Pittsburgh Sleep Quality Index
BAB IV HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2010 di Poliklinik Paru dan Instalasi Rawat Inap Anggrek 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Sampel sejumlah 60 terdiri dari 30 sampel pasien asma terkontrol dan 30 sampel pasien asma tidak terkontrol. Berikut disampaikan hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
A. Karakteristik Sampe pel Penelitian
Tabel 4.1 D Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin in
Perem 55% rempuan
Laki ki-Laki
Gambar 4.1 4.1 Persentase Sampel Menurut Jenis Kelamin Tabel 4.1 dan Gam ambar 4.1 menunjukkan selama penelitian, pen enderita asma yang memeriksakan diri iri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta paling bany anyak berjenis kelamin wanita yakni be berjumlah 33 orang (55%).
Tabel el 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur
No Kelompok Umu mur
Frekuensi
1 <20 tahun 2 3,3
2 21-30 tahun 2 3,3
3 31-40 tahun 9 15
4 41-50 tahun 23 38,3
5 51-60 tahun 13 21,7
6 61-70 tahun 8 13,3
7 >71 tahun 3 5 Jumlah
21- -30 tahun
31- -40 tahun
41- -50 tahun
51- -60 tahun
61- -70 tahun >71 71
Gambar 4.2 .2 Persentase Sampel Menurut Kelompok Umur
Dari Tabel 4.2 dan dan Gambar 4.2 didapatkan penderita asma pada ada kelompok umur 41-50 menempati p ti persentase terbanyak yaitu 23 orang (38,3%).
Tabel 4.3 Dis istribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidika kan No.
Tingka gkat Pendidikan
Jumlah
1. SD sed sederajat
2. SLTP P sederajat
3. SLTA A sederajat
4. D3/S1 /S1 sederajat
13 21,7 Jumlah lah
SD sederajat SLTP sederajat
SLTA sederajat D3/S1 sederajat jat
Gambar 4.3 Pe Persentase Sampel Menurut Tingkat Pendidikan
Dari Tabel 4.3 dan dan Gambar 4.3 didapatkan tingkat pendidikan s n sampel yang terbanyak adalah SLTA A sebanyak 23 orang (38,3%), sedangkan tingkat kat pendidikan paling sedikit adalah SLT LTP sebanyak 9 orang (15%).
Tabel 4. 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Pekerjaan
No. Pekerjaan
3 Pedagang/Wiras iraswasta
4 Pelajar/ Mahasisw siswa
5 Ibu Rumah tang ngga
Swasta Pedagang/W g/Wiraswasta
Pelajar/ Ma Mahasiswa Ibu Rumah ah Tangga Pensiunan
Gambar 4. 4.4 Persentase Sampel Menurut Pekerjaan
Dari Tabel 4.4 d dan Gambar 4.4 didapatkan persentase pekerja erjaan sampel terbanyak adalah swasta sta 24 orang (40%), sedangkan persentase pekerja erjaan sampel terkecil adalah Pelajar / M / Mahasiswa sebanyak 5 orang (8,3%).
B. Analisis Bivariat Uj Uji Tabulasi Silang atau Chi Square Data dalam pe penelitian ini dianalisa dengan uji chi square, de dengan uji itu dapat diketahui apak pakah hubungan yang teramati antara kedua var ariabel secara B. Analisis Bivariat Uj Uji Tabulasi Silang atau Chi Square Data dalam pe penelitian ini dianalisa dengan uji chi square, de dengan uji itu dapat diketahui apak pakah hubungan yang teramati antara kedua var ariabel secara
Tabel 4.5 Analisis Bivariat tentang Kualitas Tidur antara Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol
Kualitas Tidur
Crude Variabel 2 Total X p
Asma Terkontrol
- - - Asma Tidak Terkontrol
Asma Terkontrol Asma Tidak Terkontrol
ers P
Keadaan Kontrol Asma
Gambar 4.5 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut Kontrol Asma
Dari Tabel 4.5 dan Gambar 4.5 didapatkan kelompok asma terkontrol sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 17 orang (56,7%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 13 orang (43,3%). Pada kelompok asma tidak terkontrol, sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 7 orang (23,3%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 23 orang (76,7%). Analisis bivariat terhadap hubungaan antara tingkat kontrol asma dengan kualitas tidur menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,05) dan memenuhi syarat analisis regresi logistik (p< 0,25) sehingga variabel kontrol asma dapat dianalisis regresi logistik. Pasien asma tidak terkontrol memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk empat kali lebih besar daripada asma terkontrol (OR=4,3; CI95% 1,3 s.d. 14,7), tetapi hasil ini belum mengontrol pengaruh dari variabel perancu.
