Sejarah Partai Komunis Indonesia PKI Oby

Sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI): Obyektivitas atau Subyektivitas

Partai Komunis Indonesia

https://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia - diakses 24-09-2017

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah sebuah partai politik di Indonesia yang telah bubar. PKI adalah partai komunis non-penguasa terbesar di dunia setelah Rusia dan Tiongkok sebelum akhirnya PKI dihancurkan pada tahun 1965 dan

dinyatakan sebagai partai terlarang pada tahun berikutnya. [1][2]

Pendiri

Henk Sneevliet

Kantor pusat

Jakarta

Surat kabar

Soeara Rakjat Harian Rakjat

Sayap pelajar

CGMI

Sayap perempuan

Gerwani

Sayap buruh

SOBSI

Sayap petani

Ideologi Komunisme , Marxisme-Leninisme

Afiliasi internasional

Komintern (sampai 1943)

Warna resmi

Merah

Simbol pemilu

Palu arit

Pelopor

Henk Sneevliet dan kaum sosialis Hindia Belanda lainnya membentuk serikat tenaga kerja di pelabuhan pada tahun 1914, dengan nama Indies Social Democratic Association (dalam bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging-, ISDV). ISDV pada dasarnya dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP dan Partai Sosialis Belanda yang kemudian menjadi SDP komunis, yang

berada dalam kepemimpinan Hindia Belanda. [3] Para anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-orang Indonesia mencari cara

untuk menentang kekuasaan kolonial. Pada Oktober 1915, ISDV mulai aktif dalam penerbitan surat kabar berbahasa Belanda,

"Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars. Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan untuk Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Tapi berubah ketika Sneevliet memindahkan markas mereka dari Surabaya ke Semarang dan menarik banyak penduduk asli dari berbagai "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars. Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan untuk Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Tapi berubah ketika Sneevliet memindahkan markas mereka dari Surabaya ke Semarang dan menarik banyak penduduk asli dari berbagai

Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti di Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah 'Pengawal Merah' dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga

40 tahun. [butuh rujukan] Sementara itu, ISDV membentuk blok dengan organisasi anti-kolonialis Sarekat Islam.

Banyak anggota SI seperti dari Surabaya, Semaun dan Darsono dari Solo tertarik dengan ide-ide Sneevliet. Sebagai hasil dari strategi Sneevliet akan "blok dalam", banyak anggota SI dibujuk untuk mendirikan revolusioneris yang lebih dalam Marxis-didominasi Sarekat Rakjat. [4]

ISDV terus bekerja secara klandestin. Meluncurkan publikasi lain, Soeara Rakyat. Setelah kepergian paksa beberapa kader Belanda, dalam kombinasi dengan pekerjaan di dalam Sarekat Islam, keanggotaan telah berpindah dari mayoritas Belanda ke mayoritas Indonesia. Pada tahun 1919 hanya memiliki 25 anggota Belanda, dari total anggota yang kurang dari 400. [butuh rujukan]

Pembentukan dan Pertumbuhan

Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono menjabat sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite adalah orang Belanda. [4] PKH adalah partai komunis Asia pertama yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai pada kongres kedua Komunis Internasional 1921.

Pada periode menjelang kongres keenam Sarekat Islam pada tahun 1921, anggota menyadari strategi Sneevliet dan mengambil langkah untuk menghentikannya. Agus Salim, sekretaris organisasi, memperkenalkan sebuah gerakan untuk melarang anggota SI memegang keanggotaan dan gelar ganda dari pihak lain di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota komunis kecewa dan keluar dari partai, seperti oposisi dari Tan Malakadan Semaun yang juga keluar dari Pada periode menjelang kongres keenam Sarekat Islam pada tahun 1921, anggota menyadari strategi Sneevliet dan mengambil langkah untuk menghentikannya. Agus Salim, sekretaris organisasi, memperkenalkan sebuah gerakan untuk melarang anggota SI memegang keanggotaan dan gelar ganda dari pihak lain di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota komunis kecewa dan keluar dari partai, seperti oposisi dari Tan Malakadan Semaun yang juga keluar dari

aktif. [5] Bersama Semaun yang berada jauh di Moskow untuk menghadiri Far Eastern Labor

Conference pada awal 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah pemogokan terhadap pekerja pegadaian pemerintah menjadi pemogokan nasional untuk mencakup semua serikat buruh Indonesia. Hal ini ternyata gagal, Tan Malaka ditangkap dan diberi pilihan antara pengasingan internal atau eksternal. Dia memilih yang terakhir dan berangkat ke

Rusia. [5] Pada Mei 1922, Semaun kembali setelah tujuh bulan di Rusia dan mulai mengatur semua

serikat buruh dalam satu organisasi. Pada tanggal 22 September, Serikat Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) dibentuk. [6]

Pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924, ia menekankan bahwa "prioritas utama dari partai-partai komunis adalah untuk mendapatkan kontrol dari persatuan buruh" karena tidak mungkin ada revolusi yang sukses tanpa persatuan kelas buruh ini

Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). [7]

Pemberontakan 1926

Pada Mei 1925, Komite Exec dari Komintern dalam rapat pleno memerintahkan komunis di Indonesia untuk membentuk sebuah front anti-imperialis bersatu dengan organisasi nasionalis non-komunis, tetapi unsur-unsur ekstremis didominasi oleh Alimin & Musso menyerukan revolusi untuk menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda. [8] Dalam sebuah konferensi di Prambanan, Jawa Tengah, serikat buruh

perdagangan yang dikontrol komunis memutuskan revolusi akan dimulai dengan pemogokan oleh para pekerja buruh kereta api yang akan menjadi sinyal pemogokan yang lebih umum dan luas untuk kemudian revolusi akan bisa dimulai. Hal ini akan mengarah pada PKI yang akan menggantikan pemerintah kolonial. [8]

Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Bersama Alimin, Musso yang merupakan salah satu pemimpin PKI di era tersebut sedang tidak berada di Indonesia. Ia sedang melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka yang tidak setuju dengan langkah pemberontakan tersebut. Pemberontakan ini akhirnya dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan, 4.500 dipenjara, sejumlah 1.308 yang umumnya kader- kader partai diasingkan, dan 823 dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [9] . Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non- komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan

Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Tan Malaka memprediksi bahwa pemberontakan akan gagal, karena menurutnya basis kaum proletar Indonesia adalah rakyat petani bukan buruh seperti di Uni Soviet. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.

Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Musso kembali dari pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kemudian PKI bergerak di berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berpihak pada PKI [10] .

Kebangkitan pasca-perang

PKI muncul kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, dan secara aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dari Belanda. Banyak unit bersenjata berada di bawah kontrol atau pengaruh PKI. Meskipun milisi PKI memainkan peran penting dalam memerangi Belanda, Presiden Soekarno khawatir bahwa semakin kuatnya pengaruh PKI akhirnya akan mengancam posisinya. Selain itu, pertumbuhan PKI bermasalah sektor sayap kanan lebih dari pemerintahan Indonesia serta beberapa kekuatan asing, khususnya semangat penuh anti-komunis dari Amerika Serikat. Dengan demikian hubungan antara PKI dan kekuatan lain yang juga berjuang untuk kemerdekaan pada umumnya berjalan sengit.

Pada Februari 1948 PKI dan Partai Sosialis membentuk front bersama, yaitu Front Demokrasi Rakyat. Front ini tidak bertahan lama, namun Partai Sosialis kemudian bergabung dengan PKI. Pada saat itu milisi Pesindo berada di bawah kendali PKI.

Pada tanggal 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah dua belas tahun di Uni Soviet. Politibiro PKI direkonstruksi, termasuk D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Njoto. Pada 5 September 1948 dia memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet. Dan anjuran itu berujung pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.

Peristiwa Madiun 1948

Setelah penandatanganan Perjanjian Renville pada tahun 1948, hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya, Indonesia Setelah penandatanganan Perjanjian Renville pada tahun 1948, hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya, Indonesia

30 September Madiun diambil alih oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan 36 000 dipenjara. Di antara beberapa pemimpin yang dieksekusi termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober saat tertangkap di Desa Niten Kecamatan Sumorejo, Ponorogo. Diduga ketika Musso mencoba melarikan diri dari penjara. Aidit dan Lukman pergi ke pengasingan di Republik Rakyat Tiongkok. Namun, PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Rekonstruksi partai dimulai pada tahun 1949.

Bangkit kembali

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950,

menjadi 165.000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 [11] Oposisi lanjutan oleh Belanda terhadap Irian Jaya adalah masalah yang sering diangkat

oleh PKI selama tahun 1950. Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan-pemogokan, yang diikuti

oleh tindakan-tindakan tegas oleh kubu yang menentang PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.

Pada Februari 1958 sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan pro-AS antara militer dan politik sayap kanan. Para pemberontak, yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesiapada tanggal 15 Februari. Pemerintah Revolusioner yang terbentuk ini segera mulai menangkapi ribuan anggota PKI di daerah di bawah kendali mereka. PKI mendukung upaya Soekarno untuk memadamkan pemberontakan, termasuk pemberlakuan hukum darurat militer. Pemberontakan itu akhirnya dikalahkan.

Pada bulan Agustus 1959 terjadi upaya atas nama militer untuk mencegah

Sukarno sendiri. Pada tahun 1960 Sukarno meluncurkan slogan Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama, Komunisme. Dengan demikian peran PKI sebagai mitra junior dalam pemerintahan Sukarno resmi dilembagakan. PKI menyambut baik peluncuran konsep Nasakom, melihatnya dari segi front persatuan multikelas.

Pemilu 1955

Sebelum pemilihan 1955, PKI disukai Sukarno untuk rencana 'demokrasi terpimpin' dan merupakan pendukung aktif Sukarno. [12] Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke

empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi yang merasa tersaingi oleh PKI secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang [13] .

Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.

Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia(PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.

Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas dan multi-golongan.

Meskipun PKI mendukung Sukarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada bulan Meskipun PKI mendukung Sukarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada bulan

Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya, dan baik PKI maupun Partai Komunis Malaya menganggap pembentukan Malaysia sebagai proyek neo-kolonialisme dan neo-imperialisme Inggris dan sekutunya.

Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.

Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Semenanjung Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Sebagian satuan tempur PKI aktif di wilayah perbatasan Kalimantan.

Salah satu hal yang dilakukan PKI setelah masuk kedalam pemerintahan Orde Lama adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, Pimpinan PKI bermaksud dengan dibentuknya angkatan kelima ini diharapkan dapat mendukung mobilisasi massa untuk menuntaskan Operasi Dwikora dalam menghadapi Malaysia. Namun, hal ini membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI.

Pada Januari 1964 PKI mulai menyita properti Inggris yang dimiliki oleh perusahaan- perusahaan Inggris di Indonesia.

Pada pertengahan 1960-an Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memperkirakan keanggotaan partai meningkat menjadi sekitar 2 juta (3,8% dari populasi usia kerja

negara). [14]

Pembunuhan massal dan akhir dari PKI

Sukarno bertindak menyeimbangkan antara PKI, militer, faksi nasionalis, dan kelompok- kelompok Islam terancam oleh kepopuleran PKI. Pengaruh pertumbuhan PKI menimbulkan keprihatinan bagi pihak Amerika Serikat dan kekuatan barat anti-komunis lainnya. Situasi politik dan ekonomi menjadi lebih tidak stabil; Inflasi tahunan mencapai lebih dari 600 persen dan kehidupan Indonesia memburuk.

PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin kuat. Sehingga para pesaing PKI mulai khawatir PKI akan memenangkan pemilu berikutnya. Gerakan-gerakan untuk menentang PKI mulai bermunculan, dan dipelopori oleh Angkatan Darat. Pada Desember 1964, Chaerul Saleh dari Partai Murba (dibentuk oleh mantan pemimpin PKI Tan Malaka) menyatakan bahwa PKI sedang mempersiapkan kudeta. PKI menuntut larangan Partai Murba, tuntutan itu dipaksakan kepada Soekarno pada awal 1965. Dalam konteks Konfrontasi dengan Malaysia, PKI menyerukan untuk 'mempersenjatai rakyat'. Sebagian besar pihak dari tentara Angkatan Darat melarang hal ini. Sikap Soekarno tetap secara resmi untuk tidak terlalu mengambil sikap atas hal tersebut karena Sukarno cenderung mendukung Konfrontasi dengan Malaysia seperti PKI. Pada bulan Juli sekitar 2000 anggota PKI mulai menggelar pelatihan militer di dekat pangkalan udara Halim. Terutama dalam konsep 'mempersenjatai rakyat' yang telah memenangkan banyak dukungan di antara kalangan militer Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Pada tanggal 8 September demonstran PKI memulai untuk pengepungan selama dua hari di Konsulat AS di Surabaya. Pada tanggal 14 September, Aidit mengalamatkan kepada gerilyawan PKI untuk mendesak anggota agar waspada dari hal- hal yang akan datang. Pada 30 September Pemuda Rakyat dan Gerwani, kedua organisasi PKI terkait menggelar unjuk rasa massal di Jakarta terhadap krisis inflasi yang melanda.

Soeharto menghadiri pemakaman jenderal-jenderal yang dibunuh pada tanggal 5 Oktober 1965. (Gambar oleh Departemen Penerangan Indonesia)

Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia dibunuh dan mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal mengumumkan keesokan harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September ("G30S"). Dengan banyaknya jenderal tentara senior yang mati atau hilang, Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan

Indonesia. Bukti yang mengaitkan PKI untuk pembunuhan para jenderal tidak meyakinkan, yang mengarah ke spekulasi bahwa keterlibatan mereka sangat terbatas, atau bahwa Suharto mengorganisir peristiwa, secara keseluruhan atau sebagian, dan

mengkambinghitamkan kepada komunis. [butuh rujukan] Dalam pembersihan anti-komunis melalui kekerasan berikutnya, diperkirakan 500.000 komunis (atau dicurigai) dibunuh,

dan PKI secara efektif dihilangkan (lihat Pembantaian di Indonesia 1965–1966). Jenderal Suharto kemudian mengalahkan Sukarno secara politik dan diangkat menjadi presiden pada tahun 1968, karena mengkonsolidasikan pengaruhnya atas militer dan pemerintah.

Pada tanggal 2 Oktober basis di Halim berhasil ditangkap oleh pihak tentara. Harian Rakyat mengambil isu pada sebuah artikel yang berisi untuk mendukung kudeta G30S, tetapi spekulasi kemudian bangkit mengenai apakah itu benar-benar mewakili pendapat dari PKI. [siapa?] Sebaliknya pernyataan resmi PKI pada saat itu adalah bahwa upaya G30S merupakan urusan internal di dalam angkatan bersenjata mereka. Pada tanggal 6 Oktober kabinet Sukarno mengadakan pertemuan pertama sejak 30 September. Menteri PKI hadir. Sebuah resolusi mengecam G30S disahkan. Njoto ditangkap langsung setelah pertemuan itu.

Presiden Soekarno berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang bertindak di luar kontrol dan terpancing oleh inisiasi Barat, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi terhadap kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.

Manifestasi besar diadakan di Jakarta dua hari kemudian, menuntut pelarangan PKI. Kantor utama milik PKI dibakar. Pada tanggal 13 Oktober organisasi Islam Ansor mengadakan aksi unjuk rasa anti-PKI di seluruh Jawa. Pada tanggal 18 Oktober sekitar seratus PKI dibunuh oleh pihak Ansor. Pemusnahan secara sistematis untuk partai telah dimulai.

Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan massal yang digelar. [15] [4] Para korban termasuk juga non-komunis yang dibunuh karena

kesalahan identitas atau "kesalahan oleh asosiasi". Namun, kurangnya informasi menjadi tidak mungkin untuk menentukan angka pasti dari jumlah korban yang dibunuh. Banyak para peneliti hari ini menjelaskan korban yang dibunuh antara 200.000 sampai 500.000 orang. [16] Sebuah studi dari CIA tentang peristiwa di Indonesia ini menilai bahwa "Dalam kesalahan identitas atau "kesalahan oleh asosiasi". Namun, kurangnya informasi menjadi tidak mungkin untuk menentukan angka pasti dari jumlah korban yang dibunuh. Banyak para peneliti hari ini menjelaskan korban yang dibunuh antara 200.000 sampai 500.000 orang. [16] Sebuah studi dari CIA tentang peristiwa di Indonesia ini menilai bahwa "Dalam

Time menyajikan berita berikut pada tanggal 17 Desember 1966: Komunis, simpatisan merah dan keluarga mereka dibantai yang mencapai ribuan. Unit

tentara dilaporkan telah mengeksekusi ribuan komunis setelah diinterogasi di penjara- penjara terpencil. Berbekal pisau berbilah lebar yang disebut parang, kelompok Muslim merayap di malam hari ke rumah-rumah komunis, membunuh seluruh keluarga dan mengubur mayat mereka di kuburan dangkal.

Kampanye pembunuhan ini sangatlah kejam di beberapa daerah pedesaan di Jawa Timur, para milisi Islam menancapkan kepala korban pada tiang dan mereka mengarak melalui desa-desa. Pembunuhan telah ada pada skala tinggi sehingga pembuangan mayat menciptakan masalah sanitasi yang serius di Jawa Timur dan Sumatera Utara di mana udara lembab penuh bau busuk daging. Pengunjung dari daerah tersebut mengatakan sungai kecil dan besar yang telah benar-benar tersumbat dengan mayat tubuh.

Meskipun motif pembunuhan tampaknya bernuansa politik, beberapa ahli berpendapat bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh keadaan panik dan ketidakpastian politik. Bagian dari kekuatan anti-komunis yang bertanggung jawab atas pembantaian terdiri dari para pelaku tindak kriminal seperti para preman, yang telah diberi izin untuk terlibat dalam tindakan yang tidak masuk akal berupa kekerasan. [18] Motif lain yang terjadi juga

telah dieksplorasi. Di tingkat internasional, Kantor Berita RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Xinhua,

memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya

percobaan kudeta oleh PKI. [April 2010] Di antara daerah-daerah yang terkena dampak terburuk adalah pulau Bali, di mana PKI

telah berkembang pesat sebelum tindakan kerasasan tersebut. Pada tanggal 11 November bentrokan meletus antara PKI dan PNI, yang berakhir dengan pembantaian terhadap anggota dan simpatisan yang dituduh PKI. Jika banyak dari pogrom anti-PKI di seluruh daerah lain itu dilakukan oleh organisasi-organisasi politik Islam, pembunuhan di Bali dilakukan atas nama Hindu. Bali berdiri sebagai satu-satunya tempat di Indonesia di mana tentara lokal dalam beberapa cara intervensi cenderung mengurangi praktik pembantaian tersebut.

Pada tanggal 22 November, Aidit ditangkap dan dibunuh. Pada bulan Desember militer menyatakan bahwa Aceh telah dibersihkan dari komunis.

Bersamaan, khusus Pengadilan Militer yang dibentuk untuk mengadili dan memenjarakan para anggota PKI. Pada 12 Maret, partai PKI secara resmi dilarang oleh Suharto, dan serikat buruh pro-PKI SOBSI dilarang pada bulan April.

Penjara-penjara di Jakarta begitu penuh, hampir seluruh penjara digunakan untuk menahan anggota PKI. Banyak tahanan politik ditahan tanpa dasar yang jelas. Sejak saat itu, identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat anti-kolonialisme Penjara-penjara di Jakarta begitu penuh, hampir seluruh penjara digunakan untuk menahan anggota PKI. Banyak tahanan politik ditahan tanpa dasar yang jelas. Sejak saat itu, identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat anti-kolonialisme

Beberapa peristiwa yang menggemparkan itu dituangkan dalam novel fiksi populer dan difilmkan dengan judul yang sama yaitu The Year of Living Dangerously(1982).

Perkembangan pasca-1965

Meskipun mendapat perlawanan secara sporadis, PKI berdiri dengan lumpuh setelah pembunuhan 1965-1966. Sebagai hasil dari pembunuhan massal ini, kepemimpinan partai lumpuh di semua tingkat, meninggalkan banyak mantan pendukung dan kekecewaan simpatisan, tanpa pemimpin lagi, dan tidak terorganisir. Pada bulan September 1966, sisa-sisa partai politbiro mengeluarkan pernyataan kritik diri, mengkritik kerja sama sebelumnya dengan rezim Sukarno. Setelah pembunuhan Aidit dan Njoto, Sudisman, pemimpin PKI di tingkat keempat sebelum Oktober 1963, mengambil alih kepemimpinan partai. Dia berusaha untuk membangun kembali partai atas dasar saling keterkaitan tiga kelompok anggota, namun hanya berdampak sedikit

kemajuan sebelum akhirnya ia ditangkap pada Desember 1966 [20] . Pada tahun 1967 ia dijatuhi hukuman mati. Beberapa kader PKI telah mengungsi di sebuah wilayah terpencil di selatan Blitar, Jawa

Timur menyusul tindakan kekerasan terhadap partai. Di antara para pemimpin yang hadir di Blitar adalah anggota Politbiro Rewang, teoretikus partai Oloan Hutapea, dan pemimpin Jawa Timur Ruslan Widjajasastra. Blitar merupakan daerah tertinggal dengan PKI yang memiliki dukungan kuat di kalangan kaum tani. Pihak militer tidak menyadari bahwa PKI telah mampu mengkonsolidasikan dirinya di sana. Para pemimpin PKI ini bergabung dengan Letkol Pratomo, mantan komandan Distrik Militer Pandeglang di Jawa Barat, yang membantu memberikan pelatihan militer untuk Komunis lokal di Blitar. Namun pada Maret 1968 kekerasan meletus di Blitar, petani lokal menyerang para pemimpin dan kader Nahdatul Ulama, sebagai balasan atas Nahdatul Ulama yang telah memainkan peran dalam penganiayaan antikomunis. Sekitar 60 kader NU tewas. Namun ilmuwan politik Australia Harold Crouch berpendapat bahwa itu tidak mungkin bahwa pembunuhan kader NU di Blitar telah dilakukan atas perintah dari para pemimpin PKI di Blitar. Militer menyadari daerah kantong PKI di Blitar tersebut dan menghancurkannya

pada pertengahan tahun 1968. [21] Beberapa kader partai yang sementara di luar Indonesia pada saat peristiwa 30

September. Terutama delegasi yang cukup besar melakukan perjalanan ke Republik Rakyat Tiongkok untuk berpartisipasi dalam perayaan ulang tahun Revolusi Cina. Sedangkan yang lainnya telah meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi di Eropa Timur. Dalam pengasingan, aparatur partai terus berfungsi. Bagaimanapun, sebagian besar dari mereka terisolasi dari perkembangan politik di dalam Indonesia. Di Jawa, beberapa desa yang dikenal sebagai tempat perlindungan bagi anggota atau simpatisan yang telah diidentifikasi oleh pihak berwenang, dan dilindungi di bawah pengawasan secara hati-hati untuk waktu yang cukup.

Sampai tahun 2004, mantan anggota PKI masih dilarang dan masuk daftar hitam dari banyak pekerjaan termasuk apabila ingin bekerja di pemerintahan, sebagaimana kebijakan rezim Soeharto yang telah dijalankan sejak pembersihan PKI tahun 1965. Selama masa presiden Abdurrahman Wahid, ia mengundang mantan buangan PKI untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1999, dan mengusulkan menghilangkan pembatasan diskusi terbuka atas ideologi komunis. Dalam berdebat untuk penghapusan larangan itu, Wahid mengutip dari UUD 1945 Indonesia, yang tidak melarang atau bahkan secara khusus menyebutkan komunisme. Usulan Wahid itu ditentang oleh beberapa kelompok masyarakat Indonesia, khususnya kelompok Islam konservatif. Dalam sebuah protes pada April 2000, sebuah kelompok yang disebut Front Islam Indonesia berjumlah sepuluh ribu orang datang ke Jakarta terkait usulan Wahid. Tentara tidak segera menolak proposal tersebut, namun menjanjikan "studi komprehensif dan teliti" terhadap ide tersebut. [22]

Wacana permintaan maaf

Presiden Joko Widodo berencana akan meminta maaf kepada keluarga korban PKI yang telah menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa pembangunan Orde

Baru, [24][25] namun kabar itu dibantah langsung oleh presiden. Menurut Menkopolhukam Luhut Panjaitan upaya-upaya untuk rekonsiliasi pelanggaran HAM

masa lampau diakui sedang dilakukan dan terus mencari format yang tepat. [26] Sedangkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang tengah mengupayakan langkah non yudisial atau

rekonsiliasi yang berujung pada ungkapan penyesalan negara terhadap peristiwa itu dengan tetap menolak permintaan maaf oleh Presiden. [27]

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengharapkan presiden dapat mengambil inisiatif untuk meminta maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM pasca 1965 mengingat dampaknya begitu besar berkelanjutan ke anak, saudara dan keturunan terkait. Dengan tidak berdirinya proses peradilan pada peristiwa 1965, tidak semua korban baik yang sudah dibunuh, dibuang ke pulau pengasingan maupun

dipenjara terlibat langsung dengan PKI. [28]

Kontra

Beberapa ormas dan elemen agama menolak wacana permintaan maaf tersebut dan menggelar aksi unjuk rasa. [29][30] Menhan Ryamizard Ryacudu menolak permintaan maaf

terhadap PKI dengan alasan PKI yang melakukan pembunuhan terhadap 7 jenderal. [31] Permintaan maaf terhadap PKI juga ditolak oleh KSAD Jenderal Gatot

Nurmantyo [32] . Penolakan permintaan maaf terhadap PKI juga datang dari budayawan Taufiq

Ismail karena menurutnya PKI telah 3 kali memberontak yaitu tahun 1927, 1948 dan 1965. [33]

Lihat pula

Karl Marx

Friedrich Engels

Manifesto Komunis

Komunisme di Sumatra

Angkatan Kelima

Badan Permusjawaratan Partai-Partai

Gerwani

Lembaga Kebudajaan Rakjat

Pemuda Rakyat Bersatu

Pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926

Peristiwa Madiun 1948

Gerakan 30 September 1965

Pembantaian di Indonesia 1965–1966

Orde Baru

Jejak Langkah Orde Baru

Sarwo Edhie Wibowo

Resimen Para Komando Angkatan Darat

Sejarah Indonesia (1965-1966)

Referensi umum

Crouch, Harold (1978). The Army and Politics in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press. ISBN 0-8014-1155-6.

Mortimer, Rex (1974). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and

Politics, 1959-1965. Ithaca, New York: Cornell University Press. ISBN 0-8014- 0825-3.

Ricklefs, M.C. (1982). A History of Modern Indonesia. London: MacMillan. ISBN 0- 333-24380-3.

Sinaga, Edward Djanner (1960). Communism and the Communist Party in Indonesia (MA Thesis). George Washington University School of Government.

Roosa, John (2006). Pretext for Mass Murder, The September 30th Movement &

Suharto's Coup D'état. Madison, Wisconsin: University of Wisconsin Press. ISBN 978-0-299-22034-1.

Catatan

1. ^ Mortimer (1974) p19

2. ^ Ricklefs(1982)p259

3. ^ marxist.com

a 4. ^ b Sinaga (1960) p2

a 5. ^ b Sinaga (1960) p7

6. ^ Sinaga (1960) p9

7. ^ George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University Press: Ithaca. New York, 1952) p. 77.

a 8. ^ b Sinaga (1960) p10

9. ^ [1], Independent-Bangladesh.com, diakses 28 April 2008

10. ^ [2], Marxists.org, diakses 28 April 2008

11. ^ 'Communism and Stalinism in Indonesia', WorkersLiberty.org, diakses 28 April 2008

12. ^ Indonesians Go to the Polls: The Parties and their Stand on Constitutional Issues by Harold F. Gosnell. In Midwest Journal of Political Science May, 1958. p. 189

13. ^ 'The Sukarno years: 1950 to 1965', Gimonca.com, diakses 28 April 2008

14. ^ Benjamin, Roger W.; Kautsky, John H.. Communism and Economic Development, in The American Political Science Review, Vol. 62, No. 1. (Mar., 1968), pp. 122.

15. ^ Robert Cribb, ed., The Indonesian killings of 1965-1966: studies from Java and Bali (Clayton, Vic.: Monash University Centre of Southeast Asian Studies, Monash Papers on Southeast Asia no 21, 1990).

16. ^ Totten, Samuel (2004). Century of Genocide. New York: Routledge. p. 239.; Robert Cribb, "How many deaths? Problems in the statistics of massacre in Indonesia (1965-1966) and East Timor (1975-1980)" Violence in Indonesia. Ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhöfer. Hamburg: Abera, 2001. 82-98. [3]

17. ^ Kahin, George McT. and Kahin, Audrey R. Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia. New York: The New Press, 1995.

18. ^ Totten, Samuel (2004). Century of Genocide. New York: Routledge. p. 238.

19. ^ "Lembaran Hitam Komunis di Indonesia". plasa.msn.com. September 2013. Diakses tanggal 12 April 2014.

20. ^ Harold Crouch, 226-27.

21. ^ Harold Crouch, 227.

22. ^ Asian News Digest (2000) 1(18):279 and 1(19):295-296.

23. ^ "Permohonan Maaf Jokowi Ke PKI Masih Terus Digodok". detik.com. Diakses tanggal 30 September 2015.

24. ^ "G30S 1965, Jokowi Bicara Permintaan Maaf ke Keluarga PKI". tempo. Diakses tanggal 30 September 2015.

25. ^ "Istana Resah Presiden Jokowi Diisukan Minta Maaf ke PKI". tribunnews. Diakses tanggal 30 September 2015.

26. ^ "Luhut: Tak Ada Permintaan Maaf Soal PKI, Tapi Pemerintah Akan Rekonsiliasi". news.detik. Diakses tanggal 30 September 2015.

27. ^ "Jaksa Agung: Bukan Minta Maaf ke PKI, Tapi Penyesalan atas Peristiwa Itu". news.detik. Diakses tanggal 30 September 2015.

28. ^ "Komnas HAM: Presiden minta maaf kepada korban, bukan kepada PKI". bbc.com. Diakses tanggal 30 September 2015.

29. ^ "Ketum PBNU Ingatkan Jokowi Tidak Minta Maaf ke PKI". news.detik. Diakses tanggal 30 September 2015.

30. ^ "Banser Jatim Tolak Presiden Jokowi Minta Maaf ke PKI". tribunnews. Diakses tanggal 30 September 2015.

31. ^ http://news.okezone.com/read/2015/08/18/337/1198281/permohonan-maaf- jokowi-ke-pki-masih-terus-digodok

32. ^ http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/07/12/nrcr1s-isu- pemerintah-minta-maaf-ke-korban-g-30-s-pki-ini-jawaban-gatot-nurmantyo

33. ^ http://news.okezone.com/read/2015/08/21/337/1200498/pki-dalam-kacamata- budayawan-taufik-ismail/

Peregolakan politik Indonesia 1965

 Blok Barat Dokumen Gilchrist ( )- Dewan Jenderal - Dewan Revolusi Indonesia ( Resimen Tjakrabirawa - Untung Syamsuri )–

Pihak terlibat

Partai Komunis Indonesia ( Angkatan Kelima - D.N. Aidit )- Presiden Indonesia ( Soekarno )- Tentara Nasional Indonesia

A.H. Nasution - Soeharto

Peristiwa utama

 Gerakan 30 September - Tritura - Surat Perintah Sebelas Maret

Peristiwa lanjutan  Pembantaian terduga komunis 1965-1966 - Orde Baru

Artikel terkait

 Cornell Paper - Daftar tokoh yang meninggal dalam pembersihan anti-komunis Indonesia - Nawaksara

Media populer

 Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI - Jagal -

40 Years of Silence: Sebuah Tragedi Indonesia - Senyap

Pemberontakan PKI 1948

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemberontakan_PKI_1948 - diakses 24-09-2017

Pemberontakan PKI 1948 atau yang juga disebut Peristiwa Madiun adalah pemberontakan komunis yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 di kota Madiun. Pemberontakan ini dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai- partai kiri lainnya yang tergabung dalam organisasi bernama "Front Demokrasi Rakyat" (FDR).

