Sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI): Obyektivitas atau Subyektivitas

Referensi:

Buku:

Edman, Peter. 2005. Komunisme Ala Aidit. Center for Information Analysis

Falah, Miftahul. Tt. Pemberontakan Pki 1926 Di Kabupaten Lebak. Jurnal

Karso., Imran, A., dan Setiadi, Asep. Pelajaran Sejarah Untuk SMTA Kelas 3. Bandung: Penerbit Angkasa

Nurhabsyah. 2004. Pemberontakan PKI Di Silungkung Tahun 1927. Jurnal Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Sumatera Utara

Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1994. Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang Aksi, dan Penumpasannya. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia

Sudiyo. 2003. Arus Perjuangan Pemuda Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Rineka Cipta

Internet: http://www.mitrafm.or.id/

http://www.sejarahkita.comoj.com/jenny17.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Madiun

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia

[1] Mahasiswa Program S1 Pendidikan Sejarah pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin [2] Suatu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di Sumatera Barat, dimana haji Batuah merupakan salah seorang pengajarnya (Nurhabsyah, 2004).

[3] berisi perintah kepada cabang Padang supaya mengumpulkan uang derma yang dimaksudkan untuk membeli persenjataan yang akan digunakan untuk melakukan aksi pemberontakan

[4] Di Rangkasbitung, empat orang tokoh utama PKI, yakni Tjondroseputro, Atjim, Salihun, dan Thu Tong Hin ditahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada akhir bulan September 1926 (Falah, TT)

[5] Sebagian masyarakat Cina di Labuan dan Menes telah menjual senjata dan

amunisi kepada kaum pemberontak. Selain itu, ada juga orang Cina yang telah amunisi kepada kaum pemberontak. Selain itu, ada juga orang Cina yang telah

[6] Boven Digul adalah sebuah kamp tahanan di Papua (id.wikipedia.org) [7] Kebijaksanaan reorganisasi dan rasionalisasi angkatan perang (Re-Ra) guna

membersihkan anasir komunis dari tubuh angkatan perang. [8] Pada 18 September diumumkan melalui radio bahwa suatu pemerintahan Front Nasional yang baru telah terbentuk. (Ricklefs, 2005) [9] Semaun dan Tan Malaka menyayangkan pemberontakan karena beranggapan PKI masih lemah dan prematur. Sebaliknya Alimin, Darsono mendukung karena merasa massa(bangsa Indonesia) mendukung gerakan PKI (Sudiyo, 2003)

[10] Hal ini mengakhiri karirnya sebagai pemimpin PKI yang berlangsung hanya delapan puluh hari (Op cit) [11] Kekuatan pemerintahan seakan-akan tebagi menjadi tiga kubu, yakni Sukarno, PKI, dan AD [12] Telegram yang ditemukan dikantor keduataan Inggris yang diduga dikirim dari atasannya, didalam telegram terdapat kalimat yang menyatakan ada “orang dalam” yang mendukung Inggris, yang diterjemahkan oleh Aidit sebagai Angkatan Darat (SNRI, 1994)

Komentar:

nanang mengatakan... Coret-coret memang perlu, tapi untuk mencorat-coret sejarah PKI, musti jeli dan

kritis gan..Kolonial dan PKI itu induknya sama lho yaitu filsafat materialisme, sehingga tidak benar jika peristiwa 1926, 1948 adalah penyerangan PKI terhadap kantor-kantor pemerintah..Menurut bukunya M. As'ad Ali, di masa itu PKI membuat agitasi/propaganda luar biasa untuk menebar ketakutan dengan menghancurkan surau, merampok, membunuh dll...

Kamis, 19 Februari, 2015 Kang David Blitar mengatakan...

Jika pemberontakan PKI 1948 dan 1965 berhasil , semua yang tidak sepaham akan dihabisi dari Indonesia. Sebagaimana korban pembantaian oleh PKI adalah mereka yang tidak sepaham dengan PKI , kemudian dibantai dan dibunuh oleh PKI. Bukti bukti ada di monumen yang ditemui di Madiun Dungus , Magetan dan tempat lain. Korbannya para Kyai , Ulama , Tokoh masyarakat , Pejabat , dsb. Kemungkinan ini yang mengakibatkan sebagian besar rakyat terdiri dari beberapa golongan memusuhi PKI sehingga pembantaian balik terjadi 1965. Lihat juga hasil penelitian Jawa Pos. Itu kejadian yang sudah terjadi. Lebih baik yang sudah , sudah selesai . Bentuk Negara sudah finish yaitu NKRI dg UUD 1945. Sekarang tinggal menjaga bagaimana hal itu jangan sampai terulang , kita bekerja untuk Indonesia. Jangan diungkit lagi akan timbul, gejolak luar biasa . Biarkan jadi Jika pemberontakan PKI 1948 dan 1965 berhasil , semua yang tidak sepaham akan dihabisi dari Indonesia. Sebagaimana korban pembantaian oleh PKI adalah mereka yang tidak sepaham dengan PKI , kemudian dibantai dan dibunuh oleh PKI. Bukti bukti ada di monumen yang ditemui di Madiun Dungus , Magetan dan tempat lain. Korbannya para Kyai , Ulama , Tokoh masyarakat , Pejabat , dsb. Kemungkinan ini yang mengakibatkan sebagian besar rakyat terdiri dari beberapa golongan memusuhi PKI sehingga pembantaian balik terjadi 1965. Lihat juga hasil penelitian Jawa Pos. Itu kejadian yang sudah terjadi. Lebih baik yang sudah , sudah selesai . Bentuk Negara sudah finish yaitu NKRI dg UUD 1945. Sekarang tinggal menjaga bagaimana hal itu jangan sampai terulang , kita bekerja untuk Indonesia. Jangan diungkit lagi akan timbul, gejolak luar biasa . Biarkan jadi

Senin, 09 Mei, 2016

Pemberontakan PKI Madiun 1948: (1) Hatta dan Oposisi

http://jejakislam.net/pemberontakan-pki-madiun-1948-1-hatta-dan-oposisi/ - diakses 24- 09-2017

Pasca Indonesia merdeka, politik di tanah air terus bergerak dinamis.Kabinet naik dan jatuh karena persoalan politik.Persoalan semakin rumit ketika Belanda melancarkan serangan militernya ke Indonesia.Upaya diplomasi dilakukan, termasuk melalui perjanjian Renville yang ditandatangani Perdana Menteri Amir Syarifoedin dari sayap kiri. Namun sebuah peristiwa pemberontakan akan mengguncang republik yang baru lahir, yaitu pemberontakan di Madiun 1948.

Peristiwa Madiun 1948 boleh dibilang puncak konflik politik antara sayap kanan dan sayap kiri.Ini berawal dari perjanjian Renville. Kala itu, pemerintah Indonesia meminta Belanda menyetop agresi militernya yang pertama. Belandamenyetujui namun dengan syarat. Salah satunya tidak mengubah Garis Van Mook. Garis Van Mookadalah batas kekuasaan yang wilayahnya diklaim oleh mereka. Padahal ada wilayah Indonesia di sana. Belanda juga mengancam, jika dalam waktu tiga hari syarat-syaratnya tidak dipenuhi, maka perundingan dihentikan. Bahkan desas-desusnya bakal dilancarkan agresi yang lebih besar.

Mendapat ancaman demikian, pemerintah geram. Kabinet Amir Sjarifoeddin sepakat menolak tuntutan Belanda. Tapi belakangan, perdana menteri Amir ingkar. Tokoh sayap kiri ini malah menerimanya. Mengetahui hal ini, partai besar seperti PNI dan Masyumi, serta golongan pengikut Sjahrir mundur dari kabinet. Meski begitu, Amir, bukan tanpa alas an. Ia berada dalam posisi dilematis. Jika menuruti kemauan Belanda, wilayah Indonesia akan semakin kecil. Tetapi jika tidak dituruti dan terjebak dalam keharusan perang, kemungkinan besar banyak rakyat yang menjadi korban dan hidupnya menderita, karena amunisi saat itu kurang, semangat angkatan perang dan rakyat sudah patah, dan Mendapat ancaman demikian, pemerintah geram. Kabinet Amir Sjarifoeddin sepakat menolak tuntutan Belanda. Tapi belakangan, perdana menteri Amir ingkar. Tokoh sayap kiri ini malah menerimanya. Mengetahui hal ini, partai besar seperti PNI dan Masyumi, serta golongan pengikut Sjahrir mundur dari kabinet. Meski begitu, Amir, bukan tanpa alas an. Ia berada dalam posisi dilematis. Jika menuruti kemauan Belanda, wilayah Indonesia akan semakin kecil. Tetapi jika tidak dituruti dan terjebak dalam keharusan perang, kemungkinan besar banyak rakyat yang menjadi korban dan hidupnya menderita, karena amunisi saat itu kurang, semangat angkatan perang dan rakyat sudah patah, dan

Gambar 1. Amir ketika perundingan Renville. Sumber foto: Majalah Prisma 8 Agustus 1977

Ditinggal pergi Masyumi dan PNI, membuat kabinet Amir dalam krisis. Tinggal partai sayap kiri yang menyokongnya. Namun hal ini tak bertahan lama, Amir akhirnya mundur juga. Kabinetnya pun bubar. Presiden Soekarno lalu menunjuk Hatta sebagai Perdana Menteri. Tugas Hatta sangat berat. Ia harus menanggung akibat tanda tangan Amir dan berunding lagi dengan Belanda untuk memperbaki keadaan. Segera Hatta menyusun kabinet.Iaberusaha membentuk “pemerintah nasional” dan memasukkan semua partai besar ke dalam kabinetnya. Kesempatan ini diincar sayap kiri. Kemudian Hatta didukung sebagai Perdana Menteri, agar mereka mendapatkan kursi. Mereka menuntut empat kursi kepada Hatta, dengan syarat Amir sebagai Menteri Pertahanan. Partai Masyumi dan PNI yang tahu akan hal ini, menolak masuk kabinet jika tuntutan itu dipenuhi Hatta. Masyumi, khususnya, menolak Amir menjadi Menteri Pertahanan, karena dahulu, sewaktu Amir di posisi itu, ia menggunakan dana jabatannya untuk membangun kelompok pribadi dari kalangan militer. Akhirnya Hatta menyusun kabinetnya tanpa sayap kiri.[2]

Karena tak mendapat kursi di Kabinat Hatta, sayap kiri kecewa. Mereka berubah menjadi oposisi. Sayap kiri berusaha mengganti kabinet Hatta. Sjahrir, rekan Amir di Partai Sosialis, tidak setuju dengan cara tersebut. Akibat hal ini dan perbedaan lainnya dengan kubu Amir, Sjahrir keluar dari Partai Sosialis dan koalisi sayap kiri. Ia lalu membentuk Partai Sosialis Indonesia. Sejak itu, Partai Sosialis dipimpin Amir, Tan Ling Djie, dan

Awalnya, satu-satunya dasar oposisi sayap kiri adalah tuntutan agar kabinet presidensial Hatta diganti dengan kabinet parlementer. Dalam kabinet parlementer, Partai Sosialis (partai pusat sayap kiri) berharap mendapatkan posisi yang kuat. Mereka tetap setuju dengan pelaksanaan perjanjian Renville. Pada rapat umum di Surakarta tanggal 26 Februari, koalisi sayap kiri berganti nama jadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Amir menjadi ketuanya. Ia lebih menekankan pada kepentingan buruh dan petani.Dua Minggu setelahnya, program FDR mengalami perubahan dasar. Para anggota dari FDR (Partai Sosialis, Partai Buruh, dan Pesindo) dan perkumpulan yang terkait erat dengan FDR, yakni Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), kini, menuntut dibatalkannya perjanjian Renville, penghentian negosiasi dengan Belanda sebelum mereka mengundurkan diri dari Indonesia, dan nasionalisasi kepemilikan Belanda dan orang asing lainnya tanpa ganti rugi. [4] Hal ini menjadi kontradiktif, karena yang menandatangani perjanjian Renville adalah Amir sendiri. Kemudian ia mau membatalkannya.

Hubungan kabinet Hatta dengan FDR makin panas. Hatta mencoba berunding dengan Amir, menawarkan kursi kepada FDR tetapi menemui jalan buntu. Dalam Memoir-nya, Hatta, menjelaskan, “Waktu pertama kali aku menawarkan kursi kepada FDR, Amir Sjarifuddin meminta 10 kursi dengan alasan, bahwa partainya sudah berpengalaman melawan Belanda. Aku menjawab, paling banyak aku dapat menerima dua orang dalam pemerintahan koalisi. Amir Sjarifoeddin menjawab, bahwa paling sedikit ia hanya mau mendapat delapan kursi dalam kabinet koalisi dan dikehendakinya yang terutama pula. Bagi dia sendiri, dia meminta Kementerian Pertahanan dan bagi kawan-kawannya terutama Kementerian Perburuhan dan Sosial, Kementerian Kemakmuran, Kementerian Pembagian Makanan, Kementerian Penerangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, Kementerian P.D.K (Pendidikan dan Kebudayaan –red), Kementerian Kehakiman dan Kementerian Dalam Negeri. Kujawab, bahwa sementara aku tidak mau menawarkan lebih dari satu kursi.Mr. Amir Sjarifoeddin menolak dan perundingan kami gagal. Kuberi dia tempo dua hari untuk memikirkannya. Pada hari penghabisan, datang lima orang daripada kawan-kawannya menyampaikan jawaban, tetapi mereka tetap menuntut 9 atau 10 kursi. Aku menjawab satu kursi atau sama sekali tidak. Akhirnya kukatakan, kutunggu jawaban mereka yang penghabisan, paling lambat jam 11 tengah malam, sebab jam 12 tengah malam susunan kabinet harus selesai dan terus diumumkan. Jam 11 tengah malam mereka kembali dengan delapan orang dan terus meminta paling sedikit sembilan kursi kementerian. Jawabku tetap, atau tidak dan sekarang juga mereka jawab.Kalau tidak, pintu tertutup dan mereka puang saja. Kusuruh pelayan dan pengawalku lima orang menutup pintu. Mereka melaksanakan perintahku dan pemimpin-pemimpin FDR mereka tarik keluar. Dari sikap FDR itu aku sudah merasa, bahwa mereka akan mengadakan sabotase. Pendapatku sudah bulat, aku akan menerima satu orang dari antara mereka dan yang seorang itu ialah Mr. Amir Sjarifuddin sendiri, tapi tidak untuk Kementerian Pertahanan. Menteri Pertahanan akan kurangkap sendiri, sebab Sultan Hamengkubuwono mengatakan, bahwa ia tidak

Gambar 2.Mohammad Hatta. Sumber foto: Koleksi online Tropen Museum

Hatta, seperti Amir sebelumnya, merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan.Keesokan harinya susunan kabinet diumumkan. Di Kabinet Hatta, kursi dominan diduduki Masyumi dan PNI. Selain itu ada juga partai Katolik dan Kristen. Empat butir program diumumkan Hatta ke kabinetnya. Pertama pelaksanaan perjanjian gencatan senjata Renville dan prinsip-prinsip politik serta kelanjutan negosiasi-negosiasi dengan Belanda melalui Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB (KTN). Kedua, mempercepat pembentukan Republik Indonesia Serikat yang demokratis dan berdaulat. Ketiga, rasionalisasi ekonomi dan angkatan darat Republik. Keempat, perbaikan kerusakan yang ditimbulkan oleh perang dan pendudukan Jepang.

FDR yang harus pulang dengan tangan hampa, tak menyerah. Mereka terus menekan pemerintah. FDR bersikukuh meminta posisi penting atau bahkan kalau mungkin membubarkan kabinet Hatta. Demi itu, mereka sekarang siap menempuh jalan revolusioner. Mereka punya dua kekuatan besar: tentara dan buruh. Dahulu sewaktu Amir jadi Menteri Pertahanan, ia bangun kekuatan pribadi di TNI angkatan darat. Mayoritas perwira penting yang disponsorinya setia dengannya. Amir dan orang- orangnya tahu lokasi persembunyian senjata dan bahan peledak yang ditaruh di daerah- daerah pegunungan untuk menghadapi agresi Belanda. Jika mau melawan pemerintah, ia hanya perlu mengambilnya. Lebih dari itu, ia juga membangun organisasi TNI Masyarakat, yang membantu TNI angkatan darat. Di kalangan buruh, FDR punya SOBSI, organisasi buruh terbesar di Indonesia.Jumlah anggotanya 200.000-300.000 orang. Meski begitu, mayoritas anggota relatif pasif beroposisi ke pemerintah.[6] Pemerintahan Hatta betul-betul terjepit. Selain dirongrong FDR, kondisi ekonomi dan militer negara bermasalah pula. Waktu itu, ada satu juta orang pengungsi yang melarikan diri ke wilayah Indonesia. Mereka terdiri dari buruh terampil dan semi terampil. Dari sisi

terampil dibandingkan pekerjaan yang tersedia. Di samping itu, ada sekitar 200 ribu pasukan, yang senjata dan amunisinya tidak memadai. Mengatasi masalah-masalah ini, Hatta membuat program tak populer, yaitu rasionalisasi atau dikenal dengan ReRa (Rekonstruksi dan Rasionalisasi). ReRa ini bertujuan, “memperbaiki susunan dan alat negara dan mencapai sedikit keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran negara.”[7] Di depan Badan Pekerja Parlemen pada 16 Februari 1948, Hatta berpidato, “Perihal pendapatan negara tidak dapat menutup pengeluaran bukanlah sesuatu yang pantas diherankan. Akan tetapi selisih itu dapat diperkecil dengan rasionalisasi yang bijaksana, yaitu dengan memindahkan buruh dari pekerjaan yang tidak produktif ke aktivitas yang produktif. Pemindahan buruh ini tidak akan langsung menunjukkan suatu penurunan dalam pengeluaran negara, bahkan pada permulaan kemungkinan yang terjadi adalah sebaliknya karena untuk menciptakan perusahaan-perusahaan yang produktif dibutuhkan persiapan dan penanaman modal untuk menjalankannya. Akan tetapi, begitu persiapan selesai, buruh produktif akan mulai menghasilkan keuntungan dan pendapatan negara akan meningkat…. Istimewa terhadap angkatan perang kita, rasionalisasi harus dilakukan dengan tegas dan njata, karena disinilah banjak terdapat pemakaian tenaga jang tidak lagi produktif untuk masa datang. Kalau tidak, kita akan mengalami inflasi jang sebesar-besarnja, jang memusnahkan hidup rakjat… Bagi setiap pekerja yang harus diberhentikan karena kelebihan pegawai, sebuah

Hatta menyebut, yang disampaikannya tadi sifatnya menjabarkan mosi Baharudin dalam Badan Pekerja KNIP pada tanggal 20 Desember 1947. Dan mosi ini telah diterima oleh badan itu ketika Amir masih menjabat perdana menteri.[9] ReRa di tubuh tentara menyebabkan jumlah anggotanya tinggal 160 ribu orang. Jumlah ini diharapkan bisa berkurang lagi sampai 57 ribu orang pasukan tetap. Bagaimana nasib tentara yang diberhentikan? Hatta menempuh tiga cara. Pertama, melepaskan mereka yang sukarela kembali ke pekerjaan lama. Ada yang kembali jadi guru, partikelir, dan lain-lain. Kedua, menyerahkan mereka ke Kementerian Pembangunan dan Pemuda untuk dilatih dan dipekerjakan di berbagai badan atau obyek usaha seperti penggergajian kayu dan pembuatan barang-barang kayu. Ketiga mengembalikan seratus ribu orang ke masyarakat desa untuk bertani.[10]

Bagi FDR, program rasionalisasi ini punya dua konsekuensi. Begitu dijalankan pada permulaan Maret 1948, program ini mengakibatkan pengikisan terhadap basis kekuatan FDR di dalam angkatan darat. Meskipun pada beberapa bulan pertama hanya tipis, pengikisan ini menjadi besar ketika program tersebut mendapatkan momentum. Dengan terselenggaranya pertahanan wilayah yang berbasis petani itu. TNI masyarakat dibubarkan. Selain itu dengan penyusunan ulang angkatan darat tetap, tidak ada kepastian bahwa kedudukan-kedudukan penting akan jatuh ke tangan para perwira yang dulu disponsori Amir.

Di lain pihak, ketidakpuasan banyak pasukan yang diberhentikan paling sering ditujukan kepada pemerintah, dan sering kali kecenderungan mereka adalah meminta bimbingan FDR, yang mengumumkan oposisi kuat mereka terhadap setiap pemberhentian Angkatan Di lain pihak, ketidakpuasan banyak pasukan yang diberhentikan paling sering ditujukan kepada pemerintah, dan sering kali kecenderungan mereka adalah meminta bimbingan FDR, yang mengumumkan oposisi kuat mereka terhadap setiap pemberhentian Angkatan

Dalam Angkatan Darat sendiri, pelaksanaan rasionalisasi ditentang sebagian kalangan. Bagi banyak perwira, program ini menyebabkan mereka kehilangan martabat dan kekuasaan yang sukar mereka dapatkan. Terlepas dari kepentingan-kepentingan pribadi, beberapa di antara mereka menganggap program ini salah dan betapa pun kurangnya perlengkapan, unit-unit militer tidak boleh dibubarkan, menurut mereka. Demikian pula, sulit untuk menjelaskan para prajurit dari satu unit bahwa mereka kurang terlatih baik bila dibandingkan unit lainnya, dan sebagai akibatnya, mereka harus dibubarkan serta menyerahkan senjata mereka kepada unit lain. Selain itu, banyak prajurit dan perwira yang diberhentikan merasa tidak yakin bahwa pemerintah akan memberi ganti pekerjaan yang mereka sukai.

Meski begitu, rasionalisasi jalan terus. Sekarang perhatian utama pemerintah merasionalisasi Angkatan Darat sudah bulat. Daerah Solo yang sulit dikuasai mendapat perhatian paling besar. Di sini, tentara Divisi Senopati yang hanya berkekuatan lima ribu orang, menunda-nunda dan menolak diberhentikan, atas perintahnya sendiri. Kelak ini memicu konflik.[11]

Sementara itu, FDR terus memaksa kabinet Hatta mengundurkan diri, lalu digantikan dengan suatu kabinet parlementer di mana FDR dapat menguasai posisi-posisi penting. Sejak Mei, FDR memulai suatu program dua sisi untuk mencapai tujuan akhir ini. Pertama, melemahkan dan mencemarkan nama baik pemerintah melalui pemogokan- pemogokan yang meluas di kalangan buruh kota dan buruh perkebunan. Program ini berhasil mengadakan pemogokan serius yang melibatkan 20 ribu pekerja perkebunan di daerah penanaman kapas di Delanggu. Pemogokan berlangsung sejak pertengahan Mei hingga pertengahan Juni. Mereka menuntut agar buruh tetap dan buruh lepas diberikan gaji 3 meter kain dan 20 kilogram (maksimal 35 kilogram) beras sekeluarga per bulan, selain uang. Masalah ini begitu krusial sehingga Hatta sampai perlu turun langsung menyelesaikannya. Mengingat ladang kapas di situ sebagai sumber utama bahan mentah untuk industri tekstil Indonesia. Terlebih saat itu sedang dikepung Belanda. Tentu produksi tekstil dalam negeri jadi sangat penting.Di samping itu, ada keributan pula. SOBSI sempat mengeroyok petani-petani Sarikat Tani Islam Indonesia yang tidak ikut mogok. Pasukan Hizbullah juga melawan para pemogok. Akibatnya beberapa pemogok jadi korban.[12]

Kedua, program FDR berpusat pada gagasan meningkatkan kesatuan nasional, suatu gagasan yang dapat diterima sepenuhnya oleh semua partai politik. Mereka membuat konsep “Program Nasional” yang akan menjadi kesepakatan umum antara semua partai politik, termasuk FDR. Bila hal ini tercapai, para pemimpin FDR merasa bahwa mereka Kedua, program FDR berpusat pada gagasan meningkatkan kesatuan nasional, suatu gagasan yang dapat diterima sepenuhnya oleh semua partai politik. Mereka membuat konsep “Program Nasional” yang akan menjadi kesepakatan umum antara semua partai politik, termasuk FDR. Bila hal ini tercapai, para pemimpin FDR merasa bahwa mereka

Gambar 3. Pertemuan perundingan penyelesaian pemogokan di Delanggu. Tampak Perdana Menteri Moh. Hatta dan Menteri Penerangan Moh Natsir dari Masyumi. Sumber foto: HarSin Po 22 Juli 1948

Sayangnya, kedua strategi mereka gagal. Pemerintah bersedia menerima tuntutan- tuntutan buruh. Dan pemogokan ditentang keras oleh golongan kiri di bawah pimpinan Tan Malaka. Mereka tergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Tanggal 18 Juli pemogokan Delanggu dihentikan.

Bersambung ke bagian 2: Kembalinya Moesso

Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Artikel ini adalah kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

[1] Sin Po, 11 September 1948; Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim

Komunitas Bambu. 2013. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok:Komunitas Bambu;Soetanto,Himawan.2006. Madiun dari Republik ke Republik.Jakarta:Kata Hasta Pustaka

[2] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid [3] Ibid

[5] Hatta, Mohammad. 1979. Memoir. Jakarta: Tinta Mas Indonesia [6] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid [7] Koran Merdeka, 9 September1948 [8] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu,Ibid dan

Koran Merdeka, 9 September1948 [9] Noer,Deliar. 1990. Mohammad Hatta:Biografi Politik. Jakarta:LP3ES [10] Koran Merdeka 10 September 1948, Hatta, Mohammad, Ibid.Kahin, George

McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu,Ibid, dan Noer, Deliar.1990. Mohammad Hatta:Biografi Politik. Jakarta:LP3ES

[11] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid [12] Ibid,Soetanto,Himawan. Ibid, dan Gie, Soe Hok. 2005. Orang-orang di

Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta:Bentang [13] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid

Pemberontakan PKI Madiun 1948: (2) Kembalinya Moesso

http://jejakislam.net/pemberontakan-pki-madiun-1948-2-kembalinya-moesso/ - diakses 24-09-2017

Kembalinya Musso ke tanah air membawa perubahan. Sayap kiri dipersatukan di bawah PKI/FDR dan menjadi oposisi terhadap pemerintahan Hatta. Di Solo suasana mulai memanas. Konflik antara tentara Republik Indonesia memakan korban. FDR segera bereaksi keras.

Pemerintah Hatta secara resmi juga menerima Program Nasional FDR, yang dalam banyak hal sebenarnya hampir tidak berbeda dengan program yang sudah dibuatnya. Dengan begitu, partai-partai besar lain kemudian menarik kesimpulan bahwa kabinet Hatta tidak perlu diganti susunannya.[1] Meski gagal, FDR terus menyerang pemerintahan Hatta. Serangan mereka mendapat angin baru. Secara mengejutkan, pada 22 Mei 1948, Suripno, seorang anggota Central Comitee PKI, menukar nota dengan Silin, seorang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Soviet untuk Cekoslowakia. Nota itu berisi pembukaan hubungan diplomatik dan pertukaran konsul di antara Indonesia dan Soviet. Pemerintah Hatta seperti ditusuk dari belakang oleh Suripno lantaran hal itu bertentangan dengan perjanjian Renville. Di poin pertama perjanjian Renville dikatakan kedaulatan di seluruh wilayah kepulauan Indonesia berada dalam kekuasaan Kerajaan Negeri Belanda. Sehingga Indonesia dilarang mengadakan hubungan luar negerinya sendiri.

Tapi Suripno mengaku melakukannya karena mendapat mandat dari Presiden Sukarno dan Wakil Menteri Luar Negeri, Tamzil, untuk negosiasi dengan Soviet. Memang benar Tapi Suripno mengaku melakukannya karena mendapat mandat dari Presiden Sukarno dan Wakil Menteri Luar Negeri, Tamzil, untuk negosiasi dengan Soviet. Memang benar

Meski pemerintah Hatta menampik perjanjian dengan Soviet, tapi FDR melancarkan propaganda agar pemerintah meratifikasi perjanjian dengan Soviet yang dianggapnya ‘jago anti imperialis.’ Mereka mengklaim Soviet sudah bersumpah mau mengirim bantuan material kepada Indonesia begitu pembentukan Konsulat Soviet sudah membuka jalur-jalur dagang. Selain itu beberapa anggota FDR menggambarkan pesawat-pesawat dan kapal-kapal Soviet menerobos blokade laut Belanda dengan tujuan membawa senjata dan amunisi untuk republik. Propaganda ini ditentang oleh para tokoh Sayap kanan dan moderat. Dan pada akhirnya, pemerintah Indonesia tidak meratifikasi perjanjiandengan Soviet. Dan hubungan di antara kedua negara itu pun tak terjalin.[2]

Gambar 4. Suripno. Sumber foto: Koran Sin Po 30 Agustus 1948

Kembalinya Moesso ke Indonesia

Atas ulahnya, Suripno diminta pulang oleh Hatta ke Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada 3 Agustus 1948 sebuah pesawat terbang yang membawa Suripno dan seorang yang diakui sekretarisnya dahulu di Praha, mendarat di Bukit Tinggi. “Sekretarisnya” yang belakangan diketahui ternyata Musso, seorang Tokoh PKI, mengirim sepucuk surat kepada seorang teman yang ditahan oleh pemerintah, bahwa ia akan segera membentuk kabinet. Pada 11 Agustus, Suripno dan Musso terbang ke Yogyakarta. Suripno lalu menyerahkan teks perjanjian dan menjelaskan perjanjian yang telah dilakukannya dengan Uni Soviet ihwal pertukaran konsul. Di Yogyakarta, Moesso dan Soeripno diterima oleh Soekarno. Dalam pertemuan itu, Soekarno meminta Moesso memperkuat negara dan melancarkan revolusi. “Itu memang kewadjiban saja. Ik kom hier om orde te scheppen!”(Saya datang di sini untuk menertibkan keadaan!),” kata Musso.[3]

Kemudian Moesso bertemu Hatta. Ia mengusulkan agar perjanjian Renville tidak usah dilaksanakan. Mendengar itu Hatta bilang, “Dalam melaksanakan perjanjian Renville banyak sekali perbedaan pendapat antara delegasi pemerintah dengan delegasi Belanda. Ada kemungkinan Belanda menarik diri dan Belanda mengadakan aksi militer lagi. Dan dengan sendirinya, masalah itu kembali ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan itu kita makin dekat dengan penyerahan

Kembalinya Musso bagi gerakan komunis di Indonesia mempunyai arti politis. Sebab ia membawa garis komunis internasional yang lazim disebut Garis Zhdanov. Garis ini menyatakan bahwa kerja sama dengan kaum imperialis tidak perlu dilanjutkan lagi dan partai-partai komunis harus mengambil garis keras dan memimpin perjuangannya di negara masing-masing. Kedatangan Musso disambut antusias oleh kalangan anggota dan pimpinan PKI. wajar karena golongan kiri saat itu sedang patah semangat karena kehilangan kekuasaan dan mengalami tantangan berat melawan Hatta. Dengan demikian hadirnya Moesso dianggap sebagai kedatangan tokoh internasional yang sangat dibutuhkan.[5]

Moesso kemudian mengkritik FDR atas berbagai kesalahan politik dan organisasi yang dibuatnya:

1. Para pemimpin FDR tidak menempuh jalan anti imperialis yang konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu revolusi Indonesia terdorong selalu pada kedudukan defensi (bertahan)

2. Pimpinan revolusi tidak terpegang oleh tangan-tangan kelas buruh

3. Partai yang berdasarkan Marxisme ada beberapa buah, yaitu PKI, PBI, dan Partai Sosialis. Ini memecah kekuatan. Karenanya ketiganya harus dipersatukan menjadi satu partai saja, dengan nama Partai Komunis Indonesia (PKI).[6]

Dalam konferensi partai tanggal 26-27 Agustus 1948, kecaman ini diterima dan

“Jalan Baru” mengajukan tuntutan-tuntutan politik dan hubungan luar negeri yang tinggi. Kaum komunis menuntut kemerdekaan yang penuh, merdeka 100 %, dan untuk memperjuangkan ini kepemimpinan revolusi nasional harus berada di tangan komunis, sebagai partai buruh yang terbesar, bukan pada kaum borjuis komprador yang tidak dapat dipercaya. Indonesia harus bersatu dengan Uni Soviet, karena Uni Soviet adalah pelopor dalam perjuangan melawan blok imperialis yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sudah cukup jelas bahwa Amerika Serikat menggunakan Belanda untuk memerangi Indonesia yang demokratis.

Gambar 5. Muso. Sumber Foto: Koran Merdeka 1948

Pada tanggal 31 Agustus 1948, Moesso berhasil membuat perubahan-perubahan organisasi PKI secara signifikan. Menindaklanjuti rencana PKI yang telah disepakati di dalam konferensi PKI tanggal 26-27 Agustus 1948, PKI mengumumkan bahwa Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis menyatukan diri dengan PKI, dan membubarkan FDR. Susunan Politbiro PKI lalu diumumkan tanggal 1 September 1948 dengan formasi sebagai berikut:

Sekretaris Jenderal: Moesso, Maruto Daroesman, Tan Ling Djie, dan Ngadiman Sekretaris Buruh: Adjidarmo Tjokronegoro, Aidit, Soetrisno Sekretaris Pemuda: Wikana dan Soeripno Sekretaris Wanita: sementara di bawah Sekretaris Jenderal Sekretaris Pertahanan: Amir Sjarifoeddin Prop. Agitasi: Lukman, Alimin, dan Sardjono Sekretaris Organisasi: Soedisman Sekretaris Hubungan Luar Negeri: Soeripno Sekretaris Urusan Perwakilan: Nyoto Sekretaris Urusan Kader: sementara di bawah Sekretaris Jenderal Sekretaris Keuangan: Roeskak PKI yang semula beranggotakan 3 ribu orang, mendadak menjadi Partai Besar dengan

jumlah anggota 30 ribu orang, setelah Partai Sosialis dan Partai Buruh bergabung. Musso berhasil memecah belah FDR yang tidak solid dan mengubahnya menjadi organisasi komunis yang dapat dikendalikan secara sentral.

Moesso menekankan pentingnya dibentuk suatu Front Nasional. PKI berkeyakinan bahwa kelas buruh saja tidak dapat menyelesaikan revolusi nasional. Karena itu diperlukan kerja sama dengan kelompok-kelompok lain. PKI harus dapat meyakinkan anggota-anggota partai dan organisasi-organisasi lain akan kebenaran adanya Front Nasional. Keanggotaan Front Nasional juga terbuka untuk orang-orang yang tak berpartai. Front Nasional dipilih dari bawah, dan dalam situasi sekarang (September 1948), PKI harus berdaya menggantikan pemerintah sekarang (pemerintah Hatta), dengan pemerintahan Front Nasional.

Pemerintah semacam itulah yang akan berakar di kalangan rakyat dan sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam negeri serta meneruskan perlawanan anti imperialis secara konsekuesn. Ide Musso yang dinyatakan dalam Jalan Baru untuk mewujudkan suatu Front Nasional tidak terlepas dari tekadnya untuk mengosolidasikan kekuatan PKI.

Pada awalnya transformasi FDR ke dalam PKI nampak berjalan lancar. Partai Sosialis menggabungkan diri pada tanggal 31 Agustus 1948, PBI masuk PKI tanggal 4 September 1948, Pada tanggal 3 September 1948, Pesindo melalui sidang pleno setuju bergabung Pada awalnya transformasi FDR ke dalam PKI nampak berjalan lancar. Partai Sosialis menggabungkan diri pada tanggal 31 Agustus 1948, PBI masuk PKI tanggal 4 September 1948, Pada tanggal 3 September 1948, Pesindo melalui sidang pleno setuju bergabung

Tapi usaha Moesso untuk mengerahkan kekuatan PKI tidak selalu berjalan mulus. Ada rintangan-rintangan. Karena tidak semua organisasi yang berada di bawah naungan FDR bersedia bergabung dengannya. Barisan Tani Indonesia menolak bergabung dengan PKI. Beberapa perserikatan buruh yang tergabung di dalam SOBSI, antara lain Serikat Buruh Mobil Indonesia dan Serikat Buruh Djawatan Angkutan Motor RI, memprotes pernyataan pemimpin-pemimpinnya yang terpengaruh PKI dan menuntut diadakan kongres SOBSI secepat mungkin untuk membicarakan perkembangan-perkembangan baru. Dalam lingkungan PKI sendiri, ada yang tidak menyetujui perkembangan PKI baru yang mempunyai jumlah anggota sangat banyak tanpa dilatih sebelumnya menjadi kader komunis, dan lebih memilih PKI yang jumlah anggotanya kecil tapi terlatih. Moesso sadar pada awal September, masih perlu waktu untuk mengidoktrinasi dan menata organisasinya agar PKI terkendali secara sentral dan dapat diunggulkan memimpin revolusi nasional Indonesia.

Dalam upaya mengindoktrinasi dan menjelaskan program perjuangan partainya, pada bulan September, Moesso dengan beberapa anggota Politbiro, antara lain Amir Sjarifoeddin, Setiadjit, dan Wikana, turun ke bawah (turba) ke daerah-daerah Jawa Tengah dan jawa Timur. Moesso berbicara di dalam rapat-rapat akbar di Solo tanggal 7, Madiun tanggal 8, Kediri tanggal 11, Jombang tanggal 13, Bojonegoro tanggal 14, Cepu tanggal 16, dan pada tanggal 17 September tiba di Purwodadi pada sore hari. Pidato- pidato Musso di tempat-tempat ini membakar semangat revolusioner.[7] Salah satu pidatonya di Madiun ia menekankan, “Pimpinan di negeri kita itu harus berada di tangan kaum buruh progressif sebagai juga tergabung dalam PKI sebagai anggauta. Hanja dengan demikian revolusi akan dapat diselesaikan dengan hasil baik. Aturan- aturan lama harus diganti. Sistim ningrat harus dilenjapkan karena pada waktu ini orang-orang seperti Widanata Kusumah masih memegang djabatan-djabatan tinggi. Hanja dengan pimpinan PKI baru akan terdapat keadaan-keadaan normal. Dalam keadaan demikian itu, orang-orang buruh akan dapat mendjadi direktur-direktur pabrik dan perusahaan… Dalam revolusi ini orang-orang Belanda adalah musuh kita dan djika di antara rakjat kita ada orang-orang jang menentang pendjelmaannja, maka kita akan mempersamakan orang-orang itu dengan orang-orang Belanda. Republik harus berpihak pada Soviet. Kita tidak mengakui persetudjuan gentjatan sendjata, Linggardjati, maupun Renville… Republik sebelumnja pertukaran konsol-konsol dengan Moskou sudah mendapat sokongan dari Sovjet-Unie. Sebaliknja sikap “mendjilat” dari Pemerintah Republik pada Amerika selama tiga tahun hanja menghasilkan bahwa orang-orang Amerika menjokong orang-orang Belanda… Siasat kita pertama-tama adalah untuk membunuh orang-orang Belanda sebanjak mungkin serta merampas sendjata-sendjatanja. Djuga di daerah-daerah pendudukan harus diadakan serangan- serangan. Kita menghormati agama dan mempergunakannja dalam perdjuangan melawan Belanda. Djika orang-orang Islam tidak hendak ditindas, maka kini tibalah waktunja untuk mengadakan perang sabil. Politik kita adalah suatu akibat mutlak dari

Boleh jadi Sin Po benar mengungkap, “usaha mengadakan pertukaran konsul antara RI dengan Rusland yang ditandatangani oleh Suripno di Praag sebetulnya usaha Musso

September 1948, para pemimpin PKI mulai memperkuat organisasi mereka. Paling tidak selama enam bulan berikutnya, PKI masih ingin merebut kekuasaan lewat tekanan politik. Pimpinan teratas PKI tidak bermaksud memakai cara-cara revolusioner sebelum partainya melakukan usaha-usaha lebih jauh untuk merebut kekuasaan lewat politik. PKI harus mengatur kembali organisasi-organisasi yang menjadi unsur pokok FDR terlebih dahulu ke dalam suatu organisasi politik yang benar-benar disiplin dan solid agar menjadi gambaran PKI Moesso seperti yang telah direncanakan.[10] Pemerintah Hatta memperkirakan Musso dengan Politbironya baru siap memakai cara- cara revolusioner pada permulaan bulan November 1948. [11]

Merespon lawan, Hatta menyatakan: “Pada dasarnya pendirian kita ke luar itu adalah kuat, oleh karena kita senantiasa

menunjukkan good will untuk melaksanakan dasar-dasar persetujuan Renville. Pendapat umum di luar negeri sebagian terbesar adalah pada pihak Republik Indonesia. Perjuangan kemerdekaan kita dan usaha kita untuk mencapai cita-cita nasional kita dengan realis dengan mengemukakan konsepsi yang rasional, mendapat simpati luar negeri… Tetapi kedudukan kita yang keluar itu diperlemah oleh kekusutan di dalam, oleh pertentangan politik yang semakin lama semakin hebat, seolah-olah kawan seperjuangan yang berlainan paham dianggap musuh yang lebih besar dari pihak Belanda sendiri. Sentimen terlalu diperhebat sehingga lupa kepada kenyataan, bahwa kemerdekaan kita hanya bisa selamat apabila kita dapat menyiapkan suatu benteng persatuan yang kokoh. Keadaan-keadaan yang akhir ini menunjukkan bahwa kesulitan kita ke dalam sangat besar. Ditambah lagi karena perputaran pendirian dalam kalangan FDR: dari pembela politik “Linggarjati” dan “Renville” menjadi penentangnya. Dari kalangan FDR yang selama ini mati-matian membela politik Renville terdengar suara yang mengusulkan agar supaya Persetujuan Renville dibatalkan dan perundingan dengan Belanda diputuskan. Kalangan ini menganjurkan agar supaya Republik Indonesia yang perjuangannya adalah menentang imperialisme, terus terang memilih tempat pada front anti imperialis yang dipimpin oleh Soviet Rusia untuk menentang imperialisme. ….Situasi yang seperti ini sudah tentu melemahkan pendirian kita dalam menghadapi ancaman Belanda. Situasi ini timbul sebagai akibat pergolakan politik internasional yang dikuasai oleh pertentangan Amerika dan Rusia. Tetapi mestikah kita bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro Rusia dan pro Amerika? Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang kita ambil ialah supaya jangan menjadi obyek di dalam pertarungan politik internasional melainkan kita harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya. Betapapun juga lemahnya kita sebagai bangsa baru merdeka dibanding dengan dua raksasa yang bertentangan, Amerika dan Rusia, menurut menunjukkan good will untuk melaksanakan dasar-dasar persetujuan Renville. Pendapat umum di luar negeri sebagian terbesar adalah pada pihak Republik Indonesia. Perjuangan kemerdekaan kita dan usaha kita untuk mencapai cita-cita nasional kita dengan realis dengan mengemukakan konsepsi yang rasional, mendapat simpati luar negeri… Tetapi kedudukan kita yang keluar itu diperlemah oleh kekusutan di dalam, oleh pertentangan politik yang semakin lama semakin hebat, seolah-olah kawan seperjuangan yang berlainan paham dianggap musuh yang lebih besar dari pihak Belanda sendiri. Sentimen terlalu diperhebat sehingga lupa kepada kenyataan, bahwa kemerdekaan kita hanya bisa selamat apabila kita dapat menyiapkan suatu benteng persatuan yang kokoh. Keadaan-keadaan yang akhir ini menunjukkan bahwa kesulitan kita ke dalam sangat besar. Ditambah lagi karena perputaran pendirian dalam kalangan FDR: dari pembela politik “Linggarjati” dan “Renville” menjadi penentangnya. Dari kalangan FDR yang selama ini mati-matian membela politik Renville terdengar suara yang mengusulkan agar supaya Persetujuan Renville dibatalkan dan perundingan dengan Belanda diputuskan. Kalangan ini menganjurkan agar supaya Republik Indonesia yang perjuangannya adalah menentang imperialisme, terus terang memilih tempat pada front anti imperialis yang dipimpin oleh Soviet Rusia untuk menentang imperialisme. ….Situasi yang seperti ini sudah tentu melemahkan pendirian kita dalam menghadapi ancaman Belanda. Situasi ini timbul sebagai akibat pergolakan politik internasional yang dikuasai oleh pertentangan Amerika dan Rusia. Tetapi mestikah kita bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro Rusia dan pro Amerika? Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang kita ambil ialah supaya jangan menjadi obyek di dalam pertarungan politik internasional melainkan kita harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya. Betapapun juga lemahnya kita sebagai bangsa baru merdeka dibanding dengan dua raksasa yang bertentangan, Amerika dan Rusia, menurut

Gambar 6. Tarik-menarik dengan Republik. Sumber karikatur: Koran Merdeka 4 Oktober 1948

Kepercayaan diri Hatta ini didukung oleh koran Merdeka. Tuntutan Musso kepada Hatta untuk berpihak kepada Soviet, menurut Merdeka, “masih terlalu pagi untuk diambil dan ditentukan. Karena pada waktu ini adalah lebih utama bagi pemerintah kita untuk memikirkan bagaimana usaha jang harus dikerdjakan bagi mempertahankan kemerdekaan nasional kita, serta menjempurnakan roda organisasi pemerintahan kita, daripada terburu-buru memilih pihak di antara dua blok dunia jang telah bertentangan itu, jang pada hakekatnja belum tentu lagi apa untung, manfaatnja bagi negara kita ini. Sebaliknja kerugian daripada akibat memilih pihak itu, mudah dapat diramalkan, karena dengan demikian kita sudah mentjeburkan diri dalam kantjah pertentangan jang tak tentu udjung pangkalnja… Dan sungguh tepat utjapan Hatta jang mengatakan bahwa

‘kemerdekaan kita harus ditjapai dengan kepertjajaan terhadap diri sendiri dan tidak Ormas Islam NU juga mendukung pemerintahan Hatta. Dalam konferensinya di Jepara

antara lain memutuskan bahwa kabinet Hatta harus dipertahankan terus sampai diadakan pemilihan umum.[14]

Pada awal bulan September, kekuatan PKI secara jumlah di bawah pimpinan Musso telah cukup kuat. FDR pimpinan Amir telah bubar. Pesindo (milisi FDR), telah menjadi pasukan bersenjata resmi komunis. Taktik stoomwals Moesso telah berhasil menempatkan 116 perwakilan di KNIP. Namun jumlah ini masih belum cukup memenangkan suara mayoritas untuk mendapatkan kekuasaan melalui jalan parlementer. Sementara itu, beberapa pimpinaN PKI di Yogyakarta di antaranya Alimin, Sakiman, Tan Ling Djie, Abdoel Madjid, dan lain-lainnya masih berupaya mengajak Masyumi dan PNI untuk membentuk satu Front Nasional. Secara formal Masyumi menolak ajakan itu mengingat pengalamannya dan pengalaman seluruh rakyat dengan pendirian dan tindakan FDR yang sekarang masuk PKI.[15] PNI juga menolak dua hari kemudian. Penolakan dua partai ini dilanjutkan dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk mendukung pemerintahan Hatta dan mendesak segera menggunakan “tangan besi Hatta”.[16] Keseriusan ajakan PKI ini patut dipertanyakan. Sebab Moesso Musso pernah mengatakan sambil tertawa, “Buat pertama–tama masih dapat dipakai tenaga-tenaga dari segala aliran partai, tapi pada satu waktu, mereka itu akan disikat oleh Partai

Peristiwa Solo

Setelah jatuhnya kabinet Amir, Hatta melanjutkan keputusan KNI untuk melaksakan ReRa angkatan perang. Amir menyatukan partai-partai sayap kiri ke dalam FDR. FDR menentang ReRa Hatta. Di Solo, Divisi IV Senopati merupakan kekuatan militer utama. Dan FDR merencanakan untuk tetap mempertahankan pengaruh kekuasaan militer di sana bila strateginya sudah mulai memasuki tahap revolusi. Dengan berbagai cara, FDR berupaya mendekati satuan-satuan TNI di lingkungan Divisi IV Senopati agar bersimpati pada program politiknya, antara lain dengan mengintensifkan kerja perwira-perwira yang berhaluan komunis, untuk setiap batalion, atau mempengaruhi langsung para pejabat kunci dan komandan kesatuan lapangan dan komandan kesatuan menengah setingkat batalion. Tujuannya untuk mengendalikan batalion-batalion secara ideologis. Akibat pengaruh FDR baik langsung maupun tidak langsung, mulai terlihat Divisi IV menolak rasionalisasi. Penolakan ReRa oleh jajaran Divisi IV sangat menyulitkan posisi TNI. Panglima besar Sudirman mengambil kebijaksanaan baru, seluruh divisi dilebur menjadi komando pertahanan, kemudian pada bulan Mei 1948 diresmikan menjadi Komando Pertahanan Panembahan Senopati (KPPS).

Divisi Siliwangi tiba di daerah Republik Indonesia yang tersisa di Pulau Jawa pada bulan Februari 1948, setelah berhijrah dari kantong-kantong gerilyanya di Jawa Barat, Divisi Siliwangi tiba di daerah Republik Indonesia yang tersisa di Pulau Jawa pada bulan Februari 1948, setelah berhijrah dari kantong-kantong gerilyanya di Jawa Barat,

Pada bulan Maret 1948, di kota dan daerah Solo, ditempatkan Brigade Siliwangi II. Di sini mereka tidak dapat sepenuhnya melakukan upaya untuk menyiapkan tugas utamanya, yaitu berlatih secara fisik dan mental, apabila kelak harus bergerak kembali ke Jawa Barat, melanjutkan perjuangan melawan kekuatan Belanda. Secara psikologis dan kehidupan fisiknya, tidak mudah bagi mereka menyesuaikan diri dengan keadaan setempat. Mereka merasa dimusuhi rakyat setempat karena oleh FDR dihembus- hembuskan bahwa Siliwangi telah mengkhianati perjuangan bangsa dan dicap sebagai tentara yang kalah melulu. Kesulitan hidup dialami karena kondisi ekonomi, apalagi bagi tentara yang datang dari daerah lain. Bagi pasukan setempat, kehadiran Siliwangi di daerah mereka dirasa sebagai orang-orang asing yang mengganggu rumah tangga orang lain. Akibatnya prajurit Siliwangi dihina.

Di tengah situasi politik dan militer yang memanas, pada tanggal 2 Juli 1948, Kolonel Soetarto, Panglima KPPS yang juga anggota PKI, ditembak orang tak dikenal di depan rumahnya di Timuran. Reaksi terhadap tewasnya Soetarto segera meluas. Di lingkungan KPPS, tersiar berita, “Komandan kita dibunuh”, sekalipun tidak diketahui siapa pembunuhnya, mereka mau membalas kematiannya itu. Timbul kemudian desas desus bahwa Kolonel Soetarto ditembak oleh Siliwangi, prajuritnya Sadikin.

FDR menyatakan, pembunuhan ini adalah rasionalisasi dengan cara lain. Pembunuhan ini menjadi awal dari rangkaian pembunuhan, penculikan, dan pelucutan yang bersifat provokasi, sehingga kesatuan-kesatuan bersenjata kerakyatan dan orang-orang komunis akhirnya melawan, yang justru diharapkan pemerintahan Hatta. Pertentangan meningkat antara pasukan yang pro pemerintah dengan yang pro FDR, antara yang pro ReRa dengan yang anti ReRa di kota Solo. Gerakan teror, penculikan sampai pertempuran- pertempuran kecil berlangsung antara pasukan-pasukan yang saling bertentangan.

Bentrokan bersenjata yang serius antara pasukan Siliwangi dan KPPS pecah pada tanggal

20 Agustus 1948. Batalion 1 “Sunan Gunung Djati” yang dipimpin Mayor Rukman, berkedudukan di Pabrik Gula Tasikmadu dikepung oleh kurang lebih tiga batalion KPPS. Pasukan pengepung menuntut agar anak buah Batalion Rukman yang telah bertindak tidak disiplin, liar, dan meneror rakyat diserahkan kepada mereka. Upaya untuk menyelesaikan pertentangan dengan diadakannya ertemuan antara pasukan KPPS dan siliwangi tak dapat menyelesaikan masalah. Mayor Martowiyono, Komandan Militer Distrik Karanganyar yang memimpin ertemuan tersebut tetap menuntut dengan keras, agar anak-anak Siliwangi yang menggedor, merampok, dan lain sebagainya diserahkan segera kepada KPPS. Mayor Rukman menanggapi ini masalah internal kesatuan Siliwangi, dan memberikan jaminan akan melakukan tindakan kepada anggota- anggotanya.

Situasi kian panas. Pada tanggal 23 Agustus pasukan pengepung, yang kemudian dapat diidentifikasikan sebagai pasukan-pasukan gabungan antara lain Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) pimpinan Yadau, Tentara Pelajar liar yang menggabungkan diri dalam Situasi kian panas. Pada tanggal 23 Agustus pasukan pengepung, yang kemudian dapat diidentifikasikan sebagai pasukan-pasukan gabungan antara lain Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) pimpinan Yadau, Tentara Pelajar liar yang menggabungkan diri dalam

Akibat pertempuran di Taskmadu, KPPS menuntut agar batalion Rukman dipindakan ke daerah lain, di luar daerah Solo. Menanggapi itu, Brigade Siliwangi II akhirnya memutuskan agar Batalion Rukman kembali saja ke daerah basisnya di Jawa Barat. Untuk kembali ke Jawa Barat, Mayor Rukman harus melakukan operasi jarak jauh. Kolonel drg.Moestopo, pimpinan kesatuan reserve umum menyetujui keputusan Brigade Siliwangi II dengan alasan, “mengalah terhadap saudara sekandung, dan menyiapkan diri untuk dengan lebih baik menghadapi musuh bersama”. Tanggal 30 Agustus 1948, Batalion Rukman meninggalkan Solo.

Meskipun batalion Rukman telah meninggalkan kota Solo, ketegangan situasi politik militer masih juga tidak mereda. Provokasi yang dibuat PKI kian gencar untuk menekan pasukan siliwangi secara politis dan psikologis. Satuan-satuan Siliwangi dibujuk agar berada di kubu PKI. Ketegangan kian memuncak ketika seorang perwira ALRI-Gajah Mada, Mayor Esmara Sugeng beserta enam perwira lainnya diculik oleh satuan-satuan Siliwangi. Investigasi yang dilakukan Markas Brigade II Siliwangi membenarkan bahwa penculikan ini dilakukan oleh satuan-satuan Siliwangi. Penculikan para perwira ALRI ini didahului dengan penculikan dua anggota PKI yang penting, yaitu Slamet Wijaya dan Pardio pada tanggal 1 September 1948.

Panglima KPPS yang juga anggota PKI, Letkol Suadi, pengganti Kolonel Soetarto, menuduh Batalion Siliwangi dibawah Sadikin telah menculik para perwira PKI yang hilang itu. Suadi kemudian melaporkan segala peristiwa yang terjadi di Solo kepada Panglima Besar Sudirman, yang kemudian memberikan izin kepadanya untuk bertindak terhadap semua anasir yang bertanggung jawab dan bersalah dalam hal culik menculik itu. Dengan izin Panglima Sudirman, KPPS menyiarkan ultimatum kepada mereka yang bersalah, agar perwira-perwira yang diculik, dikembalikan, paling lambat tanggal 13 September 1948 tepat pukul 14.00. Bila jarum jam sudah menunjuk angka 2, tapi orang- orang tersebut belum dikembalikan Suadi memerintahkan pasukan dari kesatuan ALRI- nya menyerang barak-barak Siliwangi. Mayor Slamet Riadi, Komandan Brigade 5/KPPS dengan dua Batalion TLRI/Brigade Yadau bersiap-siap dalam kota untuk bertindak. Panglima Sudirman marah atas penculikan perwira-perwira KPPS oleh Brigade II Siliwangi ini. Dipanggillah Letnan Kolonel Sadikin. Panglima Sudirman mendesak agar para perwira yang diculik segera dikembalikan. Sadikin mengaku tidak tahu soal itu dan merasa dituduh. Pembicaraan menemui jalan buntu. Panglima Sudirman membayangkan terjadinya pertumpahan darah, dengan mengatakan, “Slamet Riadi anak saya.” Spontan Sadikin menjawab, “Saya ini kalau begitu anak siapa?” Kegentingan di Solo yang semula disebabkan “persengketaan antara Pesindo dan Barisan Banteng” berkembang jadi “persengketaan antara KPPS dan Siliwangi”.

Karena perwiranya tak kembali, pasukan KPPS akhirnya menyerang. Pasukan Siliwangi Karena perwiranya tak kembali, pasukan KPPS akhirnya menyerang. Pasukan Siliwangi

Pada 15 September, Soekarno mengumumkan keadaan darurat militer untuk Surakarta dan keresidanan sekitarnya. Ia juga mengangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer Solo. Panglima Sudirman lalu mengirim bala tentara sebanyak 3 ribu prajurit dari Divisi Siliwangi ke Solo. Mereka mengambil tempat di pinggiran kota. Karena diperkirakan bala bantuan pro PKI masuk dari arah utara, posisi di mana mereka berada di sepanjang garis Van Mook.

Sementara itu Barisan Banteng menuntut agar Dr. Moewardi dan tiga orang lainnya, dikembalikan Pesindo pada tanggal 16. Penculikan Dr. Muwardi mempersatukan barisan banteng GRR dengan Siliwangi. Belakangan diketahui orang-orang Pesindo membunuh Dr. Muwardi.[18] Musuh yang sekarang dihadapi sama yaitu FDR. Ketika waktunya sudah lewat dan ultimatum tersebut belum dipenuhi, Barisan Banteng dan dua kesatuan kecil Siliwangi yang berada di dalam kota mulai menyerang markas besar Pesindo dan berhasil menggiring pasukan-pasukan Pesindo ke bagian selatan kota.[19] Pada 15 September, kesatuan ALRI yang kuat berbaris menuju Solo. Mereka berharap tiba tepat waktu untuk menolong ALRI yang berkedudukan di sana. Namun, sialnya, mereka tidak menyadari bahwa pasukan ALRI di sana sudah disingkirkan ke bagian selatan kota. Berpapasanlah mereka dengan pasukan Siliwangi yang baru saja dikirim dari Yogyakarta oleh Panglima Sudirman. Terjadilah pertempuran hebat dan pada malam tanggal 16. Akhirnya ALRI terpaksa lari. Mereka pun tidak sampai bergabung dengan pasukan-pasukan di bawah pimpinan Suadi di bagian selatan kota.[20]

Bersambung ke bagian 3: Meletusnya Pemberontakan Madiun

Kembali ke bagian 1

Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Artikel ini adalah kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

[1] Ibid [2] Efimova, Larissa M dengan penerjemah Budiawan. 2010.Dari Moskow ke Madiun?

Stalin-PKI dan Hubungan Diplomatik Uni Soviet-Indonesia. Yogyakarta: Syarikat [3] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. Ibid dan Poeze, Harry A. 2011 dengan penerjemah Hersri Setiawan. Madiun 1948:PKI Bergerak.Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia&KITLV

[4] Hatta, Mohammad. Ibid. [5] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas

[6] Musso. 1953.Djalan Baru untuk Republik Indonesia. Jakarta:Jajasan Pembaruan [7] Soetanto, Himawan. Ibid [8] Koran Merdeka, 15 September 1948 [9] Koran Sin Po, 13 Oktober 1948 [10] Soetanto, Himawan. Ibid [11] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. Ibid [12] Soetanto, Himawan. Ibid [13] Koran Merdeka, 6 September 1948 [14] Koran Merdeka, 7 September 1948 [15] Koran Merdeka, 11 September 1948 [16] Soetanto, Himawan. Ibid [17] Koran Merdeka 19 September 1948 [18] Koran Sin Po 13 Oktober 1948 [19] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. Ibid [20] Majalah Tempo 25 September 1976, Poeze, Harry A. Ibid dan Gie, Soe

Hok. Ibid. Soetanto, Himawan menyebut peristiwa terjadi pada tanggal 19 September 1948.

Pemberontakan PKI Madiun 1948: (3) Meletusnya Pemberontakan di Madiun

http://jejakislam.net/pemberontakan-pki-madiun-1948-3-meletusnya-pemberontakan-di- madiun/ - diakses 24-09-2017

Pemberontakan Madiun dimulai. Para penyerang membawa emblem dengan palu arit serta huruf-huruf WFYD-IUS. Serangan mereka berhasil, kemudian disusul dengan penjarahan, kepanikan di kalangan penduduk, penangkapan sewenang-wenang, tembak- menembak, dan ‘penyerbuan secara fasis’. Bendera merah putih disobek dan diganti dengan bendera palu arit, dan potret Sukarno diganti potret Musso.

Pukul 2.30 dini hari, sementara para petani Rejo agung masih terlelap, ada beberapa lelaki di rumah Soemarsono yang berdindingkan kayu. Soemarsono adalah Letkol Laskar Tentara Masyarakat. Dengan penerangan lampu minyak, mereka tampak bersenjata dan sibuk. Lalu dar der dor! Sabtu 18 September 1948 itu, dari desa kecil di tepi Madiun, mereka membuka hari dengan tembakan pistol tiga kali. Dengan kekuatan seribu lima ratus orang, mereka mengejutkan kesatuan-kesatuan Corps Polisi Militer dan Siliwangi sehingga perlawanan hanya berlangsung beberapa jam. Tidak lama setelah fajar menyingsing, Madiun jatuh di tangan PKI. Mereka berhasil merebut kota setelah menyergap pasukan-pasukan pemerintah. Semua gedung vital dan kantor pemerintahan diduduki. Markas staf pertahanan Jawa Timur, markas CPM, serta tangsi polisi mereka Pukul 2.30 dini hari, sementara para petani Rejo agung masih terlelap, ada beberapa lelaki di rumah Soemarsono yang berdindingkan kayu. Soemarsono adalah Letkol Laskar Tentara Masyarakat. Dengan penerangan lampu minyak, mereka tampak bersenjata dan sibuk. Lalu dar der dor! Sabtu 18 September 1948 itu, dari desa kecil di tepi Madiun, mereka membuka hari dengan tembakan pistol tiga kali. Dengan kekuatan seribu lima ratus orang, mereka mengejutkan kesatuan-kesatuan Corps Polisi Militer dan Siliwangi sehingga perlawanan hanya berlangsung beberapa jam. Tidak lama setelah fajar menyingsing, Madiun jatuh di tangan PKI. Mereka berhasil merebut kota setelah menyergap pasukan-pasukan pemerintah. Semua gedung vital dan kantor pemerintahan diduduki. Markas staf pertahanan Jawa Timur, markas CPM, serta tangsi polisi mereka

Sabtu malam 18 September 1948, radio Gelora Pemuda Madiun mengumumkan siaran yang menantang:

“Kita khawatir bahwa pemerintah kita menjadi fasis militeristis, yaitu karena kekuasaan dipegang oleh satu orang, yang menjadi Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan. Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat negeri yang telah mengarahkan puluhan juta teman-teman setanah air kepada Jepang yang kejam, sebagai romusha- romusha. Persatuan adalah sangat perlu, tetai tak boleh mengakibatkan perbudakan. Kita bertanya apakah tadinya tidak diadakan perundingan antara pemerintah Yogya dan Belanda tentang pembasmian sayap kiri. Kita sekarang mengetahui bahwa Belanda bekerja sama dengan Pemerintah Republik untuk menjajah rakyat. Fasis dan kolaborator Hatta kini mencoba mempergunakan Republik untuk menjajah kaum buruh dan kaum tani. Madiun telah membangun untuk membasmi semua musuh revolusi, polisi tentara dan tentara telah dilucuti senjatanya oleh rakyat. Kaum buruh dan tani telah membentuk suatu pemerintah baru. Senjata kita akan dipergunakan terus hingga seluruh

Seorang pemuda, tutur Soe Hok Gie, yang menyaksikan perebutan kekuasan tersebut menggambarkan keadaan kota saat itu,

“Setelah di pelosok-pelosok dan lorong-lorong jalan penuh dengan para pemuda yang berpakaian kehitam-hitaman dengan sebagian ada yang memakai sapu tangan merah di lehernya, plakat, dan poster. Demikian pula pengumuman-pengumuman yang di bawahnya dengan tanda dan stempel: “PEMERINTAH FRON NASIONAL. Dengan adanya pengumuman-pengumuman ini barulah saya mengerti bahwa kota Madiun yang tadinya berbentuk PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA akhirnya menjadi PEMERINTAH FRON NASIONAL, sehingga orang sambil berbisik-bisik mengatakan ‘Kota Madiun telah jatuh ke tangan FDR’ (PKI –red); ada lagi yang mengatakan ‘PKI

Setelah itu, datang petugas-petugas yang menamakan diri mereka anggota Komite Front Nasional ke rumah-rumah penduduk. Mereka meminta penduduk agar mau menjadi anggota Front Nasional. Setiap laki-laki dan perempuan berusia 15 tahun ke atas boleh menjadi anggota tanpa memandang aliran politik, kebangsaan, dan agama. Asalkan mereka menyetujui Program Nasional. Iuran keanggotaannya Cuma Rp0,10. Jika tidak setuju,”Saudara harus menanggung akibatnya.” Anggota komite ini mendatangi penduduk dengan granat, karaben, dan sten.[5]

Jam 10 pagi, Radio Gelora Pemuda, RRI Madiun yang sudah di tangan para pemberontak, menyiarkan:

“Sekarang sudah tiba saatnya untuk mengobarkan revolusi. Republik berusaha menyerahkan bangsa dan tanah air Indonesia kepada Belanda. Republik dengan Belanda bekerja sama untuk menindas bangsa Indonesia. Kolaborator fasis Hatta memperalat Republik untuk menjajah kaum buruh dan tani. Pemerintah Republik seluruhnya terdiri dari pengkhianat-pengkhianat. Madiun sudah bangkit. Revolusi sudah dikobarkan. Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik. Pemerintah buruh dan tani yang baru sudah dibentuk. Mulai saat ini senjata kita tidak boleh berhenti memuntahklan peluru sampai kemerdekaan, ketenteraman pulih di negeri Indonesia tercinta.” [6] Soemarsono menyatakan gerakan itu upaya membela diri. Maraknya penculikan dan penumpasan kawan-kawannya di Solo, membuat ia dan kawan-kawannya di Madiun merasa tinggal tunggu giliran untuk dihabisi dan diculik. “Wah ndak bisa begini. Kita menunggu sampai ditangkap, dipotong leher kita? Lebih baik kita berlawan! Kalau berlawan, masih ada kemungkinan kita hidup,” kata Soemarsono.[7] Dua atau tiga hari sebelum peristiwa itu, Soemarsono bertemu dengan Moesso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri membicarakan masalah situasi di Madiun dan perimbangan kekutan. Situasinya, kata Soemarsono, tiga pemimpin Serikat Buruh Dalam Negeri diculik oleh pasukan gelap karena mogok. Mendengar laporan itu, Moesso dan Amir

Dengan tumbangnya pemerintah di Madiun, PKI mencoba membentuk pemerintahan baru atas dasar ide Musso tentang Front Nasional. Pagi, 19 September, dibentuklah Front Nasional oleh SOBSI, PKI, Partai Buruh, Partai Sosialis, Pesindo, Letkol Sumantri (Wakil Teritorial), Isdarto (Wakil kepala daerah), dan Walikota Purbo. Berikut susunan pemerintahan Front Nasional:

Kepala Daerah Madiun: Abdoel Moetalib Walikota Madiun: Soepardi Ketua Komite Front Nasional: Harjono Gubernur Militer: Soemarsono Panglima militer: Djoko Soedjono Pemerintah Front Nasional memberlakukan jam malam, dari pukul 9 malam sampai 5

pagi, di daerah-daerah yang direbut. Pemerintah Front Nasional menyeru agar rakyat membantunya, terutama kelas buruh dan mengancam akan mengambil tindakan keras terhadap pengganggu keamanan. Penduduk juga dilarang mendengarkan siaran radio Republik Indonesia. Hanya Radio Gelora Pemuda yang boleh didengar, sebagai usaha monopoli penerangan. Pada tanggal 20 September terbit edisi perdana “Front Nasional” sebagai terompet pemerintah baru, dalam ‘suasana bebas dari segala pengaruh reaksioner dan kontra revolusioner.’ Wikana dan Setiadjit mengharapkan kemenangan militer di

Daerah Madiun yang mempersatukan dan menguasai lima kabupaten: Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan. Perebutan kekuasaan secara serentak oleh PKI dilakukan di kota-kota Keresidenan Madiun, di Ponorogo, Magetan, Pacitan, Gorang-Gareng, dan lain-lain.[9] Pemerintahan Front Nasional dari segi eksekutif hampir tidak ada yang dilakukan. Umurnya cuma 12 hari. Untuk memberikan “wadah kerakyatan”, pemerintah Front Nasional melarang pemakaian istilah “paduka” dan “tuan”, yang diganti dengan “saudara, pak, dan bung”. Tindakan lainnya hanya penangkapan lawan-lawan politik.[10] Kini seluruh kota di Madiun sudah berada dalam penguasaan PKI. Keadaan ini, kata Soemarsono, harus dilaporkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta, bahwa telah terjadi pertempuran, ada korban jatuh, asal usul kejadiannya, dan meminta instruksi penyelesaian lebih lanjut. Wakil Walikota Madiun, Soepardi lalu mengirim telegram ke Yogyakarta, menjelaskan pelucutan senjata batalion Siliwangi dan Mobrig ole Brigade

29. Ia juga menyampaikan keadaan Madiun aman terkendali. “Berhubung kepergian kepala daerah, untuk sementara pimpinan pemerintahan daerah kami pegang. Minta instruksi lebih lanjut,” lapor Soepardi. [11] Ketika pemerintah Front Nasional diproklamasikan, pimpinan-pimpinan PKI kebanyakan tidak berada di Madiun. Musso, Amir, Setiadjid sedang tur ke daerah-daerah. Musso samai di Madiun 19 September pagi. Di sana ia mendapati Pemerintah Front Nasional sudah dibentuk. Senang ataupun tidak senang ia harus menghadapi pemerintah Republik Indonesia yang kali ini ambil tindakan.[12]

Sikap tegas pemerintah ditunjukkan oleh sidang kabinet tanggal 19 September yang memutuskan untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Keputusannya antara lain,

“Peristiwa di Madiun yang digerakkan oleh FDR/PKI adalah suatu pemberontakan terhadap pemerintah; memerintahkan Angkatan Perang Bersenjata beserta alat-alat negara lainnya untuk memulihkan kekuasaan Negara kepada keadaan biasa, memberikan kepada Jenderal Soedirman dengan kuasa penuh untuk melakukan tugas pemulihan keamanan/ketertiban ke keadaan biasa di Madiun dan daerah-daerah lainnya, dan membasmi organisasi-organisasi politik, organisasi masa, dan organisasi militer/bersenjata yang turut/mendukung/bersimpati kepada kaum pemberontak

Jam 8 malam, laporan Soepardi ‘dijawabi dengan pidato Presiden Sukarno, “Kemarin pagi, Partai Komunis Moesso melakukan kudeta di Madiun dan membentuk

suatu pemerintahan Soviet di sana di bawah pimpinan Musso. Mereka menganggap perebutan kekuasaan secara paksa ini sebagai suatu langkah awal untuk merebut kekuasaan seluruh pemerintah republik Indonesia. Dari kenyataan ini, jelaslah bahwa insiden-insiden yang terjadi di Solo dan Madiun bukanlah insiden-insiden yang terpisah, tetapi merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pola aksi keseluruhan yang dirancang untuk menggulingkan pemerintah Republik Indonesia… Rakyatku tercinta, atas nama perjuangan kemerdekaan Indonesia, Sayameminta kalian pada saat yang kritis, saat kalian dan saya sendiri sedang menghadapi ujian terbesar untuk memilih antara mengikuti Moesso dan partai Komunisnya, yang akan mengganggu terciptanya suatu negara Indonesia yang merdeka, atau ikut Sukarno-Hatta yang dengan bantuan Allah SWT, akan menjadikan Republik Indonesia suatu negara Indonesia merdeka yang tidak akan dijajah oleh bangsa manapun juga….Dukunglah pemerintah, baktikan dirimu sekuat tenaga untuk membantu organ-organ pemerintah dalam berjuang melawan pemberontak dan mengembalikan pemerintah yang sah di wilayah yang sedang

Menteri Dalam Negeri, Soekiman menyeru seluruh umat Islam supaya berdiri di belakang pemerintah Soekarno-Hatta.[15] Sultan Hamengkubuwono berpidato, “Kabinet Hatta kini sedang membangun dan melakukan pembangunan, sedang Moeso hanja hendak merusak dan

Pidato Sultan ini memiliki pengaruh luas di kalangan masyarakat Jawa.[17] Sehingga pemerintah mendapat dukungan yang sangat kuat untuk melawan PKI.

Selang satu setengah jam, Musso membalas lewat Radio Gelora Pemuda Madiun, “Pada 18 September 1948, penduduk Madiun merebut kekuasaan segera dengan tangan

mereka sendiri. Dengan demikian, penduduk Madiun sudah menjalankan tugas mereka dalam revolusi nasional yang semestinya harus dipimpin oleh rakyat dan bukan oleh golongan lain manapun. Dengan menggunakan tuduhan-tuduhan dan bukti-bukti palsu, Sukarno menuding FDR dan PKI Musso sebagai kaum pengacau. Apakah Sukarno sudah lupa bahwa di Solo, dia memanfaatkan para pengkhianat Trotsky untuk meneror mereka sendiri. Dengan demikian, penduduk Madiun sudah menjalankan tugas mereka dalam revolusi nasional yang semestinya harus dipimpin oleh rakyat dan bukan oleh golongan lain manapun. Dengan menggunakan tuduhan-tuduhan dan bukti-bukti palsu, Sukarno menuding FDR dan PKI Musso sebagai kaum pengacau. Apakah Sukarno sudah lupa bahwa di Solo, dia memanfaatkan para pengkhianat Trotsky untuk meneror

Gambar 8. Kartun mengenai Indonesia, Belanda dan negara federal. Sumber foto: Sin Po 31 Juli 1948

Pada hari-hari pertama pemerintahan Front Nasional di Madiun, Musso berbicara tentang perebutan kekuasaan negara oleh “rakyat” dari tangan pemerintahan Soekarno-Hatta, wakil kaum ‘borjuis nasional’. Tanggal 21 September, Moesso mengumumkan langkah garis kerasnya:

“Kaum buruh harus dianjurkan untuk mogok umum dan kaum tani, pemuda, wanita, dan prajurit yang progresif dan anti imperialis harus menentang dengan senjata dalam tangan, Pemerintah Soekarno-Hatta yang sudah terang-terangan menjadi pengkhianat “Kaum buruh harus dianjurkan untuk mogok umum dan kaum tani, pemuda, wanita, dan prajurit yang progresif dan anti imperialis harus menentang dengan senjata dalam tangan, Pemerintah Soekarno-Hatta yang sudah terang-terangan menjadi pengkhianat

Seruan PKI ini sayangnya hanya bergema di Madiun, dan Pati, sebelah utara Solo. Di daerah-daerah lain tidak ada perlawanan rakyat dan pemberontakan prajurit progresif. Buruh-buruh SOBSI juga tidak ikut mogok. Klaim bahwa 35% prajurit-prajurit TNI yang terkena program ReRa bergabung dengan pihak PKI tidak jadi kenyataan. PKI Bojonegoro, Banten, Sumatera tidak ikut berontak. Mereka tetap setia pada Soekarno- Hatta.

Bersambung ke bagian 4: Akhir dari Pemberontakan

Kembali ke bagian 2

Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Artikel ini adalah kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

[1] Soetanto, Himawan. Ibid [2] Poeze, Harry A. Ibid [3] Soetanto, Himawan. Ibid dan Gie, Soe Hok. Ibid [4] Gie, Soe Hok. Ibid [5] Ibid [6] Soetanto, Himawan. Ibid [7] Setiawan,Hersri. 2002. Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku

Perjuangan. Jakarta:FuSPAD [8] Soetanto, Himawan. Ibid [9] Ibid dan Poeze, Harry A. Ibid [10] Gie, Soe Hok. Ibid [11] Majalah Tempo,14 November 2010 [12] Gie, Soe Hok. Ibid [13] Soetanto, Himawan. Ibid [14] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. Ibid [15] Koran Merdeka, 20 September 1948 [16] Ibid [17] Gie, Soe Hok. Ibid [18] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. Ibid [19] Gie, Soe Hok. Ibid

Pemberontakan PKI Madiun 1948: (4) Akhir dari Pemberontakan

http://jejakislam.net/pemberontakan-pki-madiun-1948-4-akhir-dari-pemberontakan/ - diakses 24-09-2017

Kelompok pemberontak mulai terdesak. Meski Amir mulai menyebut gerakan mereka bukan pemberontakan, tetapi keadaan sudah berbalik. Para pemimpin seperti Amir dan Moesso menemui ajalnya.

Sementara itu pasukan-pasukan pemerintah mulai bergerak dari pangkal awal penyerangannya. Dari arah barat, Brigade Sadikin dari Solo menuju Tawangmangu, di lereng Gunung Lawu, sedangkan dari timur, Brigade S mulai bergerak dari kedirim Trenggalekmenuju Madiun. Di Madiun, pemerintah Front Nasional mulai mengubah sikap garis kerasnya ke garis lunak. Kolonel Djoko Soedjono, pimpinan militer menegaskan bahwa tindakan-tindakan PKI di Madiun bukanlah suatu pemberontakan terhadap Soekarno-Hatta. Tindakan di madiun hanyalah koreksi dari para pemuda revolusioner. Ia juga mengecam politik salah ReRa yang menempatkan orang-orang reaksioner dan borjuis pada pucuk pimpinan tentara seperti Nasoetion, Simatoepang, dan Djatikusumo. Selanjutnya ia melalui Radio Gelora Pemuda Madiun pada tanggal 22 September 1948, mengundang sejumlah komandan TNI untuk berkonferensi di Madiun. Ia mau menunjukkan bahwa keadaan di Madiun aman dan tertib, serta pemerintahan Front Nasional berjalan baik.

Sementara itu, gerakan penjepitan dari arah barat dan timur semakin ketat. Serangan dari arah barat bergerak dengan cepat, tanpa mendapatkan perlawanan pasukan PKI yang berarti. Sarangan, Walikukun, Magetan, lapangan terbang Maospati, Gorang-Gareng direbut kembali oleh Batalion-Batalion Siliwangi. Dari arah timur, Batalion Sunaryadi/Brigade S telah merebut kembali kota-kota Nganjuk-Caruban-Saradan, dan di Poros selatan Batalion Mujayin telah menguasai kembali Trenggalek, dan bergerak cepat ke arah Ponorogo. Dari kota Madiun yang terkepung, Soemarsono menyatakan bahwa tekanan dari dua arah mulai terasa sangat berat. Meski begitu, mereka tetap bertekad melawan.[1]

Pada tanggal 23 September 1948, Amir berpidato: “Perjuangan yang sekarang sedang kita laksanakan di sini, tidak lebih dan tidak kurang

daripada suatu gerakan untuk mengoreksi evolusi dari revolusi kita. Oleh karena itu, dasarnya tetap sama dan tidak pernah berubah. Menurut pertimbangan kami, tinggal satu revolusi bersifat nasional, yang dapat disebut revolusi kaum demokrat borjuis. Undang-undang Dasar kita tetap yang satu itu, bendera kita tetap sama, yaitu merah

Gambar 9. Amir Sjarifoeddin. Sumber foto: Wikipedia

Pidato Amir ini disiarkan berulang-ulang, melalui Radio Gelora Pemuda Madiun. Mendengar ini, Abu Hanifah, anggota pimpinan pusat Masyumi sekaligus Jubir partai, merasa kasihan kepada Amir. “Saya merasa dalam pidatonya itu terdengar suatu frustasi. Suatu kebingungan dan suatu keputus-asaan… Saya sejak saat itu tidak percaya bahwa Amir Sjarifuddin yang selalu membawa Injil kecil di dalam sakunya, adalah komunis. Mungkin ia seorang radikal sosialis atau nasionalis revolusioner atau Marxis

Abu Hanifah juga mengenang pribadi Moesso tatkala ia berkesempatan makan bersama dengannya. Pernah Abu diundang makan siang oleh Amir ke rumahnya. Di sana ternyata sudah ada Musso. Abu sempat berbincang-bincang dengan Musso tanpa ditemani Amir. Abu cerita, “Setelah datang waktu makan, ia (Musso) mengatakan bahwa antara saya dan dia sebenarnya tidak banyak perbedaan. Kita bersama-sama mengabdi kepada rakyat, sedangkan kaum borjuis dan kapitalis mengisap rakyat. Saya jawab, ‘Tetapi dasar dari pengabdian itu berbeda. Saya menganggap pengabdian itu harus berdasarkan satu moral, dan moral itu bagi saya adalah keyakinan kepada adanya Tuhan Yang Maakuasa.’ Saya heran mendengar jawabannya,‘Percayalah Bung Abu, di Rusia kami sedang mempersiapkan satu kapal terbang yang akan memeriksa langit hijau. Nanti kita lihat apakah Tuhan itu ada atau tidak.’”

Esoknya, ketika pasukan-pasukan TNI semakin mendekati Madiun, Soemarsono, muncul dengan sikap yang lunak, jauh berbeda dengan pernyataan-pernyataan revolusionernya ketika merebut Madiun. Dia menyatakan:

“Dengan ini, secara resmi kami mengumumkan bahwa pemerintah kita tidak pernah sampai pada keinginan untuk menciptakan suatu pemerintah komunis atau Soviet, seperti yang sering dinyatakan oleh musuh kami. Pemerintah Madiun adalah suatu pemerintahan rakyat tingkat wilayah, dan dibentuk sebagai suatu bagian dari Republik

Madiun adalah melenyapkan Republik, dengan ini dinyatakan palsu. Pergerakan ini hanya dimaksudkan untuk membuat suatu koreksi sempurna terhadap tujuan-tujuan politik Pemerintah Hatta dan para pemimpin lainnya yang bermaksud memihak Belanda. Seluruh rakyat Indonesia dan seluruh prajurit harus mendukung pergerakan ini jika

Sayangnya nada baru PKI ini tidak mengubah keadaaan, terutama untuk mendapatkan dukungan massa. Segala upaya mengerahkan kekuatan rakyat untuk membantunya kurang berhasil.

Sementara itu pada tanggal 28 September 1948, pasukan-pasukan PKI pimpinan Djoko Soedjono mengundurkan diri dari Madiun tanpa melakukan perlawanan. Mereka mundur dengan seluruh kekuatannya ke Dungus, letaknya di lereng Gunung Wilis. Madiun ditinggalkan PKI dan direbut kembali TNI. Merah Putih berkibar di Madiun pada tanggal

30 September 1948. Di Dungus mereka dikejutkan oleh Brigade S, yang bergerak dari Kediri menggunakan

poros tengah serangan. Kompi “Macan Kerah” yang dipimpin oleh Kapten Sampurno, memelopori serangan dari puncak Gunung Wilis. Ia berhasil mencerai beraikan pasukan PKI dan memaksanya mundur dalam keadaan tidak teratur ke arah selatan. Sejak jatuhnya Dungus, pasukan PKI terus bergerak dan dikejar terus oleh pasukan Sadikin dan Surachmad. Pasukan PKI bertempur dengan fanatisme tinggi, tapi pergerakannya lambat.[5]

Meski dalam keadaan mundur, kekuatan pasukan PKI masih mampu menyerang kurang lebih lima batalion di Ponorogo. Penyerangan gagal karena kecepatan gerakan bantuan oleh Batalion Branjangan, pimpinan mayor Moejayin dari arah selatan, dan Batalion Achmad Wiranatakusumah dari arah utara Ponorogo. Batalion Achmad yang dengan cepat melanjutkan gerakan ke selatan, setelah menangkis pasukan PKI terhadap Ponorogo, menduduki kota Pelabuhan Pacitan. Tertutuplah semua basis pengunduran pasukan PKI, dan tertutup pula lah peluang untuk membangun basis gerilya di selatan Madiun.

