b 22 a 60 Induksi Kalus Embriogenik Dua Genotipe Mutan Jagung (Zea mays L.) pada Media Dasar MS dan N6

penelitian tergolong rendah, karena rata-rata keseluruhan di bawah 40 dan dari rentang rata-rata hanya mampu menghasilkan persentase tertinggi sebesar 71.4. Beberapa penelitian mendapatkan hasil yang lebih baik 75 dimana hasil tersebut sudah merupakan persentase kalus embriogenik. Tabel 9. Pengaruh media induksi kalus embriogenik terhadap persentase jumlah kalus kompak yang berpotensi embriogenik pada dua genotipe dan ukuran eksplan jagung Media Eksplan G8M7 G3M7 0.3 cm 0.4 cm 0.3 cm 0.4 cm N6A

17.14 b 22

b 8.57 b d N6C 41.15 a 31.11 b 40 a 48.57 bc N6F 40 a 42.22 ab 25 ab 51.25 ab MS6

68.18 a 60

a 50 a 71.43 a MS8 49.09 a 57.78 a 27.5 ab 37.5 bc MS9 18.33 b 40 ab 47.5 a 24 c Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5. N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4- D + 100 mgl arginin + 2 mgl glycine + 100 mgl glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol Aisyah et al. 2007 menggunakan bahan galur bukan mutan dengan genotipe yang sama memiliki keberhasilan 30-40 pada media MS + 2 ppm 2.4- D dan meningkat menjadi 100 pada media yang diberi tambahan 30 mannitol. Hasil percobaan Finer 1995 memaparkan bahwa persentase eksplan membentuk kalus embriogenik adalah 95-100 . Selain pengaruh genotipe, perbedaan persentase eksplan yang cukup tinggi ini dikarenakan penggunaan umur eksplan yang lebih tua dan ukuran embrio yang lebih besar, sehingga eksplan lebih banyak membentuk kalus lembut daripada kalus kompak. Kalus kompak umur 2 MST yang berpotensi embriogenik disubkultur pada 3 MST pada media pendewasaan MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol MS9. Menurut Von Arnold 2008 tahap pra-pendewasaan embrio somatik pada media dengan pengurangan atau tanpa ZPT akan menghambat proliferasi dan menstimulasi pembentukan dan perkembangan awal somatik embrio. Penambahan 1 mannitol dalam media MS9 diduga mempengaruhi pembentukan embrio somatik karena potensial osmotik yang dihasilkan. Thrope et al. 2008 menyebutkan potensial osmotik pada media dapat mempengaruhi terjadinya embriogenesis somatik dan dapat mengatur arah perkembangan embrio. Potensial osmotik yang rendah bernilai negatif tinggi membantu induksi embriogenesis somatik pada beberapa tanaman. Penambahan 10-30 gl sorbitol dalam media L-6, menyebabkan adanya level yang tinggi dari embriogenesis pada suspensi Vigna aconitifolia dan kapasitas embriogenesis menjadi tertahan pada kultur jangka panjang. Sutjahjo 1994 menyatakan bahwa pemberian 3 mannitol dan 15 air kelapa mampu meningkatkan frekuensi pembentukan kalus jagung mencapai 85 . Tabel 10. Pengaruh media induksi kalus embriogenik terhadap jumlah kalus tipe I, struktur embrio dan planlet jagung yang terbentuk pada 8 MST G8M7 0.3 cm 0.4 cm Media Persentase Kalus Tipe I Jumlah SE ± Jumlah Planlet Persentase Kalus Tipe I Jumlah SE ± Jumlah Planlet N6A 2.98 267 4 N6C N6F 6.12 349 2 MS6 2.82 271 6 14 750 3 MS8 2.7 274 9 2 2 150 15 4 MS9 1.56 164 3 G3M7 0.3 cm 0.4 cm Media Persentase Kalus Tipe I Jumlah SE ± Jumlah Planlet Persentase Kalus Tipe I Jumlah SE ± Jumlah Planlet N6A N6C 3.64 255 16 1.69 155 2 1 N6F MS6 MS8 MS9 Keterangan: Nilai dalam persen adalah persentase jumlah kalus tipe I per total eksplan hidup; MST= Minggu Setelah Tanam; SE = Struktur Embrio; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mgl arginin + 2 mgl glycine + 100 mgl glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol Kalus kompak embriogenik yang mengalami perubahan warna menjadi hijau dan mampu menghasilkan struktur embrio pada media pendewasaan serta planlet pada media regenerasi MS0 dan MS 11 disebut dengan kalus