pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009 untuk wilayah penelitian di Kabupaten Bandung dicirikan dengan warna biru keunguan, sedangkan pada proses pengklasifikasiannya diberi warna biru tua. Pada Gambar 6 merupakan tipe penutupan lahan berupa sawah di Kecamatan Soreang.

Gambar 6 Sawah di Kecamatan Soreang.

6. Semak

Tipe penutupan lahan ini berupa semak belukar dan padang rumput. Tipe penutupan lahan berupa semak di Kecamatan Baleendah dapat dilihat pada Gambar 7. Pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009 dicirikan dengan warna kuning, sedangkan pada pengklasifikasian pun dicirikan dengan warna kuning.

Septa Febrina-Areal terbuka di Kec.Pasirjambu


(39)

24

Gambar 7 Semak belukar di Kecamatan Baleendah.

7. Badan air

Badan air pada Kabupaten Bandung berupa sungai dan danau. Sungai biasanya berbentuk panjang dan berkelok-kelok, sedangkan danau biasanya relatif besar dan lebih terlihat jelas pada citra. Pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009 dicirikan dengan warna biru tua dan pada proses pengklasifikaannya juga diberi warna biru tua. Gambar 8 merupakan gambar badan air berupa sungai di Kecamatan Pasirjambu.

Gambar 8 Sungai di Kecamatan Pasirjambu.

8. Tidak ada data

Tipe tidak ada data ini berupa awan dan bayangan awan. Pada tipe kelas ini dipengaruhi oleh kondisi cuaca pada saat pengambilan citra. Awan dipengaruhi oleh iklim lokal, tetapi kondisi tersebut tidak menjadi patokan karena kawasan di Indonesia memiliki penutupan awan yang cukup tinggi (Nurcahyono 2003). Tipe penampakan bayangan awan terbentuk karena adanya awan (Waluyo 2009). Pada tipe tidak ada data ini juga berupa stripping (bergaris). Hal ini terjadi karena setelah tahun 2003 satelit perekaman citra mengalami kerusakan, sehingga

Septa Febrina-Semak belukar di Kec. Baleendah


(40)

citra landsat yang didapatkan pada tahun 2009 mengalami stripping. Hasil dan luasan agar diperoleh nilai yang sama, maka citra landsat tahun 2001 diberi perlakuan dengan menyamakan data stripping dengan tahun 2009. Luas wilayah tidak ada data ini sebesar 149.339,52 ha. Pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009, awan, bayangan awan dan stripping berturut-turut berwarna putih, hitam dan hitam. Hasil pengklasifikasiaan untuk kelas tidak ada data dicirikan dengan warna putih.

5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009

Berdasarkan klasifikasi citra landsat 7 ETM pada tahun 2001, didapatkan klasifikasi penutupan lahan lokasi penelitian di Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1 Luas penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2001

No Tutupan Lahan Luas

Hektar (ha) Persen (%)

1 Vegetasi rapat 28.245,69 12,99

2 Lahan terbangun 18.183,42 8,36

3 Lahan terbuka 8.219,61 3,78

4 Vegetasi jarang 6.397,83 2,94

5 Sawah 3.494,79 1,61

6 Semak 1.849,41 0,85

7 Badan air 1.673,46 0,77

8 Tidak ada data 149.339,52 68,69

Total 217.403,73 100,00

Analisis hasil uji akurasi yang telah dilakukan untuk citra landsat 7 ETM dengan tanggal akuisisi 12 Mei 2001, didapatkan nilai akurasi Overall Classification Accuracy sebesar 81,03% dan Overall Kappa Statistics 72,10%. Badan Survey Seologi Amerika Serikat (USGS) menetapkan tingkat ketelitian interpretasi minimum tidak kurang dari 85% dan ketelitian untuk beberapa kategori kurang lebih sama. Hasil uji akurasi kappa yang didapatkan adalah kurang dari 85%. Hal ini dapat disebabkan karena titik GPS yang diperoleh kurang banyak dan tidak semua tersebar secara merata pada daerah penelitian, serta perbedaan waktu antara waktu pengambilan citra dengan pengambilan titik di lapangan. Hal ini juga berarti bahwa terjadi perubahan penutupan lahan yang cukup banyak yang terjadi pada kurun waktu tahun 2001 sampai dengan tahun 2009 serta waktu pada saat pengambilan titik di lapangan yaitu tahun 2010.