Gerak mundur pasukan Djoko Soedjono beralih ke arah utara. Pimpinan PKI termasuk Amir, Maruto Daroesman, Wikana, dan lain-lain berada di dalam pasukan besar ini. Pengenalan dan penguasaan medan yang baik, memungkinkan pasukan besar meloloskan diri dari pengejaran dan penghadangan pasukan TNI. Soemarsono yang juga berada di pasukan ini, mengakui bahwa pasukannya menghadapi tekanan yang sangat berat. Kekuatan yang dimiliki hanya kurang lebih tiga batalion, sedangkan TNI kekuatannya puluhan batalion. Untuk menghindari tekanan lawan, pasukan PKI mengubah taktik, dengan bergerak ke “front” (daerah pertahanan depan menghadapi Belanda). Menurut Soemarsono, front yang di Jawa Timur berat, tapi front di Jawa Tengah agak ringan. Mereka akhirnya ke front Jawa Tengah. Di situ Soemarsono ingin menyelamatkan orang- orang inti partai, termasuk Moesso, Amir, dan lain-lan.[6]

Moesso yang rupanya melepaskan diri dari pasukan besar, bergerak sendiri dengan dua pengawalnya. Ia tertembak mati oleh Kompi Sumadi di desa Semading, pada 31 Oktober 1948.

Di utara Surakarta, daerah-daera Kudus, Pati, Wirosari, Purwodadi, dan Cepu, Brigade Soediarto KPPS dengan beberapa kesatuan laskar antara lain Laskar Minyak Cepu bergabung dengan pemberontak PKI Madiun, dan mendirikan pemerinta Front Nasional di Pati. Gubernur Militer Gatot Soebroto menugaskan Brigade I/Siliwangi, dipimpin oleh Letnan Kolonel Kusno Oetomo, untuk menumpas pemberontkan ini. Koesno berhasil merebut kembali kota-kota dan daerah-daerah tadi dalam waktu relatif singkat.

Pasukan besar Djoko Soedjono yang mengundurkan diri dari Madiun, melalui perjuangan yang berat sampai di daerah utara Solo. Di sebelah barat Purwodadi , sisa pasukannya masuk ke daerah Klambu, suatu medan yang berhutan, penuh rawa, dan berdekatan dengan garis “status quo van Mook”. Pertempuran yang menentukan terjadi di daerah ini. Batalion “Kala Hitam” dari Brigade Siliwangi I di daerah Purwodadi ini dikerahkan untuk menghadapi sisa pasukan Djoko Soedjono, dan kemudian terlibat dalam pertempuran yang menentukan.

Pertempuran terakhir ini berlangsung seru selama dua hari, dengan penuh fanatisme dari kedua belah pihak. Batalion Kala Hitam kehilangan seorang komandan kompi, Kapten Hamid, gugur di dalam pertempuran. Tanggal 28 November, Djoko Soedjono, Maroeto Daroesman, Sajogo dan kawan-kawannya tertangkap oleh satuan-satuan TNI di Desa Peringan dekat Klambu. Dalam pengakuannya, Djoko Soedjono menyatakan bahwa ia terpisah hanya 200 meter dari rombongan Amir. Dari keterangan ini TNI mengambil kesimpulan bahwa rombongan Amir pasti berada di Purwodadi. Pengejaran dalam bentuk operasi-operasi diintensifkan. Keesokan harinya dapat diastikan persembunyian Amir terletak di sekitar daerah Klambu. Pengepungan dilakukan. Amir masih mencoba meloloskan diri lewat rawa-rawa dan hutan-hutan. Amir, Soeripno, dan Harjo akhirnya berasil ditawan oleh Kompi Pasopati pimpinan Kapten Ranoe. Oleh Kapten Ranoe para tawanan di bawa ke Babalan untuk diserahkan kepada Batalion RA Kosasih/Brigade Siliwangi I. Praktis seluruh pasukan PKI yang dipimpin oleh Djoko Soedjono dan Soemarsono menyerah di hutan Klambu. Berakhirlah pemberontakan PKI, yang operasi penumpasannya memakan waktu 72 hari, sejak dimulai dengan perebutan kekuasaan di

Klambu. Pada tanggal 19 Desember 1948, Amir dengan 11 pemimpin PKI lainnya, yakni Soeripno, Maroeto Daroesman, Sardjono, Oei Gee Hwat, arjono, Djoko Soedjono, Soekarno, Katamhadi, Ronomarsono, dan D.Mangkoe menjalani hukuman mati di Desa Ngalihan, Karanganyar Solo atas perintah Gubernur Militer Solo, Kolonel Gatot Subroto.[7]

Maroeto dan Djoko Sudjono ditangkap. Sumber foto: Harian Sin Po, tahun 1948

Berita penangkapan Amir Sjarifoeddin dan Soeripno. Sumber foto: Harian Sin Po

Sebelum dieksekusi Amir dan kawan-kawannya menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu PKI, Internasionale. Selesai bernyanyi, Amir menyeru “Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!”Kemudian mulailah mereka ditembak satu persatu.[8] Revolusi memakan anaknya sendiri. Pertempuran di Madiun yang berjalan 12 hari lamanya, kata M. Natsir, “Noda paling besar dalam hikayat Indonesia. Kekejaman orang-orang yang telah iles-iles (injak-injak –red) moral dan undang-undang. Tapi kebenaran dan keadilan akan menang lantaran pengorbanan dari orang-orang yang binasa dalam ini peperangan. Saat dari direbut

Bersambung ke bagian 5: PKI Membela Diri?

Kembali ke bagian 3

Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Artikel ini adalah kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

[1] Soetanto, Himawan. Ibid [2] Ibid

[3] Abu Hanifah, Majalah Prisma, 8 Agustus 1977 [4] Soetanto, Himawan. Ibid [5] Ibid dan Maksum., Sunyoto, Agus., Zainuddin,A. 1990. Lubang-lubang

Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun.Jakarta: Pustaka Utama Grafiti [6] Setiawan,Hersri. Ibid dan Soetanto, Himawan. Ibid [7] Soetanto, Himawan. Ibid dan Poeze, Harry A. Ibid [8] Poeze, Harry A. Ibid [9] Koran Sin Po, 6 Oktober 1948

Pemberontakan PKI Madiun 1948: (5) PKI Membela Diri?

http://jejakislam.net/pemberontakan-pki-madiun-1948-5-pki-membela-diri/ - diakses 24- 09-2017

PKI pasca pemberontakan 1948 berusaha membela diri mereka mengenai pemberontakan Madiun. Menurut Aidit ‘peristiwa Madiun’ adalah provokasi Hatta- Sukiman-Natsir.

Saat kebangkitan PKI di Tahun 1950-an beredar narasi tandingan atas peristiwa Madiun Saat kebangkitan PKI di Tahun 1950-an beredar narasi tandingan atas peristiwa Madiun

1. Rasionalisasi Hatta “Saja katakan bahwa Peristiwa Madiun adalah provokasi pemerintah Hatta-Sukiman- Natsir,”kata D.N. Aidit dalam pembelaannya yang berjudul “Menggugat Peristiwa Madiun”, yang dibacakan di sidang DPR, 11 Februari 1957.[1] Ia beralasan provokasi itu bermula dari pembunuhan terhadap Kolonel Soetarto, seorang Komandan KPPS, karena menolak rasionalisasi Hatta. Selanjutnya penculikan dua orang anggota PKI yang dilakukan aparat pemerintah. Disusul penculikan lima perwira TNI yang beraliran kiri. Ketegangan inimenjalar ke Madiun dengan dilucutinya pasukan Siliwangi oleh Brigade

29 pada 18 September 1948.

Tuduhan Aidit ini menurut sejarawan Asvi Warman Adam, lebih bersifat tendensius. Menurutnya, rasionalisasi Hatta bertujuan agar lebih efektif. Karena waktu itu terdapat sedikit persenjataan. Sehingga lebih dari 400 ribu tentara yang terdiri atas tentara reguler dan laskar perlu diciutkan menjadi 60 ribu. Patokan Hatta: satu senjata untuk empat prajurit.[2] Senada dengan Asvi, sejarawan Deliar Noer, pengurangan anggota tentara juga untuk menguatkan pertahanan. Deliar setuju dengan Hatta bahwa tentara kuat kalau susunannya efektif, moral dan disiplinnya baik, serta cukup perlengkapannya.[3] Lagi pula penjelasan Hatta tentang rasionalisasi sifatnya menjabarkan mosi Baharudin dalam Badan Pekerja KNIP pada tanggal 20 Desember 1947. Dan mosi ini telah diterima oleh badan itu ketika Amir masih menjabat perdana menteri.

Mengenai pembunuhan kolonel Soetarto, menurut Himawan Soetanto, pelakunya adalah orang suruhan PKI sendiri. Namanya Pirono. Soetarto yang dibina oleh tokoh komunis Alimin, tidak setuju untuk melakukan ReRa di dalam jajarannya dan juga tidak mau diajak berontak. Alimin menukas militer akan bisa rugi kalau tidak berontak. Massa harus disadarkan dan suatu kondisi revolusioner harus diciptakan terlebih dahulu. Karena Soetarto tidak mau ikut, ia akhirnya dibunuh Pirono.[4] Terkait pasukan yang dirasionalisasi juga tidak hanya KPPS atau yang berhaluan kiri, tapi juga pasukan Siliwangi dan pasukan Masyumi, Hizbullah.

Mengapa Aidit hanya menyalahkan Hatta? Mengapa Soekarno tidak? Padahal kita tahu Sukarno yang menyuruh rakyat memilih ikut PKI Musso atau Soekarno-Hatta? Sejarawan Asvi Warman Adam memandang waktu Aidit menggugat Peristiwa Madiun di DPR, 11 Februari 1957, Hatta sudah mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Dan tentara yang dipimpin Jenderal Nasoetion sudah merapat kepada Presiden Soekarno. Hubungan di antara keduanya makin mesra pada saat dan setelah meletus PRRI/Permesta. Jadi,“Hatta sudah kehilangan kekuasaan, dengan mudah dijadikan kambing hitam,”ujarnya.[5]

Mengapa Aidit hanya menyalahkan dua menteri dari partai Masyumi, Soekiman dan Natsir? Mengapa ia juga menyebut program pemerintah Hatta adalah program Masyumi[6]? Sayangnya, Aidit tidak bisa menunjukkan buktinya. Padahal kita tahu di Mengapa Aidit hanya menyalahkan dua menteri dari partai Masyumi, Soekiman dan Natsir? Mengapa ia juga menyebut program pemerintah Hatta adalah program Masyumi[6]? Sayangnya, Aidit tidak bisa menunjukkan buktinya. Padahal kita tahu di

2. PKI Membela Diri?

Soemarsono membantah PKI memberontak karena maraknya penculikan dan penumpasan kawan-kawannya di Solo. Ini membuat ia dan kawan-kawannya di Madiun merasa tinggal tunggu giliran dihabisi dan diculik. Padahal sejarawan Poeze mengungkap tidak ada pergerakan pasukan dari pusat ke Madiun.[7]

Soemarsono membantah PKI memberontak karena setelah Madiun direbut, Wakil Walikota Madiun, Soepardi, melaporkan kejadian di Madiun kepada pemerintah pusat untuk meminta instruksi penyelesaian. “Apakah meminta instruksi dari pemerintah pusat itu termasuk pemberontakan?”kata Soemarsono. Soemarsono tampaknya ingin menunjukkan loyalitas PKI kepada pemerintah pusat. Kalau betul-betul loyal, mengapa PKI membentuk Pemerintahan Front Nasional Madiun? Mengapa di pemerintahan itu, Soepardi naik jabatan menjadi Walikota? Dan ide siapa pemerintahan front nasional itu? Tiada lain, tiada bukan; Moesso.

Gambar 13. Materi Propaganda komunisme di Indonesia 1945-1949. Sumber foto: KITLV Digital Media Library

Aidit mengaku PKI tidak punya rencana untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Madiun. Karena saat terjadi pertempuran dan pelucutan senjata di Madiun, Moesso, Amir, Harjono, dan lain-lain sedang mengadakan program perjalanan PKI di Purwodadi. Aidit mungkin lupa, dua atau tiga hari sebelum peristiwa Madiun, Soemarsono bertemu dengan Moesso dan Amir Sjarifoeddin. Ia menceritakan tiga pemimpin Serikat Buruh Dalam Negeri diculik oleh pasukan gelap karena mogok. “Bertindak! Lucuti saja pasukan yang menculik itu,” kata Musso dan Amir. Soemarsono juga menyatakan yang bertanggung jawab atas peristiwa Madiun adalah atasannya, politbiro PKI.[8]

Pertanyaannya, mengapa pasukan Siliwangi di Madiun dilucuti? Padahal Soemarsono mengatakan tidak tahu identitas pasukan gelap itu. “Apa itu Siliwangi, atau bukan, ya ndak tahu,” katanya.[9]

3. Red Drive Proposal

Di kawasan Sarangan, tersimpan rumor tentang pertemuan pemerintah Amerika dengan pemerintah Indonesia. Seorang wartawan komunis Perancis, Roger Vailland, kata Poeze, memberitakan bahwa terjadi pertemuan pada tanggal 21 Juli antara pemimpin Indonesia yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, Soekiman, Natsir, Roem, dan Kepala Polisi Soekanto, dengan pimpinan delegasi Amerika Serikat, Merle Cochran dan Gerard Hopkins, penasihat Presiden Trauman.[10] Menurut sumber-sumber PKI, pertemuan ini disebut-sebut menghasilkan Red Drive Proposal (usulan pembasmian komunis) yang salah satu isinya, Amerika menjanjikan 56 juta dolar AS kepada pemerintah untuk menghancurkan PKI.[11] Soemarsono meyakini adanya Red Drive Proposal. “Jadi memang masalah Red Drive. Memang yang ditonjolkan supaya orang-orang kiri keluar dari pemerintah. Itu sebabnya Hatta sama sekali tidak mau menempatkan orang dari sayap kiri. Satu kursi pun yang ditawarkan ndak! Ndak mungkin,” kata mantan Gubernur Militer Front Nasional Madiun ini. [12] Soemarsono mungkin lupa Hatta pernah menawarkan kursi kepada FDR, tapi ditolak.

Gambar 14. Soemarsono. Sumber foto: Temponteraktif.com

Adanya pertemuan Sarangan dan Red Drive Proposal diragukan. Sebab Vailland salah menyebut tanggal kedatangan Duta Besar Amerika, Merle Cochran ke Indonesia. Vailand bilang tanggal 21 Juli 1948. Padahal Cochran baru datang tanggal 9 Agustus 1948, kata peneliti sejarah, Ann Swift.[13] Kemudian Vailand salah menyebut nama lengkap Hopkins. Nama panjangnya bukan Gerard Hopkins, tapi Harry Hopkins. Dan Harry Hopkins tidak pernah ke Indonesia, kata Poeze.[14]

Sejarawan Rushdy Hoesein yang pernah riset lapangan ke Hotel Huisje Hansje, tempat Red Drive Proposal disebut-sebut ditawarkan Amerika, tidak menemukan petunjuk apa pun. “Pertemuan Sarangan bisa dianggap sebagai mitos,” katanya.[15] Hersri Setiawan yang pernah mewawancarai Soemarsono dan menelusuri dokumen pertemuan Sarangan, juga tidak mendapatkan satu pun dokumen yang mampu menjelaskan pertemuan Sarangan dan Red Drive Proposal. “Saya menyimpulkan (proposal) itu mengada-ada,”ungkapnya.[16]

4. Tidak Ada Korban Pembantaian

Aidit membantah PKI membantai ulama, pegawai negeri, anggota tentara, dan umat Islam dalam peristiwa Madiun 1948. Tapi kenyataannya sebaliknya. Sin Po, 22 Oktober 1948, memberitakan rakyat, pegawai-pegawai negeri, ulama-ulama, kiai-kiai, tentara-

Koran Merdeka 5 Oktober 1948 memberitakan, “kalangan pamong prodjo, wedono Bupati, dan tjamat banjak jang dibunuh. 159 orang TNI gugur selama pertempuran di

Sin Po, 4 Oktober 1948 memberitakan, “Rumah-rumah penduduk dibakar, banyak milik penduduk dirampok pemberontak.Poeloe pemimpin tentara dan civiel dengan sangat

Bukan hanya aparatur pemerintah, penduduk sipil tetapi PKI menyasar khusus sasarannya kepada umat Islam khususnya para kiyai dan santri-santrinya.

Seorang antropolog Amerika, Robert Jay, yang mulai tahun 1953, kerja lapangan di Jawa Tengah juga menggambarkan kekejaman PKI. “Mereka menggunakan kekuatan mereka untuk melenyapkan bukan saja para pejabat pemerintah pusat, tapi juga penduduk biasa yang merasa dendam. Mereka itu terutama ulama-ulama tradisionalis, santri dan lain- lain yang dikenal karena kesalihan mereka kepada Islam. Mereka ini ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang, kadang-kadang ketiga-tiganya sekaligus. Masjid

Bersambung ke bagian 6: Pembantaian Ulama dan Santri

Kembali ke bagian 5

Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Artikel ini adalah kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU) [1] Aidit, DN. 1964. Aidit Menggugat Peristiwa Madiun. Jakarta: Jajasan Pembaruan [2] Asvi Warman Adam, Majalah Tempo, 14 November 2010 [3] Noer, Deliar. Ibid [4] Soetanto, Himawan. Ibid [5] Asvi Warman Adam, Majalah Tempo, 14 November 2010 [6] Aidit, DN. Ibid [7] Poeze, Harry A. Ibid

[9] Ibid [10] Poeze, Harry A. Ibid [11] Poeze, Harry A. Ibid dan Majalah Tempo, 14 November 2010 [12] Setiawan,Hersri. Ibid [13] Swift, Ann. 1989. The Road to Madiun:The Indonesian Communist Uprising of

1948. New York:Cornell University [14] Poeze, Harry A. Ibid [15] Majalah Tempo, 14 November 2010 [16] Ibid [17] Koran Sin Po, 22 Oktober 1948 [18] Koran Merdeka, 4 Oktober 1948 [19] Koran Sin Po, 5 Oktober 1948 [20] Poeze, Harry A. Ibid

Pemberontakan PKI Madiun 1948: (6) Pembantaian Ulama dan Santri

http://jejakislam.net/pemberontakan-pki-madiun-1948-6-pembantaian-ulama-dan-santri/ - diakses 24-09-2017

Selain aparat pemerintah, warga sipil khususnya para kiyai dan para santrinya yang tak bersalah, nyatanya adalah sasaran serangan-serangan sistematis dan keji oleh PKI. Koran seperti Sin Po hingga saksi yang masih hidup menceritakan peristiwa biadab tersebut. Sebuah bukti bahwa pemberontakan Madiun bukanlah pembelaan diri.

Seorang antropolog Amerika, Robert Jay, yang mulai tahun 1953, turun ke Jawa Tengah menggambarkan kekejaman PKI. “Mereka menggunakan kekuatan mereka untuk melenyapkan bukan saja para pejabat pemerintah pusat, tapi juga penduduk biasa yang merasa dendam. Mereka itu terutama ulama-ulama tradisionalis, santri dan lain-lain yang dikenal karena kesalihan mereka kepada Islam. Mereka ini ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang, kadang-kadang ketiga-tiganya sekaligus. Masjid

Seorang narasumbernya bercerita kepada Robert Jay, “Soalnya begini Mas. Kami mulai mendengar kabar itu dari Madiun. Ulama-ulama dan

santri-santri mereka dikunci di dalam madrasah, lalu madrasah-madrasah itu dibakar. Mereka itu tidak berbuat apa-apa, orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik. Hanya karena mereka itu muslim saja. Orang dibawa ke alun-alun kota, di depan masjid, kemudian kepala mereka dipancung. Parit-parit di sepanjang jalan itu digenangi darah setinggi tiga sentimeter, Mas.”[2]

Di Madiun, Sin Po menulis laporan dari saksi mata. Sesudah perebutan kekuasaan menyusul tindakan pembersihan, “Semoea pemimpin Masjoemi dan PNI ditangkep atawa diboenoeh dengan tida dipreksa poela. Kekedjaman di Kota Madiun djadi memoentjak, koetika barisan ‘warok’ ponorogo masoek kota dengen bersendjata revolver dan klewang. Di mana ada terdapat orang-orang Masjoemi, PNI atawa jang ditjoerigakan, zonder banjak tjingtjong lagi lantas ditembak. Belon poeas dengan ini tjara, korban itoe laloe disamperi dan klwangnja dikasi bekerdja oentoek pisahken kepalanja sang korban dari toeboehnja. Kedjadian atawa pemboenoehan stjara ini dilakoekan di berbagai bagian dari kota dan sakiternja, hingga dalam tempo beberapa hari sadja darah manoesia telah membandjiri kota Madioen. Soenggoe keadahan sangat mengerihkan teroetama djika orang melihat dengen mata sendiri, orang-orang jang diboenoeh pating gletak di sepandjang djalan

Sin Po 1 Oktober 1948, memberitakan, ” pembrontakan communist itoe ditoedjoekan kerna kaoem FDR-PKI merasa tida soeka pada Masjoemi dan banjak sekali orang- orang jang Masjoemi di daerah jang didoedoekin oleh communist telah diboenoe dengen

Seorang narasumbernya cerita kepada Robert Jay, “Soalnya begini Mas. Kami mulai mendengar kabar itu dari Madiun. Ulama-ulama dan

santri-santri mereka dikunci di dalam madrasah, lalu madrasah-madrasah itu dibakar. Mereka itu tidak berbuat apa-apa, orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik. Hanya karena mereka itu muslim saja. Orang dibawa ke alun-alun kota, di depan masjid, kemudian kepala mereka dipancung. Parit-parit di sepanjang jalan itu digenangi darah setinggi tiga sentimeter, Mas.”[5] Di Madiun, Sin Po menulis laporan dari saksi mata. Sesudah perebutan kekuasaan menyusul tindakan pembersihan, “Semoea pemimpin Masjoemi dan PNI ditangkep atawa diboenoeh dengan tida dipreksa poela. Kekedjaman di Kota Madiun djadi memoentjak, koetika barisan ‘warok’ ponorogo masoek kota dengen bersendjata revolver dan klewang. Di mana ada terdapat orang- orang Masjoemi, PNI atawa jang ditjoerigakan, zonder banjak tjingtjong lagi lantas ditembak. Belon poeas dengan ini tjara, korban itoe laloe disamperi dan klwangnja dikasi bekerdja oentoek pisahken kepalanja sang korban dari toeboehnja. Kedjadian atawa pemboenoehan stjara ini dilakoekan di berbagai bagian dari kota dan sakiternja, hingga dalam tempo beberapa hari sadja darah manoesia telah membandjiri kota Madioen. Soenggoe keadahan sangat mengerihkan teroetama djika orang melihat dengen mata sendiri, orang-orang jang diboenoeh pating gletak di sepandjang djalan sampe bebrapa hari tida ada jang mengangkat.” [6] Sin Po 1 Oktober 1948, memberitakan,” pembrontakan communist itoe ditoedjoekan kerna kaoem FDR-PKI merasa tida soeka pada Masjoemi dan banjak sekali orang-orang jang Masjoemi di daerah jang didoedoekin oleh communist telah diboenoe dengen kekedjaman.”[7]

Serangan ke Pesantren Sabilul Muttaqien

Belakangan tim koran Jawa Pos yang terdiri atas Maksum, Sunyoto, dan Zainuddin, mewawancarai saksi-saksi hidup, baik tokoh-tokoh yang turut dalam operasi penumpasan, maupun para korban yang luput dari aksi pembantaian oleh kaum komunis. Hasil wawancaranya mengungkap PKI memakan korban, khususnya kiai. Salah satu yang menjadi sasaran adalah Pesantren Sabilul Muttaqien atau yang lebih dikenal dengan Pesantren Takeran.

Bersamaan dengan kudeta terhadap pemerintah, pendukung PKI mengincar tokoh-tokoh dari Pesantren Takeran yang dianggap sebagai musuh utama mereka. Sebab, Pesantren Takeran pimpinan Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berusia 28 tahun itu adalah pesantren yang paling berwibawa di kawasan Magetan..

Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jumat Pon, Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo berpamitan kepada Kiai Imam Mursjid. Kepergian Kiai Hamzah dan Kiai Nurun ke Burikan itu ternyata untuk yang terakhir kalinya. Sebab pada hari Sabtu Wage, 18 September 1948, Pesantren Burikan diserbu oleh PKI, dan tokoh-tokoh pesantren serta para santri, termasuk Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang masih ada di pesantren tersebut, diseret ke Desa Batokan yang letaknya hanya 500 meter dari Pesantren Burikan. Kiai Hamzah dan Kiai Nurun termasuk diantara para korban yang dibantai oleh PKI di lubang pembantaian Batokan.

Seusai shalat Jumat tanggal 17 September 1948, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Muhammad Kamil kenal dengan beberapa orang di antara tokoh PK yang datang itu, seperti Suhud dan Ilyas alias Sipit. “Sipit sebenarnya santri Mas Imam Mursjid. Tapi entah mengapa dia bisa menjadi PKI,” ujar Kamil,salah seorang saksi mata. Sipit sendiri, menurut Kamil, ketika itu dikenal sebagai kepala Takeran yang kemana- mana selalu membawa senapan. Tetapi sejak jauh hari, Kiai Imam Mursjid sudah mulai meragukan kesetiaan Sipit. Hal itu terungkap dari pernyataan Kiai Imam Mursjid kepada Kamil tentang iktikad baik Sipit. “Waktu itu saya sudah mengatakan bahwa Sipit tak bisa dipercaya lagi, sebab Sipit sudah tak sembahyang lagi,” ujar Kamil mengingat- ingat.

Waktu didatangi oleh tokoh-tokoh PKI, Kiai Imam Mursjid diajak keluar dari mushalla kecil di sisi rumah Kamil. Menurut Kamil, Kiai Imam Mursjid akan diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia dengan PKI-nya. Keberangkatan Kiai Imam Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja merisaukan warga pesantren, sebab warga pesantren tak menduga bahwa Kiai Imam Mursjid akan menurut begitu saja diajak berunding oleh PKI.

Kiai Zakaria, salah seorang saksi yang diwawancarai Tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU), yang saat kejadian masih jadi santri (13 tahun) di pesantren Sabilil Muttaqin, bercerita,

“Salah satu pendiri pesantren Sabilil Muttaqin, Kiai imam mursyid didatangi oleh Suhud. Suhud adalah seorang camat PKI. Mobilnya hitam. Di sisinya, berdiri dua orang yang satu membawa standgun dan satu lagi membawa karaben. Di hadapan santri-santri, “Salah satu pendiri pesantren Sabilil Muttaqin, Kiai imam mursyid didatangi oleh Suhud. Suhud adalah seorang camat PKI. Mobilnya hitam. Di sisinya, berdiri dua orang yang satu membawa standgun dan satu lagi membawa karaben. Di hadapan santri-santri,

Waktu itu para santri di Takeran berkumpul dengan perasaan was-was terhadap rencana kepergian kiai mereka bersama PKI. Setelah Suhud menenangkan suasana dngan dalilnya, di depan pendapa pesantren Kiai Imam Mursjid dinaikkan ke mobil. Tetapi sebelum mobil berangkat, Imam Faham, saudara sepupu Kiai Imam Mursjid sekaligus santri yang setia, meminta kepada PKI agar diperkenankan ikut naik mobil mendampingi pemimpinnya. Permohonan Imam Faham itu dikabulkan oleh PKI dan mereka pun meluncur keluar kawasan pesantren.

Iskan, salah seorang saksi mata, juga menyatakan bahwa Pesantren Takeran sudah dikepung oleh ratusan orang PKI. “Setelah Mas Imam Mursjid dibawa dengan mobil, saya melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren. Mereka rata-rata berpakaian hitam dengan memakai ikat kepala merah dan bersenjata,” ujar Iskan sambil menitikkan air mata mengenang gurunya yang sangat dipatuhi itu.

Menurut Iskan, sebelum itu pihak PKI memang sudah mengancam, jika Kiai Imam Mursjid tak mau menyerah dan mendukung mereka, maka pesantren akan dibumihanguskan. Mungkin, menurut Iskan, apabila Jumat itu Kiai Imam Mursjid tak berhasil dibawa PKI, bisa dipastikan pesantren akan dibakar dan dengan demikian korban akan sangat besar. Iskan menduga, Kiai Imam Mursjid mau ikut PKI untuk menghindari terjadinya korban yang lebih besar di antara para pengikutnya.

Pada hari Minggu Kliwon, 19 September 1948, kurir PKI yang lain datang lagi menyampaikan pesan bahwa Kiai Imam Mursjid belum bisa pulang. Malah mereka mengatakan perundingan tersebut membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Noer, sepupu Kiai Imam Mursjid yang selama itu ikut memimpin Pesantren Takeran. “Waktu itu mereka mengatakan bahwa Mas Imam Nursjid baru bisa pulang kalau Kiai Muhammad Noer datang menjemput,” kata Kamil.

