Perbedan kualitas tidur pada pasian asma terkontrol dengan tidak terkontrol di RSUD MOEWARDI Surakart

ABSTRAK

Astrid Kusuma Wardhani, G0007005, 2010, Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronik saluran nafas. Gangguan tidur sering dialami pasien asma sebagai konsekuensi dari gejala asma nokturnal yakni terbangun di malam hari akibat sesak napas, batuk, atau mengi. Kualitas tidur pasien dapat diperbaiki dengan mengontrol keluhan penyakit yang timbul. Tidur sangat penting untuk kesehatan fisik dan mental dan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Pola tidur sangat bervariasi menurut umur. Selain itu, gangguan tidur dapat terjadi akibat kelainan mental, somatik, atau akibat zat. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dengan mengontrol pengaruh variabel perancu riwayat penyakit penyerta dan umur.

Penelitian ini adalah penelitian observational analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel dipilih dengan teknik fixed exposure sampling. Ukuran sampel adalah 30 pasien asma terkontrol dan 30 pasien asma tidak terkontrol. Lokasi

penelitian di poliklinik paru dan instalasi rawat inap Anggrek 2 RSUD Dr Moewardi Surakarta. Waktu penelitian pada bulan Mei sampai Juni 2010. Masing-masing sampel dilakukan pengukuran kontrol asma dengan Asthma Control Test dan kualitas tidur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index. Teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis Regresi Logistik yang diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol. Pasien asma yang tidak terkontrol memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk tujuh kali lebih besar daripada asma terkontrol (OR= 7,4; CI95% 1,65 s.d. 32,90). Kesimpulan tersebut dibuat setelah mengontrol pengaruh riwayat penyakit penyerta dan umur.

Penelitian ini menyimpulkan kontrol asma yang baik dapat mengurangi gejala asma nokturnal dan memperbaiki kualitas tidur pada pasien asma. Disarankan petugas kesehatan perlu memberikan manajamen dan edukasi yang baik dalam pencapaian kontrol asma, penerapan kebiasaan tidur yang baik, evaluasi serta penanganan secara komprehensif terhadap asma, penyakit morbiditas, psikiatri, dan induksi zat yang dapat mengganggu tidur.

Kata kunci : Kontrol asma, Kualitas tidur, Gangguan tidur

ABSTRACT

Astrid Kusuma Wardhani, G0007005, 2010, Difference of Sleep Quality between Controlled and Not Controlled Asthma Patient in RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Asthma is chronic inflammatory disease. Sleep disturbance common among asthma patient as consequence of nocturnal asthma symptoms such as dyspnea, cough, or wheezing resulted in early morning awakening. Sleep quality may be improved by controlling subjective symptoms related to the disease. Sleep is fundamental for physical and mental health also affects quality of life. Pattern of sleep vary of age. Besides that, sleep disturbance can be secondary to mental disorder, somatic disorders, or substance induced. The aim of this research was to know difference of sleep quality between controlled and not controlled asthma patient, with controlling for confounding factors such as medical history co morbid disease and age.

This study was observational analytic by using cross-sectional design. The sample was selected by fixed exposure sampling. Samples sizes were 30 controlled asthma patients and 30 not-Controlled asthma patients. Research location was in Pulmonology Clinic and Anggrek 2 Ward RSUD Dr. Moewardi Surakarta. This research was held on May until June 2010. Each sample was measured their asthma control by using Asthma Control Test (ACT) and sleep quality by using Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). The data was analyzed by using regression logistic model, run on Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.

The result of this study showed that there is difference of sleep quality between controlled and not-Controlled Asthma Patient. Patients who were not controlled had seven times higher risk of poor sleep quality than those who were well controlled (OR= 7,4; CI95% 1,65 s.d. 32,90). This conclusion was made after controlling for the effect of co morbid disease and age.

This study concludes well control asthma can reduce nocturnal asthma symptoms and results in improvement sleep quality on asthma patient. It is suggested that health care providers should give appropriate management and well education in approaching controlled asthma, implementation of good sleep habit, and comprehensive evaluation and management toward asthma, co morbid disease, psychiatric disorder, and substance induced sleep disorder.

Key words: Control asthma, Sleep Quality, Sleep Disturbance

ABSTRAK

Perbedaan Kualitas Tidur pada Pasien Asma Terkontrol dengan Tidak Terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

1 2 Astrid Kusuma Wardhani 2 , Yusup Subagio Sutanto , Eddy Surjanto ,

2 Ana Rima Setijadi 3 , Slamet Riyadi

Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dengan mengontrol pengaruh variabel perancu riwayat penyakit penyerta dan umur.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian observational analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel dipilih dengan teknik fixed exposure sampling. Ukuran

sampel adalah 30 pasien asma terkontrol dan 30 pasien asma tidak terkontrol. Lokasi penelitian di poliklinik paru dan instalasi rawat inap Anggrek 2 RSUD Dr Moewardi Surakarta. Waktu penelitian pada bulan Mei sampai Juni 2010. Masing-masing sampel dilakukan pengukuran kontrol asma dengan Asthma Control Test dan kualitas tidur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index. Teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis Regresi Logistik yang diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.

Hasil : Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol. Pasien asma yang tidak terkontrol memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk tujuh kali lebih besar daripada asma terkontrol (OR= 7,4; CI95% 1,65 s.d. 32,90). Kesimpulan tersebut dibuat setelah mengontrol pengaruh riwayat penyakit penyerta dan umur.

Kesimpulan : Penelitian ini menyimpulkan kontrol asma yang baik dapat mengurangi gejala asma nokturnal dan memperbaiki kualitas tidur pada pasien asma. Disarankan petugas kesehatan perlu memberikan manajamen dan edukasi yang baik dalam pencapaian kontrol asma, penerapan kebiasaan tidur yang baik, evaluasi serta penanganan secara komprehensif terhadap asma penyakit morbiditas, psikiatri, dan induksi zat yang dapat mengganggu tidur.