(41)

26

Berdasarkan Tabel 1, tipe penutupan Kabupaten Bandung diklasifikasikan menjadi delapan tipe penutupan lahan. Tipe penutupan lahan terluas pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung adalah kelas tidak ada data sebesar 149.339,52 ha atau sebesar 68,69% dari luas wilayah keseluruhan. Hal ini disebabkan karena adanya awan dan bayangan awan yang menutupi tutupan lahan yang ada dibawahnya, serta karena citra landsat yang digunakan berbentuk stripping.

Vegetasi rapat merupakan tipe penutupan lahan terluas pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung. Luasan vegetasi rapat pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung sebesar 28.245,69 ha (12,99%). Tipe penutupan lahan ini berupa hutan yang masih banyak dan cukup luas, terutama pada pinggiran Kecamatan Ciwidey, Pasirjambu dan sebelah selatan dan timur Pangalengan. Kecamatan Pasirjambu memiliki vegetasi rapat yang terluas di lokasi penelitian yaitu sebesar 118.89,72 ha atau 41,96%. Kecamatan lainnya yang memiliki vegetasi rapat yang cukup luas adalah Kecamatan Ciwidey dan Pangalengan berturut-turut adalah 7.416,27 ha atau sebesar 26,17% dan 6.343,56 ha atau sebesar 22,35%, sedangkan Kecamatan Margahayu tidak memiliki vegetasi rapat di wilayahnya. Kecamatan lainnya memiliki luas vegetasi rapat kurang dari sekitar 1 ha sampai dengan kurang dari 1.000 ha per kecamatan.

Lahan terbangun merupakan tipe penutupan lahan yang memiliki luas wilayah yang luas setelah vegetasi rapat yaitu sebesar 18.183,42 ha atau 8,36% dari luas lokasi penelitian di Kabupaten Bandung. Tipe penutupan lahan ini menyebar pada seluruh wilayah lokasi dan menyebar paling banyak di bagian utara Kabupaten Bandung, karena pada wilayah ini berbatasan langsung dengan pusat Kota Bandung. Kecamatan Pangalengan merupakan wilayah yang memiliki lahan terbangun paling luas diantara wilayah lainnya yaitu sebesar 3.452,67 ha atau sebesar 18,85% dari luasan lahan terbangun di lokasi penelitian Kabupaten Bandung. Kecamatan lainnya yang memiliki lahan terbangun yang cukup luas adalah Kecamatan Ciwidey sebesar 2.270,61 ha dengan persentase 12,40% dan Kecamatan Pasirjambu memiliki lahan terbangun sebesar 1839,15 ha atau 10,04%. Kecamatan lainnya memiliki luas lahan terbangun kurang dari 10%.

Lahan terbuka yang teridentifikasi pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung memiliki luas sebesar 8.219,61 ha dengan persentase 3,78%. Tipe


(42)

penutupan lahan ini merupakan lahan kosong yang tidak bervegetasi dan areal proyek pembangunan. Berdasarkan klasifikasi interpretasi citra, kecamatan yang memiliki lahan terbuka terluas adalah Kecamatan Ciwidey sebesar 2.253,87 ha dengan persentase 27,29%. Kecamatan Pangalengan memiliki luas tutupan lahan berupa lahan terbuka yang cukup luas sebesar 2.055,87 ha atau sebesar 24,90% dari luas lahan terbuka pada wilayah penelitian di Kabupaten Bandung. Kecamatan lainnya yang memiliki luas lahan terbuka yang luas yaitu Pasirjambu yaitu 1.711,89 ha atau sebesar 20,73%, sedangkan untuk kecamatan lainnya memiliki luas tipe penutupan lahan terbuka kurang dari 1.000 ha/kecamatan.

Tipe penutupan lahan vegetasi jarang memiliki luas 6.397,83 ha atau sebesar 2,94% dari luas Kabupaten Bandung yang digunakan untuk penelitian. Vegetasi jarang yang ada pada lokasi penelitian ini berupa kebun campur, kebun, hutan tanaman, taman, dan jalur hijau. Kecamatan Pangalengan memiliki luas vegetasi jarang paling luas, yaitu sebesar 1.881,99 ha atau sebesar 29,34% dari luasan vegetasi jarang yang terdapat pada lokasi penelitian. Kecamatan Ciwidey dan Pasirjambu juga memiliki luas vegetasi jarang sebesar 1.777,50 ha (27,71%) dan 1.748,88 ha (27,26%). Sedangkan wilayah kecamatan lainnya memiliki luas vegetasi jarang sekitar 0,5-500 ha/kecamatan.

Sawah memiliki luas sebesar 3.494,79 ha atau sebesar 1,61% dari luasan wilayah penelitian. Kecamatan yang memiliki luas sawah paling besar adalah Kecamatan Bojongsoang sebesar 1.086,66 ha dengan persentase 30,84%, sedangkan wilayah kecamatan yang memiliki luas sawah paling kecil adalah Kecamatan Margahayu sebesar 19,26 ha atau 0,55% dari luasan sawah pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung. Sawah yang terdapat pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung memiliki luas yang berkisar antara 19 ha sampai tidak lebih dari 1.100 ha/kecamatan.

Tipe penutupan lahan semak dan rumput memiliki luas 1.849,41 ha atau sebesar 0,85%. Kecamatan yang memiliki wilayah semak paling besar adalah Kecamatan Ciwidey sebesar 505,71 ha atau sebesar 27,20% dari total luasan semak. Kecamatan lainnya yang memiliki luas semak cukup besar adalah Kecamatan Pasirjambu yaitu sebesar 410,04 ha atau sebesar 22,06% dari luas semak di lokasi penelitian di Kabupaten Bandung. Kecamatan Pangalengan,


(43)

28

Soreang, Baleendah dan Cimaung juga memiliki luas wilayah semak yang cukup besar yaitu lebih dari 100 ha/kecamatan. Kecamatan Pangalengan memiliki luas semak sebesar 353,88 ha (19,03%). Kecamatan Soreang memiliki luas semak sebesar 226,35 ha atau sebesar 12,18%. Kecamatan Baleendah dan Cimaung memiliki wilayah semak berturut-turut yaitu 105,39 ha (5,67%) dan 102,24 ha (5,50%). Kecamatan lainnya memiliki luas kurang dari 100 ha/kecamatan. Pada citra landsat 7 ETM, tipe penutupan lahan ini dicirikan dengan warna kuning.

Badan air merupakan kelas klasifikasi yang memiliki luas terkecil diantara kelas penutupan lahan yang lain yaitu sebesar 1.673,46 ha atau 0,77% dari luas wilayah penelitian. Berdasarkan klasifikasi interpretasi citra, kecamatan yang memiliki luas badan air yang paling besar adalah Kecamatan Bojongsoang sebesar 277,11 ha (16,42%). Kecamatan lainnya yang memiliki badan air yang cukup luas adalah Kecamatan Pangalengan dan Balendah sebesar 222,48 ha atau 13,18% dan 216 ha atau 12,80% dari luas lokasi penelitian di Kabupaten Bandung. Kecamatan Banjaran juga memiliki luas wilayah badan air sebesar 181,08 ha atau sebesar 10,73%. Kecamatan lainnya memiliki luas wilayah badan air sebesar 48-150 ha/kecamatan. Badan air yang teridentifikasi untuk wilayah penelitian di Kabupaten Bandung ini berupa sungai dan danau. Sungai pada citra landsat tidak terlalu nampak karena berukuran kecil tetapi menyebar pada wilayah penelitian di Kabupaten Bandung.


(44)

Gambar 9 Peta tutupan lahan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2001.


(45)

30

Berdasarkan klasifikasi citra landsat 7 ETM dengan akuisisi citra tanggal 6 Agustus 2009 wilayah lokasi penelitian di Kabupaten Bandung, didapatkan tipe penutupan lahan pada Tabel 2 di bawah ini yaitu:

Tabel 2 Luas penutupan lahan Kabupaten bandung tahun 2009

No Tutupan Lahan Luas

Hektar (ha) Persen (%)

