Uji Disolusi TINJAUAN PUSTAKA

daripada perempuan pada semua golongan usia. Kalsium membutuhkan pH 6 agar dapat berada dalam keadaan terlarut. Absorbsi kalsium terutama dilakukan secara aktif dengan menggunakan alat angkut protein pengikat kalsium. Kalsium hanya bisa diabsorbsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat. Kalsium yang tidak diabsorbsi dikeluarkan melalui feses. Jumlah kalsium yang diekskresikan melalui urin mencerminkan jumlah kalsium yang diabsorbsi Yuniastuti, 2008. Beberapa faktor yang dapat menghalangi penyerapan kalsium adalah adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan membentuk garam yang tidak larut. Contoh dari senyawa tersebut adalah asam oksalat dan asam fitat Winarno,1995. Bila konsumsi kalsium menurun, dapat terjadi kekurangan kalsium yang dapat menyebabkan osteomalasia. Pada osteomalasia, tulang menjadi lunak karena matriksnya kekurangan kalsium. Sebab utama osteomalasia yang sesungguhnya adalah kekurangan vitamin D. Disamping itu, bila keseimbangan kalsium negatif, osteoporosis atau masa tulang menurun dapat terjadi. Hal ini disebabkan konsumsi kalsium rendah, absorbsi yang rendah, atau terlalu banyak kalsium yang terbuang bersama urin Winarno, 1995.

2.3. Uji Disolusi

Uji disolusi adalah uji yang digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tabletharus dikunyah Ditjen POM, 1995. Uji disolusi pada dasarnya merupakan sarana fisik yang digunakan dalam pengembangan produk obat dan pengendalian mutu, tetapi kegunaannya tidak terbatas pada bidang tersebut saja. Pengujian tersebut telah diterapkan pada investigasi kesetaraan hayati sediaan obat dan kemungkinan diperluas penggunaannya dibidang lain di industri farmasi. Kegunaan uji disolusi adalah: 1. Uji disolusi digunakan untuk mengakomodasi kebutuhan nyata, guna memenuhi persyaratan resmi untuk sediaan yang tertera dalam farmakope. 2. Uji disolusi merupakan suatu prosedur pengendalian mutu tetap dalam praktik manufaktur obat yang baik atau CPOB Cara Pembuatan Obat yang Baik. 3. Data disolusi juga berguna dalam tahap awal pengembangan zat aktif dan formulasi. Dalam tahap awal pengembangan, peneliti dapat mengambil langkah untuk mengoptimasi karakteristik zat aktif dan bentuk sediaan yang akan mempengaruhi data disolusi. 4. Uji disolusi berdasarkan bukti ilimah memberikan sarana untuk mengevaluasi parameter penting seperti memberikan informasi yangpenting untuk formulator dalam pengembangan bentuk sediaan yang mempunyai daya terapi yang lebih optimal. 5. Untuk menyimpulkan bahwa kecepatan suatu zat aktif terlarut dari bentuk sediannya yang utuh atau pecahannya dalam saluran cerna sering sebagian atau seluruhnya mengendalikan kecepatan zat aktif berada dalam sirkulasi sistemik Siregar, 2010. Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, suatu sediaan tablet diuji disolusinya jika dinyatakan dalam monografinya. Hal ini berarti prosedur dan persyaratan uji disolusi hanya berlaku untuk sediaan tablet yang tertera dalam monografi tersebut. Sediaan tablet yang tidak tertera dalam Farmakope Indonesia Edisi IV tentu saja dapat diuji disolusinya dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan sendiri oleh pabriknya atau laboratorium pengendalian mutu pabrik tersebut. Tablet kunyah tidak diuji disolusinya sebab harus dikunyah terlebih dahulu sebelum ditelan. Untuk tablet salut enterik, digunakan cara pengujian untuk sediaan lepas- lambat, kecuali dinyatakan lain Siregar, 2010. Pada setiap pengujian, volume dari media disolusi ditempatkan dalam bejana dan dibiarkan mencapai temperatur 37ºC ±0,5ºC. Kemudian satu tablet yang diuji dicelupkan kedalam bejana atau ditempatkan kedalam keranjang dan pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Tablet harus memenuhi persyaratan seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi. Dengan bertambahnya perhatian pada pengujian disolusi dan penentuan bioavailabilitas dari obat dengan bentuk sediaan padat menuju pada pendahuluan dari sistem yang sempurna bagi analisis dan pengujian disolusi tablet Ansel, 2005. Disolusi dari suatu zat bisa digambarkan oleh persamaan Noyes-Whitney: dc dt = KS C S – C Dimana: dcdt = laju disolusi K = konstanta laju disolusi S = luas permukaan zat padat yang melarut C S = konsentrasi obat dalam lapisan difusi C = konsentrasi obat dalam medium disolusi Pada tahun 1940, diyakini bahwa obat akan diabsorbsi secara efisien oleh tubuh bila sediaan hancur terdisintegrasi menjadi agregat kecil ketika diekspose terhadap cairan. Asumsi ini mendorong pengembangan pengujian kehancuran. Akan tetapi, dalam kenyataannya data yang berasal dari pengujian jarang terkait dengan ketersediaan hayati. Pada akhir tahun 1960-an, diketahui bahwa data disolusi harus ditentukan dengan meneliti kecepatan melarut dari sediaan obat Agoes, 2008. Uji disolusi memiliki 2 metode yaitu: 1. Metode keranjang Basket Metode ini menggunakan alat yang terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lainnya yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Dianjurkan wadah berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter dalam 96-106 mm dan kapasitas nominal 1000 ml. Komponen batang logam dan keranjang merupakan bagian dari pengaduk yang terbuat dari baja tahan karat tipe 316 dan menggunakan kasa 40 mesh. Jarak antar dasar bagian dalam wadah dan keranjang adalah 25 mm ±2 mm selama pengujian berlangsung Ditjen POM, 1995. 