Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Di Indonesia
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT NON
PERFORMING FINANCING PADA BANK PEMBIAYAAN
RAKYAT SYARIAH DI INDONESIA
DINIYAH GINUNG PRATINA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang
Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing pada Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Diniyah Ginung Pratina
NIM H54110058
ABSTRAK
DINIYAH GINUNG PRATINA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Non
Performing Financing pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia.
Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI dan ROMLI.
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) merupakan lembaga perbankan
yang memiliki peran penting dalam pengembangan Usaha Mikro dan Kecil
(UMK) yang merupakan skala usaha yang paling banyak dimiliki oleh Indonesia.
Oleh karena itu, menjaga kondisi kesehatan BPRS merupakan hal yang penting.
Salah satu indikator kesehatan lembaga perbankan adalah tingkat Non Performing
Financing (NPF). Dalam tiga tahun terakhir, tingkat NPF BPRS mengalami
peningkatan, padahal dalam kurun waktu tersebut, kondisi perekonomian yang
ditunjukkan dengan pendapatan per kapita mengalami peningkatan. Oleh karena
itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kinerja BPRS dan kondisi ekonomi
provinsi serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di
Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, berupa
panel data yang terdiri dari data cross section BPRS di 19 provinsi dan data time
series tahun 2010-2013. Metode analisis yang digunakan adalah regresi berganda
data panel dengan pendekatan Fixed Effects Model (FEM). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kinerja BPRS di sebagian besar provinsi kurang sehat jika
ditinjau dari tingkat NPF dan FDR dan sebaliknya dari sisi nilai aset dengan
kecenderungan perkembangan yang bervariasi. Tingkat NPF yang relatif besar
terjadi di beberapa provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera yang merupakan sentra
UMK. Perekonomian wilayah BPRS menunjukkan perkembangan yang baik
dilihat dari nilai PDRB yang cenderung meningkat, sementara perkembangan
tingkat inflasi dan UMK bervariasi. Hasil analisis regresi data panel
memperlihatkan bahwa tingkat FDR, total aset, dan tingkat inflasi signifikan
memengaruhi tingkat NPF dan berhubungan negatif, sedangkan jumlah UMK
signifikan memengaruhi tingkat NPF dan berhubungan positif. Dengan demikian,
upaya menurunkan tingkat NPF nasional adalah dengan mendorong penurunan
tingkat NPF BPRS di masing-masing provinsi, khususnya beberapa provinsi di
Pulau Jawa dan Sumatera (sentra UMK) dengan tingkat NPF relatif tinggi melalui
penyaluran pembiayaan kepada UMK yang lebih selektif dan disertai pembinaan
serta mendorong peningkatan aset dan FDR selama tidak melebihi standar
kesehatan bank.
Kata kunci: data panel, keragaan BPRS, NPF, perbankan syariah
ABSTRACT
DINIYAH GINUNG PRATINA. Determinant of Non Performing Financing
Level in Bank Pembiayaan Rakyat Syariah in Indonesia. Supervised by YETI LIS
PURNAMADEWI and ROMLI.
Islamic rural bank is a banking institution that has an important role in the
development of Micro and Small Enterprises (MSEs), which is the most widelyscale enterprises owned by Indonesia. Therefore, maintaining BPRS in a healthy
condition is an important thing. One indicator of the banking institutions's health
is the level of Non Performing Financing (NPF). In the last three years, the level
of NPF BPRS has increased, whereas in this period, Indonesia has strong
economic condition, shown by the increasing of per capita income. Therefore, this
study aimed to assess the performance of BPRS and provincial economic
conditions and to analyze the factors that affect the level of NPF BPRS in
Indonesia. Data used in this study are secondary data, such as panel data
consisting of cross section data BPRS in 19 provinces and time series data from
2010 to 2013. The analytical method used is multiple regression panel data with
Fixed Effects Model (FEM) approach. The results show that the performance of
BPRS in most provinces are less healthy when viewed from the level of NPF and
FDR and on contrary when viewed from the value of assets with varying
development trend. NPF levels were relatively high in some provinces in Java and
Sumatra, which is the center of MSEs. BPRS region's economy showed good
development seen from the value of GDP which is likely to increase, while the
growth rate of inflation and the MSEs varies. Results of panel data regression
analysis showed that the level of FDR, total assets, and the inflation rate have
significant affect to the level of NPF negatively, while the number of MSEs
significantly affect the level of NPF and positively related. Thus, efforts to reduce
the level of national NPF is to encourage a decrease in the level of NPF BPRS in
each province, particularly some provinces in Java and Sumatra (center MSEs)
with relatively high levels of NPF by financing MSEs selectively and
accompanied MSE's with coaching and increasing assets and FDR as long as it
did not exceed bank's health standards.
Keywords: panel data, performance of BPRS, NPF, sharia bank
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT NON
PERFORMING FINANCING PADA BANK PEMBIAYAAN
RAKYAT SYARIAH DI INDONESIA
DINIYAH GINUNG PRATINA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini adalah Faktor-faktor yang
Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing pada Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah di Indonesia. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini,
khususnya kepada:
1. Ibu Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, M Sc Agr dan Bapak Drs Romli, M Ag
selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah membimbing dan
memberikan kritik serta saran kepada penulis selama proses penyusunan
skripsi ini.
2. Bapak Dr Irfan Syauqi Beik, SP, M Sc Ec selaku dosen penguji utama dan
Bapak Khalifah Muhamad Ali, M Si selaku dosen penguji dari komisi
pendidikan yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3. Seluruh dosen, staf, dan civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi FEM
IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan untuk penulis.
4. Orang tua penulis Bapak Mohammad Thoyib Maktub dan Ibu Sri Swasemi,
serta kakak penulis Adhipradana Prabu Swasito dan Rizky Febriani Amelia
atas doa, motivasi, dan kasih sayang yang telah diberikan.
5. Teman satu bimbingan Evillya Br Sembiring, Ginawati Dwitama, Gresi
Sasprintia, Rr Nabila Fikriani Iffatunisa, Rika Arnita, Sami Lumekti, dan Vita
Indah Praspaningtyas atas doa dan motivasi yang telah diberikan.
6. Sahabat-sahabat terbaik selama perkuliahan Dessy Nur Hasanah, Dhia Adiati,
Ghina Khalida Zulhidia, Khalishah Livia, Murni Anggraeni, Sarah Nabilah,
Salma Siti Salamah, Siti Karimah, Vita Nayunda, dan Zara Fathia, temanteman Ekonomi Syariah 48, dan kepada teman-teman yang tidak dapat
disebutkan satu persatu atas segala saran, pelajaran, bantuan, doa, dan waktu
yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015
Diniyah Ginung Pratina
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
7
7
Konsep Kredit Perbankan dan Non Performing Financing
11
Faktor-faktor Penyebab Tingkat Non Performing Financing
15
Kajian Penelitian Terdahulu
18
Kerangka Pemikiran
21
Hipotesis Penelitian
23
METODE
24
Lokasi dan Waktu Penelitian
24
Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data
24
Metode Pengolahan dan Analisis Data
25
Model Penelitian
28
Evaluasi Model
28
Variabel dan Definisi Operasional
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
32
Kinerja Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia dan Kondisi
Perekonomian Indonesia
32
Hubungan antara Tingkat Non Performing Financing dengan Kondisi
Perekonomian Regional
38
Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing pada
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia
43
SIMPULAN DAN SARAN
47
Simpulan
47
Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
49
LAMPIRAN
52
RIWAYAT HIDUP
57
DAFTAR TABEL
1
2
Jumlah BPRS berdasarkan lokasi tahun 2009-2014
Pembiayaan BPRS berdasarkan kualitas pembiayaan tahun 20082014 (juta rupiah)
3 Perbandingan bank syariah dengan bank konvensional
4 Perbandingan bagi hasil dengan sistem bunga
5 Perkembangan jumlah bank dan kantor perbankan syariah tahun
2010-2014
6 Variabel-variabel penelitian
7 Jumlah BPRS menurut provinsi tahun 2010-2014
8 Kecenderungan hubungan tingkat NPF dengan kinerja BPRS dan
kondisi perekonomian di wilayah BPRS
9 Hubungan tingkat NPF dengan tingkat FDR dan tingkat inflasi tahun
2013
10 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF
BPRS di Indonesia
2
3
7
8
10
24
33
41
42
44
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Pembiayaan perbankan syariah berdasarkan golongan pembiayaan
Perbandingan tingkat NPF BPRS dengan tingkat NPF BUS dan UUS
di Indonesia tahun 2008-2014
Tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2008-2014
Peningkatan tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2010-2014
Tingkat pendapatan nasional per kapita Indonesia atas dasar harga
konstan 2000 tahun 2008-2013
Tingkat NPF menurut provinsi di Indonesia tahun 2013-2014
Unsur-unsur kredit
Kerangka pemikiran
Tahapan pemilihan model
Tingkat NPF BPRS menurut provinsi tahun 2010-2013
Tingkat FDR BPRS tahun 2010-2014
Tingkat FDR BPRS menurut provinsi tahun 2010-2013
Pertumbuhan total aset BPRS Indonesia tahun 2008-2014
Pertumbuhan total aset BPRS Indonesia menurut provinsi tahun
2010-2013
Pertumbuhan total PDB atas dasar harga konstan 2000 tahun 20102014
Pertumbuhan total PDRB atas dasar harga konstan 2000 tahun 20102013
Tingkat inflasi menurut provinsi tahun 2010-2013
Jumlah industri mikro dan kecil menurut provinsi tahun 2010-2013
1
2
3
4
5
5
12
23
27
34
34
35
35
36
36
37
38
38
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Pooled Least Square
(PLS)
Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Fixed Effects Model
(FEM)
Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Random Effects
Model (REM)
Hasil pengujian Chow Test
Hasil pengujian Hausman Test
Hasil uji normalitas
Hasil uji multikolinearitas
52
53
54
55
55
55
56
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam kelompok
negara berkembang di dunia, khususnya dalam sektor perekonomian. Sektor
perekonomian suatu negara sangat berkaitan erat dengan keberadaan, aktivitas,
dan peran lembaga perbankan di negara tersebut. Salah satu peran lembaga
perbankan yang utama adalah sebagai lembaga intermediasi atau penghubung
antara pihak yang memiliki dana lebih (surplus) dengan pihak yang kekurangan
dana (deficit) dengan cara memberikan kredit atau pembiayaan. Kredit yang
diberikan bank kepada sektor riil, seperti industri, pertambangan, perumahan,
pariwisata, dan perhubungan sangat berarti bagi perkembangan ekonomi nasional
(Dendawijaya 2001). Peran seperti ini sangat diperlukan oleh negara berkembang
seperti Indonesia agar sektor perekonomian negara tersebut dapat berkembang
secara signifikan dan berkesinambungan.
Di Indonesia, pengembangan ekonomi Islam telah diadopsi ke dalam
kerangka besar kebijakan ekonomi. Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan di
tanah air telah menetapkan perbankan syariah sebagai salah satu pilar penyangga
dual banking system dan mendorong pangsa pasar bank-bank syariah yang lebih
luas sesuai cetak biru perbankan syariah (Bank Indonesia 2002). Salah satu
lembaga perbankan syariah yang ada di Indonesia yang membantu mendorong
perkembangan ekonomi Islam adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Peran yang dimiliki BPRS cukup besar bagi perkembangan perekonomian
Indonesia, khususnya untuk perkembangan usaha dalam skala kecil dan
menengah. Berdasarkan data statistik UMKM tahun 2012, pangsa pasar UMKM
mencapai 99.99% dengan jumlah unit usaha sebanyak 56 534 592 unit usaha,
sedangkan jumlah unit usaha dalam skala besar hanya mencapai 4 968 unit usaha.