1 Lahan terbangun 24.884,82 11,45

2 Vegetasi rapat 19.587,87 9,01

3 Vegetasi jarang 14.550,48 6,69

4 Lahan terbuka 4.824,63 2,22

5 Semak 2.659,95 1,22

6 Sawah 1.134,36 0,52

7 Badan air 422,01 0,19

8 Tidak ada data 149.339,61 68,69

Total 217403,73 100,00

Berdasarkan uji akurasi yang dilakukan, citra landsat tahun 2009 memiliki akurasi Overall Classification Accuracy sebesar 85,34% dan Overall Kappa Statistics sebesar 79,03%. Berdasarkan Tabel 2 didapatkan kelas tidak ada data memiliki luas yang besar yaitu 149.339,61 ha atau 68,69% dari luasan total wilayah penelitian. Hal ini dikarenakan adanya awan, bayangan awan dan stripping pada citra.

Lahan terbangun merupakan tutupan lahan terbesar setelah tipe tidak ada data dengan luas 24.884,82 ha atau sebesar 11,45%. Pada tipe penutupan lahan ini terjadi peningkatan lahan terbangun pada periode tahun 2001-2009. Berdasarkan klasifikasi citra landsat tahun 2009, kecamatan yang memiliki luas lahan terbangun terbesar adalah Kecamatan Pangalengan sebesar 4.919,13 ha atau 20,53% dari luas lahan terbangun yang teridentifikasi pada wilayah ini. Kecamatan Ciwidey memiliki lahan terbangun yang luas juga yaitu 3.470,85 ha atau 14,48%. Kecamatan lainnya yang memiliki luas lahan terbangun yang cukup luas yaitu Kecamatan Soreang, Cimaung, Baleendah, dan Banjaran dengan luas berturut-turut 2.279,34 ha (9,51%); 2.087,64 ha (8,71%); 2.070,36 ha (8,64%); dan 2.051,73 ha (8,56%). Kecamatan lainnya memiliki lahan terbangun dengan luas kurang dari 2.000 ha/kecamatan.

Berdasarkan Tabel 2, tipe penutupan yang cukup luas setelah lahan terbangun adalah vegetasi rapat. Tipe tutupan lahan ini memiliki luas 19.587,87


(46)

ha atau sebesar 9,01%. Pada tipe penutupan lahan ini, wilayah yang memiliki vegetasi rapat terluas adalah Kecamatan Pasirjambu sebesar 9.082,71 ha atau sebesar 22,76%. Kecamatan Ciwidey memiliki luas vegetasi rapat seluas 5.386,5 ha atau sebesar 27,40% dari luas vegetasi rapat di Kabupaten Bandung. Kecamatan Pangalengan memiliki wilayah vegetasi rapat yang cukup luas juga yakni 4.473,54 ha atau sebesar 22,76%. Kecamatan lainnya memiliki luas sekitar 17-500 ha/kecamatan.

Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 2009, tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang memiliki luas 14.550,48 ha atau sebesar 6,69% dari luas wilayah penelitian di Kabupaten Bandung. Vegetasi jarang ini menyebar pada seluruh wilayah kecamatan berupa kebun/perkebunan, kebun campur, taman, dan jalur hijau. Kecamatan yang memiliki vegetasi jarang paling banyak adalah Kecamatan Pasirjambu sebesar 4.170,69 ha atau sebesar 28,58%. Kecamatan Ciwidey memiliki vegetasi rapat yang luas setelah Kecamatan Pasirjambu sebesar 4.044,15 ha atau sebesar 27,71% dari luasan vegetasi jarang yang ada. Kecamatan Pangalengan juga memiliki vegetasi rapat yang cukup luas yaitu 3.427,38 ha (23,48%). Kecamatan lainnya memiliki vegetasi rapat dengan luas kurang dari 1.000 ha/kecamatan.

Tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka memiliki luasan sebesar 4.824,63 ha atau sebesar 2,22% dari total luasan lokasi penelitian di Kabupaten Bandung. Kecamatan yang memiliki luas paling besar adalah Kecamatan Ciwidey sebesar 1.237,59 ha dengan persentase 25,51%. Kecamatan yang memiliki lahan terbuka yang cukup luas juga yaitu Kecamatan Pangalengan dan Pasirjambu dengan luasan berturut-turut 1.199,88 (24,73%) dan 1.051,65 ha (21,67%). Kecamatan lainnya memiliki lahan terbuka dengan luas kurang dari 1.000 ha/kecamatan.

Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan luas tipe penutupan lahan. semak memiliki luas 2.659,95 ha atau sebesar 1,22% dari luas total lokasi penelitian. Kecamatan Soreang memiliki luas yang paling besar untuk tipe penutupan lahan berupa semak, yaitu sebesar 790,2 ha atau sebesar 29,51%. Kecamatan lainnya yang memiliki luas semak yang cukup banyak adalah pada kecamatan Pasirjambu sebesar 502,65 ha atau 18,77% dari luas total semak.


(47)

32

Kecamatan Ciwidey memiliki luas semak sebesar 409,50 ha atau 15,29%. Kecamatan Cimaung dan Pangalengan memiliki luas semak yang cukup luas juga sebesar 306,90 ha (11,46%) dan 274,05 ha (10,24%). Kecamatan lainnya memiliki luas semak dengan luasan kurang dari 200 ha/kecamatan.

Tipe penutupan lahan berupa sawah yang terdapat di lokasi penelitian di Kabupaten Bandung memiliki luas 1.134,36 ha dengan persentase 0,52%. Kecamatan yang memiliki luas sawah terbesar adalah pada Kecamatan Bojongsoang sebesar 204,3 ha atau 17,83%. Kecamatan Soreang memiliki luas sawah terbesar setelah Kecamatan Bojongsoang yaitu sebesar 178,02 ha atau sebesar 15,53%. Kecamatan lainnya yang memiliki sawah yang cukup besar adalah Kecamatan Banjaran, Pameungpeuk, dan Baleendah yaitu berturut-turut sebesar 146,25 ha (12,76%); 138,69 ha (12,10%); dan 103,41 ha (9,02%). Kecamatan lainnya memiliki luasan sawah kurang dari 100 ha/kecamatan.

Berdasarkan hasil analisis citra landsat tahun 2009, klasifikasi tipe badan air memiliki luasan terkecil yaitu sebesar 422,01 atau sebesar 0,19%. Pada tipe badan air ini berupa sungai dan danau. Sungai yang terdapat pada wilayah ini tersebar dan telah mengalami penurunan luas pada tahun 2009. Kecamatan Pangalengan memiliki luas terbesar untuk badan air, yaitu sebesar 163,26 ha atau sebesar 38,33 % dari luas badan air yang ada pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung. Kecamatan lainnya luasan badan air hampir merata yaitu kurang dari 100 ha/kecamatan.


(48)

Gambar 10 Peta tutupan lahan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2009.


(49)

34

5.1.2Perubahan penutupan lahan Kabupaten Bandung

Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009. Kabupaten Bandung telah mengalami perubahan penutupan lahan. Kurun waktu tahun 2001 dan 2009 terjadi perubahan luasan tipe penutupan lahan yang disajikan pada Tabel 3 dan diperlihatkan pada Gambar 13 yang berupa peta penutupan lahan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009.

Tabel 3 Perubahan luas tutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009

No Tutupan Lahan 2001 2009 Perubahan

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % 1 Badan air 1.673,46 0,77 422,01 0,19 -1251,45 -74,78 2 Vegetasi rapat 28.245,69 12,99 19.587,87 9,01 -8657,82 -30,65 3 Sawah 3.494,79 1,61 1.134,36 0,52 -2360,43 -67,54 4 Vegetasi jarang 6.397,83 2,94 14.550,48 6,69 8152,65 127,42 5 Lahan terbangun 18.183,42 8,36 24.884,82 11,44 6701,40 36,85 6 Lahan terbuka 8.219,61 3,78 4.824,63 2,21 -3394,98 -41,30 7 Semak 1.849,41 0,85 2.659,95 1,22 810,54 43,83 8 Tidak ada data 149.339,52 68,69 149.339,61 68,69 0,00 0,00

Total 217.403,73 100,00 217.403,73 100,00

Keterangan : (+) luas wilayah meningkat. (-) luas wilayah menurun.

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM didapatkan perubahan luasan tutupan lahan lokasi penelitian yang digunakan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung pada tahun 2001-2009. Pada tipe kelas tidak ada data, tidak ada perubahan luas yang terjadi, karena kedua citra tahun 2001 dan 2009 yang diolah diberi perlakuan yang sama yaitu upaya penyamaan awan dan bayangannya, serta penyamaan citra yang bergaris (stripping).