Kata kunci : Kontrol asma, Kualitas tidur, Gangguan tidur

1 Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas, Maret Surakarta

2 Bagian Paru, Rumah Sakit Daerah Dr. Moewardi, Surakarta

3 Bagian Ilmu Biologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

ABSTRACT Difference of Sleep Quality between Controlled and Not Controlled Asthma

Patient in RSUD Dr. Moewardi Surakarta

1 2 Astrid Kusuma Wardhani 2 , Yusup Subagio Sutanto , Eddy Surjanto ,

2 Ana Rima Setijadi 3 , Slamet Riyadi

Objective: This paper presents the difference of sleep quality between controlled and not controlled asthma patient in Dr. Moewardi Surakarta Hospital, with controlling for confounding factors such as medical history co morbid disease and age.

Methods: This study was observational analytic by using cross-sectional design. The sample was selected by fixed exposure sampling. Samples sizes were 30 controlled asthma patients and 30 not-Controlled asthma patients. Research location was in Pulmonology Clinic and Anggrek 2 Ward RSUD Dr. Moewardi Surakarta. This research was held on May until June 2010. Each sample was measured their asthma control by using Asthma Control Test (ACT) and sleep quality by using Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). The data was analyzed by using regression logistic model, run on Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.

Results: The result of this study showed that there is difference of sleep quality between controlled and not-Controlled Asthma Patient. Patients who were not controlled had seven times higher risk of poor sleep quality than those who were well controlled (OR= 7,4; CI95% 1,65 s.d. 32,90). This conclusion was made after controlling for the effect of co morbid disease and age.

Conclusion: This study concludes well control asthma can reduce nocturnal asthma symptoms and results in improvement sleep quality on asthma patient. It is suggested that health care providers should give appropriate management and well education in approaching controlled asthma, implementation of good sleep habit, and comprehensive evaluation and management toward co morbid disease, psychiatric disorder, and substance induced sleep disorder.

Key words: Control asthma, Sleep Quality, Sleep Disturbance

1 Student of Medical Faculty, Sebelas Maret University, Surakarta

2 Pulmonology Department, Dr. Moewardi Hospital, Sebelas Maret University, Surakarta

3 Biology Department, Medical Faculty, Sebelas Maret University, Surakarta

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Asma

a. Definisi Asma Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (2003) asma didefinisikan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang terdapat berbagai sel yang memegang peranan terutama sel mast, eosinofil, dan limfosit T.

Gambaran awal berupa sesak napas (dyspnea) dan nafas berbunyi (wheezing) adalah keluhan yang diakibatkan oleh penyempitan (obstruction) saluran pernapasan merupakan gambaran khas dari asma bronkial (Kabat, 2004). Saat gejala asma muncul lebih buruk dari biasanya disebut dengan episode asma atau serangan asma (Fadden, 2005).

b. Patogenesis Asma Berbagai teori tentang asma umumnya menerangkan tentang kepekaan yang tinggi dari saluran pernapasan sebagai bentuk respon pertahanan normal saluran napas. Respon ini dapat mengakibatkan reaksi abnormal jaringan saluran pernapasan yang mungkin akibat pengaruh imunologik ataupun gangguan keseimbangan neurohormonal (Kabat, 2004).

Jalur imunologis dimulai masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh Antigen Presenting Cell (APC) untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th dengan bantuan MHC II yang kemudian akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk Ig E, serta sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit, limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrien, PAF, bradikinin, tromboksan, dll yang memengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis subepitel sehingga menimbulkan hipereaktifitas saluran napas (Sundaru dan Sukamto, 2007).

Pengaruh perubahan neurohormonal terjadi akibat aktivitas reseptor adrenergik, blokade β-adrenergik dan jalur nervus vagus. Pada jaringan paru terdapat dua tipe reseptor adrenergik yakni α dan β reseptor. Rangsangan β reseptor mengakibatkan bronkodilatasi dan menurunkan sekresi mukus; rangsangan α mengakibatkan bronkokonstriksi (Kabat, 2004).

Pada individu normal, tonus saluran napas dalam keseimbangan antara bro nkodilatasi karena rangsangan β-adrenergik dan bronkokonstriksi karena rangsangan vagal, α reseptor, serta faktor lain. Reflek ini dapat disebabkan

rangsangan antigenik, nonantigenik, seperti perubahan tekanan O 2 dan CO 2 . Rangsangan vagal mengakibatkan pelepasan kolinergik yang kadarnya lebih tinggi pada penderita asma (Kabat, 2004).

c. Patofisiologi Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupakan dasar kelainan faal yang terjadi pada pasien asma antara lain:

1) Obstruksi saluran napas Penyempitan saluran pernapasan akibat inflamasi saluran pernapasan maupun peningkatan tonus otot polos bronkhioler dan terjadi ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Penyempitan saluran napas menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus. (Price dan Wilson, 2004).

2) Hiperesponsivitas saluran napas Mekanisme hiperesponsivitas saluran napas belum jelas. Inflamasi dinding saluran napas terutama di peribronkial menambah penyempitan saluran napas selama kontraksi otot polos. (Rahmawati et al., 2003).

3) Hipersekresi mukus

Gambaran makroskopis biopsi pasien asma adalah oklusi bronkus dan bronkiolus oleh sumbat mukus kental dan lengket (Matra dan Kumar, 2007). Donno et al. (2000) menyatakan hipersekresi mukus mengurangi gerak silia, menyebabkan inflamasi dan kerusakan fungsi epitel.

4) Eksaserbasi Eksaserbasi merupakan gambaran umum pada asma. Faktor penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan bronkokonstriksi (inciter) seperti latihan, udara dingin, dan rangsangan inflamasi (inducer) seperti pajanan alergen, sensitisasi zat, dan infeksi saluran napas (GINA 2006).

5) Asma nokturnal Penderita asma nokturnal bergejala khas yakni terbangun antara jam

3 dan 5 pagi dengan batuk, mengi, sesak dan tidak dapat tidur kembali tanpa bantuan bronkodilator aerosol. Faktor lain seperti ritme sirkadian, kadar epinefrin, tonus vagus, pendingin, tidur, berkurangnya pembersihan mukus, refluks gastroesofagus sebagai faktor pencetus (Pelly, 1992).

