MODEL PELATIHAN ASERTIVITAS LARESSA UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF PADA KORBAN BULLYING

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fenomena bullying banyak disorot dan merebak di media massa akhirakhir ini dan memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung
terhadap kesehatan mental individu. Bullying bisa berupa berbagai bentuk dan
bisa terjadi pada anak-anak, remaja dan bahkan orang dewasa. Bullying bisa
terjadi di dalam keluarga, sekolah (school bullying), tempat kerja (workplace
bullying), di masyarakat bahkan sesuai dengan perkembangan teknologi dapat
juga terjadi di dunia maya (cyberbullying).
Fenomena bullying ini secara langsung maupun tidak langsung cukup
berpengaruh terhadap aspek psikologis individu, terutama bagi remaja. Dalam
kurun waktu kurang dari dasawarsa terakhir, bullying semakin disadari
sebagai masalah yang sangat memprihatinkan. Bullying yang diberitakan
dalam berbagai forum dan media dianggap semakin membahayakan. Berbagai
macam bullying yang ditunjukkan akhir-akhir ini bahkan dapat berdampak
pada usaha bunuh diri.
Sebuah sekolah di Skandinavia tidak menganggap serius perilaku
bullying sampai sebuah koran melaporkan bahwa pada tahun 1982, tiga orang
remaja putra dari Norwegia melakukan bunuh diri karena kelompok yang
melakukan bullying kepada mereka secara parah. Semenjak saat itu, Olweus

mulai meneliti fenomena bullying dan penelitian Olweus pada tahun 1991
yang melibatkan 140.000 orang siswa dari 715 sekolah menunjukkan bahwa
1

15% dari mereka terlibat perilaku bullying dari waktu ke waktu. 94% dari
mereka diklasifikasikan sebagai korban, dan 6% sebagai pelaku (Beaty &
Alexeyev, 2008). Sedangkan di Indonesia, Penelitian yang dilakukan oleh
Yayasan SEJIWA menunjukkan bahwa 30 kasus bunuh diri yang dilakukan
anak-anak dan remaja pada tahun 2002-2005, umumnya memiliki kesamaan,
yaitu sering diejek, disiksa, atau ditindas oleh teman-teman sekolahnya.
Bullying diartikan sebagai serangan atau intimidasi baik secara fisik,
verbal atau psikologis yang disertai keinginan untuk melukai, menekan,
atau menakut-nakuti orang lain (Farrington, 1993). Pandangan lain
menyatakan bahwa bullying merupakan bentuk perilaku yang melibatkan
adanya pemaksaan secara psikologis atau fisik terhadap seseorang atau
sekelompok orang yang lebih „lemah’ oleh seseorang atau sekelompok orang
yang lebih „kuat’ (Rigby, 1999; Ma, Stein & Mah, 2001; Olweus, 1991).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Bullying berbeda dengan kekerasan
(violence) karena bullying terjadi saat ada ketidakseimbangan kekuatan antara
pelaku bullying (bully) dengan korban atau target.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku bullying
banyak terjadi pada tahapan usia remaja, bahkan pada tahun-tahun terakhir ini
di sekolah-sekolah makin sering terdengar adanya perilaku kekerasan baik
fisik maupun secara non fisik, pengucilan terhadap siswa tertentu dan
sebagainya. Tahap perkembangan remaja merupakan masa yang penuh krisis,
karena pada masa ini pada umumnya remaja mengalami kesulitan dalam
usahanya

menyelesaikan

masalah

yang

dihadapinya,

karena

belum


berpengalaman menghadapi hidup (Hurlock, 2004). Masa remaja adalah masa
2

dimana individu mencari identitas. Grenville Stanley Hall menyebut masa ini
sebagai masa “storm & stress”, frustrasi dan penderitaan, konflik dan krisis
penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralienasi dari
kehidupan sosial budaya orang dewasa (dalam Mappiare, 1982).

Remaja

mengalami fase emosional puncak, disertai oleh pertumbuhan fisik yang dapat
mempengaruhi perkembangan emosi atau perasaan-perasaan dan dorongan
baru yang dialami sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial,
membuat remaja lebih mudah merasakan emosi yang negatif dan hal ini
menjadikan mereka temperamental (mudah tersinggung atau marah), mudah
murung atau sedih.
Penelitian yang dilakukan oleh Royanto & Djuwita (2008) yang
menunjukkan bahwa bullying memang terjadi baik di tingkat SMP dan SMA
dengan frekuensi ringan, sedang dan tinggi dan terjadi di sekolah swasta
maupun negeri. Bullying biasanya dirasakan oleh siswa kelas 10 dan 11, atau

kelas 1 SMA dan kelas 2 SMA. Bentuk perilaku bullying yang muncul adalah
verbal, dengan mengejek, menyindir, mengancam, menegur secara kasar,
memarahi. Sedangkan bullying fisik oleh siswa adalah memukul, menendang
dan oleh guru menyuruh anak berlari keliling lapangan.
Bullying terjadi di kebanyakan sekolah, dan dilaporkan telah
mempengaruhi 70% dari siswa. Siswa dari segala usia dan tingkatan
pendidikan kemungkinan besar telah mengalami masalah yang diciptakan oleh
perilaku bullying ini. Kemungkinan besar hal ini merupakan cara anak muda
berinteraksi dalam lingkungan, namun dengan cara yang agresif, seperti
perilaku penghinaan, pengucilan, gangguan, ancaman, perusakan properti,
3

pemukulan, dan lainnya (Beaty & Alexeyev, 2008). Bahkan dengan kemajuan
teknologi, bullying semakin menjadi kreatif dimana remaja telah menjadikan
teknologi sebagai sarana untuk menyiksa. Sepertiga dari remaja mengatakan
bahwa mereka telah melakukan tindakan jahat terhadap orang lain melalui
internet, 25% dari kelas 9-12 mengetahui seseorang yang bermaksud jahat di
internet, dan 32% telah menjadi korban bullying melalui internet dari gosip,
rumor, dan atau komentar yang negatif dan menyakitkan (McNamee, 2008).
Survei oleh Plan Indonesia dan SEJIWA pada tahun 2008 yang

melibatkan 1500 pelajar SMP, SMA dan Perguruan Tinggi di 3 kota besar
yaitu Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta memperoleh hasil bahwa 67% pelajar
SMP, SMA dan mahasiswa Perguruan Tinggi menunjukkan bahwa tindak
bullying pernah terjadi di sekolah mereka. Pelakunya adalah teman, kakak
kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, dan preman yang berada di sekitar
sekolah.
Hasil survei ini tidak jauh berbeda dengan hasil survei yang dilakukan
peneliti yang melibatkan 82 siswa kelas 7 SMP 08 Malang yang menunjukkan
bahwa sebagian besar siswa pernah menjadi korban bullying di sekolah.
Bullying fisik yang terjadi di sekolah pada siswa laki-laki mencapai 43,3 %,
sedangkan pada siswa perempuan 38,5%. Bullying verbal yang terjadi di
sekolah pada siswa laki-laki mencapai 46,7 %, sedangkan pada siswa
perempuan 44,2%. Bullying non verbal yang terjadi di sekolah pada siswa
laki-laki mencapai 36,7 %, sedangkan pada siswa perempuan 44,2 %. Selain
itu bullying berupa perusakan barang atau properti yang terjadi di sekolah

4

pada siswa laki-laki mencapai 33,3 %, sedangkan pada siswa perempuan
11,5%.

Bapak penemu fenomena bullying, Olweus (1993) mengatakan bahwa
sebagian besar korban bullying dapat dinyatakan sebagai korban yang
“passive” atau “submissive”. Mereka umumnya merasa tidak aman (insecure)
dan non-asertif, dan bereaksi dengan menarik diri dan menangis ketika
diserang oleh orang lain. Hal ini diukung oleh berbagai penelitian yang
menunjukkan bahwa karakteristik yang sering ditemukan pada anak yang
sering menjadi korban bullying antara lain: secara fisik lebih lemah dari orang
lain, kaku atau non asertif, tertutup, harga diri yang rendah, serta memiliki
teman yang sedikit (Rigby, 2007).
Selanjutnya, Coloroso (2007) menyatakan bahwa hampir semua orang
pernah mengalami bullying dan bahwa para pelaku bullying belajar melakukan
bullying dari perlakuan yang mereka terima dari orang-orang yang lebih besar
dan berkuasa dalam hidup mereka. Sehingga, dapat disimpulkan mereka yang
pernah menjadi korban bisa menjadi pelaku juga (bully victim).
Kasus-kasus Penelitian lain menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran
dan pemahaman akan tindak bullying yaitu sebagian besar siswa dan guru
belum memahami mengenai perilaku bullying, lebih familiar dengan
kekerasan di sekolah, yang mengarah pada kekerasan fisik. Perilaku yang
termasuk social bullying dianggap sebagai candaan yang wajar. Bullying
psikis dan fisik terjadi, dengan frekuensi bullying psikis yang lebih besar

(Indira, 2010).

5

Kurangnya

kesadaran

dan

pemahaman

akan

tindak

bullying

dipengaruhi oleh mitos bullying yaitu perilaku bullying hanya perilaku
menggoda atau bermain-main; beberapa anak yang lemah pantas untuk

diganggu dan mereka memang memintanya; bahwa hanya pria yang menjadi
pelaku bullying;bahwa orang yang mengadu adalah bayi, yang mencari
pertolongan adalah perengek, dan siswa harus belajar untuk mengatasi
permasalahan mereka sendiri; bahwa bullying itu normal dan merupakan
bagian bertambah dewasa;bahwa orang yang suka mengganggu itu akan pergi
jika didiamkan; bahwa pelaku memiliki self esteem yang rendah; bahwa cara
yang paling baik untuk menghadapi pelaku adalah dengan berkelahi; dan
bahwa korban bullying harus ikhlas karena situasi tidak mungkin diubah
(McNamee, 2008).
Dr. Jorge Sebastian mengatakan bahwa baik korban maupun pelaku
bullying memiliki resiko tinggi untuk medapat resiko kesehatan, keamanan
dan pendidikan. Resiko lainnya termasuk kecenderungan perilaku bunuh diri,
luka serius, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, melarikan diri dari rumah,
membolos dan nilai yang buruk (Bailey, 2008).
Bullying sangat berbahaya terutama bagi korban karena bisa
menggiring pada kurangnya kepercayaan diri, perasaan ragu-ragu, harga diri
yang rendah, kecemasan, Dampak fisik bullying dapat diobati, namun luka
psikologis membutuhkan banyak waktu untuk sembuh, atau bahkan
membekas selamanya. Ada korban bullying yang dapat tetap bertahan
menghadapi perilaku bullying, ada yang lolos dengan luka psikologis yang

dapat diabaikan, ada yang melewatinya dengan luka psikologis yang dalam
6

namun terus melanjutkan kehidupan, dan ada juga yang merasa begitu tidak
berdaya, depresi dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Kondisi ini
sesuai dengan hasil penelitian beberapa ahli antara lain penelitian Rigby
(2003) yang menunjukkan bahwa anak-anak korban bullying memiliki
kesejahtraan psikologis yang rendah.
Berdasarkan gambaran tersebut, promosi kesehatan mental sangat
penting dilakukan dimana seseorang menyadari kemampuannya, dapat
menyelesaikan permasalahan hidup sehari-hari, produktif, dan dapat memberi
kontribusi pada komunitas (World Health Organization, 2004). Sejalan
dengan pemikiran tersebut, Royanto & Djuwita (2008) menyarankan adanya
tindakan preventif dan kuratif dalam menghadapi bullying. Remaja perlu
untuk meningkatkan ketrampilan sosial yang dimiliki. Berdasarkan asumsi
tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu pemecahan yang bersifat preventif
untuk mengurangi kecenderungan remaja menjadi korban bullying adalah
dengan meningkatkan asertivitas. Hal ini didukung oleh Studi Fox & Boulton
(2003) menyatakan bahwa korban bullying yang kurang memiliki ketrampilan
asertif, secara umum terlihat takut dan tidak bahagia.

Ellis (dalam Lange dan Jakuboski, 1976) melihat bahwa cara untuk
membantu individu untuk dapat mempertahankan dirinya dalam dunia yang
sulit namun dalam bentuk yang lebih rileks, lebih menyenangkan dan lebih
sehat adalah dengan tingkah laku asertif. Secara umum, tingkah laku asertif
diartikan oleh Lange dan Jakubowski (1976) sebagai usaha untuk
mengemukakan pendapat, keyakinan, kebutuhan atau perasaan secara
langsung, jujur dengan cara yang sesuai, yaitu tidak menyakiti atau merugikan
7

diri sendiri maupun orang lain. Oleh karenanya, dalam tingkah laku asertif ini
terdapat adanya unsur penghargaan, yaitu mengggambarkan usaha individu
untuk menghargai kebutuhan dirinya namun sekaligus juga adanya
penghargaan terhadap kebutuhan orang lain.
Perilaku asertif memang perlu dipelajari karena seperti yang
dikemukakan Willis dan Daiisley (1995), asertif merupakan suatu bentuk
perilaku dan bukan sifat dari kepribadian (trait personality). Karena
merupakan perilaku, maka dapat dipelajari dengan tidak mempedulikan
bentuk kebiasaan yang telah dimiliki individu. Oleh karena itu, pemberian
pelatihan asertivitas ini diberikan berdasarkan anggapan bahwa individu
berada dalam 'masa belajar' dan bukan sebagai klien yang membutuhkan terapi

dan bahwa yang dihadapi adalah seorang yang kekurangan dan kemampuan
yang lemah, padahal kemampuan ini dibutuhkan untuk dapat hidup secara
efektif dan memuaskan.
Bower dan Bower (1976) juga mengatakan bahwa perilaku asertif
merupakan hal dari serangkaian komunikasi dan sikap yang dipelajari, yang
dapat diubah untuk menjadi lebih baik.

Para psikolog meyakini bahwa

perilaku dapat diubah, oleh karenanya, individu dapat mempelajari perilaku
baru untuk menggantikan perilaku lama yang dianggap kurang produktif.
Kemampuan dalam berbagai bentuk tingkah laku asertif akan dapat
memberikan banyak manfaat positif pada hubungan interpersonal. Hal ini
menurut Lange & Jakubowski (1976) karena tingkah laku asertif akan
meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri, terhadap orang lain maupun
dari orang lain, sehingga akan mempermudah individu dalam menyelesaikan
8

konflik dengan orang lain secara terbuka dan adil. Selain itu juga akan
menghasilkan hubungan yang lebih memuaskan dengan orang lain, karena
memperbesar kemungkinan kedua pihak setidaknya dapat mencapai tujuan
dan memenuhi kebutuhan mereka.
Perilaku asertif akan membantu remaja untuk bersikap tepat dalam
menghadapi situasi dimana hak-hak remaja dilanggar. Tetapi hal ini kurang
disadari oleh remaja sehingga mereka takut untuk bersikap asertif atau tidak
mau bersikap asertif. Banyak individu yang tidak berani bersikap asertif
karena takut akan tidak disukai atau menyakiti perasaan orang lain. Remaja
biasanya menghindari situasi tidak nyaman dengan berperilaku tidak asertif,
jika remaja tidak berani mengemukakan keinginan dan pendapatnya sendiri
yang mungkin terjadi adalah remaja tersebut akan dimanfaatkan atau
dieksploitasi oleh orang lain.
Van deer Meer pada tahun 1988 (dalam Tattum dkk, 1993) melakukan
studi kasus pada anak yang menjadi korban bullying dan memberikan saran
bagaimana mengelola masalah yang sama bagi guru, orang tua, pihak sekolah,
konselor sekolah dan kebijakan pendidikan. Pertanyaan studi kasus yang
muncul adalah bagaimana menangani bullies dan korban bullying dan
bagaimana mengurangi perilaku bullying. Salah satu pendekatan yang
digunakan dalam studi tersebut adalah menyelenggarakan program pelatihan
asertivitas untuk korban bullying agar bisa membantu korban bullying
menghindari dan keluar dari situasi bullying.
Tonge (dalam Rigby 2007) yang mengevaluasi pelatihan asertivitas
pada korban bullying melaporkan bahwa ada peningkatan perilaku asertif dan
9

peningkatan kepercayaan diri pada siswa serta menurunnya pengalaman
menjadi korban bullying. Siswa juga cenderung menunjukkan peningkatan
dalam memberikan respon konstruktif dalam situasi bullying dan respon
agresif menurun. Senada dengan itu penelitian yang dilakukan oleh Arora
(dalam Rigby, 2007) yang memberikan pelatihan asertivitas pada korban
bullying di SD menunjukkan bahwa pendekatan ini efektif, dimana korban
menjadi lebih asertif dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan orang
dewasa, mereka juga merasakan peningkatan harga diri (self esteem) dan
kepercayaan diri dan laporan mengalami bullying menurun.
Hasil penelitian Arora ini didukung oleh hasil penelitian „Assertiveness
Training Programme’ DFE Sheffield Bullying Project (Sharp & Cowie, 1994)
yang

meneliti

efektifitas

pelatihan

perilaku

pada

korban

bullying,

menunjukkan bahwa korban bullying lebih asertif dalam merespon situasi
bullying dan melaporkan pengurangan dalam mengalami bullying. Program ini
didasarkan kesadaran bahwa perilaku korban bullying berkontribusi terhadap
pengalaman menjadi korban bullying (misalnya: kurangnya ketrampilan
sosial). Beberapa studi lain juga melaporkan hal yang sama (Fox and Boulton,
2003; Hodges et al., 1999; Hodges and Perry, 1999; Schwartz et al., 1999).
Berdasarkan berbagai hasil penelitian pelatihan asertivitas yang telah
diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa pelatihan asertivitas dapat digunakan
untuk meningkatkan asertivitas korban bullying yang cenderung non asertif
sehingga rentan mengalami tindakan bullying bahkan melakukan bullying.
Pelatihan asertivitas dapat memberikan ketrampilan komunikasi yang
baru dan penting serta merupakan satu cara yang lain untuk melihat diri kita
10

sendiri dan hubungan kita dengan orang lain (Galassi & Galassi, 1977).
Pelatihan asertivitas juga dapat meningkatkan kesadaran diri, mengurangi
kecemasan, memperbaiki dialog internal diri yang cacat serta meningkatkan
pesan verbal dan non verbal (dalam Spence, 1983). Galassi & Galassi (1977)
melaporkan bahwa individu yang mengikuti program pelatihan asertivitas
mengalami peningkatan kepercayaan diri, bereaksi positif terhadap orang lain,
mereduksi kecemasan pada situasi sosial, meningkatkan komunikasi
interpersonal dan mengurangi keluhan somatik.
Tujuan pelatihan asertif adalah untuk menyeimbangkan antara dua
belah pihak dalam menyelesaikan konflik. Pelatihan asertif banyak
menitikberatkan pada penyelesaian konflik interpersonal dan banyak
digunakan dalam menyelesaikan masalah. Orang yang asertif dapat
mengekspresikan perasaan dengan cara dimana kedua belah pihak terpuaskan
dan secara sosial efektif (Bower & Bower, 1991).
Willis dan Daiisley (1995) menyatakan bahwa kebanyakan individu
cukup mengalami kesulitan untuk dapat berperilaku asertif. Walaupun secara
umum setiap orang dapat melakukan perilaku asertif, namun biasanya harus
dipelajari dengan penuh kesadaran. Bloom dkk (1975) mengemukakan bahwa
pelatihan asertivitas memang didasarkan atas teori bahwa perilaku sosial
adalah sesuatu yang dipelajari sehingga dapat pula dihilangkan dan digantikan
oleh perilaku baru yang lebih menguntungkan. Pelatihan asertivitas sendiri
merupakan usaha untuk membantu individu menghilangkan perilaku non
asertif atau cara-cara agresif yang merugikan, dan menggantikannya dengan

11

bentuk perilaku asertif yang lebih sehat dan lebih meningkatkan harga diri
individu.
Sikap asertif merupakan salah satu bentuk social skill, yang pada
dasarnya dapat dikembangkan melalui pelatihan asertivitas yang sengaja
dirancang melalui prosedur yang sistematis. Cawood (1987) mengemukakan
bahwa ketrampilan bertingkah laku asertif akan meningkatkan harga diri dan
tingkat kepercayaan diri, serta meminimalkan sikap defensif dan reaksi agresif
yang akan menghambat komunikasi dengan orang lain. Selain itu juga dapat
memperkaya hubungan (enriched relationship) karena individu dapat
membangun dasar adanya kepercayaan dan saling menghargai dengan siapa
dirinya berhubungan. Hal ini sangat penting karena kepercayaan adalah bagian
yang mendasar pada individu dalam bekerjasama dengan orang lain dan dalam
kemampuan mengelola konflik.
Berdasarkan penelitian Nota dan Soresi (2003) menemukan bahwa
pelatihan asertivitas dapat meningkatkan kemampuan asertivitas pada
kelompok siswa yang pasif. Intervensi pelatihan asertivitas ini juga dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam menentukan pilihan dan dapat
mengurangi pengalaman sosial yang tidak menyenangkan karena partisipan
dapat bersikap asertif pada situasi kritis.
Penelitian mengenai pelatihan asertivitas juga dilakukan oleh Stewart
dan Lewin (1986). Penelitian ini menemukan bahwa siswa yang mengikuti
pelatihan asertivitas lebih mempunyai kemampuan asertivitas dibandingkan
siswa yang tidak mengikuti pelatihan asertivitas. Asertivitas yang dimiliki
oleh anggota kelompok eksperimen menjadi modeling bagi anggota kelompok
12

kontrol, sehingga beberapa anggota kelompok terpengaruh oleh asertivitas
anggota kelompok eksperimen. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil
penelitian Pramadi & Setiono (2005) tentang efektifitas pelatihan asertivitas
dan peningkatan perilaku asertif pada siswa-siswi SMP yang menunjukkan
bahwa pelatihan asertivitasmemiliki pengaruh dalam meningkatkan perilaku
asertif pada siswa-siswi SMP.
Ahli yang telah mengembangkan suatu bentuk pelatihan asertif antara
lain Arthur J.Lange dan Patricia Jakubowski, dengan konsepnya Responsible
Assertive Behavior. Secara umum mereka menyatakan bahwa perilaku asertif
seharusnya dilakukan secara bertanggung jawab. Secara umum, Lange dan
Jakubowski (1976) mengatakan karena kebanyakan masalah psikologi yang
melibatkan assertion memiliki komponen kognitif, afektif, dan perilaku, maka
kombinasi pendekatan kognitif, afektif dan perilaku dalam pelatihan asertif
dianggap tepat. Oleh karena itu, mereka kemudian mengembangkan suatu
bentuk pelatihan asertif dengan menggunakan pendekatan perilaku-kognitif
(cognitive-behavioral procedures). Pendekatan utama dalam pelatihan ini
terutama ada dua

yaitu prosedur restrukturisasi kognitif (cognitive

restructuring procedures) dan prosedur pelatihan perilaku dan modeling
(modeling and behavior rehearsal procedures).
Dasar utama dari prosedur restrukturisasi kognitif adalah bahwa
individu sering membuat asumsi mengenai diri mereka sendiri dan orang lain
yang kadang tidak rasional sehingga mengarah pada kecemasan, kemarahan,
rasa bersalah, menghindar, atau perilaku non asertif lainnya. Komponen
restrukturisasi kognitif dalam pelatihan asertif dapat membantu partisipan
13

mengembangkan suatu kerangka kerja untuk menilai pemikiran mereka dan
hubungannya dengan perasaan dan perilaku mereka. Adapun prosedur
pelatihan perilaku berusaha mengembangkan ketrampilan berperilaku asertif
melalui metode-metode praktik secara aktif, misalnya melalui modeling, roleplay, coaching, relaksasi dan sebagainya, sehingga terjadi perubahan perilaku
yang diharapkan.
Pelatihan asertivitas Laressa dikembangkan dari pelatihan asertivitas
Lange dan Jakubowski (1976) dengan menambahkan aspek-aspek atau unsurunsur bullying. Pemberian pelatihan asertivitas Laressa, tidak hanya melatih
korban bullying (bullied) dan individu yang rentan mengalami tindakan
bullying untuk lebih asertif saat dihadapkan dengan perilaku bullying, namun
juga dapat memberi pemahaman agar tidak menjadi bully-victim yaitu korban
yang akhirnya juga menjadi pelaku bullying. Selain itu, pelatihan asertivitas
Laressa diharapkan juga akan membentuk perilaku asertif peserta pelatihan
sebagai bystander (saksi bullying) yang asertif untuk mencegah perilaku
bullying di sekitar mereka. Pada akhirnya, diharapkan perilaku bullying dapat
diturunkan.
Berdasarkan pertimbangan beberapa alasan inilah dan banyaknya
penelitian yang membuktikan keefektifan pelatihan asertivitas yang mendasari
peneliti memandang perlu adanya penelitian mengenai “Model Pelatihan
Asertivitas Laressa untuk Meningkatkan Perilaku Asertif Korban
Bullying “

14

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah model
pelatihan

asertivitas Laressa dapat meningkatkan perilaku asertif korban

bullying?”

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelatihan
asertivitas Laressa dapat meningkatkan perilaku asertif pada korban bullying.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang
bersifat teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan dalam psikologi sosial terkait dengan bullying,
psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan terkait dengan
perkembangan remaja serta psikologi klinis khususnya yang
berkaitan dengan masalah tingkah laku asertif dan pelatihan
asertivitas dengan pendekatan kognitif-behavioral.
b. Pengembangan pelatihan asertivitas Laressa ini diharapkan dapat
melengkapi pelatihan asertivutas yang telah ada sebelumnya.
2. Manfaat praktis
a. Dapat memberikan ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam
berkomunikasi dengan orang lain secara efektif.
15

b. Dapat memberikan kontribusi positif bagi sekolah, yaitu dengan cara
meningkatkan kesadaran tentang bullying di sekolah.
c. Dapat meminimalisir remaja yang mengalami dan melakukan
bullying dengan cara meningkatkan pemahaman tentang bullying dan
meningkatkan ketrampilan mereka dalam bertingkah laku asertif
dalam menghadapi situasi bullying.

16

MODEL PELATIHAN ASERTIVITAS LARESSA UNTUK
MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF PADA KORBAN BULLYING

Usulan Penelitian untuk Tesis Sarjana S-2
Program Studi Magister Profesi Psikologi

Diajukan oleh :
Ade Laressa
NIM 08820002

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
September 2011

MODEL PELATIHAN ASERTIVITAS LARESSA UNTUK
MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF PADA KORBAN BULLYING

TESIS
Program Studi Magister Profesi Psikologi

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister
Profesi Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Diajukan oleh :
Ade Laressa
NIM 08820002

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
September 2011

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama

: Ade Laressa

NIM

: 08820002

Program Studi

: Magister Profesi Psikologi

Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:
1. Tesis dengan judul “Model Pelatihan Asertivitas Laressa untuk
Meningkatkan Perilaku Asertif pada Korban Bullying” adalah hasil karya
saya dan dalam naskah tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah
diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu
Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, bagi sebagian ataupun keseluruhan,
kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam
sumber kutipan dan daftar pustaka.
2. Apabila ternyata di dalam naskah Tesis ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur PLAGIASI, saya bersedia TESIS ini DIGUGURKAN dan
GELAR

AKADEMIK

YANG

TELAH

SAYA

PEROLEH

DIBATALKAN, serta diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
3. Tesis ini dapat dijadikan sumber pustaka yang merupakan HAK BEBAS
ROYALTY NON EKSKLUSIF.
Demikian, pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Malang, 23 September 2011
Yang menyatakan,

Ade Laressa

iv

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang
berjudul “Model Pelatihan Asertivitas Laressa untuk Meningkatkan
Perilaku Asertif pada korban Bullying”.
Tesis ini diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar magister profesi psikologi di Program Pascasarjana
Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Penulis banyak menerima motivasi dan bantuan dari berbagai
pihak, oleh karena itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr.

Latipun,

M.Kes

sebagai

Direktur

Pascasarjana

Universitas

Muhammadiyah Malang
2. Yudi Suharsono, S.Psi, M.Si sebagai Kepala Program Pascasarjana
Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
3. Dr. Diah Karmiyati, M.Si sebagai Dosen Pembimbing I yang memberikan
saran dan petunjuk dalam penulisan Tesis ini
4. Dra. Siti Suminarti Fasikhah, M.Si, Psi sebagai Dosen Pembimbing II
yang telah memberikan bimbingan dan motivasi besar kepada Penulis.
5. Dr. Wisjnu Martani, SU, Psi sebagai penguji dari HIMPSI yang telah
memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini
6. Dra. Cahyaning Suryaningrum, M.Si, Psi sebagai dosen penguji yang telah
memberi banyak masukan demi penyempurnaan tesis ini.

v

7. M. Salis Yuniardi, M.Psi yang telah memberikan masukan besar bagi
perbaikan tesis ini.
8. Orang tua dan saudara tercinta yang selalu memberi dukungan dan kasih
sayang kepada Penulis
9. Mas Dodo yang teristimewa selalu memberi semangat dan dukungan
kepada Penulis
10. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Pascasarjana Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang
11. Bu Elita yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada Penulis
12. Drs. Gunarso, M.Si sebagai Kepala Sekolah SMPN 08 Malang yang telah
memberikan penelitian kepada Penulis.
13. Para subjek yang terlibat dalam penelitian ini, terima kasih telah
membantu Penulis dalam penelitian ini, semoga bermanfaat bagi subjek
14. Semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini yang tidak bisa Penulis
sebutkan satu persatu.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan
tesis ini di masa mendatang. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu psikologi.

Malang, September 2011

Penulis

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

i

LEMBAR PERSETUJUAN

ii

LEMBAR PENGESAHAN

iii

LEMBAR PERNYATAAN

iv

KATA PENGANTAR

v

ABSTRAK

vii

ABSTRACT

viii

DAFTAR ISI

ix

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GRAFIK

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

1

B. Rumusan Masalah

15

C. Tujuan Penelitian

15

D. Manfaat Penelitian

15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Bullying

17

1. Pengertian bullying

17

2. Bentuk-bentuk bullying

20

3. Segitiga Bullying: Pelaku, Korban, Bystander

23

4. Dampak bullying

32

B. Remaja
1. Pengertian Remaja

37

2. Ciri-ciri Remaja

38

3. Fenomena Bullying pada Remaja

39

C. Asertif
1. Pengertian Asertif

39

2. Ciri-ciri Perilaku Asertif

45

ix

3. Komponen-komponen Perilaku Asertif

46

4. Pembentukan Perilaku Asertif

50

5. Manfaat Perilaku Asertif

55

D. Pelatihan Asertivitas
1. Pengertian Pelatihan

59

2. Prinsip-prinsip dalam Pelatihan

60

3. Pengertian Pelatihan Asertivitas

61

4. Konsep Pelatihan asertivitas Lange dan Jakubowski

63

5. Model Pelatihan Asertivitas Laressa

69

E. Efektivitas Pelatihan Asertivitas Laressa untuk
Meningkatkan Perilaku Asertif pada Korban Bullying

70

F. Kerangka Berpikir

74

G. Hipotesis

75

BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian

76

B. Identifikasi Variabel

77

C. Definisi Operasional

78

D. Populasi Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel

79

E. Jenis Data dan Instrumen Pengumpulan Data

81

F. Validitas dan Reliabilitas

85

G. Prosedur Eksperimen

89

H. Analisa Data

105

BAB IV PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Deskripsi Subjek Penelitian

107

2. Deskripsi Data Pretest, Posttest dan Follow up
Kelompok Kontrol

112

3. Deskripsi Data Pretest, Posttest dan Follow up
Kelompok Eksperimen

114

x

B. Hasil Analisa Data
1. Hasil Pengujian Hipotesis Pretest, Posttest dan Follow Up
Kelompok Kontrol dan Eksperimen

116

2. Hasil Pengujian Hipotesis Pretest, Posttest dan Follow Up
Kelompok Kontrol

117

3. Hasil Pengujian Hipotesis Pretest, Posttest dan Follow Up
Kelompok Eksperimen

119

C. Pembahasan

121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

132

B. Saran

132

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1: Blue print Skala Asertivitas

83

Tabel 3. 2: Skoring Skala Asertivitas

84

Tabel 3. 3: Kategori Asertivitas

85

Tabel 3. 4: Penormaan Skor Asertivitas

85

Tabel 3.5: Sebaran Item Asertivitas yang tidak Valid

87

Tabel 3.6: Reliabilitas Skala Asertivitas

89

Tabel 3.7: Jadwal dan materi pelatihan untuk setiap sesi pertemuan

93

Tabel 4.1: Identitas subjek kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen 107
Tabel 4.2: Skor Asertivitas Pretest, Posttest, dan follow up
kelompok Kontrol

112

Tabel 4.3: Skor Asertivitas Pretest, Posttest, dan follow up
Kelompok Eksperimen

113

Tabel 4.4: Delta Pretest, Posttest, dan follow up kelompok Kontrol dan
Kelompok Eksperimen

114

Tabel4.5: Tabel Deskriptif uji Mann Whitney data asertivitas Pretest, Posttest,
dan follow up Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen 116
Tabel 4.6: Tabel Deskriptif uji Wilcoxon data asertivitas Pretest, Posttest,
Kelompok Kontrol
118
Tabel 4.7:Tabel Deskriptif uji Wilcoxon data asertivitas Posttest
dan follow up Kelompok Kontrol

118

Tabel 4.8: Tabel Deskriptif uji Wilcoxon data asertivitas Pretest, Posttest,
Kelompok Eksperimen
119
Tabel 4.9:Tabel Deskriptif uji Wilcoxon data asertivitas Posttest
dan follow up Kelompok Eksperimen

xii

120

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4:1: Skor Asertivitas Pretest, Posttest dan follow up
Kelompok Kontrol

113

Grafik 4.2: Skor Asertivitas Pretest, Posttest dan follow up
Kelompok Kontrol

114

Grafik 4.3: Delta Asertivitas Pretest, Posttest dan follow up
Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen

xiii

115

DAFTAR GAMBAR

2.1

Kerangka Berpikir

74

3.1

Rumus Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach

88

3.2

Rumus Mann Whitney

106

3.3

Rumus Wilcoxon Signed Ranks Test

106

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1:

Kuesioner Bullying

149

Lampiran 2:

Skala Asertivitas

154

Lampiran 3:

Lembar Persetujuan

158

Lampiran 4 :

Modul Pelatihan Asertivitas Laressa

160

Lampiran 5:

Lembar Kerja

184

Lampiran 6:

Lembar Observasi

187

Lampiran 7:

Lembar Evaluasi Penelitian

189

Lampiran 8:

Hasil Survey bullying

191

Lampiran 9:

Hasil Analisis Data

195

Lampiran 10: Surat Ijin Penelitian

211

xv

DAFTAR PUSTAKA

Alberti, R & Emmons, M (2001) Your Perfect Right. 8thEdition. Terjemahan:
Ursula G. Buditjahya. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Arief, Burhanudin Al. (2010). Profil kepribadian dan keluarga pada remaja
korban bullying. Skripsi Psikologi. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang.
Aryani, Farida. (2004). Pengembangan paket pelatihan dan ketrampilan asertif
untuk siswa SLTP. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: Program Studi
Bimbingan Konseling, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri
Malang.
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik.
Edisi revisi V. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Arora, T.(1989). Bullying—action and intervention. Pastoral Care in Education,
7, 44–47.
Arora, T.(1991). Theuse of victim support groups. In Smith, P.K. and Thompson,
D, Practical Approaches to Bullying. London: David Fulton, 37–38.
Azwar, S (2000). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Azwar, S (2005. Sikap manusia, teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Azwar, S. (2006). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Azwar, S (2007). Metodologi penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bailey, Lamar. (2008). State Legislatures. Diakses 31 Agustus 2010 dari
http://proquest.umi.com./pqdweb?did=1596721941&Fmt=3&ClientI
Barker, C; Pistrang N & Elliot, R. (1994). Research Methods in Clinical and
Counselling Psychology. Chichester : John Wiley & Sons, Ltd.
Bauman, S. (2008). The role of elementary school counselors in reducing school
bullying. The Elementary School Journal Vol. 8 . No. 5.
Bedell, J.R & Lennox, S.S. (1997). Handbook for Communication and ProblemSolving Skill Training. A Cognitive-Behavioral Approach. New York :
John Wiley & Sons, Inc.

143

Bierman, L.K., Miller, L.C, and Stabb, D.S. (1987). Improving the social
behavior and peer acceptance of rejected boys: effect of social skill
training with instructions and prohibitions. Journal of Consulting and
Clinical Psychology, 55, (2), 194-200.
Bloom, L.Z; Coburn, K; Pearlman, J. (1975). The new assertive woman. New
York : Dell Publishing Co, Inc.
Boulton, M. J. (1992). Rough physical play in adolescents: Does it serve a
dominance function? Early Education and Development, 3. 312-333.
Bower & Bower. 1991. Asserting your self: a practice guide for positive change.
Canada: John Wiley & Sons.
Budilarasati, A. (1992). Prinsip-prinsip Belajar. Materi Training for Trainers.
Fakultas Psikologi UGM, tidak diterbitkan.
Cawood, D. (1987). Assertiveness For Managers. Learning Effective Skill For
Managing People. Business Series. 2nd Edition. North Vancourver, British
Columbia : Internasional Self-Counsel Press Ltd.
Craighead, L.W; Craighead, W.E; Kazdin, A.E; & Mahoney, M.J. (1994).
Cognitive and Behavioral Intervention, An Empirical Approach to Mental
Health Problem. Boston : Allyn and Bacon.
Creswell, J. W. (2003). Research design, Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches.
Edition. California: Sage Publication, Inc.
Coloroso, Barbara. (2007). Stop bullying! Memutus mata rantai kekerasan anak
dari prasekolah hingga SMU. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Dodge & Coie. (1987). Social information processing factors in reactive and
proactive aggression in children’s peer groups. Journal of Personality and
Social Psychology, 53. 1146-1158.
Espelage, D. L. Bosworth & Simon (2000). Examining the social context of
bullying behaviors in early adolescence. Journal of Counseling and
Development, 78, 326-333.
Farrington, D. P. (1993). Understanding and preventing bullying. Dala, Tony,
Morris, N. Crime and Justice. Vol. 7. Chicago: University of Chicago
Press.
Fox, Claire L. & Boulton, M. (2003). Evaluating the effectiveness of Social Skill
Training (SST) program for victims of bullying. Educational Research,
Vol. 45 No. 3 Winter 2003, 231-247.

144

Gallasi, Menna Dee & Gallasi, Jhon P. 1977. Assert Your Self: How To Be Your
Own Person. New York: Human Sciences Press.

Guilford, J. P & Fruchter, B. (1973). Fundamental statistics in psychology and
education.
Edition. Tokyo: Mc Graw-Hill Kogakusha, Ltd.
Hadi, S. (1991). Analisis butir untuk instrumen, angket, tes dan skala dengan
BASICA. Yogyakarta: Andi Offset.
Halima, Susana. (2008). Pengaruh stress, bullying terhadap kinerja pegawai
pelabuhan III Cabang Gresik. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana Universitas
Airlangga.
Hurlock, E.B. (2004). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Indira, Pinkan Margaretha. (2008). Studi deskriptif tentang bullying pada sekolah
menengah atas dan kejuruan di Salatiga. Disampaikan dalam Workshop
Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia pada tanggal 16 & 17 Oktober
2010. Malang: Universitas Negeri Malang.
Isrizal. (2002). Pengaruh treatment yang berorientasi pada tugas terhadap fungsi
menyeluruh pasien gangguan yang berhubungan dengan zat. Tesis.
Jakarta : Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Johnson, D.W. and Johnson, R. (1991). Teaching students to be peacemakers.
Edinburgh, MN: Interaction Book Co.
Kazdin, A.E. (1992). Research Design in Clinical Psychology. 2nd Edition.
Needham Heights. Massachusetts : Allyn & Bacon.
Kerlinger, Fred. N. (2003). Asas-asas penelitian behavioral. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Kolb, David A. (1984). Experensial learning: experience as the source of learnig
and development. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Lange, A.J & Jakubowski, P. (1976). Responsible assertive behavior. cognitive /
behavioral procedures for trainers. Illinois : Research Press.
Latipun. (2010). Psikologi eksperimen. Malang: UMM Press.
Lesmana,Jeanette Murad. (2008). Dasar-dasar konseling. Jakarta: UI-Press.
Mappiare, A. (1982). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

145

Ma, Xi, Len L Stewin & Mah, Devada. (2001). Bullying in school: nature: effects
and remedies. Diakses 31 Agustus 2010 dari www.educationarena.com.
McNamee. Abigail. Mia Mercurio. (2008). School-wide intervention in the
childhood bullying triangle. Diakses 31 Agustus 2010 dari
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1548006281&Fmt=3&clientId.
Murray, Les. (1994). The culture of hell. The Independent Monthly, February, p.
18.
Nazir. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nota, L. & Soresi, S. (2003) An Assertiveness Training Program for Indecisive
Students Attending an Italian University. The Careee Development
Quarterly, 51, 322-334.
Olweus, Dan. (1993). Bullying at school. Oxford: Blackwell Publishing.
Olweus, D. Limber & Mihalic. (1999). Blueprints for violence prevention: The
Bullying Prevention Program. Boulder, CO: Center for the Study and
Preventive of Violence.
Pellegrini & Long (2002). A longitudinal study of bullying, dominance, and
victimization during the transition from primary to secondary school.
British Journalof Developmental Psychology, 20, 259-280.
Pearson, J.C. (1987). Interpersonal communication.
Foresman and Co.

Palo Alto, CA: Scott,

Reiswandy.(2009). Profil kepribadian remaja yang melakukan tindak bullying.
Skripsi. Malang: Universitas Muahammadiyah Malang.
Rigby, Ken. (2007). Bullying in schools and what to do about it. Australia:
ACER Press.
Rini, Brigitta. (2008). Pelatihan asertivitas untuk korban bullying di Sekolah
Dasar. Tesis. Program Pascasarjana UGM.
Robinson, P.W. (1981). Fundamentals of Experimental Psychology. 2nd Edition.
Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall, Inc.
Rochmawati, Ririn. (2008). Pelatihan asertivitas untuk meningkatkan perilaku
asertif mahasiswa. Skripsi Psikologi. Universitas Negeri Malang.
Royanto, Lucia RM & Djuwita, Ratna. (2008). Peran faktor personal dan
situasional terhadap perilaku bullying di tiga kota besar di Indonesia.
Disampaikan dalam Workshop Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia
pada tanggal 16 & 17 Oktober 2010. Malang: Universitas Negeri Malang.

146

Santrock, J. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja, Editor : Adelar, S., &
Saragih, S. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Salmivalli, C. (1999). Participant role approach to school bullying: implications
for interventions. Journal of Adolescence, 22,453–59.
Scarpaci, Richard.T. (2006). Bullying: effective strategies for its prevention.
Kappa Delta Pi Record, 42 (4) 170-174.
Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. (2005). Psikologi Eksperimen. Jakarta :
PT. Indeks Kelompok Gramedia.
Sharp, S. and Cowie, H. (1994). Constructive conflict resolution, peer
counselling and assertiveness training; empowering pupils to respond to
bullying behaviour. In Smith, P.K. and Sharp, S.(eds). School bullying
and how to cope with it. London: Routledge.
Solomon, L.J & Rothblum, E.D. 1985. Social Skill Problems Experienced by
Women. In Handbook of Social Skill Training and Research. New York :
John Wiley and Sons.
Soresi, S., Nota, L, & Ferrari, L. (2005). Counseling for adolescent and children
at-risk in italy. Journal of Mental Health Counseling, 27, 249-265.
Spence, Sue & Shepherd Geoff. (1983). Development in social skill training.
London: Academic Press.
Stewart, C., & Lewin, W. (1986). Effect of assertiveness training on the selfesteem of black high school student. Journal of Counseling and
Development, 64, 638-841.
Supratiknya, A. (2008). Merancang program dan modul psikoedukasi.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Sullivan, dkk. (2005). Bullying in secondary schools: what it looks like and how
to manage it. London: A Sage Publications Company.
Suryabrata, S. (1998). Metodologi Penelitian. Jakarta : Grafindo Persada.
Swearer, Espelage, & Napolitano. (2008). Bullying prevention and intervention:
realistic strategies for schools. New York: The Guilford Press.
Tattum, Delwyn et al. (1993). Understanding and managing bullying. Great
Britain: Heinemann School Management
Tomaka, J; Palacios, R; Schneider, K.T; Coloila,M; Concha, J.B; & Herrald,
M.M. (1999). Assertiveness predicts threat and challenge reactions to

147

potential stress among women. Journal of Personality and Social
Psychology. Vol. 76, No. 6, 1008-1021.
Towned, A. (1991). Developing Assertiveness. London : Routledge.
VandenBos, G. R. (2007). APA dictionary of psychology. Washington, DC:
American Psychological Association.
Willis, L & Daiisley, J. (1995). The assertive trainer. A practical handbook on
assertiveness for trainers and running assertiveness courses. Berkshire:
Mc Graw Hill Book Company Europe.
World Health Organizations [WHO]. (2004). Preventive of mental disorders:
effective interventions and policy options: summary report of the world
heath organizations. Department of Mental Health and Substance Abuse:
Collaboration with the Prevention Research Centre of The Universities
Nijmegen & Maastricth. France: WHO.
Yallom, LD. (1975). The theory and practice of group psychotherapy. New York:
Basic Book

148