Perubahan peningkatan luas tipe penutupan lahan yang terbesar adalah pada tipe penutupan vegetasi jarang. Vegetasi jarang ini mengalami peningkatan luasan dari 6.397,83 ha atau 2,94% pada tahun 2001 menjadi 14.550,48 ha atau 6,69% pada tahun 2009. Perubahan paling besar kemungkinan terjadi karena berkurangnya tutupan lahan yang bervegetasi rapat menjadi areal pertanian. Tipe tutupan lahan lainnya yang mengalami peningkatan yang besar adalah pada areal lahan terbangun. Areal ini mengalami perubahan peningkatan areal lahan terbangun yaitu dari wilayah seluas 18.183,42 ha pada tahun 2001 menjadi 24.884,82 ha pada tahun 2009 atau terjadi peningkatan seluas 67.01,4 ha atau


(1)

108

Lampiran 7 lanjutan

No Nilai THI

Kecamatan Bojongsoang Kecamatan Cimaung

2001 2009 Perubahan 2001 2009 Perubahan

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

1 Tidak ada data 2.803,95 59,23 2.803,95 59,23 0,00 0,00 8.044,02 67,17 8.044,02 67,17 0,00 0,00

2 < 19 1,53 0,03 2,25 0,05 0,72 47,06 677,79 5,66 861,84 7,20 184,05 27,15

3 19 - < 20 2,43 0,05 100,53 2,12 98,10 4.037,04 358,29 2,99 366,21 3,06 7,92 2,21

4 20 - < 21 1,44 0,03 583,02 12,32 581,58 40.387,50 326,52 2,73 671,04 5,60 344,52 105,51

5 21 - < 22 286,29 6,05 284,85 6,02 -1,44 -0,50 991,98 8,28 600,39 5,01 -391,59 -39,48

6 22 - < 23 814,95 17,22 291,06 6,15 -523,89 -64,28 974,52 8,14 716,76 5,99 -257,76 -26,45

7 23 - < 24 548,46 11,59 284,04 6,00 -264,42 -48,21 396,27 3,31 418,05 3,49 21,78 5,50

8 24 - < 25 191,25 4,04 248,49 5,25 57,24 29,93 146,34 1,22 213,39 1,78 67,05 45,82

9 25 - < 26 52,02 1,10 115,65 2,44 63,63 122,32 53,73 0,45 71,37 0,60 17,64 32,83

10 26 - < 27 31,50 0,67 17,73 0,37 -13,77 -43,71 5,58 0,05 10,98 0,09 5,40 96,77

11 27 - < 28 0,00 0,00 1,62 0,03 1,62 0,00 0,00 0,00 0,99 0,01 0,99 0,00

12 28 - < 29 0,00 0,00 0,54 0,01 0,54 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

13 29 - < 30 0,00 0,00 0,09 0,00 0,09 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

14 >= 30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00


(2)

No Nilai THI

Kecamatan Ciwidey Kecamatan Dayeuhkolot

2001 2009 Perubahan 2001 2009 Perubahan

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

1 Tidak ada data 31.636,62 67,84 31.636,62 67,84 0,00 0,00 1.217,16 64,00 1.217,16 64,00 0,00 0,00

2 < 19 4.625,28 9,92 6.312,87 13,54 1.687,59 36,49 45,54 2,39 27,27 1,43 -18,27 -40,12

3 19 - < 20 3.084,39 6,61 2.844,09 6,10 -240,30 -7,79 18,18 0,96 15,03 0,79 -3,15 -17,33

4 20 - < 21 2.817,99 6,04 2.966,58 6,36 148,59 5,27 16,29 0,86 68,31 3,59 52,02 319,34

5 21 - < 22 2.743,56 5,88 1.338,57 2,87 -1404,99 -51,21 64,71 3,40 59,22 3,11 -5,49 -8,48 6 22 - < 23 1.177,92 2,53 955,98 2,05 -221,94 -18,84 133,20 7,00 90,63 4,77 -42,57 -31,96

7 23 - < 24 369,45 0,79 356,67 0,76 -12,78 -3,46 144,45 7,60 120,24 6,32 -24,21 -16,76

8 24 - < 25 112,32 0,24 130,14 0,28 17,82 15,87 104,76 5,51 150,30 7,90 45,54 43,47