Tabel 4.6 Analisis Bivariat tentang Kualitas Tidur antara Pasien yang disertai
dengan riwayat penyakit penyerta dan tidak
Kualitas Tidur
Crude Variabel 2 Total X p
Tanpa penyakit penyerta
- - - Ada penyakit penyerta
Tanpa Penyakit Penyerta Ada Penyakit Penyerta
Keberadaan Riwayat Penyakit Penyerta
Gambar 4.6 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut
Keberadaan Riwayat Penyakit Penyerta
Dari Tabel 4.6 dan Gambar 4.6 didapatkan pada kelompok tanpa riwayat penyakit penyerta, sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 21 orang (63,6%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 12 orang (36,4%). Pada kelompok adanya riwayat penyakit penyerta, sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 3 orang (11,1%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 24 orang (88,9%). Analisis bivariat terhadap hubungan antara riwayat penyakit penyerta dengan kualitas tidur Dari Tabel 4.6 dan Gambar 4.6 didapatkan pada kelompok tanpa riwayat penyakit penyerta, sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 21 orang (63,6%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 12 orang (36,4%). Pada kelompok adanya riwayat penyakit penyerta, sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 3 orang (11,1%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 24 orang (88,9%). Analisis bivariat terhadap hubungan antara riwayat penyakit penyerta dengan kualitas tidur
Tabel 4.7 Tabel Uji normalitas data umur (numerik) menurut kontrol asma
Kolmogorov-Smirnov Kontrol asma berdasarkan
skor ACT
Sig Terkontrol
0.200 Umur Tidak Terkontrol
Tabel 4.7 menunjukkan hasil uji normalitas terhadap distribusi data umur secara analitik. Uji Kolmogorov Smirnov digunakan karena sampel berjumlah >50. Dari tabel didapatkan nilai sig untuk asma terkontrol= 0,200 sedangkan untuk asma tidak terkontrol nilai sig= 0,197; maka dapat diambil kesimpulan bahwa distribusi umur terhadap kontrol asma normal karena nilai sig>0,005. Distribusi data umur terhadap variabel kontrol asma normal, sehingga dapat dilakukan analisis data pengaruh variabel umur terhadap kualitas tidur.
Tabel 4.8 Karakteristik data umur
Variabel
SD Umur
Mean
Median
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa mean dan median dari umur keduanya berada pada umur 48 tahun sehingga dalam pengkategorian umur selanjutnya dalam dua kategori yakni < 48 tahun dan ≥48 tahun Tabel 4.9 Analisis Bivariat tentang Kualitas Tidur antara Pasien yang berumur
<48 tahun dan ≥48 tahun
Kualitas Tidur
Crude Variabel 2 Total X p
- - - ≥ 48 tahun
Gambar 4.7 Persentase Kualitas Tidur Buruk Menurut Umur
Dari Tabel 4.9 dan Gambar 4.7 didapatkan pada kelompok umur < 48 tahun, sampel dengan kualitas tidur buruk sebanyak 12 orang (40%). Sedangkan kelompok umur ≥48 tahun, sampel dengan kualitas tidur buruk sebanyak 24 orang (80%). Analisis bivariat terhadap hubungan antara umur dengan kualitas tidur Dari Tabel 4.9 dan Gambar 4.7 didapatkan pada kelompok umur < 48 tahun, sampel dengan kualitas tidur buruk sebanyak 12 orang (40%). Sedangkan kelompok umur ≥48 tahun, sampel dengan kualitas tidur buruk sebanyak 24 orang (80%). Analisis bivariat terhadap hubungan antara umur dengan kualitas tidur
Tabel 4.10 Analisis Bivariat tentang Kualitas Tidur antara Pasien yang disertai dengan riwayat konsumsi zat tertentu dan tidak
Kualitas Tidur
Crude Variabel 2 Total X p
Tanpa riwayat konsumsi zat 19(40,4) 28(59,6) 47(100) - - - Ada riwayat konsumsi zat
Dari Tabel 4.10 didapatkan pada kelompok tanpa riwayat konsumsi zat , sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 19 orang (40,4%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 28 orang (59,6%). Pada kelompok ada riwayat konsumsi obat, sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 5 orang (38,5%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 8 orang (61,5%). Analisis bivariat terhadap hubungan antara riwayat konsumsi zat dengan kualitas tidur menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0,05) dan tidak memenuhi syarat analisis regresi logistik (p>0.25).