embriogenik tipe I. Persentase kalus embriogenik yang dihasilkan dari tiap genotipe dan ukuran eksplan di sajikan pada Tabel 10. Persentase kalus tipe I tertinggi untuk genotipe G8M7 dari percobaan pertama dihasilkan oleh media MS6 yang mengandung 6 ppm 2.4-D. Komposisi media MS6 dan N6F dengan pemberian konsentrasi auksin 2.4-D 6 ppm diduga mampu meningkatkan persentase kalus tipe I pada genotipe G8M7 namun menghambat pertumbuhan tunas dan pembentukan planlet. Pembentukan planlet hanya terjadi pada kalus embriogenik yang dihasilkan dari media MS8. Green dan Philips 1975 menemukan bahwa pada konsentrasi 6 ppm 2.4- D, skutelar menghasilkan pertumbuhan kalus yang lambat dan tidak terbentuk tanaman saat diferensiasi. Walaupun media MS8 hanya memberikan kalus tipe I sebesar 2 , jumlah struktur embrio yang dihasilkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah struktur embrio pada media MS6. Pemberian asam amino arginin, glutamine, dan glycine pada media MS8 yang hanya mengandung 2 ppm 2.4-D diduga mampu meningkatkan embriogenesis pada kalus embriogenik jagung. Menurut Wattimena et al. 1992 yang dibutuhkan dalam induksi kalus embriogenik adalah adanya suplai nitrogen tereduksi dalam bentuk ion NH 4 + atau asam amino seperti glutamine dan alanine. Claparols et al. 1993 menemukan bahwa pemberian asam amino glycine dan asparagin secara tunggal mampu memberikan persentase kalus embriogenik yang tinggi 65 pada jagung galur W64Ao2 dalam media N6. Kalus tipe I dan planlet dihasilkan pada media N6C N6 + 3 ppm 2.4-D pada genotipe G3M7 untuk kedua ukuran eksplan. Keseluruhan data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat tanggap media yang berbeda dari kedua genotipe yang diujikan. Genotipe G8M7 lebih tanggap pada berbagai komposisi media induksi kalus embriogenik dan lebih mudah membentuk kalus tipe I. Persentase kalus tipe I yang sangat kecil 14 diduga karena ukuran atau umur eksplan yang digunakan terlalu besar atau hampir mencapai fase dewasa 0.3-0.4 cm, dengan menggunakan eksplan 0.1-0.2 cm mungkin persentase yang diperoleh akan lebih besar. Eksplan dengan panjang 0.1-0.15 cm untuk genotipe G3M7 dan G8M7 dapat diperoleh dari embrio yang berumur 9-10 HSS. Kalus embriogenik akan berhasil membentuk planlet jika saat subkultur perkembangan struktur koleoptilar pada kalus embriogenik tipe I sudah berkembang dengan baik. Struktur koleoptilar pada beberapa kalus kompak ada yang telah berkembang dengan baik saat berumur 3 MST, ada pula yang masih berbentuk menyerupai globular Gambar 14. Kalus pada Gambar 14 pada saat subkultur, diujicoba dengan memisahkan satuan bentuk mirip globular, kemudian dipindahkan pada media regenerasi MS0 tanpa melalui media pendewasaan MS9. Kalus mulai menghijau namun tidak terdapat respon pembentukan tunas dan hanya terbentuk akar. Kalus kemudian dipindah ke media MS11 yang mengandung 0.1 ppm IAA dan 0.5 ppm BAP, namun kalus justru menjadi coklat dan mati. Hal ini menunjukkan bahwa stadia embrio untuk di subkultur ke media regenerasi membutuhkan perkembangan embriogenesis lanjut dalam media pendewasaan sebelum diregenerasikan. Kalus dengan struktur koleoptilar yang telah terlihat Gambar 15 disubkultur melalui media pendewasaan tanpa pemisahaan atau pembelahan pada kalus. Kalus merespon dengan perubahan warna menjadi hijau dan terus berkembang sampai umur 5 MST 23 hari dalam media induksi + 15 hari dalam media pendewasaan seperti pada Gambar 15. Terlihat pembentukan akar, tunas, dan struktur skutelar tampak berwarna putih tidak tembus cahaya. Kalus a Gambar 14. Kalus Embriogenik Jagung Genotipe G8M7 yang Membentuk Struktur Globular pada 3 MST kemudian diregenerasikan pada media MS0 dan menghasilkan sebanyak 4 tunas dan 1 planlet pada umur 8 MST 22 hari dalam media regenerasi seperti Gambar 15. Gambar 16. Perkembangan Kalus Embriogenik Jagung Genotipe G3M7 0.3 Sampai Membentuk Tunas a Struktur Embrio Terbentuk pada Media Pendewasaan 36 HST Menunjukkan Ciri Kalus Tipe I, Kompak, Putih, dan Struktur Menyerupai Skutelar; b Terbentuk Tunas 41 HST; c Tunas umur 48 HST a b c a b c Gambar 15. Perkembangan Kalus Embriogenik Jagung Genotipe G8M7 Sampai Membentuk Tunas a Struktur Koleptilar ditunjukkan Mata Panah 3 MST; b Struktur Skutelar ditunjukkan Mata Panah 5 MST; c Terbentuk Tunas 8MST Gambar 16 menunjukkan sebanyak satu kalus embriogenik dari genotipe G3M7 mampu menghasilkan dua struktur embrio tahap skutelar dan berhasil membentuk tunas, namun pada akhirnya mati karena akar tidak tumbuh dengan baik. Kalus embriogenik terbentuk dari media N6C N6 + 3 ppm 2.4-D kemudian disubkultur pada media pendewasaan MS9 MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol. Diameter dan Bobot Kalus Hasil rekapitulasi sidik ragam Tabel 11 menunjukkan bahwa genotipe, ukuran eksplan, dan media berpengaruh nyata terhadap diameter kalus pada 2 MST, dimana interaksi antara ketiganya tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Genotipe tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kalus 2-3 MST, namun terdapat interaksi antara genotipe dan ukuran eksplan. Tabel 11. Rekapitulasi sidik ragam rata-rata diameter dan bobot kalus jagung Peubah pada Kalus Genotipe G Ukuran Eksplan E Media M GE GM EM GE M KK Diameter 2 MST tn tn tn tn 16.31 Bobot 2-3MST tn tn tn tn 29.51 Keterangan: = berbeda nyata pada taraf 1; tn= tidak berbeda nyata pada taraf 5; data merupakan hasil transformasi x + 2; MST= Minggu Setelah Tanam Perlakuan komposisi media MS8 MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mgl arginin + 2 mgl glycine + 100 mgl glutamine secara nyata memberikan diameter kalus lebih besar daripada media N6A N6 + 2 ppm 2,4-D, N6C N6 + 3 ppm 2.4-D, N6F N6 + 6 ppm 2.4-D dan MS9 MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol, namun tidak berbeda nyata dengan media MS6 MS + 6 ppm 2.4-D. Genotipe G3M7 nyata memberikan diameter kalus lebih besar daripada genotipe G3M7. Ukuran eksplan 0.4 cm juga secara nyata memberikan diameter kalus lebih besar daripada ukuran eksplan 0.3 cm. Tabel 12. Perlakuan komposisi media memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kalus. Perlakuan komposisi media M8 MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mgl arginin + 2 mgl glycine + 100 mgl glutamine secara nyata memberikan diameter kalus lebih besar daripada media N6A N6 + 2 ppm 2,4-D, N6C N6 + 3 ppm 2.4-D, N6F N6 + 6 ppm 2.4-D dan MS6 MS + 6 ppm 2.4-D, namun tidak berbeda nyata dengan media MS9 MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol Tabel 12. Tabel 12. Pengaruh genotipe, ukuran eksplan dan komposisi media induksi kalus embriogenik jagung terhadap rataan diameter dan bobot kalus pada 2 MST Perlakuan Variabel Pengamatan Media Diameter mm Bobot mg N6A 7.088 c 1.396 c N6C 7.280 bc 1.565 c N6F 6.802 c 1.395 c MS6 7.797 ab 1.900 b MS8 8.121 a 2.173 a MS9 7.393 bc 2.117 ab Genotipe G8M7 7.076 e 1.735 G3M7 7.850 d 1.808 Ukuran Eksplan 0.3 cm 7.078 g 1.544 g 0.4 cm 7.829 f 2.018 f Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mgl arginin + 2 mgl glycine + 100 mgl glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol Pengaruh interaksi genotipe dan ukuran eksplan terhadap rataan bobot kalus jagung disajikan dalam Tabel 13. Interaksi yang terjadi antara genotipe dan ukuran eksplan menunjukkan bahwa pada kedua genotipe semakin besar ukuran embrio yang digunakan, bobot basah kalus yang dihasilkan juga akan semakin besar. Rata-rata bobot kalus yang dihasilkan komposisi media dasar MS memiliki hasil lebih besar dibandingkan dengan bobot kalus yang dihasilkan komposisi media dasar N6. Tabel 13. Pengaruh interaksi genotipe dan ukuran eksplan terhadap rataan bobot kalus jagung 2 MST pada tiap komposisi media induksi kalus embriogenik G E Media N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9 cm ..………………..…………….mg……..……………………... G8 M7 0.3 136.3 bcAB 151 bcB 117.9 c4B 165.5 bBC 207 aB 207 aAB 0.4 143.2 bA 156 bB 140.4 bB 212 aAB 210 aB 226.6 aA G3 M7 0.3 99.6 cB 121.6 bcB 123.2 bcB 139.3 bC 173.9 aB 167.5 aB 0.4 174.7 bA 198.7 bA 177.2 bA 249.8 aA 286.9 aA 249.8 aA Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom dengan huruf kapital dan pada baris dengan huruf kecil untuk masing-masing media tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5; G = Genotipe, E = Ukuran Eksplan; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mgl arginin + 2 mgl glycine + 100 mgl glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol Pengamatan diameter dan bobot menunjukkan rata-rata diameter kalus yang kecil belum tentu menghasilkan rata-rata bobot kalus yang kecil atau sebaliknya diameter kalus besar belum tentu bobot kalus yang dihasilkan pun besar. Hal ini diduga karena pada beberapa kalus yang ditimbang ada yang telah membentuk akar sehingga menyebabkan bobot lebih besar. Perbedaan jenis kalus yang dihasilkan pada tiap jenis media mempengaruhi bobot kalus. Warna Kalus Pola warna yang terbentuk disajikan pada diagram batang pada Gambar 17. Warna kalus jagung pada 1 MST lebih didominasi dengan putih atau kuning opaque tidak tembus cahaya dan terus menurun sampai 4 MST. Sementara persentase kalus translucent tembus cahaya mengalami peningkatan pada 2 MST dan menurun pada 4 MST. Kalus mengalami pencoklatan yang disebabkan penuaan senescence mulai terlihat pada 2 MST dan terus meningkat sampai 4 MST. Hasil pengamatan menunjukkan peningkatan kalus translucent pada 2 MST diikuti dengan penurunan kalus opaque pada 2 MST memperlihatkan proses perubahan tekstur kalus. Perubahan tekstur yang terjadi yaitu seperti pertumbuhan nodul dipermukaan skutelar. Pertumbuhan kalus yang didominasi oleh kalus lembut juga menyebabkan kalus menjadi translucent. Keterangan: MST= Minggu Setelah Tanam; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mgl arginin + 2 mgl glycine + 100 mgl glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol Persentase kalus opaque tertinggi saat 1 MST dihasilkan oleh media N6A masing-masing sebesar 71.1 dan terendah 57.5 dihasilkan oleh media N6C. Berdasarkan pengamatan pada media N6A, kalus opaque yang berwarna putih tanpa nodul pada bagian kubah skutelar cenderung membentuk akar. Hal ini didukung dengan data respon kalus berakar pada 7 HST. Media N6A menghasilkan persentase kalus berakar yang paling tinggi pada semua genotipe. Persentase kalus translucent pada 1 MST tertinggi dihasilkan pada media N6C yaitu sebesar 45.54 . Persentase kalus translucent diatas 40 juga di hasilkan pada media MS8 yaitu dengan nilai 41.58 , sedangkan media lainnya menghasilkan kalus translucent dibawah 40 . Kalus translucent berstruktur 50 100 150 200 250 300 350 400 450 1 2 MST 3 4 1 2 MST 3 4 1 2 MST 3 4 Opaque Translucent Coklat P er se n ta se Wa rn a N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9 Gambar 17. Grafik Pola Perubahan Warna Kalus Jagung kompak, dan bernodul berpotensi sebagai kalus embriogenik. Kalus putih opaque yang pada perkembangannya mengalami perubahan warna menjadi kuning translucent dan bernodul banyak, juga berpotensi sebagai kalus embriogenik. Persentase kalus translucent mulai menurun pada 3 MST, hal ini dikarenakan rata-rata persentase kalus coklat