Latihan Dasar
1. Latihan Dasar
Karya seni sang aktor diciptakan melalui tubuh, suara, dan jiwanya sendiri. Hasilnya berupa peragaan cerita yang ditampilkan di depan penonton. Oleh karena itu, seorang aktor yang baik adalah seorang seniman yang mampu memanfaatkan potensi dirinya. Potensi diri itu dapat diperinci menjadi: potensi tubuh, potensi dria, potensi akal, potensi hati, potensi imajinasi, potensi vokal, dan potensi jiwa. Kemampuan memanfaatkan potensi diri itu tentu tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dengan giat berlatih. Pelatihan dasar berikut ini dapat dilakukan oleh calon aktor.
a. Potensi Tubuh
Tubuh harus bagus dan menarik. Arti bagus dan menarik di sini bukan wajah harus tampan atau cantik. Hal yang dimaksud adalah tubuh harus lentur, sanggup memainkan semua peran, dan mudah diarahkan. Latihan dasar untuk melenturkan tubuh, antara lain sebagai berikut.
-
Latihan tari supaya aktor mengenal gerak berirama dan dapat mengatur waktu.
-
Latihan samadi supaya aktor mengenal lebih dalam artinya diam; merenung secara insani.
-
Latihan silat supaya aktor mengenal diri dan percaya diri.
-
Latihan anggar untuk mengenal arti semangat.
-
Latihan renang agar aktor mengenal pengaturan napas.
b. Potensi Dria
Dria adalah semua pancaindra: penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan pengecap. Semua perlu dilatih satu per satu supaya peka. Cara melatihnya, melalui dria ganda. Artinya, suatu pengindraan disertai pengindraan yang lain. Misalnya, melihat sambil mendengarkan.
c. Potensi Akal
Seorang aktor harus cerdik dan tangkas. Kecerdikan dan ketangkasan itu dapat dipunyai kalau ia terbiasa menggunakan akal, antara lain dengan kegiatan membaca dan berolahraga. Tentu saja olahraga yang dimaksud adalah olahraga yang berhubungan dengan pikiran seperti catur, halma, bridge, atau teka-teki silang.
d. Potensi Hati
Hati merupakan landasan perasaan. Perasaan manusia amat beragam dan silih berganti. Kadang-kadang senang dan tertawa, kadangkadang sedih dan meratap. Semua berurusan dengan hati. Oleh karena itu, melatih hati sebenarnya melatih kepekaan perasaan. Jika perasaan seseorang peka, ia dapat merasakan apa yang datang dalam suasana batinnya dengan cepat dan dengan cepat pula ia dapat memberikan reaksi.
e. Potensi Imajinasi
Akting baru mungkin terjadi apabila dalam hati ada kehendak. Kehendak (niat) itu harus dilengkapi imajinasi (membayangkan sesuatu). Menyuburkan imajinasi dalam diri dapat dilakukan dengan sering mengapresiasi puisi dan mengapresiasi lukisan.
f. Potensi Vokal
Aktor mengucapkan kata-kata yang dirakit menjadi kalimatkalimat untuk mengutarakan perasaan dan pikirannya. Kata-kata diucapkan dengan mulut. Jadi, mulut menghasilkan suara. Suara dari mulut yang membunyikan kata-kata itu disebut vokal. Aktor harus mempunyai vokal kuat agar kata-kata yang diucapkan jelas. Latihan dasar untuk menguatkan vokal antara lain dengan deklamasi dan menyanyi.
g. Potensi Jiwa
Seorang aktor harus mampu memerankan tokoh dengan penjiwaan. Artinya, ia harus berusaha agar jiwanya melebur dalam tokoh yang diperankan. Penjiwaan ini dapat dibangkitkan lewat pengalaman dan pengamatan. Misalnya, seorang tokoh dapat memerankan tokoh sedih atau menangis tersedu-sedu dengan penuh penghayatan karena dia berpengalaman merasakan sedih atau pernah mengamati orang bersedih. Oleh karena itu, sebaiknya aktor banyak melakukan pengamatan masalah kehidupan untuk menambah pengalaman.
-
Buatlah kelompok secara berpasangan (laki-laki dan perempuan).
-
Perankanlah penggalan naskah drama berikut disertai gerak-gerik dan mimik sesuai dengan watak tokoh.
Tumbang
Karya Trisno Sumardjo
Perempuan : Hantu?
Lelaki : (bangkit, memegang bahu perempuan itu dan melepaskannyalagi) Tidak, tidak, kau bukan hantu. Cumaaku, aku saja.
Perempuan : Apa maksudmu?
Lelaki : (ketawa kecil). Ah, tidak apa-apa Tidak apa-apa, Dik.
Perempuan : Kau tidak senang melihat aku?
Lelaki : Bukan begitu. Aku senang kau datang kemari. Mana tempatmu?
Perempuan : Tempatku jauh….
Lelaki : Jauh? Di…. di sana? (menuding ke atas). Berapa kali bumi ini jauhnya?
Perempuan : (tercengang) Mas.Omongmu tidak karuan!
Lelaki : Di neraka atau di sorga?
Perempuan : (marah) Rupanya kau sudah menjadi gila! Neraka atau sorga, katamu? Di sorga tak mungkin. Sebab kaulah yang menghalang-halangi aku untuk pergi ke situ kelak. Kaulah yang menyeret aku ke neraka!
Lelaki : Benar…. benar, Dik. (berjalan ke kursi, duduk, matanya nanar memandang ke satu jurusan).
Perempuan : Bukankah salahmu melulu, bahwa penghidupan kita ibarat neraka? Sehingga aku lari dari padamu, setahun yang lalu?
Lelaki : (bertopang dagu) Ya, ya Dik. Maaf, maaflah.
Perempuan : (lunak kembali) Mas, bukan maksudku untuk membalas dendam.
Lelaki : (mengangguk) Kutahu, Dik, kutahu baik hatimu. Semuanya ini salahku. Penderitaan orangtuaku. Sengsaramu. Semua aku yang menyebabkannya. Aku penjudi, peminum, penjahat, duh! Cinta kasih orang tua dan cinta kasihmu, betapa aku membalasnya? Harta benda orang tua habis lenyap karena aku. Habis dengan judi dan minum. Kusakitkan hati ayahku, kusedihkan ibuku. Dan kau Dik, (Memandang perempuan muda. itu) betapa aku membalas kebaikanmu? Dengan malas, dengan minum, brendi berbotol-botol yang kubeli dengan uangmu! Kau yang selalu kerja keras, aku yang menghabiskan uangmu, aku yang menyayat hatimu, menyiksa jiwamu! Maaf, maaf, Dik!
Perempuan : Biarlah, itu sudah lampau. Sekarang aku sudah bisa mendapat mata pencaharianku sendiri. Tapi kau sendiri? (melihat di sekitarnya). Kau kekurangan segalanya, Mas.
Lelaki : Hukumanku, Dik, biarlah. Ini sudah setimpal.
Perempuan : Kalau mau, aku bisa menolong….. (membuka tasnya).
Lelaki : (cepat) Ah tidak! Tidak. Terima kasih, Dik.
Perempuan :Tak usah malu-malu, Mas. Kuberikan dengan relahati.
Lelaki : Aku tahu, aku tahu! Tapi jangan, jangan aku kauberi apa-apa. Ah, kalau kupikir bahwa kau mau menolong aku, kau yang kujerumuskan ke jurang kemiskinan dan kehinaan! Segala kesabaranmu, kerelaan dan cintamu, kubalas dengan apa? Dengan muka masam, kekasaran dan penghinaan. Ah, betapa sering kuhina kau, Dik? Betapa sering kulemparkan cacian ke mukamu bahwa kau berasal dari kaum rendah, tak pantas bersama aku, sebab aku seorang bangsawan? -Bangsawan, ha, ha! Apa artinya turunan bangsawan, jika tidak disertai kebangsawanan jiwa? O, orang yang buta tuli seperti aku ini! Picik dengan persangkaanku bahwa orang berbangsa lebih dari orang lain, mesti di atas orang biasa. Picik, pandir, dan gila! Sedangkan kau, Dik, seribu kali kau lebih bangsawan daripada aku!
Perempuan : Sudahlah. Jangan kau siksa dirimu dengan sesalan saja. Sekarang kau sudah insaf. Tutuplah riwayat yang dulu-dulu.
Lelaki : Riwayat yang dulu masih berakibat sampai sekarang. Hanya kepahitan sajalah yang kau terima dari aku. Segala kenikmatan hidup sudah kurenggut, kuhela, kucuri dari padamu, Dik. Tak pernah ada yang kuberi padamu….O. Keangkuhan darah bangsawan yang tak mau campur dengan darah murba, karena itu dianggapnya rendah, kotor. Tapi siapakah yang kotor, Dik? Aku, aku sendiri! Dan kaulah yang murni! Meskipun karena kemiskinanmu engkau menjadi ….. Dik, kau masih menjalankan pekerjaan yang…. yang…..?
Perempuan : Ya, Mas, yang hina, yang sangat hina, katakan sajalah. (air matanya berlinang-linang)
Lelaki : (berdiri) Aku yang salah, Dik! Cintamu yang murni itu bahkan mau kauberikan kepada aku yang kotor ini, tapi kau kuinjak-injak, kuhina, kurusak, sehingga… sehingga kau terpaksa pergi menjual cintamu… Demi Allah- Allah yang tak pernah kusebut dulu, kini kusebut, Dik- (memegang tangan perempuan itu kedua-duanya dengan kedua belah tangannya, berlutut), demi Allah, ampunilah aku. Maaf, maaf, Dik!
Perempuan : (air matanya meleleh) Cukup, cukuplah, Mas.
Lelaki : Kau ampuni aku, Dik? Katakan….!
Perempuan : Ya, ya Mas, berdirilah.
Lelaki : Katakan! Kumau dengar perkataan maafmu.
Perempuan : Kumaafkan engkau, Mas, sudahlah. (berdiri)
Sumber: Horison, Kitab Nukilan Drama