9 25 - < 26 40,86 0,09 53,82 0,12 12,96 31,72 78,12 4,11 104,49 5,49 26,37 33,76

10 26 - < 27 21,15 0,05 26,37 0,06 5,22 24,68 65,79 3,46 41,49 2,18 -24,30 -36,94

11 27 - < 28 2,43 0,01 5,94 0,01 3,51 144,44 11,88 0,62 4,77 0,25 -7,11 -59,85

12 28 - < 29 0,18 0,00 3,69 0,01 3,51 1950,00 1,17 0,06 2,16 0,11 0,99 84,62

13 29 - < 30 0,00 0,00 0,18 0,00 0,18 0,00 0,45 0,02 0,72 0,04 0,27 60,00

14 >= 30 0,00 0,00 0,63 0,00 0,63 0,00 0,09 0,00 0,00 0,00 -0,09 -100,00


(3)

110

Lampiran 7 lanjutan

No Nilai THI

Kecamatan Ketapang Kecamatan Margaasih

2001 2009 Perubahan 2001 2009 Perubahan

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

1 Tidak ada data 2808,18 65,99 2808,18 65,99 0,00 0,00 2725,65 66,41 2725,65 66,41 0,00 0,00

2 < 19 4,05 0,10 4,68 0,11 0,63 15,56 6,93 0,17 3,33 0,08 -3,60 -51,95

3 19 - < 20 3,69 0,09 12,60 0,30 8,91 241,46 12,87 0,31 8,10 0,20 -4,77 -37,06

4 20 - < 21 3,33 0,08 216,72 5,09 213,39 6408,11 13,77 0,34 39,96 0,97 26,19 190,20

5 21 - < 22 127,80 3,00 192,87 4,53 65,07 50,92 43,20 1,05 95,67 2,33 52,47 121,46

6 22 - < 23 329,67 7,75 281,61 6,62 -48,06 -14,58 232,38 5,66 319,41 7,78 87,03 37,45

7 23 - < 24 547,83 12,87 281,25 6,61 -266,58 -48,66 406,26 9,90 293,85 7,16 -112,41 -27,67

8 24 - < 25 233,28 5,48 294,21 6,91 60,93 26,12 209,97 5,12 303,21 7,39 93,24 44,41

9 25 - < 26 126,18 2,96 153,36 3,60 27,18 21,54 179,28 4,37 272,61 6,64 93,33 52,06

10 26 - < 27 67,95 1,60 9,63 0,23 -58,32 -85,83 198,99 4,85 39,51 0,96 -159,48 -80,14

11 27 - < 28 3,51 0,08 0,63 0,01 -2,88 -82,05 70,65 1,72 2,70 0,07 -67,95 -96,18

12 28 - < 29 0,27 0,01 0,00 0,00 -0,27 -100,00 4,05 0,10 0,00 0,00 -4,05 -100,00

13 29 - < 30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

14 >= 30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00


(4)

Lampiran 7 lanjutan

No Nilai THI

Kecamatan Margahayu Kecamatan Pameungpeuk

2001 2009 Perubahan 2001 2009 Perubahan

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

1 Tidak ada data 541,71 51,71 541,71 51,71 0,00 0,00 3.584,43 69,07 3.584,43 69,07 0,00 0,00

2 < 19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8,37 0,16 3,96 0,08 -4,41 -52,69

3 19 - < 20 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8,37 0,16 59,58 1,15 51,21 611,83

4 20 - < 21 0,18 0,02 1,08 0,10 0,90 500,00 47,88 0,92 359,64 6,93 311,76 651,13

5 21 - < 22 1,26 0,12 6,75 0,64 5,49 435,71 325,26 6,27 272,52 5,25 -52,74 -16,21

6 22 - < 23 44,46 4,24 49,59 4,73 5,13 11,54 553,77 10,67 423,72 8,16 -130,05 -23,48

7 23 - < 24 111,24 10,62 96,48 9,21 -14,76 -13,27 420,75 8,11 254,79 4,91 -165,96 -39,44

8 24 - < 25 141,12 13,47 168,48 16,08 27,36 19,39 137,88 2,66 160,83 3,10 22,95 16,64