6) Analisis gas darah Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas. Derajat hipoksemia berkorelasi dengan penyempitan saluran napas akibat ketidakseimbangan ventilasi perfusi. (Price dan Wilson, 2004).

d. Faktor Risiko

Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor pejamu dan faktor lingkungan (PDPI, 2004):

1) Faktor pejamu: Predisposisi genetik, Atopi, Hiperesponsif jalan napas, Jenis kelamin, Ras/etnik

2) Faktor lingkungan

a) Alergen di dalam dan luar ruangan

b) Polusi udara di luar dan dalam ruangan, Asap rokok, Sulfur dioksida

c) Infeksi pernapasan, Ekpresi emosi berlebih, Perubahan cuaca

d) Makanan, zat aditif, obat-obatan tertentu.

e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)

f) Exercise induced asthma

e. Diagnosis Surjanto (2001) menyatakan beberapa indikator penegakan diagnosis asma:

1) Mengi (wheezing) Pada asma ringan, mengi dapat terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Bila penyakit makin berat, mengi terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi biasa.

2) Memiliki riwayat sebagai berikut:

a) Mengi berulang

b) Sesak nafas berulang

c) Rasa berat di dada berulang c) Rasa berat di dada berulang

3) Penyempitan saluran nafas yang reversible dan variasi diurnal

Variasi diurnal diukur dengan peak flow meter. Arus puncak ekspirasi (APE) yang diukur pagi hari (sebelum inhalasi agonis β 2 ) dan malam hari (setelah inhalasi agonis β 2 ) menunjukkan perbedaan ≥ 20%.

4) Gejala timbul atau memburuk pada berbagai faktor pencetus

5) Gejala terjadi memburuk malam hari menyebabkan penderita terbangun.

f. Klasifikasi Asma Klasifikasi menurut derajat asma penting dalam penatalaksanaannya. Derajat asma ditentukan gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β 2 agonis dan uji faal paru) serta obat pengontrol (jenis, kombinasi, dan frekuensi pemakaian).

Tabel 2.1 Derajat Asma

Faal paru Intermitten

Derajat asma

Gejala

Gejala malam

APE ≥80% - Gejala<1x/minggu.

Bulanan

≤ 2 kali sebulan - VEP 1 ≥80% nilai - Tanpa gejala diluar

prediksi APE ≥80% serangan.

nilai terbaik. - Serangan singkat.

- Variabilitas APE<20%.

Persisten ringan

Mingguan

APE>80%

- Gejala>1x/minggu >2 kali sebulan - VEP 1 ≥80% nilai prediksi tetapi<1x/hari.

APE ≥80% nilai terbaik. - Serangan mengganggu

- Variabilitas APE 20- aktivitas dan tidur

30%. Persisten sedang

APE 60-80% - Gejala setiap hari.

Harian

- VEP 1 60-80% nilai - Serangan mengganggu

>2 kali sebulan

prediksi APE 60- aktifitas dan tidur

80% nilai terbaik. - Membutuhkan

- Variabilitas APE>30%. bronkodilator tiap hari. Persisten berat

APE 60 ≤% - Gejala terus menerus

Kontinyu

- VEP 1 ≤60% nilai prediksi - Sering kambuh

Sering

APE ≤60% nilai terbaik - Aktifitas fisik terbatas

- Variabilitas APE>30%

Sumber : GINA 2006, PDPI 2004

g. Penatalaksanaan Asma Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol) (Sundaru, 2007).

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: penatalaksanaan asma akut dan jangka panjang:

1) Penatalaksanaan asma akut (saat serangan) Serangan akut adalah episode perburukan asma. Penanganan cepat tepat sesuai derajat serangan. Penilaian berdasar riwayat serangan, gejala, pemeriksaan fisik dan faal paru.

Pada serangan ringan, obat yang digunakan β 2 agonis kerja cepat yang sebaiknya bentuk inhalasi. Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat) kortikosteroid oral diberikan dalam 3- 5 hari.

Pada serangan sedang diberi β 2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambah ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV. Bila perlu diberi oksigen dan cairan IV.

Pada serangan berat pasien dirawat dan diberi oksigen, cairan IV, β 2 agonis kerja cepat, ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV. Pemberian obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. (Depkes RI, 2008).

2) Penatalaksanaan asma jangka panjang Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan mengontrol asma dan mencegah serangan. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: Edukasi, obat asma (pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran (Sundaru, 2007).

Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. (Sundaru dan Sukamto, 2007).

Obat yang termasuk pengontrol antara lain: kortikosteroid inhalasi dan sistemik, sodium kromoglikat, Nedokromil sodium, Metilsantin, Agonis β 2 kerja lama inhalasi dan oral, Leukotrien modifier, Antihistamin generasi ke-2, dll. Obat yang termasuk pelega antara lain: Agonis beta-2 kerja singkat, kortikosteroid sistemik, antikolinergik, aminofilin, adrenalin, dll.

Edukasi mencakup kapan pasien berobat, mencari pertolongan, mengenali gejala serangan asma secara dini, mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaan, menghindari faktor pencetus, dan kontrol teratur (Depkes RI, 2008).

Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga kebugaran antara lain dengan melakukan senam asma. Pada dewasa, dengan Senam Asma Indonesia yang teratur, asma terkontrol dapat terjaga. Dengan melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai tujuan penanganan asma, yaitu asma terkontrol (Yayasan Asma Indonesia, 2007).

Tabel 2.2 Tingkat Kontrol Asma

Tingkatan Asma Terkontrol

Gejala harian

Tidak ada ( ≤ 2 >

dua

kali Tiga atau lebih gejala

kali perminggu)

seminggu

dalam kategori Asma

Pembatasan aktivitas

Tidak ada

Sewaktu-waktu

Terkontrol Sebagian, dalam seminggu muncul

sewaktu- waktu

dalam Gejala

Sewaktu- waktu seminggu nokturnal/gangguan tidur

Tidak ada

dalam seminggu

Kebutuhan akan reliever Tidak ada (dua ≥

dua

kali

atau terapi rescue

kali atau kurang seminggu dalam seminggu)

Fingsi Paru (PEF atau

Normal

<80% (perkiraan atau

Tidak ada

Sekali atau lebih Sekali dalam dalam setahun

seminggu Sumber : GINA 2006.