Kiai Muhammad Noer, begitu mendengar pesan dari kurir tersebut, diam-diam mendatangi markas PKI di Gorang Gareng, 6 kilometer di sebelah barat Takeran. Tapi di tengah jalan, ia ditangkap PKI dan sempat ditawan di sebuah tempat di Takeran. Kurir PKI berulang kali datang lagi ke pesantren setelah Kiai Muhammad Noer dibawa ke Gorang Gareng. Dia mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.

PKI mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.

Mendapat informasi seperti itu, Tarmudji secepatnya menyelamatkan diri. Apalagi dia juga diberi tahu bahwa dialah yang mendapat giliran dicari PKI. Meskipun tak

Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofi’i, Tjiptomartono, Kadimin, Reksosiswojo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’. Yang terakhir ini adalah guru pesantren yang didatangkan dari Al-Azhar, Kairo (Mesir). Saat itu, Pesantren Takeran memang sangat terkenal dan muridnya datang dari berbagai daerah termasuk dari luar Jawa.

Mereka itu akhirnya memang tak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di berbagai tempat di Magetan. Bahkan hingga tahun 1990, mayat Kiai Imam Mursjid tak kunjung ditemukan. Dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri -daftar ini ditemukan oleh pasukan Siliwangi-, nama Kiai Imam Mursjid tak ada.[9]

Pembantaian di sumur tua Cigrok

Di Desa Cigrok, sebelah selatan Takeran, terdapat sumur tua yang digunakan PKI sebagai tempat pembuangan korban-korbannya. Sumur tua Cigrok ini terletak di belakang rumah To Teruno, seorang warga yang sebenarnya bukan orang PKI. Justru dialah yang melaporkan kegiatan PKI di sumurnya itu kepada Kepala Desanya. Di dekat rumah To Teruno, tinggal pula Muslim, seorang santri yang menjadi saksi kebiadaban PKI dalam melakukan pembantaian di sumur tua itu tahun 1948.

Muslim menceritakan pada malam terjadinya penjagalan itu, semua orang tak berani keluar rumah. Malam itu, dia mendengar suara bentakan Surat, pimpinan PKI yang berasal dari Desa Petungredjo. Dia juga mendengar suara orang menjerit histeris karena dianiaya. Muslim, yang diam-diam mengintip melalui lubang dari rumahnya, melihat gerak-gerik orang-orang PKI itu dalam keremangan malam. Muslim dapat mengenali salah satu korban yang mengumandangkan adzan dari dalam sumur. Suara itu, menurutnya adalah suara K.H. Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari.

Achmad Idris, tokoh Masyumi di Desa Cigrok yang ketika itu sudah ditawan PKI, menyaksikan penjagalan biadab PKI dari kejauhan. Meskipun sayup-sayup, dia sangat mengenal suara adzan K.H. Imam Sofwan yang mengumandang dari dalam sumur itu, sebab Idris sering mendengarkan pengajian-pengajian K.H. Imam Sofwan.

Menurut Idris, pembantaian oleh PKI di sumur Cigrok itu tak dilakukan dengan senapan atau Klewang, akan tetapi dengan pentungan. Idris mengungkapkan para tawanan dengan tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur satu demi satu. Kemudian, seorang algojo PKI menghantamkan pentungan ke bagian belakang tiap tawanan tersebut.

Waktu itu, Idris mengenang, ada tawanan yang segera setelah dihantam langsung menjerit dan roboh ke dalam sumur. Tetapi ada pula yang setelah dihantam, masih kuat merangkak sambil melolong-lolong kesakitan. Tangan mereka menggapai-gapai mencari pegangan. Melihat para korban merangkak seperti itu, orang-orang PKI kemudian menyeret begitu saja dan memasukkan mereka hidup-hidup ke dalam sumur. K.H. Imam Sofwan, menurut Idris, termasuk yang tak meninggal setelah dihantam. Hal serupa juga dialami oleh kedua putra beliau, yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani, yang dibantai di sumur tua Desa Kepuh Rejo, tak jauh dari sumur Cigrok.

Orang-orang PKI yang melihat bahwa ternyata ada korban yang masih hidup di dalam sumur, sama sekali tak peduli. Mereka lantas langsung menimbuni sumur tersebut dengan jerami, batu, dan tanah. Karena itu, ada pernyataan yang menyebutkan bahwa korban pemberontakan PKI tahun 1948 sebenarnya dikubur hidup-hidup. Muslim mengatakan, pada pagi hari seusai pembantaian dia mendapati lanjaran (rambatan) kacang dan jerami di kebunnya sudah habis. “Rupanya orang-orang PKI membabat semua itu untuk menimbuni sumur,” tutur Muslim yang diancam oleh PKI agar tutup mulut.

Yang dimasukkan ke lubang pembantaian Cigrok paling sedikit berjumlah 22 orang. Di antara para korban itu, ada K.H. Imam Sofwan, Hadi Addaba’ dan Imam Faham. Hadi Addaba’ sendiri adalah guru dari Mesir yang ditugaskan mengajar di Pesantren Takeran. Sementara Imam Faham adalah santrinya K.H. Imam Mursjid yang ikut mengiringi K.H. Imam Mursjid ketika dibawa mobil PKI. Tetapi rupanya di tengah jalan kiai dan pengawalnya itu dipisah. Imam Faham diturunkan di tengah jalan dan akhirnya ditemukan di dalam lubang pembantaian Cigrok.[10]

Kisah lainnya, pada hari Senin Legi, 20 September 1948, tiba-tiba datang sebuah truk yang berisi orang-orang PKI baik laki-laki, maupun perempuan. Seorang perempuan sekonyong-konyong berteriak keras kepada seluruh penduduk Kauman. Dia mengatakan bahwa salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di Kampung Kauman.

“Di atas truk memang ada mayat yang dibungkus kain dan hanya kelihatan kakinya saja,” kata Parto Mandojo, yang ketika itu menjadi pengusaha mebel makanan di Kauman. Dia menceritakan bahwa perempuan yang berteriak tadi menginginkan ada penduduk Kauman yang mengakui telah membunuh salah seorang anggota PKI. Namun tak satu pun penduduk Kauman yang mengakuinya karena mereka memang tak merasa pernah membunuh satu orang pun. Akhirnya rombongan PKI pergi meninggalkan ancaman akan membumihanguskan Kampung Kauman. Ini adalah taktik licik ‘mencari pembunuh’ ala PKI, karena sebenarnya, ingin menjebak lawan-lawan yang akan menghalangi pemberontakan mereka.

Pada hari Jumat Kliwon, 24 September 1948, PKI seperti kerumunan lebah yang menyerbu Kampung Kauman. Rumah-rumah dibakar sehingga seluruh penghuni keluar dari persembunyiannya. “Waktu itu seluruh warga laki-laki Kauman ditawan dan digiring ke Masopati setelah tangan mereka ditelikung dan diikat dengan tali bambu,” tutur Parto Mandojo.

Dalam aksi pembumihangusan Kampung Kauman itu, tak kurang dari 72 rumah terbakar, dan sekitar 149 laki-laki digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh tawanan dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori milik pabrik gula ke kawasan Glodok. “Dari glodok kami dipindahkan ke Geneng dan Keniten. Tetapi sebelum disembelih, kami berhasil diselamatkan oleh tentara Siliwangi,” ujar Parto Mandojo tentang peristiwa mencekam itu.

Pembakaran Kampung Kauman pada dasarnya merupakan bagian dari aksi PKI untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Sebab, sebelum aksi

Kiai Imam Mursjid tertawan. Pesantren Burikan pun tak luput dari serbuan PKI. Kemudian para tokoh-tokoh pesantren seperti Kiai Kenang, Kiai Malik, dan Muljono dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan ulama yang dibantai oleh PKI adalah keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.

Achmad Daenuri, putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno, menceritakan bahwa ayahnya adalah putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri, ayahnya ditangkap oleh PKI, bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan. Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani. “Jadi setelah pemberontakan itu meletus, pesantren-pesantren sudah benar-benar kehilangan pimpinan,” simpul Daenur.[11]

Pak Kafrawi, saksi penyerbuan PKI di Ponpes Gontor. Diwawancara bulan Agustus 2016 silam. Sumber foto: JITU

Di Pondok Pesantren Gontor, PKI juga menyebarkan terornya, Seperti dituturkan oleh Kafrawi, saksi hidup yang diwawancarai Tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU), yang saat kejadian, masih jadi santri di Pesantren Gontor, Ponorogo. Ketika itu pesantren Gontor dikuasai dan diancam oleh PKI. Banyak orang PKI berpakaian hitam-hitam datang ke Gontor, lalu mengancam. “Kalau tidak mau menyerah, kita akan habiskan besok dan Di Pondok Pesantren Gontor, PKI juga menyebarkan terornya, Seperti dituturkan oleh Kafrawi, saksi hidup yang diwawancarai Tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU), yang saat kejadian, masih jadi santri di Pesantren Gontor, Ponorogo. Ketika itu pesantren Gontor dikuasai dan diancam oleh PKI. Banyak orang PKI berpakaian hitam-hitam datang ke Gontor, lalu mengancam. “Kalau tidak mau menyerah, kita akan habiskan besok dan

Berbagai peristiwa biadab tersebut, sebetulnya menjelaskan bahwa pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, bukanlah membela diri seperti yang digaung-gaungkan Aidit. Jika hanya membela diri mengapa mereka membantai para kiyai dan santrinya yang tak bersalah dan tak ikut dalam konflik, secara sistematis?

Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Tulisan ini hasil kerjasama Jejak Islam untuk Bangsan (JIB) dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

[1] Poeze, Harry A. Ibid [2] Ibid [3] Ibid [4] Koran Sin Po 1 Oktober 1948 [5] Ibid [6] Ibid [7] Koran Sin Po 1 Oktober 1948 [8] Wawancara anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) kepada Imam Zakaria [9] Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 16-21 [10] Sunyoto, Agus., Zainuddin,A.Ibid [11] Sunyoto, Agus., Zainuddin,A.Ibid [12] Wawancara anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) kepada Kafrawi

Pemberontakan PKI Madiun (1948): Mengungkap identitas sebagian korban

https://niadilova.wordpress.com/2016/04/17/pemberontakan-pki-madiun-1948- mengungkap-identitas-sebagian-korban/ - diakses 24-09-2017

Wacana tentang PKI terus bergulir di Indonesia. Sisa bau busuk dari peristiwa tragis dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia itu seolah tak mau hilang. Fokus perhatian masih pada tragedi 1965, di mana diperkirakan tidak kurang dari ½ juta orang anggota PKI (mungkin juga ada yang bukan) dibunuh dan sekitar sejuta lainnya dipenjarakan oleh Orde Baru. Para peneliti asing begitu kecanduan mengangkat-ungkit peristiwa ini.

antara lain lewat film The Act of Killing dan The Look ofSilence. Sementara itu, konflik lainnya yang melibatkan PKI terkesan sedikit terlupakan. Esai ini mengajak pembaca mengingat kembali Pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948. Ia mengungkap data yang agak jarang diketahui publik: senarai nama sebagian kecil korban yang dibunuh oleh pemberontak PKI yang dipimpin Muso itu. Nama-nama yang terlampir di sini baru merupakan sebagian dari data yang ditemukan. Sisanya, kebanyakan anggota Partai Masjumi yang terbunuh, akan dipublikasikan dalam esai yang lain.

Setidaknya ada 3 tujuan dipublikasikannya temuan ini: 1) mempertimbangkan kemungkinan manfaatnya bagi masyarakat umum yang kakek-buyut mereka jadi korban pemberontakan itu tapi selama ini belum teridentifikasi; 2) agar publik juga disadarkan pada korban-korban yang dibunuh oleh orang-orang PKI, tidak hanya pada korban- korban di pihak pengikut PKI saja; 3) menambah informasi yang masih samar-samar tentang Pemberontakan PKI di Madiun, khususnya untuk kalangan generasi sekarang.

Pada 11 Agustus 1948, Muso, kepala pemberontak yang akhirnya ditewaskan TNI, kembali ke Indonesia dari perantauannya yang lama di Uni Soviet. Sebulan kemudian terjadi peristiwa Madiun. Sampai sekarang masih kurang jelas, apakah dalam peristiwa itu kendali ada di tangan Muso atau Amir Syarifuddin (yang kemudian juga tertangkap di Yogyakarta dan dieksekusi di desa Ngalihan pada 19 Desember 1948). Muso (hanya dengan dua orang pengawalnya) dipergoki TNI di sebuah desa di selatan Ponorogo dalam keadaan terpisah dari group Amir yang tetap dikawal oleh ‘Panglima Besar’ pemberontak Djokosujono yang kemudian berhasil menyusupkannya ke Yogyakarta.

Latar belakang peristiwa Madiun tak lepas dari pertentangan yang makin meruncing di antara partai-partai politik yang memiliki ideologi yang saling berseberangan dalam taktik perjuangan masing-masing. Pertentangan itu dapat dibagi kepada dua blok: Komunis dan kawan-kawannya menentang Masjumi–PNI dan kawan-kawannja. PKI dan kawan-kawannya ingin membawa Indonesia ke bawah pimpinan Soviet Rusia. Hal ini dapat dikesan dari pidato Muso pada tanggal 8 September 1948 dalam rapat raksasa PKI di Madiun: “Sovyet Rusia adalah pemimpin revolusi dunia. Revolusi kita adalah bahagian daripadanja; djadi kita berada dibawah pimpinan Sovyet Rusia. Djika kita berada dipihak Rusia, maka adalah kita benar” (Sjarif Usman, “Air-Mata dan darah dalam Pemberontakan Komunis Madiun”, Aliran Islam 52, Th. ke-VII, Sept. 1953: 26). Sementara partai Masjumi – PNI dan kawan-kawannya berpendirian bahwa bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang merdeka, harus berjuang atas kemauan dan pimpinannya sendiri, tidak usah dipimpin oleh Rusia atau Amerika. Akan tetapi orang-orang PKI mencap orang-orang yang tidak mau takluk ke bawah Moskow sebagai kaki tangan imperialis Amerika.

Pemberontakan PKI di Madiun dapat dianggap sebagai titik didih dari percekcokan ideologi kedua kubu itu. Akan tetapi pemberontakan itu terkesan prematur: pada 30

September 1948, Madiun berhasil direbut oleh TNI yang dibantu oleh tentara pelajar dan masyarakat, menyusul Ponorogo pada 5 Oktober.

Namun, selama kurang lebih seminggu menguasai Madiun dan daerah-daerah sekitarnya, pemberontak PKI telah melakukan pembunuhan massal secara sadis. Aksi kejam itu kebanyakan dilakukan oleh Brigade TNI pimpinan Letnan Kolonel Dahlan yang terinfiltrasi PKI dan lasykar bersenjata di bawah pimpinan Biro Perjuangan Yogyakarta yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Djokosujono. Korbanya beragam: pegawai pemerintah, aparat keamanan, guru sekolah, dan banyak angota Masjumi.

Sisa-sisa pengikut Muso diburu oleh TNI sampai ke wilayah Dungus dan Ngebel. Namun, sambil melarikan diri, ternyata mereka masih sempat membunuhi banyak penduduk tak berdosa.

Wartawan majalah Siasat Gadis Rasjid (yang tampaknya pernah ditaksi penyair Chairil Anwar) termasuk salah seorang jurnalis wanita yang pertama berhasil memasuki front konflik Madiun. Di bawah kawalan Batalyon Kiansantang dari Divisi Siliwangi, ia menyaksikan langsung bukti-bukti kekejaman kaum pemberontak PKI di sepanjang jalan Solo–Tawangmangu–Sarangan–Palaosan–Madiun. Ia melihat banyak mayat bergelimpangan, sebagian dalam keadaan tidak utuh. Gadis menulis kesaksiannya di harian Nasional (Yogyakarta) (dikutip melalui Muhammad Dimyati, “Pemberontakan Madiun”, Aliran Islam 52, Th. Ke VII, Sept. 1953: 21-22):

“Waktu prajurit Kiansantang jang paling muka mau memasuki complex pabrik gula, terdengarlah teriakan dari sebuah rumah administrateur, minta pertolongan. Kurang lebih 50 orang tampak terdjatuh dilantai, bermandi darah. Beberapa orang jang masih hidup mentjeritakan bahwa sebelum kaum pengatjau melarikan diri, dua orang menembaki kaum tawanan dari luar melalui djendela. Tak akan saja lupakan pemandangan itu. Badan manusia jang tidak berdosa berbaring djatuh dalam sebuah kolam darah!

Di Dungus sebelah timur Madiun, beberapa hari kemudianpun mereka melakukan hal ini dengan tjara jang lebih kedjam. Begitu djuga di Magetan, di Sumoroto, di Ponorogo, Purwodadi dan Kanigoro. Dan bertambah ketegasan bagi saja bahwa apa jang dimulai senagai gerakan politik, kemudian berubah mendjadi perebutan kekuasaan dan pemerintahan terror ini, bukanlah suatu aliran jang dapat member manfaat atau kebahagiaan bagi rakjat Indonesia, betapapun muluknya tjita2 jang mereka dengungkan….”.

Tanggal 23 September 1948 Markas Besar Angkatan Perang RI mengeluarkan maklumat: 1) Menolak seruan ‘Panglima Besar’ pemberontak, Kolonel Djokosujono untuk berunding. Djokosujono dipecat oleh Presiden dari kedudukannya dan dinyatakan sebagai pemberontak, juga sesiap yang mengikut dengannya; 2) Akan mengadili para opsir yang mengomandani pemberontakan Madiun: Kol. Djokosujono, Kol. Ir. Sakirman, Letkol. Martono Brotokusumo, Mayor Iskandar, Mayor Praktikno, Kapten Rustam, dll.

Berikut (menurut tulisan aslinya) “Daftar sebagian ketjil orang 2 jang mendjadi korban pemberontakan P.K.I. di Madiun 18 September 1948.” (kursif: Suryadi) yang dirujuk

dari sumber berikut: Aliran Islam No. 52, Tahun Ke VII, September 1953: 29, 31). Data disalin sesuai tulisan aslinya. Ilustrasi diambil dari: id.wikipedia.org. Daftar ini belum termasuk puluhan anggota partai Masyumi yang juga ikut dibantai (akan disalinkan dalam artikel lain). Semoga informasi ini bermanfaat.

No Nama

Kediri 2 Istiklah

Let. Kol. SPDT

Madiun 3 Mardjono

Let. Kol.

Madiun 4 Wijono

Kapten CPM

Kediri 5 Tjok Harsono

Let. Kol. SPDT

Kediri 6 Soepardi

Letnan SPDT

Kediri 7 Wasito

Kapten Bat. 29/41/Ci. 113

Kediri 8 Askandar

Majoor CPM

Kediri 9 Moeliadi

Kapten Bat. 13

Madiun 10 Soegito

T.R.I.P.

Madiun 11 Soerjo Soegito

Patria

Madiun 12 Rameli

Birg. Pelajar Islam

Madiun 13 R.M. Sardjoeno

ALRI

Madiun 14 Hartolo

Wedana t.b.

Manisredjo 15 Hardojo

Ass. Wedana

Manisredjo 16 M. Ng. Soedibjo

Wakil A.W.

Magetan 17 R. Soekardono

Bupati

Magetan 18 Sahoedi

Patih

Lambejan Mgt. 19 Pamoedji

Wakil A.W.

Magetan 20 Ropi’i Tjiptomartono

Pemb.Sekr. Bupati

Gorang-Gareng Mgt. 21 R. Charis Bagio

Wedana

Kanigoro Mdn. 22 Soedjadi

Wedana

Madiun 23 M. Mangoedihardjo

Peg. Karesidenan

Gemarang Mdn. 24 Kardiman

Ass[sistent] Wedana

Djiwan Mdn. 25 Amadi

Wk. Ass. Wedana

Djiwan Mdn. 26 Prawiro

Kep. Desa

Kep. Desa

Sukolilo Mdn.

29 Marsikin

Kendal Ngw. 30 R. Soebardima Notoamiprodjo

Ass. Wedana

Ponorogo (Djebang) 31 Soerahir

Wedana

Balong (Ponorogo) 32 Soenar

Ass. Wedana

Madiun 33 Oemardanoes

Peg. Kabupaten

Magetan 34 Soejarwan

Kep. Penerangan Kab.

Magetan 35 Soebari

Secr. Penerangan Kab.

Magetan 36 Soemono

Publ. Penerangan Kab.

Magetan 37 Reksosiswojo

Penerangan Kawedanaan

Gorang-Gareng Mgt. 38 Trisoelo

Penerangan Kawedanaan

Karangredjo 39 Siswodiprodjo

Penerangan Ketjamatan

Wungu 40 Hardjosoekotjo

Penerangan Ketjamatan

Djiwan 41 Wirjosoeprapto

Penerangan Ketjamatan

Medjajan 42 Moeljodinomo

Penerangan Ketjamatan

Madiun 43 Tajib

Penerangan Karesidenan

Kanigoro Mdn. 44 Partoatmodjo

Penerangan Kawedanaan

Karee 45 Sardjono

Penerangan Ketjamatan

Djiwan 46 Siswo

Penerangan Ketjamatan

Medjajan 47 Soehoed Nosingo

Penerangan Ketjamatan

Madiun 48 Imam Soehodo

Guru S.M.A.

Madiun 49 Soedarmodjo

Guru S.M.I.

Madiun 50 Soedarmo

Guru S.M.A.

Madiun {29} 51 Soeharto

Guru S.M.A.

Madiun 52 Dardjono

Guru S.G.K.P.

Madiun 53 Soekarsono

Guru S.M.I.

Madiun 54 Mardjoko

Guru S.M.I.

Madiun 55 Saripin

Guru S.M.A.

Madiun 56 Mohamad Said

Guru Sek. Rakjat

Madiun 57 Amrin

Guru Sek. Rakyat

Tjaruban 58 Soewandi

Guru Sek. Rakyat

Ngrambe 59 Sedyowiadi

Guru Sek. Rakjat

Ponorogo 60 Joedokoesoemo

Guru Sek. Rakyat

Magetan 61 Mahardjono

Kep. Kant. Pengadjaran

Guru S.M.P.

Magetan

63 Soeraratim

Magetan 64 Soemardi

Guru S.M.P.

Magetan 65 Sekak Siswohardjono

Kep. Pendidikan Masj.

Magetan 66 Soelaiman

Guru Sek. Rakjat

Ngawi 67 Hoedan Soerjohoedojo

Gurus S.M.P.

Ngawi 68 Lilioedin

Pemr. Sekolah Distr.

Madiun 69 Doelamin

Opzichter K.A.

Madiun 70 Abdulmu’in

Pegawai K.A.

Madiun 71 Sastroatmodjo

Pegawai K.A.

Gorang-Gareng 72 Muhammad

Mantri Bouwtoezicht

Mantri Kesehatan

Madiun

Pemberontakan PKI di Madiun 1948 (Bag.6-Tamat): Pembantaian Ulama dan Santri

Selasa, 11 Oktober 2016 23:04

https://www.kiblat.net/2016/10/11/pemberontakan-pki-di-madiun-1948-bag-6-tamat- pembantaian-ulama-dan-santri/3/ - diakses 26-09-2017

Selain aparat pemerintah, warga sipil khususnya para kiyai dan para santrinya yang tak bersalah, nyatanya adalah sasaran serangan-serangan sistematis dan keji oleh PKI. Koran seperti Sin Po hingga saksi yang masih hidup menceritakan peristiwa biadab tersebut. Sebuah bukti bahwa pemberontakan Madiun.

KIBLAT.NET – Seorang antropolog Amerika, Robert Jay, yang mulai tahun 1953, turun ke Jawa Tengah menggambarkan kekejaman PKI. “Mereka menggunakan kekuatan mereka untuk melenyapkan bukan saja para pejabat pemerintah pusat, tapi juga penduduk biasa yang merasa dendam. Mereka itu terutama ulama-ulama tradisionalis, santri dan lain-lain yang dikenal karena kesalihan mereka kepada Islam. Mereka ini ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang, kadang-kadang ketiga-tiganya sekaligus. Masjid dan madrasah dibakar, rumah-rumah pemeluknya dirampok dan dirusak.”

Seorang narasumbernya bercerita kepada Robert Jay, “Soalnya begini Mas. Kami mulai mendengar kabar itu dari Madiun. Ulama-ulama dan santri-santri mereka dikunci di

Hanya karena mereka itu muslim saja. Orang dibawa ke alun-alun kota, di depan masjid, kemudian kepala mereka dipancung. Parit-parit di sepanjang jalan itu digenangi darah setinggi tiga sentimeter, Mas.”

Di Madiun, Sin Po menulis laporan dari saksi mata. Sesudah perebutan kekuasaan menyusul tindakan pembersihan, “Semoea pemimpin Masjoemi dan PNI ditangkep atawa diboenoeh dengan tida dipreksa poela. Kekedjaman di Kota Madiun djadi memoentjak, koetika barisan ‘warok’ ponorogo masoek kota dengen bersendjata revolver dan klewang. Di mana ada terdapat orang-orang Masjoemi, PNI atawa jang ditjoerigakan, zonder banjak tjingtjong lagi lantas ditembak. Belon poeas dengan ini tjara, korban itoe laloe disamperi dan klwangnja dikasi bekerdja oentoek pisahken kepalanja sang korban dari toeboehnja. Kedjadian atawa pemboenoehan stjara ini dilakoekan di berbagai bagian dari kota dan sakiternja, hingga dalam tempo beberapa hari sadja darah manoesia telah membandjiri kota Madioen. Soenggoe keadahan sangat mengerihkan teroetama djika orang melihat dengen mata sendiri, orang-orang jang diboenoeh pating gletak di sepandjang djalan sampe bebrapa hari tida ada jang mengangkat.”

Sin Po 1 Oktober 1948, memberitakan, ” pembrontakan communist itoe ditoedjoekan kerna kaoem FDR-PKI merasa tida soeka pada Masjoemi dan banjak sekali orang-orang jang Masjoemi di daerah jang didoedoekin oleh communist telah diboenoe dengen kekedjaman.”

Serangan ke Pesantren Sabilul Muttaqien

Belakangan tim koran Jawa Pos yang terdiri atas Maksum, Sunyoto, dan Zainuddin, mewawancarai saksi-saksi hidup, baik tokoh-tokoh yang turut dalam operasi penumpasan, maupun para korban yang luput dari aksi pembantaian oleh kaum komunis. Hasil wawancaranya mengungkap PKI memakan korban, khususnya kiai. Salah satu yang menjadi sasaran adalah Pesantren Sabilul Muttaqien atau yang lebih dikenal dengan Pesantren Takeran.

Bersamaan dengan kudeta terhadap pemerintah, pendukung PKI mengincar tokoh-tokoh dari Pesantren Takeran yang dianggap sebagai musuh utama mereka. Sebab, Pesantren Takeran pimpinan Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berusia 28 tahun itu adalah pesantren yang paling berwibawa di kawasan Magetan.

Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jumat Pon, Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo berpamitan kepada Kiai Imam Mursjid. Kepergian Kiai Hamzah dan Kiai Nurun ke Burikan itu ternyata untuk yang terakhir kalinya. Sebab pada hari Sabtu Wage, 18 September 1948, Pesantren Burikan diserbu oleh PKI, dan tokoh-tokoh pesantren serta para santri, termasuk Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang masih ada di pesantren tersebut, diseret ke Desa Batokan yang letaknya hanya 500 meter dari Pesantren Burikan. Kiai Hamzah dan Kiai Nurun termasuk diantara para korban yang dibantai oleh PKI di lubang pembantaian Batokan.

Seusai shalat Jumat tanggal 17 September 1948, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Muhammad Kamil kenal dengan beberapa orang di antara tokoh PK yang datang itu, seperti Suhud dan Ilyas alias Sipit. “Sipit sebenarnya santri Mas Imam Mursjid. Tapi entah mengapa dia bisa menjadi PKI,” ujar Kamil, salah seorang saksi mata.