mengalami peningkatan sebesar 25 dari rata-rata persentase kalus coklat pada 2 MST. Hal ini menunjukkan kalus jagung dalam media 20 mlbotol memiliki waktu subkultur terbaik pada 2 MST. Namun demikian, berdasarkan pengamatan waktu subkultur 2 MST tidak cukup baik untuk mendapatkan kalus embriogenik. Hal ini karena pertumbuhan kalus embriogenik belum siap untuk dipindahkan pada media pendewasaan akibat pertumbuhan struktur koleoptilar yang belum tampak pada 2 MST. Penelitian Sutjahjo 1994 mengenai studi masa inkubasi kalus jagung juga menunjukkan hal yang serupa. Masa inkubasi kalus jagung terbaik adalah 2-4 MST ditunjukkan oleh banyaknya jumlah planlet yang dihasilkan dari kalus embriogenik. Kalus yang mengalami perubahan warna menjadi coklat tertinggi saat 2 dan 3 MST adalah pada media MS9 yaitu sebesar 20.18 dan 42.97 , diduga karena penggunaan mannitol. Menurut Riov dan Yang 1982b dalam Moshkov et al. 2008, mannitol sebagai osmotikum yang umum digunakan dalam protoplast dan kultur jaringan lainnya, menyebabkan biosintesis etilen meningkat. Etilen diproduksi selama kultur oleh semua jenis sel tanaman, jaringan dan organ. Kecepatan biosintesis meningkat jika sel menjadi sasaran stress. Etilen dalam konsentrasi tertentu dapat menyebabkan proses penuaan Wattimena, 1988. Persentase kalus coklat pada media N6F N6 + 6 ppm 2.4-D saat 1- 3 MST berturut-turut adalah 1.17 , 10.2 dan 40.7 . Selanjutnya, pada media MS6 persentase kalus coklat paling tinggi mendekati 40 terlihat pada 3 MST yaitu sebesar 39.72 . Hal ini diduga karena tingginya kandungan 2.4-D dalam media yaitu 6 ppm. Menurut Gray 2005 auksin 2.4-D dapat menstimulasi gas etilen, yang dalam konsentrasi rendah dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik, tetapi jika konsentrasi etilen terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan embrio yang akhirnya dapat menyebabkan browning pada kultur kalus embrionik. Menurut Wattimena 1992 browning dapat dicegah dengan meningkatkan intensitas subkultur baik pada 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 1 MST 2 MST 3 MST P e r se n tas e k al u s H ij au N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9 media yang sama atau media pada konsentrasi auksin yang lebih rendah. Rata-rata persentase kalus yang mengalami perubahan warna menjadi coklat di atas 60 saat 4 MST. Kalus yang mengalami perubahan warna hijau ditemukan pada 1-3MST dari ke dua genotipe dan ukuran eksplan. Persentase kalus hijau disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 18. Keterangan: MST= Minggu Setelah Tanam; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mgl arginin + 2 mgl glycine + 100 mgl glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol Rata-rata persentase kalus kehijauan tertinggi pada 1 MST saat kalus masih diinduksi dalam ruang gelap dihasilkan pada media MS8 yaitu sebesar 4.16 . Subkultur pada 2 dan 3 MST menyebabkan peningkatan pada rata-rata persentase kalus kehijauan. Hal ini karena pada subkultur pertama kalus dipindah ke ruang terang. Persentase kalus yang dihasilkan saat 2 MST pada media MS6 dan MS8 masing-masing adalah sebesar 3.2 dan 2.86 . Respon Pembentukan Organ Akar dan Tunas a. Organ Akar Persentase eksplan membentuk organ akar pada beberapa komposisi media perlakuan disajikan dengan grafik pada Gambar 19. Tingginya kemampuan Gambar 18. Grafik Persentase Kalus Hijau Jagung 1-3 MSK pada Beberapa Media Induksi Kalus Embriogenik 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST P e r se n tas e E k sp lan B e r ak ar N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9 terbentuk organ akar pada kalus jagung merupakan salah satu penghambat terjadinya embriogenesis. Aisyah et al. 2007 memaparkan