Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Indeks (THI) Kota Surakarta.

(1)

DAN

TEMPERATURE HUMIDITY INDEX

(THI)

DI KOTA SURAKARTA

GIGIH EKA PRATAMA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

RENCANA PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU

BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN

DAN

TEMPERATURE HUMIDITY INDEX

(THI)

DI KOTA SURAKARTA

GIGIH EKA PRATAMA

E34070004

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(3)

Hijau berdasarkan Distribusi Suhu Permukaandan Temperature Humidity Index (THI) Di Kota Surakarta. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI.

Kota Surakarta merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah yang berpotensi mengalami perkembangan pesat dalam pembangunan. Dengan luas kota yang hanya 4404,06 hektar merupakan kota yang relatif kecil dan terus mengalami pertambahan penduduk. Hal ini mengakibatkan bertambahnya luas lahan terbangun sekaligus mengurangi luas Ruang Terbuka Hijau di Kota Surakarta. Kondisi ini berdampak pada peningkatan suhu permukaan, menurunnya kelembaban, dan menimbulkan rasa tidak nyaman sehingga perlu diidentifikasi beberapa faktor sebagai salah satu informasi dalam perencanaan pembangunan RTH. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi distribusi spasial suhu permukaan Kota Surakarta di beberapa tipe penutupan lahan kaitannya dengan ruang terbuka hijau, Pemetaan Temperature Humadity Index (THI) atau indeks kenyamanan di Kota Surakarta, serta Pengembangan kawasan ruang terbuka hijau di Kota Surakarta berdasarkan distribusi suhu permukaan, THI, dan rencana pembangunan tata kota.

Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah menggunakan penginderaan jauh dengan menggunakan Landsat 7 ETM (Path 119 Row 065) tanggal akuisisi 9 September 2000 dan 8 September 2011 serta peta batas administrasif kota Surakarta. Data citra Landsat 7 ETM diolah dengan menggunakan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software ERDAS imagine 9.1, ArcGIS 9.3 melalui beberapa tahap pengolahan yaitu layerstack, koreksi geometrik, pemotongan citra, klasifikasi citra, dan uji akurasi. Pendugaan nilai suhu permukaan menggunakan band 6. Hasil dari suhu permukaan tersebut kemudian digunakan untuk menduga kelembaban udara dengan melakukan regresi linear suhu dan kelembaban udara yang didapatkan dari BMKG. Sedangkan indeks kenyamanan didapatkan dari pengolahan data suhu permukaan dan kelembaban udara menggunakan software ERDAS.

Kota Surakarta mempunyai suhu permukaan berkisar antara < 27oC sampai 41oC. Suhu permukaan pada RTH berkisar antara 28oC sampai < 31oC, lahan terbuka mempunyai suhu permukaan berkisar antara 35oC sampai < 36oC. Sedangkan lahan terbangun mempunyai selang suhu berkisar antara 33oC sampai 38oC. Suhu permukaan di Kota Surakarta mengalami penurunan dari tahun 2000 sampai tahun 2011. Perubahan tersebut berhubungan dengan peningkatan RTH berupa vegetasi rapat dan vegetasi jarang. Akan tetapi terjadi pula peningkatan luas lahan terbangun sehingga penurunan suhu permukaan tidak terlalu besar. Nilai indeks kenyamanan di Kota Surakarta berkisar antara 20 sampai 32, sebagian besar wilayah Kota Surakarta berada dalam kelas tidak nyaman karena berada pada selang THI lebih dari 26. Penentuan lokasi pembangunan RTH di Kota Surakarta diprioritaskan di Kecamatan Serengan dan Pasar kliwon. Pengembangan RTH disesuaikan bentuk kawasan yaitu kawasan pemukiman, perkantoran, pasar, dan pusat pemerintahan serta lahan terbuka.


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Rencana Pengembangan

Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Indeks (THI) Kota Surakarta” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si. Karya ilmiah ini belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasa atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2013

Gigih Eka Pratama E3407004


(5)

Nama : Gigih Eka Pratama NIM : E34070004

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. NIP. 19620316 198803 1 002

Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si. NIP. 19650704 200003 1 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung Timur, Lampung pada tanggal 1 Maret 1990 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Iman Purwoto dan Proyustitia. Penulis memulai pendidikan TK Al-Muslimin kemudian melanjutkan ke SD MIN Braja Sakti sampai tahun 2001. Penulis Melanjutkan jenjang pendidikannya di SMPN 1 Way Jepara dan melanjutkan studinya di SMA Negeri 1 Way Jepara. Penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE), Fakultas Kehutanan melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selain kegiatan Akademis, penulis juga aktif di berbagai organisasi di antaranya yaitu selama di Asrama TPB penulis menjadi Lurah Gedung C2 dan aktif di BEM TPB IPB. Pada Tahun kedua Penulis masuk ke Departemen KSHE dan Aktif di beberapa organisasi yaitu anggota dari DKM Ibaadurrahman dan HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata) sebagai anggota Kelompok Pemerhati Mamalia dan penulis pernah menjadi kepala Biro Infokom HIMAKOVA pada tahun 2009-2010. Pada tahun 2009 penulis menjadi Mahasiswa berpretasi 3 Departemen KSHE dan mahasiswa berprestasi 3 Fakultas Kehutanan. Selain itu juga penulis pernah menjadi finalis PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) dan delegasi IPB dalam Internasional Field Course bekerjasama dengan Vienna University, Austria.

Selama pendidikan penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Sancang Timur-Papandayan pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 2011 serta Praktek Kerja Lapang (PKLP) di Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti pada tahun 2011, Nusa Tenggara Timur. Selain itu penulis juga pernah mengikuti ekspedisi SURILI (Studi Konservasi Lingkungan) bekerja sama dengan LSM WWF (World Wildlife and Fund) di Pegunungan Muller-Schwaner Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya Kalimantan Barat pada tahun 2010.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Kehutanan penulis menyelesaikan skripsi berjudul “Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) Kota

Surakarta” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Dr. Ir. Siti


(7)

Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai tugas akhir yang berjudul “Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature

Humidity Index (THI) di Kota Surakarta”. Penulis menyadari bahwa karya ini

tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Ayahanda Imam Purwoto dan Ibunda tersayang Proyustitia, Adik-adikku tersayang Yanuar Irwanda, Rahma Fauziah Fitriyani dan Barkah yang telah memberikan inspirasi, dorongan moral, material, rasa kasih sayang serta do’anya kepada penulis.

2. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc., selaku dosen pembimbing pertama atas arahan, nasehat dan bimbingannya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

3. Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati M.Si., selaku dosen pembimbing kedua atas ketersediaannya memberikan arahan dan nasehat serta menjadi sosok Ibu bagi penulis yang dengan sabar memberikan bimbingan kepada penulis.

4.

Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si selaku moderator dalam seminar hasil penelitian yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis. 5. Dr.Ir. Tutut Sunarminto, M.Si, selaku dosen ketua sidang dan Dr. Ir. Lina

Karlina, S.Hut, M.Sc.F, selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan memberi masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

6. Pemerintah Daerah Kota Surakarta, Badan Perencaan dan Pemeliharaan Daerah (Bappeda) Kota Surakarta, Badan Lingkungan Hidup (BLH), Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surakarta, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Surakarta.

7. Ir. Joko Widodo, selaku Walikota Surakarta pada saat penulis mengambil data penelitian yang telah membantu, mendukung dan memberi arahan kepada penulis.

8. Ibu Endah dan staf Badan Lingkungan Hidup Kota Surakarta yang telah membantu penulis dalam pengambilan data penelitian.


(8)

ii

9. Yuliani (special one) beserta keluarga yang memberikan dukungan kepada penulis.

10. Teman-teman Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial : Reza Pradipta, Irham Fauzi, Angga Zaelani, Sri Gosleana, I Made Haribhawana, yang banyak memberi ilmu baru. Agus Prayitno, Age I Pertiwi, Ardi C Yunianto, Mahdi, mbak Caca dan bang Muis 43 terima kasih atas saran yang diberikan.

11. Keluarga besar KSHE 44 KOAK, Tim PKLP TN. Laiwangi Wanggameti : Aron, Septian, Rakhmi, Lita, Neina, Tutia rahmi, atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis.

12. Bu Evan, Bu Ratna, A’ Dudi, Mas Saipul, Babeh serta semua staf, pegawai

dan mamang bibi di Fakultas Kehutanan, terima kasih atas bantuan yang diberikan.

13. Semua pihak yang belum bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih.


(9)

karunia, rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga selama penyusunan skripsi dapat berjalan dengan lancar. Skripsi ini berujudul “Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan

dan Temperature Humidity Index (THI) Kota Surakarta” yang menjadi salah satu

persyaratan kelulusan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Seluruh hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi RTH serta menjadi pertimbangan bagi pengembangan dan pengelolaan RTH di Kota Surakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2013


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Ruang Terbuka Hijau... 4

2.2 Rencana Tata Ruang Wilayah ... 6

2.3 Hubungan Ruang Terbuka Hijau Dengan Peningkatan Suhu Udara ... 6

2.4 Iklim ... 8

2.4.1 Suhu udara ... 8

2.4.2 Kelembaban udara ... 8

2.5 THI (temperature humidity index) ... 9

2.6 Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Studi Pendugaan Suhu Permukaan ... 10

III. METODE PENELITIAN ... 13

3.1 Waktu dan Tempat... 13

3.2 Alat dan Bahan ... 14

3.3 Metode Penelitian ... 14

3.3.1 Penentuan plot pengamatan ... 14

3.3.2 Pengolahan data citra ... 14

3.3.3 Analisis data ... 16

IV. KONDISI UMUM ... 19

4.1 Kondisi Fisik ... 19

4.1.1 Letak dan luas ... 19

4.1.2 Topografi ... 20

4.1.3 Geologi dan tanah ... 20

4.1.4 Iklim ... 20


(11)

4.3 Ruang terbuka hijau Kota Surakarta ... 21

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

5.1 Penutupan Lahan Kota Surakarta ... 22

5.1.1 Penutupan lahan Kota Surakarta tahun 2000 dan 2011 .... 26

5.1.2 Perubahan luas penutupan lahan tahun 2000 dan 2011 .... 35

5.2 Distribusi Suhu Permukaan ... 42

5.2.1 Distribusi suhu permukaan Kota Surakarta tahun 2000 dan 2011 ... 42

5.2.2 Perubahan luas distribusi suhu permukaan Kota Surakarta ... 47

5.3 Distribusi Kelembaban Udara ... 50

5.3.1 Distribusi kelembaban udara Kota Surakarta tahun 2000 dan 2011 ... 50

5.4 Distribusi Temperature Humidity Index (THI) Kota Surakarta . 55 5.5 Ruang Terbuka Hijau... 60

5.5.1 Ruang terbuka hijau Kota Surakarta ... 60

5.5.2 Hubungan suhu udara dengan ruang terbuka hijau, area terbangun dan lahan terbuka ... 63

5.5.3 Ruang terbuka hijau perwilayah kecamatan ... 64

5.5.4 Pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Surakarta ... 69

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

6.1 Kesimpulan ... 74

6.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Konstanta K1 dan K2 untuk Landsat 5/TM dan Landsat 7/ETM ... 17