C. ANALISIS REGRESI LOGISTIK GANDA Berdasarkan analisis bivariat, variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas tidur adalah kontrol asma, riwayat penyakit penyerta, dan umur. Ketiga variabel ini akan dilakukan analisis regresi logistik.
Tabel 4.11 Perbandingan Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda dengan Analisis Bivariat tentang Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol
Model 2 (Analisis Multivariat Regresi Logistik)
Model 1
(Analisis Bivariat)
Variabel
CI 95% Adjusted
CI 95%
Crude
OR Batas
Batas
OR Batas Batas
bawah
atas
bawah atas
Kontrol Asma
Terkontrol
- Tidak Terkontrol
Riwayat Penyakit Penyerta
- Ada
Tidak Ada
N observasi
-2 log likelihood
51,9 Nagelkerke R 2 51,7
Interpretasi dari Tabel 4.11: Pasien asma yang tidak terkontrol memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk tujuh kali lebih besar daripada asma terkontrol (OR= 7,4; CI95% 1,7 s.d. 32,9). Hubungan tersebut secara statistik Interpretasi dari Tabel 4.11: Pasien asma yang tidak terkontrol memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk tujuh kali lebih besar daripada asma terkontrol (OR= 7,4; CI95% 1,7 s.d. 32,9). Hubungan tersebut secara statistik
Pasien asma yang disertai riwayat penyakit penyerta berisiko untuk mengalami kualitas tidur buruk enam belas kali lebih besar daripada pasien asma tanpa riwayat penyakit penyerta (OR=15,8; CI95% 2,8 s.d. 89,9). Pasien asma berumur ≥ 48 tahun berisiko mengalami kualitas tidur buruk dua kali lebih besar daripada umur <48 tahun (OR=2,1; CI95% 0,5 s.d. 9,3).
鰸 ⛸lr0 bel 1%
퍠,0le
Bias pada variabel kontrol asma
OR taksiran yang mengontrol kerancuan (OR adjusted) berbeda sebesar 72% dari OR taksiran kasar. Karena perbedaan crude OR dengan adjusted OR >10% maka OR tanpa mengontrol faktor perancu (Crude OR) telah mengalami bias negatif (mendekati OR = 1). Jika tidak mengontrol pengaruh penyakit penyerta dan umur, maka taksiran OR tentang perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol akan mengalami bias yang lebih kecil dari sesungguhnya. Taksiran OR yang digunakan adalah OR yang memperhitungkan pengaruh faktor perancu dengan model analisis regresi logistik.
Hasil analisis di atas memperlihatkan nilai -2 log likelihood sebesar 51,9 artinya perbedaan antara data sampel yang teramati dengan model analisis regresi Hasil analisis di atas memperlihatkan nilai -2 log likelihood sebesar 51,9 artinya perbedaan antara data sampel yang teramati dengan model analisis regresi
Dengan model regresi logistik ganda, variabel tingkat kontrol asma, umur, dan riwayat penyakit penyerta mampu menjelaskan kualitas tidur pasien asma 52%
(Nagelkerke R 2 51,7%).
BAB V PEMBAHASAN
Penelitian yang berjudul “Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol” dilakukan sejak bulan Mei sampai dengan Juni 2010 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan didapatkan 60 sampel yang terdiri dari
30 pasian asma terkontrol dan 30 pasien asma tidak terkontrol.
Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.1) didapatkan bahwa penderita asma yang terbanyak adalah wanita, berjumlah 33 orang (55%) dibandingkan dengan laki-laki yang berjumlah 27 orang (45%). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa pada orang dewasa dengan asma kebanyakan penderitanya adalah wanita (Sundaru dan Sukamto, 2007). Hal ini dikarenakan jenis kelamin merupakan faktor predisposisi asma. Perempuan lebih rentan terhadap stress dan mengalami masalah hormonal (menstruasi, premenstruasi, kehamilan) yang menjadi faktor pencetus asma (Surjanto, 2001).