9 25 - < 26 104,31 9,96 146,61 13,99 42,30 40,55 71,91 1,39 57,15 1,10 -14,76 -20,53

10 26 - < 27 69,21 6,61 35,91 3,43 -33,30 -48,11 24,93 0,48 7,74 0,15 -17,19 -68,95

11 27 - < 28 33,39 3,19 0,99 0,09 -32,40 -97,04 2,61 0,05 4,41 0,08 1,80 68,97

12 28 - < 29 0,72 0,07 0,00 0,00 -0,72 -100,00 2,79 0,05 0,90 0,02 -1,89 -67,74

13 29 - < 30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,81 0,02 0,09 0,00 -0,72 -88,89

14 >= 30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00


(5)

112

Lampiran 7 lanjutan

No Nilai THI

Kecamatan Pangalengan Kecamatan Pasirjambu

2001 2009 Perubahan 2001 2009 Perubahan

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

1 Tidak ada data 24.248,07 62,16 24.248,07 62,16 0,00 0,00 32.001,48 63,83 32.001,48 63,83 0,00 0,00 2 < 19 4.394,97 11,27 5.172,57 13,26 777,60 17,69 8.989,20 17,93 11.978,10 23,89 2.988,90 33,25 3 19 - < 20 2.591,37 6,64 2.020,32 5,18 -571,05 -22,04 3.767,13 7,51 2.320,56 4,63 -1.446,57 -38,40 4 20 - < 21 2.496,51 6,40 2.573,46 6,60 76,95 3,08 2.148,39 4,28 1.746,36 3,48 -402,03 -18,71 5 21 - < 22 2.754,63 7,06 1.420,02 3,64 -1334,61 -48,45 2.064,42 4,12 851,76 1,70 -1.212,66 -58,74 6 22 - < 23 1.518,12 3,89 1.404,36 3,60 -113,76 -7,49 813,42 1,62 765,09 1,53 -48,33 -5,94

7 23 - < 24 639,45 1,64 871,74 2,23 232,29 36,33 256,95 0,51 304,83 0,61 47,88 18,63

8 24 - < 25 258,66 0,66 566,10 1,45 307,44 118,86 65,16 0,13 117,27 0,23 52,11 79,97

9 25 - < 26 81,99 0,21 331,74 0,85 249,75 304,61 20,97 0,04 39,15 0,08 18,18 86,70

10 26 - < 27 18,27 0,05 175,50 0,45 157,23 860,59 10,44 0,02 9,72 0,02 -0,72 -6,90

11 27 - < 28 6,21 0,02 98,91 0,25 92,70 1492,75 1,35 0,00 2,70 0,01 1,35 100,00

12 28 - < 29 2,25 0,01 61,56 0,16 59,31 2636,00 0,36 0,00 1,71 0,00 1,35 375,00

13 29 - < 30 0,45 0,00 40,68 0,10 40,23 8940,00 0,00 0,00 0,27 0,00 0,27 0,00

14 >= 30 0,00 0,00 25,92 0,07 25,92 0,00 0,00 0,00 0,27 0,00 0,27 0,00


(6)

No Nilai THI

Kecamatan Soreang

2001 2009 Perubahan

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

1 Tidak ada data 9.263,88 66,54 9.263,88 66,54 0,00 0,00

2 < 19 14,94 0,11 67,95 0,49 53,01 354,82

3 19 - < 20 241,74 1,74 361,17 2,59 119,43 49,40

4 20 - < 21 583,02 4,19 1.083,42 7,78 500,40 85,83

5 21 - < 22 1.583,46 11,37 806,22 5,79 -777,24 -49,08

6 22 - < 23 1.006,47 7,23 1.058,13 7,60 51,66 5,13

7 23 - < 24 716,31 5,15 647,37 4,65 -68,94 -9,62

8 24 - < 25 306,18 2,20 429,21 3,08 123,03 40,18

9 25 - < 26 135,99 0,98 175,41 1,26 39,42 28,99

10 26 - < 27 62,10 0,45 26,64 0,19 -35,46 -57,10

11 27 - < 28 7,47 0,05 2,07 0,01 -5,40 -72,29

12 28 - < 29 0,72 0,01 0,90 0,01 0,18 25,00

13 29 - < 30 0,09 0,00 0,00 0,00 -0,09 -100,00

14 >= 30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00