2 Klasifikasi nilai THI (Temperature Humidity Index) ... 18

3 Jumlah penduduk Kota Surakarta tahun 2010 ... 21

4 Luas penutupan lahan Kota Surakarta tahun 2000 ... 27

5 Luas penutupan lahan Kota Surakarta tahun 2011 ... 30

6 Perubahan penutupan lahan Kota Surakarta Tahun 2000 dan 2011 .. 35

7 Luas konversi tutupan lahan menjadi vegetasi rapat dan vegetasi jarang di Kota Surakarta periode tahun 2000 sampai tahun 2011 ... 37

8 Luas konversi tutupan lahan menjadi lahan terbangun dan lahan terbuka di Kota Surakarta periode tahun 2000 sampai tahun 2011 ... 39

9 Luas distribusi suhu permukaan Kota Surakarta tahun 2000 dan 2011 ... 42

10 Hasil regresi linear suhu udara dan Kelembaban ... 50

11 Luas kelembaban udara di Kota Surakarta tahun 2000 dan 2011 ... 51

12 Luas THI Kota Surakarta tahun 2000 dan 2011 ... 55

13 Sebaran kelas kenyamanan Kota Surakarta tahun 2000 dan 2011 .... 60

14 Perubahan luas ruang terbuka hijau Kota Surakarta tahun 2000 dan 2011... 60

15 Rata-rata suhu udara dominan pada penutupan lahan di Kota Surakarta ... 63

16 Perubahan luas ruang terbuka hijau tiap kecamatan di Kota 17 Surakarta tahun 2000-2011 ... 65

18 Persentase luasan kecamatan sebagai prioritas pengembangan RTH .berdasarkan suhu permukaan dan THI ... 70


(13)

1 Kerangka berfikir penelitian ... 3

2 Pembagian Ruang Terbuka Hijau berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 ... 4

3 Peta administrasi Kota Surakarta ... 13

4 Tutupan lahan berupa lahan terbangun. (a) Pemukiman warga, Kecamatan Banjarsari, (b) Pasar Kliwon, Kecamatan Pasar Kliwon. ... 22

5 Tutupan lahan berupa vegetasi rapat (a) Hutan tanaman jati, Kecamatan Jebres, (b) Sempadan sungai, Kecamatan Jebres. ... 23

6 Tutupan lahan berupa vegetasi jarang (a) Jalur hijau Kecamatan laweyan (b) TPU Mojo, Kecamatan Jebres. ... 23

7 Jalur rel kereta api, Kecamatan Serengan. ... 24

8 Tutupan lahan berupa badan air (a) Sungai Bengawan solo, Kecamatan Jebres, dan (b) Sungai Pepe, Kecamatan Serengan. ... 24

9 Alun-alun Kota Surakarta ... 25

10 Penutupan lahan berupa sawah. a) Sawah dengan padi yang dewasa, b) Sawah yang baru di tanam. ... 25

11 Stripping (Bergaris) ... 26

12 Peta tutupan lahan Kota Surakarta Tahun 2000 ... 29

13 Taman Sekartaji di bantaran Sungai Bengawan Solo, Kecamatan Jebres ... 31

14 Peta tutupan lahan Kota Surakarta tahun 2011 ... 34

15 Diagram perubahan luas vegetasi rapat dan vegetasi jarang Kota Surakarta tahun 2000-2011 ... 36

16 a) Penanaman pohon sala oleh Walikota Surakarta dan b) Kebun jabon milik masyarakat di Kecamatan Jebres. ... 37

17 Diagram peningkatan luas lahan terbangun di Kota Surakarta tahun 2000-2011 ... 39

18 Diagram penurunan luas sawah di Kota Surakarta tahun 2000-2011. ... 40

19 Peta tutupan lahan Kota Surakarta Tahun 2000 dan 2011 ... 41

20 Peta distribusi suhu permukaan Kota Surakarta tahun 2000 ... 45

21 Peta distribusi suhu permukaan Kota Surakarta tahun 2011 ... 46


(14)

viii

23 Peta perubahan distribusi suhu permukaan Kota Surakarta tahun

2000 dan 2011... 49

24 Diagram suhu dan kelembaban udara tahun 2000 dan 2011 ... 55

25 Peta distribusi kelembaban udara tahun 2000 ... 52

26 Peta distribusi kelembaban udara Kota Surakarta tahun 2011 ... 53

27 Peta perubahan kelembaban udara Kota Surakarta tahun 2000 dan 2011 ... 54

28 Peta distribusi THI (Themperature Humidity Index) Kota Surakarta tahun 2000 ... 57

29 Peta distribusi THI (Themperature Humidity Index) Kota Surakarta tahun 2011 ... 58

30 Peta perubahan distribusi THI (Themperature Humidity Index) Kota Surakarta tahun 2000 dan 2011... 59

31 Grafik perubahan luas ruang terbuka hijau tahun 2000 sampai 2011 62 32 Peta persebaran ruang terbuka hijau Kota Surakarta tahun 2000 ... 67

33 Peta persebaran ruang terbuka hijau Kota Surakarta tahun 2011 ... 68

34 Pemanfaatan ruang di sekitar pekarangan rumah ... 72

35 Rencana hutan kota berbentuk jalur di Jalan Timur Kusuma Sahid .. 73

36 Rencana pembangunan RTH berbentuk jalur di Jalan Yos Sudarso. 74


(15)

1 Tutupan lahan Kota Surakarta per wilayah kecamatan ... 82

2 Luas tutupan lahan tahun 2000 ... 83

3 Luas tutupan lahan tahun 2011 ... 84

4 Konversi tutupan lahan Kota Surakarta periode tahun 2000 sampai tahun 2011 ... 84

5 Konversi tutupan lahan Kecamatan Banjarsari periode tahun 2000 sampai tahun 2011 ... 85

6 Konversi tutupan lahan Kecamatan Jebres periode tahun 2000 sampai tahun 2011 ... 85

7 Konversi tutupan lahan Kecamatan Pasarkliwon periode tahun 2000 sampai tahun 2011 ... 86

8 Konversi tutupan lahan Kecamatan Serengan periode tahun 2000 sampai tahun 2011 ... 87

9 Konversi tutupan lahan Kecamatan Laweyan periode tahun 2000 sampai tahun 2011 ... 87

10 Luas distribusi suhu permukaan per wilayah kecamatan ... 88

11 Luas distribusi kelembaban per wilayah kecamatan ... 91

12 Luas distribusi THI per wilayah kecamatan ... 93

13 Perubahan luas RTH dan tutupan lahan di setiap kecamatan ... 96

14 Peta rencana pola pemanfaatan ruang di Kota Surakarta ... 97

15 Gambar sebaran RTH di Kota Surakarta ... 98


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ruang terbuka hijau merupakan kebutuhan di suatu perkotaan, keberadaan ruang terbuka hijau ini berfungsi untuk meningkatkan nilai estetika di suatu perkotaan, dan menjaga keseimbangan iklim mikro di suatu perkotaan. Mengingat pentingnya fungsi ruang terbuka hijau tersebut maka pemerintah menetapkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 yang menyatakan proporsi ruang terbuka hijau di suatu perkotaan paling sedikit 30% dari luas kota untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota.

Kota Surakarta merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah yang berpotensi mengalami perkembangan pesat dalam pembangunan. Luas kota yang mencapai 4404,06 Ha dengan jumlah penduduk di Kota Surakarta terus meningkat setiap tahun. Jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 500.642 jiwa dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 0,45 % per tahun (BPS 2010). Hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemeritah dalam pembukaan lahan baru untuk dijadikan area terbangun seperti permukiman, kawasan industri sentra perdagangan, dan sarana transportasi. Hal tersebut berpotensi mengakibatkan penurunan luas ruang terbuka hijau (RTH) yang ada di Kota Surakarta.

Salah satu dampak dari penurunan luas RTH tersebut yaitu berubahnya iklim mikro yang ada di Kota Surakarta. Dengan berkurangnya RTH akan mengakibatkan semakin meningkatnya suhu udara kota (Rijal 2008). Faktor iklim lain yang ikut berubah yaitu penurunan kelembaban udara yang menyebabkan kota menjadi tidak nyaman. Parameter untuk mengukur tingkat kenyamanan di suatu wilayah yaitu dengan menggunakan indeks kenyamanan atau Temperature

Humidity Index (THI), dengan diketahui nilai THI di wilayah Kota Surakarta ini

dapat menjadi acuan dalam penentuan lokasi yang membutuhkan dibangunnya ruang terbuka hijau.

Salah satu cara untuk menjaga iklim mikro dan kenyamanan suatu kota, perlu adanya pengembangan RTH yang disesuaikan dengan kondisi


(17)

perkembangan kota, namun keberadaan RTH yang penting ini kurang mendapat perhatian, terutama dalam tata letak penempatannya. Dengan diketahuinya lokasi-lokasi yang tepat dalam penempatan RTH, fungsi RTH dapat dimaksimalkan dalam memodifikasi suhu udara kota serta meredam panas. Oleh karena itu salah satu cara untuk membantu pemerintah dalam mengembangkan perencanaan pembangunan ruang terbuka hijau berdasarkan distribusi suhu udara, kelembababan, dan kenyamanannya. Hal ini dapat dilakukan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan metode perhitungan Temperature Humidity

Index (THI) untuk menentukan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau yang

sesuai dengan kebutuhan lingkungan Kota Surakarta.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah :

1. Mengidentifikasi perubahan tutupan lahan dan distribusi spasial suhu permukaan Kota Surakarta di beberapa tipe penutupan lahan kaitannya dengan ruang terbuka hijau.

2. Pemetaan Temperature Humadity Index (THI) atau indeks kenyamanan di Kota Surakarta.

3. Pengembangan kawasan ruang terbuka hijau di Kota Surakarta berdasarkan distribusi suhu permukaan, THI, dan rencana pembangunan tata kota.

1.3 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat menjadi informasi untuk pengelolaan dan pengaturan tata ruang Kota Surakarta, dan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan pengembangunan wilayah serta menjadi bahan evaluasi kebijakan Pemeritah dalam pembangunan Kota Surakarta.


(18)

3

Gambar 1 Kerangka berfikir penelitian.

Wilayah Kota Surakarta

Ruang terbangun Ruang terbuka hijau

Analisis citra landsat 7 ETM, suhu permukaan, kelembaban

udara dan THI

Peta distribusi ruang terbuka hijau

Peta distribusi suhu permukaan

Penentuan lokasi pembangunan ruang terbuka hijau

Rekomendasi pengembangan RTH dalam rangka menurunkan suhu permukaan di wilayah Kota Surakarta

Peta distribusi THI (Temperature

Humidity Index)


(19)

2.1 Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau dapat didefinisikan sebagai : (1) Suatu hamparan lapang yang ditumbuhi berbagai tumbuhanan pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu, dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk, dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tumbuh-tumbuhan hijau berkayu dan tahunan (parennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap, dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2008).

Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 mengatur tentang penataan ruang ruang terbuka hijau (RTH) di suatu wilayah perkotaan yaitu sebesar 40% dari keseluruhan wilayahnya. Pengaturan tentang penataan ruang wilayah kota berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Pembagian ruang terbuka hijau berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007.


(20)

5

Keberadaan RTH pada wilayah perkotaan diperlukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang telah tercemar sehingga mampu memperbaiki keseimbangan ekosistem kota. Hilangnya RTH merupakan pemicu munculnya heat island dan hilangnya pengendali emisi (gas buang) kota. Antara lain berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, perubahan sifat-sifat radioaktif termal, aerodinamik dan hidrologi, terjadi perubahan iklim setempat, sampai perubahan ekosistem alami (Setyowati 2008).

Moniaga (2008) menyebutkan bahwa RTH memiliki fungsi secara ekologi dalam ameliorasi iklim. RTH dapat memodifikasi suhu, pada siang hari daun-daun tanaman menyerap sinar matahari dalam proses asimilasi, yang mengubah gas CO2 dan air menjadi karbohidrat dan O2. Bersama vegetasi lain menguapkan

uap air melalui proses evapotranspirasi, oleh karena itu suhu dibawah tegakan pohon menjadi rendah dibandingkan diluar tegakan pohon. Fracillia (2007) mengatakan, keberadaan vegetasi atau permukaan air dapat menurunkan suhu karena sebagian energi radiasi matahari yang diserap permukaan akan dimanfaatkan untuk menguapkan air dari jaringan tumbuhan (transpirasi) atau langsung dari permukaan air atau permukaan padat yang mengandung air (evaporasi).

Rencana umum tata ruang Kota Surakarta tahun 1991-2010 telah menetapkan komponen-komponen ruang terbuka hijau berdasarkan beberapa kriteria, sasaran, fungsi penting, dan vegetasi serta intensitas manajemennya yang dikategorikan ke dalam 5 kriteria, yaitu :

1. Jalur Hijau

Jalur hijau merupakan kumpulan pepohonan yang membentuk jalur seperti peneduh pinggir jalan, jalur hijau yang berada di sempadan sungai, hijauan di tempat parkir maupun ruang terbuka hijau lainnya yang berbentuk memanjang.

2. Kebun dan Pekarangan

Kebun dan pekarang merupakan ruang terbuka hijau yang berada di sekitar permukiman masyarakat. Selain bertujuan untuk produksi, kebun, dan pekarangan hendaknya ditanam dengan jenis-jenis yang mendukung kenyamanan lngkungan perkotaan.


(21)

3. Taman

Taman merupakan kumpulan tumbuhan yang didominasi tumbuhan non-kayu berfungsi untuk menambah nilai estetika lingkungan. Selain itu juga, taman berfungsi untuk memperlunak tampilan lingkungan yang keras berupa beton menjadi tampilan yang hijau dan asri.

4. Hutan kota

Hutan kota merupakan hamparan lahan yang didominasi oleh tumbuhan yang menjadi satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Luasan hutan kota disesuaikan dengan kondisi wilayah dan disesuaikan dengan kebutuhan. Fungsi hutan kota ini yaitu untuk ameliorasi iklim, hidrologi dan penangkalan pencemaran.

5. Tempat-tempat rekreasi

Tempat-tempat rekreasi diarahkan fungsinya selaian untuk memberikan hiburan untuk masyarakat juga dapat memberikan fungsi dalam menghasilkan oksigen serta memberikan rasa nyaman. Oleh karena itu tempat rekreasi juga perlu ditanam dengan tumbuhan kayu atau non-kayu guna mendukung fungsi ekologis.

2.2 Rencana Tata Ruang Wilayah

Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang menghasilkan rencana tata ruang (Bappeda 2010). Perencanaan tata ruang ini dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi pertahanan keamanan. Perencanaan tersebut meliputi aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumberdaya, fungsi, dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang.

2.3 Hubungan Ruang Terbuka Hijau dengan Peningkatan Suhu Udara

Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dan ayat 3 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota.


(22)

7

Ruang terbuka hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Salah satu bentuk RTH yaitu hutan kota yang nenpunyai definisi suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

Hutan kota merupakan salah satu bagian dari ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi utama perbaikan kualitas lingkungan. Fungsi ini akan dapat dicapai jika manfaat hutan kota dapat dimaksimalkan. Dahlan (2004) menjelaskan bahwa hutan kota yang sempit tidak dapat menciptakan lingkungan yang sejuk, tidak dapat menyerap polusi serta tidak cukup untuk dalam memenuhi kebutuhan akan air yang bersih maupun manfaat yang lainnya atau dengan kata lain hutan kota yang sempit tidak dapat memperbaiki kualitas lingkungan yang buruk.

Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat dari banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, dan lain-lain. Sedangkan pada malam hari hutan kota mampu menahan radiasi balik dari bumi sehingga terasa hangat di malam hari (Grey 1978). Pepohonan dan vegetasi lainnya dapat memperbaiki suhu melalui evapotranspirasi. Tanaman yang tinggi memiliki laju evapotranspirasi yang lebih besar dibandingkan tanaman yang rendah. Oleh karena itu, hutan kota dapat digunakan sebagai pencegah berkurangnya kelembaban udara. Hutan kota juga dapat menurunkan suhu di sektarnya sebesar 3,46% di siang hari pada permulaan musim hujan. Hutan kota juga menaikkan kelembaban sebesar 0,81% di siang hari pada permulaan musim hujan (Irwan 2005). Selain itu Effendi (2007) juga menyatakan bahwa keberadaan RTH yang didominasi oleh pepohonan di suatu kota sangat penting untuk dipertahankan karena setiap pengurangan RTH berakibat naiknya suhu udara dengan nilai relatif lebih besar di wilayah perkotaan dibandingkan wilayah kabupaten.


(23)

2.4 Iklim 2.4.1 Suhu udara

Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam. Fluktuasi suhu udara berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari ini akan menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah intensitas cahaya maksimum tercapai (Santosa 1986). Berdasarkan Kartasapoetra (2008) suhu maksimum adalah suhu tertinggi suatu tanaman dapat tumbuh, sedangkan suhu minimum adalah suhu terbaik yang di butuhkan tanaman agar proses pertumbuhan nya dapat berjalan lancar.

2.4.2 Kelembaban udara

Menurut Santosa (1986), kelembaban relatif adalah jumlah aktual uap air di udara relatif terhadap jumlah uap air pada waktu udara dalam keadaan jenuh pada suhu yang sama dan dinyatakan dalam persen. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengukur kelembaban relatif adalah dengan menggunakan termometer bola basah dan bola kering. Sedangkan menurut Kartasapoetra (2008), kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Dalam kelembaban dikenal beberapa istilah, seperti:

1. Kelembaban mutlak adalah masa uap air yang berada dalam satu satuan udara yang dinyatakan dalam gram/m3.

2. Kelembaban spesifik, merupakan perbandingan massa uap air di udara dengan satuan masa udara yang dinyatakan dalam gram/Kg.

3. Kelembaban relatif, merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu dan dinyatakan dalam persen. Angka kelembaban relatif dari 0%-100%. Dimana 0% artinya kering, sedangkan 100% artinya udara jenuh dengan uap air dimana akan terjadi titik-titik air.

Keadaan kelembaban di atas permukaan bumi berbeda-beda. Pada umumnya, kelembaban yang tertinggi ada di khatulistiwa dan terendah pada lintang 40o. Daerah rendah ini disebut horse latitude dan curah hujannya kecil (Soedomo 2001).


(24)

9

Kelembaban udara yang lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada siang hari disebabkan karena penambahan uap air hasil evapotrenspirasi dari permukaan. Proses ini berlangsung karena permukaan tanah menyerap radiasi selama siang hari. Pada malam hari akan berlangsung proses kondensasi atau pengembunan yang memanfaatkan uap air yang berasal dari udara. Oleh karena itu kandungan uap air di udara dekat permukaan tersebut akan berkurang (Soedomo 2001). Kelembaban tertinggi di Kota Surakarta ada pada bulan Februari dengan nilai 85%. Curah hujan dan kelembaban udara ini mempunyai pola yang sama, yaitu pada tingkat kelembaban yang tinggi akan diikuti dengan tingkat hujan yang tinggi pula (BPS 2010).

2.5 THI (Temperature Humidity Index)

Metode untuk mengukur pengaruh parameter-parameter iklim terhadap kenyamanan manusia telah diteliti oleh beberapa ahli. Metode pengukuran ini menghasilkan suatu nilai indeks untuk menetapkan efek dari kondisi panas pada kenyamanan manusia atau Temperature Humidity Index (THI) yang mengkombinasikan suhu dan kelembaban (Encyclopedia 2003). Menurut Niewolt (1975), kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan yang dapat dinyatakan secara kuantitatif melalui hubungan kelembaban udara dan suhu udara yang disebut Temperature Humidity Index (THI), selang THI Indonesia berkisar antara 20-26. Hasil penelitian lain telah dilakukan juga oleh Mulyana et al. (2003), menyatakan bahwa indeks kenyamanan pada kondisi nyaman berada pada kisaran THI 20-26. Hal ini menyatakan bahwa secara umum Indonesia merupakan wilayah yang termasuk dalam kisaran nyaman. Emmanuel (2005) menggunakan rumus Niewolt (1975) yang melakukan penelitiannya di Colombo, Srilangka, dan menyimpulkan bahwa pada THI antara 21-24 oC, 100% populasi manusia menyatakan nyaman. Sedangkan THI sebesar 25-27 oC, 50% manusia meyatakan nyaman. Sedangkan untuk THI >27, 100% populasi manusia menyatakan tidak nyaman.


(25)

2.6 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Studi Pendugaan Suhu Permukaan

Pengindraan jauh menjelaskan secara ringkas kemungkinan untuk memperoleh, menggambarkan dan menginterpretasikan keadaan panas di permukaan bumi. Pendefinisan energi thermal lebih sering mengacu pada energi yang dipancarkan dari permukaan bumi. Berdasarkan sumber energi radiasi dari matahari, panjang gelombang dipancarkan dari energi matahari lebih pendek daripada gelombang panjang dari permukaan bumi (Lillesand 1997).

