Evaluation of community forest plantation policy implementation process in Sarolangun Regency in Jambi Province

(1)

EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

DEWI FEBRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI adalah hasil karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber data yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Dewi Febriani NIM. E161070041


(3)

ABSTRACT

DEWI FEBRIANI. Evaluation of Community Forest Plantation Policy Implementation Process in Sarolangun Regency in Jambi Province. Under direction of DUDUNG DARUSMAN, DODIK RIDHO NURROCHMAT, and NURHENI WIJAYANTO.

Community forest plantation policy in Sarolangun Regency has poor performance in implementation. Realization of utilization permit timber-forest plantation (IUPHHK) was issued from Sarolangun district government just about 156.44 ha for 18 KK (0.82% from total provisioning area). Low performance and achievements in the implementation of HTR, requires a comprehensive evaluation on implementation of HTR policy.

The objective of this study are evaluate the HTR policy implementation process as a system of policies, begin from policy content, policy actors (local government and community) to environmental policy. Content of the policy was evaluated using by four indicators, namely: (1) policy objectives, (2) assumptions used, (3) the structure implementation; and (4) human resources and financial support. The policy actors and policy environment will be analyzed using quantitative descriptive analysis and stakeholder analysis. The final result of this study was recommendation of policy implementation strategies in the District Sarolangun, constructed using by analysis of strengths, weakness, opportunities, threats (SWOT) and quantitative strategic planning matrix (QSPM).

The results showed that HTR policy still needs to be adjusted, because: (a) there are some differences in the perception of translating the objectives of HTR between the Ministry of Forestry and local governments, (b) the assumptions used by the Forestry Ministry in formulating the policy is not appropriate with existing field conditions, and (c) unpreparedness stakeholder activities contained in the structure of the implementation of HTR in implementing the policy.

Level of readiness, commitment and ability of the District Government in implementing HTR Sarolangun included in the category of middle - low, while the capital owned by the communities included in the category of middle, both physical capital (44%), human capital (46%) and social capital (53 %

Based on the above conditions, alternative strategies can be developed in policy implementation in the District Sarolangun HTR are: 1) accommodate exiting community models in forest land as community motivation; (2) optimize local government support to accelerate license process, assistance, and intensive socialization about HTR; and (3) use timber scarcity issues and PT Samhutani as market opportunity issues to stimulating community to plant timber.

). The level of public participation is included in the low category (81.48%) with a voluntary to participate degree in the induction participation. Based on the participation level (Arnstein, 1969), levels of public participation in the Lamban Sigatal dan Seko Besar village in the stage of providing information. While the process of participation in the Taman Bandung village in the stage of consultation.


(4)

RINGKASAN

DEWI FEBRIANI. Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, DODIK RIDHO NURROCHMAT, dan NURHENI WIJAYANTO.

Proses implementasi kebijakan hutan tanaman rakyat (HTR) di Kabupaten Sarolangun berjalan lambat. Realisasi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun hingga saat ini baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK atau 0.82% dari total luas pencadangan. Rendahnya kinerja dan pencapaian dalam implementasi HTR membutuhkan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses implementasi kebijakan HTR.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi proses implementasi kebijakan HTR secara menyeluruh sebagai sebuah sistem kebijakan, mulai dari isi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah dan masyarakat) hingga lingkungan kebijakan. Isi kebijakan dievaluasi menggunakan empat indikator, yaitu: tujuan kebijakan, asumsi yang digunakan, struktur implementasi dan dukungan sumberdaya manusia dan finansial; sedangkan pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan analisis stakeholder. Hasil akhir dari penelitian ini adalah rekomendasi strategi implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun yang dibangun menggunakan metode analisis strengths, weakness, opportunity. treaths (SWOT) dan quantitative strategic planning matrix (QSPM).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan HTR masih perlu disesuaikan agar dapat diimplementasikan di Kabupaten Sarolangun, karena: (a) terdapat perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan HTR antara Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah; (b) asumsi yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan dalam menyusun kebijakan tersebut kurang sesuai dengan kondisi lapangan yang ada; dan (c) Ketidaksiapan para pemangku kegiatan (stakeholders) yang terdapat dalam struktur implementasi HTR dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Stakeholder kunci dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun adalah Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Kabupaten Sarolangun, Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi, BP2HP dan Universitas Jambi. Instansi-instansi tersebut memiliki kepentingan yang tinggi terhadap implementasi HTR dan memiliki pengaruh yang tinggi pula. Namun hanya Disbunhut Kabupaten Sarolangun dan Dishut Provinsi Jambi saja yang memiliki kekuatan yang tinggi. Oleh karena itu, Disbunhut Kabupaten Sarolangun hendaknya berkolaborasi dengan Dishut Provinsi Jambi dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun.

Lingkungan kebijakan yang mendukung implementasi kebijakan HTR adalah budaya masyarakat menanam tanaman berkayu, kebiasaan berladang sesuai kemampuan, peladang berpindah, kelangkaan kayu dan pemasaran karet. Kelangkaan kayu di lokasi penelitian diketahui melalui tingkat kesulitan masyarakat mendapatkan kayu berkualitas baik. Hasil penelitian menunjukkan


(5)

bahwa masyarakat merasa kesulitan mendapatkan kayu. Umumnya kayu yang digunakan berasal dari ladang sendiri yang jumlahnya sudah sedikit.

Tingkat kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang-rendah, sedangkan komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun termasuk dalam katagori sedang dan kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori rendah.

Modal yang dimiliki masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang, baik modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Dengan modal yang cukup ini, diharapkan implementasi kebijakan HTR yang menuntut peran sentral masyarakat dapat berjalan dengan baik.

Tingkat partisipasi masyarakat termasuk dalam kategori rendah dengan derajat kesukarelaaan untuk berpartisipasi termasuk dalam partisipasi terinduksi, di mana partisipasi masyarakat timbul karena motivasi ekstrinsik berupa bujukan, pengaruh atau dorongan dari luar meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi atau tidak. Hal ini menyebabkan masyarakat merasa terpaksa dan tidak antusias dalam berpartisipasi. Berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat di Desa Seko Besar dan Lamban Sigatal termasuk dalam tahap informing sedangkan masyarakat Desa Taman Bandung yang telah memasuki level konsultasi (consultation).

Berdasarkan kondisi di atas, alternatif strategi yang dapat dikembangkan dalam implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah (a) mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai motivasi agar masyarakat mau berpatisipasi dalam kebijakan HTR; (b) mengotimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perijinan, pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat (c) menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran ke PT Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu.


(6)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya


(7)

EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

HUTAN TANAMAN RAKYAT

DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

DEWI FEBRIANI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc


(9)

Judul Disertasi : Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi

Nama : Dewi Febriani

NIM : E161070041

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A.

Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc.F.Trop.

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S.

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Katodihardjo, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(10)

PRAKATA

Alhamdulllaahirobbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, ridho dan hidayah-Nya, disertasi yang berjudul “Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan, Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi” ini dapat diselesaikan. Penyusunan disertasi ini diajukan sebagai syarat memperoleh gelar Doktor pada Mayor Ilmu Pengetahuan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop serta Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S selaku anggota komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan, berbagi ilmu dan pengalaman sehingga menambah wawasan dan cakrawala kami dalam penyusunan disertasi ini. Semoga semua ini akan menjadi amal ibadah bagi mereka.

2. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S dan Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup; serta Dr.Ir. Iman Santoso, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihadjo, M.S. selaku penguji luar komisi dalam ujian terbuka; atas saran dan masukan untuk perbaikan disertasi ini. 3. Ir. Akub Indrajaya, Ir. Bambang Yulisman, Ir. Budikus Yulianto, dan semua

jajaran Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun atas bantuan tenaga dan data-data yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian di Kabupaten Sarolangun, Jambi, serta Ir. Endang Pudjiastuti, M.S, atas kerjasama dan bantuannya selama mengumpulkan data di lapangan.

4. Drs. Ishak Zakaria dan Zuraidah Taher, kedua orang tuaku yang senantiasa memberikan dukungan dan doa sepanjang perjalanan hidupku.

5. Suamiku, Suyanto dan kedua anakku (Muhammad Tegar Rabbani Dewanto dan Kasih Dean Tsamarrah) atas cinta, pengertian, kasih sayang, dukungan kepada penulis. Terima kasih telah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan dan keberhasilanku.


(11)

6. Tika dan Ria, adik-adikku yang senantiasa memberikan bantuan dan dukungan selama aku menjalani pendidikan dan semua keluarga di Bengkulu, Bogor, Solo dan Surabaya atas doa dan dukungannya.

7. Teman-teman S3 angkatan 2007, atas dukungan dan kerjasama kita selama kuliah di sekolah pascasarjana IPB. Semoga kerjasama yang erat dapat kita bangun dan terus berlanjut hingga masa yang akan datang

8. Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana dalam mengikuti pendidikan program Doktor di IPB.

9. Semua pihak yang telah banyak memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung sejak penyusunan proposal, pengambilan data hingga tersusunnya disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan-kekurangan. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan penulis sebagai manusia yang memiliki keterbatasan. Namun demikian, penulis tetap berharap disertasi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kalangan rimbawan pada khususnya. Amien.

Bogor Juli 2012 Dewi Febriani


(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bengkulu pada tanggal 19 Februari 1974 sebagai anak kedua dari ayah bernama Drs. Ishak Zakaria dan ibu Zuraidah Taher. Penulis menikah dengan Suyanto, SE pada tahun 2005 dan dikaruniai dua orang anak, Muhammad Tegar Rabbani Dewanto (5 tahun) dan Kasih Dean Tsamarrah (2 tahun).

Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD. Sint Carolus Bengkulu. Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di SMPN 2 Bengkulu dan pendidikan menengah atas di SMAN 4 Bengkulu. Pada tahun 1992, penulis melanjutkan studi di Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu dan meraih gelar sarjana pada tahun 1998. Pada tahun 2000 penulis berhasil menyelesaikan program pendidikan Akta Mengajar IV di Universitas Terbuka.

Penulis mengawali karir sebagai honorer di Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu pada tahun 1998 hingga 2000. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Gadjah Mada dan meraih gelar Master Pertanian pada tahun 2002, dengan predikat cum laude.

Sejak tahun 2003 penulis bekerja di Kementerian Kehutanan, Jakarta sebagai staf di Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, yang beralamat di Gedung Manggala Wanabhakti hingga sekarang. Tahun 2005, penulis dipercaya untuk menjadi koordinator sekretariat Indonesian National Forest Programme. Pada tahun 2007, penulis mendapat penugasan sebagai karyasiswa program Doktoral Kementerian Kehutanan pada program studi Ilmu Pengetahuan Hutan (IPH), Sekolah Pascasarjana, IPB.


(13)

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. ix

DAFTAR GAMBAR………. xii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiv

I. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kebaruan (Novelty)... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 9 2.1 Kebijakan Publik………... 2.2 Implementasi Kebijakaan ………...

9 10 2.3 Faktor Penentu Kinerja Implementasi ………..

2.3.1 Kebijakan publik ……….………….. 2.3.2 Implementator dan target kebijakan ……….. 2.3.2.1 Modal fisik..………. 2.3.2.2 Modal manusia………..………... 2.3.2.3 Modal sosial… ……..……….. 2.3.3 Lingkungan implementasi kebijakan ……….... 2.3.4 Analisis Stakeholder……….. 2.4 Konsep Pemberdayaan Masyarakat………... 2.5 Sekilas tentang Hutan Tanaman ……….. 2.5.1 Defenisi hutan tanaman rakyat………. 2.5.2 Kebijakan hutan tanaman rakyat……….. 2.6 Beberapa Tulisan dan Penelitian Mengenai HTR ………

12 12 13 14 15 16 18 19 22 28 28 29 32

III. METODOLOGI

3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.2 Ruang Lingkup Penelitian ... 3.3 Desain Penelitian ………. 3.3.1 Teknik pengumpulan data ………... 3.3.2 Teknik penentuan responden dan informan….……… 3.3.3 Instrumen penelitian ……… 3.3.4 Jenis dan sumber data ………

35 40 40 40 40 41 43 44 3.4Metode Analisis ………

3.4.1 Evaluasi terhadap Isi Kebijakan....………... 3.4.2 Evaluasi terhadap Pelaku Kebijakan dan Lingkungan

Kebijakan ………. 3.4.3 Evaluasi terhadap Pemangku Kepentingan ………. 3.4.4 Evaluasi Kesenjangan Implementasi HTR ……….

46 46

47 48 51


(15)

x

3.4.5 Formulasi Strategi Implementasi Kebijakan ………... 3.4.5.1 Tahap pengumpulan data ……… 3.4.5.2 Tahap analisis……….. 3.4.5.3 Tahap pengambilan keputusan ………...

52 53 56 58

IV. KEBIJAKAN DAN LINGKUNGAN KEBIJAKAN

4.1 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ……….. 4.1.1 Kejelasan dan Konsistensi Tujuan ………... 4.1.2 Asumsi yang Digunakan………... 4.1.3 Struktur Implementasi ……….. 4.1.4 Dukungan SDM dan Finansial ………. 4.2 Lingkungan Kebijakan……….. 4.2.1 Dukungan Politik dan Stakeholders Lain………. 4.2.2 Kondisi Sosial Budaya ………. 4.2.3 Pemasaran …………...………. 4.2.4 Kelangkaan Kayu…..………

61 61 65 67 71 73 73 85 89 92

V. KAPASITAS IMPLEMENTASI PELAKU KEBIJAKAN

5.1 Kesiapan, Kemauan dan Kemampuan Pemerintah Daerah……… 5.1.1 Kesiapan pemerintan daerah………. 5.1.2 Kemauan (komitmen) pemerintan daerah……….... 5.1.3 Kemampuan pemerintah daerah……… 5.2 Modal Fisik, Modal Manusia dan Modal Sosial Masyarakat…….

5.2.1 Modal fisik yang dimiliki oleh masyarakat ………. 5.2.2 Modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat……… 5.2.3 Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat……….

5.2.3.1 Kepercayaan terhadap sesama……… 5.2.3.2 Kepatuhan terhadap norma……… 5.2.3.3 Kepedulian terhadap sesama……….. 5.2.3.4 Keterlibatan dalam organisasi sosial……….

97 97 102 103 104 104 106 111 111 112 113 114

VI. EVALUASI GAP IMPLEMENTASI

6.1 Peningkatan Kualitas Hutan Produksi Versus Pemberdayaan Masyarakat ………... 6.2 Tingkat Partisipasi ………... 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi………….. 7.3.1 Modal fisik ………. 7.3.2 Modal manusia………... 7.3.3 Modal sosial………... 6.4 Derajat Kesukarelaan dan Tingkat Partisipasi ……… 6.5 Prospek Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun……….

VII. PERUMUSAN STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

7.1 Tahap Pengumpulan Data……….. 7.1.1 Faktor internal……….. 7.1.2 Faktor eksternal……… 7.2 Tahap Analisa Data………

117 121 124 127 128 129 130 133 139 139 142 145


(16)

7.3 Tahap Pengambilan Keputusan ………. 7.4 Rekomendasi Strategi Implementasi Kebijakan HTR……… 7.4.1 Akomodir pola pemanfaatan lahan saat ini………... 7.4.2 Optimalisasi peran pemda………. 7.4.3 Memanfaatkan isu kelangkaan kayu dan peluang

pemasaran………. 7.5 Desain Implementasi Strategi Terpilih ………..

7.5.1 Sistem silvikultur ………... 7.5.2 Penentuan jenis tanaman……… 7.5.3 Pola penanaman ……….

7.5.3.1 Hutan campuran berbasis tanaman karet………. 7.5.3.2 Hutan campuran berbasis tanaman berkayu……. 7.5.3.3 Hutan campuran jernang ………... 7.5.4 Kelembagaan………..

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan……… 8.2 Saran ……….

DAFTAR PUSTAKA ……….………... LAMPIRAN………...…….

149 151 151 153

154 155 156 158 159 159 160 162 165

169 170

171 181


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tingkatan Partisipasi Menurut Arnstein (1995) ………. 2 Pengelolaan Hutan Berdasarkan Kondisi Modal Sosial dan Kapasitas

Negara……….. 3 Tiga Elemen Sistem Kebijakan ………... 4 Kerangka Pemikiran Penelitian ……….. 5 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan………. 6 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kekuatan….………. 7 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh, Kepentingan dan Kekuatan

yang Dimilikinya ……… 8 Posisi Partisipasi Masyarakat dalam Analisis SWOT……….. 9 Dimensi-Dimensi Kebijakan yang Mempengaruhi Implementasi……….. 10 Posisi Stakeholder Berdasarkan Tingkat Kepentingan dan Pengaruh….. 11 Posisi Stakeholders Berdasarkan Kekuatan dan Pengaruh …...……… 12 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh, Kepentingan dan Kekuatan

yang Dimilikinya ……… 13 Pola Pemasaran Karet di Kabupaten Sarolangun ……….. 14 Pola Pemasaran Jernang di Desa Lamban Sigatal………. 15 Tingkat Kesulitan Responden dalam Mendapatkan Kayu dengan

Kualitas Baik………... 16 Tingkat Koordinasi antar Institusi dalam Rangka Implementasi Hutan

Tanaman Rakyat……… 17 Manfaat yang Dirasakan Responden Setelah mengikuti Sosialisasi

Kebijakan HTR dan Pelatihan mengenai HTR……… 18 Pendapat Responden Mengenai Kesesuaian Areal Pencadangan

Hutan Tanaman Rakyat ………... 19 Matriks SWOT Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Sarolangun… 20 Kedudukan Posisi Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Kabupaten

Sarolangun……….……… 21 Proporsi Rata-Rata Pendapatan Masyarakat …..………...

23 30 36 39 32 49 50 51 58 64 76 81 82 91 91 93 99 99 101 146 148 152


(18)

23 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu I……... 24 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu II………….. 25 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet I………… 26 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet II………... 27 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu

Fast Growing……….

28 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu Bukan Jenis Fast Growing………..

161 162 163 163

164


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Perbedaan antara Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan ………...………... 2 Lokasi Penelitian Berdasarkan Peta Pencadangan Lokasi HTR di

Kabupaten Sarolangun………. ……….. 3 Proses Mekanisme Pencadangan Areal HTR……….. 4 Proses Pengajuan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR ……. 5 Distribusi Modal Fisik yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan Desa Asal Responden ……….. 6 Distribusi Modal Manusia yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan

Desa Asal Responden ………...……….. 7 Distribusi Modal Sosial yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan

Desa Asal Responden ...……….. 8 Nilai Bobot Faktor Strategis Internal……….. 9 Nilai Bobot Faktor Strategis Eksternal…..………. 10 Nilai Rating Faktor Strategis Internal………. 11 Nilai Rating Faktor Strategis Eksternal………... 12 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM

Strategi 1 ... 13 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM

Strategi 2 ... 14 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM

Strategi 3 ... 15 Beberapa Jenis Pohon Penting yang Ditemukan dalam Kelompok Hutan

dalam Areal Pencadangangan HTR... 177

179 180 181

182

182

183 184 185 186 187

188

190

192


(20)

(21)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi hutan Indonesia saat ini sangat memprihatinkan akibat meningkatnya laju deforestasi dan degradasi hutan; menurunnya investasi di bidang kehutanan dan pembangunan hutan tanaman; dan meningkatnya illegal logging. Data Forest Watch Indonesia (2002) menunjukkan bahwa pada tahun 1950-an luas hutan di Indonesia mencapai 84% dari total luas daratan, namun di tahun 1989 luas hutan telah menurun menjadi 60%. Data Departemen Kehutanan (2006) menunjukkan bahwa pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1.8 juta hektar pertahun. Periode 1997-2000 laju deforestasi mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2.8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1.08 juta hektar. Statistik Kehutanan Indonesia 2010 menunjukkan bahwa total deforestasi di dalam dan luar kawasan hutan periode 2006-2009 mengalami penurunan menjadi 832 126.9 ha/tahun (Kemenhut 2011a).

Di lain pihak, kebutuhan bahan baku kayu nasional semakin meningkat dan diprediksi tidak akan mampu dipenuhi oleh hutan alam yang tersisa. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan (2011a) diketahui kapasitas industri kayu saat ini diperkirakan sebesar 65.6 juta m3 per tahun, sementara produksi kayu yang dihasilkan baik dari hutan alam maupun hutan tanaman pada tahun 2006–2010 rata-rata hanya sebesar 47.5 juta m3

Kerusakan hutan menjadi lebih parah oleh konflik sosial yang terjadi akibat pengakuan hak (property right) masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya hutan (Colchester & Fay 2007; Kartodihardjo, 2007). Masyarakat sekitar hutan sering dianggap sebagai sebuah entitas yang dapat mengganggu proses pengelolaan kawasan hutan, sehingga

per tahun. Untuk memenuhi defisit permintaan tersebut banyak terjadi penebangan dan pemanenan yang berlebihan (overcutting dan overharvesting) di dalam kawasan hutan. Akibatnya luas penutupan hutan semakin berkurang dan areal bekas tebangan tersebut berkembang menjadi lahan kritis.


(22)

seringkali diposisikan sebagai musuh, pihak yang bertanggung jawab terhadap perambahan kawasan hutan dan perusak lingkungan (Li, 2002).

Eksistensi hutan dan dinamika masyarakat di sekitarnya berlangsung secara tidak seimbang, yang menyebabkan kawasan hutan semakin mengalami tekanan, ancaman dan sangat rentan (vulnerable). Hal ini tidak dapat diatasi dengan meniadakan komponen yang dianggap mengancam (masyarakat), tetapi harus dengan cara memperbaiki dan membangun hutan bersama-sama (pemerintah dan masyarakat) agar hutan menjadi tetap lestari dan bermanfaat (Sumanto, 2009).

Kartodihardjo (2007) berpendapat bahwa kerusakan hutan tidak mungkin dapat dihentikan tanpa dibangunnya kondisi yang memungkinkan tumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap hutan. Dengan kata lain keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan merupakan suatu keharusan. Cara alternatif yang dapat dipilih pemerintah adalah dengan menggulirkan kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Pemerintah mencanangkan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada tahun 2007 sebagai salah satu usaha untuk mengurangi lahan kritis di dalam kawasan hutan produksi, memenuhi kebutuhan industri kayu dan meningkatkan keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan produksi. Kebijakan ini dibuat untuk melengkapi skema-skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah ada sebelumnya, seperti hutan kemasyarakatan (HKm), hutan rakyat (HR), hutan desa (HD) dan beberapa bentuk kerjasama pengelolaan hutan antara perusahaan swasta dengan masyarakat. Pada skema HTR pemerintah membuka akses yang lebih besar kepada masyarakat untuk membangun dan memanfaatkan areal hutan produksi dibandingkan dengan skema pengelolaan lainnya (Schneck 2009; Noordwijk et al. 2007; Emila & Suwito 2007)

Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat dirasa tepat dalam menyikapi problema yang terjadi di bidang kehutanan. Moratorium hutan produksi yang saat ini sedang dalam proses, mengharuskan alternatif substitusi hutan produksi dalam mengatasi kelangkaan kayu. Bila kebijakan ini berhasil membangun hutan tanaman rakyat dengan luasan yang cukup, maka kelangkaan kayu masa depan dapat teratasi.

Di samping itu, lemahnya kekuatan pemerintah pasca reformasi dan banyaknya kawasan hutan produksi yang secara de facto menjadi open access


(23)

3

menuntut pemerintah untuk mencari cara alternatif untuk mengamankan kawasan hutan produksi. Kebijakan HTR juga dapat memayungi kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam kawasan hutan produksi, sehingga konflik kepemilikan lahan (tenurial) diharapkan dapat teratasi.

Guna mendukung kebijakan ini, Kementerian Kehutanan menetapkan target pencadangan areal hutan produksi untuk HTR seluas 1.4 juta ha/tahun. Dengan demikian diharapkan pada tahun 2010 akan terbangun 5.4 juta ha hutan tanaman rakyat (Ditjen BPK 2006). Namun realisasinya hingga Maret 2011, luas areal yang dicadangkan untuk HTR baru 650 662.73 ha (Kementerian Kehutanan, 2011).

Lokasi pencadangan HTR Kabupaten Sarolangun ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 386/KPTS-II/2008 tanggal 7 November 2008 seluas 18 840 ha. Apabila diasumsikan 15 ha/KK maka diprediksi kebijakan HTR akan mampu melibatkan 1 256 KK atau 15.5% dari masyarakat pra sejahtera di Kabupaten Sarolangun yang berjumlah 8 102 KK (BPS, 2007). Namun realisasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun hingga Maret 2010 baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK masyarakat di wilayah Desa Taman Bandung Kecamatan Pauh (data BP2HP Wilayah IV Jambi). Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa realisasi IUPHHK-HTR Kabupaten Sarolangun hanya 0.82% dari SK pencadangan, atau hanya 1.43% dari target KK yang dapat diberdayakan melalui kebijakan ini.

Rendahnya kinerja dan pencapaian dalam implementasi HTR membutuhkan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses implementasi kebijakan HTR. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan untuk mengkaji proses implementasi kebijakan dari sisi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah selaku implementator

dan masyarakat selaku kelompok target) dan lingkungan kebijakannya.

1.2Perumusan Masalah

Sejak dicanangkan pada tahun 2007, luas kawasan hutan produksi yang dicadangkan untuk HTR masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2006) menyebutkan bahwa untuk


(24)

meningkatkan produksitifitas hutan produksi maka ditetapkan target HTR seluas 1.4 juta ha/tahun, sehingga diharapkan 5.4 juta ha HTR akan terbangun pada tahun 2010 (Ditjen BPK 2006). Namun hingga awal tahun 2010, realisasi pembangunan HTR masih sangat rendah. Data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (2010) menunjukkan bahwa luas pencadangan HTR hingga Februari 2010 adalah 605 788 ha, sedangkan Izin Usaha (IUPHHK) HTR baru diterbitkan di 18 kabupaten, dengan total luas 58 182.89 ha. Kondisi tersebut menyebabkan Kementerian Kehutanan merevisi target pembangunan HTR yang semula 5.4 juta ha hingga tahun 2010 menjadi 5.4 juta ha hingga tahun 2016 (Ditjen BUK 2011).

Data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (2011) menyebutkan bahwa hingga Maret 2011, luas areal yang dicadangkan untuk HTR baru 650 662.73 ha meliputi 103 kabupaten di 26 provinsi. Data pada tahun yang sama menyebutkan bahwa telah diterbitkan izin HTR sebanyak 50 izin koperasi dan 1 807 izin perorangan untuk 31 kabupaten di 17 provinsi dengan total luas 127 244.30 ha atau hanya sekitar 19.56% dari keseluruhan areal yang telah dicadangkan untuk HTR. Realisasi pembangunan HTR hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Target, Pencadangan dan Realisasi HTR periode 2007-2011

Tahun

Target Pencadangan

(ha)

SK Pencadangan

(ha)

(%)

Realisasi IUPHHK

(ha)

(%) KET 2007 600 000 0.00 0 0.00 0 - 2008 600 000 149 284.00 24.88 8 794.00 5.89 1 kab 2009 600 000 234 119.00 39.02 26 781.04 11.44 10 kab 2010 600 000 222 385.00 37.06 22 607.85 10.17 9 kab 2011 600 000 44 885.73 7.48 69 060.41 153.86 83 kab

TOTAL 3 000 000 650 662.73 21.68 127 244.30 19.56 103 kab Sumber : Direktorat Jenderal BUK (2010 dan 2011), diolah

Di Kabupaten Sarolangun, perkembangan penerbitan izin HTR juga sangat lambat. Hingga Mei 2011 atau dalam kurun waktu 2.5 tahun sejak dikeluarkannya SK pencadangan, baru 0.82% dari keseluruhan areal tersebut yang sudah diterbitkan izinnya oleh bupati. Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan (Ditjen BPK, 2009) diketahui bahwa realisasi IUPHHK-HTR di Kabupaten Sarolangun pada bulan Maret 2009 seluas 44 ha dan 110.66 ha pada bulan Maret 2010. IUPHHK-HTR tersebut diberikan kepada empat kelompok tani hutan (KTH), yaitu: 52.72 ha untuk KTH Maju Jaya, 31.09 ha untuk KTH Usaha Tani, 50 ha untuk KTH Bukit Lintang dan 20.85 ha untuk KTH Sumber Rejeki.


(25)

5

Rendahnya realisasi implementasi HTR diduga karena banyak terjadi tumpang tindih kawasan pada areal yang telah dicadangkan tersebut dengan peruntukan lainnya di lapangan (Schneck 2009; Noordwijk et al. 2007). Hasil penelitian Noordwijk et al. (2007) di daerah Sumatera Utara menerangkan bahwa hanya 29% dari areal yang dicadangkan untuk HTR yang berupa kawasan hutan produksi. Kasus seperti ini banyak terjadi di Sumatera dan Kalimantan sehingga pemerintah daerah memerlukan waktu lebih lama melakukan pemeriksaan silang di lapangan. Penetapan lokasi HTR ini juga kurang memperhatikan keberadaan masyarakat dan kondisi sosial ekonominya sehingga dimungkinkan lokasi yang ditunjuk berada jauh dari pemukiman atau masyarakatnya tidak berminat membangun HTR.

Beberapa kajian tentang konsep HTR menyebutkan bahwa selain masalah tenurial, pengembangan HTR juga akan menemui tantangan lainnya sehingga berkembang lambat. Schneck (2009) mengidentifikasi tantangan tersebut antara lain terbatasnya kemampuan masyarakat, kurangnya dukungan dari institusi pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan HTR, pembagian hak dan tanggung jawab yang jelas antara pemegang hak (terutama dalam pola kemitraan dan pola developer), akses pasar yang buruk, serta ketidakpastian viabilitas usaha secara finansial yang disebabkan karena kondisi pasar yang kurang baik dan besarnya dukungan dana.

Hasil penelitian Herawati (2010a) mengungkapkan bahwa kebijakan HTR telah keliru sejak dari proses perumusannya, dimana aktor yang terlibat hanya pihak birokrat kehutanan dan tidak mempertimbangkan informasi mengenai faktor kegagalan program pemberdayaan masyarakat yang pernah ada sebelumnya. Padahal dalam implementasinya, dituntut peran yang besar dari pihak di luar Kementerian Kehutanan seperti pemerintah daerah dan masyarakat.

Apabila pihak implementator tidak dilibatkan dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, tentu saja kebijakan tersebut berpotensi gagal akibat adanya implementation gap. Dunshire (1978) yang diacu oleh Wahab (2008) menjelaskan bahwa istilah implementation gap dalam proses implementasi kebijakan merupakan suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya perbedaan


(26)

antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai (sebagai hasil atau prestasi pelaksana kebijakan).

Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung oleh implementation capacity

dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Dalam hal kebijakan hutan tanaman rakyat, yang mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan adalah pemerintah daerah (pemda) selaku implementator dan masyarakat selaku kelompok target.

Herawati (2010b) menyebutkan bahwa peran pemda memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap pelaksanaan program HTR. Oleh karena itu, tingkat keberhasilan implementasi kebijakan HTR juga sangat dipengaruhi oleh kesiapan, komitmen dan kemampuan pemda selaku implementator kebijakan.

Untuk mengimplementasikan kebijakan HTR, kesiapan fisik (lahan, pasar, dll) bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan program HTR, kesiapan aspek sosial (kesempatan, kemauan dan kemampuan masyarakat) juga harus diperhatikan (Ekawati et al. 2008). Peran sentral yang diberikan kepada masyarakat oleh kebijakan ini, menuntut kesiapan yang matang dari masyarakat. Oleh karena itu, pertimbangan dalam implementasi kebijakan HTR tidak boleh hanya berdasarkan kondisi biofisik semata, namun juga harus memperhatikan modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat seperti modal fisik, modal manusia dan modal sosial.

Modal manusia sangat penting, karena modal usaha tidak hanya berwujud fisik saja, melainkan akan didominasi oleh modal manusia seperti pendidikan, keterampilan dan keeratan hubungan (Coleman, 1988). Keahlian, kemampuan, pengetahuan dan sikap merupakan bagian dari mutu modal manusia yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi (Hardjanto, 2002).

Modal sosial bisa melekat pada individu manusia dan juga bisa merupakan hasil interaksi sosial dalam bentuk jaringan sosial (Alder & Seok 2002). Modal sosial penting untuk dipertimbangkan karena masyarakat tidak hanya berupa sekumpulan manusia yang secara fisik telah bersama dalam kurun waktu tertentu melainkan terdapat semangat atau ruh yang memperkuat kehidupan kolektif


(27)

7

(Pranadji, 2006). Oleh karena itu, guna mencapai tujuan perlu menambahkan modal sosial pada setiap kebijakan (Weyerhaeuser et al., 2006).

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah isi kebijakan HTR telah memenuhi syarat untuk diimplementasikan secara efektif ?

2. Apakah pemerintah daerah (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun) Kabupaten Sarolangun telah memiliki kesiapan, komitmen dan kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan HTR ?

3. Apakah masyarakat desa di sekitar lokasi pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun telah memiliki modal yang cukup sebagai landasan untuk mengimplementasikan HTR?

4. Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan HTR hingga saat ini?

5. Bagaimana formulasi strategi yang tepat dalam implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi proses implementasi kebijakan hutan tanaman rakyat di Kabupaten Sarolangun. Tujuan umum tersebut dijabarkan menjadi lima tujuan khusus, yaitu:

1. Mengevaluasi isi kebijakan HTR.

2. Menganalisis kesiapan, komitmen dan kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.

3. Menganalisis modal fisik, modal manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.

4. Mengevaluasi tingkat partisipasi masyarakat

5. Merumuskan formulasi strategi implementasi HTR di lokasi penelitian

1.4 Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) yang diperoleh dari penelitian mengenai proses implementasi kebijakan hutan tanaman rakyat ini adalah:


(28)

1. Berdasarkan objek penelitian, telah banyak penelitian yang menganalisa kebijakan HTR dari sisi kebijakan. Penelitian ini menganalisis kebijakan HTR dari sisi implementasi kebijakan, khususnya di Kabupaten Sarolangun. 2. Berdasarkan metodologi yang digunakan, penelitian ini mengevaluasi proses

implementasi kebijakan HTR sebagai sistem kebijakan secara komprehensif, meliputi isi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah dan masyarakat) dan lingkungan kebijakan.

3. Berdasarkan hasil penelitian akan diperoleh kebaruan berupa strategi implementasi kebijakan HTR khususnya di Kabupaten Sarolangun.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Publik

Istilah kebijakan berasal dari kata bahasa Inggris policy yang dibedakan dari kata wisdom (kebijaksanaan) maupun virtues (kebajikan) (Suharto 2006). Definisi tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak ahli yang merumuskannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Nugroho (2008) telah menginventarisasi definisi kebijakan publik, dan mendapatkan 12 definisi tentang kebijakan publik sebagaimana dicantumkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Definisi kebijakan publik

No Sumber Definisi

1 James Anderson (2004)

Tindakan beraturan/sistematis yang dilakukan oleh pelaku kebijakan dalam rangka menyelesaikan suatu

permasalahan atau kepentingan 2 Steven A.P.

(2003)

Tindakan pemerintah untuk menyelesaikan suatu masalah 3 James Lester &

Robert Steward (2000,18)

Serangkaian proses atau pola aktivitas pemerintah atau keputusan yang dirancang untuk memperbaiki

permasalahan publik 4 Austin Ranney

(2000)

Serangkaian tindakan atau pernyataan tentang suatu tujuan

5 www.cdc.gov Sejumlah tindakan atau aturan yang mengatur tindakan yang dihasilkan dari pemerintah

6 Lib.ucr.edu Proses menuju tercapainya tujuan politik pemerintahan 7 Thomas R. Dye

(1995,2)

Segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah 8 Willian Jenkins

(1978)

Keputusan yang diambil oleh pemerintah berupa sejumlah cara atau tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu

9 Harold Laswell & Abraham Kaplan (1970)

Kebijakan adalah suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu

10 David Easton (1965)

Akibat dari aktivitas pemerintah 11 Carl I Friederick

(1963)

Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu

12 Michael Howlett & M Rammesh (1957)

Fenomena kompleks yang terdiri dari sejumlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah individu atau organisasi


(30)

2.2 Implementasi Kebijakan

Grindle (1980) mempunyai pandangan bahwa tugas implementasi adalah membentuk suatu ikatan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direaliasasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentuknya ‘a policy delivery system’ dimana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada tujuan yang diinginkan.

Van Meter dan van Horn (1975) sebagaimana diacu oleh Winarno (2008) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Mereka menggolongkan kebijakan menjadi dua karakteristik yang berbeda, yaitu: (1) jumlah perubahan yang terjadi dan (2) sejauh mana konsensus menyangkut tujuan antara stakeholders dalam proses implementasi. Unsur perubahan merupakan karakteristik yang penting, setidaknya menyangkut dua hal, yaitu: (1) implementasi akan dipengaruhi oleh sejauhmana kebijakan menyimpang dari kebijakan sebelumnya; dan (2) proses implementasi dipengaruhi oleh jumlah perubahan organisasi yang diperlukan.

Dunshire (1978) yang diacu oleh Wahab (1998) menjelaskan bahwa terdapat istilah implementation gap dalam proses implementasi kebijakan, yaitu suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai (sebagai hasil atau prestasi pelaksana kebijakan).

Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung oleh apa yang disebut oleh

implementation capacity dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Implementation capacity adalah kemampuan suatu organisasi/aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy decision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan/sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai (Williams 1971 dalam Wahab 1998).

Namun demikian, sebuah kebijakan mengandung resiko gagal. Hogwood dan Gunn (1986) dalam Hadi (2007) menjelaskan bahwa kegagalan kebijakan


(31)

11

dapat dikelompokkan ke dalam dua katagori, yaitu: non implementation (tidak terimplementasikan) dan unsuccessfull implementation (implementasi yang tidak berhasil). Kebijakan negara dikatakan non implementation apabila kebijakan negara tidak dapat dilakukan sesuai rencana karena pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka bekerja secara tidak effesien atau bekerja setengah hati, atau mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaannya, atau bagaimanapun usaha mereka namun ada hambatan-hambatan yang tidak dapat mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar untuk dilaksanakan.

Sementara itu, suatu kebijakan yang tidak berhasil (unsuccessfull implementation) terjadi apabila suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya terjadi bencana alam, terjadinya pergantian kekuasaan dan sebagainya) maka kebijakan tersebut tidak dapat menghasilkan dampak sebagaimana yang diharapkan. Umumnya kebijakan yang beresiko gagal tersebut disebabkan oleh tiga faktor yaitu: (1) kebijakannya yang jelek (bad policy), (2) pelaksanaannya jelek (bad implementation), atau (3) kebijakannya yang bernasib jelek (bad luck).

Akibatnya sebuah kebijakan tidak dapat diimplementasikan secara efisien dan dinilai oleh para pembuat kebijakan sebagai pelaksanaan yang jelek.

Lebih lanjut Wahab (1998) menerangkan bahwa sebagian besar kebijakan pemerintah pasti akan melibatkan sejumlah pembuat kebijakan yang berusaha keras untuk mempengaruhi perilaku birokrat/pejabat lapangan (street level bureaucrats) dalam rangka memberikan pelayanan atau jasa tertentu kepada kelompok sasaran. Dengan kata lain, dalam implementasi program khususnya yang melibatkan banyak organisasi/instansi pemerintah atau berbagai tingkatan struktur organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu : (1) pemrakarsa kebijakan/pembuat kebijakan (the center atau pusat), (2) pejabat pelaksana di lapangan (the periphery) dan (3) aktor-aktor perorangan di luar badan-badan pemerintah kepada siapa program tersebut ditujukan (target group atau kelompok sasaran).


(32)

Mazmanian dan Sabatier (1979) diacu oleh Wahab (1998) menjelaskan makna implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran (target group), melainkan menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended/negative effects).

Dengan demikian evaluasi proses implementasi kebijakan dimaksudkan untuk memahami apa yang terjadi setelah suatu program dirumuskan, dan apa yang timbul dari program kebijakan. Di samping itu implementasi kebijakan tidak hanya terkait dengan persoalan administratif, melainkan juga mengkaji faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan.

2.3 Faktor Penentu Kinerja Implementasi

Dalam menetapkan faktor penentu kinerja implementasi, penulis merujuk pada pendapat Dunn (2000) yang menyebutkan bahwa suatu sistem kebijakan

(policy system) mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan.

2.3.1 Isi Kebijakan

Berkenaan dengan komponen kebijakan publik, Abidin (2006) menyebutkan bahwa terdapat beberapa elemen yang wajib dimiliki suatu kebijakan publik agar dianggap berkualitas dan layak untuk diimplementasikan, yaitu :


(33)

13

1. Tujuan yang ingin dicapai harus rasional dan desirable (diinginkan).

Rasional artinya tujuan tersebut harus dapat dipahami dan diterima oleh akal sehat terutama bila dilihat dari faktor-faktor pendukung yang tersedia. Diinginkan artinya tujuan tersebut seharusnya menyangkut kepentingan orang banyak,sehingga mendapat dukungan dari banyak pihak.

2. Asumsi yang dipakai dalam perumusan kebijakan harus realistis, karena asumsi yang realistis akan menentukan tingkat validitas suatu kebijakan. 3. Informasi yang digunakan cukup lengkap, benar dan tidak kadaluarsa.

Lebih lanjut, Sabatier dalam Parsons (2008) mengemukakan enam persyaratan untuk implementasi yang efektif, yaitu:

1. Tujuan yang jelas dan konsisten agar dapat menjadi standar evaluasi.

2. Teori kausal yang memadai, dan memastikan agar kebijakan tersebut mengandung teori yang akurat tentang cara melahirkan perubahan.

3. Struktur implementasi yang disusun secara legal untuk membantu pihak-pihak yang mengimplementasikan kebijakan dan kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kebijakan.

4. Para pelaksana implementasi yang ahli dan berkomitmen yang menggunakan kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan kebijakan.

5. Dukungan kelompok kepentingan dan ‘penguasa’ di legislatif dan eksekutif. 6. Perubahan kondisi sosial ekonomi tidak melemahkan dukungan kelompok

dan penguasa atau tidak meruntuhkan teori kausal yang mendasari kebijakan.

2.3.2 Implementator dan target kebijakan

Peran implementor sangat penting. Ini berhubungan dengan kapasitas yang mereka miliki. Kapasitas yang dimaksud mencakup keahlian yang dimiliki, tingkat kreativitas, komitmen, akses dan dukungan politik yang dimiliki, dan sebagainya. Kapasitas tersebut akan semakin berdayaguna jika kebijakan yang diimplementasikan didukung dengan ketersediaan sumberdaya yang memadai. Tetapi sumberdaya yang berlebihan juga dapat menghambat implementasi. Kondisi kedua ini biasanya terjadi untuk kebijakan yang mengangkat tema-tema populis-ideologis yang memberikan diskresi dan otoritas yang besar kepada agen pelaksana tanpa kontrol yang memadai (Quick 1980 dalam Hadi 2007).


(34)

Dalam kebijakan HTR, peran kelompok target (masyarakat) menjadi sangat dominan. Kapasitas yang dimiliki oleh kelompok target akan sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan HTR. Kapasitas ini meliputi modal fisik, modal manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh kelompok target pada lokasi penelitian.

2.3.2.1 Modal fisik

Dalam literatur ekonomi, modal didefinisikan sebagai faktor-faktor produksi yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberikan manfaat atau layanan-layanan produktif atau productive services (Dasgupta & Serageldin, 2000). Lawang (2004) mengungkapkan bahwa modal (capital) mempunyai fungsi yang sangat penting dalam proses produksi barang dan jasa, terutama untuk jangka panjang. Dijelaskan terdapat tiga modal dalam bidang ekonomi, yaitu modal finansial (financial capital), modal manusia (human capital) dan modal fisik (physical capital). Modal fisik seringkali mengacu pada barang-barang yang kelihatan (tangible), dapat dipegang, dan sering kali tahan lama (durable) seperti: bangunan pabrik, peralatan, mesin, dan persediaan (inventory). Modal fisik termasuk pula pembangunan infrastruktur seperti transportasi, komunikasi, dan irigasi untuk mempermudah proses transaksi ekonomi.

1.

Menurut Robinson et al. (2002) terdapat sembilan sifat dasar (karakteristik) barang modal fisik, yaitu :

2.

Kapasitas transformasi (transformation capacity) menunjukkan kemampuan yang ada pada barang modal fisik untuk merubah bentuk (transform) input menjadi output, tanpa harus ada transformasi pada barang modal fisik itu sendiri. Contoh : pabrik rokok, dapat merubah bentuk tembakau, kertas dan rempah-rempah (input) menjadi rokok kretek (output) .

3.

Kemampuan untuk mempertahankan identitas/diri (durability) menunjuk kepada kemampuan modal fisik tersebut untuk tetap mempertahankan identitasnya dalam memberikan pelayanan. Contohnya: seekor sapi tetap menjadi sapi walaupun telah menghasilkan susu selama beberapa tahun.

Fleksibilitas modal fisik menunjuk pada kemungkinan memberikan pelayanan lebih dari satu. Contoh: kendaraan.


(35)

15

4.

5.

Suatu barang modal fisik itu bersifat dapat menggantikan (substitutable) dan terkadang saling melengkapi (complimentary) seperti: sapi dan bajak dengan traktor untuk membajak sawah.

6.

Kemampuan pelayanan yang diberikan barang modal fisik dapat berkurang

(declay) karena umur atau penggunaan yang terlalu lama.

7.

Kehandalan (realibility) suatu modal fisik terletak pada kemampuan pelayanan yang dapat diramalkan atau diharapkan. Ada dua dimensi pelayanan disini yaitu lamanya (longevity) dan intensitas.

8.

Suatu barang modal fisik mempunyai kemampuan untuk menciptakan barang modal fisik lainnya. Contohnya: mesin pres logam yang dirancang untuk memproduksi logam mobil, dapat memproduksi barang logam lainnya

9.

Suatu barang modal fisik memiliki peluang (opportunity) investasi dan divestasi. Peluang investasi yang dimiliki oleh barang modal fisik menunjuk kepada kemampuan untuk menciptakan barang modal fisik baru (investasi) atau menghancurkan (divestasi) barang modal lainnya.

Suatu barang modal fisik itu bersifat alienable (susah diterjemahkan) bila terjadi perpindahan hak melalui pewarisan, penjualan atau penyewaan.

2.3.2.2 Modal manusia

Istilah

kali dikenalkan oleh Shultz dalam pidatonya di depan American Economic Association pada tahun 1961. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana, bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi merupakan suatu investasi (Sidu, 2006).

Menurut Fukuyama (2007) dewasa ini, modal untuk usaha tidak lagi hanya berwujud tanah, pabrik, alat-alat dan mesin. Bentuk modal-modal tersebut bahkan cenderung semakin berkurang dan akan segera didominasi oleh modal manusia seperti; pengetahuan dan keterampilan. Modal manusia merujuk kepada kemampuan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan dan atau pengalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan tertentu (Lawang, 2004).


(36)

Pendidikan adalah cara dimana individu meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan modal manusianya semakin tinggi pula. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan menjadi salah satu sektor utama (leading sector).

Pengembangan sumberdaya berkualitas dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan atau kemampuan kerja manusia dalam melakukan berbagai macam kegiatan dalam masyarakat. Pembinaan sumberdaya manusia berhubungan erat dengan peningkatan taraf hidup. Pembinaan sumberdaya manusia dimulai dari keluarga, ditingkatkan melalui pendidikan formal dan dikembangkan dalam masyarakat terutama di lingkungan pekerjaan.