Pembiayaan-pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS lebih diutamakan untuk
usaha-usaha kecil dan menengah yang menjadi penyokong pembangunan sektor
riil bagi Indonesia. Berdasarkan data SPS BI 2014, jumlah pembiayaan yang
disalurkan oleh BPRS untuk usaha kecil dan menengah jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan jumlah pembiayaan yang disalurkan untuk selain usaha
kecil dan menengah (Gambar 1). Berbeda dengan lembaga keuangan syariah
lainnya, yaitu Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang jumlah
penyaluran pembiayaannya lebih besar untuk selain usaha kecil dan menengah.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 1 Pembiayaan perbankan syariah berdasarkan golongan pembiayaan
2
Jumlah BPRS di Indonesia berkembang cukup pesat. Berdasarkan data yang
tersedia di SPS BI, jumlah BPRS yang terdaftar sampai dengan tahun 2014
mencapai 163 unit. Dari total 163 unit BPRS, penyebaran yang terjadi belum
merata di seluruh wilayah Indonesia. Lokasi keberadaan BPRS masih terpusat di
Pulau Jawa (Tabel 1).
Tabel 1 Jumlah BPRS berdasarkan lokasi tahun 2009-2014
No
Daerah
2009
34
90
2
7
1
2
3
4
2010
38
98
2
7
2011
42
99
2
7
Pulau Sumatera
Pulau Jawa
Pulau Kalimantan
Pulau Sulawesi
Pulau Bali dan Nusa
5
4
4
Tenggara
Pulau Papua dan
6
1
1
Kepuluan Maluku
Total
138
150
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014.
Periode
2012
40
103
2
7
2013
41
105
3
8
2014
41
105
3
8
4
4
4
4
1
2
2
2
155
158
163
163
Perkembangan pesat Bank Pembiayaan Rakyat Syariah secara kuantitas ini
belum diikuti oleh perkembangan secara kinerja keuangan lembaga perbankan
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pembiayaan bermasalah (non
performing financing) yang masih tinggi. Tingkat NPF BPRS lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tingkat NPF yang dimiliki lembaga keuangan syariah
lainnya, yaitu Bank Unit Syariah dan Unit Usaha Syariah (Gambar 2).
10
Persen (%)
8
6
4
2
0
2008
2009
2010
NPF BPRS
2011
2012
2013
2014
NPF BUS & UUS
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 2 Perbandingan tingkat NPF BPRS dengan tingkat NPF BUS dan UUS di
Indonesia tahun 2008-2014
Pembiayaan bermasalah suatu lembaga perbankan merupakan jumlah total
pembiayaan yang termasuk dalam kategori kurang lancar, diragukan, dan macet
(Tabel 2). Tingkat non performing financing diperoleh dengan cara
membandingkan antara jumlah total pembiayaan bermasalah yang disalurkan
dengan total seluruh pembiayaan yang disalurkan.
3
Tabel 2 Pembiayaan BPRS berdasarkan kualitas pembiayaan tahun 2008-2014
(juta rupiah)
Kolektibilitas
Pembiayaan
Lancar
(%)
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
1 151 287
(91.62)
1 475 306
(92.97)
1 926 565
(93.51)
2 512 328
(93.89)
3 334 885
(93.85)
4 145 119
(93.50)
4 610
238
(91.07)
163 602
(6.11)
49 319
218.635
(6.15)
72 806
288 373
(6.50)
90 581
394.671
(7.89)
136 251
44 663
51 649
65 847
81 069
69 620
94 180
131 945
177 351
2 675 930
3 553 520
Non
105 322
111 612
133 872
lancar
(8.38)
(7.03)
(6.49)
(%)
35 322
31 049
39 185
-Kurang
lancar
21 307
30 687
29 919
- Diragukan
48 693
49 877
64 767
- Macet
Total
1 256 610 1 586 919 2 060 437
Pembiayaan
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014.
4 433 492 5 004 909
Tingkat non performing financing BPRS cukup tinggi. Hal ini dapat
berdampak buruk pada tingkat kesehatan bank. Dalam pembahasan rekapitalisasi
perbankan, kredit yang diberikan (khususnya kredit bermasalah) menjadi peran
utama selain faktor modal (Dendawijaya 2001). Tingkat NPF BPRS berada di atas
standar kesehatan bank yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai bank
sentral Negara Indonesia, yaitu 5%. Tingkat NPF BPRS cenderung meningkat di
beberapa tahun terakhir (Gambar 3). Pada tahun 2008 sampai tahun 2011, tingkat
NPF BPRS sempat mengalami penurunan, sedangkan mulai tahun 2012 sampai
tahun 2014 tingkat NPF mengalami peningkatan.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 3 Tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2008-2014
Tingkat NPF BPRS yang meningkat ini perlu dikendalikan karena tingkat
NPF merupakan salah satu indikasi dalam melihat tingkat kesehatan lembaga
perbankan. Selain itu, tingkat NPF juga memengaruhi tingkat profitabilitas yang
akan diterima oleh lembaga perbankan tersebut. Semakin tinggi tingkat NPF suatu
lembaga perbankan, dapat menyebabkan penurunan keuntungan yang akan
diterima lembaga perbankan sehingga dapat memengaruhi tingkat kesehatan
lembaga perbankan tersebut. Mengingat pentingnya peran lembaga perbankan
untuk menyokong perkembangan perekonomian Indonesia, tingkat kesehatan
4
lembaga perbankan sangat perlu diperhatikan karena dapat memengaruhi sektorsektor perekonomian yang berada pada suatu negara. Sektor-sektor perekonomian
suatu negara akan sangat bergantung pada keberadaan lembaga perbankan, seperti
untuk keperluan penyediaan modal usaha.
Menurut Windriya (2014), tingkat NPF signifikan memiliki hubungan
negatif dengan tingkat profitabilitas lembaga perbankan. Selain itu, penelitian
yang dilakukan oleh Poetry dan Sanrego (2011) juga menyatakan bahwa tingkat
NPL pada perbankan konvensional lebih dipengaruhi oleh variabel makro seperti
inflasi dan SBI, sedangkan tingkat NPF pada perbankan syariah lebih dipengaruhi
oleh variabel internal perbankan seperti tingkat FDR. Salah satu hal yang perlu
dilakukan untuk dapat mengetahui cara mengendalikan tingkat NPF agar
kesehatan lembaga perbankan dapat stabil adalah dengan mengetahui faktor apa
saja yang memengaruhi tingkat NPF. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian
faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat NPF BPRS.
Perumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tingkat NPF BPRS
mengalami peningkatan. Selain itu, tingkat NPF BPRS juga berada di atas standar
kesehatan bank yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu 5% (Gambar 4).
Hal ini merupakan permasalahan yang dialami oleh BPRS sebagai lembaga
keuangan, karena buruknya tingkat NPF akan memberikan dampak negatif
terhadap tingkat profitabilitas yang akan didapatkan oleh lembaga keuangan
tersebut. Selain itu, tingginya tingkat NPF juga dapat menghambat tugas utama
lembaga perbankan sebagai lembaga intermediasi. Ketika tingkat pembiayaan
bermasalah tinggi, maka cadangan kas lembaga keuangan akan berkurang
sehingga lembaga keuangan tidak dapat menyalurkan pembiayaan kepada nasabah
secara optimal.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 4 Peningkatan tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2010-2014
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tingkat
NPF adalah rendahnya atau menurunnya pendapatan penduduk Indonesia sebagai
nasabah penerima pembiayaan yang diberikan oleh BPRS. Jika pendapatan yang
diterima nasabah tinggi, kemampuan nasabah dalam membayar kembali pinjaman
yang diperoleh dari pembiayaan BPRS akan tinggi pula. Sebaliknya, jika
pendapatan yang diterima nasabah rendah, kemampuan nasabah dalam membayar
kembali pinjaman yang diperoleh dari pembiayaan BPRS akan menurun.
5
Badan Pusat Statistik (2013) menyatakan bahwa pendapatan nasional per
kapita Indonesia dalam keadaan yang baik dan meningkat (Gambar 5). Namun,
kemampuan nasabah dalam mengembalikan pembiayaan masih rendah. Hal ini
dapat terlihat dari tingkat NPF yang dimiliki BPRS yang tetap tinggi. Kondisi ini
dapat menunjukkan bahwa meningkatnya tingkat pendapatan nasional per kapita
belum tentu diikuti dengan peningkatan kemampuan nasabah dalam
mengembalikan pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS.
Sumber: Badan Pusat Statistik 2013
Gambar 5 Tingkat pendapatan nasional per kapita Indonesia atas dasar harga
konstan 2000 tahun 2008-2013
Persen (%)
Selain itu, tingkat NPF BPRS di Indonesia berbeda-beda di setiap
daerahnya. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
sebagai lembaga keuangan belum merata. Terdapat beberapa provinsi yang
memliki tingkat NPF sangat tinggi, seperti Provinsi Bali yang pada tahun 2013
mencapai angka 70% (Gambar 6).
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Provinsi
2013
2014
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 6 Tingkat NPF menurut provinsi di Indonesia tahun 2013-2014
Oleh karena itu, tentunya terdapat faktor-faktor selain pendapatan per kapita
yang memengaruhi tingginya tingkat NPF BPRS di Indonesia. Faktor-faktor ini
dapat berupa faktor internal yang dimiliki oleh BPRS maupun faktor eksternal
yang berasal dari luar lembaga keuangan tersebut berupa kondisi perekonomian
nasional. Faktor internal BPRS yang digunakan dalam penelitian ini adalah total
aset yang disalurkan oleh BPRS dan tingkat Financing to Deposit Ratio (FDR),
6
sedangkan faktor eksternal yang digunakan dalam penelitian ini adalah total
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tingkat inflasi pada setiap provinsi,
dan jumlah usaha dalam skala mikro dan kecil pada setiap provinsi.
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang dan perumusan masalah,
pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan kinerja BPRS di Indonesia secara regional?
2. Bagaimana kondisi perekonomian pada wilayah BPRS di Indonesia?
3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
1. Mengkaji perkembangan kinerja BPRS di Indonesia secara regional.
2. Mengkaji kondisi perekonomian wilayah BPRS di Indonesia.
3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di
Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi lembaga keuangan syariah
Memberikan informasi bagi lembaga keuangan syariah, khususnya Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah mengenai variabel-variabel yang harus
dipertimbangkan dan berdampak pada tingkat NPF yang dapat memengaruhi
kondisi profitabilitas lembaga perbankan.
2. Bagi akademisi dan masyarakat
Memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan mengenai
lembaga keuangan syariah dan sebagai perbandingan bagi peneliti-peneliti
selanjutnya.
3. Bagi penulis
Sebagai sarana untuk menuangkan pemikiran dan menghubungkan teori-teori
yang ada dengan keadaan sebenarnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup faktor-faktor yang memengaruhi
tingkat NPF pada BPRS di Indonesia. Variabel independen yang digunakan
adalah total aset, tingkat FDR, total PDRB, tingkat inflasi, jumlah UMK, dan
dummy regional Jawa dan luar Jawa yang diinteraksikan dengan variabel
PDRB. Analisis yang dilakukan terbatas pada 19 provinsi di Indonesia.
Provinsi-provinsi yang dipilih menjadi objek penelitian merupakan provinsi
yang telah memiliki BPRS selama periode waktu penelitian yang digunakan.
Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 2010 sampai
2013. Penelitian ini lebih memperhatikan kinerja BPRS dan kondisi
perekonomian pada setiap provinsi yang menjadi objek penelitian.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Perbankan Syariah
Lembaga keuangan bank merupakan lembaga yang memberikan jasa
keuangan yang paling lengkap. Salah satu aktivitas yang dilakukan lembaga
perbankan adalah menyalurkan dana atau memberikan pembiayaan/kredit dan
melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan.
Definisi bank berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Terdapat dua sistem perbankan di Indonesia, yaitu sistem perbankan
konvensional dan sistem perbankan syariah (Tabel 3). Perbankan syariah sebagai
suatu financial intermediary mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan
perbankan konvensional. Sebagai financial intermediary, bank syariah tidak
hanya berusaha memaksimisasi expected utility pemegang sahamnya, tetapi juga
memperhatikan expected utility nasabah dan deposannya.