Sipit sendiri, menurut Kamil, ketika itu dikenal sebagai kepala Takeran yang kemana- mana selalu membawa senapan. Tetapi sejak jauh hari, Kiai Imam Mursjid sudah mulai meragukan kesetiaan Sipit. Hal itu terungkap dari pernyataan Kiai Imam Mursjid kepada Kamil tentang iktikad baik Sipit. “Waktu itu saya sudah mengatakan bahwa Sipit tak bisa dipercaya lagi, sebab Sipit sudah tak sembahyang lagi,” ujar Kamil mengingat-ingat.

Waktu didatangi oleh tokoh-tokoh PKI, Kiai Imam Mursjid diajak keluar dari mushalla kecil di sisi rumah Kamil. Menurut Kamil, Kiai Imam Mursjid akan diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia dengan PKI-nya. Keberangkatan Kiai Imam Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja merisaukan warga pesantren, sebab warga pesantren tak menduga bahwa Kiai Imam Mursjid akan menurut begitu saja diajak berunding oleh PKI.

Kiai Zakaria, salah seorang saksi yang diwawancarai Tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU) pada Agustus 2016 bercerita, saat kejadian itu terjadi ia masih jadi santri (usianya 13 tahun) di pesantren Sabilil Muttaqin.

“Salah satu pendiri pesantren Sabilil Muttaqin, Kiai imam mursyid didatangi oleh Suhud. Suhud adalah seorang camat PKI. Mobilnya hitam. Di sisinya, berdiri dua orang yang satu membawa standgun dan satu lagi membawa karaben. Di hadapan santri-santri, Suhud membaca, ‘innallaha laa yughoyyiruma bi koumin hatta laa yughoyyiruma bin anfusihim’. Jadi dia itu mau melakukan perubahan di Indonesia. Lalu Kiai Imam Mursyid diculik olehnya. Kata Suhud, pak Kiai mau diajak berunding. Pak Kiai dibawa ke sana (sambil menunjuk arah Gorang Gareng). Tapi sampai sekarang tidak ada datanya dimana beliau disedani (dibunuh).”

Waktu itu para santri di Takeran berkumpul dengan perasaan was-was terhadap rencana kepergian kiai mereka bersama PKI. Setelah Suhud menenangkan suasana dngan dalilnya, di depan pendapa pesantren Kiai Imam Mursjid dinaikkan ke mobil. Tetapi sebelum mobil berangkat, Imam Faham, saudara sepupu Kiai Imam Mursjid sekaligus santri yang setia, meminta kepada PKI agar diperkenankan ikut naik mobil mendampingi pemimpinnya. Permohonan Imam Faham itu dikabulkan oleh PKI dan mereka pun meluncur keluar kawasan pesantren.

Iskan, salah seorang saksi mata, juga menyatakan bahwa Pesantren Takeran sudah dikepung oleh ratusan orang PKI. “Setelah Mas Imam Mursjid dibawa dengan mobil, saya melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren. Mereka rata-rata berpakaian hitam dengan memakai ikat kepala merah dan bersenjata,” ujar Iskan sambil

Menurut Iskan, sebelum itu pihak PKI memang sudah mengancam, jika Kiai Imam Mursjid tak mau menyerah dan mendukung mereka, maka pesantren akan dibumihanguskan. Mungkin, menurut Iskan, apabila Jumat itu Kiai Imam Mursjid tak berhasil dibawa PKI, bisa dipastikan pesantren akan dibakar dan dengan demikian korban akan sangat besar. Iskan menduga, Kiai Imam Mursjid mau ikut PKI untuk menghindari terjadinya korban yang lebih besar di antara para pengikutnya.

Pada hari Minggu Kliwon, 19 September 1948, kurir PKI yang lain datang lagi menyampaikan pesan bahwa Kiai Imam Mursjid belum bisa pulang. Malah mereka mengatakan perundingan tersebut membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Noer, sepupu Kiai Imam Mursjid yang selama itu ikut memimpin Pesantren Takeran. “Waktu itu mereka mengatakan bahwa Mas Imam Nursjid baru bisa pulang kalau Kiai Muhammad Noer datang menjemput,” kata Kamil.

Kiai Muhammad Noer, begitu mendengar pesan dari kurir tersebut, diam-diam mendatangi markas PKI di Gorang Gareng, 6 kilometer di sebelah barat Takeran. Tapi di tengah jalan, ia ditangkap PKI dan sempat ditawan di sebuah tempat di Takeran. Kurir PKI berulang kali datang lagi ke pesantren setelah Kiai Muhammad Noer dibawa ke Gorang Gareng. Dia mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.

Sejumlah orang yang ditangkap PKI di Gorang-gareng, Magetan pada peristiwa Madiun 1948.

PKI mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.

Mendapat informasi seperti itu, Tarmudji secepatnya menyelamatkan diri. Apalagi dia juga diberi tahu bahwa dialah yang mendapat giliran dicari PKI. Meskipun tak menemukan Tarmudji, PKI terus menangkapi tokoh-tokoh pesantren seperti Ustadz Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofi’i, Tjiptomartono, Kadimin, Reksosiswojo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’. Yang terakhir ini adalah guru pesantren yang didatangkan dari Al-Azhar, Kairo (Mesir). Saat itu, Pesantren Takeran memang sangat terkenal dan muridnya datang dari berbagai daerah termasuk dari luar Jawa.

Mereka itu akhirnya memang tak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di berbagai tempat di Magetan. Bahkan hingga tahun 1990, mayat Kiai Imam Mursjid tak kunjung ditemukan. Dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri -daftar ini ditemukan oleh pasukan Siliwangi-, nama Kiai Imam Mursjid tak ada.

Pembantaian di sumur tua Cigrok

Di Desa Cigrok, sebelah selatan Takeran, terdapat sumur tua yang digunakan PKI sebagai tempat pembuangan korban-korbannya. Sumur tua Cigrok ini terletak di belakang rumah To Teruno, seorang warga yang sebenarnya bukan orang PKI. Justru dialah yang melaporkan kegiatan PKI di sumurnya itu kepada Kepala Desanya. Di dekat rumah To Teruno, tinggal pula Muslim, seorang santri yang menjadi saksi kebiadaban PKI dalam melakukan pembantaian di sumur tua itu tahun 1948.

Muslim menceritakan pada malam terjadinya penjagalan itu, semua orang tak berani keluar rumah. Malam itu, dia mendengar suara bentakan Surat, pimpinan PKI yang berasal dari Desa Petungredjo. Dia juga mendengar suara orang menjerit histeris karena dianiaya. Muslim, yang diam-diam mengintip melalui lubang dari rumahnya, melihat gerak-gerik orang-orang PKI itu dalam keremangan malam. Muslim dapat mengenali salah satu korban yang mengumandangkan adzan dari dalam sumur. Suara itu, menurutnya adalah suara K.H. Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari.

Achmad Idris, tokoh Masyumi di Desa Cigrok yang ketika itu sudah ditawan PKI, menyaksikan penjagalan biadab PKI dari kejauhan. Meskipun sayup-sayup, dia sangat mengenal suara adzan K.H. Imam Sofwan yang mengumandang dari dalam sumur itu, sebab Idris sering mendengarkan pengajian-pengajian K.H. Imam Sofwan.

Menurut Idris, pembantaian oleh PKI di sumur Cigrok itu tak dilakukan dengan senapan atau Klewang, akan tetapi dengan pentungan. Idris mengungkapkan para tawanan dengan tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur satu demi satu. Kemudian, seorang algojo PKI menghantamkan pentungan ke bagian belakang tiap tawanan tersebut.

Waktu itu, Idris mengenang, ada tawanan yang segera setelah dihantam langsung menjerit dan roboh ke dalam sumur. Tetapi ada pula yang setelah dihantam, masih kuat merangkak sambil melolong-lolong kesakitan. Tangan mereka menggapai-gapai mencari pegangan. Melihat para korban merangkak seperti itu, orang-orang PKI kemudian

Sofwan, menurut Idris, termasuk yang tak meninggal setelah dihantam. Hal serupa juga dialami oleh kedua putra beliau, yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani, yang dibantai di sumur tua Desa Kepuh Rejo, tak jauh dari sumur Cigrok.

Orang-orang PKI yang melihat bahwa ternyata ada korban yang masih hidup di dalam sumur, sama sekali tak peduli. Mereka lantas langsung menimbuni sumur tersebut dengan jerami, batu, dan tanah. Karena itu, ada pernyataan yang menyebutkan bahwa korban pemberontakan PKI tahun 1948 sebenarnya dikubur hidup-hidup. Muslim mengatakan, pada pagi hari seusai pembantaian dia mendapati lanjaran (rambatan) kacang dan jerami di kebunnya sudah habis. “Rupanya orang-orang PKI membabat semua itu untuk menimbuni sumur,” tutur Muslim yang diancam oleh PKI agar tutup mulut.

Monumen Desa Kresek jadi saksi sejarah pembantaian PKI di Madiun tahun 1948.

Yang dimasukkan ke lubang pembantaian Cigrok paling sedikit berjumlah 22 orang. Di antara para korban itu, ada K.H. Imam Sofwan, Hadi Addaba’ dan Imam Faham. Hadi Addaba’ sendiri adalah guru dari Mesir yang ditugaskan mengajar di Pesantren Takeran. Sementara Imam Faham adalah santrinya K.H. Imam Mursjid yang ikut mengiringi K.H. Imam Mursjid ketika dibawa mobil PKI. Tetapi rupanya di tengah jalan kiai dan pengawalnya itu dipisah. Imam Faham diturunkan di tengah jalan dan akhirnya ditemukan di dalam lubang pembantaian Cigrok.

Kisah lainnya, pada hari Senin Legi, 20 September 1948, tiba-tiba datang sebuah truk yang berisi orang-orang PKI baik laki-laki, maupun perempuan. Seorang perempuan sekonyong-konyong berteriak keras kepada seluruh penduduk Kauman. Dia mengatakan bahwa salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di Kampung Kauman. “Di atas truk memang ada mayat yang dibungkus kain dan hanya kelihatan kakinya saja,” kata Parto Mandojo, yang ketika itu menjadi pengusaha mebel makanan di Kauman. Dia menceritakan bahwa perempuan yang berteriak tadi menginginkan ada penduduk Kauman yang mengakui telah membunuh salah seorang anggota PKI. Namun tak satu pun penduduk Kauman yang mengakuinya karena mereka memang tak merasa pernah membunuh satu orang pun. Akhirnya rombongan PKI pergi meninggalkan ancaman akan membumihanguskan Kampung Kauman. Ini adalah taktik licik ‘mencari pembunuh’ ala PKI, karena sebenarnya, ingin menjebak lawan-lawan yang akan menghalangi pemberontakan mereka.

Pada hari Jumat Kliwon, 24 September 1948, PKI seperti kerumunan lebah yang menyerbu Kampung Kauman. Rumah-rumah dibakar sehingga seluruh penghuni keluar dari persembunyiannya. “Waktu itu seluruh warga laki-laki Kauman ditawan dan digiring ke Masopati setelah tangan mereka ditelikung dan diikat dengan tali bambu,” tutur Parto Mandojo.

Dalam aksi pembumihangusan Kampung Kauman itu, tak kurang dari 72 rumah terbakar, dan sekitar 149 laki-laki digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh tawanan dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori milik pabrik gula ke kawasan Glodok. “Dari glodok kami dipindahkan ke Geneng dan Keniten. Tetapi sebelum disembelih, kami berhasil diselamatkan oleh tentara Siliwangi,” ujar Parto Mandojo tentang peristiwa mencekam itu.

Pembakaran Kampung Kauman pada dasarnya merupakan bagian dari aksi PKI untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Sebab, sebelum aksi pembakaran itu, Madrasah Pesantren Takeran juga telah dibakar, beberapa saat setelah Kiai Imam Mursjid tertawan. Pesantren Burikan pun tak luput dari serbuan PKI. Kemudian para tokoh-tokoh pesantren seperti Kiai Kenang, Kiai Malik, dan Muljono dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan ulama yang dibantai oleh PKI adalah keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.

Achmad Daenuri, putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno, menceritakan bahwa ayahnya adalah putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri, ayahnya ditangkap oleh PKI, bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan. Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani. “Jadi setelah pemberontakan itu meletus, pesantren-pesantren sudah benar-benar kehilangan pimpinan,” simpul Daenur.

Kafrawi, saksi sejarah Madiun 1948. Dokumentasi Tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU).

Di Pondok Pesantren Gontor, PKI juga menyebarkan terornya, Seperti dituturkan oleh Kafrawi, saksi hidup yang diwawancarai Tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU), yang saat kejadian, masih jadi santri di Pesantren Gontor, Ponorogo. Ketika itu pesantren Gontor dikuasai dan diancam oleh PKI. Banyak orang PKI berpakaian hitam-hitam datang ke Gontor, lalu mengancam. “Kalau tidak mau menyerah, kita akan habiskan besok dan akan kita duduki,” katanya.

Oleh kiai, Kafrawi dan anak-anak kecil lainnya disuruh mengosongkan Gontor dan pindah ke timur Tulung Agung. Di Gontor hanya tersisa ibu-ibu. Ia dan enam orang beserta anaknya yang masih kecil-kecil, lalu berjalan menuju timur. Di perjalanan, mereka ketahuan PKI. Ditawanlah mereka. “Akhirnya ditawan di tulung, anak gontor itu sekitar 50, dan digiring lagi ke gontor setelah di pulung berapa minggu menjadi tawanan. Pak Jahal (pengajar pesantren gontor) dan terutama yang senior dibawa ke Ponogoro lebih dulu, dan dimasukan ke penjara dekat masjid Muhammadiyah. Semua dibunuh kecuali Pak Jahal,” cerita Kafrawi.

Berbagai peristiwa biadab tersebut, sebetulnya menjelaskan bahwa pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, bukanlah membela diri seperti yang digaung-gaungkan Aidit. Jika hanya membela diri mengapa mereka membantai para kiyai dan santrinya yang tak bersalah dan tak ikut dalam konflik, secara sistematis? Selesai

Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Tulisan ini hasil kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

Pesantren Takeran Saksi Bisu Pemberontakan PKI 18 September 1948

http://www.ngelmu.id/pesantren-takeran-saksi-bisu-pemberontakan-pki-18-september- 1948/ - diakses 26-09-2017

Ngelmu.id, JAKARTA – Terkait peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, peminat sejarah Batara Hutagalung mengatakan, tampak ada kaitan antara peristiwa pemberontakan itu dengan aksi penyerangan Belanda ke Yogyakarta pada Desember 1948. Hal ini masuk akal karena salah satu pemimpin pemberontakan, Amir Syarifudin, pada zaman Jepang sempat menjalin kerja sama untuk gerakan perlawanan bawah tanah semasa penjahan Jepang.

”Bila melihat fakta lain, saya pun melihat pemberontakan PKI Madiun merupakan sebuah bagian dari persiapan Belanda ketika hendak melakukan serangan militer besar- besaran ke Indonesia pada Desember 1948. TB Simatupang menyebut indikasi ini setelah melihat kepulangan Muso ke Indonesia dari Moskow yang melalui Belanda pada Agustus 1948. Jadi, di situlah kemungkinan Muso ditunggangi kepentingan Belanda,” kata Batara, dikutip dari Republika.co.id.

Kemudian apakah masih banyak yang pihak sudi mendengarkan kisah pembantaian dan Pemberontakan PKI Madiun di tahun 1948 itu? Atau jangan-jangan malah dianggap sebagai dongeng yang senyap karena sudah dianggap dongeng oleh mereka yang kerap mengklaim diri sebagai pejuang HAM.

Zakaria lebih lanjut mengatakan, sejarah telah mencatat perilaku masa PKI yang menculik satu demi sartu pimpinan pesantren yang dianggap musuh. Yel-yel PKI adalah “Pondok bobrok, langgar bubar, santri mati”. Menurutnya, aksi gayang PKI seperti itu memang berhasil melumpuhkan sejumlah pesantren di Magetan. Salah satu pesantren incaran PKI adalah Takeran. Pesantren ini secara geografis sangat dekat dengan Gorang Gareng sehingga dapat dikatakan bahwa pesantren Takeran adalah rangkaian pembantaian PKI yang terjadi di Gorang Gareng.

Pesantren Takeran atau dikenal dengan Pesantren Sabilil Muttaqien dipimpin oleh Kiai Pesantren Takeran atau dikenal dengan Pesantren Sabilil Muttaqien dipimpin oleh Kiai

Pesantren menjadi musuh utama PKI karena dalam pesantren itu terdapat kekuatan yang sangat diperhitungkan, yaitu di dalam pesantren Takeran mamang aktif melakukan penggemblengan fisik dan spiritual terhadap para santri.

Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jumat Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegalrejo pergi ke Burikan. Setelah kepergian mereka seusai shalat Jumat, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Saat itu Kiai Imam Mursjid diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia. Kepergian pemimpin pesantren mereka menimbulkan tanda tanya besar. Dua hari kemudian keberadaan iai Imam Mursjid belum diketahui secara pasti.

PKI terus melakukan penangkapan dan penculikan kepada ustaz-ustaz yang lain, seperti Ahmad Baidway, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba. Mereka tidak pernah kembali, bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian yang tersebar di berbagai tempat di Magetan. Yang menimbulkan keheranan adalah, sampai sekarang tempat pembantaian Kiai Mursjid belum diketahui karena mayatnya belum ditemukan. Bahkan, dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri tidak tercantum nama Kiai Mursjid.

Pemberontakan PKI 1965

Gerakan 30 September

https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September - diakses 26-09-2017

Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30

September/PKI, disingkat G30S/PKI), Gestapu(Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu

usaha kudeta. [1]

Latar Belakang

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekret presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin- pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dengan polisi dan para pemilik tanah.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jenderal-jenderal tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".

Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jenderal-jenderal militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerja sama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jenderal-jenderal militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerja sama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya. Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tetapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi- provinsi lain juga terjadi hal demikian.

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini [2] . Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan

salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak- injak lambang negara Indonesia [3] dan ingin melakukan balas dendam dengan

Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang [4] . Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".

“ Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara- batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.

Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.

Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (7 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti- Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.

Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekret Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.

Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang- orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat [5] . Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar

nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film

"The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.

Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando

Operasi Tertinggi)

Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)

Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang

Perencanaan dan Pembinaan)

Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)

Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)

Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan

Darat) Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya

pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri

Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Pasca kejadian

Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jenderal PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni- Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden

Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah [6] : “ Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat

pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan daripada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol- USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar- benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.

Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!

Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra- revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan- pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung- pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung- pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang

"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang- orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat- mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka- kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra- revolusioner ini dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno- Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNIpada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto .

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan- perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.

Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasibergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.

Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.

Lihat pula

Lim Joey Thay

Nawaksara 22 Juni 1966, Sidang Umum ke-IV MPRS.

Gerakan Wanita Indonesia.

Letnan Kolonel Untung.

Resimen Tjakrabirawa.

Lembaga Kebudayaan Rakyat.

Daftar tokoh yang meninggal dalam pembersihan komunis Indonesia.

Museum Jenderal Besar Doktor Abdul Haris Nasution.

Museum Sasmita Loka Jenderal Tentara Nasional Anumerta Ahmad Yani.

Bacaan lebih lanjut

"Selected Documents Relating to the 30 September Movement and Its

Epilogue", Indonesia (Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project) 1 (1), April 1966: 131–205, JSTOR 3350789, doi:10.2307/3350789, diakses tanggal 20 September 2009

The appendices of Roosa (2006) contain translations of two primary sources: a 1966

document by Supardjo and the 1967 court testimony of Kamaruzaman Sjam. Roosa also lists interviews he conducted which are archived at the Institute of Indonesian Social History in Jakarta.

Easter, David, '"Keep the Indonesian pot boiling": Western intervention in Indonesia, October 1965-March 1966', Cold War History, Volume 5, Number 1, February 2005.

Waskito, Joko. (ed) Bilven. Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri : Memoar

Anggota Sekretariat CC KI. Cetakan 1, Ultimus, Juli 2015. ISBN 978-602-8331-60-9

Latief, Busjarie. Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920-1965]. Lembaga Sejarah

PKI. Ultimus, Oktober 2014. ISBN 978-602-8331-50-0.

Sulistyo, Hermawan. Palu arit di ladang tebu - Sejarah pembantaian massal yang

terlupakan [1965-1966]. Kepustakaan Populer Gramedia. Juni, 2000. ISBN 979- 9023-42-4.

Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 1965 - Bagaimana Orde Baru

melegitimasi anti-komunisme melaui sastra dan film. Marjin Kiri. ISBN 978-979- 1260-26-8

Pour, Julius. Gerakan 30 September : pelaku, pahlawan & petualang/catatan Julius

Pour, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, ISBN 978-979-709-524-6, 2010.

Heru Atmodjo, Garda Sembiring, Harsutedjo. Gerakan 30 September: Kesaksian

Letkol (Pnb) Heru Atmodjo. Seri pelurusan sejarah '65. Testimony of Heru Atmodjo, an Indonesian Air Force pilot, on the coup d'etat of Gerakan 30 September 1965. The University of Michigan, ISBN 979-97816-7-1, ISBN 978-979-97816-7-3, Tride, 2004.

Alham, Asahan, ed. (2002), Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil [In Another Person's Country: Poems By Exiled Indonesian Poets] (dalam Indonesian), Jakarta: Lontar Foundation, ISBN 978-979-8083-42-6

Anderson, Benedict R. & McVey, Ruth T. (1971), A Preliminary Analysis of the 1

October 1965, Coup in Indonesia, Interim Reports Series, Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project, OCLC 210798

Anderson, Benedict (May 2000), "Petrus Dadi Ratu" [Killer Becomes King], New

Crouch, Harold (April 1973), "Another Look at the Indonesian

"Coup"", Indonesia (Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project) 15 (15): 1–

20, JSTOR 3350791, doi:10.2307/3350791, diakses tanggal 18 September2009

Crouch, Harold (1978), The Army and Politics in Indonesia, Politics and International Relations of Southeast Asia, Ithaca, NY: Cornell University Press, ISBN 0-8014-1155-6

Curtis, Mark (2003), Web of Deceit: Britain's Real Role in the World, London: Vintage, ISBN 978-0-099-44839-6

Fic, Victor M. (2005). Anatomy of the Jakarta Coup: 1 October 1965: The Collusion with China which destroyed the Army Command, President Sukarno and the Communist Party of Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979- 461-554-6

Heryanto, Ariel (2006), State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally

Belonging, New York: Routledge, ISBN 978-0-415-37152-0

Hill, David (2008), Knowing Indonesia from Afar: Indonesian Exiles and Australian

Academics (Paper delivered at the 17th Biennial Conference on the Asian Studies Association of Australia), diarsipkan dari versi asli (PDF)tanggal 16 March 2012, diakses tanggal 16 March 2012

Hughes, John (2002), The End of Sukarno – A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild, Archipelago Press, ISBN 981-4068-65-9

Lashmar, Paul and Oliver, James. "MI6 Spread Lies To Put Killer In Power" The Independent. (16 April 2000)

Lashmar, Paul and Oliver, James. "How we destroyed Sukarno" The Independent. (6 December 2000)

Lashmar, Paul; Oliver, James (1999), Britain's Secret Propaganda War, Sutton Pub

Ltd, ISBN 0-7509-1668-0

Nugroho Notosusanto & Ismail Saleh (1968) The Coup Attempt of the "30 September Movement" in Indonesia, P.T. Pembimbing Masa-Djakarta.

Rafadi, Dedi & Latuconsina, Hudaya (1997) Pelajaran Sejarah untuk SMU Kelas 3

(History for 3rd Grade High School), Erlangga Jakarta. ISBN 979-411-252-6

Ricklefs, M.C. (1982) A History of Modern Indonesia", MacMillan. ISBN 0-333-

24380-3

Roosa, John (2006). Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and

Suharto's Coup d'État in Indonesia. Madison, Wisconsin: The University of Wisconsin Press. ISBN 978-0-299-22034-1.

Schaefer, Bernd; Wardaya, Baskara T., ed. (2013), 1965: Indonesia and the World,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, ISBN 978-9-792-29872-7

Scott, Peter (1985), "The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965- 1967" (PDF), Pacific Affairs 58: 239–264, doi:10.2307/2758262, diakses tanggal 18 December 2013

Sekretariat Negara Republik Indonesia (1975) 30 Tahun Indonesia Merdeka: Jilid 3 (1965–1973) (30 Years of Indonesian Independence: Volume 3 (1965–1973)

Penumpasannya (The 30 September Movement/Communist Party of Indonesia: Bankgrounds, Actions and its Annihilation) ISBN 979-083-002-5

Sen, Krishna; Hill, David T. (2006). Media, Culture and Politics in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing. ISBN 978-979-3780-42-9.

Simpson, Bradley (2008). Economists with Guns: Authoritarian Development and

U.S.-Indonesian Relations, 1960-1968. Stanford, California: Stanford University Press.

Sundhaussen, Ulf (1982) The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945–

1967, Oxford University Press. ISBN 0-19-582521-7

Wertheim, W.F. (1970) Suharto and the Untung Coup – the Missing Link", Journal of Contemporary Asia I No. 1 pp 50–57

"Setengah abad genosida '65" (PDF). Majalah Bhinneka (Surabaya: Yayasan Bhinneka Nusantara). Oktober 2015: 100 halaman. Diakses tanggal 29 September 1015.

Selasa 19 September 2017, 20:50 WIB

Cerita Eks Marinir Saat Evakuasi Korban PKI dari dalam Sumur

https://news.detik.com/berita/d-3650426/cerita-eks-marinir-saat-evakuasi-korban-pki- dari-dalam-sumur - diakses 26-09-2017

Jakarta - Eks anggota Marinir menceritakan mencekamnya proses evakuasi jenderal TNI yang jenazahnya dibuang ke dalam sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur, saat peristiwa G30S/PKI. Kondisi sumur yang sangat gelap membuat tim tidak mengenali para korban di dalam sumur. Mereka bahkan tidak sadar jika mengikat dua jenazah menjadi satu.

"Yang paling serem kejadian (evakuasi) Pak Utoyo (Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo) dan Pak A Yani (Letjen TNI Ahmad Yani)," kata Pembantu Letnan Dua (Purn) J Kandouw kepada detikcom di kediaman Pelda (Purn) Sugimin, rekannya sesama tim evakuasi, di Jalan Ketintang Baru XII, Surabaya, Selasa (19/9/2017).

Kedua prajurit KKO (sekarang Marinir) menceritakan proses evakuasi 7 jenazah (6 jenderal dan 1 perwira pertama) di tempat pembuangan di sumur tua Lubang Buaya, yang kedalamannya 12 meter dan berdiameter 75 sentimeter.

Ketika proses evakuasi terhadap kedua jenderal, Letjen A Yani dan Brigjen Sutoyo, seorang anggota tim evakuasi turun ke dalam sumur. Tim kemudian mengikat kedua jenazah menjadi satu.

"Diikat, kebetulan katut (ikut) dua orang, kan kondisi di dalam sumur tidak kelihatan, asal saja diikat," tuturnya.

Suasana gelap di dalam sumur membuat tim tidak sadar jika mengikat jenazah Letjen TNI Ahmad Yani dan Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo menjadi satu. Pengangkatan jenazah keluar dari sumur berjalan lancar. Namun, saat jenazah tiba di bibir sumur, tali pengikat jenazah putus.

Kedua jenazah Pahlawan Revolusi itu pun tercebur kembali ke dalam sumur. Tim evakuasi masuk lagi ke dalam sumur dan mengikat satu per satu jenazah.

"Talinya putus karena rantas (mudah putus). Padahal sudah sampai di bibir sumur," tutur Kondouw, yang diiyakan Sugimin.

Kundouw menambahkan, ketika jenazah Letjen A Yani dievakuasi yang kedua kalinya dari sumur di Lubang Buaya, Kandouw terkejut melihat kondisi leher Panglima Angkatan Darat itu.

"Jadi, saat diangkat, langsung terkulai itu. Jadi saya kaget, terus plek. Saya terus lihat jelas, itu saya lihat. Ada bekas sayatan, tapi (leher) tidak putus," jelasnya.

Proses evakuasi seluruh korban dari dalam sumur berlangsung selama 2 jam. Korban yang diangkat dari dalam sumur adalah jenazah Letjen TNI Ahmad Yani (Panglima Angkatan Darat), Mayjen TNI R Suprapto, Mayjen TNI MT Haryono, Mayjen TNI

Serta Lettu Pierre Tendean.

Ketujuh jenazah langsung dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, untuk dilakukan visum.

Saat menjadi tim evakuasi, Sugimin berpangkat kopral KKO. Saat itu, Sugimin berdinas di Kompi Intai Para Amfibi (Kipam). Sedangkan J Kandouw berpangkat serda KKO dan menjadi pelatih di Sekolah Intai Para Amfibi.

Sebelum diterjunkan menjadi tim evakuasi perwira korban pembunuhan PKI, keduanya bertugas sebagai tim survei untuk menyelidiki Pantai Ancol dan membuat profil keadaan pantai. Profil tersebut untuk penempatan pendaratan tank.

Jumat , 22 September 2017, 16:00 WIB

Pembantaian Kedung Kopi di Solo dan Pemberontakan PKI Madiun

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/09/22/owobow385- pembantaian-kedung-kopi-di-solo-dan-pemberontakan-pki-madiun - diakses 26-09-2017

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Khoirun (93 th), KH Maruf Nawawi (84), KH Muhayat (98), dan Khoimun (95) adalah korban dan saksi mata kebiadaban PKI dalam peristiwa Madiun 1948. "Kiai dan santri menjadi target pembunuhan nomor satu bagi PKI. Sebelum 1948, banyak kader PKI yang disusupkan ke dalam beberapa pesantren," kata Khoirun saat saya wawancarai di kediamannya di Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun, Mei 2016 lalu.

Khoirun sempat dikubur oleh gerombolan PKI dan dikira sudah mati, ternyata masih hidup. Ia dianggap 'sakti' walau sudah mengalami siksaan berat termasuk dibacok dan ditembak. Beberapa pejabat penting di Jakarta kerap meminta semacam 'jimat' doa untuk keselamatan dirinya.

Tiga lainnya juga saya wawancarai di rumahnya pada pertengahan Mei 2016 lalu. Maruf Nawawi di Kecamatan Dagangan. Muhayat di Kecamatan Pilangkonceng. Khoimun di Kecamatan Wungu.

Selama sekitar satu pekan saya menelusuri jejak-jejak PKI dari Solo, Boyolali, Magetan, dan Madiun. Termasuk menemui empat bekas tahanan politik PKI dalam peristiwa 1965- 1966, alumni Pulau Buru, Pulau Nusa Kambangan, penjara di Semarang, serta Solo. Mereka inginnya seperti apa? Saya juga tahu dari hasil pengakuan mereka yang usianya rata-rata 70 tahunan itu.

Imam Mursjud Mutaqien. Pada 17 September 1948 sejumlah tokoh PKI menjemput Kiai Mursjid dan beberapa rekannya dengan alasan mengajak diskusi tentang rencana pembentukan Republik Soviet Indonesia, ke suatu tempat.

"Mereka tidak pernah kembali ke pesantrennya lagi. Sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian," kata Maruf Nawawi.

Belum lagi di sumur tua Desa Soco, ditemukan 108 jenazah korban kebiadaban PKI. Korbannya antara lain Bupati Magetan Sudibjo dan Muhammad Suhud, ayah mantan Ketua DPR/MPR Kharis Suhud.

Aksi pembantaian ini pun kemba;i terulang. Banyak yang tidak tahu bahwa setelah peristiwa G30S di Jakarta, ternyata ada peristiwa Kedung Kopi, Solo pada 22 Oktober 1965. Gerombolan PKI membunuh 23 demonstran anti-PKI di Kedung Kopi Solo. Rinciannya: 20 pemuda Islam dan tiga pemuda Katolik.

Jumat , 22 September 2017, 04:30 WIB

Pertanyaan Jujur Gadis 22 Tahun: Branding PKI Successful!

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/09/22/owmxve385- pertanyaan-jujur-gadis-22-tahun-branding-pki-successful - diakses 24-09-2017

Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman^

Beberapa malam lalu, saya diundang TV One untuk dialog film G30S/PKI. Sebelum masuk waktu on air, seorang gadis berusia 22 tahun yang bekerja di studio Galery One, TV One di Epiwalk, bertanya ke saya. "Pak, benar tidak sih G30S/ PKI itu?".

Saya tercengang. Ada pertanyaan seperti itu.Paras gadis itu cantik, berkulit terang, saya pandangi. Honesty, pertanyaan yang jujur.

Saya jawab, "Ya. Benar".

Tiba-tiba saya pun sudah memperoleh kalimat opening dialog dengan Tysa Novendi. Yaitu pertanyaan gadis 22 tahun tadi.

Saya pun lalu paham makna pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantio, sehari sebelumnya, ditanya Karni Ilyas di ILC tentang kebenaran film G30S /PKI, "Emang Gue Pikiri", jawab Gatot.

Berapa banyak prajurit yang seusia gadis itu? Berapa juta orang muda yang seusia gadis Berapa banyak prajurit yang seusia gadis itu? Berapa juta orang muda yang seusia gadis

Soal rencana merevisi film "G30S PKI" besutan Arifin C Noor itu, saya kemukakan tak bisa! Sebab, sejarah tidak bisa diubah. Kalau mau bikin, bikin baru saja. Misalnya, ayah saya ditukar dengan ayah lain. Tak bisa kan? Sejarah tak boleh diubah. Bahkan, film Arifin C Noor itu, juga telah menjadi bagian sejarah itu sendiri.

JJ Rizal narasumber, berpendapay diametral dengan saya, melihat film “G 30 S /PKI” besutan Arifin C Noor itu sebagai propaganda politik Presiden Soeharto yang kental muatan politiknya.

Saya tak setuju pendapat sejarawan Rizal. Mau dilihat dari mana flim itu? Politik, Sejarah atau Cinematografi. Minimal itu. Tak ada eksaminasi tesis sejarah, baru pendapat personal toh?

Secara politik kontekstual ketika film itu dibuat 1983 -1984, tak ditemukan sikon politik mempengaruhi film itu. Issu PKI sudah berlalu. Yang ngetren tahun-tahun itu: 1. Resesi Ekonomi 1983 akibat krisis fiskal, 2. Jamaah Imron bajak pesawat Woyla, 3. Petisi 50, 4. Petrus dengan korban tewas 3.800 an preman, 5. Azas Tunggal Pancasila dan RUU Paket Politik, Sidang Umum MPR 1982 soal Ali Murtopo.

6. Pembubaran IGGI, 7. Bom Banyuwangi, dst). 8. Gerakan Salman, 9. Pompes Lampung, 10. Subversif Suwito, 11. OTB ekspor Revolusi Iran, 12. Gerakan Kejawen Ratu Adil, Krisis Diplomatik RI vs Australia, 13. Konflik FK tiga angkatan di tubuh ABRI, 14. Bredel 30 mass media, 15. Etc. Tak ada issu PKI yang menonjol. Sebelum tahun-tahun itu ada kasus Pramoedya Ananta Toer.

Issu yang terhangat justru resesi ekonomi, di mana Soeharto merumahkan Bea Cukai diganti SGS. Politik juga sudah tenang, Golkar menang mutlak.

Masalahnya, order film itu dari PPFN. Kerjaan Pak Dipo (G Dwipayana). Ide dasarnya semacam film biografi Presiden Soeharto. Yang terlbat juga orang yang punya trust, Umar Kayam, Syubah Asa (majalah Tempo), sejumlah dosen terkemuka dari ISI Yogya. Ya, bicara Soeharto yang paling monumental adalah perannya dalam pemberantasan Gestapu PKI. Ikutan dengan film ini “Jakarta 66”. Suasana Orba memang sejak awal militeristik akibat dwi fungsi ABRI. Itu adanya. Namanya saja politik militer Indonesia.

Bicara sejarah, film itu pun sudah sejarah. Fakta hukum bahwa ada enam jenderal terbunuh di Gestapu PKI. 'Ya misalnya nanti dikatakan yang dibunuh di Lobang Buaya itu ayah saya, bukan para jendral itu. Ini kan jelas tidak bisa bukan?"

Isu PKI pada saat pembuatan fim Arifin C Noer ini sudah tidak ada. Sebab, fakta yang muncul kala itu adalah aksi atau gerakan yang lakukan kubu kanan. Dan ini munculnya sebagai imbas balik dari kelanjutan pemaksaan ideologi asas tunggal. Sekali lagi, pada Isu PKI pada saat pembuatan fim Arifin C Noer ini sudah tidak ada. Sebab, fakta yang muncul kala itu adalah aksi atau gerakan yang lakukan kubu kanan. Dan ini munculnya sebagai imbas balik dari kelanjutan pemaksaan ideologi asas tunggal. Sekali lagi, pada

Bila ditinjau secara sinematografi, Film Pengkhianatan G30S PKI itulah cara pandang Arifin C Noer sebagai sutradara film. Kalau membahas karya film ini maka --sekali lagi-- bahaslah melalui pendekatan sinematografi untuk menilai apa ini film bermutu atau tidak. Jangan jangan gampang mengatakan film ini sampah atau hal tak bermutu lainnya.

Silahkan saja bikin film baru dan kita lihat seperti apa film itu. Apa nanti di film itu sang sutradara berani mengganti sosok Aidit, sosok Ahmad Yani, atau sosok yang ada di film itu dengan sosok lainnya. Atau juga apa nanti berani mengatakan bahwa PKI tidak bersalah karena para tokohnya tak terkait dalam aksi pembunuhan dan kudeta di malam Jumat kliwon 30 September 1965 itu.

Maka itulah harus dipaahami, kalau bicara film 'Pengkhianatan G 30 S PKI' sebagai sejarah, maka film itu pun bersama kebenaran yang ada di dalamnya sebagi sejarah.

Dan kalau pun film baru itu nanti disebarluaskan oleh pihak penguasa atau pihak pendukungnya sebagai bukan film proaganda, atau beda dengan film G 30 S PKI-nya Arifin, maka esensinya film baru juga sama saja, yakni merupakan propaganda.

Dalam soal film memang harus ingat pesan dari seorang diktaror Soviet,Joseph Stalin. Dia secara nyata menyakini bila film itu merupakan media paling efektis untuk merubah isi otak manusia!

Alhasil, dengan menemui langsung adanya seorang gadis berusia berkulit terang dengan usia sekitar 22 tahun yang mempertanyakan kebenaran film Pengkhianatan G30S PKI, di situlah saya menjadi yakin: Branding PKI telah succesful!

Akhirnya, saya pun kini mengerti mengapa Panglima TNI bersikap seperti itu!

฀ *Djoko Edhi Abdurrahman, Mantan Direktur Litbang Studio 41, Mantan Anggota Komisi III DPR, Wasek LPBH PBNU.

Jumat , 22 September 2017, 07:51 WIB

Kehangatan di Meja Makan Keluarga Jenderal Ahmad Yani

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/09/22/ownp29384-kehangatan-di- meja-makan-keluarga-jenderal-ahmad-yani - diakses 24-09-2017

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamis (21/9) sore, di salah satu sudut rumah di Jalan Lembang Nomor D 58, RT 11/7, Menteng, Jakarta Pusat, berkumpul lima orang anak dari Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani. Di meja makan yang cukup untuk delapan orang itu, sebelum terjadinya G-30S/PKI digunakan untuk berkumpul satu keluarga mereka.

Republika.co.id berbincang hangat dengan anak-anak pahlawan revolusi itu. Ditemani cangkir-cangkir berisi kopi panas, kami membicarakan tentang apa yang terjadi pada 1

Oktober 1965 dan hari-hari sebelum itu. Bahkan, mundur jauh hingga bagaimana cara Jenderal Ahmad Yani melakukan pendekatan dengan sang istri, Yayu Rulia Sutowiryo Ahmad Yani.

"Dulu bapak muridnya ibu di sekolah ketik dan bahasa Inggris. Cuma pura-pura aja jadi murid biar deket," ujar putri pertama Ahmad Yani, Indria Ami Ruliati Yani, sembari tertawa kecil.

Pada masa itu, Rully, panggilan akrab putri sulung Ahmad Yani mengisahkan, pernah Ahmad Yani harus pergi ke luar kota selama kurang lebih tiga minggu. Karena itu, sang ibunda sedih bukan kepalang. Ketika Ahmad Yani kembali, Yayu juga bukan kepalang senangnya.

"Pacarannya kayaknya setahun. Bapak naik sepeda waktu melamar ibu ke Magelang. Naik onthel dua sepeda bersama mbah. Waktu itu kan belum ada kendaraan umum atau apa ya dan jauh juga," tutur Rully yang sempat melakukan studi di Jerman selama lima semester hingga 1968.

Setelah kedua orang tuanya menikah, lahirlah Ruliati dan ketujuh adiknya ke dunia ini. Saudaranya yang paling bontot, Irawan Sura Eddy Yani, mengatakan, kakak-kakaknya lahir hanya berselang satu tahun.

Jenderal yang Doyan Petai dan Main Layangan

Kakak-kakak Eddy lahir hanya beda satu tahun dan perempuan semua. Karena itu, menurut Eddy, bapaknya berharap mendapatkan satu anak laki-laki. Setelah anak

"Begitu lahir, anaknya lelaki, makanya dinamain Untung karena dia anak laki-laki yang diharap-harapkan oleh bapak. Setelah dia lahir, ada jarak empat tahun hingga saya lahir," kata Eddi sembari melihat kakak laki-lakinya, Untung Mufreni Yani.

Mendengar cerita dari Eddi, Untung membantah hal tersebut. "Ah cerita (bisa-bisa) dia saja itu," sembari geleng-geleng dan menyeruput kopinya, sementara kakak-kakaknya tertawa.

Saat bercengkrama dengan mereka, Republika.co.id duduk di kursi bagian tengah sisi panjang meja makan. Kursi yang biasa diduduki Ahmad Yani dan Yayu ketika makan bersama keluarga saat mereka tinggal di rumah itu. Alasannya, agar Yayu bisa mendistribusikan makanannya dengan mudah ke anak-anaknya.

"Kalau makan pasti semua kumpul di sini. Bapak-Ibu duduk di tengah sini. Kalau makan ayam, Ibu memberikan bagian paling enak ke Bapak dulu, baru setelah itu ke anak- anaknya. Makanan favorit Bapak petai dan lalapan," kata Rully.

Selain membicarakan makanan favorit Ahmad Yani, anak keempat dan kelimanya membeberkan kebiasaan sang Jenderal di rumah. Menurut Elina Lili Elastria Yani, bapaknya itu suka bermain layang-layang di halaman rumahnya. Ia juga suka bermain tenis meja atau ping-pong.

"Dulu kita ini yang nyari gelasannya. Lawannya ya yang tinggal di sekitar sini. Bapak juga suka main ping-pong. Yang paling sering diajak main ada di sebelah rumahnya dulu," tutur Elina.

Firasat dan Tragedi Penculikan Jenderal Ahmad Yani

Sembari sesekali menyeruput kopi susu hangat yang dihidangkan oleh mereka, Republika.co.id mendengarkan kisah-kisah yang mereka ceritakan itu. Termasuk cerita tentang kejadian pada waktu Subuh 1 Oktober 1965. Hari di mana Ahmad Yani ditembaki dengan tujuh peluru oleh pasukan Tjakrabirawa di hadapan Eddi.

"Sebelum kejadian itu, Bapak bilang, 'nanti lima Oktober tidak usah sekolah, bolos saja. Kita nonton parade'. Tumben dia ngomong seperti itu, biasanya soal sekolah dia ketat," terang Elina.

Ahmad Yani berkata seperti itu sehari sebelum terbunuh. Ketika itu pula, ada firasat yang tak disadari oleh keluarga.

Empat anak-anak Ahmad Yani sedang duduk di kursi bar yang ada di rumahnya. Botol wewangian yang baru dibawa ke rumah oleh Ahmad Yani tak sengaja terjatuh ke lantai dan pecah. Ia langsung membereskan pecahan-pecahan kaca itu.

"Dia bereskan itu, kemudian dia mengelapkan parfum yang tumpah itu ke kepala dan badan kami berempat. 'Biar kalau orang nanya wangi dari mana, wanginya dari Bapak' waktu itu Bapak bilang gitu," tutur anak keenam Ahmad Yani, Reni Ina Yuniati Yani, sekalian memperagakan bagaimana Bapaknya mengelapkan wewangian itu ke anak- anaknya.

Selain itu, Ahmad Yani yang kerap bermain golf di Rawamangun, pada 30 September 1965 memutuskan untuk menyimpan peralatan golfnya. Ia meminta sopirnya untuk menyimpan alat-alat olah raganya itu.

"Dia bilang ke sopirnya, 'tolong itu disimpan, sudah tidak dipakai lagi'. Pas sehari sebelum kejadian itu," kata Elina.

Cerita Penembakan yang Disaksikan Anak-anak Ahmad Yani

Tak disangka-sangka, pada keesokan harinya, saat pagi buta, Ahmad Yani ditembak dan diculik oleh pasukan Tjakrabirawa. Hari di mana Yayu berulang tahun. Saat kejadian itu, Yayu sedang bertirakat di daerah Taman Suropati.

Eddi, yang membangunkan bapaknya ketika pasukan Tjakrabirawa datang menceritakan kronologisnya. Malam sebelum hari ulang tahun Yayu, ia bersama dengan bibinya menemani Yayu mencari baju untuk bertirakat di kamarnya. Namun, Eddi saat itu terlelap.

"Saat bangun, saya bertanya ke mbak, Ibu ke mana. Sekitar jam empat, saya menunggu ibu di pintu depan. Kemudian datanglah pasukan Tjakrabirawa," tutur Eddi.

Saat itu, ia tak mengira yang datang adalah pasukan Tjakrabirawa. Ia melihat ke pos penjagaan di luar rumah dan melihat ada yang datang. Tapi, ia kira itu hanya aplusan penjaga biasa.

"Tapi ini kok pakai baret merah. Mereka kemudian mengetuk pintu dan dibukakan oleh mbak. Mereka bilang bapak dipanggil presiden, masih biasa saja saat itu," kata Eddi yang saat itu berusia tujuh tahun.

Setelah itu, sang bibi berbicara kepada Eddi dan memintanya untuk membangunkan Ahmad Yani yang sedang tertidur di kamar tidurnya. Menurut Eddi, saat itu ada sekitar seratus pasukan Tjakrabirawa yang masuk ke rumahnya.

Eddi kemudian masuk ke kamar Ahmad Yani untuk membangunkan Bapaknya. Ia menggoyang-goyangkan kaki Ahmad Yani dan memberitahukan apa yang disampaikan oleh bibinya itu. Tak lama setelah itu, Ahmad Yani keluar dan berbicara dengan beberapa orang dari Tjakrabirawa. Ahmad Yani dipaksa untuk ikut meski sudah mengatakan, dirinya akan bertemu Presiden pada pukul delapan pagi pada hari itu juga.

"Dia sempat menampar salah satu orang itu. 'Kamu ini prajurit tahu apa? Saya mandi dulu', kemudian bapak masuk ke dalam, baru beberapa langkah, prajurit yang lain menembakkan pelurunya ke arah Bapak," ujar Eddi yang pada saat itu mendengar kata "aduh" yang keluar dari mulut ayahnya setelah ditembak.

Ketika itu, Eddi sedang berada di dekat kolam yang ada di tengah rumah itu. Ia melihat langsung ketika orang tuanya ditembak oleh Tjakrabirawa. Eddi langsung histeris kala itu.

Di dalam rumah, ada Untung yang melihat kejadian setelah Bapaknya ditembak. Ia mengatakan, sudah bangun sebelum suara tembakan terdengar. Ia terbangun karena suara berisik dari luar kamar tempatnya tidur.

Saat ia melihat ke depan kamarnya, Untung melihat Ahmad Yani sudah tergeletak di dekat pintu yang kacanya sudah pecah terkena peluru. Untung langsung mendekat ke arah Ahmad Yani untuk memeluk Bapaknya itu. Tapi, ia dilarang oleh pasukan Tjakrabirawa, ada lima orang yang ada di dalam rumahnya itu.

"Kakak-kakak saya juga terbangun saat itu. Kemudian dia diseret seperti binatang oleh Tjakrabirawa, beda seperti di film, kaki tangannya diangkat. Yang betulnya itu kakinya saja yang diangkat dan kepalanya di bawah," kata dia.

Melihat itu, Untung bersama kakak-kakaknya mencoba untuk menghampiri bapaknya. Tapi, mereka diancam akan ditembak oleh pasukan Tjakrabirawa jika melewati pintu rumahnya. "Karena ancaman itu, kami tidak jadi. Kami masih kecil semua saat itu, kami semua menangis di ruang belakang itu," ungkap Untung.

'Kabar Kematian' yang Datang Dalam Mimpi

Tak lama kemudian, Yayu datang kembali ke rumah dan menanyakan apa yang terjadi. Untung dan kakak-kakaknya memberitahukan ibundanya apa yang telah terjadi saat itu. Yayu masuk ke dalam rumah dan melihat darah suaminya di lantai. "Sempat dibasuhkannya darah itu ke wajahnya," lanjut Untung.

Yayu pun kemudian tak sadarkan diri dan dibawa ke kamarnya. Saat bangun, Yayu mengambil satu pakaian milik Ahmad Yani dan mengelap darah suaminya dengan kemeja itu. Kemeja untuk mengelap darah Ahmad Yani itu kini masih tersimpan di dalam kamarnya.

"Ibu sempat selama kurang lebih tiga bulan membawa pakaian itu ke mana-mana. Dibungkus dengan koran, dia bawa pakaian itu. Ketika tidur dan saat ke Bandung pun ia bawa," terang Untung.

Usai kejadian itu, mereka sekeluarga diungsikan ke sebuah rumah di bilangan Kemang, Usai kejadian itu, mereka sekeluarga diungsikan ke sebuah rumah di bilangan Kemang,

Menurut Elina, saat mereka diungsikan itu, sebelum jenazah bapaknya ditemukan, Yayu mengumpulkan anak-anaknya dan mengatakan, Ahmad Yani telah meninggal. Yayu saat itu mengaku didatangi oleh Ahmad Yani melalui mimpinya.

"'Saya hanya ingin titip anak-anak' katanya saat menemui Ibu seperti itu. Ibu berkata seperti itu kami belum percaya. Tapi sore harinya, dikatakan jenazahnya sudah ditemukan," kata dia.

Ketika itu pula, berdasarkan keterangan ketiga anak perempuan Ahmad Yani itu, kakek dan neneknya pun mendapatkan 'kunjungan' dari Ahmad Yani. Sang nenek melihat sosok Ahmad Yani di rumahnya dan memberitahukannya kepada kakeknya.

Ternyata, kata-kata Ahmad Yani kepada anak-anaknya, yang menyuruh mereka untuk bolos sekolah pada lima Oktober, benar-benar terjadi. Tapi, bukan untuk menonton parade seperti yang dijanjikan, melainkan untuk menguburkan jasad Ahmad Yani, ayahanda mereka tercinta.

Sabtu , 23 September 2017, 16:58 WIB

Gus Sholah ke Pemuda NU: Jangan Lupakan Kekejaman PKI

http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/09/23/owq90z377-gus-sholah-ke- pemuda-nu-jangan-lupakan-kekejaman-pki - diakses 24-09-2017

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, KH. Shalahuddin Wahid berpesan kepada generasi muda NU jangan melupakan sejarah soal kekejaman komunis pada Kiai dan Santri sejak 1965 ke belakang. Hal ini disampaikan pria yang akrab disapa Gus Sholah ini usai mengisi acara ICMI 'Sosialisasi Empat Pilar' di MPR, Sabtu (23/9).

"Anak-anak muda NU yang tidak merasakan suasana yang terjadi pada tahun 1965 ke belakang, jangan melupakan (kekejaman) ini. Kalau (warga Nahdliyin) yang mengalami gak mungkin lupa," kata pria yang akrab disapa Gus Sholah ini.

Karena itu Adik kandung Gus Dur ini menyayangkan bila ada anak muda NU atau generasi muda NU yang memperdebatkan apa yang dilakukan PKI di masa lalu. Sebab menurutnya sudah jelas PKI bertanggung jawab atas penyiksaan dan penculikan para Kiai dan santri NU di Jawa Timur sejak peristiwa Madiun 1948.

bahaya laten ideologis itu masih ada. Hal yang sama dengan pemberontakan DI/TII, yang mereka sudah ditumpas habis hingga 1960-an. Dan pemberontakan Permesta itu soal ketidakadilan ekonomi.

"Tapi yang ideologis itu DI/TII kan sudah tidak ada lagi, sedangkan Komunis ini banyak orang merasakan kemunculannya. Makanya muncul penolakan, walau ada yang menyebutnya 'hantu'," terangnya.

Terkait upaya rekonsiliasi kedua belah pihak, menurut Gus Sholah rekonsiliasi ini sebenarnya sudah berjalan. Bahkan NU sejak dahulu juga telah melakukan rekonsiliasi. Namun yang jadi masalah ada pihak yang ingin mengangkat rekonsiliasi ini ke ranah hukum. "Itu yang tidak mudah," katanya.

Karena itu Gus Sholah berharap rekonsiliasi tetap berlanjut. Hak-hak mereka yang hilang dari kedua belah pihak baik dari PKI dan korban dari PKI harus diberikan. Kemudian semua pihak ia mengimbau saling menerima dan memaafkan atas noda sejarah ini.

Sabtu , 23 September 2017, 07:09 WIB

Kapan Gebuk PKI?

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung *)

Di hadapan mahasiswa kampus putih UMM, 13 Juni 2017, Jokowi membicarakan desas desus kebangkitan PKI: Partai Komunis Indonesia. Isu kebangkitan komunis itu pun mememantik tanya bekas wali kota Solo.

Dilansir Detik, ia berujar, "Pertanyaannya, di mana? Di mana? Karena jelas, di konstitusi kita jelas, ada TAP MPR bahwa komunisme dilarang di negara kita Indonesia," tegas Jokowi.

"Jadi, kalau bisa tunjukkan pada kita, tunjukkan pada saya, saya akan gebuk detik itu juga!" tambah Jokowi, 13/6/2017.

Janji Jokowi yang bakal menggebuk PKI tercatat di media dan benak anak-anak bangsa. Tapi, publik juga khawatir janjinya seperti janji-janji lain.

September meroket, ternyata melempem. Rupiah menguat di kisaran Rp 10 ribu, ternyata loyo. Bahkan, dalam rincian asumsi makro RAPBN 2018 nilai tukar rupiah hanya berani dipatok di kisaran Rp 13.300- 13.500 per dolar. Jauh dari angka Rp 10 ribu yang digaung-gaungkan.

Swasembada pangan, malah impor. Pertumbuhan ekonomi, tapi PHK dimana-mana.

Penarikan subsidi, pajak mencekik, dana haji dan lainnya yang diklaim untuk infrastruktur, tetapi beberapa proyek usai groundbreaking malah mangkrak. Utang beranak pinak.

Sekarang rakyat pun mengganti istilah subsidi dengan menambah beban hidup rakyat. Sebab pada dasarnya kita tak pernah tahu, subsidi itu seperti apa, ada atau tidak pernah ada. Beban rakyat ditambah pula kemandulan hukum yang makin terasa.

Semisal Iwan Bopeng yang berani mengancam TNI dengan ancaman mengerikan laiknya komunis, tak jua tersua proses hukumnya. Pun pelbagai janji kampanye lain yang cenderung berkebalikan dengan kenyataan.

Lantas, apa betul janji gebuk komunis bakal dilakukan atau seperti sekadar janji-janji lainnya?

Komunis yang membantai para ulama, santri, masyarakat, dan singkatnya musuh besar bagi umat Muslim dan TNI, dinilai kian terasa kembali bangkit.

Bahkan, tahun 2010 digelar Kongres X Neo Komunis. Selepas 2014, begitu mudah kita menemui simbol-simbol palu arit di jalan raya.

Contohnya, orang yang menggunakan kaos palu arit, coretan dinding, sampai munculnya atribut PKI dalam karnaval menyambut HUT Ke-70 Kemerdekaan RI yang digelar Pemkab Pamekasan, Agustus 2015.

Di jejaring sosial media, grup-grup PKI pun mencuat bak jamur di musim penghujan. Tahun 2016, kian berani tampil ke permukaan wacana pencabutan TAP MPR yang melarang komunis di Indonesia.

Di tahun sama muncul pula desakan agar Jokowi meminta maaf pada PKI. Untung saja tak dilakukan.

