Pembiayaan Infrastruktur oleh Perbankan
Pembiayaan Infrastruktur oleh Perbankan
Dalam melakukan pembiayaan infrastruktur, perbankan mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif antara lain :
1. Karakteristik Proyek Infrastruktur Dalam memberikan pembiayaan, Bank harus memahami karakteristik pembiayaan proyek infrastruktur antara lain :
a. Cost of Project yang relatif sangat besar sehingga memerlukan skema sindikasi/joint financing;
b. Tenor kredit secara umum berjangka panjang sehingga memiliki tingkat risiko yang tinggi;
c. Kebutuhan self-financing yang besar, sehingga hanya investor tertentu yang mampu memenuhi persyaratan tersebut;
d. Ketentuan tarif jasa infrastruktur termasuk penyesuaiannya harus jelas diatur dalam perjanjian kerjasama/kontrak;
e. Potensi terjadinya risiko over run cost, sehingga pada umumnya perbankan mensyaratkan adanya jaminan dari pemilik proyek untuk menanggung risiko tersebut;
f. Potensi terjadinya risiko inkonsistensi kebijakan di bidang infrastruktur (antara lain kebijakan tarif, kebijakan penjaminan dari Pemerintah).
Sesuai karakteristik proyek tersebut di atas, maka diperlukan komitmen Pemerintah dan/atau pemegang saham dalam hal :
a. Pembebasan lahan, diperlukan komitmen Pemerintah untuk menyelesaikan pembebasan lahan sesuai jadwal;
b. Komitmen/kepastian dari Pemerintah atas implementasi ketentuan/Undang – undang yang ada (misalnya kepastian kenaikan tarif tol);
c. Adanya komitmen/jaminan dari pemegang saham untuk menyelesaikan proyek (termasuk dalam hal terjadi cost over run) dan pemenuhan kewajiban/ pengembalian pinjaman kepada bank (termasuk dalam hal terjadi cash deficiency).
2. Jenis Pembiayaan Proyek
a. Corporate finance adalah pembiayaan proyek jangka menengah sampai panjang dengan agunan proyek yang dibiayai, dan sumber pelunasan berasal dari cash flow yang dihasilkan oleh perusahaan baik dari proyek yang dibiayai maupun proyek lainnya. Ukuran feasibility proyek ditentukan oleh seluruh instrumen yang ada dalam korporasi.
b. Project finance adalah pembiayaan proyek jangka menengah sampai panjang dengan agunan proyek yang dibiayai, dan sumber pelunasan berasal dari cash flow yang dihasilkan oleh proyek yang dibiayai. Ukuran feasibility proyek ditentukan oleh instrumen yang terdapat dalam proyek itu sendiri.
c. Public Private Partnership (PPP) merupakan government service/private business venture yang dibiayai dan dilaksanakan melalui kerjasama antara Pemerintah dan sektor swasta. Ukuran feasibility proyek ditentukan oleh instrumen yang terdapat dalam Proyek itu sendiri. Prakarsa Proyek dapat berasal dari Pemerintah atau Swasta. Proyek dapat dilakukan dengan atau tanpa Jaminan Pemerintah atau Subsidi Pemerintah.
3. Feasibility Proyek Beberapa metode finansial yang lazim digunakan dalam mengevaluasi feasibility proyek adalah:
a. Metode Payback Period Payback Period menunjukkan berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengembalikan suatu investasi. Payback Period diperoleh dengan cara membandingkan initial invesment dengan cash inflow. Berdasarkan Metode Payback period, proyek yang dinilai feasible adalah :
Apabila payback period lebih pendek dari suatu periode yang telah ditentukan, maka proyek tersebut diterima; Apabila payback period lebih panjang dari suatu periode yang telah ditentukan, maka proyek tersebut ditolak.
b. Metode Internal Rate of Return
Internal rate of return (IRR) merupakan rate of return yang digunakan untuk mengevaluasi kelayakan suatu investasi atau membandingkan profitabilitas suatu investasi dengan investasi lain. Evaluasi kelayakan investasi dilakukan dengan cara membandingkan IRR dengan tingkat bunga/pengembalian yang disyaratkan (required rate of return).
Apabila IRR lebih besar dari tingkat bunga/pengembalian yang disyaratkan, maka proyek tersebut diterima; Apabila IRR lebih kecil dari tingkat bunga/pengembalian yang disyaratkan, maka proyek tersebut ditolak.
c. Metode Net Present Value Net present value (NPV) merupakan selisih antara nilai sekarang dari arus kas di masa datang (present value of future cash flow) suatu investasi dengan jumlah investasi awal (initial investment). Berdasarkan Metode Net Present Value, proyek yang dinilai feasible adalah:
Jika NPV adalah positif, maka proyek diterima; Jika NPV adalah negatif, maka proyek ditolak.
d. Cashflow Projection Cashflow projection memberikan gambaran atas seluruh rencana penerimaan (cash inflow) dan pengeluaran (cash outflow) uang kas suatu proyek sejak masa pembangunan proyek hingga proyek beroperasi. Dengan menyusun proyeksi cashflow, Bank akan dapat mengevaluasi profitabilitas proyek dan kemampuan proyek dalam memenuhi kewajiban yang berkenaan dengan pembiayaan proyek, seperti pembayaran kembali pokok pinjaman maupun bunga, dari pendapatan setelah proyek mulai beroperasi ataupun dari sumber lainnya.
e. Cakupan Pembiayaan Infrastruktur Proyek infrastruktur yang dibiayai oleh perbankan mencakup antara lain sektor-sektor sebagai berikut : Sektor Pembangkit Listrik: pembangunan pembangkit listrik, transmisi, dan distribusi;
Sektor energi: pembangunan kilang migas, pipa/jaringan distribusi migas, rig/alat pengeboran migas; Sektor Transportasi: pembangunan jalan tol, jembatan, pelabuhan laut, dan bandara udara; Sektor Komunikasi: pembangunan jaringan komunikasi, Tower BTS; Sektor Sosial: pembangunan rumah sakit, perumahan, dan sekolah.
f. Jasa Perbankan Pada umumnya jasa perbankan yang dapat diberikan pada proyek infrastruktur antara lain: Bank Garansi/Counter Guarantee, Standby
L/C , Kredit Investasi, Kredit Modal Kerja, Forex Line, dan untuk pembiayaan kredit sindikasi jasa yang diberikan adalah: Arranger, Agen Fasilitas (Facility Agent), Agen Jaminan (Security Agent), Escrow Agent, Agen Pembayar (Paying Agent).
Pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari social overhead capital yang mutlak diperlukan untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi lainnya (Hirschman (1958). World Bank dalam suatu penelitian (1994) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen ternyata terkait erat dengan pertumbuhan ketersediaan pelayanan infrastruktur sebesar satu persen pula.
Berdasarkan kesimpulan dari suatu kajian yang dilakukan Bappenas (2005) bahwa untuk periode tahun 2005-2009 lalu diperkirakan akan terjadi kesenjangan pembiayaan (financing gap) antara kebutuhan investasi infrastruktur dengan kemampuan pembiayaan pemerintah sebesar Rp 266,7 triliun, atau sekitar US$ 31,4 miliar (saat itu satu US$= Rp 8.500,-) atau 43,49%. Infrastruktur dimaksud dalam kajian tersebut hanya meliputi: jalan, tenaga listrik, telepon, air minum dan sanitasi sebagaimana diperlihatkan tabel 6.1 dibawah.
Nisbah investasi pemerintah di bidang infrastruktur terhadap PDB pada periode 2005 –2009 pada studi tersebut diasumsikan konstan sebesar 2,33% setiap tahun. Sebagaimana kita ketahui belakangan bahwa menurut BPS RI (2011) bahwa PDB Indonesia (termasuk Migas) atas dasar harga konstan 2000 untuk tahun 2005-2009 adalah berturut-turut sebagai berikut: Rp 1750 Trilyun, Rp 1870 Trilyun, Rp 1964 Trilyun, Rp 2082 Trilyun dan Rp 2176 Trilyun (mengalami pertumbuhan 4,51%). Hasil studi tersebut pula merekomendasikan agar pemerintah menutupi kesenjangan tersebut dengan melakukan realokasi anggaran, yang lebih menitikberatkan kepada pembangunan infrastruktur; mengajak pihak swasta berperan aktif dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur atau membentuk suatu lembaga pembiayaan yang dapat mendanai proyek-proyek infrastruktur.