Latar Belakang

Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu dipimpin oleh Amir Sjarifuddin karena kabinetnya tidak mendapat dukungan lagi sejak disepakatinya Perjanjian Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri, namun Amir beserta kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan pergantian kabinet tersebut.

Dalam sidang Politbiro PKI pada tanggal 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh komunis Indonesia yang lama tinggal di Uni Soviet (sekarang Rusia) ini menjelasan tentang “pekerjaan dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik” dan menawarkan gagasan yang disebutnya “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Musso menghendaki satu partai kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai yang beraliran Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut "Komite Front Nasional".

Selanjutnya, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerjasama internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Untuk menyebarkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok- kelompok kiri lainnya berencana untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Penguasaan itu dilakukan dengan agitasi, demonstrasi,

dan aksi-aksi pengacauan lainnya. [1] Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap

musuh di kota Surakarta, serta mengadudomba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk kesatuan Siliwangi yang ada di sana.

Mengetahui hal itu, pemerintah langsung memerintahkan kesatuan-kesatuan TNI yang tidak terlibat adudomba untuk memulihkan keamanan di Surakarta dan sekitarnya. Operasi ini dipimpin oleh kolonel Gatot Subroto.

Pemberontakan

Sementara perhatian semua pihak pro-pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta, pada 18 September 1948, PKI/FDR menuju ke arah timur dan menguasai Kota Madiun, Jawa Timur, dan pada hari itu juga diproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia". Hari berikutnya, PKI/FDR mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Selain di Madiun, PKI juga mengumumkan hal yang sama pula di Pati, Jawa Tengah. [2] Pemberontakan ini menewaskan Gubernur Jawa Timur RM

Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta beberapa petugas polisi dan tokoh agama.

Akhir

Untuk memulihkan keamanan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah bertindak cepat. Provinsi Jawa Timur dijadikan daerah istimewa, selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat sebagai gubernur militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948

dipimpin oleh Kolonel A. H. Nasution. [3] Sementara sebagian besar pasukan TNI di Jawa Timur berkonsentrasi menghadapi

Belanda, namun dengan menggunakan 2 brigade dari cadangan Divisi 3 Siliwangi serta kesatuan-kesatuan lainnya yang mendukung Republik, semua kekuatan pembetontak

akhirnya dapat dimusnahkan. [4] Salah satu operasi penumpasan ini adalah pengejaran Musso yang melarikan diri

ke Sumoroto, sebelah barat Ponorogo. Dalam peristiwa itu, Musso berhasil ditembak mati. Sedangkan Amir Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Amir sendiri tertangkap di daerah Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan sisa-sisa pemberontak yang tidak tertangkap melarikan diri ke arah Kediri,

Jawa Timur. [5]

Lihat juga

Gerakan 30 September

Pembantaian di Indonesia 1965–1966

Catatan kaki

1. ^ "Akhir Tragis Republik Komunis". historia.co.id. Diakses tanggal 30 September 2015.

2. ^ Friend (2003), p. 32.

3. ^ Yunus Koento et. al. 1993

4. ^ Ricklefs (1991), p. 230.

5. ^ Buku Peristiwa Madiun

Bacaan lebih lanjut

Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press. ISBN 0-674-

01137-6.

Kahin, George (1970). Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornel University

Press. ISBN 0-8014-9108-8.

Kreutzer, Rudi (1981). The Madiun Affair: Hatta's Betrayal of Indonesia's First

Revolution. James Cook University. ISBN 0-86443-027-2.

Pinardi (1966). Peristiwa Coup Berdarah P.K.I. September 1948 di Madiun. Inkopak-Hazera.

Poeze, H. A. (2008). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Yayasan

Obor Indonesia. ISBN 9789794616970.

Poeze, Harry A. (2009). "The Cold War in Indonesia, 1948". Journal of Southeast

Asian Studies 40 (Special Issue 3: Asian Cold War Symposium): 497– 517. doi:10.1017/S002246340999004X.

Soe, Hok Gie (1997). Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yayasan Bentang

Budaya.

Sugiyama, Akiko (2011). "Remembering and forgetting Indonesia's Madiun Affair:

personal narratives, political transitions, and historiography, 1948– 2008". Indonesia 92: 19–42.

Pemberontakan PKI tahun 1926-1927, 1948 dan 1965

Penulis Toto Gutomo, pada 13 Okt 2011

http://iwaka91.blogspot.co.id/2011/10/pemberontakan-pki-tahun-1926-1927-1948.html - diakses 24-09-2017

Lokasi, Waktu, Latar Belakang, dan Sikap Pemerintah Oleh: Toto Gutomo[1]

A. Tahun 1926 – 1927

1. Sumatera Barat Masuknya pengaruh PKI ke Sumatera Barat tidak lepas dari peran serta pemuka agama Islam, Haji Datuk Batuah yang membawa dan menyebarkan paham komunis di daerah tersebut. Pada tahun 1923 ia menanamkan ajaran komunis di kalangan pelajar- pelajar dan guru-guru muda Sumatera Thawalib Padang Panjang[2]. Oleh masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut “ilmu kominih” (Schrieke, 1960: 155), yakni menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti kapitalisme dan ajaran Marxis. Pada akhir 1923 didirikan pusat Komunikasi Islam di

Desember 1925 di Prambanan, Yogyakarta diadakan pertemuan partai yang dipimpin oleh Alimin. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh PKI, diantaranya Budi Sucipto, Aliarcham, Sugono, Surat Hardjo, Martojo, jatim, Sukirno, Suwarno, Kusno dan lain-lainnya. Sedang Said Ali, pemimpin PKI cabang Sumatera Barat pada pertemuan ini hadir mewakili seluruh Sumatera. Kemudian diputuskan:

a. Sejalan dangan Surat Edaran Komite Pusat PKI No.221[3] maka PKI cabang Sumatera Barat berusaha mengumpulkan senjata.

b. Mengadakan aksi-aksi ilegal. Ini terutama dilakukan dalam bentuk membangun sel- sel PKI di derah-daerah pertanian dalam rangka memperkuat semangat perlawanan.

c. Memperkuat propaganda di kalangan buruh-buruh tani. Gelagat pemberontakan tercium Pemerintah kolonial Belanda kemudian segera melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin PKI dengan tuduhan hendak memberontak. Sekalipun para pemimpin PKI Sumatera Barat telah banyak yang ditangkap dan dipenjarakan, akan tetapi pada akhirnya pemberontakan tetap meletus juga, pendukung PKI akhirnya mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Banten, yang meletuskan pemberontakan pada pertengahan November 1926. Mereka menyerang kedudukan pemerintah. Selanjutnya di Tanjung Ampulu, pada tanggal 1 Januari 1927 terjadi pembakaran rumah milik para pegawai pemerintah Kolonial Belanda dan kaki tangannya. Di Padang Siberuk para pemberontak membunuh kepala nagari dan beberapa penduduk yang dianggap kaki tangan Belanda. Di Silungkang, markas besar kaum pemberontak, terjadi pembunuhan terhadap opsir-opsir Belanda dan beberapa orang guru agama serta tukang emas yang dianggap bekerja sama dengan Belanda.

2. Jawa Barat (Kabupaten Lebak – Madiun)

Masuknya komunisme dikalangan masyarakat menggunakan Islam sebagai senjata propagandanya, pengertian komunis ditekankan sebagai usaha menentang Belanda dan dipersamakan dengan perang sabil. Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Alimin dan Musso yang datang ke Pandeglang sekitar tahun 1925. Di hadapan massa, kedua tokoh PKI ini menguraikan secara panjang lebar soal- soal perjuangan bangsa menghadapi penjajahan Belanda. Dengan demikian, dalam usahanya mendapatkan dukungan dari rakyat Banten, para proganda PKI menghilangkan pengertian komunisme, tetapi kemudian lebih mengedepankan persamaan perjuangan antara Islam dan PKI. Oleh karena itu, para ulama Banten tidak menentang kehadiran PKI di Banten bahkan di antara para ulama itu kemudian ada yang menjadi pengurus PKI Cabang Banten. Selain itu dukungan juga datang dari golongan petani yang dijanjikan akan dibebaskan dari pajak kepal/perorangan (hoofdgeld).

Dengan meningkatnya aktivitas PKI Banten, bulan Juli – September 1926, pemerintah Hindia Belanda melakukan penangkapan terhadap beberapa pemimpin PKI Banten.[4] Penahanan ini mengakibatkan pimpinan PKI berada di bawah tangan para ulama dan jawara. Golongan inilah yang kemudian memimpin para petani melancarkan pemberontakan pada bulan November 1926. Target utama pemberontakan adalah kaum priyayi dan dipilih secara selektif (kaum priyayi bukan asli Banten dan suka Dengan meningkatnya aktivitas PKI Banten, bulan Juli – September 1926, pemerintah Hindia Belanda melakukan penangkapan terhadap beberapa pemimpin PKI Banten.[4] Penahanan ini mengakibatkan pimpinan PKI berada di bawah tangan para ulama dan jawara. Golongan inilah yang kemudian memimpin para petani melancarkan pemberontakan pada bulan November 1926. Target utama pemberontakan adalah kaum priyayi dan dipilih secara selektif (kaum priyayi bukan asli Banten dan suka

Pada tanggal 6 November 1926, pecahlah pemberontakan PKI yang ditandai dengan penyerbuan kota Labuan pada tengah malam oleh ratusan orang bersenjata. Pemerintah Hindia Belanda segera melakukan tindakan terhadap para pemberontak. Pada tanggal 13 November 1926, pemerintah kolonial telah melakukan penangkapan di berbagai tempat di Banten, di antaranya enam kali di Kabupaten Lebak. Sehari kemudian, pemberontakan PKI Banten berhasil dipadamkan oleh pemerintah kolonial dan sampai bulan Desember 1926, pemerintah kolonial masih melakukan penangkapan kepada para pelaku pemberontakan. Para pemberontak yang berhasil ditangkap kemudian dibuang ke Boven Digul[6], dipenjaran dan atau dihukum mati.

Dengan dihancurkannya komunisme dan semakin tidak berdayanya Islam sebagai kekuatan politik, agaknya zaman bagi nasionalisme telah tiba dan lahirlah PNI pada 4 Juli 1927 dengan Sukarno sebagai Ketua.

B. Tahun 1948

Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dawali dengan ketidakpuasan terhadap hasil persetujuan Renville yang dianggap merugikan pihak Indonesia, kabinet Amir Syarifuddin dijatuhkan pada 23 Januari 1948 dan menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta yang terkenal dengan Re-Ra[7]. Amir kemudian menjadi “golongan kiri” diluar pemerintahan republik memulai suatu usaha yang menimbulkan bencana untuk mendapatkan kembali kekuasaan. Februari 1948 berganti nama menjadi Front Demokrasi Rakyat dan mencela persetujuan Renville yang sebetulnya dirundingkan sendiri oleh pemerintahan Amir.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1