Tapi di awal tahun 2017, Sastrawan terkemuka Taufik Ismail, memberi kabar getir bagi bangsa ini: tahun ketiga Jokowi mirip kebangkitan PKI.

Media pun ramai mengingatkan. Tapi, apakah pendukung PKI ada yang digebuk, seperti janji Jokowi?

Sebaliknya, justru ketika ada penulis buku yang menuding Jokowi berkelindan dengan lingkar komunis dan meminta test DNA, bukan disikapi tandingan buku lain.

Melainkan sang penulis itu langsung diganjar hukuman dengan vonis tiga tahun penjara. Buku Jokowi Undercover, itu pun dilarang beredar.

Di bulan Agustus 2017, Jokowi justru menyiapkan karpet merah bagi Sekjen Partai Komunis Vietnam. Selanjutnya, bisa ditebak: kegaduhan rutin di tiap September via isu PKI dibuat bising lagi.

Kali ini, malah terang-terangan bermunculan sosok yang terindikasi pro komunis. Sampai-sampai soal pemutaran film G30S/ PKI digaduhkan pula. Dari kualitas hingga rokok.

Tapi, namanya era digital. Boleh saja film itu dituding tak akurat lantaran DN Aidit, pentolan PKI dianggap tidak merokok.

Selang hitungan jam dari klaim anak Aidit jika ayahnya tak merokok, ramai-ramai publik mengabarkan foto DN Aidit merokok. Media Tempo sebelumnya juga mengabarkan: Sebelum dieksekusi, DN Aidit meminta rokok pada eksekutor.

Hanya hitungan sekejap, runtuhlah tudingan yang menyebut film G30S/ PKI tidak akurat. Runtuhlah klaim anak dari pentolan PKI, itu. Di titik ini, makin muaklah publik terhadap PKI. Bahkan, bagi generasi mileneal yang belum paham ideologi komunis.

Sayang, film fenomenal karya sutradara ternama yang dulu kemunculannya selalu dinanti saban tahun di TVRI, dihentikan sejak 1998. Persis di tahun reformasi.

Sejak itu pula, UUD 1945 diamandemen. Korupsi berjamaah tak malu-malu lagi menampakan wajahnya. Bahkan sempat muncul kasus pasal UU yang mau dikorupsi.

Sejak reformasi pula, makin marak kasus korupsi besar: BLBI, Century, rekening gendut polisi, reklamasi, sumber waras, dan seabreg kasus korupsi besar yang tak pernah tuntas.

Paska reformasi juga sila keempat Pancasila, dinafikan dengan perhelatan pilkada yang membelah anak-anak bangsa. Walau sempat ada drama politik KMP - KIH yang ingin mengembalikan pemilihan tak langsung, tapi SBY mengeluarkan Perppu.

Di tahun 2008 kurikulum PMP, PSPB dan sejarah bangsa dihapuskan. Dan kita paham, itu di era siapa. Selanjutnya anak-anak bangsa gagap sejarah. Termasuk sejarah kekejaman dan pola poli PKI.

Tak heran, kini upaya-upaya pemutar balikan fakta digencarkan. PKI berdalih menjadi korban. Tentu saja, bagi kaum milenial atau mereka yang tak memiliki keluarga atau leluhur yang dibantai keji oleh komunis bakal bisa saja percaya pemutar balikan fakta.

Melalui ragam kanal informasi, komunis seakan greget ingin mencuci otak bangsa ini bahwa: seolah mereka korban. Sampai-sampai film G30S/ PKI dinilai sebagai sampah. Bagaimana mungkin tak naif, dua kali melakukan upaya pemberontakan tapi mengaku- aku sebagai korban. Film sejarah G30S/ PKI pun dibusukan.

Tapi alih-alih mampu membuat film yang sama. Untuk menulis naskahnya saja, sang penuding film sampah belum tentu bisa. Dan akhirnya film yang dulu dinanti-nanti seisi bangsa, kini mengundang kontroversi ketika ingin diputar kembali.

Luar biasa bukan dampak reformasi? Seluar biasa kejahatan finansial masa lalu dan penuntasan masalah 97 yang sampai sekarang belum diselesaikan.

Rakyat menjadi sasaran pajak mencekik. Sampai e-money dipaksakan. Dikenai tarif top up pula. Uangnya ada, uangnya ada, mana buktinya?

Justru menurut data Kemenkeu (2017), utang pemerintah tercatat mencapai Rp 3.780 triliun. Indonesia pun dibayangi jatuh tempo utang yang super jumbo sebesar Rp 810 triliun.

Jatuh tempo utang tahun 2018 sebesar Rp 390 triliun dan tahun 2019 utang yang harus dibayar sekitar Rp 420 triliun.

Apa karena itu rakyat dibebani pajak dan ragam kebijakan memberatkan? Atau karena gencarnya audit finansial global dari justice international yang membuat kondisi makin kepepet? Sampai isu-isu usang digaduhkan, pendukung PKI diberi panggung dan ruang.

Keturunan dan pendukung komunis pun bermunculan. Terang-terangan. Dengan demikian, kapan janji gebuk PKI direalisasikan? Sekadar janji lagi, tanpa bukti?

Tak bisa kah seperti Presiden Filiphina Duterte, yang senyap. Tapi tiba-tiba tentaranya langsung menewaskan sembilan orang komunis dalam baku tembak selama dua jam, beberapa hari lalu. Senyap seperti tuyul, tapi langsung memberi bukti. Tak berisik woro- woro ke sana kemari, namun hanya janji.

Kini, dengan janji gebuk PKI yang tanpa bukti, pemutarbalikan fakta PKI sebagai korban, bahkan tak meminta maaf pada sesisi bangsa: justru membuka lagi luka lama masyarakat Indonesia, khususnya bagi keluarga korban kebiadaban PKI.

Rekonsilasi sulit sekali rasanya jika tetap menebar dusta demi dusta. Memaksa mengelabui sejarah, bahkan memutar balikannya. Publik pun mendesak agar pemerintah lebih serius menangkal benih-benih komunis di perut Ibu Pertiwi.

Namun, semua pihak tetap harus melepaskan dendam demi mengembalikan peradaban tepo seliro dan jati diri bangsa yang lama menghilang.

Selamat Tahun Baru 1439 H. Semoga kita mampu hijrah dari ragam kedustaan dan perpecahan menuju alam kejujuran serta kelembutan. Berpindah dari kebusukan siasat menuju peradaban yang mengundang langit mencurahkan rahmat.

begitu pesan sesepuh pengasuh Pesantren Buntet Cirebon, KH Ayyip Abdullah Abbas, mengingatkan seluruh elemen bangsa.

Damai selalu Indonesia Raya. Di tahun baru ini kita rajut lagi persatuan anak-anak bangsa yang makin porak poranda. Jangan mau lagi dipolarisasi, terlebih sekadar pilihan politik.

Shalaallahu alaa Muhammad.

*) Pemerhati masalah sosial

Sabtu , 23 September 2017, 06:00 WIB

'Jika PKI Bangkit, Memangnya Kenapa?'

Asma Nadia REPUBLIKA.CO.ID, Pertanyaan yang tampak sederhana, sesederhana cara berpikir

orang yang mengungkapkannya. Untuk menjawab, mungkin kita perlu menelaah lagi sejarah dan fakta yang ada di lapangan.

Saya tidak akan bercerita tentang peristiwa bulan Oktober di tahun 1945, ketika kelompok pemuda PKI membantai pejabat pemerintahan di Kota Tegal, menguliti serta membunuh sang bupati. Tak cukup di situ, mereka menghinakan keluarganya. Kardinah, adik kandung RA Kartini yang menikah dengan bupati Tegal periode sebelumnya, termasuk salah satu korban. Pakaian wanita sepuh itu dilucuti, kemudian diarak dengan mengenakan karung goni.

Betapa saat rakyat Indonesia tengah berjuang melawan penjajah, ketika arek-arek Suroboyo berebut merobek bendera merah putih biru di Hotel Yamato, lalu bertarung menghadapi sekutu pada 10 November, di belahan lain sebulan sebelumnya, sejumlah pejuang turut berdarah-darah dalam pertempuran lima hari di Semarang, membredeli tentara Jepang, PKI justru merusak tatanan bangsa di mana-mana. Menggerogoti dari dalam.

Anasir PKI bergerak merebut kekuasaan di Slawi, Serang, Pekalongan, Brebes, Tegal, Pemalang, Cirebon, dan berbagai wilayah lain. Menghilangkan nyawa anak bangsa dan tokoh pejuang. Bupati Lebak dihabisi, tokoh nasional Otto Iskandardinata diculik dan dieksekusi mati bahkan keberadaan jenazahnya menyisakan misteri. Sultan Langkat dibunuh serta hartanya dijarah. Bahkan Gubernur Suryo, tokoh sentral dari peristiwa di Surabaya juga dibunuh PKI.

Soviet Indonesia, beraliansi komunis. Dan lebih parah lagi dalam Perjanjian Renville, dengan mudah Amir Syarifuddin menyerahkan begitu banyak kekuasaan pada Belanda dan memasung wilayah Indonesia.

Keganasan PKI makin membabi buta. Saya sebenarnya tidak hendak bercerita tentang peristiwa di Gontor. Ketika setiap pagi menjelang, satu per satu kyai diabsen dan nama yang disebut serta-merta disembelih. Atau kisah Haji Dimyati, aktivis Masyumi yang digorok lehernya sebelum dimasukkan ke sebuah sumur bersama korban pembantaian lainnya.

Juga tentang kesaksian Isra dari Surabaya yang ayahnya diseret ke sawah sembari dihajar beramai-ramai hingga jasadnya tidak berbentuk lagi; hancur, habis terbakar, dan dimakan anjing. Sang anak terpaksa memungut potongan tubuh ayahnya satu per satu dan dimasukkan kaleng.

Atau cerita Moch. Amir yang empat sahabatnya sesama aktivis dakwah disiksa dengan dipotong kemaluan dan telinga mereka hingga ajal menjemput. Atau testimoni Suradi saat para kyai dimasukkan loji lalu dibakar. Yang berhasil keluar tak lantas bebas, melainkan dibacoki. Pun saya sejujurnya tidak ingin mengisahkan kesaksian Mughni yang melihat tokoh Islam dari Masyumi di Ponorogo diciduk dan dinaikkan truk. Telinga kakaknya dipotong, lalu dibuang di sumur tua.

Juga tentang Kapolres Ismiadi yang diseret dengan Jeep Wilis sejauh 3 km hingga wafat. Setelah tentara dibunuhi, gantian polisi dilibas. Kemudian pejabat, ulama, serta para santri.

Pascagerakan komunis berhasil dihentikan di tahun 1948, pada 1965 PKI kembali beraksi. Buya Hamka, Ketua MUI pertama dan para ulama lainnya dipenjara. Mereka difitnah oleh kalangan PKI yang saat itu sangat dekat dengan pemerintah berkuasa. Tak hanya menerima siksaan setiap hari, Buya Hamka memperoleh ancaman akan disetrum kemaluannya.

Deretan kisah mengiris hati di atas pernah saya baca, tapi tidak akan saya ceritakan sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Karena mungkin hanya dianggap serpihan dari peristiwa kecil.

Tapi, kini mari kita lihat apa yang terjadi jika komunisme berkuasa. Di Uni Soviet, sekitar 7 juta orang tewas dalam Revolusi Bolsevik dipimpin oleh Lenin. Di masa Stalin

20 juta orang terbunuh untuk memuluskan program komunisme.

Salah satu cara komunisme bertahan adalah, melestarikan tidak adanya perbedaan pendapat, dan jika berbeda sebaiknya dibunuh, berapa pun jumlah korban yang dibutuhkan. Di Kamboja, sekitar 2 juta orang atau sepertiga jumlah penduduk dibantai Salah satu cara komunisme bertahan adalah, melestarikan tidak adanya perbedaan pendapat, dan jika berbeda sebaiknya dibunuh, berapa pun jumlah korban yang dibutuhkan. Di Kamboja, sekitar 2 juta orang atau sepertiga jumlah penduduk dibantai

Jadi, jika PKI bangkit, memangnya kenapa? Pertanyaan seperti ini lebih baik dijawab dengan pertanyaan.

Jika PKI pernah mengkhianati kemerdekaan bangsa, apa jaminan mereka tidak akan mengulanginya?

Jika baru mempunyai sedikit kekuasaan saja sudah membantai begitu banyak orang, apa yang terjadi jika memegang kekuasaan besar?

Jika komunisme dilatih tidak bisa berbeda pendapat, lalu di mana letak kebebasan? Dan yang terpenting dari semua itu, jangan berteriak korban. Mengutip Ahmad Mansur

Suryanegara, PKI di Indonesia bukan korban, mereka pelaku. Atau istilah Agung Pribadi dalam buku Gara-Gara Indonesia, ini saatnya rekonsiliasi, kita bisa maafkan, tapi jangan lupakan sejarah pembantaian yang dilakukan PKI.

Jumat , 22 September 2017, 17:51 WIB

Isu PKI: Ambil Apinya Jangan Abunya

http://www.republika.co.id/berita/mpr-ri/berita-mpr/17/09/22/owogtb423-isu-pki-ambil- apinya-jangan-abunya - diakses 24-09-2017

Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR RI Dr. Ahmad Basarah. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberontakan G-30S/PKI atau Gerakan Tigapuluh

September PKI menurut istilah Jenderal Soeharto atau Gestok atau Gerakan Satu Oktober 1965 menurut istilah Presiden Soekarno merupakan salah satu peristiwa politik paling dramatis dan kelam bagi perjalanan bangsa Indonesia. Dramaturgi tersebut dimulai dengan skenario gerakan politik pembunuhan para perwira tinggi TNI pada waktu itu dan menimbulkan turbulensi politik dari berbagai lapisan masyarakat. Pemberontakan politik dan bersenjata itupun akhirnya memakan korban digulingkannya Presiden Soekarno dari jabatan presiden dan dengan pelaksanaan proyek desoekarnoisasi.

Dan Brown, dalam novel The Da Vinci Code menulis istilah History is always writen by the winners, sejarah selalu di tulis oleh pemenang. Gestok 1965 telah menjadi peristiwa kelam bagi bangsa Indonesia karena sejak saat itu narasi politik tentang bagaimana sesungguhnya latar belakang dan peristiwa terjadinya pemberontakan tanggal 30 September sampai 1 Oktober 1965 tidak dapat diketahui dengan jernih dan obyektif oleh bangsa Indonesia. Penulisan dan kesimpulan persitiwa tersebut kemudian hanya menjadi monopoli kekuasaan Orde Baru sebagai Sang Pemenang. Narasi tunggal sejarah bangsa Dan Brown, dalam novel The Da Vinci Code menulis istilah History is always writen by the winners, sejarah selalu di tulis oleh pemenang. Gestok 1965 telah menjadi peristiwa kelam bagi bangsa Indonesia karena sejak saat itu narasi politik tentang bagaimana sesungguhnya latar belakang dan peristiwa terjadinya pemberontakan tanggal 30 September sampai 1 Oktober 1965 tidak dapat diketahui dengan jernih dan obyektif oleh bangsa Indonesia. Penulisan dan kesimpulan persitiwa tersebut kemudian hanya menjadi monopoli kekuasaan Orde Baru sebagai Sang Pemenang. Narasi tunggal sejarah bangsa

Sejak saat itu, setiap orang atau kelompok dan organisasi yang ingin mengetahui apalagi meluruskan tentang bagaimana sesungguhnya peristiwa itu terjadi dan siapa saja pihak yang terlibat dalam peristiwa G-30S/PKI atau Gestok tersebut akan dikenakan stigma sebagai PKI, Komunis atau Pendukung PKI. Tidak jarang bagi tokoh-tokoh yang mencoba membahas apalagi berusaha meluruskan obyektifitas persitiwa tahun 1965 tersebut berakhir dengan nasib yang tragis.

Saat ini, Rezim Orde Baru sebagai Sang Pemenang peristiwa pemberontakan politik tahun 1965 tersebut telah ditumbangkan rakyat melalui gerakan Reformasi tahun 1998 dengan epilog ditetapkannya mantan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Orde Baru sebagai Tersangka Korupsi melalui TAP MPR Nomor XI/MPR/1998. Haruskah sejarah kelam bangsa Indonesia tahun 1965 itu mau terus kita propagandanya menurut versi rezim yang korup dan sudah tidak berlaku lagi?

Bung Karno Korban Pemberontakan G-30S/PKI

Kalau kita lihat sisi sejarah yang lain di luar narasi versi Orde Baru, maka kita dapat melihat pandangan dan sikap Presiden Soekarno pada waktu itu. Menurut Presiden Soekarno, peristiwa Gestok (Bung Karno menyebut Gestok karena peristiwa pembunuhan para jenderal dan perwira TNI pada waktu terjadi pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965) dalam suratnya kepada Pimpinan MPRS RI tanggal 10 Januari 1967 yang dikenal dengan Pidato Pelengkap Nakwaksara menjelaskan bahwa peristiwa G.30.S adalah suatu “complete ovverompeling” atau penyerbuan yang lengkap atau sempurna bagi dirinya.

Berdasarkan penyelidikannya, Bung Karno menjelaskan bahwa Peristiwa G.30.S ditimbulkannya oleh pertemuannya tiga sebab, yaitu : (a) Keblingernya pimpinan PKI, (b) Kelihaian subversi nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme), (c) Adanya oknum- oknum yang tidak benar. Oleh karenanya Presiden Soekarno pun mengutuk Peristiwa Gestok 1965 tersebut dan menyatakan yang bersalah harus dihukum. Presiden Soekarno kemudian membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili pelaku-pelaku pemberontakan tersebut.

Presiden Soekarno juga menolak permintaan MPRS harus bertanggung jawab sendiri atas peristiwa Gestok tersebut. Presiden Soekarno pun menanyakan dalam suratnya tersebut, siapa yang bertanggung jawab atas usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno dalam penggranatan di Cikini, pemberondongan dari pesawat udara oleh Maukar, pencegatan bersenjata di gedung Stanvac dan di Cisalak. Presiden Soekarno pun meminta “kebenaran dan keadilan” atas peristiwa tersebut.

Teori Presiden Soekarno yang menyebutkan bahwa Peristiwa Gestok adalah “penyerbuan

Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara Presiden Soekarno yang diminta dan disampaikan kepada Pimpinan MPRS RI untuk mempertanggungjawabkan Persitiwa G.30S/PKI pada waktu itu ditolak MPRS.

Setelah Pimpinan dan anggota MPRS diganti dengan orang-orang yang antiterhadap Presiden Soekarno, yaitu antara lain, Ketua MPRS Chairul Saleh digantikan Jenderal TNI AD A.H. Nasution dan Wakil Ketua MPRS Ali Sastriamidojo diganti Osa Maliki kemudian mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasan Presiden Soekarno.

Tragisnya, dalam bagian menimbang atau konsideran Tap MPRS tersebut dituliskan, berdasarkan laporan Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (dhi. Jenderal Soeharto) dituduhkan bahwa Presiden Soekarno terlibat dalam peristiwa G.30S/PKI. Berdasarkan tuduhan itulah akhirnya MPRS mencabut kekuasaan Presiden Soekarno. Dalam pasal 6 Tap MPRS XXXIII/1967 itu terdapat ketentuan bahwa Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden berkewajiban untuk melakukan proses peradilan atas tuduhan Bung Karno terlibat dalam Peristiwa G.30S/PKI.

Namun, sampai Bung Karno meninggal dunia pada tanggal 21 Juni 1970 tidak pernah ada proses peradilan apapun, apalagi sebuah peradilan yang fair atas tuduhan keji yang dialamatkan kepada Bung Karno. Akhirnya Sang Proklamator Bangsa Indonesia itu meninggal dunia dengan membawa beban yang amat berat bagi diri dan keluarganya sebagai tertuduh pengkhianat kepada bangsa dan negara yang ia ikut susah payah mendirikannya, melalui pemberontakan G.30S/PKI.

Setelah 45 Tahun berlalu, tuduhan keji Bung Karno melakukan pengkhianatan karena mendukung Peristiwa G.30S/PKI itupun diralat oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pada tanggal 7 November 2012 melalui Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Nomor 83/TK/Tahun 2012, Bung Karno mendapatkan status kenegaraan sebagai Pahlawan Nasional.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno tersebut memiliki implikasi hukum gugurnya tuduhan Bung Karno pernah melakukan pengkhianatan kepada bangsa dan negara sebagaimana tuduhan dalam Tap MPRS Nomor XXXIII/1967 tersebut. Mengapa demikian, karena dalam pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan diatur ketentuan bahwa syarat seorang tokoh bangsa Indonesia dapat memperoleh status gelar Pahlawan Nasional adalah apabila semasa hidupnya (antara lain) tidak pernah dihukum apalagi berkhianat kepada bangsa dan negara.

Meskipun demikian, Bung Karno kini sudah tiada. Beliau telah pergi meninggalkan kita semua sejak 47 tahun lalu. Keluarga besar Bung Karno dan para pengikut-pengikutnya pun sudah mengikhlaskan kepergiannya dan peristiwa kelam yang dialami Bung Karno dan bangsa Indonesia. "Saya yakin demi persatuan bangsa Indonesia, kita semua sudah Meskipun demikian, Bung Karno kini sudah tiada. Beliau telah pergi meninggalkan kita semua sejak 47 tahun lalu. Keluarga besar Bung Karno dan para pengikut-pengikutnya pun sudah mengikhlaskan kepergiannya dan peristiwa kelam yang dialami Bung Karno dan bangsa Indonesia. "Saya yakin demi persatuan bangsa Indonesia, kita semua sudah

Dengan dimensi narasi sejarah yang demikian itu, apakah masih relevan lagi jika saat ini bangsa Indonesia masih ingin memprogandakan kembali narasi sejarah G.30S/PKI hanya mengikuti cerita yang dibuat oleh rezim Orde Baru melalui pemutaran Film G.30S/PKI. Selain rezim tersebut sudah tiada dan dijatuhkan rakyat dengan membawa stigma sebagai rezim koruptor sebagaimana TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, juga narasi Film G.30S/PKI bukanlah fakta yang obyektif dan komprehensif tentang sejarah bangsa Indonesia di tahun 1965-1967. Film tersebut secara konten mengandung unsur kekerasan dan hanya mempertontonkan perpecahan ditubuh TNI dan pertikaian politik para pendahulu bangsa yang sangat merusak nation and character building generasi muda bangsa Indonesia.

"Jika kita konsisten untuk menjaga persatuan bangsa dengan sungguh-sungguh, marilah kita akhiri melanjutkan sisa-sisa konflik para pendahulu bangsa kita. Masih banyak hal- hal positif yang telah diperbuat para pendahulu bangsa Indonesia yang dapat kita jadikan suri tauladan bagi generasi bangsa berikutnya. Marilah Kita Warisi Api Perjuangan Para Pendahulu Bangsa Bukan Mewarisi Abunya," ujar Ahmad Basarah.

Membicarakan kebangkitan PKI dan komunisme dalam sistem negara hukum Pancasila adalah sesuatu yang tidak ada gunanya. Selain tiap-tiap bangsa wajib bertuhan menurut falsafah sila Ketuhanan dalam Pancasila sebagaimana dipidatokan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, PKI juga sudah mati permanen di Indonesia. TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Sebagai Partai Terlarang di Indonesia sudah final karena berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) TAP MPR Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPRS/MPR sejak Tahun 1960-2002 telah dinyatakan masih berlaku.

Sementara, lembaga MPR RI paska perubahan UUD Tahun 1945 menjadi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 1999-2002, sudah tidak lagi memiliki kewenangan apapun untuk membuat ketetapan MPR yang bersifat mengatur keluar (regeling). Dengan demikian tidak ada lagi celah hukum apapun bagi bangkitnya PKI di Indonesia karena TAP MPR Nomor XXV/MPRS/1966 sudah tidak dapat lagi cabut oleh siapapun dan lembaga negara manapun termasuk oleh MPR RI sendiri.

'Tentara itu Musuhnya PKI'

Sabtu 23 September 2017 - 10:57

https://kumparan.com/indra-subagja/tentara-itu-musuhnya-pki - 26-09-2017

Sejarah selalu berulang. Karena itu Salim Said, pengamat militer ini mewanti-wanti

"Begini ini tidak bisa dilepaskan history bahwa tentara itu musuhnya PKI, jenderal mereka diburu. Dalam sejarah dunia, tentara enggak ada jenderalnya satu malam dilikuidasi," beber Salim dalam diskusi di Populi Center Smart FM di Gado-gado Boplo, Jakarta, Sabtu (23/9). Salim membeberkan, dalam pemberontakan PKI tahun 1948, saat itu tentara dan rakyat yang menumpas. "Jadi harus dibicarakan sesuai konteks sejarah di Indonesia, peristiwa Madiun 1948 itu PKI yang terlibat, tapi sejak PKI menang pemilu (tahun 1960-an), PKI ngomong PKI itu dizalimi oleh Muhammad Hatta, begitu hebatnya kampanye PKI saat itu," urai Salim peraih doktor dari Ohio State University ini.

Menurut pandangan saya, kalau ada pelurusan sejarah versi PKI yang menang ya PKI, tentara dan kita itu kalah semua. Karena itu kita harus perhatikan film baru itu akan berat kemana, akan berat ke PKI atau akan berat ke tentara dan kita. Karena itu, ketika Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memerintahkan pemutaran film G30S/PKI, Salim mendukung. Karena lewat film itu, TNI menyadarkan akan bahaya PKI. "Jadi kalau saya panglima TNI, saya harus menjaga, alat yang tersedia ya film itu. Maka panglima setuju yang penting ada alat buat panglima, jangan ada yang membersihkan nama," tegasnya. Menyoal film G30S/PKI yang diperbincangkan orang, Salim menegaskan. Sejarah adalah milik para pemenang. Peristiwa G30S, pemenangnya adalah tentara dan rakyat. Maka wajar kalau film adalah seperti itu. "Ketika film itu dibikin, dibikin berdasarkan pandangan orang pada saat itu. Arifin (Arifin C Noer, sutradara) tidak ada yang didramatisir, dia buat film sesuai pandangan dan data yang ada saat itu. Sejarah selalu ditulis oleh pemenang, tidak ada pemenang yang membuat sejarah yang tidak menguntungkan dia," bebernya. "Orang lupa yang memburu PKI setelah Gestapu bukan hanya tentara, ada juga orang Islam. Yang dicederai PKI sebelum Gestapu bukan hanya tentara, ini ada hubungannya terkait isu bangkitnya kembali PKI. Bagi saya ya hantu, tapi itu nyata, nyata itu tidak bisa mendadak, itu ada hubungannya dengan sejarah Indonesia sebelumnya (pemberontakan 1948). Mudah mudahan saya bisa jelaskan kenapa orang takut PKI akan bangkit," tutupnya.

Sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI): Obyektivitas atau Subyektivitas ?

Apabila diperhatikan dari asal-muasal data yang dijadikan sebagai sandaran penuturan suatu sejarah, maka suatu sejarah dapat diklasifikasi menjadi dua macam. Pertama, suatu sejarah sebagai keseluruhan data atas peristiwa yang nyata-nyata terjadi di masa lampau tanpa dapat dikurangi dan tanpa dapat diimbuhi oleh siapapun juga. Data ini lazim disebut sebagai history as past actuality yang menjadi populasi dan hanya direkam oleh Apabila diperhatikan dari asal-muasal data yang dijadikan sebagai sandaran penuturan suatu sejarah, maka suatu sejarah dapat diklasifikasi menjadi dua macam. Pertama, suatu sejarah sebagai keseluruhan data atas peristiwa yang nyata-nyata terjadi di masa lampau tanpa dapat dikurangi dan tanpa dapat diimbuhi oleh siapapun juga. Data ini lazim disebut sebagai history as past actuality yang menjadi populasi dan hanya direkam oleh

Oleh karena itu, maka setiap “suatu sejarah” yang benar-benar dijamin serba obyektif adalah hanya terdapat dalam hasil rekaman malaikat Roqīb dan malaikat ’Atīd saja; sedangkan setiap “suatu sejarah” yang benar-benar dijamin serba subyektif adalah yang diproduk oleh manusia dengan segala sikapnya yang pro, yang kontra, maupun yang abstein-netral (tidak memihak kepada yang pro maupun yang kontra).

)0(

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1