60 penduduk  11,66;  2  sekolah  dasar  453  penduduk  40,17;  3  sekolah
menengah  pertama  375  penduduk  33,13;  4  sekolah  menengah  atas  136 penduduk  12,01;  dan  5  perguruan  tinggi  36  penduduk  3,18.  Dari  data
yang  ada,  dapat  dikatakan  tungkat  pendidikan  masyarakat  tergolong  rendah.  Hal ini  disebabkan  kurangnya  sarana  dan  prasarana  pendidikan  yang  ada,  dimana
berdasarkan hasil observasi di Desa Basaan hanya terdapat sekolah dasar SD dan sekolah  menengah  pertama  SMP,  sedangkan  sekolah  menengah  atas  SMA
terdapat di Ratatotok dan Belang yang jaraknya cukup jauh dari Desa Basaan. Usaha  ekonomi  produktif  yang  dilakukan  masyarakat  selain  dalam  bidang
penangkapan ikan, maka melalui kelompok nelayan yang ada mereka melakukan usaha  pemeliharaan  ikan  dalan  kurungan  jaring  apung  KJA.  Mengingat
pembangunan kelautan dan perikanan di kawasan ini akan melibatkan partisipasi semua  kalangan  masyarakat,  maka  upaya  memberdayakan  ekonomi  masyarakat
merupakan  keharusan.  Pemberdayaan  ekonomi  yang  dimaksud  diharapkan mampu
meningkatkan kapasitas
sumberdaya manusia
SDM dan
kesejahteraannya tanpa mengesampingkan kultural dan sistem nilai yang dianut.
4.2  Ekologi Terumbu Karang 4.2.1 Oseanografi
Perairan sekitar Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus memiliki pasang surut ganda  utama  atau  semi  diurnal  tides,  terjadi  dua  kali  pasang  dan  dua  kali  surut
dalam satu hari dengan nilai tunggang pasut tidal range sebesar 1,17 m. Pasang surut  di  perairan  ini  dipengaruhi  oleh  rambatan  pasang  surut  dari  perairan  Laut
Maluku.  Kondisi  ini  menunjang  kegiatan  budidaya  perikanan  dengan  metode kurungan jaring apung KJA dan jaring tancap.
Pada  umumnya  arus  yang  bergerak  ke  dalam  Teluk  Totok  lebih  dominan, terutama  melewati  selat-selat  yang  ada  di  Pulau  Putus-Putus,  karena  adanya
masukan  massa  air  dari  Laut  Maluku.  Analisis  pola  arus  pasang  surut  tersebut menunjukkan  bahwa  kecepatan  arus  di  perairan  sekitar  Pulau  Hogow  dan  Pulau
Putus-Putus  memenuhi  persyaratan  untuk  kegiatan  budidaya  terutama  metode KJA. Melihat kondisi geografis Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, semua arah
angin  dapat  membangkitkan  gelombang,  terutama  arah  angin  dari  selatan  dan
61 timur.  Kondisi  bergelombang  yang  besar  terjadi  pada  saat  musim  selatan  bulan
Agustus hingga Oktober dengan tinggi gelombang lebih besar dari 1 m. Hasil  pengukuran  beberapa  variabel  kualitas  air  Tabel  12  menunjukkan
bahwa kondisi perairan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dalam kondisi yang baik.  Nilai  oksigen  terlarut  yang  diperoleh  lebih  besar  3  mll  menggambarkan
bahwa  perairan  mendukung  kehidupan  organisme  laut  khususnya  ikan.  Apabila oksigen  terlarut  kurang  dari  3  mll  dan  berlangsung  dalam  waktu  lama,  akan
menyebabkan  terhambatnya  pertumbuhan  dan  kurangnya  nafsu  makan  ikan. Walaupun  demikian  pada  kondisi  oksigen  terlarut  dalam  jumlah  yang  sangat
banyak dapat juga mengakibatkan terjadinya kematian pada ikan, sebab di dalam pembuluh-pembuluh  darah  terjadi  emboli  gas  yang  dapat  mengakibatkan
tertutupnya pembuluh-pembuluh rambut dalam daun-daun insang ikan. Tabel 12   Pengukuran parameter fisik-kimia perairan
STASIUN KED.
KONDUK TURBID
DO TEMP
SAL. KECEPATAN
m mScm
NTU mll
°C
o oo
ARUS cmdtk
1 45,4
4,05  27,7 29,6
15.6 10
46,5 2
3,73  26,9 30,4
2 46,1
4,22  28,6 30,1
25.2 10
46,6 2
4,35  27,5 30,5
3 46,1
4,12  26,8 30,1
29.5 10
46,2 4,15  26,9
30,1 4
46,3 4,08  27,5
30,3 31.4
10 46,6
3 4,07  27,5
30,5 5
46,4 4,05  26,2
30,3 32.3
10 46,3
2 4,03  25,9
30,3 6
46,5 3,80  26,7
30,4 22.5
10 46,3
6 3,54  26,4
31,2 Cat: Pengukuran dilakukan tanggal 7 september 2011
Suhu  permukaan  laut  merupakan  salah  satu  faktor  penting  yang mempengaruhi  pertumbuhan,  kesehatan  dan  penyebaran  organisme  laut.
