Kata Vulgar
3) Kata Vulgar
Penggunaan kata vulgar pantun Melayu Pontianak ditemukan sebagai kata yang dimanfaatkan oleh penulis pantun Melayu Pontianak untuk mencapai efek
commit to user
senda gurau, dan humor dapat mencairkan suasana kepenatan yang sangat tegang, berat, dan serius, selain dapat menghilangkan kepenatan dan memecah kesunyian ketika bersama-bersama. Termasuk menyindir seseorang terhadap pihak-pihak lain. Seluruhnya hampir dinyatakan secara tidak langsung dan tanpa unsur menyakiti. Sopan santun dan kehalusan budi yang dituntut oleh nilai-nilai masyarakat tetap dijaga. Beragam kata vulgar terdapat dalam pantun Melayu untuk menyampaikan gagasan tertentu. Sebagai ilustrasi, berikut ditampilkan bait vulgar pantun Melayu Pontianak.
9) Pisau raut, pisau renjong Terselit di tepi dinding; Hantu laut, hantu tanjung Bulu puki emaknya meriding
10) Pucuk ubi terlembak-lembak Terlembak di atas tanggul Bulu puki emaknya terlembak Kelentitnya tersembul
(Bujang Daim dalam Rachman, 2009: 321-323)
Data (9) dan (10) PMP di atas menggunakan bahasa yang kurang sopan, karena bagi orang yang mendengarnya akan merasa malu. Bulu puki emaknya meriding. Dalam bahasa Melayu kata puki adalah untuk menyatakan jenis kelamin perempuan. Puki mengandung kata vulgar dan jorok konotasi yang ditimbulkan menyebakan kadar asosiasinya berubah tidak menyenangkan, karena kata puki biasanya digunakan untuk memaki. Hantu laut, hantu tanjung, Bulu puki emaknya meriding bahasa yang digunakan adalah untuk mengusir roh jahat atau mantra yang masuk kedalam tubuh seseorang. Pembacaan pantun pada data di atas pun
commit to user
tersebut terkesan kasar dan tidak sopan.
11) Jelanggar, jelengger Makan buah terong hulu Terlanggar batang peler Tersenyum Puki berbulu
12) Jelarak, jelerong Hilir raket dari kota Tujuh kali hentak, enam kali sorong Kelap-kelip biji mata
Bujang Daim dalam Rachman, 2009: 321-323)
Berdasarkan data (11) dan (12) PMP mengandung makna yang erotis dan vulgar karena maksud pada pantun tersebut tidak bernilai mendidik tapi hanya untuk hiburan belaka, pantun ini biasanya untuk menyindir pasangan pengantin baru yang baru menikah digambarkan bahwa gelora dan nafsu seksnya sangat menggebu-gebu. Terlanggar batang peler, Tersenyum Puki berbulu, maksudnya untuk sepasang suami istri yang melakukan hubungan suami istri. Kemudian Tujuh kali hentak, enam kali sorong, Kelap-kelip biji mata , maksudnya adalah penggambaran hubungan seks antara sepasang suami istri tetapi menggunakan kata kiasan yang samar dalam penikmatannya.
13) Pulau Sarawak, pulau Serutu Buahku ini buah semangka Saya ketawa menengok susu Baru ini saya berjumpa.
14) Burung tiung, burung beregam Mati disumpit Raja Mempawah Hidung dicium, susu dipegang Minta sedikit barang di bawah
(Bujang Daim dalam Rachman, 2009: 321-323)
commit to user
Masing-masing pasangan dikarunia potensi untuk saling menarik. Potensi ini mulai menampakan gejalanya sejak individu menginjak tahap perkembangan masa remaja. Sebagai makhluk Tuhan manusia memiliki hawa nafsu dan keinginan dalam dirinya seperti terungkap data PMP (13) dan (14) Saya ketawa menengok susu, Baru ini saya berjumpa. Proses ini berkelanjutan hingga mereka memadu kasih dan masing-masing merasa saling membutuhkan secara psikologis, selain kebutuhan jasmani dan sosial. Kebutuhan seks bagi orang yang beragama, baru dapat dipenuhi melalui pernikahan. Jadi, mendambakan pasangan pada hakikatnya merupakan fitrah sebelum manusia dewasa, dan dorongan ini sukar dibendung setelah dewasa (Quraish Shihap, 1996: 192). Hidung dicium, susu dipegang, Minta sedikit barang di bawah Pemenuhan atau penyaluran fitrah manusia pernikahan akan menghantar pasangan laki-laki dan perempuan pada kehidupan yang damai.
Pantun jenis ini, selain untuk mengejek dan bercumbu, juga untuk memperlihatkan sisi ironis kehidupan membawakan makna dan peristiwa, situasi, dan perasaan dalam suasana yang agak ringan. Walaupun mungkin pantun tersebut bernada erotis atau vulgar, isinya dapat dicerna menurut kemampuan pendengar, misalnya tertawa (Muhammad Haji Salleh, 1996: 131-132).
b. Gaya Bahasa Pantun Melayu Pontianak
Gaya bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gaya bahasa pantun Melayu yang terhimpun dalam buku pantun Melayu, titik temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara Karya Abd. Rachman Abror. Berdasarkan data yang
commit to user
bahasa perbandingan meliputi hiperbola, metonomia, personifikasi, perumpamaan, metafora, gaya bahasa perulangan meliputi aliterasi, anadiplosis, epizeukis, mesodiplosis, simploke, anafora, gaya bahasa pertentangan meliputi litotes, antitesis, oksimoron, dan gaya bahasa penegasan meliputi epifora, repetisi.