dalam hasil penelitiaannya bahwa pada minggu ke tiga sebagian besar 60 kalus jagung membentuk organ akar. Finer 1995 memaparkan bahwa akar dan tidak adanya embrio terbentuk mengikuti transfer jaringan ke media maize development atau media MS tanpa auksin. Kultur tidak embriogenik tetapi justru membentuk akar, walaupun mungkin juga terjadi suatu pencampuran pada produksi sel embriogenik dan akar. Keterangan: MST= Minggu Setelah Tanam; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mgl arginin + 2 mgl glycine + 100 mgl glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol Berdasarkan grafik pada Gambar 19 konsentrasi auksin pada komposisi media perlakuan memberikan pengaruh terhadap persentase eksplan berakar. Komposisi media MS9 dengan konsentrasi 1 ppm 2.4-D + mannitol 1 terlihat memberikan persentase eksplan berakar tertinggi pada 3 dan 4 MST yaitu sebesar 41.4 dan 40.8 . Diduga pemberian konsentrasi 2.4-D yang lebih rendah dan penambahan mannitol 1 memacu pertumbuhan akar. Selanjutnya media N6A N6 + 2 ppm 2.4-D dan MS8 MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mgl arginin + 2 mgl glycin + 100 mgl glutamine masing-masing menghasilkan persentase eksplan berakar sebesar 23.36 dan 23 . Komposisi media N6C dengan kandungan N6 Gambar 19. Grafik Pengaruh Media Induksi Kalus Embriogenik terhadap Persentase Eksplan Berakar Jagung MS9 MS6 + 3 ppm 2.4-D telah mampu memberikan persentase eksplan berakar dibawah 20. Pengaruh ini terlihat pada 2-3 MST dimana persentase eksplan berkalus yang dihasilkan rata-rata 5 seperti pada media MS6 MS + 6 ppm 2.4-D dan N6F N6 + 6 ppm 2.4-D. Hal ini menunjukkan komposisi media yang mengandung 2.4-D 3-6 ppm mampu menghambat pertumbuhan akar pada kalus jagung dibawah 20. Pertumbuhan akar yang lebih banyak terlihat pada eksplan yang dikulturkan pada komposisi media MS9 dibandingkan dengan komposisi media MS6 MS + 6 ppm 2.4-D Gambar 20. Green dan Philips 1975 menemukan bahwa pertumbuhan akar pada kultur jaringan jagung menjadi minimal pada media dengan konsentrasi 2.4-D sebesar 6 ppm. Selain pengaruh media, eksplan jagung yang berasal dari embrio zigotik diduga menyebabkan terbentuknya akar lebih dominan. Diduga karena kalus yang dihasilkan lebih banyak berasal dari jaringan koleoriza bakal akar, sehingga kalus lebih mudah membentuk akar. Menurut Finer 1995 jika embrio terlalu besar lebar, akar akan terbentuk tetapi tidak ada jaringan skutelar yang berpriloferasi dengan kehadiran 2.4-D dalam media induksi kalus. Finer selanjutnya menjelaskan morfologi beberapa jaringan organogenik akar Gambar 20. Keragaan Pertumbuhan Organ Akar pada Kalus Jagung dalam Media MS9 MS + 1 ppm 2.4-D + 1 mannitol dan MS6 MS + 6 ppm 2.4-D. Komposisi Media MS9 Mendorong Pertumbuhan Akar yang Lebih Banyak menyerupai jaringan embrionik, karena keduanya memunculkan nodul, dalam penelitian ditunjukkan pada Gambar 21. Gambar 22 menunjukan ketika kalus embriogenik dipindah pada media pendewasaan MS9 dan media regenerasi MS0 pertumbuhan akar menjadi dominan. Menurut Finer 1995 perbedaan dari jaringan pembentuk akar dengan jaringan embriogenik, yaitu pada karakteristik permukaan dan kekonsistensian jaringan. Jaringan embriogenik permukaannya kering dengan struktur yang agak Gambar 21. Kalus Jagung yang Menghasilkan Nodul diduga Embriogenik, pada Perkembangannya Nodul Membentuk Akar Umur 30 HST Gambar 22. Akar yang Terbentuk pada Kalus Jagung saat di Subkultur ke Media Pendewasaan dan Regenerasi a Akar pada Kalus Embriogenik dalam Media Pendewasaan MS9; b Akar pada Kalus Embriogenik dalam Media Regenerasi MS0 16 HST 22 HST 30 HST a b bulat, sedangkan jaringan pembentuk akar tipenya lebih basah dan keras pada permukaan.

b. Organ Tunas