Umumnya  organisme  di  daerah  terumbu  beradaptasi  dengan  kisaran  suhu  yang normal  di  mana  mereka  tinggal  dan  apabila  suhu  air  menjadi  lebih  dingin  atau
lebih panas dari suhu normal, organisme yang hidup akan menderita atau bahkan mati.  Khususnya  organisme  karang,  perubahan  suhu  yang  cukup  besar  dapat
62 menyebabkan  pemutihan  karang  dan  menyebabkan  kematian  bagi  karang.  Suhu
yang optimal untuk pertumbuhan karang adalah 25-28
o
C Nybakken 1988. Distribusi salinitas di daerah ini secara signifikan tidak berbeda antar stasiun
penelitian.  Hasil  ini  menunjukkan  bahwa  sebaran  salinitas  hampir  homogen  dan masih  berada  dalam  kisaran  ideal  untuk  kegiatan  budidaya.  Proses  metabolisme
terutama  di  dalam  osmoregulasi  dengan  tekanan  osmotik  pada  karang  dapat berlangsung  dengan  baik.
Karang  mempunyai  toleransi  terhadap  salinitas  27‰- 40‰ dengan salinitas optimal 32‰-35‰ Nybakken 1988.
4.2.2 Komponen Bentik Penyusun Terumbu Karang
Kondisi  terumbu  karang  ditentukan  mengikuti  parameter  kriteria  baku kerusakan terumbu karang dari Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No
4 Tahun 2001 dan Yap dan Gomes 1984. Tabel 13  Kategori penentuan kondisi terumbu karang
Kepmen LH No 4 tahun 2001 Yap dan Gomez 1984
Kategori Sub Kategori
Tutupan Karang Kategori
Tutupan Karang
Rusak Buruk
0 - 24,9 Poor
0 - 24,9 Sedang
25 - 49,9 Enough
25 - 49,9 Baik
Baik 50 - 74,9
Good 50 - 74,9
Baik sekali 75 - 100
excellent 75 - 100
Kondisi  terumbu  karang  Pulau  Hogow  dan  Pulau  Putus-Putus  tahun  2011, diperoleh  tutupan  karang  pada  Stasiun  1,  2,  5  dan  6  sebesar  25-49,9  sehingga
dikategorikan  enough-sedang,  Stasiun  4  dengan  tutupan  karang  23,50 dikategorikan  poor-buruk  dan  Stasiun  3  dengan  tutupan  karang  72,95
dikategorikan  good-baik.  Selain  itu  dari  hasil  pengukuran  kondisi  fisik-kimia perairan Tabel 12 secara umum memiliki nilai dengan kisaran  yang mendukung
kehidupan  terumbu  karang,  kecuali  nilai  turbiditas  pada  kedalaman  10  meter  di Stasiun  6  sebesar  6  NTU  yang  berada  di  atas  ambang  batas  sebesar  5  NTU
berdasarkan  Keputusan  Menteri  Negara  Lingkungan  Hidup  No  51  Tahun  2004 tentang baku mutu air laut.
Tutupan  karang  di  Pulau  Hogow  dan  Pulau  Putus-Putus  telah  mengalami degradasi.  Laju  degradasi  berkisar  dari  0,02tahun  hingga  7,74tahun.
Degradasi  terkecil  terjadi  di  Stasiun  3  Pulau  Hogow  kedalaman  10  meter  dan
63 terbesar  di  Stasiun  4  Pulau  Putus-Putus  kedalaman  3  meter.  Stasiun  1,2,4,5
mengalami laju degradasi yang tinggi pada kedalaman 3 meter,  dan untuk Stasiun 6 yang mengalami laju degradasi yang tinggi pada kedalaman 3 dan 10 meter.
Tabel 14  Laju degradasi terumbu karang
Stasiun Laju Degradasi tahun
3m 10m
St-1 6,93
3,24 St-2
6,28 0,51
St-3 0,42
0,02 St-4
7,74 2,63
St-5 5,72
1,52 St-6
5,96 6,20
Gambar 11    Perubahan persentase tutupan karang tahun 2002-2011
64 Pada  pengamatan  persentase  tutupan  karang,  secara  keseluruhan  terlihat
adanya penurunan tutupan karang. Pada Stasiun 1, 2, 3 dan 6 penurunan tutupan karang  pada  tahun  2002-2009  relatif  kecil.  Penurunan  yang  cukup  besar  terjadi
pada  tahun  2011  di  Stasiun  1  kedalaman  3  meter  15,  10  meter  8,  2 kedalaman 3 meter 13, 4 kedalaman 3 meter 12 dan 6 kedalaman 3 meter
29, 10 meter 15. Penurunan yang cukup besar pada tahun 2011 di beberapa stasiun  tersebut,  disebabkan  adanya  fenomena  pemutihan  karang  coral
bleaching yang  umumnya  terlihat  pada  kedalaman  3  meter  dan  mulai  teramati
sejak tahun 2009, dan khusus pada Stasiun 6 juga teramati tingkat kekeruhan yang tinggi pada kedalaman 10 meter.