Todaro dan Smith (2003) mengemukakan bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar. Keduanya merupakan bentuk dari modal manusia yang menjadi fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia yang lebih luas dan berada pada inti makna pembangunan. Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga.

2.3.2.3 Modal sosial

Kandungan lain dari human capital selain pengetahun dan keterampilan adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi (berhubungan) satu sama lain. Kemampuan ini akan menjadi modal penting bagi kehidupan ekonomi dan eksistensi sosial yang lain. Modal yang demikian ini disebut dengan ‘modal sosial’ (social capital), yaitu kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama demi mencapai tujuan bersama dalam suatu kelompok dan organisasi (Coleman, 1988).

Coleman (1988) mengatakan bahwa modal sosial memfasilitasi kegiatan individu dan kelompok yang dikembangkan oleh jaringan, hubungan timbal balik, kepercayaan dan norma sosial. Menurut pandangannya, modal sosial merupakan sumberdaya netral yang memfasilitasi setiap kegiatan. Masyarakat bisa menjadi lebih baik tergantung pada pemanfaatan modal sosial oleh setiap individu.

Birner and Wittmer (2000) membedakan modal sosial dalam dua perspektif yang berbeda, yaitu (1) private perspective (pendekatan Bourdieu) dan (2) public perspective (pendekatan Putnam). Menurut Bourdieu (1992) yang diacu oleh


(37)

17

Birner and Wittmer (2000) modal sosial adalah “the totally of all actual and potential resources associated with the possession of a lasting network of more or less institutionalized relations of knowing or respecting each other’. Dalam konsepnya, dikemukakan bahwa jumlah modal sosial seseorang tergantung pada caranya memobilisasi social network dan berasal dari modal (termasuk ekonomi, budaya dan symbolic capital) yang ada pada setiap anggota dari social network.

Menurut Putnam (1993) modal sosial adalah jejaring kerja (network), norma dan kepercayaan sosial (social trust) yang memfasilitasi kerjasama dan koordinasi untuk mendapatkan keuntungan bersama. Putnam (1995) yang diacu oleh Birner and Wittmer (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai "the collective value of al things for each other

Bagaimana hubungan modal sosial dengan pembangunan atau pengembangan masyarakat?

". Putnam percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masyarakat atau di antara individu-individu. Selain pendekatan publik, konsep modal sosial memiliki pendekatan yang lebih pada unsur individual (Bourdieu). Investasi dalam hubungan sosial dikaitkan dengan harapan diperolehnya profit dari pasar.

F

Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), keimbalbalikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.

ukuyuma (2002) mengatakan modal sosial adalah sebagai prakondisi untuk keberhasilan pembangunan. Undang-undang dan pranata politik menjadi hal pokok dalam membangun modal sosial. Alasannya adalah modal sosial yang kuat merupakan syarat pokok dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan politik yang kuat. Fukuyama (2007) mengupas pentingnya modal sosial berbasis pada kepercayaan. Masyarakat berinteraksi dengan modal sosial yang kuat, yang ditunjukkan dengan suasana saling percaya antar warga dalam keseharian mereka. Bentuk modal inilah yang memiliki hubungan erat dengan tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat atau bangsa.


(38)

Para ilmuwan sosial sadar bahwa keberhasilan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh modal ekonomi yang berbentuk material semata, tetapi juga ada modal dalam bentuk immaterial. Modal immaterial ini oleh banyak ilmuwan disebut sebagai modal sosial. Modal sosial bisa melekat pada individu manusia dan juga bisa merupakan hasil interaksi sosial dalam bentuk jaringan sosial (Alder & Seok, 2002). Oleh karena itu, mengenai pengertian atau definisi modal sosial sangat beragam tetapi tidak lepas dari dua obyek penekanan, pertama penekanan pada karakteristik yang melekat pada individu (norma-norma, saling percaya, saling pengertian, kepedulian dan lain-lain) dan kedua penekanan pada jaringan hubungan sosial (adanya kerjasama, pertukaran informasi dan lain-lain).

2.3.3 Lingkungan implementasi kebijakan

Lingkungan tempat di mana sebuah kebijakan diimplementasikan akan sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah kebijakan. Keadaan sosial-ekonomi, politik, dukungan publik maupun kultur populasi tempat sebuah kebijakan diimplementasikan akan sangat mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik. Kondisi sosial-ekonomi sebuah masyarakat yang maju, sistem politik yang stabil dan demokratis, dukungan baik dari konstituen maupun elit penguasa, dan budaya keseharian masyarakat yang mendukung akan mempermudah implementasi sebuah kebijakan (Ekowati, 2009).

Lebih lanjut Ekowati (2009) menyebutkan bahwa ketika sebuah perundang-undangan ditetapkan sebagai dasar struktur legal, pada implementasinya terjadi paling tidak dua proses penting, yaitu :

1. Kebutuhan suatu program untuk mencari perubahan perilaku dalam menerima secara konstan atau periodik sebuah kebijakan. Jika terjadi penundaan dalam mencari kerjasama, maka banyaknya kepentingan akan mempengaruhi keberhasilan implemetasi dan tujuan kebijakan.

2. Pengaruh perubahan dalam kondisi sosial ekonomi dengan dukungan tujuan di antara publik, umumnya kepentingan kelompok dan pemerintahan.

Hofferbert (1994) yang diacu oleh Ekowati (2009) menyebutkan bahwa perubahan yang terjadi biasanya bervariasi sebagai faktor anteseden (yang mendahului), yang diidentifikasi sebagai berikut: (a) peristiwa historis, (b)


(39)

19

kondisi sosial ekonomi, (c) opini publik dan (d) wilayah tempat kebijakan diimplementasikan.

2.3.4 Analisis Stakeholder

Analisis stakeholder merupakan suatu pendekatan untuk memahami sebuah sistem dan perubahan yang terjadi di dalamnya, dengan mengidentifikasi aktor kunci atau stakeholder kunci dan menilai kepentingan masing-masing stakeholder

dalam sistem tersebut (Grimble & Wellard, 1997). Istilah stakeholder dalam analisis ini ditujukan untuk semua pihak yang mempengaruhi, dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dalam sebuah sistem. Oleh karena itu, stakeholder dapat bersifat individual, masyarakat, kelompok sosial atau institusi dalam berbagai ukuran, kesatuan atau tingkat dalam masyarakat.

Analisis stakeholder memandu kita untuk dapat sampai pada persoalan dan memahami alasan yang ada di balik konflik kepentingan yang mengancam keberhasilan suatu proyek atau kebijakan (Grimble & Chan, 2005). Masuknya ide ini dalam perencanaan lingkungan dapat menyempurnakan prediksi mengenai hasil (outcomes), mengurangi resiko perlawanan yang tidak terduga dan secara umum memfasilitasi informasi bagi pembuat keputusan (Grimble et al., 1995)

Meyers (2001) menyatakan bahwa analisis stakeholder diperlukan untuk memahami posisi orang lain dalam menghadapi isu yang ada, sehingga dapat menakar tingkat dukungan atau oposisi dari orang lain dan memprediksi langkah yang akan diambil bila terjadi perubahan. Lebih lanjut Meyers (2001) mengungkapkan bahwa masing-masing stakeholder memiliki derajat kekuatan

(power) yang berbeda-beda dalam mengontrol keputusan yang berpengaruh pada kebijakan dan lembaga; dan mereka juga memiliki derajat potensi yang berbeda untuk disumbangkan atau derajat kepentingan (interest) yang berbeda dalam mencapai tujuan tertentu.

Kepentingan (interest) dalam oxford advanced leaner’s dictionary

didefenisikan sebagai sesuatu yang akan membuat seseorang memberikan perhatiannya terhadap sesuatu (Hornby, 1995). Dalam literatur psikologi sosial, pengaruh (influence) didefenisikan sebagai proses dari mempengaruhi pemikiran, kebiasaan dan perasaan dari orang lain dan kapasitas pengaruh seseorang (agen) terhadap orang lain (target) akan sangat tergantung pada kekuatan yang dimiliki


(40)

oleh orang tersebut (agen) (Nelson & Quick, 1994 dalam Reed et al. (2009). Yukl (1994) menyebutkan bahwa pengaruh hanya merupakan efek dari suatu pihak (agen/subyek) terhadap pihak yang lain (target/obyek). Pengaruh tersebut dapat mengenai orang, hal-hal atau peristiwa. Dalam hal menyangkut orang, pengaruh tersebut dapat mengenai sikap, persepsi, perilaku atau kombinasi dari hal-hal tersebut.

Pengaruh seseorang (agen) terhadap orang lain (target) akan sangat tergantung oleh kekuatan/kekuasaan yang dimiliki seseorang (agen). Meyers (2001) mengemukakan bahwa kekuatan (power) stakeholder dapat diketahui dari tingkat kemampuan stakeholder untuk membujuk atau memaksa orang lain untuk membuat keputusan dan atau mengikuti serangkaian kegiatan tertentu. Lebih lanjut Meyers (2001) mengungkapkan bahwa kekuatan dapat berasal dari sifat organisasi stakeholder dan atau posisi mereka dalam hubungannya dengan

stakeholder lain.

French & Raven (1959) sebagaimana diacu Yukl (1994) mengembangkan sebuah taksonomi untuk mengklasifikasikan kekuasaan/kekuatan (power) berdasarkan sumber-sumbernya, yaitu:

1. Reward power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dimiliki oleh agen.

2. Coercive power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat menghindari hukuman yang diyakini dimiliki oleh agen.

3. Legitimate power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai hak untuk meminta dan orang yang ditargetkan mempunyai kewajiban untuk mematuhinya.

4. Expert power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara terbaik untuk melakukan sesuatu.

5. Referent power orang yang ditargetkan menjadi patuh karena ia mengagumi dan mengidentifikasi dirinya dengan agen tersebut dan ingin memperoleh penerimaan dari agen.


(41)

21

Konsep lainnya mengenai sumber-sumber kekuasaan/kekuatan adalah dikotomi antara (1) kekuasaan karena kedudukan (position power) dan kekuasaan pribadi (personal power) (Bass, 1960 dan Etzioni, 1961 dalam Yukl, 1994).

2.4 Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak kepada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan pada faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Prijono dan Pranarka, 1996).

Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa pemberdayaan mempunyai dua tujuan, yaitu: (1) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan; serta (2) memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Kedua-duanya harus ditempuh, dan menjadi sasaran dari upaya pemberdayaan.

Pranarka dan Vidhyandika (1996) menyebutkan bahwa terdapat dua kecenderungan dalam proses pemberdayaan yaitu:

1. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu dapat lebih berdaya. Upaya ini dilengkapi dengan membangun aspek material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Proses ini dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.

2. Kecenderungan sekunder yang lebih menekankan kepada proses dialog. Kecenderungan ini terkait kemampuan individu mengontrol lingkungannya.

Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa upaya pemberdayaan yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan


(42)

kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya, dengan kata lain memberdayakannya.

Pemberdayaan hendaknya didasarkan pada prinsip keberpihakan kepada masyarakat marginal, karena mereka berada di lapisan sosial paling bawah dan memiliki posisi yang mampu memecahkan masalah untuk merubah posisi mereka. Pemberdayaan tidak semata-mata diarahkan pada perbaikan kualitas hidup jangka pendek dalam konteks ekonomi (peningkatan kesejahteraan ekonomi) maupun sosial (pendidikan , kesehatan dll) tetapi secara strategi harus mengarah kepada proses untuk mendapatkan transformasi tatanan kehidupan (Kartasasmita, 1997).

Istilah pemberdayaan (empowerment) muncul hampir bersamaan dengan adanya kesadaran pada perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Diasumsikan bahwa kegiatan pembangunan itu seharusnya mampu merangsang proses kemandirian masyarakat (self sustaining process). Tanpa partisipasi masyarakat, proses kemandirian tersebut tidak akan memperoleh kemajuan.

Mardikanto (2010) mengemukakan bahwa kata kunci dari pengertian partisipasi masyarakat adalah adanya kesukarelaan masyarakat untuk terlibat atau melibatkan diri dalam pembangunan. Dusseldorp (1981) membedakan tingkat kesukarelaan masyarakat dalam berpartisipasi menjadi lima jenjang, yaitu:

1. Partisipasi spontan

Partisipasi masyarakat tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman, penghayatan dan keyakinan diri sendiri

2. Partisipasi terinduksi

Partisipasi tumbuh karena adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan, pengaruh atau dorongan) dari luar, meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi

3. Partisipasi tertekan oleh kebiasaan

Partisipasi yang dilakukan untuk memenuhi kebiasaan, nilai-nilai atau norma-norma yang dianut oleh masyarakat setempat. Bila tidak maka takut akan disisihkan/dikucilkan oleh sekitarnya.

4. Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi

Partisipasi karena takut kehilangan status sosial, atau takut menderita kerugian atau tidak memperoleh manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan


(43)

23

5. Partisipasi tertekan oleh peraturan

Partisipasi dilakukan karena takut akan menerima hukuman atau peraturan dari ketentuan yang sudah diberlakukan.

Partisipasi masyarakat juga merupakan arti sederhana dari kekuasaan masyarakat (citizen power). Hal tersebut menyangkut redistribusi kekuasaan yang memperbolehkan masyarakat miskin dilibatkan secara sadar dalam proses-proses ekonomi dan politik. Partisipasi masyarakat juga merupakan strategi dimana masyarakat miskin ikut terlibat dan menentukan bagaimana pemberian informasi, tujuan dan kebijakan dibuat, jumlah pajak yang dialokasikan, pelaksanaan program-program, dan keuntungan-keuntungan seperti kontrak-kontrak dan perlindungan-perlindungan diberikan.

Arnstein (1969) menggambarkan partisipasi masyarakat adalah suatu pola bertingkat (ladder patern). Suatu tingkatan yang terdiri dari delapan tingkat dimana tingkatan paling bawah merupakan tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah, kemudian tingkat yang paling atas merupakan tingkat dimana partisipasi masyarakat sudah sangat besar dan kuat. Tingkatan partisipasi ini, tidak menjelaskan bagus atau tidak baik sebuah level, melainkan sesuai atau tidak sesuai sebuah level terhadap kondisi masyarakat. Tingkatan partisipasi menurut Arnstein dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tingkatan Partisipasi Menurut Arnstein (1969)

Citizen Control Delegated Power

Partnership Placation Consultation

Informing Therapy Manipulation

Degrees of citizen Power

Degrees of Tokenism

Non Participation

M

O

RE P

ART

IS

IP

AT

IV


(44)

Tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) bisa dijelaskan sebagai berikut:

1. Manipulasi (Manipulation)

Pada tingkat ini partisipasi masyarakat berada di tingkat yang sangat rendah. Bukan hanya tidak berdaya, akan tetapi pemegang kekuasaan memanipulasi partisipasi masyarakat melalui sebuah program untuk mendapatkan “persetujuan” dari masyarakat. Masyarakat sering ditempatkan sebagai komite atau badan penasehat dengan maksud sebagai “pembelajaran” atau untuk merekayasa dukungan mereka. Partisipasi masyarakat dijadikan kendaraan public relation oleh pemegang kekuasaan.

2. Terapi (Therapy)

Untuk tingkatan ini, kata “terapi” digunakan untuk merawat penyakit. Ketidakberdayaan adalah penyakit mental. Terapi dilakukan untuk menyembuhkan “penyakit” masyarakat. Pada kenyataannya, penyakit masyarakat terjadi sejak distribusi kekuasaan antara ras atau status ekonomi (kaya dan miskin) tidak pernah seimbang.

3. Pemberian Informasi (Informing)

Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap ini merupakan transisi antara tidak ada partisipasi dengan tokenism. Kita dapat melihat dua karakteristik yang bercampur. Pertama, pemberian informasi mengenai hak-hak, tanggung jawab, dan pilihan-pilihan masyarakat adalah langkah pertama menuju partisipasi masyarakat. Kedua, pemberian informasi ini terjadi hanya merupakan informasi satu arah (tentunya dari aparat pemerintah kepada masyarakat). Akan tetapi tidak ada umpan balik (feedback) dari masyarakat. Alat yang sering digunakan dalam komunikasi satu arah adalah media massa, pamflet, poster dan respon untuk bertanya.

4. Konsultasi (Consultation)

Konsultasi dan mengundang pendapat-pendapat masyarakat merupakan langkah selanjutnya setelah pemberian informasi. Arnstein (1969) menyatakan bahwa langkah ini dapat menjadi langkah yang sah menuju tingkat partisipasi penuh. Namun, komunikasi dua arah ini sifatnya tetap


(45)

25

buatan (artificial) karena tidak ada jaminan perhatian-perhatian masyarakat dan ide-ide akan dijadikan bahan pertimbangan.

5. Penentraman (Placation)

Strategi penentraman menempatkan sangat sedikit masyarakat pada badan-badan urusan masyarakat atau pada badan-badan-badan-badan pemerintah. Pada umumnya mayoritas masih dipegang oleh elit kekuasaan. Dengan demikian, masyarakat dapat dengan mudah dikalahkan dalam pemilihan atau ditipu. Dengan kata lain, mereka membiarkan masyarakat untuk memberikan saran-saran atau rencana tambahan, tetapi pemegang kekuasaan tetap berhak untuk menentukan legitimasi atau fisibilitas dari saran-saran tersebut. Ada dua tingkatan dimana masyarakat ditentramkan: (1) kualitas pada bantuan teknis yang mereka miliki dalam membicarakan prioritas-prioritas mereka; (2) tambahan dimana masyarakat diatur untuk menekan prioritas tersebut.

6. Kemitraan (Partnership)

Pada tingkat kemitraan, partisipasi masyarakat memiliki kekuatan untuk bernegosiasi dengan pemegang kekuasaan. Kekuatan tawar menawar pada tingkat ini adalah alat dari elit kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Kedua pemeran tersebut sepakat untuk membagi tanggung jawab perencanaan dan pengambilan keputusan melalui badan kerjasama, komite-komite perencanaan dan mekanisme untuk memecahkan kebuntuan masalah. Beberapa kondisi untuk membuat kemitraan menjadi efektif adalah: (1) adanya sebuah dasar kekuatan yang terorganisir di dalam masyarakat di mana pemimpin-pemimpinnya akuntabel; (2) pada saat kelompok memiliki sumber daya keuangan untuk membayar pemimpinnya, diberikan honor atas usaha-usaha mereka; (3) ketika kelompok memiliki sumber daya untuk menyewa dan mempekerjakan teknisi, pengacara, dan manajer (community organizer) mereka sendiri.

7. Pendelegasian Kekuasaan (DelegatedPower)

Pada tingkat ini, masyarakat memegang kekuasaan yang signifikan untuk menentukan program-progam pembangunan. Untuk memecahkan perbedaan-perbedaan, pemegang kekuasaan perlu untuk memulai proses tawar menawar dibandingkan dengan memberikan respon yang menekan.


(46)

8. Pengawasan Masyarakat (Citizen Control)

Pada tingkat tertinggi ini, partisipasi masyarakat berada di tingkat yang maksimum. Pengawasan masyarakat di setiap sektor meningkat. Masyarakat meminta dengan mudah tingkat kekuasaan (atau pengawasan) yang menjamin partisipan dan penduduk dapat menjalankan sebuah program atau suatu lembaga akan berkuasa penuh baik dalam aspek kebijakan dan dimungkinkan untuk menegosiasikan kondisi pada saat di mana pihak luar bisa menggantikan mereka.

Sumodiningrat (1999), menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan (agen pemberdaya).

Dalam menjalankan fungsinya, agen pemberdaya harus melebur dalam kesetaraan dan kemitraan bersama masyarakat. Kegagalan selama ini banyak diasumsikan karena prinsip-prinsip pemberdayaan (kode etik pemberdayaan) yang seharusnya dilakukan bersama (secara partisipatif) telah dilanggar, karena ada kepentingan-kepentingan tertentu dari segelintir orang di luar unsur masyarakat sasaran. Dampaknya menjadi lebih besar terutama untuk kepentingan pemberdayaan yang berkesinambungan (Sumodiningrat 1999).

Kartasasmita (1997) menjelaskan bahwa pendekatan utama dalam proses pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut:

1. Upaya itu harus terarah (targetted). Ini yang secara populer disebut pemihakan. Ia ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.

2. Program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni: (a) supaya bantuan tersebut


(47)

27

efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan mereka; (b) meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.

3. Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Di samping itu kemitraan usaha antara kelompok tersebut dengan kelompok yang lebih maju harus terus-menerus dibina dan dipelihara secara saling menguntungkan dan memajukan.

2.5 Sekilas Tentang Hutan Tanaman Rakyat 2.5.1 Defenisi hutan tanaman rakyat (HTR)

Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 mendefinisikan hutan tanaman rakyat sebagai hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan penetapan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian hutan (Bab 1 pasal 1 ayat 19).

Ketentuan di atas dengan jelas membedakan terminologi hutan tanaman rakyat (HTR) dengan program kehutanan yang melibatkan masyarakat lainnya seperti Hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan rakyat (HR). HTR hanya dikembangkan pada kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak, sedangkan HKm dimungkinkan untuk dikembangkan di kawasan hutan konservasi (kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional), hutan produksi dan hutan lindung dan hutan rakyat dibangun pada kawasan hutan yang dibebani hak. Perbedaan hutan tanaman rakyat dengan kebijakan kehutanan lain yang melibatkan masyarakat seperti hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Perbedaan mendasar antara hutan rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat terletak pada kepemilikan (lahan dan tanaman). Kepemilikan hutan rakyat telah jelas adalah milik masyarakat karena dibangun di atas lahan yang dibebani hak milik. Kepemilikan lahan pada HTR dan HKm adalah milik


(1)

1 2 3 4 5 Rerata I. KEKUATAN

1 Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 3 3 2 3 4 3.0

2 Kegiatan pemanfaatan HP menjadi legal karena HTR 4 4 3 4 4 3.8

3 Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 3 2 3 4 2 2.8

4 Tingkat pengetahuan tentang HTR cukup memadai 3 3 4 3 4 3.4

5 Tingkat kepercayaan terhadap sesama tinggi 4 3 4 4 3 3.6

6 Tingkat kepercayaan yang baik thd instansi pemerintah daerah 4 4 3 4 4 3.8

7 Masyarakat masih menjalankan norma-norma sosial 2 1 3 2 3 2.2

8 Tingkat kepedulian yang tinggi 2 2 3 2 2 2.2

9 Keinginan masyarakat untuk ikut serta program HTR tinggi 3 4 3 3 3 3.2 II KELEMAHAN

1 Mayoritas masyarakat menanam tanaman karet 3 2 3 2 1 2.2

2 Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 4 3 3 4 3 3.4 3 Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 3 4 4 3 4 3.6

4 Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 2 1 2 3 2 2.0


(2)

Lanjutan Lampiran 13 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 2

No. Faktor Strategis

Attractiveness Score (AS) Resp.

1

Resp. 2

Resp. 3

Resp. 4

Resp.

5 Rerata III. PELUANG

1 Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 3 3 4 4 3 3.4

2 Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 2 2 3 2 2 2.2

3 Terjadi kelangkaan kayu 2 3 3 4 4 3.2

4 Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 4 3 4 4 3 3.6 IV. ANCAMAN

1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 1 2 2 1 2 1.6

2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan & mitra) 3 3 4 3 3 3.2

3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 2 3 3 2 3 2.6

4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dlm mendukung HTR 2 3 3 2 3 2.6 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 2 2 3 3 2 2.4 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 3 4 2 3 4 3.2

7 Jumlah pendamping yang belum memadai 2 2 3 2 2 2.2


(3)

1 2 3 4 5 Rerata I. KEKUATAN

1 Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 4 4 3 3 4 3.6

2 Kegiatan pemanfaatan HP menjadi legal karena HTR 3 3 3 4 3 3.2

3 Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 3 2 3 2 3 2.6

4 Tingkat pengetahuan tentang HTR cukup memadai 4 3 3 4 3 3.4

5 Tingkat kepercayaan terhadap sesama tinggi 2 2 3 3 2 2.4

6 Tingkat kepercayaan yang baik thd instansi pemerintah daerah 4 3 4 4 2 3.4

7 Masyarakat masih menjalankan norma-norma sosial 2 3 2 2 3 2.4

8 Tingkat kepedulian yang tinggi 3 4 2 2 2 2.6

9 Keinginan masyarakat untuk ikut serta program HTR tinggi 3 4 4 3 4 3.6 II KELEMAHAN

1 Mayoritas masyarakat menanam tanaman karet 1 2 1 2 2 1.6

2 Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 2 3 2 3 2 2.4 3 Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 4 4 4 3 4 3.8

4 Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 3 3 2 3 3 2.8


(4)

Lanjutan Lampiran 14 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 3

No. Faktor Strategis

Attractiveness Score (AS) Resp.

1

Resp. 2

Resp. 3

Resp. 4

Resp.

5 Rerata III. PELUANG

1 Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 3 3 4 3 3 3.2

2 Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 4 4 4 3 4 3.8

3 Terjadi kelangkaan kayu 4 4 4 4 4 4.0

4 Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 3 4 4 3 4 3.6 IV. ANCAMAN

1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 1 2 1 2 2 1.6

2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan & mitra) 2 3 2 2 1 2.0

3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 3 2 3 3 2 2.6

4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dlm mendukung HTR 3 2 1 2 2 2.0 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 3 3 2 2 1 2.2 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 3 3 2 3 3 2.8

7 Jumlah pendamping yang belum memadai 4 3 3 2 3 3.0


(5)

1 Balam terung Palaquium hexandrm Baill Sapotaceae 2 Balam tenginai Palaquium ridleyi K.et.G Sapotaceae

3 Beringin Ficus benyamina Moracea

4 Bengkirai Shorea laevolia Dipterocarpaceae

5 Binuang Octomeles sumatrana Datisceae

6 Durian hutan Durio carinatus Bombaceae

7 Geronggang Craxtoxylum arborescens Bl Guttiferae 8 Gaharu buaya Gonystylis macrophylus A.Shaw Thymeliaceae

9 Gaharu Axuilaria malacensis Thymeliaceae

10 Jambu-jambu Eugenia sp Myrtaceae

11 Jabon Anthocephalus chinensis Rubiaceae

12 Jelutung Dyera costulata Apocynaceae

13 Katiau Ganua motleyana Pierrre Sapotaceae 14 Kempas/Mangeris Koompasia malcensis Maing Caesalpinaceae 15 Kepayang Scaphium macropodium J.B, Sterculiaceae 16 Kedondong hutan Pentaspadon montleyi Hook.f Anarcadiaceae

17 Kelat Xylopioa sp Annonaceae

18 Keranji Dialium platysepalum Baker Caesalpinaceae

19 Keruing Dipterocarpus sp Dipterocarpaceae

20 Kulim Scorodocarpus borneensis Becc Olacaceae

21 Laban Vitex pubescens Vak Verbenaceae

22 Mahang Macaranga triloba Muell.Arg. Euphorbiaceae 23 Mahang Sekubung Macaranga gigantea Muell.Arg Euphorbiaceae 24 Kayu Arang Diospyros malam Bakh Ebenaceae 25 Meranti tembaga Shorea leprosula Dipterocarpaceae 26 Medang seluang Litsea firma Hook.f Lauraceae


(6)

201 Lanjutan Lampiran 15. Beberapa Jenis Pohon Penting yang Ditemukan di

Kelompok Hutan dalam Kawasan Pencadangan HTR

No Nama Jenis Lokal Nama Botani Famili

30 Merpayang Sterculia MacrophyllaVent Sterculiaceae 31 Mersawa Anisoptera marginata Dipterocarpaceae 32 Pulai Alstonia angustifolia Wall Apocynaceae 33 Pulai gading Alstonia scholaris Apocynaceae 34 Pelawan Tristania Whiteana Griff Myrtaceae 35 Petaling Ochanostachys amantaceae Nast Olacaceae

36 Petanang Dryobalanops oblongifolia Dipterocarpaceae

37 Pinang Arenga catechu Palmae

38 Randu Ceiba petandra Bombaceae

39 Rotan saga Calamus tiliaceus Graminaeae

40 Rotan jenang Daemonorop sp Graminaeae

41 Simpur Dilenia exelsa Miq Moraceae

42 Sungkai Paneronema canescens Jack Verbenaceae 43 Terentang Campnosperma auriculata Anarcadiaceae 44 Tengkawang Shorea stenoptera Burck Dipterocarpaceae 45 Tengkawang Shorea palembanica Dipterocarpaceae

46 Tengkawang Shorea pinanga Dipterocarpaceae

47 Tengkawang telur Shorea compressa Burck Dipterocarpaceae 48 Terap Artocarpus elasticus Reinw Moraceae