lix
B. Tugas dan Tanggung Jawab Komisaris
Rincian tugas komisaris biasanya diatur di dalam anggaran dasar, antara lain sebagai berikut:
46
1. Mengawasi tindakan pengurusan dan pengelolaan perseroan
yang dilakukan oleh direksi, 2.
Memeriksa buku-buku, dokumen-dokumen, serta kekayaan perseroan,
3. Memberikan teguran-teguran, petunjuk-petunjuk, nasihat-
nasihat kepada direksi, 4.
Apabila ditemukan kelalaian direksi yang mengakibatkan perseroan menderita kerugian, komisaris dapat
memberhentikan sementara direksi yang bersalah tersebut, untuk kemudian dilaporkan kepada RUPS untuk
mendapatkan keputusan lebih lanjut. Pemberhentian ini sifatnya sementara dan segera dalam waktu 1 satu bulan
komisaris harus mengadakan RUPS untuk memberi keputusan lain, maka direksi akan ditempatkan kembali.
Jika RUPS tidak diadakan, maka keputusan komisaris batal dengan sendirinya.
Mengenai tanggung jawab komisaris dapat dibagi menjadi:
47
1. Tanggung jawab ke luar terhadap pihak ketiga,
Tanggung jawab ke luar komisaris, tidak sebesar tanggung jawab direksi, karena komisaris bertindak keluar
46
Agus Budiarto, Ibid hlm 72
47
Agus Budiarto, Ibid hlm 72
lx berhubungan dengan pihak ketiga hanya dalam keadaan-
keadaan yang sangat istimewa, yaitu dalam hal komisaris dibutuhkan direksi sebagai saksi atau pemberi ijin dalam
hal direksi menurut anggaran dasar harus terlebih dahulu mendapat ijin dari komisaris dalam perbuatan penguasaan
beschikking, seperti misalnya menjual, menggadaikan dan lain-lain.
2. Tanggung jawab ke dalam terhadap perseroan.
Tanggung jawab ke dalam perseroan, sama dengan direksi, pertangungjawaban secara pribadi untuk seluruhnya. Bila
ada 2 dua orang komisaris atau lebih, maka pertanggungjawaban itu bersifat kolektif atau majelis, jika
komisaris tidak ikut serta dalam pengurusan, biasanya ia kemudian memberikan pertanggungjawaban kepada RUPS
bersama-sama dengan direksi. Agar komisaris dapat melaksanakan tugas kewajiban yang
diberikan kepadanya dengan penuh tanggung jawab, di dalam Anggaran Dasar dapat diatur beberapa kewenangan antara lain
sebagai berikut:
48
1. Mengadakan dengar pendapat dengan akuntan yang
memeriksa pembukuan perseroan; 2.
Ikut serta menandatangani laporan tahunan dan neraca perhitungan laba rugi;
3. Memanggil RUPS;
48
Agus Budiarto, Ibid hlm 72
lxi 4.
Membarikan nasihat dalam RUPS; 5.
Mewakili perseroan baik di luar maupun di dalam pengadilan bila antara direksi dengan perseroan terdapat
kepentingan yang berbeda; 6.
Membebaskan sementara setiap direksi dari tugasnya apabila kedapatan bertindak merugikan perseroan;
7. Mengangkat seorang ahli pembukuan untuk membantu
mengawasi pembukuan perseroan dalam waktu-waktu tertentu secara insidentil kecuali sebelumnya telah
diangkat seorang ahli pembukuan oleh RUPS.
2.2.Persyaratan dan Prosedur Pendirian Perseroan Terbatas 2.2.1.
Persyaratan Pendirian Perseroan Terbatas
Ada 3 tiga syarat utama yang harus dipenuhi oleh pendiri perseroan, ketiga persyaratan tersebut adalah sebgai berikut:
49
1. Didirikan oleh 2 dua orang atau lebih
Ketentuan Pasal 7 UUPT menyatakan bahwa perseroan harus didirikan oleh 2 dua orang atau lebih dengan akta notaris yang
dibuat dalam bahasa Indonesia. Istilah mengenai orang sebagaimana di atas adalah orang perseorangan atau badan hukum.
Rumusan ini pada dasarnya mempertegas kembali makna perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan umum mengenai
perjanjian yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
50
49
Abdul Kadir Muhammad, 1995 Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti hlm 77
50
CST. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2001, Hukum Perusahaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita hlm 116
lxii Perjanjian pembentukan Perseroan Terbatas ini juga tunduk
sepenuhnya pada syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
disamping ketentuan khusus yang di atur dalam UUPT. Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian
hanya sah jika:
51
a. Pihak yang berjanji adalah mereka yang cakap dalam hukum
dengan pengertian bahwa pihak tersebut dianggap mampu untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum;
b. Dilakukan berdasarkan kesepakatan sukarela antara para pihak
yang berjanji; c.
Adanya suatu obyek yang diperjanjikan; d.
Bahwa perjanjian tersebut meliputi sesuatu yang halal, yang diperkenankan oleh hukum, peraturan perundang-undangan
yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
2. Didirikan dengan akta otentik
Perjanjian pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh para pendiri tersebut dituangkan dalam suatu akta notaris, yang
berarti harus otentik, tidak boleh dibawah tangan melainkan oleh pejabat umum dan dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa
inggris atau bahasa-bahasa lain, tetapi itu bukan berarti bahwa tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
52
51
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. hlm 11
52
I.G. Rai Widjaya, 2000, Hukum Perusahaan, Jakarta: Kesaint Blanc hlm 153
lxiii Akta notariil merupakan akta otentik, dalam hukum
pembuktian akta otentik dipandang sebagai alat bukti yang mengikat dan sempurna, maksudnya adalah bahwa apa yang ditulis
dalam akta tersebut harus dipercaya kebenarannya dan tidak memerlukan tambahan alat bukti lain, berbeda dengan akta di
bawah tangan, baru akan menjadi alat bukti yang sempurna apabila isinya diakui para pihak yang membuatnya.
53
3. Modal dasar perseroan
Pada saat perseroan didirikan, undang-undang menentukan bahwa sekurang-kurangnya 25 dua puluh lima persen dari
modal dasar perseroan tersebut harus sudah ditempatkan atau diambil atau dikeluarkan. Dari setiap penempatan modal tersebut,
50 lima puluh persen dari nilai nominal setiap saham yang dikeluarkan harus sudah disetor.
54
Sisanya 50 atau seluruh saham yang telah dikeluarkan harus sudah disetor penuh pada saat pengesahan perseroan oleh Menteri
Kehakiman Republik Indonesia, dengan bukti penyetoran yang sah. Penundaan atau mengangsur, tidak mungkin dilakukan setelah
pengesahan perseroan, karena pengeluaran saham lebih lanjut setiap kali harus disetor penuh. Demikian pula apabila ada
pemegang saham yang mempunyai tagihan terhadap perseroan, maka tagihannya tidak boleh dipergunakan sebagai kompensasi
kewajiban penyetoran atas harga sahamnya. Namun demikian bentuk-bentuk tagihan tertentu yang dapat dikompensasikan
53
Gatot Supramono, 1996, Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru, Jakarta: Djambatan hlm 6
54
I.G. Rai Widjaya, 2000, Hukum Perusahaan, Jakarta: Kesaint Blanc hlm 179
lxiv sebagai setoran atau saham, diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
55
1.2.2. Prosedur Pendirian Perseroan Terbatas