Khusus  Stasiun  3,  persentase  tutupan  karang  relatif  stabil  dari  tahun  2002 hingga  2011.  Salah  satu  faktor  yang  membedakan  kondisi  tutupan  karang  di
Stasiun  3  dengan  stasiun  lainnya,  karena  tidak  ditemukan  fenomena  pemutihan karang  di  lokasi ini.  Pada  Stasiun  4  penurunan  yang  cukup  besar 5  terjadi  di
kedalaman  10  meter  pada  tahun  2005,  tahun  2006-2010  terjadi  penurunan  yang relatif  kecil  dan  pada  tahun  2011  terjadi  penurunan  yang  besar  di  kedalaman  3
meter  13  tetapi  terjadi  peningkatan  di  kedalaman  10  meter  4.  Penurunan tutupan  karang  yang  cukup  besar  di  Stasiun  5  terjadi  pada  tahun  2007-2008  di
kedalaman  3  meter  7-9,  relatif  stabil  pada  tahun  2009-2010  dan  meningkat pada tahun 2011 kedalaman 3 meter 1, 10 meter 3.
Gambar 12  Luasan tutupan karang hidup dan komponen biotik Dari  Gambar  12  terlihat  bahwa  degradasi  persentase  tutupan  karang  juga
menyebabkan  penurunan  luasan  terumbu  karang  yang  memiliki  karang  hidup.
65 Secara  keseluruhan,  luasan  terumbu  karang  di  Pulau  Hogow  dan  Pulau  Putus-
Putus  sebesar  114,96  Ha.  Pada  tahun  2002,  luasan  tutupan  karang  hidup  sebesar 63,20 Ha dan menjadi hanya 49,90 Ha pada tahun 2011.
Akibat penurunan tutupan karang hidup memunculkan ruang yang ditempati oleh  komponen  biotik  lainnya  di  terumbu  karang  seperti  algae,  soft  coral  dan
fauna  lainnya.  Penempatan  ruang  ini,  mengakibatkan  luasan  tutupan  komponen biotik  dari  tahun  2002  hingga  2010  tidak  mengalami  perubahan  secara  drastis.
Penurunan  tutupan  komponen  biotik  yang  cukup  besar  justru  di  temukan  pada tahun 2011.
Perubahan  persentase  tutupan  komponen  penyusun  terumbu  karang  pada Stasiun  1  secara  siknifikan  terjadi  pada  tahun  2006  dan  2011  Tabel  15.
Perubahan  pada  tahun  2006  terlihat  pada  penurunan  yang  cukup  besar  pada tutupan  alga  10,00  pada  tahun  2005  menjadi  2,68  dan  peningkatan  tutupan
abiotik berupa pasir dan  rubble 6,70 pada tahun 2005 menjadi 28,55. Pada tahun  2011  terjadi  penurunan  tutupan  karang  hidup  yang  cukup  besar  yaitu
58,45 pada tahun 2010 menjadi 40,52, diikuti dengan lonjakan tutupan abiotik berupa pasir dan patahan karang 12,73 pada tahun 2010 menjadi 32,25.
Tabel 15  Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 1
Komponen 2002  2003  2004  2005  2006  2007  2008  2009  2010  2011
BIOTIK Karang Hidup  66,94  66,00  64,60  63,25  62,62  62,15  61,85  59,35  58,45  40,52
Karang Lunak  4,20  7,70  14,82  4,50  4,30  7,00  10,45  12,23  5,70  3,10 Sponge
7,02  1,55  4,07  4,40  1,60  3,10  3,65  2,87  2,10  7,20 Alga
4,87  6,50  1,70  10,00  2,68  5,75  4,40  10,02  8,80  8,08 Fauna lain
0,39  1,60  0,07  0,70  0,25  1,60  0,90  0,92  0,71  0,00 Jumlah  83,42  83,35  85,26  82,85  71,45  79,60  81,25  85,39  75,76  58,90
ABIOTIK Karang Mati  11,80  6,30  3,54  10,45  6,25  10,35  2,90  3,80  11,51  8,85
Pasir  dll. 4,78  10,35  11,20  6,70  22,30  10,05  15,85  10,81  12,73  32,25
Jumlah  16,58  16,65  14,74  17,15  28,55  20,40  18,75  14,61  24,24  41,10 Pada Stasiun 2, perubahan persentase tutupan komponen penyusun terumbu
karang secara signifikan terjadi pada tahun 2011 Gambar 16. Dimana perubahan pada  tahun  2011  terlihat  pada  penurunan  yang  cukup  besar  pada  tutupan  karang
hidup  53,77 pada tahun 2010 menjadi 44,15 dan tutupan alga 21,83 pada
66 tahun 2010 menjadi 10,70. Penurunan kedua komponen biotik tersebut diikuti
dengan peningkatan yang cukup besar dari tutupan komponen abiotik yaitu karang mati  8,10  pada  tahun  2010  menjadi  20,55  dan  pasir  dan  patahan  karang
9,09 pada tahun 2010 menjadi 17,10. Tabel 16   Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 2
Komponen 2002  2003  2004  2005  2006  2007  2008  2009  2010  2011
BIOTIK Karang Hidup  60,14  59,13  58,60  59,10  59,13  58,28  57,18  55,45  53,77  44,15
Karang Lunak  24,50  22,42  22,08  21,60  24,40  23,80  26,17  22,50  21,83  10,70 Sponge
0,30 0,90
2,58 1,65
0,92 2,40
1,40 0,53
0,93 0,40
Alga 2,40
1,80 1,45
1,00 3,00
2,30 2,40
4,68 6,18
6,85 Fauna lain
0,70 1,50
0,00 1,25
0,45 1,90
0,70 0,10
0,10 0,25
Jumlah  88,04  85,75  84,71  84,60  87,90  88,68  87,85  83,26  82,81  62,35
ABIOTIK Karang Mati
1,05 3,25
4,44 4,20
3,10 2,80
2,80 6,95
8,10  20,55 Pasir  dll.
10,91  11,00  10,85  11,20 9,00
8,52 9,35
9,79 9,09  17,10
Jumlah  11,96  14,25  15,29  15,40  12,10  11,32  12,15  16,74  17,19  37,65 Tabel 17   Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 3
Komponen 2002  2003  2004  2005  2006  2007  2008  2009  2010  2011
BIOTIK Karang Hidup  74,84  72,80  72,86  73,85  72,83  73,35  73,60  73,00  78,81  72,95
Karang Lunak 7,06
8,60 9,00
8,20 8,66
9,00 7,75
9,25 7,95
2,90 Sponge
1,90 1,50
2,42 1,20
1,35 1,20
1,10 2,00
1,10 0,95
Alga 3,30
3,35 2,06
3,40 4,16
3,05 3,85
1,85 1,20
7,85 Fauna lain
0,65 0,65
0,23 1,20
1,05 0,70
0,85 1,15
0,90 0,20
Jumlah  87,75  86,90  86,57  87,85  88,05  87,30  87,15  87,25  89,96  84,85
ABIOTIK Karang Mati
6,30 6,00
6,55 4,80
4,90 5,80
5,90 6,53
3,90 4,15
Pasir  dll. 5,95
7,10 6,88
7,35 7,05
6,90 6,95
6,22 6,14  11,00
Jumlah  12,25  13,10  13,43  12,15  11,95  12,70  12,85  12,75  10,04  15,15 Perubahan yang terjadi di Stasiun 3 tidak siknifikan Tabel 17. Terjadinya
perbedaan  nilai  merupakan  fluktuasi  tutupan  pada  komponen  biotik  dan  abiotik setiap  tahun.  Pada  Stasiun  3  ini  terjadi  fluktuasi  tutupan  karang  hidup,  seperti
peningkatan  tutupan  pada  tahun  2005,  2007,  2008  dan  yang  cukup  besar  terjadi pada tahun 2010 73,00 pada tahun 2009 menjadi 78,81. Meskipun demikian
pada tahun 2011 terjadi penurunan tutupan komponen biotik 89,96 pada tahun
67 2010 menjadi 84,85 dan peningkatan tutupan abiotik 10,04 pada tahun 2010
menjadi  15,15,  dimana  perubahan  ini  lebih  besar  dibandingkan  dengan  yang terjadi tahun-tahun sebelumnya.
Tabel 18   Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 4
Komponen 2002  2003  2004  2005  2006  2007  2008  2009  2010  2011
BIOTIK Karang Hidup  38,06  37,40  37,22  34,58  34,10  33,55  31,07  29,33  27,69  23,50
Karang Lunak  18,52  19,35  17,87  16,50  16,82  21,01  21,50  20,27  21,10  16,12 Sponge
0,00 0,85
0,00 0,35
0,58 0,35
0,00 0,60
0,90 0,60
Alga 12,72  11,60  11,07  15,47  16,65  13,04  16,11  16,90  17,87
3,94 Fauna lain
1,00 0,60
0,50 1,30
0,10 0,60
0,00 3,40
2,45 0,60
Jumlah  70,30  69,80  66,66  68,20  68,25  68,55  68,68  70,50  70,01  44,76
ABIOTIK Karang Mati
6,60 6,80
8,58 5,65
5,60 6,28
5,12 5,55
5,40 7,66
Pasir  dll. 23,10  23,40  24,75  26,15  26,15  25,17  26,20  23,95  24,59  47,58
Jumlah  29,70  30,20  33,34  31,80  31,75  31,45  31,32  29,50  29,99  55,24 Perubahan  persentase  tutupan  komponen  penyusun  terumbu  karang  yang
terjadi di Stasiun 4 dan 5 dari tahun 2002 hingga 2010 tidak siknifikan Tabel 18 dan 19. Perubahan yang siknifikan terlihat pada tahun 2011 pada total persentase
tutupan biotik dan abiotik. Di Stasiun 4 terjadi penurunan tutupan biotik 70,01 pada tahun 2010 menjadi 44,76 dan peningkatan tutupan abiotik 29,99 pada
tahun 2010 menjadi 55,24. Demikian juga di Stasiun 5 terjadi hal yang sama, penurunan  tutupan  biotik  80,65  pada  tahun  2010  menjadi  56,75  dan
peningkatan tutupan abiotik 19,35 pada tahun 2010 menjadi 43,25. Tabel 19   Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 5
Komponen 2002  2003  2004  2005  2006  2007  2008  2009  2010  2011
BIOTIK Karang Hidup  40,65  39,84  38,57  37,97  38,26  34,45  28,53  27,39  25,88  27,78
Karang Lunak  27,05  27,76  27,48  29,53  26,04  25,60  36,97  36,82  39,07  20,45 Sponge
1,30 1,25
1,51 1,75
2,17 2,30
2,20 1,54
1,20 0,35
Alga 12,55  11,45  11,56  13,80  13,20  14,80  12,10  12,23  12,45
6,17 Fauna lain
0,95 2,95
1,52 0,90
0,70 3,20
0,90 1,48
2,05 2,00
Jumlah  82,50  83,25  80,64  83,95  80,37  80,35  80,70  79,46  80,65  56,75
ABIOTIK Karang Mati
3,35 2,20
4,58 4,15
6,20 8,00
7,40 6,56
5,70 5,15
Pasir  dll. 14,15  14,55  14,79  11,90  13,43  11,65  11,90  13,98  13,65  38,10
Jumlah  17,50  16,75  19,36  16,05  19,63  19,65  19,30  20,54  19,35  43,25
68 Kesamaan  perubahan  yang  terjadi  pada  Stasiun  4  dan  5,  disebabkan  oleh
karena  posisi  stasiun-stasiun  tersebut  yang  sejajar  dan  terletak  pada  sisi  bagian luar Pulau Putus-Putus yang berbatasan langsung dengan Laut Maluku. Posisi ini
menyebabkan tekanan yang diterima baik secara alami maupun aktivitas manusia pada kedua stasiun tersebut relatif sama.
Persentase  tutupan  pada  Stasiun  6  mengalami  perubahan  yang  siknifikan pada komponen karang hidup di tahun 2011 Tabel 20. Pada tahun 2011 tersebut,
penurunan  tutupan  karang  hidup  sangat  besar  47,81  pada tahun  2010  menjadi 25,95,  diikuti  dengan  peningkatan  tutupan  karang  mati  6,40  pada  tahun
2010  menjadi  17,60  dan  pasir  dan  rubble  17,86  pada  tahun  2010  menjadi 33,65.
Tabel 20  Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 6
Komponen 2002  2003  2004  2005  2006  2007  2008  2009  2010  2011
BIOTIK Karang Hidup  48,40  48,59  48,29  48,85  48,51  48,05  48,05  48,11  47,81  25,95
Karang Lunak  12,79  14,00  14,53  16,45  17,48  17,65  10,50  11,99 9,14
9,15 Sponge
1,20 1,10
2,08 1,20
1,40 0,90
3,10 3,25
4,30 2,20
Alga 8,60
9,11 7,67  10,65
9,27 7,75  12,35  11,54  12,59  10,70
Fauna lain 1,20
2,90 2,18
1,60 0,80
1,60 2,65
1,70 1,90
0,75 Jumlah  72,19  75,70  74,75  78,75  77,46  75,95  76,65  76,59  75,74  48,75
ABIOTIK Karang Mati
5,30 7,70
7,53 3,55
4,55 5,15
4,10 5,20
6,40  17,60 Pasir  dll.
22,51  16,60  17,72  17,70  17,99  18,90  19,25  18,21  17,86  33,65 Jumlah  27,81  24,30  25,25  21,25  22,54  24,05  23,35  23,41  24,26  51,25
Tingginya  penurunan  tutupan  karang  batu  di  Stasiun  6  pada  tahun  2011 sangat  dipengaruhi  oleh  kondisi  perairan,  dimana  hasil  pengukuran  kualitas  air
khususnya kekeruhan pada lokasi ini menunjukkan nilai  yang cukup tinggi  yaitu sebesar  6  NTU  Tabel  12.  Seperti  diketahui  karang  sangat  sensitif  terhadap
tingkat  kekeruhansedimentasi,  pada  tingkatan  kekeruhan  yang  tinggi  dapat menyebabkan kematian karang.
Menurut  Knowlton  2001  dan  Hughes  et  al.  2003,  karang  merupakan fauna  dominan  dalam  ekosistem  terumbu  karang  yang  mengalami  ancaman
kerusakan  sebagai  akibat  interaksi  global  dan  lokal  dari  berbagai  pihak  yang berkontribusi terhadap  degradasi  karang.  Selanjutnya  menurut mereka,  degradasi
69 karang  dapat  didefinisikan  sebagai  kematian  jaringan  karang  hidup  dan
menurunnya  keragaman  hayati  karang  seiring  meningkatnya  penutupan  dari  alga dan komponen biotik lainnya.
Lebih  lanjut  dalam  beberapa  penelitian  dikatakan  bahwa  kegiatan-kegiatan yang berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang meliputi penangkapan dan
perubahan  struktur  tropik  yang  mengakibatkan  perubahan  struktur  dalam  rantai makanan Jackson et al. 2001; Pandolfi et al. 2003, polusi nutrient Pastorok
Bilyard 1985, sedimen Rogers 1990; Fabricius 2005, toksin Glynn et al. 1989, perubahan  suhu  permukaan  laut  Glynn    D‟Croz  1990;  Glynn  1993,  1996;
Hoegh-Guldberg  1999.  Tekanan  yang  menyebabkan  karang  terdegradasi  secara
langsung melalui peningkatan tingkat kematian dan secara tidak langsung melalui peningkatan penyakit dan menurunnya proses rekruitmen karang. Pengamatan di
lokasi  penelitian  menunjukkan  faktor  penangkapan  ikan  yang  dilakukan  nelayan menjadi  salah  satu  penyebab  utama  degradasi  terumbu  karang  karena  beberapa
nelayan masih menggunakan cara-cara yang merusak seperti penggunaan bom dan racun dari getah pohon.
Selain  faktor  teknik  penangkapan  ikan,  degradasi  terumbu  karang  di  Pulau Hogow  dan  Pulau  Putus-Putus  ditemukan  fenomena  pemutihan  karang.  Dalam
kurun  waktu  10  tahun  pengamatan  selalu  di  temukan  karang-karang  yang mengalami pemutihan pada semua lokasi, dengan jumlah terbesar ditemukan pada
tahun  2009  hingga  2010.  Hal  ini  sangat  terlihat  dampaknya  dengan  turunnya secara drastis luasan tutupan karang pada pengamatan tahun 2011. Isu pemutihan
karang  sebagai  salah  satu  penyebab  degradasi  karang  juga  terjadi  di  Wakatobi Indonesia  BAPPENAS  2010  dan  Timur  Karibia  Donner  et  al.  2007  yang
disebabkan oleh kenaikan suhu permukaan.  Kejadian yang  sama juga dilaporkan oleh  Watlington  2006  di  pulau  Virginia,  Garrison  et  al.  2003  di  Afrika  dan
Levitus  et  al.  2000  di  Tropical  Western  Atlantic.  Dengan  demikian  dapat dikatakan  bahwa  tekanan  simultan  dari  berbagai  sumber  merupakan  penyebab
degradasi karang. Dalam  analisis  komponen  utama  principal  component  analysis-PCA,
variabel  yang  dilihat  adalah  komponen-komponen  bentik  penyusun  terumbu karang. Dalam analisis ini digunakan 2 sumbu yang memiliki kontribusi terbesar
terhadap  karakteristik  perairan.  Untuk  kedalaman  3  meter,  sumbu  pertama memberikan  kontribusi  sebesar  44,21  terhadap  sebaran  karakteristik  ACB
70 Acropora  branching,  ACT  Acropora  tabulate  dan  CM  coral  masive  pada
Stasiun 1, 2 dan 6. Pada sumbu ini korelasi yang bersifat negatif ditunjukkan oleh komponen  ACT  dan  CM,  artinya  disaat  persentase  tutupan  ACB  tinggi  pada
Stasiun  1,  2  dan  6,  akan  diikuti  dengan  rendahnya  persentase  tutupan  ACT  dan CM.  Sumbu  kedua  memberikan  kontribusi  35,52  terhadap  sebaran  CF  coral
foliose ,  SC  soft  coral  dan  algae  pada  Stasiun  3,  4  dan  5.  Korelasi  negatif
ditunjukkan  CF  pada  Stasiun  4  dan  5,  sedangkan  SC  dan  algae  pada  Stasiun  3, jadi  ketika  persentase  tutupan  CF  tinggi  di  Stasiun  3  akan  diikuti  dengan
persentase tutupan SC dan algae yang rendah. Hal sebaliknya terjadi di Stasiun 4 dan 5.
Gambar 13   Proyeksi  dari  stasiun  dan  komponen  bentik  dalam  bidang  dua dimensi sumbu 1 dan sumbu 2 dengan menggunakan PCA
Untuk kedalaman 10 meter, sumbu pertama memberikan kontribusi sebesar 44,64 terhadap sebaran karakteristik SC dan algae pada Stasiun 4, 5 dan 6. Pada
sumbu ini korelasi yang ada bersifat positif. Sumbu kedua memberikan kontribusi 24,46  terhadap  sebaran  CF,  ACB  dan  CB  coral  branching  pada  Stasiun  1,  2
dan  3.  Korelasi  negatif  ditunjukkan  CF  pada  Stasiun  4  dan  5,  jadi  ketika persentase  tutupan  ACB  dan  CB  tinggi  di  Stasiun  4  dan  5  akan  diikuti  dengan
persentase tutupan CF yang rendah. Dominasi karang dengan bentuk pertumbuhan ACB dan CB di Stasiun 4 dan 5 karena posisi lokasi berhadapan langsung dengan
Laut Maluku sehingga sering mengalami gempuran ombak serta memiliki reef flat yang  cukup  luas,  kondisi  seperti  itu  tidak  cocok  untuk  karang  dengan  bentuk
ACB
CE
CB
CM
CF SC
Algae DCA
St-1
St-2 St-4
St-5 St-3
St-6
-2,5 -2
-1,5 -1
-0,5 0,5
1 1,5
2 2,5
-2,5 -2 -1,5 -1 -0,5 0,5
1 1,5
2 2,5
-- a
xi s
F2 2
4 .4
6 --
-- axis F1 44.64  --
Kedalaman 10 meter
ACB
ACT CB
CM
CF SC
Algae
DCA
St-1 St-2
St-4 St-5
St-3 St-6
-2
-1,5 -1
-0,5
0,5
1 1,5
2
-2 -1,5
-1 -0,5
0,5 1
1,5 2
-- a
xi s
F2 3
5 .5
1 --
-- axis F1 44.21  --
Kedalaman 3 meter
71 pertumbuhan  CF.  Wilayah  terumbu  karang  yang  sering  mendapat  tekanan  fisik
gelombang perairan biasanya disominasi oleh karang bercabang.
4.2.3  Kondisi Ikan Target
Dari  hasil  penelitian,  ditemukan  86  spesies  yang  masuk  dalam  13  famili ikan  target.  Jumlah  spesies  yang  ditemukan  bervariasi  pada  setiap  tahun  dan
stasiun  pengamatan.  Gambar  14  menunjukkan  bahwa  perubahan  jumlah  spesies tidak membentuk suatu pola dari tahun ke tahun, dimana hal tersebut terlihat dari
nilai indeks determinasi R
2
yang sangat kecil.
Gambar 14 Perubahan jumlah spesies ikan target tahun 2002-2011 Seperti  yang  diungkapkan  Nybakken  1988,  perubahan  jumlah  spesies
ikan  target  pada  suatu  lokasi  sulit  untuk  dilihat  jika  lokasi  tersebut  masih mempunyai banyak tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada
suatu  keadaan  karang.  Jadi  dapat  dikatakan  bahwa,  ikan-ikan  ini  mempunyai
72 relung  ekologi  yang  lebih  sempit  dan  berarti  daerah  itu  dapat  menampung  lebih
banyak spesies. Emor 1993 dalam penelitiannya di pulau Bunaken menyatakan bahwa banyaknya spesies ikan karang disebabkan terdapatnya variasi habitat yang
ada di terumbu karang, dimana semua tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang yang berbeda.
Gambar 15   Perubahan jumlah Individu ikan target tahun 2002-2011
Jumlah  individu  ikan  target  yang  ditemukan  pada  masing-masing kedalaman dan stasiun berkisar dari 351 individu250m
2
kedalaman 10m Stasiun 6  tahun  2008  hingga  2027  individu250m
2
kedalaman  10m  Stasiun  3  tahun 2002.  Berbeda  dengan  jumlah  spesies,  pada  jumlah  individu  membentuk  suatu
pola  penurunan  jumlah  individu  dari  tahun  2002  hingga  2011  dengan  koefisien determinasi lebih dari 0,5. Penurunan jumlah individu ikan target di Pulau Hogow
73 dan  Pulau  Putus-Putus  ini  Gambar  15  mengikuti  apa  yang  terjadi  pada  luasan
tutupan karang hidup. Seperti yang dikemukakan oleh Hutomo et al. 1988 dalam penelitiannya di
pulau  Bali  dan  Batam  bahwa  kondisi  karang  yang  baik,  ditandai  dengan persentase  tutupan  karang  hidup  yang  tinggi  berhubungan  linier  dengan
kelimpahan  ikan.  Hal  ini  ditunjang  oleh pendapat  Sutton  1983  in  Emor  1993 yang  mendapatkan  hubungan  positif  antara  kelimpahan  ikan  karang  dengan
heterogenitas habitat karang. Seperti halnya pada jumlah individu, biomassa ikan target di Pulau Hogow
dan Pulau Putus-Putus menunjukkan suatu pola penurunan dari tahun 2002 hingga 2008  dan  mulai  meningkat  pada  tahun  2009  Gambar  16.  Setelah  dilakukan
analisis  diperoleh model −                    dengan koefisien
determinasi R
2
= 0,69 artinya model ini layak untuk digunakan. Walaupun  dari  data  jumlah  individu  dan  biomassa  terlihat  adanya
penurunan, tidak bisa karena hal tersebut dapat membuktikan secara meyakinkan bahwa  penurunan  yang  terjadi  pada  komunitas  ikan  target  semata-mata  karena
tekanan  kegiatan  eksploitasi  ikan  target.  Data  kondisi  terumbu  karang  telah menunjukkan,  bahwa  efek  penurunan  tutupan  karang  hidup  telah  memainkan
peran penting dalam menghasilkan kondisi ikan target seperti yang telah diamati.
Gambar 16    Penurunan biomassa ikan target tahun 2002 hingga 2011
74 Penurunan biomassa ikan target akan mempengaruhi keberadaan ekosistem
terumbu  karang  yaitu  dengan  adanya  perubahan  kondisi  ikan  target  akan  secara substansial  berpengaruh  terhadap  perubahan  tingkatan  tropik  tropic  level  di
ekosistem  terumbu  karang  dan  memiliki  dampak  terhadap  ketahanan  hidup  dan interaksi  antara  spesies  ikan  target.  Selain  itu,  dengan  memperhatikan  hubungan
antara  ukuran  panjang  dan  fekunditas,  diharapkan  bahwa  biomassa  ikan  target dewasa yang dilihat dari ukuran panjangnya dijelaskan lebih rinci pada bab 4.3
cukup  untuk  mendukung  hasil  telur  lebih  besar  dan  output  larva  per  satuan  luas terumbu karang khususnya pada wilayah pemijahan, sehingga produksi larva terus
meningkat dan tersebar ke wilayah terumbu karang sekitarnya. Berdasarkan  jumlah  individu  dari  masing-masing  jenis  ikan  target  yang
diperoleh,  dilakukan  perhitungan  indeks  keannekaragaman.  Secara  keseluruhan, indeks keannekaragaman ikan target yang diperoleh cukup tinggi dengan rata-rata
nilai  yang  diperoleh  pada  keseluruhan  stasiun  pengamatan  sebesar  2,48  hingga 3,19.  Nilai  rata-rata  tertinggi  diperoleh  pada  Stasiun  1  kedalaman  3  meter  dan
terendah pada Stasiun 2 kedalaman 10 meter. Dari  Tabel  21  terlihat  bahwa  terdapat  perbedaan  nilai  rata-rata  indeks
keanekaragaman antara kedalaman 3 meter dan 10 meter. Pada kedalaman 3 meter nilai  indeks  keanekaragaman  yang  diperoleh  lebih  besar  3,  sedangkan  pada
kedalaman  10  meter  lebih  kecil  3.  Hal  ini  tentunya  berhubungan  dengan keberagaman habitat komponen bentik penyusun terumbu karang yang ada pada
masing-masing  kedalaman.  Pada  lokasi  penelitian,  ditemukan  keberagaman habitat  yang  lebih  banyak  pada  kedalaman  3  meter.  Topografi  lokasi  ikut
mendukung keberagaman habitat yang ada, dimana kedalaman 3 meter umumnya terletak  pada  daerah  reef  flat  hingga  reef  slope,  sedangkan  kedalaman  10  meter
umumnya sudah berada pada daerah drop dengan tingkat kemiringan hingga 90
o
. Kondisi ini menyebabkan komponen bentik karang yang mendiami kedalaman 10
meter  didominasi  oleh  tipe  bentuk  pertumbuhan  tertentu,  seperti  karang encrusting
dan foliose. Lebih  sedikitnya  tipe  habitat  yang  ada  pada  kedalaman  10  meter
menyebabkan  jenis  ikan  target  yang  ada  pada  kedalaman  ini  lebih  sedikit dibandingkan  dengan  kedalaman  3  meter.  Oleh  sebab  itu  dapat  dikatakan  bahwa
tingginya  keragaman  ikan  target  pada  suatu  lokasi  berhubungan  erat  dengan variasi  habitat yang ada di terumbu karang, dimana semua tipe habitat yang ada
diisi oleh jenis ikan target.
75 Tabel 21
Indeks keanekaragaman H‟ ikan target
Tahun 1
2 3
4 5
6 3m  10m  3m  10m  3m  10m  3m  10m  3m  10m  3m  10m
2002
3,17  2,94  3,20  2,62  3,35  3,27  3,19  3,21  3,25  3,29  3,41  3,09
2003
2,86  2,86  3,09  2,34  3,17  3,10  3,08  2,97  3,28  3,13  3,16  2,82
2004
3,06  2,74  3,00  2,31  3,19  3,03  3,05  2,99  3,25  3,15  3,17  3,03
2005
3,13  2,81  3,08  2,41  3,18  2,65  3,22  3,01  3,30  3,16  3,38  2,94
2006 3,16  2,78  2,99  2,28  3,04  3,19  3,23  3,04  3,22  3,11  3,20  2,88
2007 3,18  2,43  2,74  2,44  3,10  3,03  3,12  3,02  2,92  2,94  2,87  2,38
2008
3,24  2,90  3,00  2,70  2,95  2,49  2,90  2,62  2,86  2,12  2,75  2,86
2009
3,41  2,61  3,15  2,53  3,11  2,79  3,15  2,82  3,27  2,96  3,03  2,89
2010
3,37  2,90  3,30  2,57  3,27  3,07  3,21  2,83  3,23  3,10  3,10  2,92
2011
3,33  2,95  3,26  2,63  3,29  2,89  3,18  2,45  3,22  2,87  3,08  2,86
Rata-rata
3,19  2,79  3,08  2,48  3,17  2,95  3,13  2,90  3,18  2,98  3,11  2,87 Keberadaan  ikan  target  di  lokasi  peneltian,  juga  dilihat  dari  sisi  potensi
sumberdaya  perikanannya.  Potensi  ini  menggambarkan  perikanan  terumbu  yang ada  di  Pulau  Hogow  dan  Pulau  Putus-Putus  dengan  mengestimasi  kelimpahan
stok, hasil tangkapan potensial dan MSY maximum sustainable yield optimal.
Gambar 17   Stok, potensial tangkapan dan MSY
opt
ikan target tahun 2002-2011 Adanya  degradasi  yang  terjadi  pada  tutupan  karang  hidup,  berimplikasi
terhadap keberadaan stok ikan target, seperti pada Gambar 17 terlihat penurunan stok,  potensial  tangkapan  dan  MSY
opt
dari  tahun  2002  hingga  2011,  dimana khusus untuk stok pada tahun 2002 sebesar 24.579.800 ekor menjadi 11.065.600
76 ekor  pada  tahun  2011.  Penurunan  yang  sangat  besar  ini  tentu  sangat
mengkhawatirkan  dari  sudut  ekologi  karena  hal  ini  mengindikasikan  terjadinya degradasi  kualitas  terumbu  karang  di  Pulau  Hogow  dan  Pulau  Putus-Putus.
Dampak  langsung  dari  hal  tersebut  dirasakan  oleh  nelayan  khususnya  nelayan yang beraktifitas di terumbu karang.
4.3  Penentuan  Wilayah  Pemijahan,  Pembesaran  dan  Mencari  Makan Secara Spasial Dan Temporal