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa dalam penelitian ini, penderita asma paling banyak didapatkan pada kelompok umur 41-50 tahun, berjumlah 23 orang (38,3%). Penelitian epidemiologi yang dilakukan Center for Disease Control (CDC) tahun 1998 di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa penderita asma dewasa paling sering ditemukan pada usia 45 – 47 tahun.
Pada penelitian ini, persentase tingkat pendidikan (Tabel 4.3) tertinggi pada tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 23 orang (38,3%). Prevalensi tingkat pendidikan sedikit berbeda dengan hasil penelitian Sastrawan et al. (2008), dalam penelitianya, didapatkan distribusi sampel pada tingkat pendidikan SLTA sebesar 36,1%. Hal ini disebabkan perbedaan pengambilan lokasi penelitian dimana penelitian Sastrawan mengambil sampel pada populasi umum di Desa Tenganan sedangkan penelitian ini dilakukan hanya di RSUD Dr Moewardi Surakarta sehingga didapatkan prevalensi tingkat pendidikan yang berbeda.
Faktor pekerjaan merupakan salah satu faktor risiko pencetus asma (Karjadi, 2003). Prevalensi di masyarakat umum tidak diketahui pasti, tetapi di Amerika Serikat ± 15% populasi penderita asma bronkial mempunyai hubungan dengan faktor lingkungan kerjanya (Yeung dan Malo, 1995). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase pekerjaan sampel terbanyak adalah swasta 40% atau 24 orang (Tabel 4.4). Pekerjaan yang dikategorikan swasta sebagian besar adalah buruh Faktor pekerjaan merupakan salah satu faktor risiko pencetus asma (Karjadi, 2003). Prevalensi di masyarakat umum tidak diketahui pasti, tetapi di Amerika Serikat ± 15% populasi penderita asma bronkial mempunyai hubungan dengan faktor lingkungan kerjanya (Yeung dan Malo, 1995). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase pekerjaan sampel terbanyak adalah swasta 40% atau 24 orang (Tabel 4.4). Pekerjaan yang dikategorikan swasta sebagian besar adalah buruh
Hubungan asma dengan tidur telah diidentifikasi dalam beberapa penelitian. Pasien asma lebih sering mengalami kesulitan memulai tidur, mempertahankan tidur, mengalami rasa kantuk di siang hari (daytime sleepiness), terbangun terlalu pagi (early morning awakening), mengeluhkan tidur kurang menyegarkan, dan penurunan efisiensi tidur yang signifikan dibandingkan subjek normal (Fitzpatrick et al., 1991; Janson et al., 1996; Martin dan Schlegel, 1998). Polisomnografi pasien asma nokturnal menunjukkan penurunan efisiensi tidur (waktu lama tidur dibanding waktu di kasur) dan peningkatan frekuensi terbangun (Casey et al., 2007).
Asma sering memburuk pada malam hari atau dikenal dengan asma nokturnal. Gejala asma nokturnal seperti batuk, dispneu dapat mengganggu tidur. Turner- Warwick (1988) melaporkan hasil studinya bahwa 64% pasien asma mengalami serangan minimal tiga malam per minggu, 40% pasien asma mengalami serangan tiap malam serta 53% kematian asma terjadi antara tengah malam sampai jam 8 pagi.
Pada asma, resistensi saluran pernapasan bawah meningkat secara progresif sepanjang malam dengan peningkatan lebih besar selama tidur. Fungsi paru dan responsivitas saluran napas bervariasi sesuai ritme sirkadian, dengan titik terendah dalam fungsi paru terjadi kira-kira jam 4 pagi (Rusli, 1992). Jumlah sel inflamasi dan level mediator inflamasi pada paru pun terlihat meningkat selama malam hari. Pada beberapa pasien asma, variasi sirkadian dari fisiologi saluran napas memberikan Pada asma, resistensi saluran pernapasan bawah meningkat secara progresif sepanjang malam dengan peningkatan lebih besar selama tidur. Fungsi paru dan responsivitas saluran napas bervariasi sesuai ritme sirkadian, dengan titik terendah dalam fungsi paru terjadi kira-kira jam 4 pagi (Rusli, 1992). Jumlah sel inflamasi dan level mediator inflamasi pada paru pun terlihat meningkat selama malam hari. Pada beberapa pasien asma, variasi sirkadian dari fisiologi saluran napas memberikan
8 pagi (Martin dan Schlegel, 1998). Perubahan sitokin akibat asma berkontribusi pada perubahan tidur dengan memengaruhi neurokimiawi otak yang meregulasi tidur. Majde dan Kruger (2005) menyatakan mediator inflamasi yang memperantarai gangguan tidur pada pasien hipersensitivitas yakni IL-4, IL-1, dan TNF- α. Sitokin IL-4 dan IL-1 meningkat pada pasien alergi dan berhubungan peningkatan masa latensi tidur REM dan merendahkan keseluruhan kualitas tidur. Studi Fang et al. (1997) menunjukan IL-1 dan TNF- α meningkatkan intensitas dan durasi tidur NREM serta menahan tidur REM.
Barnes et al. (1982) dalam Casey et al. (2007) menyatakan teofilin secara umum dianggap sebagai pengobatan asma nokturnal yang efektif, terutama jika jadwal dosis pemberian dibangun guna mencapai level puncak pada malam hari ketika pembatasan saluran napas terbesar. Namun, teofilin sendiri termasuk golongan metilxantin yang memiliki efek samping seperti kafein yakni mengganggu tidur.
Pasien yang mengalami gangguan tidur sekunder akibat penyakit somatik dapat memperbaiki kualitas tidurnya dengan mengontrol keluhan penyakit yang timbul (Parish, 2009). Penderita asma yang mampu mengontrol keadaan asmanya dapat mengurangi gejala asma nokturnal berupa sesak napas, batuk atau wheezing di malam hari sehingga diharapkan dapat memperbaiki kualitas tidurnya.
Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol. Tabel 4.5 menggambarkan distribusi subjek penelitian berdasarkan kualitas tidur. Pada kelompok asma terkontrol, sampel dengan Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol. Tabel 4.5 menggambarkan distribusi subjek penelitian berdasarkan kualitas tidur. Pada kelompok asma terkontrol, sampel dengan
Pada penelitian ini, pasien asma yang tidak terkontrol memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk tujuh kali lebih besar daripada asma terkontrol (OR=7,4; CI95% 1,7 s.d. 32,9). Hubungan tersebut secara statistik signifikan dan menunjukkan hubungan yang kuat serta telah mengontrol pengaruh dari riwayat penyakit penyerta dan umur.
Pengaruh kontrol asma terhadap tidur pernah dilakukan dalam beberapa penelitian. Hasil penelitian ini juga relevant dengan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan. Penelitian Mastronarde et al. (2008) menyimpulkan gangguan tidur sering terjadi pada pasien asma dan berhubungan dengan kontrol asma dan kualitas hidup. Para klinisi yang merawat pasien perlu melengkapi riwayat tidur terutama pada asma tidak terkontrol. Dosis rendah teofilin tidak menimbulkan gangguan tidur.
Braido et al. (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Sleep disturbances and asthma control: a real life study” menyatakan kontrol asma berhubungan dengan keberadaan gangguan tidur. Pasien dengan kontrol asma yang baik melaporkan gangguan tidur lebih ringan dan jarang dibandingkan subjek yang tidak terkontrol. Walau demikian masih terdapat sekitar 11-20% dari kelompok pasien asma terkontrol baik yang mempunyai keluhan gangguan tidur dan kualitas hidup yang menurun. Oleh karena itu, kasus asma dengan gangguan tidur perlu investigasi lebih lanjut apakah gangguan tidur tersebut akibat asma atau penyakit penyerta lainnya.
Investigasi lebih lanjut mengenai riwayat penyakit penyerta, umur telah dilakukan dan dianalisis bersama variabel kontrol asma. Hal inilah yang menjadi kelebihan dalam penelitian ini yakni penggunaan analisis regresi logistik ganda sebagai teknik analisis data untuk mengontrol variabel perancu secara statistik. Model analisis regresi logistik dapat mencegah terjadinya bias dalam penelitian. Bias dalam penelitian ini sebesar -72,1%. Karena terdapat perbedaan antara OR sebesar > 10% yakni -72%, maka OR tanpa mengontrol faktor perancu telah mengalami bias negatif (mendekati OR = 1). Jadi, jika tidak mengontrol pengaruh riwayat penyakit penyerta dan umur, maka taksiran OR tentang perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol akan mengalami bias yang lebih kecil dari sesungguhnya (underestimate). Dengan demikian, taksiran OR yang digunakan adalah OR yang dihitung dengan model analisis regresi logistik yang memperhitungkan pengaruh faktor perancu.
Log likelihood menunjukkan perbedaan antara model analisis regresi yang digunakan dan data sampel. Makin kecil nilai log likelihood, maka model yang digunakan makin baik yakni berkisar antara nilai 0 s.d. 100. Dengan demikian, model analisis regresi yang dipilih cukup mendekati data sampel penelitian karena nilai -2 log likelihood mendekati nol dan masih berada di kisaran nol sampai seratus yakni sebesar 51,9.
Dengan model regresi logistik ganda, variabel tingkat kontrol asma, umur, dan riwayat penyakit penyerta mampu menjelaskan kualitas tidur pasien asma 52%
(Nagelkerke R 2 51,7%).
Beberapa faktor risiko insomnia yang dilaporkan dalam State-of-the-Science Conference pada bulan Juni 2005 antara lain umur, gender, penyakit morbiditas, kelainan psikiatri, dan bekerja pada malam hari. Faktor risiko ini perlu dikenali karena berpengaruh secara tidak langsung sebagai penyebab insomnia.
Umur merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap kualitas tidur. Pola tidur-bangun berubah sesuai dengan bertambahnya umur. Pada penelitian ini mengambil batas umur 18 tahun ke atas. Berdasarkan analisis bivariat antara pengaruh umur dengan kualitas tidur pada Tabel 4.9, kelompok umur < 48 tahun, sampel dengan kualitas tidur buruk sebanyak 12 orang (40%), sedangkan pada
kelompok umur ≥48 tahun, kualitas tidur buruk sebanyak 24 orang (80%). Umur berpengaruh cukup signifikan (p=0,002) terhadap kualitas tidur sehingga dapat menjadi faktor perancu dalam penelitian ini yang hasilnya akan dianalisis secara regresi logistik bersama variabel bebas dan perancu lainnya.
Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia dewasa tua dan usia lanjut mengalami peningkatan frekuensi terbangun di malam hari, waktu tidur yang dalam (delta sleep) lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama. Hasil uji dengan alat polisomnografik didapatkan penurunan yang bermakna dalam slow wave sleep dan rapid eye movement (REM) (Danesi, 2003).
Hasil survey pada masyarakat lanjut usia di Amerika didapatkan orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama di tempat tidur sebelum tertidur) dan mempunyai lebih sedikit waktu tidur nyenyaknya. Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat perubahan fisis karena Hasil survey pada masyarakat lanjut usia di Amerika didapatkan orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama di tempat tidur sebelum tertidur) dan mempunyai lebih sedikit waktu tidur nyenyaknya. Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat perubahan fisis karena
Orang usia lanjut mengalami perubahan fisiologis dalam pengaturan tidur. Pada usia lanjut terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap terang. Dalam irama sirkadian normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan Growth Hormone serta perubahan suhu tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin, hormon yang diekskresikan pada malam hari dan berhubungan tidur menurun dengan meningkatnya umur (Rahayu, 2007).
Penyebab peningkatan risiko gangguan tidur pada usia tua dapat disebabkan penurunan fisiologis fungsi pengontrol tidur dan yang terpenting adalah keberadaaan penyakit penyerta yang meningkatkan prevalesi insomnia secara signifikan di usia tua (Roth, 2007). Penyakit kronik merupakan risiko terjadinya insomnia. Katz dan McHorney (1998) menyatakan sekitar 75-90 % penderita insomnia memiliki faktor risiko penyakit morbiditas seperti kondisi yang menyebabkan hipoksemia, dispneu, penyakit refluks gastroesofagus, nyeri, dan penyakit neurodegeneratif.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang terlihat pada Tabel 4.6 didapatkan pada kelompok dengan riwayat penyerta, sampel dengan kualitas tidur buruk sebanyak 24 orang (88,9%) dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat penyakit penyerta, sampel dengan kualitas tidur buruk hanya 12 orang (36,4%). Analisis bivariat terhadap hubungaan antara riwayat penyakit penyerta dengan kualitas tidur Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang terlihat pada Tabel 4.6 didapatkan pada kelompok dengan riwayat penyerta, sampel dengan kualitas tidur buruk sebanyak 24 orang (88,9%) dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat penyakit penyerta, sampel dengan kualitas tidur buruk hanya 12 orang (36,4%). Analisis bivariat terhadap hubungaan antara riwayat penyakit penyerta dengan kualitas tidur
Riwayat penyakit penyerta merupakan variabel perancu yang paling kuat pengaruhnya. Variabel umur yang sebelumnya dalam analisis bivariat menunjukkan hubungan signifikan (p=0,002), setelah dianalisis bersama faktor perancu lainnya dalam analisis regresi logistik menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p=0,3). Selain itu terjadi penurunan OR variabel umur dari 4 menjadi 2,1, sehingga umur ≥48 tahun memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami kualitas tidur buruk dibandingkan umur <48 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia lanjut banyak disertai riwayat penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit nyeri sendi (osteoarthritis, rheumatoid arthritis) sehingga pengaruh variabel perancu riwayat penyakit penyerta lebih kuat daripada umur. Hollbrook et al. (2000) juga mereview dalam beberapa penelitian terbaru bahwa gangguan tidur insomnia berkorelasi lebih rendah dengan umur dibandingkan dengan beberapa kondisi penyakit morbiditas seperti nyeri, nokturia, dispnea, kejang malam, dan kondisi psikopatologis.
Ketika timbul keluhan gangguan tidur yang dominan, gangguan tidur karena zat dapat menjadi salah satu diagnosis banding. Sebagian besar zat yang terkait adalah Ketika timbul keluhan gangguan tidur yang dominan, gangguan tidur karena zat dapat menjadi salah satu diagnosis banding. Sebagian besar zat yang terkait adalah
28 orang (59,6%). Pada kelompok ada riwayat konsumsi zat, kualitas tidur buruk sebanyak 8 orang (61,5%).
Berdasarkan analisis bivariat terhadap hubungan antara riwayat konsumsi zat dengan kualitas tidur didapatkan hubungan yang tidak signifikan (p>0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan beberapa hal. Kira-kira hanya 4% pengunjung pusat klinik gangguan tidur terdiagnosis gangguan tidur akibat zat sehingga jarang ditemukan di
masyarakat (Buysse, 1994). Selain itu, dalam penelitian ini hanya ditanyakan riwayat narkoba, obat antihipertensi, obat anticemas (benzodiazepin, barbiturat) alkohol, rokok, kemoterapi, dan kafein. Dari data yang didapat obat antihipertensi paling sering dikonsumsi dan sisanya pengonsumsi kafein. Tidak ditemukan pengguna narkoba, obat anticemas, rokok, dan kemoterapi.
Gangguan psikiatri merupakan morbiditas paling umum ditemukan dalam insomnia. Dalam studi populasi National Institute of Mental Health Epidemiologic Catchment Area Study dengan kuisioner yang didasarkan DSM-III dari 7954 responden yang mengeluhkan insonmnia ada sekitar 40,4% yang memiliki kelainan psikiatri yang umumnya berupa depresi dan kecemasan (Hollbrook et al., 2000).
Pada penelitian ini, tidak berhasil menjaring pasien dengan ganguan psikiatri. Hal ini disebabkan oleh seringnya gangguan psikiatri pada pasien asma tidak terdiagnosis sehingga dengan melihat data rekam medis dan menanyakan ada tidaknya masalah kejiwaan tidak cukup untuk menjaring data.
Keberadaan riwayat psikiatri dalam pasien asma pernah diteliti sebelumnya. Dalam penelitiannya Heaney et al. (2005) menyimpulkan pada pasien asma terdapat angka prevalensi yang tinggi dari gangguan psikiatri yang tidak terdiagnosa dengan depresi yang paling sering ditemukan. Dalam penelitian Heaney ini, dilakukan wawancara langsung dengan seorang dokter ahli jiwa dan menggunakan kuesioner skrining Hospital Anxiety Depression Scale. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya disarankan menggunakan kuisioner yang lebih sensitif untuk mendiagnosis gangguan psikiatri, tetapi juga perlu memperhitungkan waktu yang dibutuhkan mewawancarai pasien. Hal inilah juga yang menjadi faktor kesulitan dalam penelitian kali ini adalah waktu pasien untuk diwawancarai yang cukup terbatas.
Proses pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung, pengisian kuisioner ACT dan PSQI, dan melihat data rekam medis pasien. Kelemahan dari penelitian ini adalah faktor subyektivitas pasien dalam memberikan jawaban yang merupakan variabel luar yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti.
Penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol dimana pasien asma tidak terkontrol memiliki risiko tujuh kali lebih besar mengalami kualitas tidur buruk daripada asma terkontrol.
Hubungan antara tidur dengan asma merupakan hubungan yang saling timbal balik. Hanson dan Chen (2008) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kualitas tidur buruk mungkin menjadi faktor risiko untuk gejala asma lebih berat, fungsi paru lebih buruk, dan kadar kortisol lebih rendah. Para klinisi harus menyadari efek dari tidur dan menyadari penggabungan tidur rutin yang baik sebagai rencana manajemen asma.
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN Penelitian berjudul “Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta ini membuat simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaaan kualitas tidur antara pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pasien asma yang tidak terkontrol berisiko mengalami kualitas tidur buruk tujuh kali lebih besar daripada pasien asma terkontrol (OR= 7,4; CI95% 1,7 s.d. 32,9).
2. Pada penelitian ini, terdapat perbedaan yang cukup besar antara taksiran OR hasil analisis kasar dan analisis yang mengendalikan faktor perancu yaitu sebesar -72% sehingga jika tidak mengontrol pengaruh riwayat penyakit dan umur, maka taksiran OR tentang perbedaan kualitas tidur 2. Pada penelitian ini, terdapat perbedaan yang cukup besar antara taksiran OR hasil analisis kasar dan analisis yang mengendalikan faktor perancu yaitu sebesar -72% sehingga jika tidak mengontrol pengaruh riwayat penyakit dan umur, maka taksiran OR tentang perbedaan kualitas tidur
3. Pengaruh variabel perancu riwayat penyerta lebih kuat daripada variabel umur dimana pasien asma dengan riwayat penyakit penyerta memiliki risiko 16 kali lebih besar mengalami kualitas tidur buruk daripada tanpa riwayat. Sedangkan untuk pasien asma yang berumur ≥ 48 tahun hanya memiliki risiko dua kali lebih besar daripada <48 tahun.
B. SARAN
1. Edukasi terhadap pasien asma mengenai asma, perbedaan obat reliever dan controller, efek samping obat, penggunaan obat inhaler, pencegahan timbul serangan, tanda serangan asma memburuk dan yang harus dilakukan, monitor kontrol asma perlu ditingkatkan dalam masyarakat.
2. Penerapan penatalaksanaan asma berdasaan kontrol asma pasien sesuai prosedur yang dikeluarkan Global Initiative for Asthma (GINA) dan keadaan kontrol asma sebaiknya selalu dimonitor oleh petugas kesehatan.
3. Sebaiknya perlu evaluasi lebih mendalam pada pasien asma terutama mengenai riwayat tidur, identifikasi riwayat penyakit morbiditas, riwayat psikiatri, dan konsumsi zat atau obat sehingga dapat dilakukan penanganan terhadap penyebab gangguan tidur lainnya.
4. Dalam peningkatan kualitas tidur pada pasien asma, selain dengan peningkatan terhadap kontrol gejala asma juga dapat dilakukan dengan terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi nonfarmakologis 4. Dalam peningkatan kualitas tidur pada pasien asma, selain dengan peningkatan terhadap kontrol gejala asma juga dapat dilakukan dengan terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi nonfarmakologis
5. Mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai kualitas tidur pada pasien asma dengan jumlah sampel yang representatif, populasi yang lebih luas, dan lebih mengontrol variabel perancu. Selain itu, penelitian mengenai manajemen peningkatan kualitas tidur pasien asma perlu ditingkatkan.