en u

Derajat kontrol

Terapi

ru

Terkontrol n Pemeliharaan dan Langkah Kontrol Terendah

Terkontrol Sebagian t Tingkat terapi untuk mencapai k a kontrol

Tidak terkontrol

Tingkat sampai terkontrol penuh Eksaserbasi

in

en

Terapi eksaserbasi

Menurun Meningkat Step 1

EDUKASI ASMA, KOTROL LINGKUNGAN

Jika Jika diperlukan 案 agonis kerja cepat diperlukan 案 agonis kerja cepat

Tambahkan satu Tambahkan satu Obat

Pilih salah satu

Pilih salah satu

atau lebih Pengontrol

atau lebih

Inhalasi

Glukokortikostero kortikosteroid

id oral (dosis id oral (dosis

dosis rendah + 案

dosis sedang atau terendah)

agonis kerja

tinggi + 案

agonis kerja lama Leukotrien

lama

Terapi anti Ig E inhibitor

dosis sedang atau tinggi Inhalasi

Teofilin lepas

kortikosteroid

lambat

dosis rendah + leukotrien inhibitor Inhalasi kortikosteroid dosis rendah + teofilin lepas lambat

Gambar 2.1 Penatalaksanaan asma berdasarkan kontrol berdasarkan kontrol untuk anak usia > 5 tahun, remaja dan dewasa Sumber: GINA (2006), Surjanto (2008)

2. Asthma Control Test

Tujuan utama pengobatan asma adalah mencapai kontrol yang adekuat. Penatalaksanaan asma berdasarkan kontrol meliputi prinsip penatalaksanaan penyakit kronik termasuk penilaian periodik, tujuan dan terapi perorangan (Surjanto, 2008).

Sebagai penyakit multidimensi, persamaan persepsi kontrol asma belum ada sehingga tidak heran bila sebagian besar asma tidak terkontrol. Para peneliti mencari alat ukur yang mewakili kontrol asma secara keseluruhan sehingga sasaran pengobatan lebih jelas (Sundaru, 2007).

Saat ini diperkirakan ada sekitar 5 alat ukur berupa kuesioner dengan atau tanpa pemeriksaan fungsi paru. Salah satu yang terkenal adalah: Asthma Control Test (ACT). ACT diperkenalkan oleh Nathan et al. (2004) yang bertujuan memudahkan dokter dan pasien dalam mengevaluasi penderita asma yang berusia lebih dari 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya. Kuessioner ini terdiri dari lima pertanyaan tentang gangguan aktivitas karena gejala asma, penggunaan obat pelega napas, penilaian pasien tentang seberapa terkontrol penyakit mereka. Kuessioner ini telah divalidasi sehingga dapat dipakai secara luas untuk menilai dan memperbaiki kondisi asma seseorang (Nathan et al., 2004; Yunus 2005).

Kuesioner ACT ini telah di uji coba di poliklinik alergi-imunologi klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM dengan hasil keandalan internal 83%, keandalan interklas 92%, kesahihan dengan fungsi paru 24% dan kesahihan dengan penilaian klinis 74% sehingga dapat disimpulkan ACT ini dapat dipakai di masyarakat Indonesia (Sundaru, 2007).

Kuesioner ini untuk mengetahui seberapa sering gejala asma terjadi dalam 4 minggu terakhir. Tiap jawaban dinilai mulai dari 1 sampai 5. Total nilai terendah ACT adalah 5 sedangkan maksimal 25. Interpretasi hasilnya adalah jika jumlah nilai ≤ 19, maka asma tersebut tidak terkontrol sedangkan bila nilai ≥ 20, maka asma tersebut telah terkontrol (GINA, 2006).

3. Tidur

a. Fisiologi Tidur Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar di mana orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau dengan rangsangan lainnya (Guyton dan Hall, 1997). Orang dewasa membutuhkan waktu sekitar tujuh setengah jam tiap malam. (Kaplan dan Sadock, 2000).

Pada orang dewasa, tahap tidur dibagi menjadi tidur REM dan tidur non-REM (stadium 1 sampai 4). Dua taraf ini saling bergantian dalam siklus yang bertahan antara 70 sampai 120 menit. Secara umum, 4 sampai 6 siklus NREM-REM terjadi tiap malam. (Guyton dan Hall, 1997). Tahapan tidur normal yakni:

Tahap 0 adalah periode kesadaran penuh dengan mata tertutup, yang terjadi sesaat sebelum tidur. Tonus otot cenderung meningkat, aktivitas alpha meningkat dengan peningkatan rasa kantuk (Kaplan dan Sadock, 2000).

Tahap 1 disebut tahap permulaan tidur karena menunjukkan transisi singkat dari periode sadar menuju tidur. Didapat amplitudo rendah, aktivitas beta dan theta lebih lambat (4-7 siklus per detik). Tahap 1 merupakan 5% dari total periode waktu tidur (Kaplan dan Sadock 2000).

Tahap 2 didominasi aktivitas theta dan dicirikan dengan sleep spindles adalah ritme gelombang Komplek K berbentuk tajam, negatif, gelombang

EEG tegangan tinggi, diikuti oleh yang lebih lambat. Tahap 2 merupakan 45- 55% dari periode total tidur (Kaplan dan Sadock, 2000).

Tahap 3 dicirikan 20-50% aktivitas gelombang delta tegangan tinggi frekuensi 1-2 siklus per detik. Seperti tahap 2, tonus otot meningkat, tetapi tidak ada gerakan mata (Kaplan dan Sadock, 2000).

Tahap 4 terjadi saat gelombang delta menyusun > 50% rekaman EEG. Tahap 3 dan 4 sering sulit dibedakan dan secara umum disebut slow-wave sleep dan merupakan 15-20% waktu tidur (Kaplan dan Sadock, 2000).

Tidur REM menghasilkan pola EEG yang menyerupai tidur NREM tingkat I, disertai mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, peningkatan aktivitas otot involunter, frekuensi jantung dan nafas tidak teratur, gerakan otot tidak teratur (pada mata menyebabkan gerakan bola mata cepat) dan lebih sulit dibangunkan. Tahap ini merupakan 20-25% dari waktu tidur total dan sering dikenal pula dengan tidur desynchronized (Stradling, 1995).

Urutan tahap tidur selama siklus tidur awal adalah: tahap NREM 1, 2,

3, 4, 3, dan 2; kemudian tahap REM. Pada dewasa muda, tidur REM merupakan 25% waktu tidur total. Pada dewasa muda, dari bangun sampai tahap NREM memerlukan waktu kira-kira 90 menit sebelum periode REM pertama yang disebut sebagai REM latency. (Kaplan dan Sadock, 2000).

Siklus tidur (antara waktu REM dan REM berikutnya) lebih pendek pada bayi daripada dewasa. Periode REM muncul setiap 50-60 menit selama Siklus tidur (antara waktu REM dan REM berikutnya) lebih pendek pada bayi daripada dewasa. Periode REM muncul setiap 50-60 menit selama

Saklar untuk tidur adalah nucleus preoptic ventrolateral (VLPO) di hipotalamus anterior. Area ini akan aktif saat tidur dan menggunakan neurotransmitter inhibisi GABA dan galanin untuk memulai tidur dengan menghambat daerah rangsangan otak. Nukleus VLPO menghambat daerah bangun. Neuron hypocretin di hipotalamus lateral membantu menstabilkan saklar ini. Jatuh tertidur adalah hasil dari pemutusan fungsional antara batang otak dan thalamus rostral dengan korteks otak (Pinzon, 2010).

b. Perubahan kardiovaskular dan respirasi selama tidur Selama tidur NREM, denyut jantung dan tekanan darah turun sekitar 10%. Dalam tidur NREM, ada pengurangan aliran simpatis dan dominasi dari parasimpatis berdasar percobaan Somers (1993) yang merekam aktivitas nervus peroneus orang sehat ketika bangun dan pada berbagai stadium tidur.

Selama fase tidur REM, juga ada aktivitas fasik yang terjadi dalam letupan. Aktivitas letupan fasik dapat menuntun pada kedua periode peningkatan dan periode penurunan denyut jantung (Pack, 2008).

Selama tidur NREM, ventilasi tidur menurun. Secara umum, ada penurunan dalam volume tidal ketika perubahan laju respirasi lebih bervariasi (Krieger et al., 1990). Ventilasi selama tidur REM secara konsisten lebih sedikit daripada saat keadaan terjaga. Ada perubahan dalam Selama tidur NREM, ventilasi tidur menurun. Secara umum, ada penurunan dalam volume tidal ketika perubahan laju respirasi lebih bervariasi (Krieger et al., 1990). Ventilasi selama tidur REM secara konsisten lebih sedikit daripada saat keadaan terjaga. Ada perubahan dalam

Aktivitas otot interkosta dan muskulus respiratori aksesorius berkurang bersamaan inhibisi general tonus otot skelet selama tidur REM. Resistensi saluran napas atas meningkat progresif dari stadium 1 ke stadium 2, 3, dan 4 fase tidur NREM. (Bradley dan Phillipson, 2005). Respon ventilasi terhadap hipoksia dan karbon dioksida menurun dalam fase tidur NREM dibanding keadaan terjaga. Penurunan lebih lanjut pada fase REM. (Pack, 2008).

Setelah stadium slow wave sleep terlewati, input respirasi mekanik berkurang dan pernapasan lebih diatur oleh sistem kontrol metabolik. Kontrol respirasi lebih stabil. Volume ventilasi per menit berkurang 1- 2 L

per menit, PCO 2 arteri meningkat 2-8 mmHg, dan PaO 2 arteri menurun 5-10 mmHg dibanding keadaan terjaga (Bradley dan Phillipson, 2005). Keadaan terbangun menghasilkan peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan ventilasi. Stimulus respirasi seperti oklusi saluran napas, peningkatan resistensi saluran napas, hipoksia, dan hiperkapnia dapat menuntun terbangun dari tidur. Stimulus respirasi yang utama untuk membangunkan adalah derajat usaha pernapasan (Pack, 2008).

c. Kuantitas dan kualitas Tidur Kualitas tidur menunjukkan kemampuan individu untuk tetap tertidur dan mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat. Kuantitas tidur c. Kuantitas dan kualitas Tidur Kualitas tidur menunjukkan kemampuan individu untuk tetap tertidur dan mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat. Kuantitas tidur

1) Pengaruh umur Pola tidur-bangun berubah sesuai bertambahnya umur. Pada masa neonatus, lama tidur sekitar 18 jam dan sekitar 50% adalah tidur REM.. Usia satu tahun lama tidur sekitar 13 jam dan 30% adalah tidur REM. Waktu tidur menurun tajam setelah itu. Dewasa muda membutuhkan waktu tidur 7-8 jam dengan NREM 75% dan REM 25%. (Amin, 2007).

2) Rutinitas harian dan Motivasi tidur Rutinitas yang variatif memengaruhi tidur. Pekerja shift malam dapat mengalami kesulitan tidur. Berdasarkan siklus sirkadian, tubuh mempersiapkan untuk tidur di malam hari dengan menurunkan suhu tubuh dan melepaskan hormon melatonin. Hasrat untuk tetap terjaga dan siaga membantu mengatasi rasa kantuk dan tidur. (Neubauer, 1999).

3) Aktivitas fisik dan latihan Aktivitas meningkatkan kelelahan dan mempromosikan relaksasi tidur. Hal ini terlihat bahwa aktivitas fisik meningkatkan tidur fase REM dan NREM (Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).

4) Kebiasaan konsumsi Minuman beralkohol dalam takaran sedang, terlihat menginduksi tidur. Namun, dalam jumlah besar membatasi tidur REM dan delta. Efek ini menerangkan fenomena hangover setelah minum alkohol berlebihan.

Kafein merupakan stimulator sistem saraf pusat. Untuk sebagian besar orang, minuman berkafein mengganggu kemampuan untuk tidur. Sebagai contoh, minuman kafein, kopi, teh, minuman kola, dan coklat.

Nikotin menstimulasi tubuh dan perokok sering mendapati kesulitan jatuh tidur. Perokok biasanya mudah terbangun dan tidur singkat. (Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).

5) Faktor lingkungan dan budaya Sebagian besar orang tidur terbaik saat berada dalam lingkungan rumah biasanya. Tidur di lingkungan baru dapat memengaruhi tidur REM maupun NREM. (Kaplan dan Sadock, 2000). Budaya, keyakinan, dan kebiasaan individu dapat memengaruhi tidur. (Saisan et al., 2008).

6) Stres psikologis dan Gangguan mental Situasi hidup dapat menyebabkan stress psikologis. Seseorang yang mengalami stress mungkin kesulitan mendapatkan jumlah tidur yang cukup sesuai kebutuhan dan jumlah fase tidur REM menurun cenderung meningkatkan ansietas dan stress (Saisan et al., 2008).

