Efektivitas Behaviour Skill Training untuk Meningkatkan Asertivitas pada Korban Bullying

11

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Asertivitas
1. Pengertian Asertivitas
Menurut Sharp & Cowie (1994) asertivitas adalah kemampuan seseorang
untuk dapat berespon dengan tegas dalam mempertahankan hak pribadinya tanpa
melanggar hak-hak orang lain. Seseorang yang asertif akan merespon perilaku
bullying dari pelaku dengan menyatakan niat mereka, keinginan dan perasaan
dengan jelas dan langsung. Mereka akan bertahan terhadap taktik manipulatif atau
perilaku agresif dari pelaku tanpa membalas dengan agresif sehingga memiliki
kedudukan yang sama. Tanggapan tegas tidak hanya mengandalkan pesan verbal
tetapi juga pada kontak mata dan bahasa tubuh sebagai penyampai pesan. Pada
tahun 1995, Alberti & Emmons mengembangkan teori Sharp & Cowie dengan
membuat indikator-indikator perilaku yang dapat mengukur asertivitas seseorang.
Selain itu, asertivitas juga merupakan cara berkomunikasi dengan jelas,
spesifik, dan tidak ambigu, dimana pada waktu yang bersamaan menjadi lebih
sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan perlakuan orang lain dalam situasi
tertekan (Stein & Book, 2006; Pipas & Jaradat, 2010; Sharp & Cowie, 2004).

Rees & Graham (1991) juga menyatakan bahwa menjadi asertif berarti bahwa
seseorang mampu mengekspresikan diri dengan jelas, langsung, dan sesuai,
menghargai pikiran dan perasaan pribadi, serta mengenali kekuatan dan

Universitas Sumatera Utara

12

kelemahan diri. Asertif yaitu percaya bahwa pendapat, pemikiran, kepercayaan,
dan perasaan yang dimiliki sama pentingnya dengan yang orang lain miliki.
Menjadi asertif berarti bahwa seseorang bertanggung jawab atas kehidupan dan
pilihan-pilihan yang ia ambil, yaitu harus mengambil keputusan sendiri, bukan
mengikuti pilihan orang lain. Dengan demikian, tidak akan menyalahkan orang
lain atau situasi atas apa yang terjadi pada dirinya. Jika bertanggung jawab atas
kehidupan yang dimiliki, maka akan dapat mengubah bagian yang tidak
diinginkan. Akan tetapi jika menyalahkan situasi, maka akan tidak berdaya untuk
mengubahnya (Rees & Graham, 1991).
Berdasarkan uraian di atas, asertivitas adalah kemampuan seseorang
berespon


dengan

tegas

dalam

mempertahankan

hak

pribadinya

tanpa

melanggar hak-hak orang lain denga cara berkomunikasi yang jelas, spesifik, dan
tidak ambigu, dimana pada waktu yang bersamaan menjadi lebih sensitif terhadap
kebutuhan orang lain dan perlakuan orang lain dalam situasi tertekan.

2. Indikator-indikator Asertivitas
Menurut Alberti dan Emmons (1995 dalam Stewart, 2002) asertivitas

seseorang dapat diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut:
1. Mampu menjadikan lawan bicara pada kedudukan yang sama dengan
dirinya, sehingga kedua belah pihak memiliki kemungkinan untuk
mendapatkan keuntungan dan tidak ada yang merasa kalah.
2. Mampu membuat dan percaya pada keputusan sendiri terkait dengan karir,
hubungan, gaya hidup dan jadwal kegiatan.

Universitas Sumatera Utara

13

3. Inisiatif

dalam

berinteraksi,

termasuk

menghindari


kemungkinan

terjadinya kekerasan.
4. Mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pendapat
orang lain.
5. Mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang
tidak menyenangkan dengan cara yang tepat tanpa ada perasaan cemas
yang berlebihan.
6. Merespon secara tepat perilaku yang melanggar hak dirinya sendiri
ataupun orang lain.

3. Asertivitas pada Korban Bullying
Respon seseorang terhadap perilaku bullying dapat dibagi menjadi empat
kategori, yaitu asertif, agresif, pasif konstruktif, dan pasif tidak konsruktif (Sharp
& Cowie, 1994). Saat merespon secara asertif, korban akan menyatakan niat,
harapan, atau perasaan mereka secara jelas dan langsung. Mereka akan tetap
bertahan terhadap menipulasi atau taktik agresif. Dengan demikian, mereka tetap
dapat membela hak-haknya tanpa melanggar hak orang lain.
Pada umumnya, kebanyakan orang sering salah menafsirkan perilaku

asertif dengan agresif sehingga mereka merasa takut akan menyakiti orang lain
atau akan terlihat tidak menyenangkan di hadapan orang lain. Asertivitas
dikarakteristikkan oleh pernyataan pikiran atau perasaan secara jelas, yang disertai
dengan pertimbangan pikiran dan perasaan orang lain. Tanpa pertimbangan
tersebut, asertivitas akan menjadi perilaku yang agresif (Stein & Book, 2006).

Universitas Sumatera Utara

14

Respon asertif tidak hanya berupa pesan verbal, tetapi juga melibatkan kontak
mata dan bahasa tubuh. Para ahli setuju bahwa teknik-teknik asertivitas, dengan
cara interaksi yang berbeda dari respon pasif dan agresif, merupakan serangkaian
strategi yang efektif, dimana korban diajarkan untuk memberdayakan dirinya
sendiri (Sharp & Cowie, 1994).
Berbeda dengan respon asertif, respon agresif meliputi setiap respon yang
bertujuan untuk menyakiti, merusak, atau menguasai orang yang membully,
misalnya membalas nama panggilan yang buruk, bersekongkol dengan orang lain
untuk membalas, atau menyerang secara fisik. Respon tersebut malah akan
memperburuk situasi atau membuat pelaku semakin ingin melanjutkan perlakuan

mereka terhadap korban. Dalam agresi tidak ada ruang untuk berkompromi,
bahkan merupakan interaksi satu arah, yaitu bagaimana seorang yang agresif
mengekspresikan keinginannya secara terus-menerus dan berusaha memaksa
orang lain agar menyetujuinya.
Jenis respon yang seringkali ditampilkan oleh korban bullying yaitu respon
pasif tidak konstruktif. Korban cenderung submisif atau tidak bereaksi sama
sekali, misalnya mengabaikan perilaku bullying, menuruti semua permintaan
pelaku, atau berdiri tidak berdaya ketika pelaku merusak barang-barangnya.
Orang yang pasif memiliki kesulitan untuk mengekspresikan dirinya terhadap
orang lain. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa berespon pasif dapat
mengurangi kecenderungan terjadinya perilaku bullying. Hal tersebut malah akan
membuat korban merasa lebih tidak berdaya.

Universitas Sumatera Utara

15

Selain melalui respon asertif, agresif, atau pasif tidak konstruktif, ada juga
korban yang merespon dengan pasif konstruktif sesuai, misalnya keluar dengan
cepat dari situasi bullying, memberi tahu guru, atau mencari dukungan dari teman.

Melalui respon pasif konstruktif, korban tidak melakukan tindakan langsung
untuk menghadapi perilaku bullying, tetapi mereka melakukan tindakan yang
dapat mencegah bullying kembali terjadi. Walau demikian, menghindari pelaku
dapat mengakibatkan bolos sekolah atau membuat korban menjadi semakin tidak
memiliki kekuatan. Korban bullying merasa diri mereka tidak berdaya untuk
menyelesaikan suatu situasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat enam
indikator asertivitas, yaitu mampu menjadikan lawan bicara pada kedudukan yang
sama dengan dirinya, mampu membuat dan percaya pada keputusan sendiri dalam
karir, hubungan, gaya hidup, dan jadwal kegiatan,inisiatif dalam berinteraksi,
mampu menolak dan menyatakan ketidaksesuaian, mampu menyatakan perasaan,
dan merespon dengan tepat perilaku yang melanggar hak dirinya atau orang lain.
Respon seseorang terhadap perilaku bullying dapat dibagi menjadi empat kategori
yaitu asertif, agresif, pasif konstruktif, dan pasif tidak konstruktif.

B. Behaviour Skill Training
1. Pengertian Behaviour Skill Training
Behaviour skill training adalah cara lain dalam mengajarkan suatu
keahlian/keterampilan, dimana didalamnya terdapat empat prosedur yaitu
modeling, instructions, rehearsal, and feedback. Keempat prosedur ini digunakan


Universitas Sumatera Utara

16

bersama-sama dalam sesi pelatihan untuk membantu seseorang mendapatkan
keahlian/keterampilan yang bermanfaat seperti, keterampilan sosialisasi atau
keahlian job-related. Prosedur behaviour skill training secara khusus digunakan
untuk mengajarkan keahlian/keterampilan dengan konteks bermain peran
(Miltenberger, 2012).

2. Teknik Behaviour Skill Training
Pada dasarnya suatu proses pelatihan sama dengan proses belajar, dimana
pelatihan merupakan suatu cara untuk belajar, membiasakan diri, atau
mengajarkan seseorang supaya menjadi tahu, terbiasa, atau terampil mengenai
sesuatu yang dipelajarinya, baik dalam cakupan kognitif, afektif, maupun
psikomotor(Kohls, 1995). Behaviour skill training termasuk salah satu
metode/teknik dari terapi perilaku, yang merupakan salah satu bentuk dari
pelatihan keterampilan sosial (Corey, 1996). Wolpe dan Lazarus merupakan
terapis perilaku yang dengan jelas membedakan asertif dengan agresif, serta

menggunakan berbagai prosedur roleplay sebagai bagian dari pelatihan asertif
(Sert, 2003). Fokus dari behaviour skill training ini adalah untuk mempelajari
teknik, bukan untuk menjelaskan bagaimana atau mengapa seseorang berperilaku
dengan cara tertentu (Rees & Graham, 1991).
Behaviour skill training sangat bermanfaat untuk 5 karakter individu
sebagai berikut: (Rees & Graham, 1991)
a. Individu yang tidak dapat mengekspresikan kemarahan atau perasaan
jengkel.

Universitas Sumatera Utara

17

b. Individu yang mengalami kesulitan dalam berkata tidak.
c. Individu

yang sangat

sopan


dan

mengijinkan

orang lain

untuk

memanfaatkan dirinya.
d. Individu yang mengalami kesulitan untuk mengekspresikan afeksi dan
respon positif lainnya.
e. Individu yang merasa tidak memiliki hak untuk mengekspresikan pemikiran,
kepercayaan, dan perasaannya.
Secara keseluruhan behaviour skill training biasanya direkomendasikan
untuk individu yang mengalami kesulitan dalam membela hak-hak pribadinya,
serta mereka yang merespon situasi sulit secara pasif atau agresif. Penelitian
mengenai perilaku dan karakteristik korban bullying mengindikasikan bahwa
kelompok ini membutuhkan suatu program pelatihan untuk mempelajari
kemampuan asertif.
Asumsi dasar yang melandasi behaviour skill training adalah bahwa setiap

orang memiliki hak untuk mengekspresikan diri atau bahkan mengatakan tidak
pada hal yang mereka anggap tidak sesuai dengan mereka namun dengan cara
yang tepat. Salah satu tujuan dari behaviour skill training adalah untuk
meningkatkan kemampuan individu untuk membuat pilihan dalam berperilaku
asertif maupun tidak pada situasi tertentu. Tujuan lain adalah untuk mengajarkan
seseorang dalam mengekspresikan diri mereka melalui cara-cara yang
merefleksikan sensitivitas terhadap perasaan dan hak orang lain (Corey, 1996).
Melalui behaviour skill training, individu akan diberikan teknik-teknik
yang dapat digunakan sesuai kebutuhan. Setiap orang dapat melatih teknik

Universitas Sumatera Utara

18

tersebut secara spesifik sesuai dengan perlakuan bullying yang telah diterima.
Teknik tersebut akan memberikan perasaan aman serta membuat individu merasa
lebih memiliki kontrol dan kekuatan untuk mengatasi situasi tersebut. Pelatihan
ini bagi korban bullying dapat membantu untuk:
a. Memperluas strategi coping dalam menghadapi situasi bullying,
b. Menyediakan kesempatan untuk melatih penerapan strategi asertif ketika
dihadapkan pada situasi bullying, dan
c. Membantu individu merasa lebih percaya diri dan meningkatkan selfesteem.
Dalam penelitian ini, terdapat enam teknik yang akan diajarkan kepada
korban bullying untuk meningkatkan kemampuan asertif dalam diri mereka
(Sharp, Cowie, & Smith, 1994). Teknik-teknik tersebut adalah membuat
pernyataan asertif, melawan manipulasi dan ancaman, merespon nama panggilan,
meninggalkan situasi bullying, mencari dukungan dari orang sekitar, dan tetap
tenang dalam situasi menekan ;
a. Membuat pernyataan asertif
Teknik ini bergantung pada kombinasi dari pesan verbal dan bahasa
tubuh yang menunjukkan percaya diri. Membuat pernyataan asertif
melibatkan kejelasan, kejujuran, dan disampaikan secara langsung. Hal ini
berarti menyatakan secara spesifik dan dengan tenang apa yang diinginkan
atau bagaimana perasaan mereka mengenai suatu kejadian atau situasi.
Teknik ini dapat dilakukan dengan:
1) Membuat pernyataan dengan menggunakan kata ganti ‘Saya’

Universitas Sumatera Utara

19

2) Pernyataan yang disampaikan berisi perasaan, pikiran, kepercayaan,
atau nilai-nilai pribadi terhadap perilaku orang lain
Bahasa tubuh yang sebaiknya ditampilkan saat menyampaikan
pernyataan tersebut yaitu berdiri tegak dan melihat mata lawan bicaranya,
suara terdengar tenang dan tidak terbata-bata, ekspresi wajah netral, serta
tersenyum pada waktu tertentu. Tangan dan lengan seharusnya rileks dan
berada di sisi tubuh. Menyilangkan tangan, menutup mulut dengan tangan
atau terlihat gelisah merupakan perilaku defensif. Tangan di pinggang atau
menunjuk lawan bicara dapat dipersepsikan secara agresif. Korban bullying
perlu melatih cara bicara terhadap orang lain, tidak hanya konten bicaranya
saja. Bagi korban bullying, pernyataan asertif dapat berguna ketika
merespon nama panggilan, ejekan, atau provokasi fisik yang ringan.
Mereka dapat belajar untuk mengatakan “Saya tidak suka jika kamu
berbuat seperti itu. Saya ingin kamu berhenti”.
b. Melawan manipulasi dan ancaman
Ketika individu berada dalam tekanan, mereka dapat memilih di
antara dua teknik asertif. Pertama adalah mengatakan ‘Tidak’ atau bahkan
‘Tidak, saya tidak mau’. Kedua, adalah menggunakan teknik broken
record, yaitu mengulangi pernyataan asertif.
Belajar untuk mengatakan ‘Tidak’ merupakan hal yang cukup sulit.
Anak-anak, terutama perempuan, seringkali didorong untuk bersikap baik
dan tidak egois. Sayangnya, hal ini seringkali membuat anak melakukan
sesuatu yang berlawanan dengan harapan atau minat mereka. Agar mampu

Universitas Sumatera Utara

20

mengatakan ‘Tidak’, mereka harus belajar bahwa mereka memiliki hak
untuk

berkata

‘Tidak’

dan

juga

tahu

cara

yang

tepat

untuk

menggunakannya. Jika mereka merasa nyaman untuk menuruti permintaan
orang lain, maka mereka seharusnya mengatakan ‘Iya’. Mereka juga
sebaiknya mampu untuk berkompromi mengenai suatu solusi yang dapat
menyenangkan semua pihak. Hanya saja, jika mereka merasa ‘Tidak, saya
benar-benar tidak ingin melakukannya’, maka mereka seharusnya
mengatakan ‘Tidak’. Manipulasi, ancaman, dan bujukan seringkali
berdasarkan alasan moral atau emosional.
Ketika anak merasa sulit untuk menolak dan membela diri terhadap
rentetan ancaman dan janji-janji, satu cara yang dapat digunakan untuk
mempertahankan diri adalah tetap mengulang pernyataan asertif yang
sama sampai anak lain menyerah. Teknik ini disebut dengan “broken
record”, dilakukan dengan cara:
1) Mengetahui hal yang diinginkan atau tidak diinginkan
2) Menyatakan dengan singkat dan jelas
3) Jika memungkinkan, gunakan kata ‘Tidak’ untuk lebih menegaskan
pernyataan yang dimaksud
Individu juga disiapkan untuk menghadapi intimidasi fisik yang
mungkin menyertai ancaman atau manipulasi. Mereka juga dilatih untuk
tetap percaya diri bahkan jika pelaku bullying semakin mendekat atau
menunjukkan wajah yang tidak menyenangkan. Biasanya, seseorang akan
berhenti menekan anak yang menggunakan broken record setelah tiga kali

Universitas Sumatera Utara

21

percobaan. Walau demikian, mereka yang diajarkan teknik ini juga perlu
menilai waktu yang tepat untuk pergi dari situasi.
c. Merespon nama panggilan
Teknik fogging dapat dilakukan ketika pernyataan asertif yang
disampaikan belum bisa membuat orang lain berhenti memanggil dengan
nama-nama tertentu. Pada saat fogging, korban merespon setiap sebutan
dengan pernyataan netral yang bertujuan untuk tidak memperuncing
suasana, misalnya dengan mengatakan “Kamu mungkin berpikir seperti
itu”, “Mungkin saja”, “Mungkin kamu melihatnya seperti itu”, “Jadi
mengapa?”. Pelaku akan menjadi lelah jika korban tetap tenang dan tidak
peduli dalam menghadapi perlakuan mereka.
Pada saat-saat tertentu, ketika korban menghadapi situasi dimana
terdapat lebih dari satu atau dua orang yang mengejeknya, fogging bukanlah
teknik yang tepat. Misalnya yaitu ketika mereka berjalan di koridor sekolah
atau keluar toilet dan terdapat sekelompok orang yang mengejek dan
berkomentar. Dalam situasi ini, anak dapat diajarkan positive self-talk, yaitu
menyatakan

sesuatu

yang

positif

terhadap

diri

sendiri.

Dengan

berkonsentrasi terhadap pesan positif seperti “Saya dapat tetap tenang”,
“Saya luar biasa”, dan lain sebagainya, akan sangat mungkin untuk menahan
pesan dari luar sampai pada tahap tertentu.
d. Meninggalkan situasi bullying
Cara terbaik untuk meninggalkan situasi adalah dengan cepat dan
tenang. Korban sebaiknya berjalan secara percaya diri dan tidak ragu-ragu

Universitas Sumatera Utara

22

serta melihat mata pelaku. Ketika menghadapi 2-3 orang pelaku, pilih
jalan keluar di samping daripada dari belakang atau mendorong pelaku.
Pada waktu-waktu tertentu (misalnya mulai terjadi kekerasan fisik), hal
yang paling tepat untuk dilakukan adalah lari secepat mungkin.
Jika terjadi saat ketika korban dikelilingi oleh banyak pelaku dan
tidak ada jalan keluar, korban dapat diajarkan untuk menggunakan
kombinasi dari berat badan dan strategi mendorong kerumunan tanpa
menjadi kasar. Dengan menyilang tangan di depan tubuh sejajar dengan
dada, korban dapat mendorong dan membungkuk di antara dua orang,
kemudian buat celah demi celah. Setelah itu, mereka dapat meninggalkan
situasi secepat mungkin dan segera memberi tahu orang lain.
e. Mencari dukungan dari orang sekitar
Dalam

menghadapi

situasi

bullying,

korban

tidak

harus

menghadapi situasi secara mandiri. Individu dapat meminta bantuan
terhadap teman atau guru untuk menghadapi pelaku. Mungkin terdapat
banyak orang sekitar selama insiden bullying. Berteriak untuk menarik
perhatian orang lain dapat mengakhiri insiden dengan segera. Korban yang
secara terus menerus dibully dapat meminta teman lain untuk mendukung
mereka jika hal tersebut kembali terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara:
1) Identifikasi orang-orang di lingkungan sekitar yang mungkin
suportif
2) Mulai percakapan dengan orang tersebut

Universitas Sumatera Utara

23

3) Meminta kesediaan untuk membantu ketika situasi bullying kembali
terjadi
4) Menceritakan pengalaman bullying yang pernah dialami beserta
orang-orang yang terlibat sebagai pelaku.
f. Tetap tenang dalam situasi menekan
Mengajarkan individu teknik untuk rileks akan membantu mereka
tetap tenang dan percaya diri di dalam situasi bullying.
Program behavioral skill training (BST) ini merupakan salah satu teknik
modifikasi perilaku. Metode ini bertujuan untuk membantu subjek memperoleh
kemampuan tertentu yang akan bermanfaat dalam menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi (Miltenberger, 2012). Dalam behaviour skill training (BST),
terdapat empat prosedur yang akan digunakan yaitu:
a. Instruksi
Instruksi merupakan penjelasan yang tepat mengenai perilaku
terhadap subjek. Instruksi harus meliputi deskripsi perilaku yang
diharapkan, serta situasi untuk memunculkan perilaku tersebut. Faktorfaktor yang dapat mempengaruhi efektivitas dari instruksi yaitu:
1) Disampaikan pada level yang mudah dipahami oleh subjek
2) Disampaikan oleh seseorang yang memiliki kredibilitas, misalnya
orangtua, guru, atau psikolog
3) Subjek harus memiliki kesempatan untuk melatih perilaku tersebut
segera setelah menerima instruksi

Universitas Sumatera Utara

24

4) Instruksi harus disertai dengan modeling jika mengobservasi perilaku
akan meningkatkan proses pembelajaran
5) Diberikan hanya jika subjek memiliki perhatian penuh
6) Subjek harus mengulangi instruksi untuk memastikan bahwa ia telah
memahaminya dengan tepat
b. Modeling
Melalui modeling, subjek mengobservasi perilaku model dan
kemudian menirunya. Seperti mencontohkan salah satu teknik perilaku
asertif yang di peragakan oleh model kemudian diobservasi oleh subjek,
kemudian subjek tiru kan. Bandura menyatakan terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi efektivitas dari modeling, yaitu:
1) Model menampilkan perilaku yang tepat
2) Model mewakili subjek yang mengobservasi model tersebut atau
memiliki status yang lebih tinggi (misalnya memiliki usia yang sama
atau dilakukan oleh guru)
3) Perilaku yang ditampilkan sesuai dengan perkembangan atau tingkat
kemampuan subjek
4) Adanya perhatian penuh dari subjek untuk mempelajari perilaku model
5) Dilakukan dalam konteks yang tepat (misalnya di situasi sebenarnya
atau dalam konteks roleplay)
6) Perilaku tersebut diulang sesering mungkin agar dapat ditiru dengan
benar
7) Menampilkan perilaku melalui cara-cara atau situasi yang bervariasi

Universitas Sumatera Utara

25

8) Memberikan kesempatan kepada subjek untuk meniru perilaku tersebut
segera

setelah

mereka

mengobservasi

model

serta

langsung

memberikan penguatan ketika mereka menampilkan perilaku yang
tepat.
c. Latihan
Latihan merupakan kesempatan subjek untuk melatih perilaku
setelah menerima instruksi dan melihat demonstrasi dari model. Latihan
merupakan bagian penting dari prosedur BST, yaitu sebagai cara untuk
memastikan bahwa subjek telah mempelajari perilaku yang tepat,
menyediakan kesempatan untuk menguatkan perilaku, dan menyediakan
kesempatan untuk menilai dan mengoreksi kesalahan yang mungkin
terjadi saat menampilkan perilaku tersebut. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi efektivitas dari latihan yaitu:
1) Perilaku harus dilatih dalam konteks yang sesuai, yaitu di situasi sebenarnya
atau saat roleplay dalam situasi yang mirip dengan situasi sebenarnya
2) Perilaku yang dilatih sebaiknya dimulai dari level yang mudah untuk kemudian
meningkat ke level yang sulit
3) Harus selalu diberi penguatan segera setelah menampilkan perilaku yang tepat
4) Harus selalu diberi feedback ketika menampilkan perilaku yang hampir tepat
atau salah
5) Harus selalu dilatih hingga menampilkan perilaku yang tepat dalam beberapa
kali percobaan.
d. Feedback

Universitas Sumatera Utara

26

Segera setelah subjek melatih perilaku, mereka harus diberi feedback, yang
meliputi pujian atau penguatan untuk perilaku yang tepat. Feedback juga berisi
koreksi terhadap kesalahan atau instruksi lanjutan untuk meningkatkan
penampilan. Efektivitas dari feedback dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yaitu:
1) Diberikan segera setelah perilaku ditampilkan
2) Harus selalu berupa pujian atau penguatan lain untuk beberapa aspek perilaku.
Jika perilaku yang ditampilkan belum tepat, subjek sebaiknya tetap dipuji
karena kesediaannya untuk mencoba.
3) Pujian sebaiknya deskriptif, berisi perkataan atau perbuatan subjek yang sudah
tepat
4) Saat mengoreksi perilaku, sebaiknya sampaikan instruksi mengenai perilaku
yang lebih tepat dan cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
perilakunya.
5) Beri feedback yang korektif satu per satu atau tahap demi tahap, agar subjek
tidak merasa kewalahan dalam menerimanya.
Prosedur behaviour skill training (BST) yang digunakan dalam penelitian
ini akan dilakukan dalam seting kelompok kecil. Instruksi dan Modeling akan
disampaikan kepada seluruh anggota kelompok. Setiap subjek akan melatih
teknik-teknik tersebut melalui roleplay, kemudian menerima feedback dari
fasilitator dan anggota kelompok lain. Terdapat beberapa keuntungan ketika
melakukan behaviour skill training (BST) secara berkelompok ((Miltenberger,
2012), yaitu:

Universitas Sumatera Utara

27

a. Lebih efisien karena modeling dan instruksi disampaikan kepada kelompok
b. Setiap anggota kelompok belajar dengan melihat anggota lain melatih
kemampuan dan menerima feedback mengenai penampilannya
c. Setiap anggota kelompok belajar mengevaluasi penampilan anggota lain dan
memberi feedback
d. Variasi dari setiap anggota kelompok akan mempermudah proses generalisasi
e. Nilai penguatan terhadap perilaku yang tepat akan meningkat jika pujian juga
berasal dari anggota kelompok lain, tidak hanya dari fasilitator
Menurut Alberti dan Emmon, kelompok akan menyediakan suatu
laboratorium bagi setiap anggotanya untuk bekerja pada masalah dan tujuan yang
sama. Selain itu, oleh karena pelatihan ini fokus pada situasi sosial yang
melibatkan

kecemasan,

kelompok

akan

memberikan

kesempatan

untuk

menghadapi dan menantang kesulitan mereka dalam lingkungan yang aman dan
terstruktur. Di saat mereka mempelajari keterampilan baru, mereka memiliki
keuntungan berupa penguatan sosial (Corey, 1996).
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa behaviour skill training adalah
salah satu cara dalam mengajarkan keahlian/keterampilan, di dalamnya terdapat
empat prosedur yaitu modeling, instruction, rehearsal, dan feedback. Prosedur
yang digunakan dalam behaviour skill training (BST) yaitu instruksi merupakan
penjelasan yang tepat mengenai perilaku terhadap subjek, meliputi instruksi
perilaku yang diharapkan serta situasi untuk memunculkan perilaku tersebut.
Modeling, melalui modeling subjek mengobservasi perilaku model kemudian
menirunya. Latihan merupakan kesempatan subjek untuk melatih perilaku setelah

Universitas Sumatera Utara

28

menerima dan melihat demonstrasi dari model. Feedbak merupakan berisi pujian
atau penguat untuk perilaku yang tepat dan koreksi terhadap kesalahan atau
instruksi lanjutan untuk meningkatkan penampilan. Pada behavior skill training
terdapat enam teknik yang diajarkan, yaitu membuat pernyataan asertif, melawan
manipulasi dan ancaman, merespon nama panggilan, meninggalkan situasi
bullying, mencari dukungan orang sekitar, dan tetap tenang dalam situasi
menekan.

C. Bullying
1. Pengertian Bullying
Bullying merupakan suatu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seorang
atau sekelompok anak dengan niat menyakiti atau mengganggu anak lain yang
tidak dapat membela dirinya sendiri. Menurut Olweus, terdapat tiga kriteria yang
digunakan untuk mengklasifikasikan suatu perilaku sebagai bullying, yaitu (a)
terdapat perilaku negatif atau agresif yang dilakukan secara sengaja (b) perilaku
tersebut dilakukan terus-menerus, berulang kali dan sepanjang waktu (c) serta
terdapat kesenjangan kekuatan (power)antara pelaku dan korban, dimana korban
tersebut mengalami kesulitan dalam membela dirinya sendiri. Korban bullying
secara signifikan merasa lebih terancam dan kurang mampu mengontrol situasi
mereka, sehingga mereka merasa lebih depresi dan membutuhkan lebih banyak
dukungan sosial daripada kelompok lain (Olweus, 2009; Jimerson, Swearer, &
Espelage, 2009).

Universitas Sumatera Utara

29

Menurut Coloroso (2007), bullying merupakan tindakan intimidasi yang
dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang
lebih lemah, dilakukan dengan sengaja, dan bertujuan untuk melukai korbannya
baik secara fisik maupun emosionalnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bullying adalah
bentuk perilaku mengganggu yang dengan sengaja dilakukan dan secara berulangulang oleh seorang atau sekelompok orang terhadap orang lain yang dianggap
lemah, sehingga korban mengalami kesulitan dalam membela dirinya sendiri.

2. Karakteristik Perilaku Bullying
Seorang siswa menjadi korban bullying ketika siswa lain atau beberapa
orang siswa memperlakukannya seperti hal-hal di bawah ini (Olweus, 2009),
yaitu:
a. Mengatakan sesuatu yang kasar dan menyakitkan, atau menjadikannya sebagai
suatu hal yang lucu, atau menyebutnya dengan sebutan yang kasar dan
menyakitkan,
b. Sama sekali mengabaikan atau mengeluarkannya dari kelompok, atau
meninggalkannya dengan tujuan tertentu,
c. Memukul, menendang, menekan, mendorong, atau menguncinya di dalam
sebuah ruangan,
d. Mengatakan kebohongan atau menyebarkan berita yang salah mengenai
dirinya, atau mengirimkan catatan kasar dan mencoba membuat siswa lain
untuk tidak menyukainya,

Universitas Sumatera Utara

30

e. dan hal menyakitkan lainnya seperti yang telah disebutkan di atas.

3. Korban Bullying
Menurut Olweus (2009), korban bullying terbagi atas dua kelompok, yaitu:
a.

Korban submisif/pasif (victim only), yaitu seseorang yang

pencemas, merasa tidak aman, pendiam, tertekan dengan pandangan diri
yang negatif, terisolasi secara sosial, takut untuk melakukan konfrontasi,
dan biasanya tidak agresif. Siswa tersebut menjadi tertindas atau korban
dalam interaksi dan hubungan interpersonal, yang dikarakteristikkan
dengan adanya ketidakseimbangan kekuatan. Mereka memiliki self-esteem
yang rendah dan jarang melaporkan kejadian bullying karena takut
pembalasan (Harris & Petrie, 2003).Selain itu, mereka melihat diri sendiri
sebagai seorang yang tidak menarik, bodoh, dan gagal. Mereka menjadi
korban jika telah ditindas paling sedikit sebanyak 2-3 kali sebulan selama
beberapa bulan terakhir.
b.

Korban provokatif (bully-victim), yaitu seorang yang lebih

aktif, asertif, dan terlihat lebih percaya diri. Ketika merasa cemas, mereka
lebih reaktif secara emosional. Mereka cenderung mengusik dan
mengganggu teman lain hingga mendapat balasan (Harris & Petrie, 2003).
Sama seperti korban submisif, korban ini juga menunjukkan level yang
tinggi dari masalah internalisasi dan isolasi sosial sehingga mereka
dijadikan sebagai target bullying oleh teman sebaya yang lebih kuat.
Walau demikian, mereka juga menunjukkan masalah eksternalisasi,

Universitas Sumatera Utara

31

sehingga mereka menjadi penindas siswa lain. Selain telah ditindas paling
sedikit sebanyak 2-3 kali sebulan selama beberapa bulan terakhir, mereka
juga menindas siswa lain sebanyak 2-3 kali sebulan atau bahkan lebih dari
itu.

4. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Perilaku Bullying
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi
menjadi 4 kelompok yaitu:
1. Bullies (pelaku bullying) yaitu anak yang secara fisik atau emosional
melukai anak lain secara berulang-ulang (Olweus, dalam Moutappa dkk,
2004). Pelaku bullying sering memperlihatkan fungsi psikososial yang
lebih buruk daripada korban bullying dan anak yang sama sekali tidak
terlibat dalam situasi bullying (Haynie, dkk, dalam Totura, 2003). Pelaku
bullying juga cenderung memperlihatkan simptom depresi yang lebih
tinggi daripada anak yang tidak terlibat dalam perilaku bullying dan
simptom depresi yang lebih rendah daripada victim atau korban. Olweus
(dalam Moutappa, 2004) mengemukakan bahwa pelaku bullying
cenderung mendominasi orang lain dan memiliki kemampuan sosial dan
pemahaman akan emosi orang lain yang sama (Sutton, Smith &
Sweetenham, dalam Moutappa, 2004). Menurut Stephenson dan Smith
(dalam Sullivan, 2000) tipe pelaku bullying antara lain (1) tipe percaya
diri, secara fisik kuat, menikmati agresifitas, merasa aman dan biasanya
populer, (2) tipe pencemas, secara akademis lemah, lemah dalam

Universitas Sumatera Utara

32

berkonsentrasi, kurang populer dan kurang merasa aman, (3) pada situasi
tertentu pelaku bullying bisa menjadi korban bullying. Menurut Astuti
(2008) pelaku bullying biasanya agresif baik secara verbal maupun fisikal,
ingin populer, sering berbuat onar, mencari-cari kesalahan orang lain,
pendendam, iri hati, hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial
di sekolahnya.
2. Victim (korban bullying) yaitu murid yang sering menjadi target perilaku
agresif, tindakan yang menyakitkan dan hanya menunjukkan sedikit
pertahanan melawan penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa, dkk, 2004).
Menurut Byrne dibandingkan teman sebayanya yang tidak menjadi
korban, korban bullying cenderung menarik diri, depresi, cemas dan takut
akan situasi baru (dalam Haynie, dkk, 2001). Murid yang menjadi korban
bullying dilaporkan lebih menyendiri dan kurang bahagia di sekolah serta
memiliki teman dekat yang lebih sedikit dibanding murid lain (Boulton &
Underwood, dalam Haynie dkk, 2001). Coloroso (2007) menyatakan
korban bullying biasanya merupakan anak baru di suatu lingkungan, anak
termuda di sekolah, biasanya yang lebih kecil dan merasa sulit untuk
meminta pertolongan. Selain itu juga anak penurut, pencemas, mudah
dipimpin, dan anak yang melakukan hal-hal yang untuk menyenangkan
atau meredam kemarahan orang lain, anak yang tidak mau berkelahi, anak
yang lebih suka menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, dan pendiam.
Disamping itu juga merupakan anak yang miskin atau kaya, anak yang ras
atau etnisnya dipandang inferior sehingga layak untuk dihina, anak yang

Universitas Sumatera Utara

33

orientasi gender atau seksualnya dipandang inferior, anak yang cerdas,
berbakat atau anak yang justru memiliki kelebihan. Ia dijadikan sasarna
karena ia unggul. Anak yang gemuk atau kurus, anak yang pendek atau
jangkung, anak yang memakai kawat gigi atau kacamata, anak yang
berjerawat atau memiliki masalah kulit lainnya.
3. Bully-Victim yaitu pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi juga
menjadi korban perilaku agresif (Andreou, dalam Moutappa, 2004). Craig
(dalam Haynie dkk, 2001) mengemukakan bully-victim menunjukkan level
agresivitas verbal dan fisik yang lebih tinggi dibandingkan anak lain.
Bully-victim juga dilaporkan mengalami peningkatan simoptom depresi,
merasa sepi dan cenderung merasa sedih dan moody daripada murid lain
(Austin & Joseph; Nansel dkk, dalam Totura, 2003).
4. Neutral yaitu pihak yang tidak terlibat dalam perilaku agresif atau
bullying.

5. Bentuk-bentuk Bullying
Ada tiga bentuk bullying menurut Coloroso (2007)
a. Verbal bullying
Kata–kata bisa digunakan sebagai alat yang dapat mematahkan
semangat anak yang menerimanya. Verbal abuse adalah bentuk yang paling
umum dari bullying yang digunakan pelaku bullying. Verbal bullying dapat
berupa teriakan dan keriuhan yang terdengar. Hal ini berlangsung cepat dan

Universitas Sumatera Utara

34

tidak menimbulkan rasa sakit pada pelaku namun, sangat menyakitkan bagi
korban.
Verbal bullying dapat berupa name-calling (memberi nama julukan),
taunting (ejekan), belittling (meremehkan), cruel-criticsm (kritikan yang
tajam), personal defamation (fitnah secara pribadi), racist slurs (menghina ras),
sexually suggestive (bersifat seksual), atau sexually abusive remark (ucapan
kasar). Hal ini juga meliputi pemerasan uang atau benda yang dimiliki,
panggilan telepon yang kasar, mengintimidasi, catatan tanpa nama yang berisi
ancaman, tuduhan atau rumor yang tidak benar.
b. Physical bullying
Bentuk bullying yang paling dapat terlihat dan paling mudah diidentifikasi
adalah bullying secara fisik. Bentuk ini seperti, menampar, memukul,
mencekik, meninju, menendang, menggigit, menggores, meludahi, atau
merusak barang miliki korban.
c. Relational bullying
Bentuk ini merupakan yang paling sulit untuk dideteksi, relational
bullying adalah pengurangan perasaan “sense” diri seseorang yang
sistematis

melalui

penghindaran.

pengabaian,

Penghindaran

pengisolasian,

sebagai

suatu

pengeluaran,

perilaku

dan

penghilangan,

dilakukan bersama rumor adalah sebuah cara yang paling kuat dalam
melakukan bullying. Relational bullying paling sering terjadi pada tahun
pertengahan, dengan onset remaja yang disertai dengan perubahan fisik,
mental, emosioanal, dan seksual. Pada masa inilah remaja mulai

Universitas Sumatera Utara

35

menggambar siapa diri mereka dan mencoba menyesuaikan diri dengan
teman sebaya.

6. Penyebab Seseorang menjadi Korban Bullying
Pada umumnya, korban bullying dipilih karena memiliki karakteristik
eksternal tertentu, misalnya karena ukuran tubuh (lebih kecil atau lebih besar),
usia, atau memiliki etnis, agama, dan latar belakang budaya yang berbeda. Selain
itu, beberapa anak menjadi target bullying karena mereka memiliki kemampuan
atau talenta khusus. Mereka mungkin dipilih karena menjadi siswa yang baik dan
memiliki nilai-nilai yang bagus. Sedangkan untuk anak-anak lainnya, mereka
mungkin dipilih karena tidak mampu dalam mengerjakan sesuatu, misalnya lemah
di bidang olahraga atau gagal pada tugas membaca (Murphy, 2009).
Walaupun adanya karakteristik eksternal yang mereka miliki merupakan
awal penyebab dipilih menjadi korban, para ahli setuju bahwa kebanyakan korban
bullying berbagi beberapa karakteristik internal yang sama sehingga pelaku tidak
hanya memilih mereka pada satu waktu, tetapi juga terus-menerus menjadikan
mereka target sepanjang waktu. Menurut Murphy (2009), karakteristik tersebut
yaitu:
a. Kepribadian Pasif
Peneliti telah menemukan bahwa anak yang dibully cenderung lebih
pasif atau submisif di dalam situasi sosial. Hal ini berarti bahwa mereka
tidak membela diri mereka sendiri bahkan ketika mereka tidak berhadapan
dengan pelaku. Menurut David Schwartz (Murphy, 2009), anak yang pasif

Universitas Sumatera Utara

36

dan submisif tidak mendekati orang lain atau mencoba untuk memulai
percakapan. Ketika bermain dengan orang lain, mereka tidak membuat
permintaan, tuntutan, atau saran apapun. Biasanya, anak tersebut terlihat
bermain sendiri daripada dengan orang lain. Schwartz menemukan bahwa
perilaku submisif mengakibatkan mereka terus-menerus menjadi korban di
kemudian hari. Dengan kata lain, pelaku melihat mereka sebagai target yang
mudah sehingga dapat memperoleh kekuatan dan mendominasi mereka.
b. Isolasi Sosial
Pada dasarnya, korban bullying merupakan orang yang pencemas,
gugup, dan merasa tidak aman. Mereka juga terlihat waspada, pemalu, dan
pendiam. Berbagai peneliti juga menemukan bahwa korban bullying
seringkali memiliki self-esteem yang rendah. Oleh karena pemalu tersebut,
mereka cenderung memiliki sedikit teman. Sayangnya, isolasi tersebut
membuat mereka lebih sering dipilih oleh pelaku. Pelaku cenderung
memilih anak yang tidak memiliki teman untuk membantu membela
mereka.
Menjadi korban bullying juga dapat membentuk siklus kesendirian
bagi korban. Ketika seseorang diketahui menjadi korban bullying, teman
sebaya cenderung menjaga jarak. Pada waktu yang bersamaan, korban
merasa malu terhadap perlakuan yang ia terima dari pelaku, dan selfesteem mereka menjadi semakin memburuk. Menurut Dan Olweus, korban
bullying seringkali merasa gagal, bodoh, malu, dan tidak menarik.
Hasilnya, mereka semakin menolak untuk berpartisipasi dalam kegiatan

Universitas Sumatera Utara

37

sekolah atau untuk berteman. Dengan menarik diri dari orang lain, siklus
kesendirian dan bullying akan tetap berlanjut.
c. Respon Pasif Terhadap Bullying
Salah satu hal yang mendorong pelaku tetap mengganggu
seseorang yaitu bergantung pada respon korban terhadap bullying tersebut.
Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan dalam merespon suatu konflik,
yaitu secara asertif, agresif, dan pasif. Kebanyakan korban bullying
merespon pelaku dengan respon yang pasif. Mereka sama sekali tidak
membela diri atau tidak mencoba untuk melawan. Mereka mungkin
menangis atau melakukan semua yang diminta oleh pelaku. Dengan
respon yang pasif atau submisif, pelaku akan tetap memilih mereka
sebagai korban.
d. Korban Provokatif
Beberapa korban bullying bukanlah seorang yang pemalu atau
merasa tidak aman. Mereka berperilaku tertentu untuk memancing pelaku,
misalnya bertindak impulsif atau berbicara tanpa berpikir mengenai
konsekuensinya. Seringkali, korban provokatif tidak hanya memancing
pelaku, tetapi juga mengganggu teman lain dan bahkan guru. Hasilnya,
walaupun mereka terlihat ramah, mereka tetap terisolasi secara sosial. Sama
seperti korban pasif, korban provokatif merupakan target yang mudah
karena orang lain tidak akan membela mereka.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bullying adalah
bentuk perilaku mengganggu yang dengan sengaja dilakukan dan secara berulang-

Universitas Sumatera Utara

38

ulang oleh seorang atau sekelompok orang terhadap orang lain yang dianggap
lemah, sehingga korban mengalami kesulitan dalam membela dirinya sendiri.
Terdapat dua kelompok korban bullying yaitu korban submisif/pasif (victim only)
dan korban provokatif (bully-victim). Pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku
bullying yaitu bullies (pelakubullying) merupakananak yang secara fisikatau
emosional melukai anak lain secara berulang-ulang. Victim (korbanbullying)
merupakan anak yang sering menjadi taget perilaku agresif dan hanya
menunjukkan sedikit pertahanan melawan penyerang. Bully-victim yaitu pihak
yang terlibat dalam perilaku agresif tetapi juga menjadi korban perilaku agresif
dan yang terakhir yaitu netral yaitu pihak yang tidak terlibat dalam perilaku
agresif atau bullying. Bullying dapat terja didalam tiga bentuk yaitu verbal
bullying, seperti member nama julukan, ejekan dan meremehkan, physical
bullying, seperti menampar, memukul, mencekik dan relational bullying.
Beberapa karakteristik yang dapat menyebabkan seorang anak menjadi korban
bullying yaitu kepribadian pasif, isolasisosial, respon pasif terhadap bullying, dan
korban prookatif.

D. Behaviour Skill Training untuk Meningkatkan Asertivitas pada Korban
Bullying
Studi awal yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa situasi bullying
tersebut dialami oleh beberapa anak yang berada di lingkungan X. Mereka tidak
tahu harus berespon seperti apa sehingga cenderung diam atau menangis ketika
diejek teman-temannya. Akibatnya, tindakan tersebut terus berlangsung selama

Universitas Sumatera Utara

39

beberapa bulan. Mereka mengaku merasa sedih sering mendapat perlakuan
tersebut dari teman-temannya.
Pada umumnya siswa yang mengalami tindakan bullying adalah siswa
yang memiliki tingkat asertivitas yang rendah (Soendjojo, 2009). individu yang
memiliki sikap asertif yang rendah memiliki banyak ketakutan yang irasional
yang meliputi sikap menampilkan perilaku cemas dan tidak mempunyai
kemampuan untuk mempertahankan hak-hak peribadinya. Begitupun korban
bullying mereka kurang mampu menunjukkan perasaan untuk melawan bullying
yang siswa terima karena siswa korban bullying takut pelaku bullying makin
mengintensikan tindakan bullying.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Dayakisni (2013) dan teori yang dikemukakan oleh Sullivan & Clearly (2005)
bahwa ciri-ciri korban bullying antara lain ketidakmampuan menolak saat
diperlakukan negatif, tidak percaya diri, dan siswa yang belum mampu bersikap
asertif (tegas mengutarakan sikap dan kemauannya) atau siswa yang belum
mampu bersikap terbuka terhadap orang tua, teman-teman dan orang-orang yang
ada disekitarnya.
Selain itu, kurangnya pengetahuan korban bullying mengenai responrespon yang sebaiknya ditampilkan saat berhadapan dengan pelaku merupakan
landasan penyusunan intervensi bagi korban bullying agar mereka memiliki
kemampuan untuk membela dirinya sendiri ketika dihadapkan pada situasi
bullying.

Universitas Sumatera Utara

40

Teknik-teknik asertivitas dalam menghadapi pelaku bullying dapat
diajarkan melalui behaviour skill training, yang merupakan salah satu teknik dari
terapi perilaku (Miltenberger, 2012). Tujuannya adalah untuk meningkatkan
daftar perilaku yang dimiliki oleh korban sehingga mereka dapat membuat pilihan
untuk berperilaku asertif maupun tidak pada situasi tertentu. Melalui pelatihan
tersebut, mereka akan diberikan teknik-teknik yang dapat digunakan sesuai
kebutuhan. Setiap orang dapat melatih teknik tersebut secara spesifik sesuai
dengan perlakuan bullying yang telah atau akan mereka terima. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Miltenberger (2012) yang mengatakan
bahwa untuk meminimalisir perlakuan bullying di tempat kerja oleh atasan atau
teman sekantor adalah dengan cara meningkatkan perilaku asertivitas yang bisa
dipelajari melalui behaviour skill training.
Pada penelitian behaviour skill training terdapat enam teknik, yaitu teknik
dalam membuat pernyataan asertif, melawan manipulasi dan ancaman, merespon
nama panggilan, meninggalkan situasi bullying, mencari dukungan dari orang
sekitar, dan tetap tenang dalam situasi menekan (Sharp, Cowie, & Smith, 1994).
Program behavioral skill training (BST) ini merupakan salah satu teknik
modifikasi perilakuuntukmengajarkan teknik asertif melalui empat prosedur, yaitu
instruksi, modeling, latihan, dan umpan balik (feedback).

Universitas Sumatera Utara

41

Melalui procedure behavior skill
training mengajarkan 6 teknik
asertivitas :

Korban bullying

1.membuat pernyataan asertif
Korban bullying
(0lweus,2009) :

Korban bullying
(Murphy,2009) :

1. Victim only
2. Victim-bully

1. Kepribadian pasif
2. Isolasi sosial
3. Respon pasif ketika di
bully
4. Korban provoaktif

1. Mampu

2.

2. melawan manipulasi & ancaman.
3. merespon nama panggilan.
4. meninggalkan situasi bullying.

3.

5. mencari dukungan orang sekitar.

4.

6. tetap tenang dalam situasi bully.
5.

Pada situasi bullying
sebagian anak berespon
pasif, sebagian lagi
berespon agresif.

Asertivitas korban bully
cenderung rendah.

Asertivitas korban
bully
mengalami
peningkatan.

6.

menjadikan
lawan bicara pada
kedudukan
yang
sama.
Mampu membuat dan
percaya
pada
keputusan
sendiri
terkait dengan karir,
hubungan, gaya hidup
dan jadwal kegiatan.
Inisiatif
dalam
berinteraksi.
Mampu menolak dan
menyatakan
ketidaksetujuannya
terhadap
pendapat
orang lain.
Mampu menyatakan
perasaan, baik yang
menyenangkan
maupun yang tidak
menyenangkan.
Merespon secara tepat
perilaku
yang
melanggar
hak
dirinya

Gambar 2.1. Dasar Teori Pemberian BST untuk Meningkatkan Asertivitas

41

Universitas Sumatera Utara

42

E. Hipotesa
Berdasarkan penjelasan di atas maka hipotesa penelitian adalah Ada
pengaruh behaviour skill training untuk meningkatkan asertivitas korban bullying.

42

Universitas Sumatera Utara