Tabel 3 Perbandingan bank syariah dengan bank konvensional
Aspek
Legalitas
Struktur
Organisasi
Bisnis dan
Usaha yang
Dibiayai
Bank Syariah
Akad syariah
Penghimpunan dan penyaluran dana
harus sesuai dengan fatwa Dewan
Pengawas Syariah
Melakukan investasi-investasi yang
halal saja; hubungan dengan nasabah
dalam bentuk hubungan kemitraan;
berdasarkan prinsip bagi hasil, jual
beli, atau sewa; berorientasi pada
keuntungan dan kemakmuran dan
kebahagiaan dunia akhirat.
Islami
Lingkungan
Kerja
Sumber: Machmud dan Rukmana (2009).
Bank Konvensional
Akad konvensional
Tidak terdapat dewan sejenis
Investasi yang halal dan haram
profit oriented; hubungan
dengan nasabah dalam bentuk
hubungan
kreditur-debitur;
memakai perangkat bunga.
Non Islami
Selain perbedaan-perbedaan tersebut, hal mendasar yang menjadi perbedaan
dalam perbankan syariah dan perbankan konvensional adalah penggunaan sistem
bagi hasil oleh perbankan syariah dan penggunaan sistem bunga pada perbankan
konvensional (Tabel 4). Perbankan syariah tidak menggunakan sistem bunga
karena sistem bunga merupakan larangan Allah yang terdapat pada Al-Quran
surat Al-Baqarah ayat 278-279.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertaubat dari pengambilan riba maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
8
Tabel 4 Perbandingan bagi hasil dengan sistem bunga
Bagi Hasil
Penentuan bagi hasil dibuat sewaktu
perjanjian dengan berdasarkan kepada
untung atau rugi.
Jumlah nisbah bagi hasil berdasarkan
jumlah keuntungan yang telah dicapai.
Bagi hasil tergantung pada hasil proyek.
Jika proyek tidak mendapat keuntungan
atau mengalami kerugian, risikonya
ditanggung kedua belah pihak.
Jumlah pemberian hasil keuntungan
meningkat sesuai dengan peningkatan
keuntungan yang didapat.
Penerimaan atau pembagian keuntungan
adalah halal.
Sumber: Machmud dan Rukmana (2009).
Sistem Bunga
Penentuan bunga dibuat sewaktu perjanjian
tanpa berdasarkan kepada untung atau rugi.
Jumlah persen bunga berdasarkan jumlah
uang (modal) yang ada.
Pembayaran bunga tetap seperti perjanjian
tanpa diambil pertimbangan apakah proyek
yang dilaksanakan pihak kedua untung atau
rugi.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
walaupun jumlah keuntungan berlipat
ganda.
Pengambilan atau pembayaran bunga adalah
haram.
Menurut Antonio (2001), dalam memberikan pembiayaan kepada nasabah,
perbankan syariah menggunakan akad-akad yang sesuai dengan syariah Islam.
Pembiayaan syariah merupakan kegiatan penyaluran dana yang dilakukan oleh
bank syariah yang berprinsip pada konsep perbankan syariah atau perbankan
Islam yang didasari oleh larangan agama Islam untuk meminjamkan dana dengan
mengharapkan keuntungan yang berupa bunga.
Akad-akad yang sesuai dengan ketentuan syariah, yaitu:
1. Jual Beli Murabahah
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli yang mengharuskan penjual
memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk mendapatkan komoditas (harga pokok pembelian) dan tambahan profit
yang diinginkan yang tercermin dalam harga jual (Nawawi 2012).
2. Sistem Inden (Bai’ Salam)
Pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka (Antonio 2001). Komoditas yang diperdagangkan memiliki
spesifikasi yang dijelaskan di awal akad.
3. Bai’ Istishna’
Bai’ Istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ salam. Akad ini biasa
digunakan dalam bidang manufaktur (Nawawi 2012)
4. Mudharabah
Akad kerja sama usaha antara dua pihak dengan pihak pertama sebagai
pemberi dana dan pihak lain sebagai pengelola dana (Antonio 2001).
5. Musyarakah
Akad yang melibatkan keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha
tertentu dengan sejumlah modal yang ditetapkan berdasarkan perjanjian untuk
bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan atau
kerugian dalam bagian yang ditentukan (Nawawi 2012).
6. Muzara’ah
Kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dengan
pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami
9
dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen (Antonio
2001).
7. Musaqah
Bentuk akad yang lebih sederhana dari muzara’ah dengan pihak penggarap
hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan (Antonio 2001).
8. Sewa (Ijarah)
Transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu
tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan hak
kepemilikan atas barang (Nawawi 2012). Malikiyah mengatakan, sewa
(ijarah) adalah pemindahan pemilikan manfaat tertentu yang diperbolehkan
dalam waktu tertentu dengan kompensasi tertentu.
9. Jaminan (Kafalah)
Ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa jaminan adalah membebankan diri
dengan menanggung utang orang lain (Nawawi 2012).
10. Gadai (Rahn)
Rahn adalah menjadikan barang (materi) sebagai jaminan utang yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang memiliki utang tidak bisa
mengembalikan utangnya (Nawawi 2012).
11. Titipan (Wadi’ah)
Akad ini dapat diartikan sebagai titipan murni dari suatu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja pihak penitip menghendaki (Antonio 2001).
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Menurut Soemitra (2009), Islamic Development Bank (IDB) yang
merupakan tindak lanjut rekomendasi Konferensi Ekonomi Islam pertama yang
diadakan di Mekah pada tahun 1975 didirikan pada tahun 1977. Pendirian Islamic
Development Bank ini diikuti dengan pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam
di berbagai negara yang secara umum berbentuk bank Islam komersial dan
lembaga investasi, termasuk Indonesia. Di Indonesia, ide dan gagasan konsep
lembaga keuangan syariah pertama kali dilakukan pada uji coba di BMT Salman
Bandung dan Koperasi Ridho Gusti pada tahun 1980. Ide dan gagasan tersebut
akhirnya ditanggapi oleh para peserta lokakarya MUI yang diadakan pada tahun
1990. Para peserta lokakarya tersebut sepakat untuk mendirikan bank syariah di
Indonesia.
Bank syariah pertama di Indonesia bernama Bank Muamalat Indonesia
mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992. Berdirinya Bank Muamalat Indonesia
diikuti dengan dibentuknya Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
yang melakukan akomodasi perbankan dengan prinsip bagi hasil baik untuk bank
umum maupun BPRS. Pada tahun 1998, dikeluarkan Undang-undang No. 10
tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No. 7 tahun 1992 yang mengakui
keberadaan bank syariah dan bank konvensional serta memperkenankan bank
konvensional membuka kantor cabang syariah.
Setelah itu, perkembangan lembaga perbankan syariah di Indonesia jauh
lebih pesat jika dibandingkan dengan sebelum dikeluarkan UU No. 10 tahun 1998
tersebut. Hal ini salah satunya ditandai dengan berdirinya Bank Mandiri Syariah.
Namun, perkembangan jumlah BUS masih terbilang cukup lambat jika
10
dibandingkan dengan perkembangan jumlah UUS atau BPRS. Perkembangan
jumlah yang paling cepat terjadi adalah pada BPRS. Sejak lahirnya sistem
perbankan syariah di Indonesia, BPRS memiliki jumlah bank dan jumlah kantor
lebih banyak jika dibandingkan dengan UUS. Akan tetapi, jumlah kantor yang
dimiliki BPRS tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah kantor yang
dimiliki BUS.
Perkembangan jumlah bank dan jumlah kantor lembaga perbankan syariah
di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa
total jumlah kantor perbankan syariah selalu mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa industri perbankan syariah di Indonesia
memiliki prospek yang baik.
Tabel 5 Perkembangan jumlah bank dan kantor perbankan syariah tahun 20102014
Jenis Bank
2010
Bank Umum Syariah
Jumlah Bank
11
Jumlah Kantor
1 215
Unit Usaha Syariah
Jumlah Bank
23
Jumlah Kantor
262
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Jumlah Bank
150
Jumlah Kantor
286
Total Kantor
1 763
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014.
2011
2012
2013
2014
11
1 401
11
1 745
11
1 998
12
2 151
24
336
24
517
23
590
22
320
155
364
2 101
158
401
2 663
163
402
2 990
163
439
2 910
Di Indonesia, regulasi mengenai bank syariah tertuang dalam UU No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Berdasarkan jenisnya, bank syariah terdiri
dari Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut pasal 1 ayat 3 UU Perbankan No.
7 tahun 1992 adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan uang hanya
dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dalam bentuk itu dan menyalurkan dana sebagai usaha bank
perkreditan rakyat. Pelaksanaan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), atau
yang sekarang disebut dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, diatur menurut
surat keputusan Direktur Bank Indonesia No.32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12
Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Secara
teknis, BPRS dapat diartikan seperti BPR konvensional yang operasionalnya
berdasarkan prinsip syariah. Tujuan didirikannya Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama kelompok
masyarakat lemah yang pada umumnya berada di pedesaan.
2. Menambah lapangan pekerjaan terutama di tingkat kecamatan sehingga dapat
mengurangi tingkat urbanisasi.
3. Membina semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam
rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang
memadai.
11
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
sesuai UU Perbankan No. 10 tahun 1998 adalah sebagai berikut:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk deposito berjangka,
tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan.
2. Memberikan kredit.
3. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
4. Menempatkan dananya dalam bentuk Surat Berharga Indonesia (SBI),
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan pada bank lainnya.
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah merupakan bank syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah perseroan terbatas. Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan
atau badan hukum Indonesia, pemerintahan daerah, atau kemitraan antara WNI
atau badan hukum Indonesia dengan pemerintah daerah (Soemitra 2009).
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah berfungsi sebagai pelaksana sebagian
fungsi bank umum di tingkat regional. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
merupakan bank yang khusus melayani masyarakat kecil di pedesaan. Jenis
produk yang ditawarkan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah relatif sempit jika
dibandingkan dengan bank umum, bahkan ada beberapa jenis jasa bank yang tidak
dapat boleh diselenggarakan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, seperti
pembukaan rekening giro dan kliring.
Konsep Kredit Perbankan dan Non Performing Financing
Kredit
Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1992 pasal 1 ayat 12, kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan jumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Pemberian kredit atau pinjaman dana merupakan salah satu fungsi lembaga
perbankan sebagai lembaga intermediasi penyaluran dana. Namun, dalam
pemberian kredit tersebut pihak perbankan harus memperhatikan aspek-aspek
penting seperti yang tertera pada pasal 8 UU No. 7 tahun 1992, yaitu dalam
memberikan kredit bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang telah
diperjanjikan.
Menurut Untung (2000) sedikitnya ada empat unsur kredit, yaitu
kepercayaan, waktu, risiko, dan prestasi.
- Kepercayaan berarti pemberi kredit yakin bahwa prestasi yang diberikannya
baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar diterimanya
kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
- Tenggang waktu berarti waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi
dengan kontraprestasi yang akan diterima di masa yang akan datang. Dalam
12
-
-
unsur waktu, terkandung pengertian agio dari uang, yaitu uang yang ada
sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang
akan datang.
Degree of risk adalah risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya
jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan
kontraprestasi yang akan diberikan di kemudian hari. Semakin panjang jangka
waktu yang diberikan, semakin tinggi pula tingkat risikonya sehingga terdapat
unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang
menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko ini,
dibutuhkan jaminan dalam pemberian kredit.
Prestasi atau objek kredit tidak hanya diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga
dapat berbentuk barang atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern
sekarang ini didasarkan pada uang, maka transaksi kredit yang menyangkut
uanglah yang sering dijumpai dalam praktik perkreditan.
Waktu
Kepercayaan
Unsur
Risiko
Prestasi
Gambar 7 Unsur-unsur kredit
Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)
Salah satu risiko yang dihadapi lembaga keuangan syariah adalah risiko
pembiayaan. Risiko pembiayaan adalah risiko kegagalan nasabah untuk
memenuhi kewajibannya secara penuh dan tepat waktu sesuai dengan
kesepakatan. Risiko tersebut dapat muncul dalam banking book dan trading book
bank. Dalam banking book, risiko muncul pada nasabah gagal memenuhi
kewajiban untuk membayar utangnya secara penuh pada waktu yang telah
disepakati. Risiko pembiayaan berhubungan dengan kualitas aset dan
kemungkinan gagal bayar. Akibat dari risiko pembiayaan ini, terdapat
ketidakpastian pada laba bersih dan nilai pasar dari ekuitas yang muncul dari
keterlambatan atau tidak terbayarnya pokok pinjaman serta bunganya. Risiko pada
trading book muncul akibat ketidakmampuan atau ketidakmauan nasabah untuk
memenuhi kewajiban yang tertuang dalam kontrak. Hal ini bisa memicu risiko
pembayaran, yaitu ketika satu pihak bersepakat untuk membayar atau
mengirimkan aset sebelum aset atau dana cash tersebut ia terima sehingga
mengakibatkan potensi kerugian (Khan dan Habib 2008).
Tingkat Non Performing Financing (NPF) termasuk dalam risiko dari
pembiayaan yang diberikan oleh pihak perbankan. Non performing financing
adalah istilah untuk pembiayaan bermasalah yang digunakan oleh lembaga
keuangan syariah, sedangkan pada lembaga keuangan konvensional digunakan
istilah Non Performing Loan (NPL). Non performing financing merupakan salah
satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan suatu lembaga
perbankan selain rasio solvabilitas, rentabilitas, dan likuiditas. Buruknya tingkat
non performing financing suatu lembaga perbankan akan memengaruhi tingkat
13
profitabilitas atau laba yang didapatkan oleh lembaga perbankan tersebut. Tingkat
non performing financing dapat diperoleh dengan cara membandingkan total
pembiayaan bermasalah dengan total pembiayaan atau secara matematis dapat
ditulis dengan rumus
NPF =
Berdasarkan surat edaran Bank Indonesia No. 23/12/BPPP tanggal 28
Februari 1991, kredit berdasarkan kolektibilitasnya dibedakan menjadi kredit
lancar, kredit kurang lancar, kredit yang diragukan, dan kredit macet, sedangkan
jenis kredit yang termasuk kriteria non lancar menurut data Statistik Perbankan
Syariah adalah jenis kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet.
1. Kredit kurang lancar, yaitu kredit yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Kredit di luar KPR harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Terdapat tunggakan angsuran pokok yang melampaui 1 bulan
(tetapi belum melampaui 2 bulan) bagi kredit yang masa
angsurannya 1 bulan, atau melampaui 3 bulan (tetapi belum
melampaui 6 bulan) bagi kredit yang masa angsurannya ditetapkan
bulanan, 2 bulanan, atau 3 bulanan; atau melampaui 6 bulan dan
belum melampaui 12 bulan bagi kredit yang masa angsurannya
ditetapkan 6 bulan atau lebih.
- Terdapat cerukan karena penarikan yang jangka waktunya telah
melampaui 15 hari kerja, tetapi belum melampaui 30 hari kerja.
- Terdapat tunggakan bunga yang melampaui 1 bulan, tetapi belum
melampaui 3 bulan bagi yang angsuran kreditnya 1 bulan.
- Atau melampaui 3 bulan tetapi belum melampaui 6 bulan bagi
angsurannya yang melebihi 1 bulan.
b. Bagi kredit KPR, terdapat tunggakan angsuran pokok yang telah
melampaui 6 bulan, tetapi belum melampaui 9 bulan.
c. Kredit tanpa angsuran:
- Kredit belum jatuh tempo dan terdapat tunggakan bunga
melampaui 6 bulan atau terdapat penambahan plafon atau kredit
baru yang dimaksudkan untuk melunasi tunggakan bunga.
- Kredit telah jatuh tempo dan belum dibayar, tetapi belum
melampaui 3 bulan.
- Terdapat cerukan karena penarikan, tetapi jangka waktunya telah
melampaui 15 hari kerja dan belum melampaui 30 hari kerja.
d. Kredit yang diselamatkan:
- Kredit yang mempunyai cerukan karena penarikan, tetapi jangka
waktunya telah melampaui 15 hari kerja dan belum melampaui 30
hari kerja.
2. Kredit yang diragukan, yaitu kredit yang tidak memenuhi kriteria lancar atau
kurang lancar, tetapi kredit tersebut akan dapat diselamatkan dan agunannya
bernilai sekurang-kurangnya 75% dari utang debitur, atau kredit tidak dapat
diselamatkan, tetapi agunannya masih bernilai sekurang-kurangnya 100% dari
utang debitur.
3. Kredit macet, yaitu:
a. Kredit yang tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar, dan diragukan.
14
b. Memenuhi kriteria diragukan tetapi dalam jangka waktu 21 bulan sejak
digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau belum ada usaha
penyelamatan kredit.
c. Kredit tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada Pengadilan
Negeri atau Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) atau telah diajukan
penggantian ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.
Tingkat Kesehatan Lembaga Perbankan
Berdasarkan Undang-undang RI No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan pasal
29, Bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan
memperhatikan aspek permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas,
likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.
Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang tentang perbankan tersebut, Bank
Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran No. 26/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993
yang mengatur tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank.
Metode atau cara penilaian tingkat kesehatan bank tersebut kemudian
dikenal sebagai metode CAMEL. Metode CAMEL berisikan langkah-langkah
yang dimulai dengan menghitung besarnya masing-masing rasio pada komponenkomponen berikut:
1. C : Capital
(untuk rasio kecukupan modal bank)
2. A : Assets
(untuk rasio-rasio kualitas aktiva)
3. M : Management (untuk menilai kualitas manajemen)
4. E : Earnings
(untuk rasio-rasio rentabilitas bank)
5. L : Liquidity
(untuk rasio-rasio likuiditas bank)
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengukur tingkat kesehatan
suatu bank umum dengan metode CAMEL adalah sebagi berikut:
Langkah I
: Menghitung rasio berdasarkan rumus yang ditetapkan.
Langkah II
: Menghitung besarnya nilai kredit (credit point) untuk masingmasing komponen CAMEL.
Langkah III : Mengalikan nilai kredit (credit point) tersebut dengan bobot
masing-masing komponen CAMEL.
Langkah IV : Menjumlahkan seluruh nilai komponen CAMEL.
Langkah V
: Memperhitungkan nilai kepatuhan berkaitan dengan:
- Pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK)
- Pemberian kredit ekspor
- Pelanggaran batas maksimum pemberian kredit
- Ketentuan tentang posisi devisa neto
Langkah VI : Menetapkan kategori kesehatan bank yang bersangkutan.
Berdasarkan metode CAMEL, komponen capital dapat diukur melalui
tingkat Capital Adequacy Ratio (CAR); komponen assets dapat diukur melalui
tingkat Bad Debt Ratio (BDR) dan cadangan aktiva yang diklasifikasikan;
komponen management dapat diukur melalui kualitas manajemen modal,
manajemen aktiva, manajemen umum, manajemen rentabilitas, dan manajemen
likuiditas; komponen earnings dapat diukur melalui tingkat Return on Assest
(ROA) dan rasio antara beban operasional dengan pendapatan opersional (BOPO);
15
sedangkan komponen liquidity dapat diukur melalui tingkat Loan to Debt Ratio
(LDR) dan Net Call Money to Current Assets (NCM to CA).
Faktor-faktor Penyebab Tingkat Non Performing Financing
Faktor-faktor Penyebab Kredit Bermasalah
Siamat (2005) menyatakan penyebab kredit bermasalah terdiri atas faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal erat kaitannya dengan kebijakan dan
proses manajemen yang dilakukan oleh pihak bank. Faktor internal tersebut
meliputi:
a. Kebijakan perkreditan yang ekspansif
Bank yang memiliki kelebihan dana (excess liquidity) sering menetapkan
kebijakan perkreditan yang terlalu ekspansif yang melebihi pertumbuhan
kredit secara wajar, yaitu dengan menciptakan sejumlah target kredit yang
harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Keharusan tersebut membuat pihak
pemberi kredit untuk melakukan langkah yang lebih agresif dalam
menyalurkan kredit sehingga kurang selektif dalam memilih calon debitur.
b. Penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan
Pejabat bank sering tidak mengikuti dan kurang disiplin terhadap pedoman
dan tata cara pemberian kredit. Hal yang sering terjadi adalah bank tidak
mewajibkan calon debitur untuk membuat studi kelayakan dan menyampaikan
data secara lengkap. Penyimpangan sistem dan prosedur tersebut dapat terjadi
karena jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki pihak bank
kurang memadai.
c. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit
Untuk mengukur kelemahan sistem administrasi dan pengawasan kredit bank,
dapat dilihat dari cara pihak bank dalam mengelola administrasi dan
melakukan pengawasan kredit. Pihak bank sering melakukan kelalaian dalam
meminta dokumen kredit, berkas perkreditan yang tidak lengkap dan tidak
teratur, pemantauan usaha debitur tidak dilakuakan secara rutin, dan
peninjauan langsung pada lokasi usaha debitur secara periodik. Hal ini dapat
menyebabkan potensi kredit bermasalah tidak dapat dideteksi sejak dini.
d. Lemahnya sistem informasi kredit
Sistem informasi kredit yang tidak berjalan baik akan menyulitkan
pendeteksian dini mengenai kredit bermasalah. Hal ini akan berdampak pada
keterlambatan upaya pencegahan terjadinya kredit bermasalah.
e. Itikad kurang baik dari pihak bank
Pemilik dan pengurus bank sering melanggar ketentuan kehati-hatian
perbankan, terutama ketentuan legal lending limit yang dilakukan dengan
sengaja untuk mengambil keuntungan. Cara lain yang dilakukan adalah
mengadakan kredit fiktif untuk kepentingan pemilik dan pengurus bank.
Faktor eksternal yang menjadi penyebab kredit bermasalah lebih berkaitan
dengan kondisi ekonomi global suatu daerah. Faktor eksternal kredit bermasalah
dapat meliputi:
a. Penurunan kegiatan ekonomi dan tingginya bunga kredit
Kegiatan usaha debitur rentan terhadap terjadinya penurunan kegiatan
ekonomi dan kenaikan suku bunga yang tinggi. Pada kondisi menurunnya
16
kegiatan ekonomi dan tingkat suku bunga yang tinggi, debitur tidak lagi
mampu membayar cicilan kredit.
b. Pemanfaatan iklan persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur
Persaingan bank yang sangat ketat dalam penyaluran kredit dapat
dimanfaatkan debitur yang memiliki itikad kurang baik untuk memperoleh
kredit melebihi jumlah yang diperlukan untuk kegiatan usaha yang tidak jelas.
c. Kegagalan usaha debitur
Kegagalan usaha debitur dapat terjadi karena sifat usaha debitur yang sensitif
terhadap pengaruh eksternal. Faktor eksternal yang dapat terjadi seperti
kegagalan dalam pemasaran produk, perubahan harga pasar, adanya
perubahan pola konsumen, dan pengaruh perekonomian nasional.
Hubungan Tingkat NPF dengan Variabel yang Diduga Berpengaruh
a. Hubungan antara Tingkat NPF dengan Total Aset
Salah satu faktor yang diduga dapat memengaruhi tingkat NPF BPRS
adalah total aset yang dimiliki BPRS. Secara nasional, total aset BPRS
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Total aset yang dimiliki suatu
lembaga perbankan dapat dijadikan indikator untuk ukuran bank. Bank dengan
ukuran yang lebih besar atau total aset yang lebih banyak memiliki
kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar apabila diikuti
dengan hasil dari aktivitas bank tersebut (Firmansyah 2014). Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Windriya (2014), tingkat NPF memiliki
hubungan yang negatif dengan profitabilitas bank. Artinya, keuntungan yang
lebih besar mengindikasikan rendahnya tingkat NPF yang dimiliki lembaga
perbankan. Oleh karena itu, diharapkan semakin besar total aset yang dimiliki,
akan semakin rendah tingkat NPF yang dimiliki suatu bank. Hal ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh R
PERFORMING FINANCING PADA BANK PEMBIAYAAN
RAKYAT SYARIAH DI INDONESIA
DINIYAH GINUNG PRATINA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang
Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing pada Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Diniyah Ginung Pratina
NIM H54110058
ABSTRAK
DINIYAH GINUNG PRATINA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Non
Performing Financing pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia.
Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI dan ROMLI.
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) merupakan lembaga perbankan
yang memiliki peran penting dalam pengembangan Usaha Mikro dan Kecil
(UMK) yang merupakan skala usaha yang paling banyak dimiliki oleh Indonesia.
Oleh karena itu, menjaga kondisi kesehatan BPRS merupakan hal yang penting.
Salah satu indikator kesehatan lembaga perbankan adalah tingkat Non Performing
Financing (NPF). Dalam tiga tahun terakhir, tingkat NPF BPRS mengalami
peningkatan, padahal dalam kurun waktu tersebut, kondisi perekonomian yang
ditunjukkan dengan pendapatan per kapita mengalami peningkatan. Oleh karena
itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kinerja BPRS dan kondisi ekonomi
provinsi serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di
Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, berupa
panel data yang terdiri dari data cross section BPRS di 19 provinsi dan data time
series tahun 2010-2013. Metode analisis yang digunakan adalah regresi berganda
data panel dengan pendekatan Fixed Effects Model (FEM). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kinerja BPRS di sebagian besar provinsi kurang sehat jika
ditinjau dari tingkat NPF dan FDR dan sebaliknya dari sisi nilai aset dengan
kecenderungan perkembangan yang bervariasi. Tingkat NPF yang relatif besar
terjadi di beberapa provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera yang merupakan sentra
UMK. Perekonomian wilayah BPRS menunjukkan perkembangan yang baik
dilihat dari nilai PDRB yang cenderung meningkat, sementara perkembangan
tingkat inflasi dan UMK bervariasi. Hasil analisis regresi data panel
memperlihatkan bahwa tingkat FDR, total aset, dan tingkat inflasi signifikan
memengaruhi tingkat NPF dan berhubungan negatif, sedangkan jumlah UMK
signifikan memengaruhi tingkat NPF dan berhubungan positif. Dengan demikian,
upaya menurunkan tingkat NPF nasional adalah dengan mendorong penurunan
tingkat NPF BPRS di masing-masing provinsi, khususnya beberapa provinsi di
Pulau Jawa dan Sumatera (sentra UMK) dengan tingkat NPF relatif tinggi melalui
penyaluran pembiayaan kepada UMK yang lebih selektif dan disertai pembinaan
serta mendorong peningkatan aset dan FDR selama tidak melebihi standar
kesehatan bank.
Kata kunci: data panel, keragaan BPRS, NPF, perbankan syariah
ABSTRACT
DINIYAH GINUNG PRATINA. Determinant of Non Performing Financing
Level in Bank Pembiayaan Rakyat Syariah in Indonesia. Supervised by YETI LIS
PURNAMADEWI and ROMLI.
Islamic rural bank is a banking institution that has an important role in the
development of Micro and Small Enterprises (MSEs), which is the most widelyscale enterprises owned by Indonesia. Therefore, maintaining BPRS in a healthy
condition is an important thing. One indicator of the banking institutions's health
is the level of Non Performing Financing (NPF). In the last three years, the level
of NPF BPRS has increased, whereas in this period, Indonesia has strong
economic condition, shown by the increasing of per capita income. Therefore, this
study aimed to assess the performance of BPRS and provincial economic
conditions and to analyze the factors that affect the level of NPF BPRS in
Indonesia. Data used in this study are secondary data, such as panel data
consisting of cross section data BPRS in 19 provinces and time series data from
2010 to 2013. The analytical method used is multiple regression panel data with
Fixed Effects Model (FEM) approach. The results show that the performance of
BPRS in most provinces are less healthy when viewed from the level of NPF and
FDR and on contrary when viewed from the value of assets with varying
development trend. NPF levels were relatively high in some provinces in Java and
Sumatra, which is the center of MSEs. BPRS region's economy showed good
development seen from the value of GDP which is likely to increase, while the
growth rate of inflation and the MSEs varies. Results of panel data regression
analysis showed that the level of FDR, total assets, and the inflation rate have
significant affect to the level of NPF negatively, while the number of MSEs
significantly affect the level of NPF and positively related. Thus, efforts to reduce
the level of national NPF is to encourage a decrease in the level of NPF BPRS in
each province, particularly some provinces in Java and Sumatra (center MSEs)
with relatively high levels of NPF by financing MSEs selectively and
accompanied MSE's with coaching and increasing assets and FDR as long as it
did not exceed bank's health standards.
Keywords: panel data, performance of BPRS, NPF, sharia bank
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT NON
PERFORMING FINANCING PADA BANK PEMBIAYAAN
RAKYAT SYARIAH DI INDONESIA
DINIYAH GINUNG PRATINA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini adalah Faktor-faktor yang
Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing pada Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah di Indonesia. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini,
khususnya kepada:
1. Ibu Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, M Sc Agr dan Bapak Drs Romli, M Ag
selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah membimbing dan
memberikan kritik serta saran kepada penulis selama proses penyusunan
skripsi ini.
2. Bapak Dr Irfan Syauqi Beik, SP, M Sc Ec selaku dosen penguji utama dan
Bapak Khalifah Muhamad Ali, M Si selaku dosen penguji dari komisi
pendidikan yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3. Seluruh dosen, staf, dan civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi FEM
IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan untuk penulis.
4. Orang tua penulis Bapak Mohammad Thoyib Maktub dan Ibu Sri Swasemi,
serta kakak penulis Adhipradana Prabu Swasito dan Rizky Febriani Amelia
atas doa, motivasi, dan kasih sayang yang telah diberikan.
5. Teman satu bimbingan Evillya Br Sembiring, Ginawati Dwitama, Gresi
Sasprintia, Rr Nabila Fikriani Iffatunisa, Rika Arnita, Sami Lumekti, dan Vita
Indah Praspaningtyas atas doa dan motivasi yang telah diberikan.
6. Sahabat-sahabat terbaik selama perkuliahan Dessy Nur Hasanah, Dhia Adiati,
Ghina Khalida Zulhidia, Khalishah Livia, Murni Anggraeni, Sarah Nabilah,
Salma Siti Salamah, Siti Karimah, Vita Nayunda, dan Zara Fathia, temanteman Ekonomi Syariah 48, dan kepada teman-teman yang tidak dapat
disebutkan satu persatu atas segala saran, pelajaran, bantuan, doa, dan waktu
yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015
Diniyah Ginung Pratina
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
7
7
Konsep Kredit Perbankan dan Non Performing Financing
11
Faktor-faktor Penyebab Tingkat Non Performing Financing
15
Kajian Penelitian Terdahulu
18
Kerangka Pemikiran
21
Hipotesis Penelitian
23
METODE
24
Lokasi dan Waktu Penelitian
24
Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data
24
Metode Pengolahan dan Analisis Data
25
Model Penelitian
28
Evaluasi Model
28
Variabel dan Definisi Operasional
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
32
Kinerja Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia dan Kondisi
Perekonomian Indonesia
32
Hubungan antara Tingkat Non Performing Financing dengan Kondisi
Perekonomian Regional
38
Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Non Performing Financing pada
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia
43
SIMPULAN DAN SARAN
47
Simpulan
47
Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
49
LAMPIRAN
52
RIWAYAT HIDUP
57
DAFTAR TABEL
1
2
Jumlah BPRS berdasarkan lokasi tahun 2009-2014
Pembiayaan BPRS berdasarkan kualitas pembiayaan tahun 20082014 (juta rupiah)
3 Perbandingan bank syariah dengan bank konvensional
4 Perbandingan bagi hasil dengan sistem bunga
5 Perkembangan jumlah bank dan kantor perbankan syariah tahun
2010-2014
6 Variabel-variabel penelitian
7 Jumlah BPRS menurut provinsi tahun 2010-2014
8 Kecenderungan hubungan tingkat NPF dengan kinerja BPRS dan
kondisi perekonomian di wilayah BPRS
9 Hubungan tingkat NPF dengan tingkat FDR dan tingkat inflasi tahun
2013
10 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF
BPRS di Indonesia
2
3
7
8
10
24
33
41
42
44
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Pembiayaan perbankan syariah berdasarkan golongan pembiayaan
Perbandingan tingkat NPF BPRS dengan tingkat NPF BUS dan UUS
di Indonesia tahun 2008-2014
Tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2008-2014
Peningkatan tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2010-2014
Tingkat pendapatan nasional per kapita Indonesia atas dasar harga
konstan 2000 tahun 2008-2013
Tingkat NPF menurut provinsi di Indonesia tahun 2013-2014
Unsur-unsur kredit
Kerangka pemikiran
Tahapan pemilihan model
Tingkat NPF BPRS menurut provinsi tahun 2010-2013
Tingkat FDR BPRS tahun 2010-2014
Tingkat FDR BPRS menurut provinsi tahun 2010-2013
Pertumbuhan total aset BPRS Indonesia tahun 2008-2014
Pertumbuhan total aset BPRS Indonesia menurut provinsi tahun
2010-2013
Pertumbuhan total PDB atas dasar harga konstan 2000 tahun 20102014
Pertumbuhan total PDRB atas dasar harga konstan 2000 tahun 20102013
Tingkat inflasi menurut provinsi tahun 2010-2013
Jumlah industri mikro dan kecil menurut provinsi tahun 2010-2013
1
2
3
4
5
5
12
23
27
34
34
35
35
36
36
37
38
38
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Pooled Least Square
(PLS)
Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Fixed Effects Model
(FEM)
Hasil estimasi panel data dengan menggunakan Random Effects
Model (REM)
Hasil pengujian Chow Test
Hasil pengujian Hausman Test
Hasil uji normalitas
Hasil uji multikolinearitas
52
53
54
55
55
55
56
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam kelompok
negara berkembang di dunia, khususnya dalam sektor perekonomian. Sektor
perekonomian suatu negara sangat berkaitan erat dengan keberadaan, aktivitas,
dan peran lembaga perbankan di negara tersebut. Salah satu peran lembaga
perbankan yang utama adalah sebagai lembaga intermediasi atau penghubung
antara pihak yang memiliki dana lebih (surplus) dengan pihak yang kekurangan
dana (deficit) dengan cara memberikan kredit atau pembiayaan. Kredit yang
diberikan bank kepada sektor riil, seperti industri, pertambangan, perumahan,
pariwisata, dan perhubungan sangat berarti bagi perkembangan ekonomi nasional
(Dendawijaya 2001). Peran seperti ini sangat diperlukan oleh negara berkembang
seperti Indonesia agar sektor perekonomian negara tersebut dapat berkembang
secara signifikan dan berkesinambungan.
Di Indonesia, pengembangan ekonomi Islam telah diadopsi ke dalam
kerangka besar kebijakan ekonomi. Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan di
tanah air telah menetapkan perbankan syariah sebagai salah satu pilar penyangga
dual banking system dan mendorong pangsa pasar bank-bank syariah yang lebih
luas sesuai cetak biru perbankan syariah (Bank Indonesia 2002). Salah satu
lembaga perbankan syariah yang ada di Indonesia yang membantu mendorong
perkembangan ekonomi Islam adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Peran yang dimiliki BPRS cukup besar bagi perkembangan perekonomian
Indonesia, khususnya untuk perkembangan usaha dalam skala kecil dan
menengah. Berdasarkan data statistik UMKM tahun 2012, pangsa pasar UMKM
mencapai 99.99% dengan jumlah unit usaha sebanyak 56 534 592 unit usaha,
sedangkan jumlah unit usaha dalam skala besar hanya mencapai 4 968 unit usaha.