7) Penyakit Keadaan medis berefek pada struktur dan distribusi tidur. Kondisi seperti penyakit gagal jantung, hipertensi, osteoarthtritis, fibromyalgia, kejang nokturnal, stroke, parkinson, penyakit refluks gastroesofagus dll (Kaplan dan Sadock, 2000). Gangguan ini dapat membatasi kedalaman tidur maupun episode singkat terbangun (Saisan et al., 2008).

d. Gangguan Tidur

1) Macam Klasifikasi gangguan tidur yakni International Classification Disorder (ICSD) dan DSM IV. DSM-IV mengandung total 12 penyakit. Klasifikasi lengkap gangguan tidur DSM-IV pada lampiran 8. Ada empat golongan utama gangguan tidur menurut penyebab (Durand, 2007):

a) Gangguan tidur primer, meliputi disomnia dan parasomnia

b) Gangguan tidur karena kelainan mental

c) Gangguan tidur karena kondisi medis umum

d) Subtansi penginduksi gangguan tidur. International Classification of Disease membuat klasifikasi gangguan tidur karena hipoventilasi sebagai berikut: Gangguan tidur terkait hipoventilasi alveolar nonobstruktif idiopatik; Congenital Central Alveolar Hypoventilation Syndrome; Gangguan tidur terkait hipoventilasi karena patologi jaringan parenkim paru atau vascular; Gangguan tidur terkait hipoventilasi karena obstruksi saluran napas bawah; Gangguan tidur terkait hipoventilasi karena kelainan dinding dada dan neuromuscular (Casey et al., 2007)

e. Penatalaksanaan Terapi insomnia idealnya bertujuan memperbaiki kualitas dan kuantitas tidur dan kembali normalnya fungsi fisiologis tubuh pada jam e. Penatalaksanaan Terapi insomnia idealnya bertujuan memperbaiki kualitas dan kuantitas tidur dan kembali normalnya fungsi fisiologis tubuh pada jam

Penanganan gangguan tidur dilakukan dari berbagai segi yakni medis, lingkungan, dan psikologis. Langkah pertama untuk mengatasi insomnia sekunder terhadap gangguan medik atau psikiatrik adalah mengoptimalkan terapi terhadap penyakit yang mendasarinya (Amin, 2007).

1) Terapi non-Farmakologi Sebagian besar ahli dan guidelines merekomendasikan terapi insomnia diawali terapi nonfarmakologi (Morin, 2006; Leopando et al., 2003; Smith et al., 2002).

a) Cognitive behavior therapy Membantu mengubah keyakinan dan kebiasaan yang keliru tentang tidur (misal harapan yang tidak realistis dan miskonsepsi), teknik pelatihan (memahami tujuan hidup, menghadapi masalah, planning coping respons, reappraisal dan pergeseran perhatian).

b) Exercise intensitas sedang (sebaiknya tidak dilakukan sesaat sebelum tidur).

c) Terapi Relaksasi dengan melakukan penekanan dan relaksasi pada kelompok otot yang berbeda, biofeedback, visual dan auditory feedback untuk menurunkan rangsang somatik, meditasi, dan hinopsis.

d) Sleep Restriction (Paradoxical intention therapy) Menggunakan pendekatan paradoksikal yaitu pasien memanfaatkan waktu di tempat tidur yang terbatas (dikaitkan dengan lamanya waktu tidur). Waktu di tempat tidur selanjutnya ditingkatkan dengan atau dikurangi secara progresif, tergantung pada perbaikan atau perburukan kualitas dan lamanya tidur.

e) Terapi pengendalian rangsang dengan menghindari sinar lampu terang suara gaduh, dan suhu ekstrim, makan besar, kafein, rokok dan alkohol di malam hari

f) Temporal Control Measure dengan menerapkan waktu bangun yang konsisten, meminimalkan tidur / istirahat siang.

Durand (1988) dan Regestein (1990) menyarankan beberapa penerapan kebiasaan tidur yang baik antara lain:

a) Menetapkan rutinitas dan waktu bangun regular yang sama setiap hari

b) Batasi atau hentikan zat yang bekerja di SSP (kafein, nikotin, alcohol, stimulan) b) Batasi atau hentikan zat yang bekerja di SSP (kafein, nikotin, alcohol, stimulan)

d) Hindari tidur sekejap siang hari (kecuali menyebabkan tidur malam lebih baik)

e) Dapatkan kebugaran fisik dengan rajin olahraga pagi secara bertahap

f) Batasi aktivitas di kasur pada aktivitas membantu induksi tidur, hindari stimulasi malam seperti aktivitas berat, ganti televisi dengan radio, bacaaan santai

g) Kurangi suara keras dan cahaya di tempat tidur

h) Makan pada waktu yang teratur setiap hari dengan diet berimbang dan membatasi lemak ; hindari makan besar dalam jumlah besar sebelum tidur

i) Hindari perubahan suhu udara ekstem di kamar misal terlalu panas atau dingin j) Lakukan relaksasi malam seperti relaksasi otot progresif atau meditasi

2) Terapi Farmakologi Jika efek yang diharapkan adalah efek pengurangan gejala segera, maka pilihan pertama pada golongan hipnotik, terutama jika insomnia menimbulkan gangguan serius atau gejala tetap terjadi setelah diterapi terhadap penyakit yang mendasari (Dwiprahasto, 2010). Berikut terapi farmakologi untuk insomnia (Leopando et al., 2003; Cauffield, 2007).

a) Obat Hipnotik Golongan Benzodiazepin Benzodiazepin beraksi sebagai antagonis reseptor GABA dengan menurunkan latensi onset tidur dan ketahanan bangun setelah onset tidur. Benzodiazepin bermanfaat sebagai terapi jangka pendek insomnia. Penggunaan lebih dari 4 minggu meningkatkan risiko ketergantungan (kebutuhan kronis dan bersifat kompulsif serta fenomena putus obat). Benzodiazepin dapat menyebabkan depresi pernapasan, terutama pada pasien dengan penyakit pulmoner.

b) Obat Hipnotik Golongan Non Benzodiazepin Obat golongan non benzodiazepin berdampak minimal pada tahapan tidur dan tidak terjadi fenomena REM sleep rebound seperti benzodiazepin. Obat golongan ini untuk terapi insomnia antara lain: zolpidem, zaleplon, dan eszopiclon.

c) Barbiturat, Opiat, dan Antidepresan Fungsi barbiturat sebagai antagonis reseptor GABA menurunkan latensi onset tidur dan menekan tidur REM. Opiat memfragmentasi tidur dan menurunkan REM serta tidur stadium 2. Efek analgesia dan sedasi opiat mengatasi insomnia akibat nyeri. Antidepresan seperti amitriptilin, doksepin, tradozone, dan mirtazapin berefek sedasi dengan memblok asetilkolin, norepinefrin, dan serotonin. Antidepresan efektif untuk terapi pasien insomnia dengan dasar depresi. Ketiga jenis obat ini efektif untuk terapi jangka pendek insomnia (maksimal 2 c) Barbiturat, Opiat, dan Antidepresan Fungsi barbiturat sebagai antagonis reseptor GABA menurunkan latensi onset tidur dan menekan tidur REM. Opiat memfragmentasi tidur dan menurunkan REM serta tidur stadium 2. Efek analgesia dan sedasi opiat mengatasi insomnia akibat nyeri. Antidepresan seperti amitriptilin, doksepin, tradozone, dan mirtazapin berefek sedasi dengan memblok asetilkolin, norepinefrin, dan serotonin. Antidepresan efektif untuk terapi pasien insomnia dengan dasar depresi. Ketiga jenis obat ini efektif untuk terapi jangka pendek insomnia (maksimal 2

d) Agonis Reseptor Melatonin Ramelteon bekerja sebagai agonis reseptor melatonin diindikasikan perawatan insomnia yang dikaraktertistikkan oleh kesulitan jatuh tertidur.

3) Pemberian Suplemen dan Obat Herbal

Beberapa jenis bahan obat alam dan suplemen (seperti lavender, melatonin, akar valerian, St.John’s wort, niasin, glutamine, dan I- tryptophan dilaporkan membantu gejala insomnia (Buscemi et al., 2004).

4. Hubungan Asma dengan Tidur

Majde dan Kruger (2005) menyatakan sampai sekarang masih belum jelas apakah mengalami gejala asma akan mengganggu tidur atau sebaliknya kualitas tidur yang buruk berefek pada gejala asma. Janson et al. (1990) dan Bhagat et al . (1997) dalam Hanson dan Chen (2008) melaporkan individu asma mengalami tidur buruk dibandingkan normal. Akan tetapi, Chung et al. (2006) menunjukkan hubungan tidur yang buruk dengan peningkatan gejala asma.

Studi Keimpema et al. (1995) menunjukan individu dengan penyakit paru obstruksi kronis maupun asma sering mengeluhkan keluhan kesulitan induksi dan mempertahankan tidur, terbangun di pagi hari, kelelahan dan rasa kantuk Studi Keimpema et al. (1995) menunjukan individu dengan penyakit paru obstruksi kronis maupun asma sering mengeluhkan keluhan kesulitan induksi dan mempertahankan tidur, terbangun di pagi hari, kelelahan dan rasa kantuk

Gangguan respirasi selama tidur NREM mengganggu periode siklus normal REM sepanjang malam, mencegah progesivitas dan mengurangi total jumlah tidur REM. Padahal, ketika seseorang kekurangan tidur REM, maka akan merasakan tidur kurang nyenyak dan menimbulkan rasa kantuk berlebih (Punjabi et al., 2002). Studi Punjabi (2002) terhadap pasien gangguan tidur karena masalah pernapasan menunjukkan index apnea, hipopnea, derajat pemutusan tidur, dan derajat hipoksemia nokturnal berhubungan dengan peningkatan rasa kantuk di siang hari yang diukur dengan Multiple Sleep Latency Test secara independent.

Selain itu, asma sering memburuk pada malam hari atau dikenal dengan asma nokturnal. Turner-Warwick (1988) melakukan studi terhadap 7792 pasien asma, dilaporkan 74% terbangun dengan gejala asma paling sedikit sekali seminggu, 64% melaporkan gejala asma terjadi paling sedikit tiga malam per minggu, dan 40% dilaporkan mengalami gejala asma tiap malam serta 53% kematian asma terjadi antara tengah malam sampai jam 8 pagi. Pasien asma nokturnal digolongkan sebagai asma tidak terkontrol dan intensitas pengobatan disesuaikan dengan panduan yang dipublikasikan.

Pada asma, resistensi saluran pernapasan bawah meningkat secara progresif sepanjang malam dengan peningkatan lebih besar selama tidur. Hasil ini didukung dengan observasi bahwa onset serangan asma lebih sedikit pada Pada asma, resistensi saluran pernapasan bawah meningkat secara progresif sepanjang malam dengan peningkatan lebih besar selama tidur. Hasil ini didukung dengan observasi bahwa onset serangan asma lebih sedikit pada

Gejala asma nokturnal seperti batuk dispneu dapat mengganggu tidur. Pasien asma lebih sering mengalami rasa kantuk di siang hari (daytime sleepiness) dan mengeluh sulit jatuh tertidur atau sering terbangun lebih awal daripada subjek tanpa asma (Janson et al., 1996). Polisomnografi pada pasien asma nokturnal menunjukkan penurunan efisiensi tidur (waktu lama tidur dibanding waktu berada di kasur) dan meningkatkan frekuensi terbangun.

Pada beberapa pasien asma, variasi sirkadian dari fisiologi saluran napas memberikan peningkatan tercetusnya sleep disordered breathing antara tengah malam sampai jam 8 pagi. Proses yang mendasarinya diperkirakan berasal dari pengaruh proses inflamasi (Bender dan Leung, 2005).

Perubahan sitokin akibat asma berkontribusi pada perubahan tidur dengan mempengaruhi neurokimiawi otak yang meregulasi tidur. Majde dan Kruger (2005) menyatakan beberapa termasuk IL-4, IL-6, IL-1, dan TNF- α. Sitokin IL-

4 dan IL-1 meningkat pada pasien alergi yang berhubungan dengan peningkatan masa latensi untuk tidur REM dan merendahkan keseluruhan kualitas tidur. Studi Fang et al. (1997) juga menunjukkan IL-1 dan TNF- α meningkatkan intensitas dan durasi tidur NREM serta menahan tidur REM.

Teofilin secara umum dianggap sebagai pengobatan asma nokturnal yang efektif, terutama jika jadwal dosis pemberian dibangun untuk mencapai level puncak yang pada malam hari ketika pembatasan saluran napas terbesar (Barnes et al ., 1982). Akan tetapi, teofilin termasuk golongan metilxantin yang memiliki efek seperti kafein yakni mengganggu tidur.

Hasil penelitian Hanson dan Chen (2008) menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk memprediksikan gejala asma yang lebih parah keesokan harinya, nilai prediksi peak expiratory force (PEF) lebih rendah dan kadar keluaran kortisol harian yang lebih rendah.

5. Pittsburgh Sleep Quality Index

Buysse et al. mendesain suatu pengukuran kualitas tidur yang dikenal sebagai Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI didesain untuk menyediakan pengukuran kualitas tidur yang reliabel, valid, dan terstandardisasi. Tidak perlu pelatihan untuk penggunaan kuesioner tidur ini. Revisi terakhir pada tahun 2005 pada sistem penilaian PSQI (Rush et al., 2000).

Tujuan PSQI adalah mengukur kualitas tidur selama sebulan terakhir dan mengklasifikasikan sebagai kualitas tidur yang baik atau buruk. Beberapa dimensi yang tercakup dalam skoring PSQI adalah kualitas tidur subjektif, masa laten tidur, durasi tidur, kebiasaan efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat-obat tidur, dan disfungsi di siang hari (Buysse, 1989).

PSQI terdiri 19 pertanyaan. Pertanyaan untuk diri sendiri terdiri 15 pertanyaan pilihan ganda yang menanyakan tentang frekuensi gangguan tidur dan kualitas tidur subjektif serta 4 pertanyaan uraian yang menanyakan tentang jam

tidur, jam bangun, masa laten tidur, dan durasi tidur. Lima pertanyaan untuk pasangan tidur berupa soal pilihan ganda yang menilai gangguan tidur. Pertanyaan untuk diri sendiri saja yang dihitung dalam skor (Buysse, 1989).

Setiap komponen soal mempunyai rentang nilai antara 0 (jika tidak ada kesulitan) sampai 3 (nilai maksimum untuk kesulitan yang berat). Nilai-nilai tiap komponen dijumlahkan menghasilkan nilai total yang berkisar antara 0-21 (Buysse, 1989). Total nilai PSQI >5 menunjukkan kualitas tidur buruk yang signifikan dengan sensitivitas diagnostic 89.6% dan spesifitas 86.55 (kappa =

0.75, p kurang dari 0.001) (Backhaus et al., 2002).

B. Kerangka Pemikiran

ASMA

Efek Tidur · Ketidakcocokan

· Posisi telentang

V/Q · Irama Circadian

Kontrol Asma

· Sitokin IL-1,IL-4, · ↑resistensi

IL-6, TNF- α bronkus

· Hipoksia/ · ↓kerja mukosiliar

Hiperkapnia · ↓respon

· Efek Medikasi: pernapasan

bronkodilator,

Asma Nokturnal

Terbangun Tidur yang

Keterangan

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti : Memengaruhi

C. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: “Ada perbedaan kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dengan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.

BAB III METODE PENELITIAN

2. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu variabel bebas (faktor risiko) dan variabel tergantung (efek) diobservasi hanya sekali pada saat yang sama. (Taufiqurrahman, 2004).

3. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi Surakarta pada bulan April sampai Juni 2010

4. Subjek Penelitian

a. Populasi Penelitian Semua pasien asma yang memeriksakan diri di Poliklinik Paru maupun yang sedang dirawat inap di Bangsal Anggrek 2 RSUD Dr.Moewardi pada bulan April sampai Juni 2010.

b. Sampel Penelitian Setiap pasien asma yang memeriksakan diri di Poliklinik Paru maupun yang sedang dirawat inap di Bangsal Anggrek 2 RSUD Dr.Moewardi pada bulan April sampai Juni 2010 yang masuk dalam kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria ekslusi.

c. Kriteria Subyek Penelitian

a. Kriteria Inklusi:

1) Pasien berumur 18 tahun ke atas.

2) Pernah didiagnosis menderita asma oleh dokter ahli paru dalam berbagai derajat berat asma di RSDM Dr. Muwardi Surakarta

3) Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent.

b. Kriteria Eksklusi:

1) Menderita penyakit lain dengan diagnosis banding asma

2) Pasien yang buta huruf dan tidak bisa membaca

5. Teknik Sampling Pengambilan sampel dilakukan secara non probability sampling yakni purposive sampling dimana setiap yang memenuhi kriteria di atas dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu yang ditetapkan (Murti, 2006).

Jenis purposive sampling yang akan digunakan adalah fixed-exposure sampling. Fixed exposure sampling merupakan skema pencuplikan yang dimulai dengan memilih sampel berdasarkan status paparan subjek yang sudah fixed. (Murti, 2006).

Besarnya sampel ditetapkan dengan rumus uji beda proporsi:

Keterangan: α,β : Tingkat kemakmuran (α = 0,05 dan β = 0,2)

maka nilai Zα dan Zβ adalah 1,96 dan 0.842

P 1 : Proporsi efek standar dari pustaka

P 2 : Proporsi yang diteliti (clinical judgement)

P : ½ (P 1+ P 2 )

Q : 1-P

Dari hasil perhitungan rumus, besar sampel yang didapatkan adalah 89 sampel untuk tiap kelompok. Namun, karena keterbatasan waktu, maka penelitian ini hanya akan diambil 60 sampel yang terdiri dari 30 sampel kelompok yang diteliti dan 30 sampel kelompok kontrol. Hal ini telah sesuai dengan “Role of Thumb” atau patokan dasar umum, setiap penelitian yang datanya akan dianalisis secara statistik dengan analisis bivariat membutuhkan sampel minimal 30 subyek penelitian (Murti, 2006).

6. Rancangan Penelitian

Penderita Asma di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Mengisi kuissioner ACT

Asma Terkontrol Asma tidak terkontrol

Mengisi kuisioner PSQI Mengisi kuisioner PSQI

Kualitas tidur

Kualitas tidur

Kualitas tidur Kualitas tidur

Tabel 2x2

Analisis bivariat Uji Chi Square dan

Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda

Keterangan: ACT : Asthma Control Test PSQI : Pittsburgh Sleep Quality

7. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

: Kontrol asma menurut kriteria ACT

2. Variabel tergantung : Kualitas tidur menurut kriteria PSQI