2. Metode dayung Metode ini menggunakan alat yang hampir sama dengan metode keranjang, bedanya metode ini menggunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Dayung memenuhi spesifikasi pada jarak 25 mm ±2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Batang dan daun terbuat dari baja tahan karat tipe 303. Sediaan dibiarkan tenggelam kedasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan Ditjen POM, 1995. Media disolusi menggunakan pelarut yang tertera pada monografi, bila media disolusi adalah suatu larutan dapar, atur pH larutan hingga berada dalam batas 0,05 satuan pH yang tertera pada monografi Ditjen POM, 1995. Idealnya, medium disolusi diformulasikan sedekat mungkin dengan pH in vivo yang diantisipasi. Sebagai contoh, medium disolusi yang didasarkan pada 0,1 N HCl digunakan untuk menurunkan pH yang mendekati pH lambung. Hal ini disebabkan pH lambung manusia berada disekitar nilai 1-3. Cairan disolusi lambung dapat pula digunakan. Makanan dapat meningkatkan pH lambung sampai 3-5 Agoes, 2008. Beberapa cairan disolusi Farmakope berada pada pH netral, walaupun dalam kenyatannya apabila tablet ditelan akan berada atau mencapai pH rendah lambung. Penggunaan surfaktan dan enzim dapat dipakai sebagai perkiraan kasar cairan intestinal walaupun surfaktan ditambahkan untuk meningkatkan kelarutan obat secara solubilisasi miselar Agoes, 2008. Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung dan usus. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi Ansel, 2005. Laju disolusi diatur oleh laju difusi molekul-molekul zat terlarut melewati lapisan difusi ke dalam badan dari larutan tersebut. Untuk suatu obat tertentu, koefisien difusi dan biasanya konsentrasi dari obat tersebut dalam lapisan difusi akan meningkat dengan meningkatnya temperature, juga dengan menaikkan laju pengadukan medium yang melarutkan akan meningkatkan laju disolusi. Pengurangan viskositas pelarut yang dipakai merupakan cara lain yang bisa digunakan untuk menambah laju disolusi dari suatu obat. Perubahan pH atau sifat pelarut yang mempengaruhi kelarutan dari obat laju disolusi. Banyak pembuat menggunakan bentuk amorf, kristal, garam atau ester yang khusus dari suatu obat yang akan mencapai karakteristik disolusi yang dikehendaki bila diberikan Ansel, 2005. Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang diabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorpsi. Perlahan-lahan obat-obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi stelah pemberian oral, karena batasan waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus. Dengan demikian, obat-obat yang sukar larut atau produk obat yang formulasinya buruk bisa mengakibatkan absorpsi tidak sempurna dariobat tersebut serta lewatnya dalam bentuk tidak berubah keluar sistem melalui feses Ansel, 2005. 2.4.Titrasi Kompleksometri Reaksi-reaksi kesetimbangan pembentukan kompleks banyak digunakan dalam titrimetri. Cara titrimetri ini didasarkan pada kemampuan ion-ion logam membentuk senyawa kompleks yang mantap dan dapat larut dalam air. Karena itu cara ini sering disebut titrasi kompleksometri. Atas dasar ini, sejumlah cara titrasi untuk menentukan kadar ion-ion logam dalam cuplikan telah dikembangkan oleh para ahli Rivai, 1995. Dewasa ini, pereaksi yang paling sering digunakan dalam titrasi kompleksometri adalah ligan bergigi banyak, yaitu asam etilendiamina-tetra-asetat EDTA. Tetapi sebelum EDTA diperkenalkan dalam pemeriksaan kimia, cara titrasi yang didasarkan pada pembentukan kompleks sangat terbatas dalam pemeriksaan kimia adalah ion sianida CN - , karena sifatnya yang dapat membentuk kompleks yang mantap dengan ion perak dan ion nikel. Dengan ion perak, ion sianida membentuk senyawa kompleks perak-sianida AgCN 2 , sedangkan dengan ion nikel membentuk nikel-sianida NiCN 4 2- . Kendala yang membatasi pemakaian ion sianida dalam titrimetri adalah bahwa ion ini membentuk kompleks secara bertahap dengan ion logam lantaran ion ini merupakan ligan bergigi satu Rivai, 1995. Pada titrasi kompleksometri terutama yang melibatkan EDTA, pH sangat menentukan agar titik ekuivalennya tepat, umumnya memerlukan batas-batas sampai 1 satuan pH bahkan sampai 0,5 satuan pH. Untuk ini suatu buffer diperlukan, namun agar kerja buffer sesuai yang dikehendaki maka larutan yang akan ditambahkan ke buffer harus benar-benar netral, penetralan larutan harus tidak menyebabkan terjadinya pengendapan pada pH buffer terutama jika larutan asam dinetralkan dengan basa Mulyono, 2006. Untuk mendeteksi titik akhir titrasi digunakan indikator zat warna. Indikator zat warna ditambahkan pada larutan logam pada saat awal sebelum dilakukan titrasi dan akan membentuk kompleks berwarna dengan sejumlah kecil logam. Pada saat titik akhir titrasi ada sedikit kelebihan EDTA maka kompleks indikator logam akan pecah dan menghasilkan warna yang berbeda. Indikator yang dapat digunakan untuk titrasi kompleksometri ini antara lain: Eriochrom T, mureksid, jingga pirokatekol, jingga xilenol, asam kalkon karbonat, kalmagit dan biru hidroksi naftol Rohman, 2007.

BAB III METODE PERCOBAAN

3.1 Tempat dan Waktu

Percobaan ini dilakukan di PT Kimia Farma Tbk Plant Medan Sumatera Utara pada bulan Januari 2015. 3.2 Bahan-bahan 3.2.1. Sampel Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Tablet Kalsium Laktat.