Perubahan suhu udara pada dasarnya merupakan resultante dari berbagai proses yang terjadi dalam suatu kawasan. Banyak aspek yang terlihat di dalamya, termasuk di antaranya adalah perubahan penggunaan lahan yang sering dianggap sebagai penyebab peningkatan suhu kawasan. Dampak dari perubahan penggunaan lahan itu adalah perubahan suhu yang meningkat dari waktu ke waktu (Fracillia 2007). Oleh karena itu fenomena perubahan suhu yang berdampak pada peningkatan iklim mikro ini penting untuk dipelajari, salah satunya dapat dianalisis dengan menggunakan Sistem Infomasi Geografis (SIG).

Prinsip dasar pengindraan jauh yaitu menangkap energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh suatu permukaan yang dipilah-pilah dalam sensor panjang gelombang. Suhu permukaan diperoleh atau dihitung dari energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan. Sensor yang digunakan untuk mendeteksi pada satelit adalah thermal infrared (Lillesand 1997).

Menurut Lillesand (1997) semua benda di alam yang mempunyai suhu mutlak di atas 0 oC atau setara dengan 273 K akan mempunyai radiasi thermal. Sebagai dasar dari pernyataan tersebut dicirikan oleh :

1. Suatu benda akan mengabsorbsi seluruh energi yang diterima dari segala sudut penerimaan.

2. Suatu benda akan mengemisikan semua energinya ke segala arah dengan seluruh kisaran panjang gelombang yang ada atau terbatas.

Teori tentang benda hitam dinyatakan oleh Wilhelm Wien (1928) diacu dalam Fajar (2010) yang menjelaskan hubungan antara pancaran maksimum,


(26)

11

panjang gelombang, dan suhu pemukaan objek. Teori ini dikenal dengan Hukum pergeseran Wien yang dirumuskan sebagai :

Keterangan :

maks = Panjang gelombang pada pancaran maksimum (µm)

Ts = Suhu permukaan objek (K)

Berdasarkan persamaan di atas, dengan menganggap bahwa nilai suhu mutlak permukaan matahari adalah 5780 K, maka didapatkan nilai panjang gelombang maksimum radiasi matahari yang mampu memberikan pancaran puncak maksimum terjadi pada panjang gelombang 0,5 µ m yang dapat disebutkan sebagai nilai tengah dari spektral radiasi tampak. Dengan fakta ini, maka radiasi matahari akan memberikan energi maksimum pada kisaran spektral tampak 0,3 – 0,7 µm. Sedangkan untuk permukaan bumi dengan suhu permukaan 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9,7 µm yang merupakan kisaran radiasi infrared. Oleh sebab itu, maka pengindraan jauh thermal banyak dilakukan pada spektrum 8 µm sampai 14 µm (Lillesand 1997).

Pada saat estimasi suhu permukaan dari citra thermal, rona yang lebih gelap pada citra mewakili suhu tampak yang lebih dingin dan rona yang lebih cerah mewakili citra yang lebih panas. Pengukuran sensor thermal atas suhu dapat dilakukan pada ketinggian 300 m. Kondisi cuaca mempengaruhi thermal atmosferik. Kabut dan awan tidak dapat ditembus oleh radiasi thermal walaupun hari cerah, aerosol dapat menyebabkan perubahan yang besar pada sinyal yang diindra. Sedangkan Abu, partikel arang, asap, dan titik air dapat mengubah pengukuran thermal. Unsur pembentukan atmosferik bervariasi menurut situs, ketinggian, waktu, dan kondisi cuaca setempat (Tauhid 2008).

Pengukuran suhu biasanya meliputi penempatan instrumen pengukur yang bersentuhan dengan atau terbenamkan dalam badan yang diukur suhunya (suhu

kinetik). Suhu kinetik merupakan ungkapan “internal” terjemahan tenaga rata-rata

molekul yang menyusun tubuh. Di samping ungkapan internal, objek memancarkan tenaga sebagai fungsi suhunya. Tenaga yang dipancarkan merupakan ungkapan “eksternal” keadaan tenaga objek yang dapat diindra dari

maks =

2897


(27)

jarak jauh dan digunakan untuk menentukan suhu pancaran (radiant temperature) objek (Lilliesand 1997).

Beberapa penelitian yang sudah dilakukan terkait denga thermal memiliki hasil yang cukup nyata. Berdasarkan hasil penelitian Wardhana (2003) telah melakukan pengukuran suhu berdasarkan estimasi dari band 7 yang dikorelasikan dengan data suhu stasiun klimatologi, menghasilkan model regresi umum untuk kasus Kota Bogor tahun 2001 adalah y = 0,045x + 24,964 dengan y adalah suhu permukaan dan x adalah nilai digital number dari data band 7. Diperoleh kelas suhu di tahun 2001 yang tertinggi adalah kelas penutupan lahan industri dan permukiman yaitu 27 oC – 29 oC.

Penelitian Waluyo (2009) menganalisis hubungan antara suhu permukaan dengan RTH, lahan terbuka, dan area terbangun di Kota Semarang. Distribusi spasial suhu permukaan dengan nilai selang < 20 oC hingga ≥ 34 oC. Nilai suhu permukaan tertinggi yaitu ≥ 34 oC mendominasi dengan luas distribusi paling besar, tahun 2001 seluas 16,80% menjadi 25,68% pada tahun 2006. Selain itu juga, nilai suhu permukaan pada RTH lebih rendah dibandingkan dengan suhu permukaan pada lahan terbuka dan area terbangun masing-masing sebesar 31 o C-34 oC, dan ≥ 34 oC.

Hasil penelitian lain yang mengkaji estimasi suhu permukaan dengan menggunakan band 6 citra landsat 7 ETM yaitu penelitian Fajar (2010) yang menganalisis hubungan antara suhu permukaan dan THI terhadap RTH, lahan terbuka dan lahan terbangun di Kota Palembang. Penelitian ini menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan suhu permukaan terbesar pada selang suhu 28 oC- 29 oC dan peningkatan nilai THI pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2000. Hal ini dikarenakan berkurangnya luasan vegetasi rapat yang telah dikonversi menjadi lahan terbangun, lahan pertanian dan areal proyek mengakibatkan berkurangnya vegetasi untuk menyerap radiasi sinar matahari.


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai bulan Januari 2012 di Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Pengolahan data dilakukan di laboratorium analisis lingkungan dan pemodelan spasial Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Sumber : Bappeda Kota Surakarta.

Gambar 3 Peta administrasi Kota Surakarta.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan paket Sistem Informasi Geografis dengan software Erdas

Imagine 9.1, ArcGIS 9.3, DNR Garmin 5.4.1, SPSS 15, dan Microsoft Office

2007. Alat yang digunakan di lapangan meliputi Global Positioning System (GPS), kamera digital, dan alat tulis.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra landsat 7 ETM (+) path/row : 119/065 Kota Surakarta dengan tanggal akuisisi 8 September 2011 dan

PEMERINTAH KOTA SURAKARTA

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA)

PETA WILAYAH KOTA SURAKARTA

LEGENDA :

Bappeda Kota Surakarta.

Jalan Sungai Jalan kereta api


(29)

9 September 2000, peta administrasi Kota Surakarta, dan data statistik Kota Surakarta yang diperoleh dari Bappeda Kota Surakarta. Selain itu juga suhu rata-rata dan kelembababan relatif rata-rata-rata-rata yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Surakarta.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Penentuan titik pengamatan

Titik pengamatan akan diambil pada lokasi yang ditentukan berdasarkan hasil analisis citra landsat 7 ETM yang terletak menyebar dan mewakili beberapa tipe tutupan lahan di Kota Surakarta.

3.3.2 Pengolahan Data Citra

Data citra satelit sebelum dianalisis perlu dilakukan pemrosesan awal dengan tujuan didapatkan informasi yang dibutuhkan, adapun tahapan yang dilakukan dalam pemrosesan data citra landsat yaitu :

1. Perbaikan citra (image restoration)

Pemulihan citra landsat dilakukan untuk perbaikan radiometrik dan geometrik. Hal ini dilakukan karena adanya perubahan saat pengambilan citra oleh satelit. Perbaikan radiometrik bertujuan untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang disebabkan oleh gangguan atmosfer ataupun kesalahan sensor, sedangkan perbaikan geometrik dapat dilakukan dengan mengambil titik-titik di lapangan atau menggunakan citra yang telah terkoreksi.

Langkah pertama yang dilakukan dalam koreksi geometrik adalah penentuan tipe proyeksi dan sistem koordinat yang akan digunakan. Penyeragaman data-data ke dalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna mempermudah dalam proses pengintegrasian data-data selama penelitian. Proyeksi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Universal Transverse Mercator (UTM), sistem koordinat geografik yang menggunakan garis latitude (garis barat-timur), dan garis longitude (garis utara-selatan).

2. Penajaman citra (image enhancement)

Penajaman citra landsat dilakukan untuk mempertajam citra sehingga dapat memudahkan interpretasi secara visual. Teknik yang digunakan adalah penajaman kontras dan pembuatan warna semu (pseudocolor).


(30)

15

3. Pemotongan (subset) wilayah kajian

Pemotongan citra (subset) sesuai dengan wilayah kajian ditentukan berdasarkan pada batas administrasi wilayah Kota Surakarta bertujuan untuk efisiensi besarnya citra satelit yang akan diolah. Citra satelit yang dipotong yaitu path/row : 119/065 tahun 2001 dan 2010 menggunakan Area of interest (aoi). 4. Survey lapangan

Survey lapangan bertujuan untuk mengetahui kondisi lapangan dan tipe tutupan lahan yang ada di wilayah kajian yang kemudian diverifikasikan dengan data citra. Pengambilan titik pengamatan ini dilakukan dengan mengambil beberapa titik tipe tutupan lahan yang ada di wilayah kajian yang dianggap mewakili. Titik pengamatan ini kemudian ditandai dengan menggunakan GPS (Global Positioning System).

5. Klasifikasi citra (image classification)

Klasifikasi tutupan lahan pada citra dilakukan untuk mengetahui sebaran dan luas tipe tutupan lahan di wilayah studi pengamatan. Pada tahapan klasifikasi lahan ini menggunakan citra landsat dengan band 1, band 2, band 3, band 4, band 5 dan band 7. Sedangkan band 6 tidak digunakan dalam tahapan klasifikasi lahan dikarenakan digunakan untuk analisis suhu permukaan. Tipe klasifikasi citra yang digunakan adalah metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) yaitu melalui proses pemilihan kategori informasi atau kelas yang diinginkan, yang selanjutnya memilih training area yang mewakili tiap kelas atau kategori untuk penentuan posisi contoh di lapangan dengan bantuan citra warna komposit dan peta tutupan lahan untuk setiap kelas penutupan lahan yang dibantu dengan data pengecekan lapang.

Klasifikasi terbimbing dengan menggunakan software Erdas Imagine 9.1 melalui beberapa tahapan, antara lain yaitu :

a. Pengenalan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra dengan berpedoman pada titik kontrol yang diambil pada lokasi penelitian menggunakan GPS.

b. Pemilihan daerah (area of interest) yang diidentifikasi sebagai satu tipe penutupan lahan berdasarkan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra.


(31)

c. Proses klasifikasi citra yang dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan pola-pola spektral yang digunakan untuk mengklasifikasi wilayah kajian antara lain yaitu :

1. Vegetasi rapat (hutan kota, perkebunan, dan tumbuhan sejenis). 2. Vegetasi jarang (kebun campuran, jalur hijau, taman kota dan

TPU).

3. Lahan terbangun (permukiman, area industry, pertokoan atau perdangan, dan perkantoran).

4. Lahan terbuka (lahan kosong/areal proyek). 5. Rumput dan semak (lapangan, semak belukar). 6. Badan air.

7. Sawah.

8. Tidak ada data (awan, stripping).

d. Menggabungkan baris-baris (row) atribut yang memiliki kelas klasifikasi tutupan lahan yang sama (recode).

e. Pengoreksian citra hasil koreksi dilakukan dengan menggunakan uji akurasi dengan memasukkan titik koordinat sampel penutupan lahan di lapangan sebanyak 126 titik ke dalam citra yang telah diklasifikasi lalu dihitung oleh program Accuracy Assesment pada software Erdas 9.1.

3.3.3 Analisis data

A. Pengolahan citra landsat band 6 untuk estimasi suhu permukaan

Estimasi nilai data suhu permukaan diolah dengan menggunakan software

Erdas Imagine 9.1, kemudian dibangun sebuah model pada model maker yang

sudah tersedia untuk mengkonversi nilai pixel pada band 6 landsat 7 ETM. Proses pengolahan data suhu ini yaitu dengan merubah nilai DN (Digital Number) untuk dilakukan konversi menjadi nilai spektral radiasi. Berikut ini adalah rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilai digital menjadi spektral radiasi (USGS 2002).

��1=

max (�)− min (�)

�� �� − �� � � �� − �� min + � (�)

Keterangan :

CVR1 : the cell value as radiance

QCAL : digital number


(32)

17

Lmax(i) :spectral radiance to QCALmax

QCALmini : 1 (LGS Products); 0 (NPLAS Products)

QCALmaxi : maximum pixel value (255)

Dengan diketahuinya nilai spektral radiasi maka selanjutnya hasil tersebut dikoreksi dengan memasukkan faktor emisivitas dengan rumus sebagai berikut ini:

�� 2=

��1− ↑ �

�.� −

1− �

Keterangan :

CVR1 : theatmospherically corrected cell value as radiance

CVR1 : the cell value as radiance

Lmini : upwelling radiance (0,50)

Lmaxi : downwellingradiance (0,84)

 : transmittance (0,93)

 : emissivity (typically 0,95)

Setelah nilai nilai spektral radiasi dikoreksi,kemudian dilakukan konversi spektral hasil tersebut untuk mengetahui suhu permukaan (USGS 2002). Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut :

� = 2

ln ��1

2+ 1

Tabel 1 Konstanta K1 dan K2 untuk Landsat 5/TM dan Landsat 7/ETM

Satelit K1 (W/(m2*ster*µm) K2 (Kelvin)

Landsat 5/TM 607.76 1260.56

Landsat 7/ETM 666.09 1282.71

Sumber : USGS (2002)

B. Analisis kelembaban udara

Berdasarkan penjelasan sebelumnya dinyatakan citra landsat 7 ETM (+) dapat digunakan untuk mengestimasi nilai suhu permukaan dengan menggunakan band 6 yang diolah dengan modeler pada software Erdas. Namun nilai kelembaban udara tidak dapat diestimasikan dalam citra landsat. Analisis kelembaban udara Kota Surakarta diperoleh melalui nilai regresi linear suhu udara dan kelembaban udara yang kemudian diolah menggunakan modeller pada software erdas. Kelembaban udara di Kota Surakarta didapatkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika Kota Surakarta dari tahun 2009 sampai tahun 2011. Kota Surakarta memiliki tiga stasiun cuaca yang terletak tersebar di tiga

Keterangan : T : Suhu permukaan (K)

K2 : Konstanta (666,09 W/(m2*ster*µm)

K1 : Konstanta (1282,71 K)


(33)

kecamatan. Selanjutnya melakukan regresi linear suhu udara rata-rata dan kelembaban udara yang didapatkan dari stasiun BMKG di Kota Surakarta untuk mendapatkan persamaan nilai kelembaban udara dengan menggunakan software SPSS 17 dengan persamaan umum sebagai berikut :

y = a + bx

Variabel y merupakan kelembaban udara yang menjadi variabel tidak bebas, sedangkan x merupakan suhu udara sebagai variabel bebas. Nilai regresi yang didapatkan kemudian dimasukkan ke software Erdas untuk mendapatkan peta sebaran kelembaban udara. Digital Number (DN) dari suhu permukaan digunakan sebagai nilai x atau variabel bebas untuk penentuan peta sebaran kelembaban.

C. Penentuan Temperature Humidity Index (THI)

Penentuan index kenyamanan atau THI dapat ditentukan dari nilai suhu udara (oC) dan kelembaban udara (RH) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Niewolt 1975):

THI = (0,8 x Ta) + ����� ���

Keterangan : Ta : Suhu udara (oC)

RH : Kelembaban relatif (%)

Persamaan untuk menghitung nilai THI tersebut diolah menggunakan modeller pada software Erdas, suhu udara didapatkan dari peta sebaran udara dan kelembaban relatif (RH) didapatkan dari peta kelembaban. Tahapan berikutnya yaitu melakukan klasifikasi nilai THI dengan menggunakan software ArcGis 9.3 untuk mendapatkan nilai selang THI yang kemudian didapatkan peta sebaran THI Kota Surakarta. Hasil klasifikasi kisaran selang nilai THI tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi menjadi empat kelas kenyamana yang diacu berdasarkan pernyataan Emmanuel (2005) yang melakukan penelitian di Colombo, Srilanka yang termasuk ke dalam wilayah tropis dengan kelas kenyamanan tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi nilai THI (Temperature Humidity Index)

Nilai THI Kelas Kenyamanan

< 19 Sangat nyaman

19 < THI < 22 Nyaman

23 < THI < 26 Sedang

> 27 Tidak nyaman


(34)

19

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Letak dan luas

Secara Geografis Kota Surakarta terletak diantara 110o 45' 15"- 110o 45'35" Bujur Timur dan 7o 36' 00'' - 7o 56' 00'' Lintang Selatan. Kota Surakarta terletak sekitar 65 km timur laut Kota Yogyakarta dan 100 km tenggara Kota Semarang. Lokasi kota ini berada di dataran rendah yakni ± 92 m di atas permukaan laut yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Di sebelah selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo. Batas administrasi Kota Surakarta adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar. b. Sebelah Timur : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. c. Sebelah Selatan : Kabupaten Sukoharjo.

d. Sebelah Barat : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Luas Kota Surakarta yaitu 4404,06 Ha yang terdiri dari lima kecamatan dan 51 kelurahan meliputi :

a. Kecamatan Laweyan terdiri dari 11 kelurahan, dengan luas wilayah sebesar 863,83 Ha.

b. Kecamatan Serengan terdiri dari 7 kelurahan, dengan luas wilayah sebesar 319,4 Ha.

c. Kecamatan Pasar Kliwon terdiri dari 9 kelurahan, dengan luas wilayah sebesar 481,25 Ha.

d. Kecamatan Jebres terdiri dari 11 kelurahan, dengan luas wilayah sebesar 1.258,18 Ha.

e. Kecamatan Banjarsari terdiri dari 13 kelurahan, dengan luas wilayah sebesar 1.481,1 Ha.


(35)

4.1.2 Topografi

Kota Surakarta terletak pada ketinggian rata-rata +92 meter dari permukaan laut. Topografinya relatif datar dengan kemiringan 0-3%. Daerah paling rendah di daerah timur dengan ketinggian +85 meter dari permukaan laut, memiliki kemiringan rata-rata 0,3%. Kota Surakarta dilalui oleh beberapa sungai yang merupakan anak Sungai Bengawan Solo. Dengan kondisi topografi yang demikian, maka sering terjadi genangan banjir akibat meluapnya sungai-sungai tersebut, terutama di daerah yang berada di sepanjang aliran sungai.

4.1.3 Geologi dan tanah

Kondisi geologi Kota Surakarta sebagian besar terdiri dari tanah liat berpasir (regosol kelabu) dengan nilai permeabilitas k bervariasi 10.4 – 10.6 yang relatif dapat membantu penyerapan (percolation drainage) selama belum jenuh air. Di beberapa tempat pada elevasi tinggi terdapat tanah padas dan di wilayah tengah serta bagian timur berbatasan dengan Sungai Bengawan Solo (wilayah Keraton dan Kedunglumbu) merupakan endapan lumpur relatif padat bekas rawa pada zaman dahulu. Daya dukung tanah (bearing capacity) pada dataran Kota Surakarta antara 0,50-1,75 Kg/cm2, rata-rata 0,80 Kg/cm2.

4.1.4 Iklim

Kota Surakarta berikilim tropis dengan curah hujan rata-rata 186 mm/hari. suhu udara rata-rata tahunan di Kota Surakarta berkisar antara 25,7 ºC sampai dengan 28,4 ºC, sedangkan kelembaban udara relatif rata-rata tahunan berkisar 67% dengan kecepatan angin sekitar 0,5 knot BPS (2010).

4.2 Keadaan Penduduk Kota Surakarta

Jumlah penduduk Kota Surakarta pada tahun 2010 adalah sebanyak 500.462 jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 0,45% dalam 1 dasawarsa tahun 2000 – 2010 (BPS 2010). Dari 5 kecamatan yang ada di Kota Surakarta, Kecamatan Pasar Kliwon mempunyai kepadatan penduduk yang paling tinggi yaitu sebesar 177 jiwa/Ha, sedangkan kepadatan penduduk terkecil terdapat pada Kecamatan Laweyan dengan kepadatan penduduk 98 jiwa/Ha. Jumlah penduduk Kota Surakarta berdasarkan sebaran tiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 3.


(36)

21

Tabel 3 Jumlah Penduduk Kota Surakarta tahun 2010

No Kecamatan Jumlah

Penduduk (jiwa)

Laju Pertumbuhan (%)

Kepadatan Penduduk (jiwa/Ha)

1 Laweyan 86.315 0,21 99

2 Serengan 44.120 0,57 138

3 Pasar Kliwon 74.145 0,10 177

4 Jebres 138.624 0,87 110

5 Banjarsari 157.438 0,22 106

Jumlah 500.462 113,63

Sumber : BPS (2010)

4.3 Ruang Terbuka Hijau Kota Surakarta

Ruang terbuka hijau merupakan kebutuhan yang penting di setiap wilayah. Hal ini pun disadari oleh pemerintah daerah Kota Surakarta. Pemerintah daerah Kota Surakarta telah menetapkan peraturan Walikota No.34 tahun 2012 mengenai penunjukan lokasi pembangunan hutan kota yang melanjuti peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.4/MENLH/12/2010 telah menunjuk 20 lokasi di wilayah Kota Surakarta menjadi ruang terbuka hijau di Kota Surakarta. Berdasarkan peraturan walikota tersebut membuktikan kesadaran pemerintah daerah melalui Badan Lingkungan Hidup Kota Surakarta perlu menambah ruang terbuka hijau di Kota Surakarta.


(37)

5.1 Penutupan Lahan Kota Surakarta

Penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, seperti bangunan perkotaan, danau, dan vegetasi, sedangkan istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesand dan Kiefer 1997). Berdasarkan hasil pengolahan citra landsat 7

ETM path/row 119/065, dengan tanggal akuisisi 8 September 2011 dan 9

September 2000. Interpretasi data citra dilakukan dengan klasifikasi terbimbing yang menghasilkan delapan kelas tutupan lahan dengan luas penutupan lahan berdasarkan pengolahan citra diperoleh luas wilayah Kota Surakarta sebesar 4416,26 Ha Penjelasan mengenai tutupan lahan di Kota Surakarta adalah sebagai berikut :

1. Lahan terbangun

Tipe penutupan lahan (land cover) berupa lahan terbangun meliputi permukiman, area perdagangan, kawasan industri, perkantoran, dan jalan raya. Tipe penutupan lahan terbangun ini mendominasi kawasan di Kota Surakarta dengan luasan 4404,06 ha. Seiring pertumbuhan penduduk di Kota Surakarta diperkirakan luas lahan terbangun ini akan semakin bertambah. Hasil klasifikasi citra landsat untuk tipe penutupan lahan terbangun dapat dilihat pada Gambar 4 yang dicirikan dengan warna merah.

(a) (b)

Gambar 4 Tutupan lahan berupa lahan terbangun. (a) Permukiman warga, kecamatan Banjarsari, (b) Pasar Kliwon kecamatan Pasar Kliwon.


(38)

23

2. Vegetasi rapat

Kategori tutupan lahan vegetasi rapat merupakan penutupan lahan yang berupa hutan alam, sempadan sungai, dan tegakan sejenis yang rapat yang dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2000 dan 2011 kelas ini berwarna hijau gelap, sedangkan untuk klasifikasinya digunakan warna hijau tua.

(a) (b)

Gambar 5 Tutupan lahan berupa vegetasi rapat (a) Hutan tanaman Jati, Kecamatan ..Jebres, (b) Sempadan Sungai, Kecamatan Jebres.

3. Vegetasi jarang

Tutupan lahan (land cover) yang berupa vegetasi jarang adalah jenis tutupan lahan yang bervegetasi jarang berupa jalur hijau, taman kota, tempat pemakaman umum yang dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan interpretasi citra landsat tahun 2000 dan 2011 tipe penutupan lahan yang berupa vegetasi jarang berwarna hijau muda, dan hasil klasifikasi diberi warna hijau muda juga.

(a). (b)

Gambar 6 Tutupan lahan berupa vegetasi jarang (a) Jalur hijau Kecamatan


(39)

4. Lahan terbuka

Tipe penutupan lahan (land cover) yang berupa lahan terbuka ini merupakan lahan dalam kondisi tidak bervegetasi seperti lapangan, tanah gundul, dan tempat-tempat yang direncanakan menjadi lahan permukiman atau area proyek pembangunan yang dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil interpretasi citra landsat dicirikan dengan warna merah muda kekuningan, sedangkan dalam pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna merah muda.

Gambar 7 Lahan kosong yang tidak bervegetasi, Kecamatan Banjarsari.

5. Badan air

Wilayah Kota Surakarta di sekelilingnya dibatasi oleh Sungai Bengawan Solo, tiga dari lima kecamatan Kota Surakarta dilalui oleh Sungai Bengawan Solo ini. Tipe penutupan lahan berupa badan air yaitu sungai dan danau. Contoh gambar badan air dapat dilihat pada Gambar 8. Badan air pada citra landsat wilayah berwarna biru tua, sedangkan hasil klasifikasi citra landsat diberikan warna biru muda.

(a) (b)

Gambar 8 Tutupan lahan berupa badan air (a) Sungai Bengawan Solo, Kecamatan Jebres, dan (b) Sungai Pepe, Kecamatan Serengan.


(40)

25

6. Rumput dan semak

Kelas klasifikasi rumput dan semak dijadikan ke dalam satu kelas dikarenakan rumput dan semak memiliki karakter yang hampir sama. Contoh gambar yang diklasifikasikan ke dalam kelas rumput dan semak dapat dilihat pada Gambar 9. Kelas klasifikasi rumput dan semak dalam citra satelit dicirikan dengan warna kuning sampai orange. Hasil klasifikasi kelas rumput dan semak dicirikan dengan warna kuning terang.

Gambar 9 Alun-alun Kota Surakarta.

7. Sawah

Sawah merupakan lahan pertanian yang membutuhkan pengairan secara intensif. Sawah dapat dibedakan menjadi dua yaitu sawah yang belum ditanami dan sawah yang siap panen. sawah yang sudah ditanami dan siap dipanen dapat dilihat pada Gambar 10(a), sedangkan Sawah belum ditanami pada umumnya berupa lahan terbuka seperti pada Gambar 10(b). Pengklasifikasian kelas tutupan sawah dicirikan dengan warna coklat.

a) b)

Gambar 10 Penutupan lahan berupa sawah. a) Sawah dengan padi yang dewasa, b) Sawah yang baru ditanam.


(41)

8. Tidak ada data

Kelas klasifikasi tidak ada data merupakan kelas klasifikasi yang berupa awan, bayangan awan dan stripping (bergaris). Nurcahyono (2003) menjelaskan bahwa awan terbentuk karena pengaruh cuaca, iklim lokal pada wilayah pengambilan citra, selain itu juga wilayah Indonesia termasuk yang banyak awan karena letak geografis Indonesia yang dikelilingi oleh lautan. Sedangkan bayangan awan terbentuk karena adanya sinar matahari yang terhalang oleh awan.

Stripping termasuk dalam kelas klasifikasi tidak ada data selain itu juga stripping

terjadi karena setelah tahun 2003 satelit perekaman citra mengalami kerusakan. Sehingga citra satelit pada tahun 2011 didapatkan citra satelit yang mengalami stripping. Agar diperoleh hasil dan luasan yang sama agar dapat dibandingkan dengan tahun 2011, maka citra satelit tahun 2000 diberi perlakuan dengan menyamakan stripping dengan tahun 2011. Hasil klasifikasi tidak ada data ini diberi warna putih yang tersaji pada Gambar 11.

Gambar 11 Stripping (Bergaris).

5.1.1 Penutupan lahan Kota Surakarta tahun 2000 dan 2011

Kota Surakarta memiliki wilayah yang tidak terlalu luas apabila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain. Kota Surakarta yang terbagi menjadi lima kecamatan yaitu Kecamatan Banjarsari dengan luas 1491,21 Ha, Kecamatan Laweyan dengan luas 874,83 Ha, Kecamatan Pasar Kliwon dengan luas 438,24 Ha, Kecamatan Serengan dengan luas 329,37 Ha dan Kecamatan Jebres dengan luas 1282,61 Ha.

Hasil klasifikasi citra Landsat 7 ETM diperoleh data mengenai luas wilayah berbagai tipe penutupan lahan Kota Surakarta tahun 2000 yang tersaji pada Tabel 4.


(42)

27

Tabel 4 Luas penutupan lahan Kota Surakarta tahun 2000

No Kelas Klasifikasi Jumlah

Ha %

1 Lahan terbangun 1518,03 34,37

2 Vegetasi rapat 175,41 3,97

3 Vegetasi jarang 538,02 12,18

4 Lahan terbuka 356,40 8,07

5 Rumput dan semak 365,22 8,27

6 Badan Air 32,22 0,73

7 Sawah 174,96 3,96

8 Tidak ada data 1072,66 24,29

Jumlah 4416,26 100

Berdasarkan data penutupan lahan Kota Surakarta 2000, tipe tutupan lahan yang terluas yaitu lahan terbangun sebesar 1518,03 Ha atau sebesar 34,37% dari luas wilayah Kota Surakarta. Lahan terbangun terpusat di wilayah Kecamatan Kecamatan Serengan dan Kecamatan Pasar Kliwon. Kedua kecamatan ini persentase luas lahan terbangun terbesar dikarenakan merupakan pusat Kota Surakarta yang terdapat pusat perdagangan, pusat pendidikan, dan pusat pemerintahan. Kecamatan Serengan pada tahun 2000 mempunyai luas lahan terbangun sebesar 149,76 Ha atau 45,47% dari luas kecamatan. Kecamatan Pasar Kliwon pada tahun 2000 mempunyai luas lahan terbangun sebesar 231,39 Ha atau 52,80% dari luas kecamatan. Hal ini dikarenakan kecenderungan masyarakat untuk tinggal di kota atau di sekitar kota, kecenderungan ini bertujuan untuk memudahkan akses melakukan kegiatan ekonomi maupun aktifitas lain yang terpusat di wilayah Kota Surakarta. berdasarkan hasil sensus penduduk Kota Surakarta yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2010, jumlah penduduk Kota Surakarta sebanyak 565.853 jiwa. Kecamatan yang mempunyai kepadatan penduduk terbesar yaitu terdapat di Kecamatan Pasar kliwon dengan kepadatan 177 jiwa/Ha.

Tutupan lahan yang cukup besar yaitu berupa tutupan lahan tidak ada data yang mempunyai luas 1072,66 Ha atau sebesar 24,29% dari luas wilayah Kota Surakarta. Tidak ada data ini disebabkan citra landsat 7 ETM terdapat stripping atau garis yang terjadi karena kerusakan satelit perekaman citra. Pada awalnya, citra landsat pada tahun 2000 tidak mempunyai stripping, karena akan


(43)

dibandingkan dengan citra landsat tahun 2011 yang ada stripping maka citra landsat tahun 2000 harus disamakan dengan menyesuaikan stripping. Selain itu juga,besarnya luas tidak ada data ini juga disebabkan karena adanya awan, bayangan awan yang terekam dalam citra landsat.

Tipe penutupan lahan vegetasi jarang di Kota Surakarta mempunyai luas sebesar 538,02 Ha atau 12,18% dari luas wilayah Kota Surakarta. Penutupan lahan vegetasi jarang di kota Surakarta merupakan wilayah penutupan lahan berupa kebun campuran, jalur hijau dan taman. Penutupan lahan berupa vegetasi jarang pada tahun 2000 ini terletak tersebar di batas-batas luar Kota Surakarta. Hal ini terlihat jelas pada Gambar 12 yang ditandai dengan warna hijau muda. Tutupan lahan berupa vegetasi jarang terbanyak terdapat di Kecamatan Banjarsari dengan luas vegetasi jarang mencapai 205,92 Ha dengan persentase 13,81% dari luas wilayah Kecamatan Banjarsari.

Tipe penutupan berupa vegetasi rapat mempunyai luas yang kecil di antara tutupan lahan yang lain yaitu sebesar 175,41 Ha atau hanya sebesar 3,97% dari luas Kota Surakarta. Rendahnya luas lahan bervegetasi rapat yang dimiliki Kota Surakarta ini yaitu perubahan peruntukan lahan menjadi lahan terbangun. Semakin banyak penduduk di suatu daerah maka akan semakin banyak membutuhkan lahan untuk tempat tinggal. Tipe tutupan lahan badan air di Kota Surakarta merupakan yang paling kecil dengan luas sebesar 32,22 Ha atau sebesar 0,73 % dari luas Kota Surakarta. Luas tutupan lahan berupa badan air di Kota Surakarta menjadi yang paling kecil dibandingkan tutupan lahan yang lain dikarenakan tutupan lahan berupa badan air hanya berupa Sungai Bengawan Solo yang mengelilingi wilayah Kota Surakarta dan beberapa sungai kecil serta danau kecil yang terdapat di beberapa lokasi.


(44)

29

Ga

mbar

12 P

eta tutupan

La

ha

n Kota

S

ur

aka

rta

Ta

hun 2000


(45)

Berdasarkan hasil klasifikasi citra landsat 7 ETM dengan tanggal akuisisi 8 September 2011 diperoleh delapan kelas tutupan lahan beserta luas tiap kelas yang tersaji dalam Tabel 5.

Tabel 5 Luas penutupan lahan Kota Surakarta tahun 2011

No Kelas Klasifikasi Luas tutupan lahan

Luas (Ha) Persen (%)

1 Lahan terbangun 1705,93 38,63

2 Vegetasi rapat 240,17 5,44

3 Vegetasi jarang 693,12 15,69

4 Lahan terbuka 261,47 5,92

5 Rumput 277,74 6,29

6 Badan air 25,70 0,58

7 Sawah 139,48 3,16

8 Tidak ada data 1072,66 24,29

Jumlah 4416,26 100

Berdasarkan hasil klasifikasi citra landsat tahun 2011 di atas diketahui bahwa lahan terbangun tetap menjadi yang terluas yaitu sebesar 1705,93 Ha atau sebesar 38,63 % dari total luas kota Surakarta. Lahan terbangun di Kota Surakarta relatif menyebar hampir di semua kecamatan, luas lahan terbangun terbesar terdapat di Kecamatan Banjarsari dengan luas 502,5 Ha dengan persentase 11,38 % dari luas Kota Surakarta. Hal ini dikarenakan di Kecamatan Banjarsari mempunyai luas wilayah kecamatan yang paling besar dibanding dengan kecamatan yang lain.

Apabila luas lahan terbangun ini dibandingkan dengan luas wilayah tiap kecamatan, maka kecamatan yang memiliki luasan area terbangun paling besar adalah Kecamatan Pasar Kliwon yang mempunyai luas lahan terbangun sebesar 259,52 Ha dengan persentase 59,26% dari luas wilayah kecamatan. Hal ini dikarenakan Kecamatan Pasar Kliwon merupakan pusat Kota Surakarta yang menjadi pusat pemerintahan Kota Surakarta, selain itu juga di kecamatan ini banyak dibangun tempat permukiman maupun pusat perdagangan terbesar di Kota Surakarta.

Luas lahan yang cukup besar setelah lahan terbangun yaitu vegetasi jarang yang mempunyai luas sebesar 693,12 Ha atau 15,69% dari luas Kota Surakarta. Vegetasi jarang mempunyai persebaran yang mengelempok di tiap kecamatan terutama di batas luar Kota Surakarta yang berbatasan langsung dengan


(46)

31

Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karang Anyar. Kecamatan yang mempunyai vegetasi jarang yang luas yaitu Kecamatan Banjarsari dan Kecamatan Jebres dengan luas berturut-turut sebesar 262,62 Ha dan 249,12 Ha. Vegetasi jarang ini umumnya berupa kebun campuran milik warga yang ditanami dengan tumbuhan menahun seperti jati dan akasia. Selain itu juga vegetasi jarang ini banyak terdapat di sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo. Berdasarkan laporan kegiatan Badan Lingkungan Hidup Kota Surakarta tahun 2006, bantaran Sungai Bengawan Solo menjadi fokus dalam kegiatan yang dinamakan program kali bersih. Dalam kegiatan ini dilakukan berbagai kegiatan di antaranya penanaman pohon di sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo dengan pohon akasia (Acacia sp), mahoni (Swietania sp), dan pohon-pohon jenis lain. Oleh karena itu pohon-pohon yang ditanam tersebut saat ini sudah dewasa sehingga bantaran Sungai Bengawan Solo sudah menghijau dengan adanya pepohonan tersebut.

Gambar 13 Taman Sekartaji di bantaran Sungai Bengawan Solo, Kecamatan Jebres.

Tutupan lahan berupa lahan terbuka menjadi tutupan lahan terbesar keempat setelah vegetasi jarang. Tutupan lahan terbuka mempunyai luas sebesar 261,47 Ha atau sebesar 5,92% dari luas Kota Surakarta. Sebagian besar lahan terbuka ini merupakan lahan pertanian yang tidak digarap oleh petani sehingga terlihat kering dan tandus (tidak ada pohon), selain itu juga dapat berupa lahan terbuka yang tidak ditanami pepohonan. Lahan terbuka ini tersebar di setiap kecamatan di Kota Surakarta, lahan terbuka yang paling luas terdapat di Kecamatan Banjarsari sebesar 95,22 Ha atau seluas 17,61% dari luas wilayah kecamatan.


(47)

Tutupan lahan berupa rumput di wilayah Kota Surakarta berdasarkan hasil interpretasi citra ETM tahun 2011 mempunyai luas sebesar 277,74 Ha atau sebesar 6,29% dari luas Kota Surakarta. Tutupan lahan berupa rumput ini menyebar di semua kecamatan di Kota Surakarta, tutupan lahan berupa rumput ini umumnya berbentuk lapangan atau tempat pemakaman umum. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Lingkungan Hidup (2011), Kota Surakarta mempunyai 186 lapangan serta mempunyai 68 tempat pemakaman umum. Kecamatan Jebres merupakan kecamatan yang mempunyai tutupan lahan berupa rumput yang paling besar yaitu 106,58 Ha atau 38,10% dari luas tutupan rumput di Kota Surakarta. Kecamatan lain yang mempunyai tutupan lahan berupa rumput yang cukup besar yaitu kecamatan Banjarsari dengan luas 86,92 Ha atau sebesar 31,07 % dari luas tutupan rumput di Kota Surakarta. Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan yang mempunyai lapangan bola yang paling banyak dibandingkan dengan kecamatan lain yaitu sebanyak 82 lapangan bola. Selain itu juga masih banyak beberapa lokasi di Kecamatan Banjarsari berupa lahan terbuka yang ditumbuhi rumput dan semak.

Tutupan lahan vegetasi rapat merupakan kelas yang mempunyai luas terkecil sebelum tutupan lahan berupa sawah. Vegetasi rapat mempunyai luas sebesar 240,17 Ha atau hanya sebesar 5,44 % dari luas Kota Surakarta. Vegetasi rapat di tiap kecamatan berbentuk mengelompok kecil di lokasi-lokasi tertentu saja, misalkan di Kecamatan Jebres, vegetasi rapat terdapat di bantaran Sungai Bengawan Solo dan kebun masyarakat dengan pohon dewasa dan mempunyai luas yang sempit. Kecamatan yang mempunyai luas vegetasi rapat terbesar yaitu Kecamatan Banjarsari yang mempunyai luas sebesar 84,24 Ha atau 34,79% dari luas vegetasi rapat di Kota Surakarta. Kecamatan Jebres mempunyai vegetasi rapat yang cukup besar yaitu sebesar 76,28 Ha atau 31,50 % dari luas vegetasi rapat yang ada di Kota Surakarta. Kecamatan Laweyan, Pasar Kliwon bervegetasi rapat berturut-turut sebesar 50,54 Ha, 18,79 Ha dan Kecamatan Serengan yang mempunyai vegetasi rapat paling kecil yaitu sebesar 12,31 Ha atau hanya sebesar 5,08 % dari luas vegetasi rapat di Kota Surakarta.

Tipe penutupan lahan berupa sawah yang terdapat di Kota Surakarta pada tahun 2011 berdasarkan analisis citra landsat seluas 139,48 Ha dengan persentase


(48)

33

3,16% dari luas wilayah Kota Surakarta. Tipe penutupan lahan berupa sawah di Kota Surakarta merupakan terkecil sebelum tutupan lahan berupa badan air. Tutupan lahan berupa sawah di Kota Surakarta mengelompok kecil dan tersebar di setiap kecamatan. Kecamatan yang mempunyai luas sawah terbesar yaitu Kecamatan Banjarsari dengan luas 58,75 Ha dengan persentase 42,01 % dari total luas sawah di Kota Surakarta.

Berdasarkan hasil analisis citra landsat tahun 2011, klasifikasi lahan berupa badan air mempunyai luas terkecil yaitu seluas 25,70 Ha dengan persentase sebesar 0,58 % dari luas wilayah Kota Surakarta. Kecamatan yang mempunyai luas badan air terbesar yaitu Kecamatan Jebres dengan luas 16,40 Ha atau jika dinyatakan dengan persentase yaitu sebesar 48,80% dari luas total badan air di Kota Surakarta. Kecamatan Jebres mempunyai luas badan air terbesar dikarenakan kecamatan ini paling luas dilewati oleh aliran sungai Bengawan Solo. Sedangkan kecamatan lain mempunyai luas yang relatif kecil dengan luas di bawah 10 Ha/kecamatan.


(49)

Ga

mbar

14 P

eta tutupan l

aha

n Kota

S

ur

aka

rta

t

ahu


(50)

35

5.1.2 Perubahan luas penutupan lahan tahun 2000 dan 2011

Berdasarkan hasil pengolahan data citra landsat 7 tahun 2000 dan 2011 dapat diketahui luasan tiap kelas klasifikasi yang selanjutnya dilakukan analisis perubahan tutupan lahan dari tahun 2000 sampai tahun 2011. Sebelum dilakukan analisis perubahan luas, sebelumnya dilakukan penyamaan luas tutupan lahan yang berupa awan dan stripping yang masuk ke dalam kelas tidak ada data. Hal ini dimaksudkan agar kedua citra mendapat perlakuan yang sama sebelum kedua citra ini dibandingkan luasan perubahan lahannya.

Tabel 6 Perubahan penutupan lahan Kota Surakarta Tahun 2000 dan 2011

No Kelas Klasifikasi Luas Tahun 2000 Luas Tahun 2011 Perubahan luas

Ha (%) Ha (%) Ha (%)

1 Lahan terbangun 1518,03 34,37 1705,93 38,63 187,90 12,38 2 Vegetasi rapat 175,41 3,97 240,17 5,44 64,76 36,92 3 Vegetasi jarang 538,02 12,18 693,12 15,69 155,10 28,83 4 Lahan terbuka 356,40 8,07 261,47 5,92 -94,93 -26,64 5 Rumput 365,22 8,27 277,74 6,29 -87,48 -23,95 6 Badan Air 32,22 0,73 25,70 0,58 -6,53 -20,25 7 Sawah 174,96 3,96 139,48 3,16 -35,48 -20,28 8 Tidak ada data 1072,66 24,29 1072,66 24,29 0,00 0,00

Jumlah 4416,26 100,00 4416,26 100,00

Keterangan : (+) Luas tutupan lahan meningkat, (-) Luas tutupan lahan menurun.

Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan untuk tiap kelas klasifikasi lahan dari tahun 2000 dan 2011. Hal ini terjadi karena untuk menyesuaikan kebutuhan manusia akan tempat tinggal, sarana prasarana dan kebutuhan lainnya yang tentunya akan mengalih fungsikan lahan sesuai dengan kebutuhan manusia. Perubahan lahan Kota Surakarta mempunyai hasil perubahan luas yang menarik untuk dipelajari, perubahan lahan terbesar terdapat pada tutupan lahan yang berupa vegetasi rapat yang mengalami peningkatan luas terbesar dibandingkan dengan tutupan lahan lainnya yaitu sebesar 64,76 Ha atau sebesar 36,92 % dibandingkan dengan tahun 2000. Berbeda dengan kota lain yang pernah diteliti perubahan lahannya seperti berdasarkan Fajar (2010) yang menyatakan bahwa telah terjadi penurunan yang signifikan pada tutupan lahan berupa vegetasi rapat


(51)

di Kota Palembang yaitu sebesar 5.522,23 Ha (167,80%) pada kurun waktu tahun 2001 sampai tahun 2010. Selain itu juga telah terjadi penurunan luas vegetasi rapat di Kota Bandung pada kurun waktu 2001 sampai tahun 2009 sebesar 8.657 Ha atau sebesar 40,65% dari luas Kota Bandung tahun 2000 (Heksaputri 2010). Perubahan luas vegetasi rapat yang terjadi di Surakarta jika dlihat dari segi perluasan memang cukup besar, namun dilihat dari penambahan luas vegetasi rapat masih cukup kecil penambahan luasnya sehingga perlu untuk terus dilakukan upaya penambahan luasan wilayah bervegetasi. Perubahan luas vegetasi rapat dan vegetasi jarang di Kota Surakarta dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Diagram perubahan luas vegetasi rapat dan vegetasi jarang Kota Surakarta tahun 2000-2011.

Perubahan luas vegetasi rapat ini dipengaruhi adanya penambahan luas yang berupa wilayah yang sebelumnya merupakan vegetasi jarang yang tumbuh menjadi vegetasi rapat. Selain itu juga adanya Perda kota Surakarta No.29 Tahun 1981 tentang Penghijauan dan Keindahan Kota Surakarta dan diperkuat kembali dengan Perda No. 2 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup yang melarang adanya penebangan pohon di wilayah Kota Surakarta ini turut mendukung bertambahnya luas vegetasi rapat di Kota Surakarta.

Perubahan luas tutupan lahan yang cukup besar dalam periode tahun 2000 sampai tahun 2011 terjadi pada tutupan lahan yang berupa vegetasi jarang yaitu seluas 538,02,87 Ha menjadi 693,12 Ha yang mengalami peningkatan sebesar 155,10 Ha (28,83 %). Perubahan luas vegetasi jarang di Kota Surakarta ini

19.98 13.46 3.58 6.46 20.57 56.70 125.28 -4.90 7.36 -29.77 -40.00 -20.00 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00

Banjarsari Jebres Pasar Kliwon Serengan Laweyan

L ua s (H a ) Kecamatan Keterangan : Vegetasi rapat Vegetasi jarang


(52)

37

membuktikan bahwa adanya komitmen dari pemerintah daerah untuk menambah luasan wilayah bervegetasi guna mencukupi kebutuhan luas lahan terbuka hijau yang berupa kawasan bervegetasi. Adapun besar luas konversi tutupan lahan menjadi vegetasi rapat dan vegetasi jarang periode tahun 2000 sampai tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Luas konversi tutupan lahan menjadi vegetasi rapat dan vegetasi jarang di Kota Surakarta periode tahun 2000 sampai tahun 2011

No Tutupan lahan 2000

Konversi lahan menjadi tutupan lahan tahun 2011 Vegetasi rapat Vegetasi Jarang Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%)

1 Lahan terbangun 27,06 35,34 129,26 20,19

2 Vegetasi rapat 44,98 20,63 53,53 8,36

3 Vegetasi jarang 54,90 25,18 211,82 33,09

4 Lahan terbuka 13,52 6,20 61,43 9,60

5 Rumput 18,70 8,57 130,93 20,45

6 Badan air 3,55 1,63 2,48 0,39

7 Sawah 5,33 2,45 50,74 7,93

8 Tidak ada data 0,00 0,00 0,00 0,00

Jumlah 178,04 100% 193,92 100 %

Selama periode tahun 2000 sampai tahun 2011 Kota Surakarta berupaya untuk menambahan jumlah maupun luasan ruang terbuka hijau yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan luas ruang terbuka hijau agar mencapai 30% dari luasan kota Surakarta. Berdasarkan data pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa telah terjadi konversi tutupan lahan tahun 2000 menjadi tutupan lahan berupa vegetasi jarang dan vegetasi rapat pada tahun 2011. Tutupan lahan berupa vegetasi jarang pada tahun 2000 mengalami perubahan lahan menjadi vegetasi rapat paling besar pada tahun 2011, hal ini diduga di beberapa lokasi seperti di beberapa ruas jalan telah ditanam vegetasi sebagai jalur hijau telah mengalami pertumbuhan menjadi vegeatsi rapat. Kegiatan penanaman yang dilakukan oleh pemerintah Kota Surakarta yaitu dengan menanam tumbuhan asli setempat yaitu pohon sala (Couroupita guianensis) dan tanaman berkayu yang cepat tumbuh seperti tanaman, pohon kenari (Canarium ovatum), pohon jati putih (Gmelina arborea), jabon (Anthocephalus cadamba) dan beberapa jenis tumbuhan lain. Tumbuhan ini ditanam di wilayah publik maupun wilayah privat yang dimiliki oleh masyarakat. Adapun wilayah publik yang menjadi lokasi dalam pembangunan RTH ini yaitu


(1)

Lampiran 12

Luas distribusi THI per wilayah kecamatan

(Lanjutan)

No Nilai THI

Kecamatan Laweyan

Tahun 2000 Tahun 2011 Perubahan luas Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % 1 <20 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 - 2 20-21 0,09 0,02 0,00 0,00 -0,09 -100,00 3 21-22 1,98 0,45 0,00 0,00 -1,98 -100,00 4 22-23 1,26 0,29 1,26 0,14 0,00 0,00 5 23-24 2,88 0,66 3,51 0,40 0,63 21,88 6 24-25 3,42 0,78 8,73 1,00 5,31 155,26 7 25-26 8,28 1,89 42,39 4,85 34,11 411,96 8 26-27 18,90 4,31 172,17 19,68 153,27 810,95 9 27-28 36,54 8,34 376,83 43,07 340,29 931,28 10 28-29 209,16 47,73 69,12 7,90 -140,04 -66,95 11 29-30 205,11 46,80 1,26 0,14 -203,85 -99,39 12 30-31 162,00 36,97 3,11 0,36 -158,89 -98,08 13 31-32 24,30 5,54 2,09 0,24 -22,21 -91,40 14 >32 1,26 0,29 0,92 0,11 -0,34 -26,98 15 Tidak ada data 180,42 41,17 180,42 20,62 0,00 0,00 Jumlah

874,83

100,00

874,83

100,00 0,00 0,00


(2)

Lampiran 13 Perubahan luas RTH dan tutupan lahan di setiap kecamatan

No Kecamatan

Perubahan luas RTH Perubahan luas lahan terbangun

Tahun 2000 Tahun 2011 Perubahan Luas Tahun 2000 Tahun 2011 Perubahan luas Luas (ha) % Luas(ha) % Luas(ha) % Luas (ha) % Luas(ha) % Luas(ha) % 1 Banjarsari 431,19 28,92 492,53 33,03 61,34 14,23 487,98 32,72 502,56 33,70 14,58 2,99 2 Jebres 451,17 35,18 478,92 37,34 27,74 6,15 359,01 27,99 409,55 31,93 50,54 14,08 3 Pasar Kliwon 81,63 18,63 81,30 18,55 -0,33 -0,40 231,39 52,80 259,72 59,26 28,33 12,24 4 Serengan 45,99 13,96 55,51 16,85 9,52 20,70 149,76 45,47 157,12 47,70 7,36 4,91 5 Laweyan 252,99 28,92 250,03 28,58 -2,96 -1,17 320,49 36,63 389,93 44,57 69,44 21,67 Jumlah 1253,61 1350,50 96,89 7,73 1518,03 1705,93 187,90 12,38

Lampiran 13 Perubahan luas RTH dan tutupan lahan di setiap kecamatan (Lanjutan)

No Kecamatan

Perubahan luas lahan terbuka Perubahan luas badan air

Tahun 2000 Tahun 2011 Perubahan luas Tahun 2000 Tahun 2011 Perubahan luas Luas (ha) % Luas(ha) % Luas(ha) % Luas (ha) % Luas(ha) % Luas(ha) % 1 Banjarsari 117,81 7,90 95,22 6,39 -22,59 -19,17 3,60 0,24 3,08 0,21 -0,52 -14,44 2 Jebres 97,83 7,63 89,55 6,98 -8,28 -8,46 17,10 1,33 16,40 1,28 -0,70 -4,09 3 Pasar Kliwon 27,09 6,18 11,43 2,61 -15,66 -57,81 5,31 1,21 5,11 1,17 -0,20 -3,77 4 Serengan 20,25 6,15 11,72 3,56 -8,53 -42,12 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 Laweyan 93,60 10,70 54,05 6,18 -39,55 -42,25 5,13 0,59 0,40 0,05 -4,73 -92,20

Jumlah 356,40 261,47 -94,93 -26,64 32,22 25,70 -6,53 -20,25


(3)

Lampiran 14 Peta rencana pola pemanfaatan ruang di Kota Surakarta

96


(4)

Lampiran 15 Gambar sebaran RTH di Kota Surakarta

97


(5)

No

Kondisi Eksisting

Desain rencana Pembangunan RTH

1

Bank Jateng Jalan slamet riyadi

2

Jalur pedestrian Jalan Slamet Riyadi

3

Bantaran rel Jalan Hassanudin


(6)

No

Kondisi eksisting

Desain rencana pembangunan RTH

5

Stasiun Balapan

6

Jalan Kusuma sahid