commit to user 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun demikian manusia tidak
bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain zoon politicon . Manusia diciptakan oleh Allah S.W.T agar beribadah dan bertaqwa kepadaNya, sesuatu
hal yang bernilai ibadah salah satu di antaranya adalah perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat dan bagi umat Islam perkawinan merupakan sunatullah dan fitroh setiap manusia.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, dengan jalan perkawinan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat sesuai kedudukan
manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Pergaulan hidup rumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram dan rasa kasih sayang antara suami dan
istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih
dan berkehormatan Ahmad Azhar Basyir, 2000 : 1 . Berdasarkan Pasal 28 B ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Selain terdapat dalam Undang-
Undang Dasar 1945, perkawinan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
manusia melakukan perkawinan bertujuan untuk taat kepada perintah Allah
commit to user 2
S.W.T untuk memperoleh keturunan yang sah dengan mendirikan rumah tangga yang damai, bahagia, dan kekal.
Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami asas monogami , namun realita yang terjadi dalam masyarakat banyak yang
melakukan poligami. Salah satu kasus pembatalan perkawinan yang terjadi di Pengadilan Agama Karanganyar adalah seorang pria melakukan perkawinan
dengan seorang wanita tanpa sepengetahuan dan tanpa seizin istri pertama maupun tanpa izin pengadilan, perkawinan tersebut dapat terjadi karena
seorang pria tersebut memberikan keterangan yang tidak benar yang mengaku status perjaka, padahal pria tersebut telah beristri yang masih terikat
perkawinan yang sah dengan istri pertama. Dalam hal ini harus dilakukan pembatalan perkawinan yang tercantum dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan. Ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
perkawinan yang tidak memenuhi syarat tidak dengan sendirinya menjadi batal melainkan harus diputuskan oleh Pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri. 2. Suami atau Istri.
3. Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan. 4. Pejabat yang ditunjuk oleh Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perceraian itu putus Mohd. Idris
Ramulyo, 1996 : 178 . Pembatalan perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap
suami, istri, anak keturunanya, keluarganya maupun terhadap harta bendanya.
commit to user 3
Suatu pembatalan perkawinan pasti akan berakibat putusnya ikatan perkawinan serta perkawinan yang dilaksanakan tersebut tidak sah, maka perkawinan
tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya akan kembali pada status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak
pernah ada. Pembatalan perkawinan bagi umat Islam dapat diajukan ke Pengadilan
Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang
yang beragama Islam, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang berbunyi:
”Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang
diatur dalam Undang-Undang ini.” Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan tersebut, maka penulis
tertarik dalam penulisan hukum ini untuk melakukan penelitian dengan
mengambil judul ” PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR STUDI
KASUS PERKARA NOMOR 0679Pdt.G2010PA.Kra TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN “.
B. Rumusan Masalah