1
1     PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Terumbu  karang  merupakan  salah  satu  ekosistem  di  wilayah  pesisir  yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi.
Dari  fungsi-fungsi  tersebut,  peran  terumbu  karang  yang  lebih  menonjol  adalah dalam  kaitannya  dengan  fungsi  ekologi  seperti  fungsi  fisik  terumbu  karang
sebagai  penahan  gelombang  dan  pelindung  pantai  dari  hantaman  gelombang  dan gerusan air laut Suharsono 2007.
Menurut  Fauzi  2004  fungsi  ekonomi  suatu  ekosistem  dilihat  dari  barang dan jasa yang dihasilkan oleh  ekosistem tersebut. Nilai ekonomi terumbu karang
merupakan  nilai  total  dari  kegunaan  terumbu  karang  secara  langsung  maupun tidak  langsung.  Nilai  total  dari terumbu karang  sangat  bervariasi  tergantung  dari
lokasi,  kemudahan  dan  beberapa  faktor  lainnya.  Sampai  saat  ini  metoda perhitungan  nilai  ekonomi  masih  beragam.  Salah  satu  nilai  ekonomi  dari
ekosistem  terumbu  karang  yang  menonjol  adalah  nilai  manfaat  langsung perikanan terumbu berupa hasil tangkapan ikan target ikan ekonomis penting.
Hasil  penelitian  LIPI  menunjukkan  bahwa  kondisi  terumbu  karang  di Indonesia  pada  akhir  tahun  2007  yang  datanya  diambil  dari  77  daerah  dan  908
lokasi  adalah  5,51  dalam  kondisi  sangat  baik,  25,11  dalam  kondisi  baik, 37,33  dalam  kondisi  sedang  dan  32,05  dalam  kondisi  buruk.  Lebih  lanjut
dikatakan  bahwa  terumbu  karang  yang  berada  di  Kawasan  Barat  Indonesia  pada tahun  1995  lebih  buruk  jika  dibandingkan  dengan  karang  yang  ada  di  Kawasan
Tengah dan Timur Indonesia, namun pada hasil evaluasi terakhir kategori terumbu karang yang buruk meningkat di Kawasan Timur Indonesia dan di Kawasan Barat
Indonesia menjadi lebih baik Suharsono 2007. Keberadaan ikan karang termasuk di dalamnya ikan target dipengaruhi oleh
kondisi atau kualitas karang sebagai habitatnya Dartnall  Jones 1986; Choat Bellwood 1991; Kuiter 1992; La Mesa et al. 2004; Gratwicke et al. 2006. Hal ini
menunjukkan  bahwa  penurunan  fungsi  ekologi  terumbu  karang  juga  akan menurunkan  fungsi  ekonomi  terumbu  karang  khususnya  nilai  manfaat  langsung
perikanan terumbu.
2 Untuk  mengatasi  penurunan  fungsi  ekologi  terumbu  karang  diperlukan
kajian yang dapat menjelaskan dan menganalisis kondisi fungsi ekologi-ekonomi dan  pengambilan  keputusan  dalam  kebijakan  pengelolaan  pesisir  khususnya
terumbu  karang  yang  bermanfaat  bagi  upaya  peningkatan  kualitas  ekologi  dan manfaat ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, Jentoft et al.
2007, Chuenpagdee dan Jentoft 2009, Kooiman et al. 2008 dan Chuenpagdee
et  al .  2008  menyatakan  perlunya  melihat
keberlanjutan  pengelolaan  dari  segi sistem pengelolaan, sistem yang dikelola dan pengelolaan interaktif. Dalam sistem
ini,  sistem  pengelolaan  dipandang  sebagai  subyek  tatakelola  dimana  instrumen manajemen  dihasilkan,  sistem  yang  dikelola  sebagai  obyek  tatakelola  dimana
sistem  sosial-ekologis  harus  dikelola  dalam  mencapai  tujuan  manajemen,  dan pengelolaan  interaktif  sebagai  proses  interaksi  antara  sistem  pengelolaan  dan
sistem yang dikelola. Semakin  menipisnya  sumberdaya  alam  khususnya  terumbu  karang  dan
menurunnya  kemampuan  terumbu  karang  dalam  menyediakan  jasa-jasa lingkungan  bagi  keperluan  pembangunan  dan  kehidupan  manusia,  mendorong
semua  bangsa  di  dunia  untuk  menerapkan  paradigma  pembangunan  baru,  yaitu pembangunan  berkelanjutan  sustainable  development.  Pembangunan  dengan
konsep  pengelolaan  ekosistem  sumberdaya  alam  secara  berkelanjutan  mengacu pada  upaya  pemanfaatan  ekosistim  sumberdaya  alam  secara  optimal  dan
diimbangi  dengan  tindakan  konservasi  secara  berkelanjutan.  Pengelolaan  yang dimaksud  menghindari  pemanfaatan  yang  eksploitatif  dan  melampaui  ambang
batas  daya  dukung  ekosistem  sumberdaya  tersebut.  Sebaliknya  menjaga kelestarian  ekosistem  tersebut  merupakan  nilai  tambah  tersendiri  bagi  penduduk
setempat secara khusus dan masyarakat luas secara umum. Integrated  coastal  management
-ICM  merupakan  metode  pengelolaan  yang banyak digunakan untuk melindungi dan mengelola sumberdaya pesisir. Menurut
Schwartz  2005  definisi  ICM  bisa  dikatakan  sebagai  suatu  proses  terintegrasi yang  mengelola  semua  bidang  kegiatan  wilayah  pesisir  yang  terjadi  sepanjang
bentangan  garis  pantai,  secara  holistik,  sehingga  meminimalisasi  dampak  yang dapat merugikan pesisir itu sendiri. Hasil ICM dapat menjadi rencana pengelolaan
yang  mengidentifikasi  masalah  pesisir  dan  menguraikan  solusi  untuk  setiap
3 pemanfaatan  wilayah  pesisir.  Salah  satu  ekosistem  yang  ada  di  pesisir  dan
memegang peranan penting dalam ICM adalah terumbu karang. Terumbu  karang  sebagai  lahan  milik  bersama,  oleh  karena  itu  sumberdaya
yang  terkandung  di  dalamnya  tidak  dapat  dimiliki  secara  pribadi.  Dalam pengelolaan  sumberdaya  milik  bersama  tersebut,  semua  berhak  memanfaatkan
segala  potensinya  dan  karenanya  persaingan  antar  pelaku,  baik  nelayan  maupun pengusaha, sangat ketat dan sulit dikendalikan. Setiap pelaku cenderung berupaya
memaksimumkan  kepentingannya  sendiri  dengan  cara  menggunakan  alat  yang memaksimalkan  hasilnya  seperti  dengan  menggunakan  trawl,  purse  seine  dan
bahkan  memakai  bahan  kimia  dan  peledak  tanpa  menghiraukan  kelestarian lingkungan dan daya dukungnya.
Sumberdaya  alam  khususnya  terumbu  karang,  dalam  hal  ini  pemanfaatan ikan  target  di  Pulau  Hogow  dan  Pulau  Putus-Putus  umumnya  dilakukan  oleh
masyarakat Desa Basaan, dimana sumberdaya manusia yang ada terbatas dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Penduduk Desa Basaan umumnya bekerja sebagai
nelayan dan petani, selain ada pekerjaan-pekerjaan lainnya yang mereka lakukan, dengan  tingkat  pendidikan  umumnya  hanya  sampai  pada  sekolah  dasar  sampai
sekolah  menengah.  Keberlangsungan  hidup  penduduk  ini  tidak  terlepas  dari pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia, namun demikian pemanfaatan yang
tidak  sesuai  akan  memberikan  dampak  negatif  terhadap  penduduk  setempat, seperti  pemanfaatan  hutan  mangrove  yang  berlebihan  dan  penangkapan  ikan  di
daerah  terumbu  karang  dengan  cara  merusak  ekosistem  terumbu  karang. Kegiatan-kegiatan inilah yang membawa kondisi sumberdaya alam pesisir gugus
Pulau  Hogow  dan  Pulau  Putus-Putus  mengalami  penurunan  kualitas  yang berdampak negatif terhadap kondisi fisik pulau dan penduduk setempat.
Berdasarkan  uraian  di  atas,  status  keberlanjutan  ekosistem  terumbu  karang di  Pulau  Hogow  dan  Pulau  Putus-Putus  dipahami  sebagai  suatu  permasalahan
yang  layak  dikaji  dalam  kerangka  pengembangan  dan  pelestarian  ekosistem terumbu  karang.  Berdasarkan  hasil  penelitian  pendahuluan  yang  telah  dilakukan
dari tahun 2002-2010 telah terjadi penurunan tutupan karang 5-20 dan produksi ikan  target  dari  65,45  ton  pada  tahun  2002  menjadi  hanya  38,83  ton  pada  tahun
2010.  Dalam  konteks  pengelolaan  terumbu  karang,  belum  ada  penelitian  yang
4 memperhatikan fungsi ekologis suatu kawasan terumbu karang secara spasial dan
temporal  wilayah  pemijahan,  pembesaran  dan  mencari  makan,  sehingga penelitian  ini  ingin  menentukan  wilayah-wilayah  tersebut  sebagai  dasar  dalam
pengelolaan terumbu karang. Suatu upaya penelitian yang komprehensif dan terintegrasi diarahkan untuk
peningkatan  fungsi  ekologi-ekonomi  terumbu  karang  Pulau  Hogow  dan  Pulau Putus-Putus  untuk  memperoleh  suatu  arahan  pengembangan  menjadi  penting
untuk  dilakukan.  Integrasi  berbagai  aspek  dan  kondisi  yang  ada  saat  ini  dapat menjadi  bagian  bagi  pengembangan  konsep  pengelolaan  pulau-pulau  kecil  yang
berkelanjutan.
1.2  Identifikasi dan Perumusan Masalah