Pembiayaan-pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS lebih diutamakan untuk
usaha-usaha kecil dan menengah yang menjadi penyokong pembangunan sektor
riil bagi Indonesia. Berdasarkan data SPS BI 2014, jumlah pembiayaan yang
disalurkan oleh BPRS untuk usaha kecil dan menengah jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan jumlah pembiayaan yang disalurkan untuk selain usaha
kecil dan menengah (Gambar 1). Berbeda dengan lembaga keuangan syariah
lainnya, yaitu Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang jumlah
penyaluran pembiayaannya lebih besar untuk selain usaha kecil dan menengah.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 1 Pembiayaan perbankan syariah berdasarkan golongan pembiayaan
2
Jumlah BPRS di Indonesia berkembang cukup pesat. Berdasarkan data yang
tersedia di SPS BI, jumlah BPRS yang terdaftar sampai dengan tahun 2014
mencapai 163 unit. Dari total 163 unit BPRS, penyebaran yang terjadi belum
merata di seluruh wilayah Indonesia. Lokasi keberadaan BPRS masih terpusat di
Pulau Jawa (Tabel 1).
Tabel 1 Jumlah BPRS berdasarkan lokasi tahun 2009-2014
No
Daerah
2009
34
90
2
7
1
2
3
4
2010
38
98
2
7
2011
42
99
2
7
Pulau Sumatera
Pulau Jawa
Pulau Kalimantan
Pulau Sulawesi
Pulau Bali dan Nusa
5
4
4
Tenggara
Pulau Papua dan
6
1
1
Kepuluan Maluku
Total
138
150
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014.
Periode
2012
40
103
2
7
2013
41
105
3
8
2014
41
105
3
8
4
4
4
4
1
2
2
2
155
158
163
163
Perkembangan pesat Bank Pembiayaan Rakyat Syariah secara kuantitas ini
belum diikuti oleh perkembangan secara kinerja keuangan lembaga perbankan
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pembiayaan bermasalah (non
performing financing) yang masih tinggi. Tingkat NPF BPRS lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tingkat NPF yang dimiliki lembaga keuangan syariah
lainnya, yaitu Bank Unit Syariah dan Unit Usaha Syariah (Gambar 2).
10
Persen (%)
8
6
4
2
0
2008
2009
2010
NPF BPRS
2011
2012
2013
2014
NPF BUS & UUS
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 2 Perbandingan tingkat NPF BPRS dengan tingkat NPF BUS dan UUS di
Indonesia tahun 2008-2014
Pembiayaan bermasalah suatu lembaga perbankan merupakan jumlah total
pembiayaan yang termasuk dalam kategori kurang lancar, diragukan, dan macet
(Tabel 2). Tingkat non performing financing diperoleh dengan cara
membandingkan antara jumlah total pembiayaan bermasalah yang disalurkan
dengan total seluruh pembiayaan yang disalurkan.
3
Tabel 2 Pembiayaan BPRS berdasarkan kualitas pembiayaan tahun 2008-2014
(juta rupiah)
Kolektibilitas
Pembiayaan
Lancar
(%)
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
1 151 287
(91.62)
1 475 306
(92.97)
1 926 565
(93.51)
2 512 328
(93.89)
3 334 885
(93.85)
4 145 119
(93.50)
4 610
238
(91.07)
163 602
(6.11)
49 319
218.635
(6.15)
72 806
288 373
(6.50)
90 581
394.671
(7.89)
136 251
44 663
51 649
65 847
81 069
69 620
94 180
131 945
177 351
2 675 930
3 553 520
Non
105 322
111 612
133 872
lancar
(8.38)
(7.03)
(6.49)
(%)
35 322
31 049
39 185
-Kurang
lancar
21 307
30 687
29 919
- Diragukan
48 693
49 877
64 767
- Macet
Total
1 256 610 1 586 919 2 060 437
Pembiayaan
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014.
4 433 492 5 004 909
Tingkat non performing financing BPRS cukup tinggi. Hal ini dapat
berdampak buruk pada tingkat kesehatan bank. Dalam pembahasan rekapitalisasi
perbankan, kredit yang diberikan (khususnya kredit bermasalah) menjadi peran
utama selain faktor modal (Dendawijaya 2001). Tingkat NPF BPRS berada di atas
standar kesehatan bank yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai bank
sentral Negara Indonesia, yaitu 5%. Tingkat NPF BPRS cenderung meningkat di
beberapa tahun terakhir (Gambar 3). Pada tahun 2008 sampai tahun 2011, tingkat
NPF BPRS sempat mengalami penurunan, sedangkan mulai tahun 2012 sampai
tahun 2014 tingkat NPF mengalami peningkatan.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 3 Tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2008-2014
Tingkat NPF BPRS yang meningkat ini perlu dikendalikan karena tingkat
NPF merupakan salah satu indikasi dalam melihat tingkat kesehatan lembaga
perbankan. Selain itu, tingkat NPF juga memengaruhi tingkat profitabilitas yang
akan diterima oleh lembaga perbankan tersebut. Semakin tinggi tingkat NPF suatu
lembaga perbankan, dapat menyebabkan penurunan keuntungan yang akan
diterima lembaga perbankan sehingga dapat memengaruhi tingkat kesehatan
lembaga perbankan tersebut. Mengingat pentingnya peran lembaga perbankan
untuk menyokong perkembangan perekonomian Indonesia, tingkat kesehatan
4
lembaga perbankan sangat perlu diperhatikan karena dapat memengaruhi sektorsektor perekonomian yang berada pada suatu negara. Sektor-sektor perekonomian
suatu negara akan sangat bergantung pada keberadaan lembaga perbankan, seperti
untuk keperluan penyediaan modal usaha.
Menurut Windriya (2014), tingkat NPF signifikan memiliki hubungan
negatif dengan tingkat profitabilitas lembaga perbankan. Selain itu, penelitian
yang dilakukan oleh Poetry dan Sanrego (2011) juga menyatakan bahwa tingkat
NPL pada perbankan konvensional lebih dipengaruhi oleh variabel makro seperti
inflasi dan SBI, sedangkan tingkat NPF pada perbankan syariah lebih dipengaruhi
oleh variabel internal perbankan seperti tingkat FDR. Salah satu hal yang perlu
dilakukan untuk dapat mengetahui cara mengendalikan tingkat NPF agar
kesehatan lembaga perbankan dapat stabil adalah dengan mengetahui faktor apa
saja yang memengaruhi tingkat NPF. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian
faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat NPF BPRS.
Perumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tingkat NPF BPRS
mengalami peningkatan. Selain itu, tingkat NPF BPRS juga berada di atas standar
kesehatan bank yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu 5% (Gambar 4).
Hal ini merupakan permasalahan yang dialami oleh BPRS sebagai lembaga
keuangan, karena buruknya tingkat NPF akan memberikan dampak negatif
terhadap tingkat profitabilitas yang akan didapatkan oleh lembaga keuangan
tersebut. Selain itu, tingginya tingkat NPF juga dapat menghambat tugas utama
lembaga perbankan sebagai lembaga intermediasi. Ketika tingkat pembiayaan
bermasalah tinggi, maka cadangan kas lembaga keuangan akan berkurang
sehingga lembaga keuangan tidak dapat menyalurkan pembiayaan kepada nasabah
secara optimal.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 4 Peningkatan tingkat NPF BPRS di Indonesia tahun 2010-2014
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tingkat
NPF adalah rendahnya atau menurunnya pendapatan penduduk Indonesia sebagai
nasabah penerima pembiayaan yang diberikan oleh BPRS. Jika pendapatan yang
diterima nasabah tinggi, kemampuan nasabah dalam membayar kembali pinjaman
yang diperoleh dari pembiayaan BPRS akan tinggi pula. Sebaliknya, jika
pendapatan yang diterima nasabah rendah, kemampuan nasabah dalam membayar
kembali pinjaman yang diperoleh dari pembiayaan BPRS akan menurun.
5
Badan Pusat Statistik (2013) menyatakan bahwa pendapatan nasional per
kapita Indonesia dalam keadaan yang baik dan meningkat (Gambar 5). Namun,
kemampuan nasabah dalam mengembalikan pembiayaan masih rendah. Hal ini
dapat terlihat dari tingkat NPF yang dimiliki BPRS yang tetap tinggi. Kondisi ini
dapat menunjukkan bahwa meningkatnya tingkat pendapatan nasional per kapita
belum tentu diikuti dengan peningkatan kemampuan nasabah dalam
mengembalikan pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS.
Sumber: Badan Pusat Statistik 2013
Gambar 5 Tingkat pendapatan nasional per kapita Indonesia atas dasar harga
konstan 2000 tahun 2008-2013
Persen (%)
Selain itu, tingkat NPF BPRS di Indonesia berbeda-beda di setiap
daerahnya. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
sebagai lembaga keuangan belum merata. Terdapat beberapa provinsi yang
memliki tingkat NPF sangat tinggi, seperti Provinsi Bali yang pada tahun 2013
mencapai angka 70% (Gambar 6).
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Provinsi
2013
2014
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014
Gambar 6 Tingkat NPF menurut provinsi di Indonesia tahun 2013-2014
Oleh karena itu, tentunya terdapat faktor-faktor selain pendapatan per kapita
yang memengaruhi tingginya tingkat NPF BPRS di Indonesia. Faktor-faktor ini
dapat berupa faktor internal yang dimiliki oleh BPRS maupun faktor eksternal
yang berasal dari luar lembaga keuangan tersebut berupa kondisi perekonomian
nasional. Faktor internal BPRS yang digunakan dalam penelitian ini adalah total
aset yang disalurkan oleh BPRS dan tingkat Financing to Deposit Ratio (FDR),
6
sedangkan faktor eksternal yang digunakan dalam penelitian ini adalah total
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tingkat inflasi pada setiap provinsi,
dan jumlah usaha dalam skala mikro dan kecil pada setiap provinsi.
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang dan perumusan masalah,
pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan kinerja BPRS di Indonesia secara regional?
2. Bagaimana kondisi perekonomian pada wilayah BPRS di Indonesia?
3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
1. Mengkaji perkembangan kinerja BPRS di Indonesia secara regional.
2. Mengkaji kondisi perekonomian wilayah BPRS di Indonesia.
3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat NPF BPRS di
Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi lembaga keuangan syariah
Memberikan informasi bagi lembaga keuangan syariah, khususnya Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah mengenai variabel-variabel yang harus
dipertimbangkan dan berdampak pada tingkat NPF yang dapat memengaruhi
kondisi profitabilitas lembaga perbankan.
2. Bagi akademisi dan masyarakat
Memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan mengenai
lembaga keuangan syariah dan sebagai perbandingan bagi peneliti-peneliti
selanjutnya.
3. Bagi penulis
Sebagai sarana untuk menuangkan pemikiran dan menghubungkan teori-teori
yang ada dengan keadaan sebenarnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup faktor-faktor yang memengaruhi
tingkat NPF pada BPRS di Indonesia. Variabel independen yang digunakan
adalah total aset, tingkat FDR, total PDRB, tingkat inflasi, jumlah UMK, dan
dummy regional Jawa dan luar Jawa yang diinteraksikan dengan variabel
PDRB. Analisis yang dilakukan terbatas pada 19 provinsi di Indonesia.
Provinsi-provinsi yang dipilih menjadi objek penelitian merupakan provinsi
yang telah memiliki BPRS selama periode waktu penelitian yang digunakan.
Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 2010 sampai
2013. Penelitian ini lebih memperhatikan kinerja BPRS dan kondisi
perekonomian pada setiap provinsi yang menjadi objek penelitian.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Perbankan Syariah
Lembaga keuangan bank merupakan lembaga yang memberikan jasa
keuangan yang paling lengkap. Salah satu aktivitas yang dilakukan lembaga
perbankan adalah menyalurkan dana atau memberikan pembiayaan/kredit dan
melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan.
Definisi bank berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Terdapat dua sistem perbankan di Indonesia, yaitu sistem perbankan
konvensional dan sistem perbankan syariah (Tabel 3). Perbankan syariah sebagai
suatu financial intermediary mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan
perbankan konvensional. Sebagai financial intermediary, bank syariah tidak
hanya berusaha memaksimisasi expected utility pemegang sahamnya, tetapi juga
memperhatikan expected utility nasabah dan deposannya.
Tabel 3 Perbandingan bank syariah dengan bank konvensional
Aspek
Legalitas
Struktur
Organisasi
Bisnis dan
Usaha yang
Dibiayai
Bank Syariah
Akad syariah
Penghimpunan dan penyaluran dana
harus sesuai dengan fatwa Dewan
Pengawas Syariah
Melakukan investasi-investasi yang
halal saja; hubungan dengan nasabah
dalam bentuk hubungan kemitraan;
berdasarkan prinsip bagi hasil, jual
beli, atau sewa; berorientasi pada
keuntungan dan kemakmuran dan
kebahagiaan dunia akhirat.
Islami
Lingkungan
Kerja
Sumber: Machmud dan Rukmana (2009).
Bank Konvensional
Akad konvensional
Tidak terdapat dewan sejenis
Investasi yang halal dan haram
profit oriented; hubungan
dengan nasabah dalam bentuk
hubungan
kreditur-debitur;
memakai perangkat bunga.
Non Islami
Selain perbedaan-perbedaan tersebut, hal mendasar yang menjadi perbedaan
dalam perbankan syariah dan perbankan konvensional adalah penggunaan sistem
bagi hasil oleh perbankan syariah dan penggunaan sistem bunga pada perbankan
konvensional (Tabel 4). Perbankan syariah tidak menggunakan sistem bunga
karena sistem bunga merupakan larangan Allah yang terdapat pada Al-Quran
surat Al-Baqarah ayat 278-279.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertaubat dari pengambilan riba maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
8
Tabel 4 Perbandingan bagi hasil dengan sistem bunga
Bagi Hasil
Penentuan bagi hasil dibuat sewaktu
perjanjian dengan berdasarkan kepada
untung atau rugi.
Jumlah nisbah bagi hasil berdasarkan
jumlah keuntungan yang telah dicapai.
Bagi hasil tergantung pada hasil proyek.
Jika proyek tidak mendapat keuntungan
atau mengalami kerugian, risikonya
ditanggung kedua belah pihak.
Jumlah pemberian hasil keuntungan
meningkat sesuai dengan peningkatan
keuntungan yang didapat.
Penerimaan atau pembagian keuntungan
adalah halal.
Sumber: Machmud dan Rukmana (2009).
Sistem Bunga
Penentuan bunga dibuat sewaktu perjanjian
tanpa berdasarkan kepada untung atau rugi.
Jumlah persen bunga berdasarkan jumlah
uang (modal) yang ada.
Pembayaran bunga tetap seperti perjanjian
tanpa diambil pertimbangan apakah proyek
yang dilaksanakan pihak kedua untung atau
rugi.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
walaupun jumlah keuntungan berlipat
ganda.
Pengambilan atau pembayaran bunga adalah
haram.
Menurut Antonio (2001), dalam memberikan pembiayaan kepada nasabah,
perbankan syariah menggunakan akad-akad yang sesuai dengan syariah Islam.
Pembiayaan syariah merupakan kegiatan penyaluran dana yang dilakukan oleh
bank syariah yang berprinsip pada konsep perbankan syariah atau perbankan
Islam yang didasari oleh larangan agama Islam untuk meminjamkan dana dengan
mengharapkan keuntungan yang berupa bunga.
Akad-akad yang sesuai dengan ketentuan syariah, yaitu:
1. Jual Beli Murabahah
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli yang mengharuskan penjual
memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk mendapatkan komoditas (harga pokok pembelian) dan tambahan profit
yang diinginkan yang tercermin dalam harga jual (Nawawi 2012).
2. Sistem Inden (Bai’ Salam)
Pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka (Antonio 2001). Komoditas yang diperdagangkan memiliki
spesifikasi yang dijelaskan di awal akad.
3. Bai’ Istishna’
Bai’ Istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ salam. Akad ini biasa
digunakan dalam bidang manufaktur (Nawawi 2012)
4. Mudharabah
Akad kerja sama usaha antara dua pihak dengan pihak pertama sebagai
pemberi dana dan pihak lain sebagai pengelola dana (Antonio 2001).
5. Musyarakah
Akad yang melibatkan keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha
tertentu dengan sejumlah modal yang ditetapkan berdasarkan perjanjian untuk
bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan atau
kerugian dalam bagian yang ditentukan (Nawawi 2012).
6. Muzara’ah
Kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dengan
pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami
9
dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen (Antonio
2001).
7. Musaqah
Bentuk akad yang lebih sederhana dari muzara’ah dengan pihak penggarap
hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan (Antonio 2001).
8. Sewa (Ijarah)
Transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu
tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan hak
kepemilikan atas barang (Nawawi 2012). Malikiyah mengatakan, sewa
(ijarah) adalah pemindahan pemilikan manfaat tertentu yang diperbolehkan
dalam waktu tertentu dengan kompensasi tertentu.
9. Jaminan (Kafalah)
Ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa jaminan adalah membebankan diri
dengan menanggung utang orang lain (Nawawi 2012).
10. Gadai (Rahn)
Rahn adalah menjadikan barang (materi) sebagai jaminan utang yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang memiliki utang tidak bisa
mengembalikan utangnya (Nawawi 2012).
11. Titipan (Wadi’ah)
Akad ini dapat diartikan sebagai titipan murni dari suatu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja pihak penitip menghendaki (Antonio 2001).
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Menurut Soemitra (2009), Islamic Development Bank (IDB) yang
merupakan tindak lanjut rekomendasi Konferensi Ekonomi Islam pertama yang
diadakan di Mekah pada tahun 1975 didirikan pada tahun 1977. Pendirian Islamic
Development Bank ini diikuti dengan pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam
di berbagai negara yang secara umum berbentuk bank Islam komersial dan
lembaga investasi, termasuk Indonesia. Di Indonesia, ide dan gagasan konsep
lembaga keuangan syariah pertama kali dilakukan pada uji coba di BMT Salman
Bandung dan Koperasi Ridho Gusti pada tahun 1980. Ide dan gagasan tersebut
akhirnya ditanggapi oleh para peserta lokakarya MUI yang diadakan pada tahun
1990. Para peserta lokakarya tersebut sepakat untuk mendirikan bank syariah di
Indonesia.
Bank syariah pertama di Indonesia bernama Bank Muamalat Indonesia
mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992. Berdirinya Bank Muamalat Indonesia
diikuti dengan dibentuknya Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
yang melakukan akomodasi perbankan dengan prinsip bagi hasil baik untuk bank
umum maupun BPRS. Pada tahun 1998, dikeluarkan Undang-undang No. 10
tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No. 7 tahun 1992 yang mengakui
keberadaan bank syariah dan bank konvensional serta memperkenankan bank
konvensional membuka kantor cabang syariah.
Setelah itu, perkembangan lembaga perbankan syariah di Indonesia jauh
lebih pesat jika dibandingkan dengan sebelum dikeluarkan UU No. 10 tahun 1998
tersebut. Hal ini salah satunya ditandai dengan berdirinya Bank Mandiri Syariah.
Namun, perkembangan jumlah BUS masih terbilang cukup lambat jika
10
dibandingkan dengan perkembangan jumlah UUS atau BPRS. Perkembangan
jumlah yang paling cepat terjadi adalah pada BPRS. Sejak lahirnya sistem
perbankan syariah di Indonesia, BPRS memiliki jumlah bank dan jumlah kantor
lebih banyak jika dibandingkan dengan UUS. Akan tetapi, jumlah kantor yang
dimiliki BPRS tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah kantor yang
dimiliki BUS.
Perkembangan jumlah bank dan jumlah kantor lembaga perbankan syariah
di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa
total jumlah kantor perbankan syariah selalu mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa industri perbankan syariah di Indonesia
memiliki prospek yang baik.
Tabel 5 Perkembangan jumlah bank dan kantor perbankan syariah tahun 20102014
Jenis Bank
2010
Bank Umum Syariah
Jumlah Bank
11
Jumlah Kantor
1 215
Unit Usaha Syariah
Jumlah Bank
23
Jumlah Kantor
262
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Jumlah Bank
150
Jumlah Kantor
286
Total Kantor
1 763
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2014.
2011
2012
2013
2014
11
1 401
11
1 745
11
1 998
12
2 151
24
336
24
517
23
590
22
320
155
364
2 101
158
401
2 663
163
402
2 990
163
439
2 910
Di Indonesia, regulasi mengenai bank syariah tertuang dalam UU No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Berdasarkan jenisnya, bank syariah terdiri
dari Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut pasal 1 ayat 3 UU Perbankan No.
7 tahun 1992 adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan uang hanya
dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dalam bentuk itu dan menyalurkan dana sebagai usaha bank
perkreditan rakyat. Pelaksanaan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), atau
yang sekarang disebut dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, diatur menurut
surat keputusan Direktur Bank Indonesia No.32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12
Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Secara
teknis, BPRS dapat diartikan seperti BPR konvensional yang operasionalnya
berdasarkan prinsip syariah. Tujuan didirikannya Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama kelompok
masyarakat lemah yang pada umumnya berada di pedesaan.
2. Menambah lapangan pekerjaan terutama di tingkat kecamatan sehingga dapat
mengurangi tingkat urbanisasi.
3. Membina semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam
rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang
memadai.
11
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
sesuai UU Perbankan No. 10 tahun 1998 adalah sebagai berikut:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk deposito berjangka,
tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan.
2. Memberikan kredit.
3. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
4. Menempatkan dananya dalam bentuk Surat Berharga Indonesia (SBI),
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan pada bank lainnya.
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah merupakan bank syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah perseroan terbatas. Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan
atau badan hukum Indonesia, pemerintahan daerah, atau kemitraan antara WNI
atau badan hukum Indonesia dengan pemerintah daerah (Soemitra 2009).
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah berfungsi sebagai pelaksana sebagian
fungsi bank umum di tingkat regional. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
merupakan bank yang khusus melayani masyarakat kecil di pedesaan. Jenis
produk yang ditawarkan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah relatif sempit jika
dibandingkan dengan bank umum, bahkan ada beberapa jenis jasa bank yang tidak
dapat boleh diselenggarakan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, seperti
pembukaan rekening giro dan kliring.
Konsep Kredit Perbankan dan Non Performing Financing
Kredit
Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1992 pasal 1 ayat 12, kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan jumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Pemberian kredit atau pinjaman dana merupakan salah satu fungsi lembaga
perbankan sebagai lembaga intermediasi penyaluran dana. Namun, dalam
pemberian kredit tersebut pihak perbankan harus memperhatikan aspek-aspek
penting seperti yang tertera pada pasal 8 UU No. 7 tahun 1992, yaitu dalam
memberikan kredit bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang telah
diperjanjikan.
Menurut Untung (2000) sedikitnya ada empat unsur kredit, yaitu
kepercayaan, waktu, risiko, dan prestasi.
- Kepercayaan berarti pemberi kredit yakin bahwa prestasi yang diberikannya
baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar diterimanya
kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
- Tenggang waktu berarti waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi
dengan kontraprestasi yang akan diterima di masa yang akan datang. Dalam
12
-
-
unsur waktu, terkandung pengertian agio dari uang, yaitu uang yang ada
sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang
akan datang.
Degree of risk adalah risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya
jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan
kontraprestasi yang akan diberikan di kemudian hari. Semakin panjang jangka
waktu yang diberikan, semakin tinggi pula tingkat risikonya sehingga terdapat
unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang
menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko ini,
dibutuhkan jaminan dalam pemberian kredit.
Prestasi atau objek kredit tidak hanya diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga
dapat berbentuk barang atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern
sekarang ini didasarkan pada uang, maka transaksi kredit yang menyangkut
uanglah yang sering dijumpai dalam praktik perkreditan.
Waktu
Kepercayaan
Unsur
Risiko
Prestasi
Gambar 7 Unsur-unsur kredit
Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)
Salah satu risiko yang dihadapi lembaga keuangan syariah adalah risiko
pembiayaan. Risiko pembiayaan adalah risiko kegagalan nasabah untuk
memenuhi kewajibannya secara penuh dan tepat waktu sesuai dengan
kesepakatan. Risiko tersebut dapat muncul dalam banking book dan trading book
bank. Dalam banking book, risiko muncul pada nasabah gagal memenuhi
kewajiban untuk membayar utangnya secara penuh pada waktu yang telah
disepakati. Risiko pembiayaan berhubungan dengan kualitas aset dan
kemungkinan gagal bayar. Akibat dari risiko pembiayaan ini, terdapat
ketidakpastian pada laba bersih dan nilai pasar dari ekuitas yang muncul dari
keterlambatan atau tidak terbayarnya pokok pinjaman serta bunganya. Risiko pada
trading book muncul akibat ketidakmampuan atau ketidakmauan nasabah untuk
memenuhi kewajiban yang tertuang dalam kontrak. Hal ini bisa memicu risiko
pembayaran, yaitu ketika satu pihak bersepakat untuk membayar atau
mengirimkan aset sebelum aset atau dana cash tersebut ia terima sehingga
mengakibatkan potensi kerugian (Khan dan Habib 2008).
Tingkat Non Performing Financing (NPF) termasuk dalam risiko dari
pembiayaan yang diberikan oleh pihak perbankan. Non performing financing
adalah istilah untuk pembiayaan bermasalah yang digunakan oleh lembaga
keuangan syariah, sedangkan pada lembaga keuangan konvensional digunakan
istilah Non Performing Loan (NPL). Non performing financing merupakan salah
satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan suatu lembaga
perbankan selain rasio solvabilitas, rentabilitas, dan likuiditas. Buruknya tingkat
non performing financing suatu lembaga perbankan akan memengaruhi tingkat
13
profitabilitas atau laba yang didapatkan oleh lembaga perbankan tersebut. Tingkat
non performing financing dapat diperoleh dengan cara membandingkan total
pembiayaan bermasalah dengan total pembiayaan atau secara matematis dapat
ditulis dengan rumus
NPF =
Berdasarkan surat edaran Bank Indonesia No. 23/12/BPPP tanggal 28
Februari 1991, kredit berdasarkan kolektibilitasnya dibedakan menjadi kredit
lancar, kredit kurang lancar, kredit yang diragukan, dan kredit macet, sedangkan
jenis kredit yang termasuk kriteria non lancar menurut data Statistik Perbankan
Syariah adalah jenis kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet.
1. Kredit kurang lancar, yaitu kredit yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Kredit di luar KPR harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Terdapat tunggakan angsuran pokok yang melampaui 1 bulan
(tetapi belum melampaui 2 bulan) bagi kredit yang masa
angsurannya 1 bulan, atau melampaui 3 bulan (tetapi belum
melampaui 6 bulan) bagi kredit yang masa angsurannya ditetapkan
bulanan, 2 bulanan, atau 3 bulanan; atau melampaui 6 bulan dan
belum melampaui 12 bulan bagi kredit yang masa angsurannya
ditetapkan 6 bulan atau lebih.
- Terdapat cerukan karena penarikan yang jangka waktunya telah
melampaui 15 hari kerja, tetapi belum melampaui 30 hari kerja.
- Terdapat tunggakan bunga yang melampaui 1 bulan, tetapi belum
melampaui 3 bulan bagi yang angsuran kreditnya 1 bulan.
- Atau melampaui 3 bulan tetapi belum melampaui 6 bulan bagi
angsurannya yang melebihi 1 bulan.
b. Bagi kredit KPR, terdapat tunggakan angsuran pokok yang telah
melampaui 6 bulan, tetapi belum melampaui 9 bulan.
c. Kredit tanpa angsuran:
- Kredit belum jatuh tempo dan terdapat tunggakan bunga
melampaui 6 bulan atau terdapat penambahan plafon atau kredit
baru yang dimaksudkan untuk melunasi tunggakan bunga.
- Kredit telah jatuh tempo dan belum dibayar, tetapi belum
melampaui 3 bulan.
- Terdapat cerukan karena penarikan, tetapi jangka waktunya telah
melampaui 15 hari kerja dan belum melampaui 30 hari kerja.
d. Kredit yang diselamatkan:
- Kredit yang mempunyai cerukan karena penarikan, tetapi jangka
waktunya telah melampaui 15 hari kerja dan belum melampaui 30
hari kerja.
2. Kredit yang diragukan, yaitu kredit yang tidak memenuhi kriteria lancar atau
kurang lancar, tetapi kredit tersebut akan dapat diselamatkan dan agunannya
bernilai sekurang-kurangnya 75% dari utang debitur, atau kredit tidak dapat
diselamatkan, tetapi agunannya masih bernilai sekurang-kurangnya 100% dari
utang debitur.
3. Kredit macet, yaitu:
a. Kredit yang tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar, dan diragukan.
14
b. Memenuhi kriteria diragukan tetapi dalam jangka waktu 21 bulan sejak
digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau belum ada usaha
penyelamatan kredit.
c. Kredit tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada Pengadilan
Negeri atau Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) atau telah diajukan
penggantian ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.
Tingkat Kesehatan Lembaga Perbankan
Berdasarkan Undang-undang RI No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan pasal
29, Bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan
memperhatikan aspek permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas,
likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.
Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang tentang perbankan tersebut, Bank
Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran No. 26/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993
yang mengatur tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank.
Metode atau cara penilaian tingkat kesehatan bank tersebut kemudian
dikenal sebagai metode CAMEL. Metode CAMEL berisikan langkah-langkah
yang dimulai dengan menghitung besarnya masing-masing rasio pada komponenkomponen berikut:
1. C : Capital
(untuk rasio kecukupan modal bank)
2. A : Assets
(untuk rasio-rasio kualitas aktiva)
3. M : Management (untuk menilai kualitas manajemen)
4. E : Earnings
(untuk rasio-rasio rentabilitas bank)
5. L : Liquidity
(untuk rasio-rasio likuiditas bank)
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengukur tingkat kesehatan
suatu bank umum dengan metode CAMEL adalah sebagi berikut:
Langkah I
: Menghitung rasio berdasarkan rumus yang ditetapkan.
Langkah II
: Menghitung besarnya nilai kredit (credit point) untuk masingmasing komponen CAMEL.
Langkah III : Mengalikan nilai kredit (credit point) tersebut dengan bobot
masing-masing komponen CAMEL.
Langkah IV : Menjumlahkan seluruh nilai komponen CAMEL.
Langkah V
: Memperhitungkan nilai kepatuhan berkaitan dengan:
- Pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK)
- Pemberian kredit ekspor
- Pelanggaran batas maksimum pemberian kredit
- Ketentuan tentang posisi devisa neto
Langkah VI : Menetapkan kategori kesehatan bank yang bersangkutan.
Berdasarkan metode CAMEL, komponen capital dapat diukur melalui
tingkat Capital Adequacy Ratio (CAR); komponen assets dapat diukur melalui
tingkat Bad Debt Ratio (BDR) dan cadangan aktiva yang diklasifikasikan;
komponen management dapat diukur melalui kualitas manajemen modal,
manajemen aktiva, manajemen umum, manajemen rentabilitas, dan manajemen
likuiditas; komponen earnings dapat diukur melalui tingkat Return on Assest
(ROA) dan rasio antara beban operasional dengan pendapatan opersional (BOPO);
15
sedangkan komponen liquidity dapat diukur melalui tingkat Loan to Debt Ratio
(LDR) dan Net Call Money to Current Assets (NCM to CA).
Faktor-faktor Penyebab Tingkat Non Performing Financing
Faktor-faktor Penyebab Kredit Bermasalah
Siamat (2005) menyatakan penyebab kredit bermasalah terdiri atas faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal erat kaitannya dengan kebijakan dan
proses manajemen yang dilakukan oleh pihak bank. Faktor internal tersebut
meliputi:
a. Kebijakan perkreditan yang ekspansif
Bank yang memiliki kelebihan dana (excess liquidity) sering menetapkan
kebijakan perkreditan yang terlalu ekspansif yang melebihi pertumbuhan
kredit secara wajar, yaitu dengan menciptakan sejumlah target kredit yang
harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Keharusan tersebut membuat pihak
pemberi kredit untuk melakukan langkah yang lebih agresif dalam
menyalurkan kredit sehingga kurang selektif dalam memilih calon debitur.
b. Penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan
Pejabat bank sering tidak mengikuti dan kurang disiplin terhadap pedoman
dan tata cara pemberian kredit. Hal yang sering terjadi adalah bank tidak
mewajibkan calon debitur untuk membuat studi kelayakan dan menyampaikan
data secara lengkap. Penyimpangan sistem dan prosedur tersebut dapat terjadi
karena jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki pihak bank
kurang memadai.
c. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit
Untuk mengukur kelemahan sistem administrasi dan pengawasan kredit bank,
dapat dilihat dari cara pihak bank dalam mengelola administrasi dan
melakukan pengawasan kredit. Pihak bank sering melakukan kelalaian dalam
meminta dokumen kredit, berkas perkreditan yang tidak lengkap dan tidak
teratur, pemantauan usaha debitur tidak dilakuakan secara rutin, dan
peninjauan langsung pada lokasi usaha debitur secara periodik. Hal ini dapat
menyebabkan potensi kredit bermasalah tidak dapat dideteksi sejak dini.
d. Lemahnya sistem informasi kredit
Sistem informasi kredit yang tidak berjalan baik akan menyulitkan
pendeteksian dini mengenai kredit bermasalah. Hal ini akan berdampak pada
keterlambatan upaya pencegahan terjadinya kredit bermasalah.
e. Itikad kurang baik dari pihak bank
Pemilik dan pengurus bank sering melanggar ketentuan kehati-hatian
perbankan, terutama ketentuan legal lending limit yang dilakukan dengan
sengaja untuk mengambil keuntungan. Cara lain yang dilakukan adalah
mengadakan kredit fiktif untuk kepentingan pemilik dan pengurus bank.
Faktor eksternal yang menjadi penyebab kredit bermasalah lebih berkaitan
dengan kondisi ekonomi global suatu daerah. Faktor eksternal kredit bermasalah
dapat meliputi:
a. Penurunan kegiatan ekonomi dan tingginya bunga kredit
Kegiatan usaha debitur rentan terhadap terjadinya penurunan kegiatan
ekonomi dan kenaikan suku bunga yang tinggi. Pada kondisi menurunnya
16
kegiatan ekonomi dan tingkat suku bunga yang tinggi, debitur tidak lagi
mampu membayar cicilan kredit.
b. Pemanfaatan iklan persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur
Persaingan bank yang sangat ketat dalam penyaluran kredit dapat
dimanfaatkan debitur yang memiliki itikad kurang baik untuk memperoleh
kredit melebihi jumlah yang diperlukan untuk kegiatan usaha yang tidak jelas.
c. Kegagalan usaha debitur
Kegagalan usaha debitur dapat terjadi karena sifat usaha debitur yang sensitif
terhadap pengaruh eksternal. Faktor eksternal yang dapat terjadi seperti
kegagalan dalam pemasaran produk, perubahan harga pasar, adanya
perubahan pola konsumen, dan pengaruh perekonomian nasional.
Hubungan Tingkat NPF dengan Variabel yang Diduga Berpengaruh
a. Hubungan antara Tingkat NPF dengan Total Aset
Salah satu faktor yang diduga dapat memengaruhi tingkat NPF BPRS
adalah total aset yang dimiliki BPRS. Secara nasional, total aset BPRS
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Total aset yang dimiliki suatu
lembaga perbankan dapat dijadikan indikator untuk ukuran bank. Bank dengan
ukuran yang lebih besar atau total aset yang lebih banyak memiliki
kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar apabila diikuti
dengan hasil dari aktivitas bank tersebut (Firmansyah 2014). Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Windriya (2014), tingkat NPF memiliki
hubungan yang negatif dengan profitabilitas bank. Artinya, keuntungan yang
lebih besar mengindikasikan rendahnya tingkat NPF yang dimiliki lembaga
perbankan. Oleh karena itu, diharapkan semakin besar total aset yang dimiliki,
akan semakin rendah tingkat NPF yang dimiliki suatu bank. Hal ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh R