Lempur. Masyarakat tetap melakukan kegiatan pembukaan hutan, walaupun telah dilakukan pemetaan batas Kawasan Hulu Air Lempur serta Hutan Adat Lekuk 50
Tumbi. Selama harga kayu manis masih tinggi maka pembukaan hutan alam akan semakin meningkat juga. Hal ini yang mengakibatkan perubahan penutupan
kawasan hutan alam baik di Kawasan Hulu Air Lempur serta Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur.
2. Melemahnya pelaksanaan mekanisme adat
Nilai pendapatan ekonomi masyarakat yang meningkat dari bersumber budidaya tanaman kayu manis, telah mampu menciptakan pergeseran nilai adat
budaya tradisional yang telah ada dan berlangsung sejak lama. Masalah ini yang kemudian mampu merubah peta budaya adat tradisional maupun wibawa lembaga
adat, sehingga menimbulkan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat desa. Perubahan mekanisme adat ini dalam pengelolaan lahan di Kawasan Lempur serta
pengelolaan lembaga adat oleh lembaga adat. Keempat pemimpin desa dibidang pemerintahan mempunyai hubungan keluarga yang sangat dekat. Hal ini cukup
potensial untuk menggerakkan masyarakat di bidang pembangunan. Seseorang yang jika berbuat salah, maka yang lain tidak dapat menegur secara tegas.
Berbeda dalam hal penggunaan lahan, para depati dapat membelanya jika sewaktu-waktu terjadi perselisihan dan lahan dapat dipakai secara turun-temurun.
Posisi lembaga adat desa merupakan media tunggal dan menjadi sangat strategis sebagai forum sentral untuk menentukan kebijakan pembangunan desa.
Lembaga adat memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemerintahan desa. Oleh karena itu setiap keputusan atau kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintahan desa harus disetujui oleh lembaga adat .
Kepala adat dapat menjadi pimpinan baik kepala desa atau kedudukan lain dalam
pemerintahan desa dwi fungsi. Kondisi ini dapat menimbulkan kekuasaan yang cenderung otoriter baik dalam pemerintahan desa ataupun lembaga adat.
Semua aturan dan ketentuan adat tentang pemanfaatan sumberdaya alam telah didokumentasikan oleh Lembaga Adat lekuk 50 Tumbi. Aturan dan
ketentuan adat itu sebagian besar hanya diketahui dan dipahami oleh beberapa tokoh saja. Terdapat juga tokoh yang secara garis keturunan merupakan pewaris
gelar adat, sama sekali tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang adat.
Anggota masyarakat biasa yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang adat dan aturan tentang pengelolaan sumberdaya alam, sebaliknya di dalam
pengambilan keputusan saat sidang adat, suara mereka kurang diperhitungkan. Penerapan keputusan adat kadang-kadang tidak memenuhi rasa keadilan
dimasyarakat. Seringkali keputusan adat hanya memuaskan pihak yang lebih kuat atau yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan tokoh adat.
Masyarakat tidak memiliki waktu atau ruang khusus bagi untuk mempelajari atau mengetahui ketentuan adat. Praktek dan seluk beluk adat hanya
diketahui oleh masyarakat apabila ada upacara adat ataupun sidang adat. Penyebaran dan pencerdasan tentang nilai-nilai adat dari para tokoh adat kepada
masyarakat sangat kurang. Masyarakat awam tidak punya waktu untuk mengetahui adat. Minat orang muda untuk mempelajari adat sangat rendah.
Menurut pandangan orang muda, adat istiadat adalah urusan orang tua. Orang muda cenderung memilih berbagai informasi dan budaya dari dunia luar daripada
nilai-nilai yang telah dimiliki .
Struktur sosial masyarakat turut mempengaruhi gejala ini secara timbal balik, terutama dalam pola pewarisan. Pusako tinggi berupa tanah basah dan
rumah pada anak perempuan secara sistem “dialir ganti”. Akibatnya lahan semakin sempit mendorong perluasan areal baru. Pembukaan lahan melalui
mekanisme “ajun arah” yang dikendalikan pemuka adat, saat ini sudah tidak diterapkan lagi. Hal ini dikarenakan meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan
atas tanah sangat besar sehingga menyebabkan cara pembukaan hutan melalui mekanisme “arah kuaso” tanpa pengendalian pemuka adat. Sistem ini
menyebabkan perubahan kepemilikan lahan dari sebelumnya merupakan milik adat menjadi milik individu masyarakat. Sistem “ajun arah” sudah tidak berlaku
lagi dimasyarakat dan ini menguntungkan pihak-pihak yang memiliki modal untuk membeli tanah di kawasan Lempur untuk dijadikan daerah perkebunan.
Oleh karena itu, saat ini setiap masyarakat baik penduduk lokal maupun pendatang dapat mempunyai lahan garapan asal memiliki modal tanpa ada aturan
lagi dari lembaga adat. Pola hidup masyarakat Lempur saat ini telah mengalami perubahan. Pola
hidup konsumtif dan individual berkembang dimasyarakat. Hal ini sudah tidak
sesuai dengan aturan-aturan Tambo Lekuk 50 Tumbi yang ada. Hal ini akan mengakibatkan budaya di Lempur akan luntur dan jika dibiarkan terus menerus
maka akan terjadi pengikisan sumberdaya baik alam maupun budaya yang tidak dapat dikendalikan.
3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk